• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Guru memiliki peran penting didalam sekolah, peran guru merupakan tombak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Guru memiliki peran penting didalam sekolah, peran guru merupakan tombak"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Guru memiliki peran penting didalam sekolah, peran guru merupakan tombak utama dalam sekolah. Kualitas guru akan berpengaruh pada kualitas siswa dan kemajuan sekolah, jika kualitas guru buruk maka akan memberikan citra buruk pada sekolah begitupun sebaliknya jika kualitas guru baik maka akan memberikan citra yang baik pada sekolah.

Seorang guru diharapkan mampu untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan Negara dengan menghasilkan sumberdaya manusia yang mampu bersaing dalam era globalisasi. Serta, dapat mewujudkan sistem penididikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Indonesia berkembang menjadi manusia berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk memenuhi harapan tersebut perilaku yang diharapkan muncul pada guru tidak hanya perilaku yang sesuai dengan deskripsi pekerjaan namun juga perilaku yang melebihi dari apa yang ada pada deskripsi pekerjaan. Novliadi (2007) mengatakan bahwa kinerja yang baik merupakan kinerja yang menuntut karyawan bukan hanya melakukan pekerjaan pokok (in-role) karyawan akan tetapi juga melakukan pekerjaan yang ada diluar pekerjaan utama karyawan (role). Perilaku

(2)

extra-role ini disebut juga Organizational Citizenship Behavior (OCB) (Gunawan 2013).

OCB termasuk perilaku orang-orang yang berkontribusi untuk menjaga sistem sosial organisasi dan yang secara tidak langsung menguntungkan kelompok kerja atau organiasi secara keseluruhan (Smith, Organ & Near, 1983). Organ dan Ryan (1995) melakukan meta-analisis menunjukkan bahwa, dari anteseden yang telah di teliti sampai saat ini, kepuasan kerja, komitmen organisasi, dukungan kepemimpinan, dan keadilan yang dirasakan cukup memprediksi perilaku warga organisasi (OCB).

Sari (2015) menyatakan kinerja karyawan secara signifikan dipengaruhi oleh OCB, Komitmen Organisasi dan Disiplin Kerja. Bowler dan Brass (2006) menegaskan korelasi antara OCB dan kinerja karyawan. Guna meningkatkan kualitas individu dalam organisasi, perlu diketahui pula hal apa yang dapat mempengaruhi OCB. Menurut Bagger (2005) dalam 20 tahun terakhir, banyak penelitian telah berusaha untuk menyelidiki keadaan individu dan organisasi yang mungkin meningkatkan terjadinya OCB.

Didalam sekolah guru memberikan ilmu bukan hanya untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab dari pekerjaan, namun ia memiliki tujuan lain yaitu sebagai bentuk pengabdiannya kepada masyarakat. Dengan mengabdi guru merasa bahwa pekerjaannya memiliki makna tersendiri bagi kehidupan spiritualitasnya. Sehingga guru pun seringkali menjalankan peran tambahan dalam sekolah untuk mencapai tujuan serta memperoleh makna dari pekerjaanya.

(3)

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa workplace spirituality dapat mempengaruhi OCB. Ahmadi, Nami dan Barvarz (2014) mengatakan bahwa ada hubungan linear yang signifikan antara OCB dan spiritualitas di tempat kerja.

Yuniar (2016) menyebutkan spiritualitas ditempat kerja merupakan suatu isu baru yaitu pentingnya spiritualitas kerja dapat memberikan pengaruh pada peningkatan kualitas kinerja, serta dapat meningkatkan komitmen organisasi sebanyak 4.75% dan kurangnya spiritualitas ditempat kerja dapat menimbulkan dampak negatif seperti agresi ditempat kerja. Pawar (2009) mengatakan bahwa penelitian mengenai spiritualitas ditempat kerja bermula baru-baru ini. Workplace spirituality adalah suatu hal yang terdiri dari kehidupan batin sebagai identitas spiritualitas, memiliki makna dan tujuan dalam bekerja, dan merasakan koneksi juga merasa sebagai bagian dari komunitas. Bagi banyak orang, tempat kerja merupakan tempat yang menyediakan link konsisten dengan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam persahabatan dan kontribusi (Ashmos & Dunchon, 2000).

