• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FILM KELILING SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA ORDE BARU. A. Politik Perfilman Akhir 1970-an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III FILM KELILING SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA ORDE BARU. A. Politik Perfilman Akhir 1970-an"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

FILM KELILING SEBAGAI MEDIA PROPAGANDA ORDE BARU

A. Politik Perfilman Akhir 1970-an

Percobaan kudeta pada dini hari 1 Oktober 1965 merupakan mata rantai dari serangkaian peristiwa yang mengawali akhir dari Demokrasi Terpimpin, kejatuhan Soekarno, dan naiknya militer ke posisi dominan di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.1 Setahun setelah semua kekuasaan Soekarno dilucuti, Soeharto berhasil mengatasi keraguan dan kekhawatirannya menjadi presiden.2

Kisah kudeta yang dipimpin Letnan Oentung tersebut sudah pernah dituturkan dari banyak sudut pandang. Dalam hitungan jam saja, komando militer berhasil menghancurkan sebuah kudeta yang dilakukan oleh perwira-perwira junior kemudian memanfaatkan kudeta tersebut sebagai alasan untuk menghancurkan PKI, yang mereka tampilkan sebagai “dalang” dibalik kudeta tersebut. Pada tanggal 11 Maret 1966, Soeharto memperoleh kekuasaan demi tujuan-tujuan praktis untuk memerintah negara dengan menggunakan nama Presiden.3

Setelah prahara 1965-1966 mereda, perubahan yang segera terjadi di bidang perfilman Indonesia adalah melakukan restrukturisasi institusi-institusinya. Banyak dari organisasi-organisasi lama yang dinyatakan terlarang dan

1

Krishna Sen, Kuasa Dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 82-83.

2

Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru Memoar Politik Indonesia 1965-1998, (Jakarta: Kompas, 2014), hlm. 99.

3

(2)

dihancurkan, atau keanggotaannya diganti kemudian tercipta lembaga-lembaga baru. Serangkaian perubahan ini mempengaruhi organisasi-organisasi profesi (tata pengaturan), ekonomi produksi film, dan kerja-kerja sensor.4

Di dunia perfilman, korban-korban perubahan politik tersebut mencakup setiap orang baik sutradara, artis, maupun teknisi yang terhubung dengan PKI, Lekra, dan gerakan anti film Amerika yang dimotori oleh Papfias yang memiliki koneksi apapun dengan lembaga ini dipenjara tanpa diadili. Setiap organisasi yang berhubungan dengan film dibersihkan dari orang-orang yang dicurigai memiliki koneksi dengan komunis berdasarkan daftar yang dimiliki Departemen Penerangan.5

Pembersihan organisasi film yang berbau kiri berdampak kepada dunia perfilman. Upaya membangun kembali dunia perfilman terus dilakukan pemerintah, terlihat sepanjang tahun 1966 banyak gedung-gedung bioskop di Jakarta memutarkan film India, Jepang, dan film Asia lainnya. Selain itu, film-film Amerika yang luput dari aksi pengganyangan Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperalis Amerika Serikat (Papfias) dimanfaatkan oleh beberapa pengusaha bioskop untuk meraup keuntungan.6

Keterbatasan infrastruktur televisi serta keberadaan gedung bioskop yang belum merata pada awal tahun 1970-an, menjadikan bioskop keliling primadona dalam membangun perfilman nasional serta memberikan hiburan bagi masyarakat 4 Ibid., hlm. 87. 5 Ibid., hlm. 84. 6

Wisnu Agung Prayogo, Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Perfilman Indonesia Tahun 1966-1979, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2009), hlm. 35.

(3)

pedesaan dan pinggiran kota. Semenjak berkuasa, Soeharto membangun kekuasaannya dengan cara memanfaatkan bioskop keliling sebagai salah satu media membangun opini masyarakat terhadap kekejaman serta mitos peristiwa 1965.7

Dalam menciptakan dan menebarkan propaganda, Soeharto beserta lembaga-lembaga pemerintah Orde Baru berusaha memanfaatkan berbagai media yang ada. Penguasaan dan dominasi Orde Baru atas berbagai media massa, semakin membuat arus propaganda yang menyebar ke tengah masyarakat kian tak terbendung. Media cetak maupun elektronik seperti televisi seakan tak kuasa melakukan penolakan untuk menjadi corong pemerintah Orde Baru dengan berbagai agenda propagandanya.8

B. Dinamika Perfilman Masa Orde Baru

Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto berhasil melegitimasi kekuasaannya melalui berbagai kebijakan, tidak terkecuali perfilman. Percepatan pembangunan ekonomi memaksa pemerintah membuka pintu masuk selebar-lebarnya untuk film impor9 guna mendapatkan pajak masuk yang akan digunakan untuk pembangunan nasional serta menghidupkan kembali dunia perfilmanan yang dilanda kelesuan. Tetapi disisi lain, kebijakan tersebut menjadi dilematis

7

Dyna Herlina S, Rekonstruksi Penonton Film Indonesia: Ketegangan Antara Pendidikan Dan Penghiburan, (Yogyakarta: Penelitian Awal, Prodi Ilmu Komunikasi), hlm. 5.

8

Dwi Wahyono Adi, Gayung Kasuma, Propaganda Orde Baru 1966-1980, (Surabaya: Jurnal Verleden, Vol. 1, No. 1, Desember 2012), hlm. 44.

9

(4)

tidak kala pemerintah Orde Baru mencetuskan kebijakan menggalakkan industri perfilman nasional.

1. Regulasi Perfilman Orde Baru

Dalam rangka mendukung dunia perfilman nasional, presiden beserta instansi-instansi terkait terutama Departemen Penerangan mengeluarkan berbagai macam kewenangan. Namun, jika dilihat dari pelaksanaannya berbagai kebijakan tersebut nampaknya tidak membantu secara drastis dunia perfilman nasional.10 Mewujudkan industri perfilman nasional nampaknya hanya menjadi wacana pemerintah, melihat bentuk kebijakan yang dibuat hanya menjadikan film sebagai komoditas dagang.

Pada masa Menteri Penerangan dijabat B.M Diah (1967-1970), muncul SK Menpen No. 71/SK/M/1967 yang berisi pemanfaatan dana impor film guna mendukung kemajuan perfilman nasional. Para importir diwajibkan membeli saham produksi dan rehabilitasi perfilman nasional sebesar Rp. 250.000 untuk setiap 1 film impor. Dengan SK ini pula dibentuk Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) yang berhasil membuat film percontohan, yaitu Djampang Mencari Naga Hitam (1968), Nji Ronggeng (1969), Kutukan Dewata (1970), dan Apa Yang Kau Tjari Palupi? (1970).11

Kelahiran SK tersebut dipengaruhi kondisi perekonomian Indonesia berada pada tahap mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, Menteri Penerangan

10

Pahotan Franto, Seks Dalam Film Indonesia, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2009), hlm. 36.

11

S.M Ardan, 50 Tahun Festival Film Indonesia, (Jakarta: Panitia Festival Film Indonesia, 2004), hlm. 25.

