• Tidak ada hasil yang ditemukan

INOVASI TEKNOLOGI APLIKATIF DALAM MENGURANGI OFF-ODOR DAGING ITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INOVASI TEKNOLOGI APLIKATIF DALAM MENGURANGI OFF-ODOR DAGING ITIK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

INOVASI TEKNOLOGI APLIKATIF DALAM MENGURANGI

OFF-ODOR DAGING ITIK

(Applicative Technology Innovation to Reduce Off-Odor

of Duck Meat)

PROCULA R. MATITAPUTTY1 dan T. SUSANTI2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku

Jl. Laksdya Leo Watimena Waiheru, Ambon 97232 ruddyquen@yahoo.com

2

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

Duck meat have texture, colour and odor slightly different compored to chicken meat, especially the sensation of deviation (off odor) and smell fishy/rarcid. Besides known as red meat, meat duck contains high fat of 2.7 – 6.8% wich also influenced consumer’s preference. A high fat content, especially the unsaturated fatty acids, duck meat tend to oxidased fastly yielding off odor. To enhance duck meat consumption preferences might be achied by identity the cause of it. Reducing the putrid odor of duck meat can be conducted by administering antioxidant in the feed or by crossing to improve the genetic improvement of flavor quality can be useful and applied in various processed duck meat which is ready for sale to overcome the lack of local duck meat and increase preference consumers on duck meat.

Key Words: Ducks Meat, Off-Odor, Antioxidant, Crossing

ABSTRAK

Daging itik memiliki tekstur, warna dan bau yang agak berbeda dibandingkan dengan daging ayam, terutama yang memberi sensasi penyimpangan (off-odor) yakni bau amis/anyir. Selain dikenal sebagai daging merah (red meat), kandungan lemak daging itik juga tinggi sekitar 2,7 – 6,8%, semuanya ikut mempengaruhi preferensi konsumen. Kandungan lemak yang tinggi, terutama asam-asam lemak tidak jenuh (ALTJ), daging itik cenderung untuk cepat mengalami oksidasi dan menghasilkan off-odor. Untuk meningkatkan preferensi konsumsi daging itik, salah satunya dicapai dengan jalan mengetahui penyebab kurang diterimanya daging itik oleh konsumen. Aroma daging yang berbau anyir merupakan salah satu penyebab yang tidak disukai konsumen. Upaya untuk mengurangi bau amis daging itik (off-odor) dapat dilakukan dengan pemberian antioksidan di dalam ransum atau dengan jalan perbaikan genetik melalui persilangan. Peningkatan kualitas citarasa dan nilai tambah dapat dimanfaatkan dalam berbagai produk olahan daging itik yang siap jual, sehingga dapat membantu mengatasi kekurangan daging itik dalam negeri dan meningkatkan preferensi konsumen terhadap daging itik di masyarakat.

Kata Kunci: Daging Itik, Off-Odor, Antioksidan, Persilangan

PENDAHULUAN

Unggas air seperti itik memiliki peluang besar untuk terus dikembangkan sebagai sumber protein, baik berasal dari telur maupun dagingnya. Secara nasional kontribusi itik sebagai penyedia daging untuk dikonsumsi baru sebesar 0,11 kg/tahun dibandingkan dengan daging ayam ras sebesar 2,25 kg/ tahun dan ayam kampung sebesar 0,65 kg/kapita/ tahun (DITJEN PKH, 2010). Rendahnya

konsumsi daging itik, membuktikan bahwa ketersediaan itik potong sebagai sumber daging masih sedikit, sementara harga jual itik maupun produknya berupa daging memiliki harga yang mahal dipasaran dan tidak kalah bersaing dengan daging unggas lain seperti daging ayam kampung dan ayam pedaging.

Setiap jenis ternak termasuk itik, memiliki sifat yang spesifik dalam flavor maupun

off-odor nya, bahkan dalam satu spesies off-off-odor

(2)

Indonesia meskipun terdapat beberapa jenis itik lokal, namun sampai sejauh ini belum banyak penelitian yang secara khusus melihat dan meneliti tentang cita rasa (flavor) ataupun

off-odor daging dari masing-masing itik lokal

tersebut.