Neal (1997) mengatakan bahwa spiritualitas ditempat kerja adalah tentang orang-orang yang melihat pekerjaan mereka sebagai jalan spiritual, sebagai kesempatan untuk tumbuh secara pribadi dan memberikan kontribusi kepada masyarakat dengan cara yang berarti. Ini adalah tentang belajar untuk menjadi lebih peduli dan penuh kasih dengan sesama karyawan, dengan bos, dengan bawahan, dan dengan pelangan. Ini adalah tentang integritas, bersikap jujur pada diri sendiri, dan mengatakan yang sebenarnya kepada orang lain. Spiritualitas di tempat kerja dapat merujuk ke upaya individu untuk menghidupkan nilainya lebih

(4)

secara penuh ditempat kerja. Atau dapat merujukpada cara dimana struktur organisasi sendiri yang mendukung pertumbuhan spiritualitas karyawan.

Ashmos dan Dunchon (2000) menerangkan bahwa meskipun spiritualitas merupakan ide yang relatif baru dalam tempat kerja, namun spiritualitas bukanlah ide baru dalam pengalaman manusia ditempat lain. Semua tradisi dalam agama besar di beberapa level mendorong kehidupan yang kontemplatif, dimana hal yang utama merupakan pencarian tujuan dan makna serta tujuan hidup harmonis merupakan hal yang fundamental. Dengan demikian,bahasa gerakan spiritualitas yang muncul ditempat kerja timbul berdasarkan tradisi citra agama: mencapai transformasi diri, menemukan kembali jati diri, memulai perjalanan pribadi, memiliki visi, dan mengamalami pembaharuan.

Pandey dan Gupta (2008) merangkum review literatur mengenai spiritualitas mampu mempengaruhi perilaku seperti motivasi, pembelajaran, komitmen, dan kinerja organisasi seperti hasil orientasi keuangan dan kualitas. Kumpikaite-Valinien (2014) dampak dari spiritualitas pada organisasi bisnis telah dipelajari dalam hal kinerja organisasi secara keseluruhan dan perilaku kerja karyawan.

Kumpikaite-Valinien (2014) mengatakan bahwa spiritualitas tidak selalu melibatkan keimanan atau keyakinan terhadap dewa. Ketika seseorang menjalani pekerjaan dengan rasa bertujuan untuk melebihi sarana yang ada pada pekerjaannya, seseorang dapat mengungkapkan spiritualitas melalui bekerja.

Namun, guru yang sudah mempunyai anak sering memiliki kesulitan untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam pekerjaan atau sebaliknya pekerjaannya disekolah membuatnya kesulitan untuk memenuhi tanggung jawabnya dirumah,

(5)

hal ini biasa disebut Work-Family Conflict (WFC). Keterbatasan waktu, burnout, dan kelelahan (Bacharach, Bamberger & Conley, 1991) yang tidak jarang mengakibatkan konflik kerja-keluarga (work-family conflict) dapat mengurangi kemungkinan bahwa karyawan terutama guru sekolah yang terlibat dalam berbagai ekstra-peran di tempat kerja mereka, akan terlibat dalam OCB. Konflik pekerjaan-keluarga (WFC) muncul ketika tuntutan waktu, tenaga dan perilaku dari peran dalam suatu domain (pekerjaan atau keluarga) membuat kesulitan untuk dapat memenuhi tuntutan dari domain lain (pekerjaan atau keluarga) (Greenhaus & Beutell, 1985).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konflik peran ditempat kerja berhubungan negatif dengan OCB (Thomson & Werner, 1997). Bragger (2005) mengatakan konflik yang berdasarkan tekanan (strain-based) memiliki hubungan negatif dengan perilaku kewarga organisasian (OCB) karyawan. Ketika karyawan merasa bahwa tekanan (strain) dari tuntutan pekerjaan memberikan pengaruh berupa hal negatif pada kehidupan rumah karyawan, keterlibatan karyawan dalam perilaku warga organisasi akan menurun. Karyawan yang tidak jarang atau selalu mengalami konflik berdasarkan tekanan (strain-based) akan menyalahkan pekerjaan mereka, cenderung menarik diri, dan menjadi kurang peduli dengan altruistik dan kepatuhan perilaku dibandingkan dengan yang hanya mengalami sedikit konflik berdasakan tekanan (strain based).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat konflik pekerjaan-keluarga (WFC) yang lebih rendah berhubungan dengan tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi (Kossek & Ozeki, 1998), juga tingkat komitmen organisasi yang