(5)

diberikan keleluasaan dalam mengambil keputusan. Hal ini terlihat dengan dibukanya kran impor film selebar-lebarnya dengan tujuan mampu mensubsidi film nasional. Tetapi disisi lain, kebijakan impor film tersebut ternodai dengan aksi importir yang gemar memasukkan film-film jenis seks dan kekerasan.

Menteri Boediharjo yang menggantikan B.M Diah membuat kebijakan memberikan kredit kepada para pembuat film yang diambil dari dana impor. Seperti yang tertuang dalam SK Menpen No. 74/Kep/Menpen/1973 tentang kebijakan penghimpunan dana dari para importir film untuk memajukan industri film nasional, dana tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada para pembuat film dalam bentuk kredit sebesar Rp. 7.500.000. Namun ironisnya dana bantuan kredit yang diberikan Menpen tidak kembali.

Pada masa Menpen Mashuri (1975-1977), dirinya menerapkan kebijakan wajib produksi film nasional, dari 5:1 menjadi 3:1. Dimana setiap importir film wajib membuat film nasional dengan ketentuan yang berlaku. Tetapi kondisi di lapangan tidak sesuai dengan kenyataan. Para importir itu, tentu saja mau membuat film nasional tetapi harus laku di pasaran. Biaya murah dalam produksi dan harus laku di pasaran, unsur seks dan kekerasaan menjadi bumbu dalam film. Maka, pada tahun 1977 jumlah produksi film nasional meningkat tajam sebanyak 133 buah.12

Dibawah Menpen Mashuri ada kesepakatan Kebijakan Tiga Menteri (Menteri Penerangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) tentang wajib putar dan wajib edar film nasional di bioskop. Tetapi

12

Yan Wijaya, “Sekilas Sejarah Film Indonesia 1900-2007”, dalam Majalah Cinemags: 100 (November, 2007), hlm. 96.

(6)

yang menjadi permasalahan adalah tidak semua daerah memiliki gedung bioskop permanen.

Pada masa Menpen Ali Moertopo (1978-1983), dicanangkan apa yang namanya film cultural edukatif. Untuk melaksanakan hal tersebut, maka Menpen membentuk Dewan Film Nasional (DFN). Dewan Film Nasional bertugas membantu Menpen dalam membina perfilman nasional sesuai ketentuan yang berlaku untuk menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negerinya sendiri.13 Dengan demikian, tentu saja para pembuat film merasa film yang dibuatnya mengandung unsur cultural edukatif. Walaupun jika dilihat dari film-film yang dibuat tetap menyertakan unsur seks dan kekerasan sebagai bumbu wajib. bahkan cenderung dibuat asal. Lewat DFN Ali Moertopo mewajibkan importir menyetor Dana Sertifikat Produksi sebesar Rp. 3.000.000 atas setiap judul film yang diimpor. Dana tersebut juga digunakan Ali Moertopo untuk menyelenggarakan Festival Film Indonesia (FFI), membiayai tugas kelompok kerja produksi dan pameran luar negeri yang dipimpin oleh Rosihan Anwar, serta membuat film percontohan, seperti Halimun dan Titian Rambut Dibelah Tujuh.14

Pada masa Menteri Penerangan Harmoko (1983-1996) yang mengusung konsep kedekatan dengan rakyat dan mampu menjalin komunikasi sampai ke pelosok desa. Oleh sebab itu, masyarakat pelosok-pelosok desa dapat menikmati film melalui bioskop keliling yang mampu memberikan tontonan film-film

13

SK Menpen No. 115/Kep/Menpen/1979. Lihat dalam, Pahotan Franto, op,cit, hlm. 41.

14

Juru Terang, Teror, Lalu Terbuang, dalam Majalah Tempo, 14-20 Oktober 2013, hlm. 64.

(7)

Indonesia.15 Selanjutnya, Harmoko merubah kebijakan Dana Sertifikat Produksi menjadi Rp. 3.500.000, dengan catatan masih diperbolehkan menggandakan film impor dengan membayar biaya sebesar Rp. 1.000.000. Dengan kata lain, peredaran film asing masih membanjiri bioskop-bioskop tanah air dan sudah pasti sangat digemari masyarakat.

Setelah jabatan Menteri Harmoko berakhir, jabatan selanjutnya diserahkan kepada Hartono (1996-1997) & Menpen Alwi Dahlan. Melihat masa bakti yang terbilang sangat singkat, kedua Menteri tersebut hanya mampu meneruskan kebijakan yang sudah ada dan tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan.

2. Program Film Masuk Desa

Program film masuk desa merupakan upaya pemerataan media komunikasi dan informasi serta upaya mencerdaskan masyarakat desa di bawah tanggung-jawab Departemen Penerangan. Kebijakan ini muncul dengan tujuan menghilangkan kecemburuan sosial yang terjadi akibat belum meratanya pembangunan di desa dengan kota.

Banyaknya wilayah pedesaan yang belum memiliki gedung bioskop karena belum meratanya pembangunan menjadikan film keliling sebagai solusi media hiburan masyarakat desa. Pada awal tahun 1960-an, terdapat perusahaan bioskop keliling lengkap dengan tiga unit alat (mobil, layar, dan proyektor) di

15

Muhammad Bayu Widagdo, Peran Pemerintah Dalam Pembuatan Kebijakan Perfilman Indonesia Pada Masa Orde Baru Dan Reformasi, Tesis, (Semarang: Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, 2011), hlm. 71.

(8)

Jawa. Hingga pada pertengahan tahun 1970-an perusahaan tersebut memiliki 20 unit, dan juga banyak usaha serupa yang tersebar di seluruh Indonesia.16

Berkembangnya usaha film keliling membuat para pengusaha mendirikan organisasi film keliling berbadan hukum yang bernama Perbiki (Persatuan Bioskop Keliling), berdiri pada tahun 1978 dengan Akte Notaris No. 15 tanggal 23 Febuari 1978 yang disahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 70 tanggal 6 Maret 1978. Dimana dalam kerangka kerja pertamanya, Perbiki telah menghasilkan suatu konsep umum yang berbunyi: “Film Masuk Desa”.17 Kemunculan konsep film masuk desa sangat membantu pemerintah Orde Baru mensukseskan program-program pembangunan nasional yang dibuatnya.

Gambar. 1

Ketua Umum Perbiki Yung Indrajaya bersama Wakil Presiden Adam Malik Sumber Foto Repro: S. Djohani

16

Seorang pengurus Perbiki memperkirakan jika di akhir tahun 1970-an, bioskop keliling atau biasa disebut film keliling mengunjungi sedikitnya 80% desa di Indonesia. Lihat dalam Krishna Sen, op.cit., hlm. 125-126.