Di sisi lain, daging itik oleh sebagian konsumen kurang disukai. Salah satu faktor yang menjadi penyebab mengapa daging itik kurang disukai adalah faktor flavor (cita rasa) berupa off-odor (bau menyimpang) dan sangat mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen terhadap permintaan daging itik tersebut. Untuk mengurangi ketajaman bau amis daging itik lokal, cara-cara yang lazim dilakukan masyarakat adalah dengan cara mencekok itik lokal dengan cuka sebelum dipotong (dari segi kesejahteraan ternak, tidak dianjurkan) atau membuat olahan yang sarat dengan bumbu (RUKMIASIH, 2011).

Bila dibandingkan dengan daging ayam, maka daging itik intensitas off-odor-nya lebih tajam, hal ini mungkin saja terkait dengan deposit lemak tubuh. Sebagai unggas air ternak itik secara alami memiliki kulit berlapis lemak yang tebal. Lemak ini diperlukan itik untuk melindungi daging dan bagian-bagian dalam tubuh agar tidak kedinginan saat ternak tersebut berenang dalam air. Masih banyak lagi pendapat mengenai penyebab pembentukan

off-odor pada ternak. Namun demikian,

pengaruh yang sangat kuat diketahui bersumber dari lemak (HUSTIANY, 2001; RUKMIASIH, 2011).

Penelitian dan kajian yang dapat menjadi landasan bagi aplikasi teknologi pengurangan

off-odor daging itik masih sangat kurang dan

memberi kesempatan untuk penelitian ke arah cita rasa (flavor) masih terbuka lebar. Upaya yang ditempuh untuk mengangkat daging itik agar mampu sepopuler daging ayam atau daging lainnya yaitu melalui teknologi yang mudah diterapkan peternak sehingga dapat mengatasi persoalan yang selama ini melekat pada penampilan dan rasa daging itik. Makalah ini membahas secara khusus tentang upaya-upaya dalam mengurangi off-odor dengan pemberian antioksidan dalam ransum itik dan melalui persilangan yang diharapkan mampu memperbaiki kualitas daging terutama

off-odor-nya sehingga preferensi terhadap daging

itik semakin meningkat dan usaha budidaya itik potong semakin berkembang.

MATERI DAN METODE Potensi dan permasalahan pemanfaatan daging itik

Daging unggas memiliki komposisi kimia yang berbeda dengan ternak ruminansia. Daging unggas kandungan proteinnya lebih tinggi dan kadar lemaknya lebih rendah (MOUNTNEY dan PARKHURST, 1995). Lemak pada unggas sebagian besar merupakan lemak subkutan dan tidak banyak didistribusikan pada jaringan daging seperti halnya pada ternak ruminansia. Kandungan protein daging itik berkisar antara 18,6 – 20,1% dan kandungan lemak berkisar antara 2,7 – 6,8% (JUN et al., 1996; KIM et al., 2006). Menurut BAEZA (2006); RUKMIASIH et al. (2010) bahwa peningkatan kadar lemak seiring dengan bertambahnya umur unggas, pemberian pakan, dan genetik ternak. DAMAYANTI (2003), menyatakan bahwa kandungan lemak daging dada dan paha itik lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3,84 dan 8,47%, sedangkan pada kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59,32 dan 52,67%.

HUSTIANY (2001) dan WU dan LIOU (1992) melaporkan bahwa bau amis pada daging itik merupakan hasil proses oksidasi lipid. Hal ini terbukti pada daging itik yang mengandung asam lemak tidak jenuh (ALTJ) yang tinggi. Asam lemak tidak jenuh merupakan bahan yang mudah mengalami auto-oksidasi. Proses oksidasi lemak menghasilkan radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas mengakibatkan timbulnya peroksida-peroksida. Peroksida-peroksida akan mengalami dekomposisi dan menghasilkan senyawa-senyawa seperti aldehid, alkohol, keton, asam karboksilat dan hidrokarbon yang masing-masing berbau khas.