(6)

lebih tinggi (Thompson, Beauvais & Lyness, 1999), sedangkan penelitian lain telah menunjukkan variabel-variabel yang sama menjadi anteseden yang lebih besar dalam perilaku warga (citizenship behavior) dalam pengaturan organisasi (Organ & Ryan, 1995). Gordon, Whelan-Bery, dan Hamilton (2007) konflik pekerjaan-keluarga juga bisa terjadi pada saat terdapat ketidakpuasan dengan pekerjaan atau keluarga yang menyebabkan penurunan waktu dan energi di daerah ketidak puasan tersebut (pekerjaan atau keluarga) sehingga meningkatkan waktu dan energi di wilayah lain

Temuan yang didapatkan terutama di negara-negara Barat dan teori-teori yang terkait mengacu pada hubungan yang jelas antara tuntutan pekerjaan dan konflik pekerjaan-keluarga (Spector, Allen, Poelmans, Lapierre, Cooper & Widerszal-Bazyl, 2007), hal ini menunjukkan bahwa jam kerja yang panjang, tugas dan beban kerja yang berat memiliki pengaruh langsung pada konflik kerja-keluarga (Boyar, Maertz, Mosley, & Carr; 2008; Kim, Leong, & Lee, 2005)

Thomas dan Ganster (1995) menyatakan bahwa work-family conflict akan berdampak pada ketidakpuasan dalam pekerjaan, depresi, absensi dan penyakit jantung koroner. Definisi work family conflict menurut Frone merupakan bentuk interrole conflict, peran yang dituntut dalam pekerjaan dan keluarga akan saling mempengaruhi (Hill,Yang, Hawkins & Ferris, 2004).

Guru di sekolah X tidak jarang terlibat dalam pertemuan untuk kepentingan sekolah, meskipun hal tersebut bukan merupakan kewajibannya. Ia menunjukkan sikapnya bahwa ia juga ikut bertanggung jawab dalam keberlangsungan sekolah tempatnya bekerja. Saat ini juga banyak guru yang memiliki gaji rendah, bahkan

(7)

mungkin gaji tersebut tidak sepadan dengan pengeluarannya untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan guru di Sekolah X pun tidak besar, Namun meskipun begitu, guru disekolah tersebut tetap sepenuh hati memberikan pengajaran kepada siswa serta tetap melakukan pekerjaannya dengan baik tanpa mengeluh mengenai gaji yang ia terima.

Pada sekolah X, hubungan antar individu yang terdapat didalamnya terjalin dengan baik. Baik guru, staf sekolah dan juga siswa memperlihatkan kentalnya suasana persahabatan yang terdapat di sekolah tersebut. Satu sama lain merasa saling berhubungan dan merupakan bagian dari sekolah X. Guru di sekolah X melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati karena baginya pekerjaan ini sangat bermakna. Ia merasa mampu untuk mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik dengan bekerja dalam sekolah ini. Serta ia dapat menjalankan pekerjaan yang searah dengan nilai spiritualitas yang ada tertanam dalam dirinya. Yaitu, dengan cara menyampaikan ilmu sehingga dapat memberikan manfaat bagi siswa yang merupakan bagian dari masyarakat