17

(9)

Wakil Presiden Adam Malik menyambut baik program film nasional masuk desa yang dicetuskan Pengurus Pusat Perbiki di bawah arahan Yung Indrajaya. Adam Malik dengan penuh rasa kekeluargaan menyatakan rasa setujunya dan sekaligus memberi dukungan atas program-program tersebut. Untuk itulah diharapkan agar pihak Perbiki menjalin kerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Pertanian, untuk kemungkinan diputarnya film-film bertema pendidikan dan penyuluhan terhadap pertanian.18 Respon hangat yang diberikan Wakil Presiden Adam Malik sekaligus memberikan dampak positif terhadap organisasi yang masih tergolong muda tersebut. Jika dilihat, para pengurus pusat Perbiki berusaha sesegera mungkin mendapatkan pengakuan dari pemerintah di bawah kendali Departemen Penerangan.

Dalam perbincangannya dengan Yung Indrajaya, Wapres Adam Malik merasa prihatin lantaran 85% masyarakat pedesaan belum menikmati hiburan film. Perbiki sebagai organisasi pengedar film sudah tentu memutarkan film melalui mobil-mobil unit dan akan memutar film-film yang bisa diterima oleh kondisi masyarakat di desa-desa, yang lebih diutamakan lagi ialah film-film yang ada kaitannya dengan pembangunan, seperti keluarga berencana, film-film tentang transmigrasi, kooperasi, kesehatan, dan film-film gelora pembangunan Pelita I, II dan seterusnya.19

18

Pos Film, 16 Juli 1978.

19

(10)

Gambar. 2

Mobil bioskop keliling yang direncanakan bisa masuk ke Indonesia Sumber: Pos Film 16 Juni 1978

Keberadaan mobil-mobil unit bioskop keliling akan sangat membantu program pemerintah menekan laju pertumbuhan penduduk yang dimotori oleh Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), salah satunya adalah pemutaran film-film penerangan Keluarga Berencana (KB). BKKBN bekerjasama dengan Departemen Penerangan dan organisasi lainnya bahu-membahu memutarkan film-film penerangan dan motivasi K.B berukuran 16 mm (berwarna) ke pelosok daerah diseluruh Jawa dan Bali. Selain itu, akhir tahun 1976 BKKBN mulai mengerjakan 6 proyek film dokumenter.20

20

(11)

Tabel. 1

Proyek Film Penerangan K.B

Sumber: Berita Yudha, 8 Oktober 1976.

Berbagai pendekatan terus dilakukan para pengurus film keliling periode selanjutnya guna menunjukan eksistensinya dalam dunia perfilman. Acub Zaenal selaku Ketua Umum Perfiki, pada akhir tahun 1993 juga melakukan pendekatan dengan Wakil Presiden Try Sutrisno dan dirinya pada kesempatan itu menjelaskan peran dan fungsi film keliling. Dalam diskusi tersebut, Wapres Try Sutrisno menghimbau Perfiki lebih sering dan menyebarkan film “layar tancap” bagi masyarakat pedesaan. Oleh sebab itu, Wakil Presiden Try Sutrisno menghimbau kepada para anggota persatuan film keliling dalam pemutaran film hiburan harus diselingi film-film penerangan sedikitnya 5 menit.21

Dalam rangka ikut menggalakkan perfilman nasional, kiranya usaha perbioskopan keliling memang diperlukan. Setelah lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, bioskop keliling mempunyai peranan yang penting, lantaran sifatnya yang moving around serta dapat memasuki daerah-daerah yang

21

Suara Karya, 6 Desember 1993.

Judul Keterangan

Dimulai Dari Banjar

Pelaksanaan program K.B di Bali menganut sistem

Banjar Pagi Berseri di Lereng

Gunung Tampomas

Mengambil lokasi di Jawa Barat tepatnya di daerah

Sumedang Dr. Atika

Suatu usaha pengembahan program K.B dikalangan

(12)

belum memungkinkan berdirinya bioskop permanen.22 Akan tetapi, seperti halnya usaha-usaha lain, bioskop keliling ini mempunyai beberapa masalah yang harus diatasi seperti masalah kontinuitas mendapatkan jatah film.

Regulasi film nasional diatur oleh P.T Perfin (Peredaran Film Nasional), oleh sebab itu para pengusaha bioskop keliling terkadang kesulitan mendapatkan copy film nasional. Sulitnya mendapatkan film nasional dikarenakan adanya permainan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mencari keuntungan sendiri dengan cara menahan distribusi film. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan yang tegas dari pemerintah guna melancarkan peredaran film nasional agar dapat dinikmati masyarakat pedesaan.

Selain itu, sulitnya mendapatkan salinan film nasional diperkeruh dengan semakin maraknya pengusaha film keliling nakal yang beredar. Oleh sebab itu, Perbiki membuat kebijakan bilamana terdapat pengusaha bioskop konvensional mengadakan pertunjukan bioskop keliling, terlebih dahulu harus masuk menjadi anggota Perbiki. Karena sesuai keputusan Kongres I Perbiki, pemutaran film keliling hanya boleh dilakukan anggota Perbiki.23 Kebijakan tersebut dibuat karena kondisi di lapangan banyak ditemukan kasus para KPF (Kuasa Pemilik Film) yang juga pengusaha bioskop konvensional ataupun bioskop mini turut memutarkan film keliling,24 dan diperparah dalam pertunjukan para pengusaha tersebut memutar film asing untuk usia 17 tahun ke atas yang dilakukan secara

22

Berita Buana, 15 Desember 1976.

23 Hasil Rumusan Komisi B (Organisasi), Keputusan No.05/Kongres/1983.

24

(13)

terbuka di tanah lapang seperti yang terjadi di daerah Asahan.25 Kebijakan tersebut bertujuan memfilterisasi film-film yang diputarkan di desa-desa agar terhindar dari unsur seks dan kekerasan yang sedang marak beredar di pasaran.

Para pengusaha film keliling juga mengeluhkan jadwal dan wilayah pertunjukan film seharusnya tidak harus melalui booking notice26 P.T Perfin, karena para pengusaha beranggapan film-film ini sudah tidak beredar lagi di bioskop konvensional (telah habis masa royaltinya). Sebagai konsekuensinya Perbiki cukup melaporkan saja judul-judul film nasional yang dimilikinya kepada P.T Perfin.27

Selain masalah jadwal dan wilayah edar dari P.T Perfin, pengusaha film keliling juga dikagetkan dengan kemunculan SK Menpen No. 120 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa film-film yang dipertunjukan bioskop keliling harus disensor ulang. Dengan persyaratan: (a). telah melewati waktu 2 tahun dari tanggal lulus sensor pertama, (b). dari segi tematis, memungkinkan, (c). Setelah diadakan penyensoran ulang ternyata masih layak putar, barulah dikeluarkan surat tanda lulus sensor (STLS) baru, khusus untuk bioskop keliling.28 Dengan kemunculan SK tersebut, masyarakat desa dapat dikategorikan sebagai orang

25

Kondisi tersebut membawa dampak buruk bagi perkembangan psikologis generasi muda daerah Asahan, karena ulah pengusaha nakal yang memutarkan film-film asing asing yang banyak mempertontonkan adegan kekerasan, sadis, dan seks yang disaksikan muda-mudi yang belum berumur 17 tahun dan bahkan banyak anak-anak sekolah dasar. Lihat dalam Waspada, 25 Januari 1977.