Menurut SMITH et al. (1993) daging itik sebagian besar mengandung serabut merah dan sebagian kecil mengandung serabut putih. Pada bagian dada itik, serabut merah sebanyak 84% dan serabut putih sebanyak 16%. Perbedaan macam serabut otot penyusun daging tersebut, akan berpengaruh pada komposisi daging, sifat biokimia dan karakteristik sensori serta nilai ekonomis. Daging yang sebagian besar terdiri atas serabut merah mempunyai kadar protein yang lebih rendah dan kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging yang tersusun serabut putih (SOEPARNO, 2005).

(3)

Peningkatan konsumsi daging itik lokal diharapkan dapat menjadi sumber alternatif daging unggas sehingga dapat mengurangi ketergantungan daging impor itik Peking. Upaya peningkatan konsumsi daging itik harus berdasarkan penyebab kurang diterimanya daging itik oleh konsumen. Beberapa penyebab yang dapat diutarakan adalah warna daging itik lebih merah (red meat), tekstur lebih alot, dan aromanya yang anyir. Dari ketiga penyebab tersebut aroma merupakan penyebab yang paling dominan tidak disukai konsumen. Beberapa penelitian yang mengupayakan mengurangi bau amis daging itik (off-odor) telah dilakukan dengan antoksidan alami maupun sintetis (RUKMIASIH, 2011; RANDA, 2007; PURBA et al., 2010) dan melalui perbaikan genetik dengan melakukan persilangan (MATITAPUTTY, 2012).

Off-odor

Dalam prespektif ilmu pangan khususnya yang mempelajari cita rasa atau flavor bahanpangan, odor merupakan bagian yang terintegrasi dalam kinerja sensasi manusia yang secara utuh menghasilkan sensasi terhadap suatu bahan pangan. Sensasi bau (odor) dihasilkan dari senyawa-senyawa yang bersifat volatil. Rangsangan senyawa-senyawa penghasil bau ditangkap oleh indra pencium

yang kemudian diteruskan ke saraf-saraf pusat. Penyimpangan flavor yang berkaitan dengan penyimpangan rasa diberi istilah off-taste, sedangkan yang berkaitan dengan bau diberi istilah off-odor.

Umumnya off-odor pada setiap bahan pangan dapat dipahami sebagai bau yang tidak diinginkan atau diharapkan ada dibahan pangan tersebut. Off-odor dapat juga dimaksudkan sebagai odor (bau) yang menyebabkan adanya penolakan terhadap bahan pangan tersebut. KILCAST (1996) membedakan odor pada bahan pangan kedalam dua kategori yakni off-taint dan off-odor.

Off-taint terjadi karena ada sesuatu substansi dari

luar masuk mencemari bahan pangan. Adanya substansi asing menyebabkan odor yang dihasilkan bersifat tidak menyenangkan. Sedangkan off-odor diartikan sebagai odor yang tidak disukai yang dihasilkan oleh bahan pangan itu sendiri. Gambar 1 menjelaskan proses oksidasi lemak pada bahan pangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Aplikasi antioksidan dalam mengurangi off-odor

Pembentukan off-odor yang terjadi akibat pemberian pakan lebih sering dan mudah

Gambar 1. Proses oksidasi lemak pada bahan pangan Sumber: OCKERMAN (1999) dalam RUKMIASIH (2011)

(4)

terjadi pada unggas. Bau apek atau amis pada telur atau pada daging unggas disebabkan oleh pakan yang mengandung tepung ikan atau minyak ikan yang relatif tinggi yang berpotensi menghasilkan senyawa-senyawa off-odor.

Daging itik mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi. Asam lemak tidak jenuh ini merupakan bahan yang mudah mengalami auto-oksidasi. BOU et al. (2004) mengemukakan oksidasi lipid merupakan penyebab utama pada kerusakan produk-produk unggas, terutama dalam menghasilkan odor yang tidak disukai konsumen serta menyebabkan masa simpan yang pendek.