Didalam sekolah X sistem pendidikannya berbasis full day. Guru dituntut untuk menghabiskan waktu lebih banyak ditempat kerja daripada dirumah. Selain itu, tak jarang pula terdapat acara sekolah pada akhir pekan sehingga semakin mengurangi intensitas waktu yang diberikan kepada keluarga. Tak hanya itu, seringkali tugas yang harusnya di kerjakan ditempat kerja namun harus di bawa pulang kerumah karena keterbatasan waktu yang dimiliki ditempat kerja. Misalnya, membuat soal ujian untuk murid atau memeriksa hasil ujian para murid.

(8)

JAM KERJA

Guru TK Guru SD Guru SMP

07.00-08.00

Mempersiapkan

materi Mengajar Mengajar

08.00-11.00 Mengajar Mengajar Mengajar

11.00-12.00

Memastikan

Murid Pulang Mengajar Mengajar 12.00-12.15 Sholat Berjamaah Sholat Berjamaah Sholat Berjamaah 12.15-13.00 Istirahat / Makan Siang Istirahat / Makan Siang Istirahat / Makan Siang 13.00-15.15 Mereview

Tugas Murid Mengajar Mengajar 15.15-15.30 Sholat Berjamaah Sholat Berjamaah Sholat Berjamaah 15.30-15.45 Mereview Materi Evaluasi Pelajaran Evaluasi Pelajaran 15.45-16.00 Meriview Materi Memastikan Murid Pulang Memastikan Murid Pulang Sumber: Kepala Sekolah X

Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 20, guru berkewajiban: (a) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses

(9)

pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; (b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (c) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (d) menjunjung tinggi peraturan peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan (e) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang “Pengaruh Work-Family Conflict dan Workplace Spirituality terhadap Organizational Citizenship Behavior pada Guru Sekolah X”

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka peneliti mengajukan hipotesis.

1. Bagaimana pengaruh work-family conflict dan workplace spirituality terhadap OCB pada guru di sekolah X?

1.3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

- Untuk melihat terdapat pengaruh yang signifikan antara work-family conflict dan workplace spiritualiy terhadap OCB pada guru di sekolah X

(10)

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan timbul dalam penelitian ini adalah: a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan terhadap disiplin ilmu psikologi, terlebih untuk psikologi industri dan organisasi

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan untuk mendesign intervensi untuk meningkatkan Organizational Citizenship Behavior dari kedua variabel yaitu Work-family Conflict dan Workplace Spirituality. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sumber rujukan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara work-family conflict dan workplace spirituality dengan organizational citizenship behavior, dan juga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan suatu kebijakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Wahyudin (Hulu, 2009:3) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut

AHP adalah metode yang memiliki prosedur sistematik, untuk menyelesaikan masalah Multi Kriteria Decission Making(Killinci,2013.)AHP merupakan suatu model pendukung keputusan

Menyadari persoalan posisi strategis pimpinan sekolah di Yayasan Tarakanita serta pentingnya memastikan engagement mereka terhadap organisasi, maka melakukan diagnosa

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif signifikan antara Adversity Quotient dan komitmen organisasi pada Supir Taksi

tidak tepat, karena anak dengan umur yang sama belum tentu berat badan sama dan LPT sama. o Perhitungan

Mari kita masuk kehalaman mesin pencari kita dengan mengetikan http://www.AltaVista.com pada Address Bar yang disediakan oleh Web Browser setelah itu tekan enter atau klik tombol

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan bahwakemampuan pemecahan masalah mahasiswa PGSD FKIP Universitas Riau pada pecahan melalui pendekatan model

Jika setelah berakhirnya perjanjian kerja ke-2 ternyata PIHAK KEDUA tidak diajukan untuk pengangkatan sebagai karyawan tetap oleh PIHAK PERTAMA, maka perjanjian kerja kontrak