26

Booking Notice adalah buku catatan yang dikeluarkan P.T Perfin biasa menyangkut jadwal dan wilayah edar pemutaran film.

27

Keputusan No. 06/Kongres/1983, hlm. 1.

28

Humas Perfiki, Mengenal Bioskop Keliling Lebih Jauh, (Jakarta: DPP Perfiki, 1993), hlm. 65.

(14)

kelas dua oleh pemerintah. Bagaimana tidak, pemutaran film yang mereka saksikan melalui bioskop keliling adalah film-film kadaluarsa yang telah dua tahun beredar di bioskop konvensional.

Melihat kondisi tersebut, Acub Zainal mantan Gubernur Irian Jaya dan Pangdam Cendrawasih yang saat itu menjabat sebagai ketua umum Perbiki, merasa keberatan dan beranggapan bahwa usaha yang dilakukan pemerintah melalui SK Menpen tersebut adalah hal yang sia-sia dan tidak masuk akal. Masyarakat desa dianggap orang bodoh, pemberlakuan sensor ulang adalah perbuatan yang mubazir. Padahal film-film tersebut telah disensor oleh BSF, yang merupakan bentukan pemerintah.29

3. Pembatasan Ruang Gerak Film Keliling

Sesuai dengan peraturan pemerintah di bawah kendali Departemen Penerangan R.I, yang menyebutkan bahwa pemutaran film keliling hanya dapat dilaksanakan diluar radius tertentu dari bioskop yang ada. Maka jelas bahwa ruang gerak yang disediakan untuk bioskop keliling adalah daerah pedesaan dan pedalaman. Akan tetapi memang, bahwa sampai saat ini unit-unit bioskop keliling lebih banyak beroperasi di daerah-daerah yang dekat dengan perkotaan ataupun daerah operasional gedung-gedung bioskop.30

Kondisi tersebut bukan berarti tanpa alasan, para pengusaha film keliling beranggapan bahwa belum meratanya kondisi ekonomi masyarakat desa menjadi salah satu faktor penyebab. Para pengusaha film melakukan pertunjukan dekat

29

Loc, cit.

30

Hasil Rumusan Komisi A (Ideal), Keputusan No. 04/Kongres/1983, hlm. 4-5.

(15)

dengan daerah perkotaan dikarenakan kondisi ekonomi masyarakat desa dekat perkotaan lebih baik dibandingkan dengan masyarakat desa pedalaman.

Salah seorang pengusaha film keliling pun menuturkan, bahwa dalam melakukan pertunjukan di daerah operasional DKI Jakarta dirinya lebih sering memberikan hiburan di daerah-daerah pinggiran Jakarta. Seperti Pondok Gede, Cilangkap, Setu, Ciganjur, dan Bekasi.31 Jika dilihat, daerah-daerah tersebut merupakan daerah-daerah yang banyak dihuni oleh etnis Betawi yang sangat senang dengan budaya layar tancap.32

Pembatasan ruang gerak film keliling yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Penerangan merupakan bentuk diskriminasi. Film keliling masih dipandang sebelah mata dan istilah “pengamen” masih melekat dalam tubuhnya, Sebenarnya istilah pengamen patut dipertanyakan, karena para pengusaha film keliling diwajibkan mempunyai badan hukum dan menjaga profesionalitas usahanya. Padahal, manfaat yang diberikan film keliling sangat besar seperti menggalakkan film nasional dan disadari atau tidak film keliling selalu membawakan program-program pemerintah. Selain itu, belum ada regulasi yang jelas yang khusus membahas kelangsungan hidup pengusaha film keliling sehingga sering dianaktirikan.

Terlepas dari kondisi tersebut, keberadaan film keliling sering kali dijadikan indikator pembangunan bioskop di daerah-daerah pedesaan. Karena

31

Wawancara dengan Wawan, tanggal 10 Oktober 2015.

32

Dalam adat budaya Betawi biasa jika akan mengadakan pesta pernikahan atau khitanan, tuan rumah akan mengundang pengusaha film keliling sebagai media hiburan warga sekitar. Selain itu, etnis Betawi merasa gengsi jika tidak mampu menanggap layar tancap saat mengadakan pesta.

(16)

sifatnya yang mobile dan mampu menerobos daerah pedalaman, faktor inilah yang dimanfaatkan pemerintah sebagai tolak-ukur daerah mana yang paling sering dikunjungi film keliling secara berkala adalah daerah yang paling direkomendasikan untuk dibangun bioskop.

Konsekuensinya adalah pengusaha film keliling harus menjauhi tempat beroperasinya gedung bioskop baru, jika dikemudian hari pembangunan gedung bioskop dilaksanakan.33 Dengan demikian, pengusaha film keliling yang berada di bawah naungan organisasi Perbiki34 harus mencari lokasi pemutaran film baru dan biasanya menuju daerah-daerah pedesaan dipedalaman.

Dalam kongres I Perbiki tahun 1983, ada usulan ketentuan aksi radius untuk wilayah operasi Perbiki supaya ditiadakan.35 Karena para pengusaha film keliling juga ingin mencari keuntungan tanpa mengesampingkan aspek sosial budaya. Tetapi usulan tersebut nampaknya tidak didengar Deppen, walaupun para pemangku jabatan organisasi film keliling berusaha dengan keras memperjuangkan keluhan para anggotanya.

Pembatasan wilayah dan radius sekurang-kurangnya 2-5 km36 adalah salah satu cara pemerintah Orde Baru menanamkan segala bentuk legitimasi kekuasaan mereka. Masyarakat desa diharapkan turut menerima hiburan dan penerangan yang dipertunjukan melalui film keliling. Disi lain, guna mendapatkan pengakuan

33

Keputusan No. 04/Kongres/1983, hlm. 6.

34

Perbiki sendiri adalah sebuah organisasi perfilman swasta yang menginduk kepada GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), karena tidak memungkinkan ada kata “bioskop” didalam dua organisasi. Oleh sebab itu Perbiki harus mematuhi peraturan yang dibuat bersama oleh GBPSI.

35

Keputusan No.06/Kongres/1983, hlm. 2.

36

Deppen RI, Petunjuk tentang Pembinaan Pertunjukan Film Keliling, No.10/SE/Dir/DPF-III/1986, hlm. 8.

(17)

secara nyata organisasi film keliling tak kuasa membendung segala macam bentuk kepentingan pemerintah saat itu.

C. Film Keliling Sebagai Alat Propaganda Orde Baru

Pemerintah Orde Baru cukup cermat dalam menyikapi perkembangan zaman, serta permasalahan sosial yang berkembang di masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan media film sebagai alat menarik simpati rakyatnya. Disaat masyarakat desa dahaga akan hiburan, film keliling dimanfaatkan sebagai media yang memberikan hiburan yang murah serta memberikan penerangan terhadap masyarakat desa.