Oksidasi lipid menurut beberapa peneliti dapat dicegah dengan cara menggunakan antioksidan. Antioksidan dikelompokkan menjadi dua yakni alami dan sintetis. Sumber antioksidan alami banyak terdapat di alam, salah satunya adalah daun beluntas. Tanaman beluntas mengandung flavonoid, vitamin C dan β-karotin (RUKMIASIH, 2011), yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan (WIDYAWATI, 2004; CADENAS, 2004; ANDARWULAN et al., 2008). Daya kerja

flavonoid sebagai antioksidan adalah dengan

cara mengchelat logam dan menangkap

oksigen radikal dan radikal bebas atau sebagai

scavenger (CADENAS, 2004). Selain itu juga fungsi flavonoid sebagai antioksidan adalah menonaktifkan atau menghambat kerja enzim prooksidan antara lain lipoxygenase, myeloperoxidase (SCHEWE dan SIES, 2003). RUKMIASIH (2011) dalam penelitiannya menggunakan ransum komersial yang diberi tambahan tepung daun beluntas dengan level sebesar 1 dan 2% pada itik betina tua, ternyata bahwa dengan pemberian tepung daun beluntas 1 dan 2% dapat mengurangi bau (off-odor) daging itik. Zat aktif dalam beluntas (fenol,

flavonoid) mampu melindungi asam lemak,

terutama asam lemak tidak jenuh linoleat (C18:2) dan total asam lemak tidak jenuh ganda (C18:2 + C18:3) dari oksidasi sehingga kandungan asam lemak tersebut lebih tinggi dari kontrol (Tabel 1).

Selain itu, nilai intensitas bau amis yang terdeteksi oleh panelis juga nyata lebih rendah. Hal ini menyebabkan tingkat penerimaan konsumen terhadap daging itik meningkat, terbukti dari hasil uji hedonik daging itik dengan kulit yang mendapat beluntas dalam pakannya lebih disukai daripada kontrol/tanpa mendapat beluntas.

Tabel 1. Rataan kandungan asam lemak daging dengan kulit itik betina tua pada level pemberian tepung

daun beluntas yang berbeda pada ransum komersial

Jenis asam lemak Kandungan asam lemak daging itik dengan kulit pada level beluntas

0% 1% 2% ... (%) ... C14:0 (asam miristat) 0,17 ± 0,03 0,19 ± 0,06 0,19 ± 0,05 C16:0 (asam palmitat) 5,97 ± 1,45 6,57 ± 2,41 6,48 ± 1,53 C18:0 (asam stearat) 1,29 ± 0,34 2,10 ± 0,84 1,80 ± 0,45 Total ALJ 7,43 ± 1,80a 8,86 ± 2,22b 8,47 ± 1,54b C16:1(asam palmitoleat) 0,61 ± 0,16 0,69 ± 0,18 0,62 ± 0,19 C18:1(asam oleat) 11,93 ± 2,60 12,79 ± 4,01 11,77 ± 3,56 C20:1(asam arakhidat) 0,17 ± 0,00 0,19 ± 0,01 0,19 ± 0,05 Total ALTJT 12,71 ± 2,75 13,62 ± 4,13 12,55 ± 3,75 C18:2(asam linoleat) 5,28 ± 1,17a 6,61 ± 1,33b 6,09 ± 1,68ab C18:3(asam linolenat) 0,26 ± 0,06 0,29 ± 0,07 0,29 ± 0,09 Total ALTJG 5,54 ± 1,22a 6,90 ± 1,39b 6,38 ± 1,77ab Total ALTJ 18,25 ± 3,94 20,51 ± 5,52 18,93 ± 5,42 ALTJ/ALJ 2,46 2,31 2,23

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)

(5)