Pemanfaatan film keliling atau bioskop keliling merupakan cara yang efektif, melihat perkembangan yang dialami film keliling sangat cepat. Sejak berdirinya organisasi Perbiki, tercatat jumlah unit yang beroperasi sampai akhir tahun 1980-an sebanyak 500 unit dengan 1.000 proyektor.37

Gambar. 3

Pengurus Bioskop Keliling beserta para anggota dalam Kongres I Perbiki Sumber Foto Repro: S. Djohani

37

(18)

Secara khusus, bioskop keliling dapat menunjang Departemen Penerangan bukan saja terhadap usaha pengembangan dunia perfilman nasional. Dari sudut dan fungsinya sebagai media, bioskop keliling melalui organisasinya turut serta menyumbangkan tenaganya untuk menyebar-luaskan program-program pemerintah melalui pemutaran film-film dokumenter, yang seyogyanya pula dapat diharuskan dan atau ditugaskan kepada anggota-anggota Perbiki yang tersebar diberbagai wilayah untuk memutarkan sebelum film ceritera.38

Pemutaran film-film dokumenter tersebut tidak hanya dilakukan di wilayah pedesaan, di daerah perkotaan seperti Jakarta pun dilakukan pemutaran film keliling yang menampilkan film-film dokumenter dari Deppen.39 Karena masih ada daerah-daerah disekitar Jakarta yang tergolong tingkat pendapatannya rendah sehingga tidak mampu menyaksikan hiburan film di bioskop.

1. Film Keliling Sebagai Media Penerangan

Pembangunan karakter bangsa merupakan salah satu dari sekian banyak program kerja pemerintah Orde Baru. Hal ini bukan tanpa alasan, maraknya film-film asing yang membanjiri Indonesia dikhawatirkan dapat merusak kepribadian bangsa dengan maraknya adegan kekerasan serta unsur seks yang disajikan. Oleh sebab itu, pemerintah melalui Deppen memanfaatkan film keliling sebagai media penerangan guna memfiltrasi pengaruh-pengaruh negatif budaya asing yang dibawa masuk oleh film asing.

38

Ibid., hlm. 9.

39

(19)

Direktorat Pembinaan Film Departeman Penerangan telah melarang masuknya film impor 16 mm.40 Tujuan dari pelarangan tersebut agar kebudayaan bangsa Indonesia tidak rusak oleh pengaruh-pengaruh budaya asing yang dibawa masuk film-film asing. Oleh sebab itu, bioskop keliling memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyebarluaskan berbagai bentuk kebudayaan nasional Indonesia karena sifatnya yang dapat menjangkau daerah-daerah pedesaan.41

Keberadaan organisasi film keliling mewarnai dunia perfilman kala itu, hal ini dikarenakan Persatuan Bioskop Keliling turut menampilkan film-film nasional yang merupakan anjuran dari pemerintah. Selain itu, Perbiki turut serta mensukseskan pemilu 1977. Dalam kegiatan FFI,42 Perbiki nyaris tidak pernah ketinggalan, tugasnya adalah menghibur masyarakat yang jauh dari pusat kegiatan FFI, bisa dikatakan masyarakat yang berada di daerah pinggiran.43

Segala macam bentuk kegiatan film keliling di bawah organisasi Perbiki memang sudah termaktub dalam kongres I tertanggal 10-11 Oktober 1983, bahwa Persatuan Bioskop Keliling ikut berperan serta dalam pembangunan nasional pada umumnya dan pengembangan perfilman nasional pada khususnya. Selain itu, secara khusus dapat membantu Departemen Penerangan dalam menyebarkan informasi yang hendak disampaikan kepada masyarakat pedesaan melalui film penerangan diawal setiap pelaksanaan pertunjukan.44

40 Merdeka, 16 Maret 1977. 41 Ibid. 42

Partisipasi Perbiki yang mewadahi pengusaha film keliling dalam Festival Film Indonesia terhitung sejak di Yogya (1984), Bandung (1985), dan Jakarta (1986-1987). Suara Karya, 6 November 1988.

43

Humas Perfiki, op, cit., hlm. 39.

44

(20)

Tabel. 2

Film Penerangan PFN

Tema Judul

Pembangunan Gelora Pembangunan

Cerita Panjang

Janur Kuning, Pengkhianatan G30S/PKI, Serangan Fajar, Jakarta 66,

Kereta Api Terakhir

Pendidikan Keluarga Rakhmat

Anak-anak Si Unyil, Si Huma, Si Titik

Sumber: Gatot Prakosa, Film dan kekuasaan, (Yayasan Seni Visual Indonesia, 2004), hlm 45.

Kesungguhan pengusaha film keliling dalam menyampaikan informasi/penerangan di bawah naungan Perbiki terlihat pada saat organisasi tersebut bekerjasama dengan pemerintah, dan wujud kongkritnya saat Departemen Penerangan menyerahkan 11 judul film dokumenter yang terdiri dari “Transmigrasi dan Waduk Saguling, Transmigrasi Awal Terwujudnya Masyarakat Baru di Kalbar, Trasnsmigrasi dan Gajah di Air Sugihan, Secercah Kehidupan di Natuna, Batu Tungku, Menyongsong Hari Esok, Waduk Wonogiri, Hama Wereng, Aceh, dan Puskesmas” pada pertengahan Maret 1986.45

Pemanfaatan film keliling sebagai media penerangan diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1992, Pasal 28 ayat (2), disebutkan bahwa pertunjukan film keliling dilakukan di luar gedung bioskop dengan tujuan tertentu. Kata “untuk tujuan tertentu” mempunyai arti seperti yang dimuat dalam pasal tersebut, yang menyatakan bahwa:

45

(21)

“ayat (2)”: Ketentuan ini lebih bersifat kelonggaran yang diberikan bagi keperluan tertentu seperti:

a. Kegiatan sosial masyarakat, acara keluarga, acara perkawinan, dan kegiatan lainnya untuk penerangan/penyuluhan dan hiburan yang dilakukan oleh pemerintah atau badan-badan/organisasi lainnya dengan tidak memungut bayaran;

b. Pertunjukan film secara berkeliling dengan memungut bayaran.46 Selain itu, pengertian pokok penerangan dalam pasal tersebut berusaha dijabarkan Dirjen Radio, Televisi dan Film, meliputi:

1. Penerangan

Penerangan dalam pengertian umum dijelaskan oleh Presiden Soeharto sebagai usaha membuat orang lain berusaha memahami suatau masalah yang mencakup segala kehidupan.

2. Penerangan Pembangunan

Secara umum, “penerangan pembangunan” diartikan sebagai upaya penyampaian informasi pembangunan dengan tujuan menciptakan kondisi sosial kultural yang mantap dan dinamis guna mendukung pembangunan melalui kegiatan penyebarluasan pesan-pesan pembangunan secara terpadu dan merata, sehingga setiap warga mau dan mampu mengembangkan potensi manusiawi secara optimal.

46

Departemen Penerangan RI, Sambutan Pengarahan Direktur Jendral Radio, Televisi Dan Film, Pada Kongres III PERFIKI, Lembang, 28 September 1993 hlm. 3.

(22)

3. Pembangunan Penerangan

Secara umum, pembangunan penerangan diartikan sebagai upaya-upaya pembangunan di bidang penerangan untuk meningkatkan kemampuan penerangan dari segi pembinaan sumber daya manusia, sarana, prasarana, pemanfaatan media dan teknologi penerangan dan pengembangan sistemnya yang diarahkan untuk menciptakan peningkatan kuantitas dan kualitas produk penerangan yang sesuai dengan tuntutan zaman.47

Berbagai macam jenis penerangan yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk memberikan informasi tentang agenda pemerintah kepada masyarakat. Awalnya masyarakat kurang memahami film-film penerangan yang diputarkan memiliki tujuan tertentu, mereka menganggap film yang disaksikan sebagai hiburan mewah yang jarang dijumpai.48

Pengusaha sekaligus pengurus Perfiki menuturkan, seiring berjalannya waktu masyarakat biasanya sudah mengetahui jika pemutaran film keliling dilakukan di instansi-instansi pemerintah berarti pemutaran film keliling tersebut syarat akan kepentingan politis.49 Biasanya satu hari sebelum pemutaran, masyarakat diberitahu melalui selebaran-selebaran dan alat pengeras suara bahwa akan ada pertunjukan film keliling. Sebelum film dimulai, biasanya diisi oleh pemangku kepentingan untuk menyampaikan tujuannya di depan penonton yang hadir pada saat itu.

47

Ibid., hlm. 3-4.

48

Wawancara dengan Yanto, 31 Desember 2016.

49

(23)

Sony Pudjisasono menambahkan, animo masyarakat sangat sedikit jika pemutaran film keliling dilaksanakan di instansi-instansi pemerintahan. Seperti di wilayah Ibu Kota Jakarta dan daerah lainnya di Indonesia, pementasan tersebut sering dilaksanakan di Kantor Kelurahan, Kecamatan, bahkan hingga halaman kantor Deppen.50 Masyarakat merasa jenuh dengan segala macam bentuk kepentingan pemerintah, mereka hanya membutuhkan media hiburan sebagai tempat berkumpul sekaligus wadah pengembangan diri mereka.51

Kebijakan pemerintah Orde Baru yang menjadikan film keliling sebagai media penerangan merupakan langkah kontradiktif yang dicetuskan, menilik regulasi perfilman Indonesia dari masa Menteri Penerangan B.M Diah hingga Harmoko, dalam pembuatan kebijakan perfilman selalu memperbolehkan para pengusaha mengimpor film dengan alasan pajak yang dikenakan akan digunakan untuk pembangunan industri film nasional. Tetapi pada kenyataannya, justru film nasional yang makin terjepit dengan maraknya film Holywood, Mandarin, dan India beredar di pasaran.

Para pengusaha film keliling pun seakan tak kuasa menahan gempuran film-film asing, secercah harapan muncul dan menjadi semangat adalah film nasional yang diputarkan melalui film 16 mm masih digemari masyarakat

50

Ibid.

51

(24)

pedesaan.52 Walaupun kondisi di lapangan film-film dengan format 35 mm merupakan primadona utama.53

2. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Pertunjukan Film

Peningkatan pendapatan asli daerah merupakan bentuk dukungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, salah satu sumber pemasukan daerah yang menggiurkan adalah pajak pertunjukan film. Kemunculan otonomi daerah membuat daerah-daerah berusaha mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya dengan tujuan dapat melancarkan pembangunan daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Pertunjukan film keliling pun tidak luput dari pantauan pemerintah daerah, dari tahun 1970 hingga akhir 1990-an film keliling selalu dikenakan pajak oleh pemerintah daerah. Memang dalam perkembangannya, film keliling selalu ditangani langsung oleh pemerintah daerah, seperti izin film, retribusi dan pajak penonton.54 Pemerintah daerah terkadang membuat peraturan sendiri mengenai syarat dan ketentuan pertunjukan film, walaupun sudah ada peraturan yang dibuat oleh Departemen Penerangan.

Memasuki awal tahun 1990-an, kondisi perfilman nasional mengalami kemunduran. Hal ini dikarenakan mulai maraknya stasiun televisi, vcd dan antena

52

Ibid.

53

Film dengan format 35 mm digemari lantaran memiliki beberapa keunggulan, seperti kualitas gambar lebih baik dan suara yang lebih bagus. Wawancara dengan Saek, 20 Oktober 2015.

54

Katinka Van Heren, Contemporary Indonesia Film Spirit of Reform and ghost from the past, (Leiden: KITLV Press, 2012), hlm. 34.

(25)

parabola. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi kondisi tersebut Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 1 Tahun 1993 tentang pedoman klasemen bioskop dan tarif pajak atas pertunjukan dan keramaian umum, dengan tujuan antara lain:

- Memberikan pedoman kepada pemerintah daerah tentang besarnya tarip pajak pertunjukan dan keramaian umum atas pertunjukan film di bioskop.

- Menghimbau kepada Kepada Daerah agar ikut mendukung pengembangan perfilman nasional dan perbioskopan di daerah melalui pemberian sumbangan/bantuan kepada produsen film nasional dan pengusaha bioskop di daerah sesuai dengan kemampuan daerah.55 Dalam kebijakan Departemen Dalam Negeri tersebut,56 besarnya pajak atas pertunjukan dan keramaian umum ditetapkan dari harga tanda masuk setinggi-tingginya sebagai berikut:

Tabel. 3

Klasemen Bioskop dan tarip pajak Klasemen Bioskop Tarip Pajak A II Utama A II A I B II B I C D Keliling 30 % 28% 26% 24% 20% 17% 13% 10%

Sumber: Departemen Dalam Negeri RI, Sambutan Dirjen Pemerintahan Umum Dan Otonomi

Daerah, dalam Kongres III Perfiki, Lembang 28 September 1993, hlm 6.

55

Departemen Dalam Negeri RI, Sambutan Dirjen Pemerintahan Umum Dan Otonomi Daerah, dalam Kongres III Perfiki, Lembang 28 September 1993, hlm. 6.

56

Pelaksanaan kebijakan Menteri Dalam Negeri tersebut, selanjutnya oleh daerah harus dituangkan dalam peraturan daerah sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 yang menyatakan bahwa “mengadakan, mengubah dan meniadakan pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ibid, hlm. 7.

(26)

Wajib pajak 10% yang dibebankan kepada pertunjukan film keliling diharapkan mampu memberikan sumbangan yang besar dalam pembangunan serta penyelenggaraan pemerintah. Dimana keberadaan film keliling yang tersebar hampir di seluruh Indonesia dan merupakan mitra pemerintah daerah mengharapkan peran aktif dalam mensukseskan program pemerintah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dengan memasukan pajak pertunjukan dan keramaian dari obyek film ke kas daerah sebagai pendapatan asli daerah (PAD).

Pada kenyataannya, pertunjukan film keliling sering menjadi korban pungutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, seperti anggota Deppen, Kepala Desa, Polisi, serta pejabat lain yang secara tiba-tiba muncul.57 Sebagai organisasi profesional dan berbadan hukum, seharusnya pemerintah baik daerah ataupun pusat memberikan perlindungan terhadap praktek-praktek kotor tersebut. Kondisi itu jelas sangat merugikan para pengusaha film keliling, terkadang mereka datang dan mencari-cari kesalahan walaupun berbagai ketentuan izin pertunjukan sudah mereka lengkapi.

Sebelum melaksanakan pertunjukan film keliling, para pengusaha film tersebut sudah mengurus izin sesuai dengan kategori pertunjukan yang sudah ditentukan. Tetapi tetap saja menjadi korban pungutan liar. Biasanya para pengusaha film keliling tidak mau mengecawakan para penonton dengan membawa film cadangan, hal ini justru menjadi masalah karena para petugas yang ada di lapangan selalu menyita film mereka dengan alasan tidak sesuai dengan

57

(27)

izin.58 Akibatnya para pengusaha film keliling harus membayar uang tebusan sebesar Rp. 100.000-200.000, padahal mereka dalam pertunjukan komersial hanya menerima Rp. 400.000-500.000. Dengan mampunya mereka menebus film yang disita, muncul anggapan bahwa pertunjukan film keliling adalah sekumpulan orang-orang kaya. Jika dilihat dari besaran biaya yang harus dibayarkan, secara tidak langsung mereka sangat dirugikan dan bahkan tidak mendapatkan keuntungan karena harus membayar biaya operasional pertunjukan.

Kemunculan pajak pertunjukan dan keramaian umum merupakan salah satu kebijakan Orde Baru, dengan melihat terus berkembangnya pengusaha film keliling yang ada. Pada tahun 1993 tercatat ada sekitar 122159 anggota organisasi film keliling yang tersebar diseluruh Indonesia, dengan komitmen selalu membantu pemerintah dalam pembangunan nasional.

Dari besaran pajak pertunjukan film dan keramaian umum yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri, sebenarnya yang paling menggiurkan adalah besaran pajak bioskop kategori A Utama sebesar 30%. Film keliling dijadikan salah satu alat untuk mewujudkan usaha tersebut, seperti yang tertera dalam Kongres I Perbiki tahun 1983, bahwa daerah-daerah yang sering dikunjungi film keliling secara berkala akan direkomendasikan pembangunan gedung bioskop.60 Dengan semakin banyaknya daerah yang dikunjungi secara berkala oleh film keliling, semakin banyak pula pembangunan gedung bioskop daerah.

58

Wawancara dengan Sony Pudjisasono, 15 Oktober 2015.

59

Keputusan Kongres III Perfiki, Pembahasan Pokok-Pokok Pikiran, hlm. 14.

60

(28)

Walaupun dampak yang didapat ialah pengusaha film keliling harus menjauhi daerah yang akan dibangun bioskop tersebut.

Disisi lain, para pengusaha film keliling merasa keberatan dengan pemberian pajak sebesar 10%. Dibuktikan dalam kongres III Perfiki, muncul usulan pajak tontonan untuk film keliling 0% untuk seluruh wilayah Indonesia.61 Dengan alasan mayoritas pengusaha film keliling berasal dari golongan menengah kebawah. Penghapusan pajak tersebut juga dianggap wajar karena pertunjukan film keliling selalu menjadi partner pemerintah dalam mensukseskan program Pelita I-IV dan program pembangunan jangka panjang I dan II.

3. Peran Film Keliling Dalam Pembinaan Hankamneg

Film keliling pada dasarnya merupakan potensi penting dalam menunjang tugas ABRI pada khususnya. Jika dibina dan diarahkan secara tepat sesuai dengan misi pokok yang diemban, tanpa mengorbankan aspek bisnis yang menjadi ciri penunjang kehidupan organisasi profesi tersebut baik secara komersil ataupun non komersil.

Ruang gerak film keliling yang menjangkau pedesaan sesuai dengan mandat pemerintah, pada prinsipnya selaras dengan orientasi sasaran “Operasi Bhakti ABRI” dengan konsep langsung menyentuh kepentingan rakyat banyak. Baik yang tertuang dalam AMD (ABRI Masuk Desa) maupun yang

61

(29)

terprogramkan lewat operasi territorial atau pembinaan teritorial yang dilaksanakan satuan-satuan ABRI setempat.62

Pembinaan Hankamneg (Pertahanan, Keamanan, Negara) dapat disosialisasikan melalui media film keliling, dikarenakan media tersebut dapat menjangkau daerah pedalaman dan terluar di berbagai wilayah Indonesia. Film-film yang dipertontonkan diharapkan memberikan pengetahuan baru serta nilai-nilai semangat kebangsaan, serta memberikan hiburan bagi masyarakat.

Gambar. 4

Pengusaha Film Keliling bersama Mabes ABRI di Timor-Timor Sumber Foto Repro: P.T Tito Film

Kerjasama sama ABRI dengan persatuan film keliling bisa dikatakan terjalin baik. Sebagai gambaran, Mabes ABRI bekerjasama dengan persatuan film keliling dalam operasi teritorial di daerah Timor-timor serta beberapa daerah

62

Ceramah Kepala Pusat Penerangan ABRI, dalam Kongres III Perfiki tanggal 28 September 1993, Lembang, Jawa Barat, hlm. 12.

(30)

pedesaan di wilayah Indonesia.63 Dalam operasi teritorial di Timor-Timor (Tahun 1992), para pengusaha film keliling bersama ABRI melewati medan yang sulit, naik gunung turun gunung serta ancaman keamanan melihat kondisi daerah tersebut yang belum kondusif.64 Pembinaan Hankamneg sangat terkordinasi melalui unit-unit kesatuan ABRI yang ada disetiap daerah, biasanya para kepala Koramil, Korem, dan Kodim, sering memberikan penyuluhan kepada warga tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru sebelum pemutaran film keliling.65

Film keliling diharapkan mampu mensosialisasikan berbagai kepentingan ABRI dalam mengusung pembinaan Hankamneg, diantaranya pengaruh budaya asing yang dibawa oleh film-film asing merupakan suatu bentuk ancaman terhadap kebudayaan nasional. Selain itu, ABRI melalui kerjasama dengan persatuan film keliling diharapkan mampu berbaur dengan rakyat serta menjalin hubungan baik di tengah cengkraman pemerintah Orde Baru yang sangat otoriter.

Dalam menjaga Hankamneg, para pengusaha film keliling juga diwajibkan memberikan penyuluhan tentang pengamalan pancasila.66 Program yang sangat gencar dilakukan Orde Baru sebagai upaya menjaga nasionalisme serta bentuk kontrol terhadap masyarakat.

63

Ibid., hlm. 14.

64

Wawancara dengan Sony Pujisasono, 15 Oktober 2015.

65

Ibid.

66

(31)

4. Film Keliling Sebagai Media Alternatif Penyebarluasan Film Kepahlawanan

Sejak dini, rezim Orde Baru telah menyadari pentingnya film sebagai alat propaganda. Pada tanggal 15 April 1969, Komandan KOPKAMTIB (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mengeluarkan sebuah instruksi (Kep-16/KOPKAMTIB/4/1969) untuk pembentukan “Projek Film KOPKAMTIB” yang bertanggung jawab memproduksi “film dokumenter” sebagai “media psywar” melawan musuh-musuh di Indonesia maupun di luar negeri.67 Berbagai jenis film dibuat, salah satunya adalah film bertemakan sejarah dibuat guna menceritakan perjuangan militer dalam mempertahankan Indonesia tanpa mengulas peran serta masyaakat Indonesia yang ikut berjuang.

Selama Orde baru, film-film bertema sejarah umumnya mengabaikan sejarah masyarakat di kepulauan Indonesia sebelum kedatangan Belanda. Ketiadaan pembahasan mengenai masa lalu yang terhitung dekat, misalnya era Demokrasi Parlementer dan demokrasi terpimpin, juga sangat jelas mengemuka dalam sinema Orde Baru.68

Beberapa film bertema sejarah mencerminkan dominasi militer terlihat pada film Janur Kuning, Serangan Fajar, dan Pengkhianatan G30S/PKI. Film Pengkhianatan G30S/PKI merupakan film propaganda paling fenomenal karya Arifin C. Noer, penyunting Nugroho Notosusanto, dan Brigjen Dwipayana selaku staf kepresidenan dan direktur PFN. Mereka berkolaborasi menonjolkan bagian-bagian detail, terutama pada penculikan dan penyiksaan. Adegan-adegan dalam

67

Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015), hlm. 118.

68

(32)

film ini dapat dilihat sebagai representasi tema “kekacauan sebelum ketertiban,” yang menjadi ciri dominan sebagian besar film periode Orde Baru. Sebelum diputar, docudrama berdurasi empat jam ini diperiksa dahulu oleh Presiden Soeharto, Jenderal Sarwo Edhie, dan oleh tokoh senior militer lain.69

Pada tahun 1970-1990-an film-film tersebut wajib putar diseluruh bioskop Indonesia, khusus film Pengkhianatan G30S/PKI pemerintah Orde Baru mewajibkan siswa-siswa Sekolah Dasar menyaksikan film tersebut dibioskop beserta para tenaga pendidik (guru).70 Melihat kondisi di lapangan bahwa tidak semua daerah memiliki bioskop, pemerintah Orde Baru memanfaatkan media film keliling sebagai ujung tombak distribusi film di daerah pedesaan.

Kondisi tersebut di benarkan pengusaha film keliling, tidak semua daerah di Indonesia memiliki gedung bioskop yang disebabkan karena pembangunan yang belum merata. Bahkan di wilayah Ibu Kota Jakarta masih terdapat beberapa daerah (perkampungan) yang belum terkena pembangunan seperti Setu, Cilangkap, Pondok Gede, Ciganjur dan Bekasi, oleh sebab itu film keliling yang saat itu memasuki masa kejayaannya menjadi salah satu media propaganda Orde Baru melalui film-film bertemakan sejarah atau kepahlawanan.71

Film bertemakan sejarah juga menjadi menu wajib dalam memeriahkan Festival Film Indonesia (FFI), salah satu contohnya pada saat FFI diadakan di Yogyakarta tahun 1984 para pengusaha film keliling memutarkan film perjuangan

69

Katherine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam, (Yogyakarta: Syarikat), hlm. 173-178.

70

Wawancara dengan Gun, 15 Oktober 2015.

71

(33)

seperti “ Serangan Fajar, Janur Kuning, dan Pasukan Berani Mati” di Kabupaten Bantul, Wates, dan Gunung Kidul.”72

Film keliling tanpa disadari menjadi media utama melancarkan program-program propaganda pemerintah Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Hal itu terlihat, sampai tahun 1980-an kesuksesan bioskop keliling (film keliling) sangat jelas sehingga perusahaan film milik kepolisian, Metro 77,73 mempertimbangkan membangun satu unit usaha bioskop kelilingnya sendiri untuk memutar film-film propagandanya hingga ke level pedesaan.74 Selain memutarkan film-film proganda melalui unit bioskop keliling yang dimilikinya, Metro 77 yang dekat dengan pemerintah Orde Baru juga turut serta membuat film-film kepahlawanan salah satunya adalah Janur Kuning.

Gambar. 5

Janur Kuning salah satu film buatan Metro 77 Sumber: Kuasa Dalam Sinema (Krishna Sen, 2009)

72

Humas Perfiki, op.cit., hlm. 52.

73

Metro 77 awalnya adalah sebuah unit film milik Polda Metro Jaya, tetapi seiring berjalannya waktu unit tersebut berubah menjadi perusahaan atas prakarsa Kolonel Abbas Wiranatakusuma tahun 1974. Lihat dalam Khrisna Sen, op, cit., hlm. 113.

74

(34)

Film Janur Kuning disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja dan di produksi oleh P.T Metro 77, sebuah perusahaan yang dimiliki anggota senior polisi di Jakarta. Dalam pembuatan film tersebut juga melibatkan P.T Karya Mandiri yang diketuai oleh Marsudi, seorang mantan Kolonel dan tahanan politik yang memiliki hubungan dekat dengan Soeharto sejak perang kemerdekaan. Kolonel Marsudi pula yang bertanggung jawab terhadap bahan-bahan sejarah terhadap pembuatan film ini.75

75

Budi Irawanto, Film, Ideologi, dan Militer, (Yogyakarta: Media Presindo, 1999), hlm. 7.

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tabel 2 menunjukkan pemangkasan rata dari permukaan tanah pada umur 24 bulan pertumbuhan menyebabkan tanaman lamtoro cukup baik dengan rata-rata tinggi

Santoso, Sumali, DarrnawanAdi, Bintarto, Zakaria, Abdullah Hadi, Urnar Kayam, dan Djalinus Sjah (sidang pengarang). Pada tahun 1960-an redak- tur rnajalah ini adalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana model pembelajaraan kooperatif J-Trow terintegrasi penilaian peer assessment dapat meningkatkan hasil belajar dan

Himpunan Mahasiswa Psikologi FIP UNNES 2012. Nama Ketua Jurusan

Infeksi saluran kemih dalam kehamilan dapat bervariasi mulai dari bakteriuria simptomatik hingga yang menimbulkan keluhan dan gejala sebagai sistitis dan

Data yang disajikan selain data primer atas hasil kegiatan langsung pembangunan perkebunan di Kalimantan Timur, juga data yang bersumber dari instansi terkait

Perancangan Sistem Informasi Monitoring Pengunaan Ruangan Rawat Inap di Rumah Sakit Singaparna Medika Citrautama (SMC) memiliki tujuan yaitu dihasilkannya sebuah rancangan

Hasil cluster berdasarkan 7 jenis polutan, suhu, dan kebisingan masing-masing menghasilkan 4 cluster dari proses pemotongan dendogram. Dalam menentukan kategori cluster,