Antioksidan lain yang telah banyak digunakan untuk mencegah timbulnya off-odor pada daging adalah vitamin E. Beberapa penelitian melaporkan bahwa aktivitas antioksidan vitamin E lebih tinggi kerjanya bilamana dapat bersinergi dengan antioksidan lain daripada hanya bekerja sebagai senyawa tunggal. Untuk meningkatkan daya kerja antioksidan vitamin E maka disinergikan dengan vitamin A dan C (LEUNG et al., 1981;

LAMBELET et al., 1985; ANDERSON et al., 1995). Selaras dengan yang dilakukan RANDA (2007) dengan menggunakan ransum basal, didasarkan pada percobaan sebelumnya dengan memperlihatkan bahwa perlakuan ransum yang mengandung minyak kelapa terhadap jenis itik Cihateup menghasilkan intensitas off-odor daging yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Oleh karenanya untuk menguji pengaruh antioksidan terhadap kualitas off-odor daging, maka ransum percobaan disusun dalam lima perlakuan dengan menggunakan suplementasi antioksidan berbasis vitamin E jenis d-α-tokoferil-asetat pada dosis 400 IU/kg, yang dikombinasikan dengan vitamin C 250 mg/kg dan dosisi vitamin A 20.000 IU/kg dalam ransum.

Kombinasi tersebut mampu menekan laju oksidasi lipid daging, sehingga menghasilkan daging itik Cihateup yang rendah off-odor dan memperbaiki rasio komposisi asam-asam lamak tidak jenuh (ALTJ) terhadap asam lemak jenuh (ALJ) (Tabel 2).

Pemberian antioksidan berbasis α-tokoferol pada ransum yang menggunakan minyak kelapa sedikit meningkatkan rasio asam lemak tidak jenuh terhadap asam lemak jenuh. Peningkatan rasio asam lemak tidak jenuh ini disebabkan karena terjadi peningkatan pada asam lemak linoleat (C18:2). Hal ini menunjukkan pula efektivitas antioksidan dalam mempertahankan stabilitas asam-asam lemak (RANDA, 2007).

Sementara PURBA et al. (2010) melihat pengaruh level tepung ikan (rendah dan tinggi) dan penambahan antioksidan (150 ppm Santoquin (Sq) + 400 IU vitamin E (VE) atau 400 IU vitamin E + 250 mg vitamin C (VC) dalam ransum terhadap penurunan intensitas

off odor dan komposisi asam lemak daging itik

lokal jantan. Lebih khusus untuk komposisi asam lemak daging itik, pada Tabel 3. menunjukkan rasio komposisi ALTJ terhadap ALJ berkisar antara 1,10 hingga 3,41, dimana

Tabel 2. Komposisi asam-asam lemak daging itik Cihateup dari masing-masing perlakuan ransum

Jenis asam lemak Komposisi asam-asam lemak (%)

E0 E1 EA EC EAC Laurat (C12:0) 14,20 10,75 12,21 11,26 13,99 Miristat (C14:0) 6,59 6,87 7,16 7,49 7,31 Palmitat (C16:0) 24,37 25,83 23,94 23,39 21,94 Stearat (C18:0) 5,04 6,26 5,34 5,84 4,89 Arakidat (C20:0) 0,24 0,14 0,56 0,18 0,52 Total ALJ 50,45 49,85 49,21 48,17 48,64 Palmitoleat (C16:1) 2,12 2,84 2,02 2,15 2,23 Oleat (C18:1) 28,30 26,18 29,29 29,12 28,42 Linoleat (C18:2) 15,99 17,08 17,42 17,74 17,58 Linolenat (C18:3) 0,79 0,74 0,67 0,55 0,71 Arakidonat (C20:4) 2,35 2,42 1,39 2,26 2,44 Total ALTJ 49,55 50,15 50,79 51,83 51,36 Rasio ALTJ/ALJ1 0,98 1,01 1,03 1,08 1,06

ALTJ: Asam lemak tidak jenuh; ALJ: Asam lemak jenuh; (E0): tanpa suplementasi vit E; (E1): vit E; (EA): kombinasi vit E dan A; (EC): kombinasi vit E dan C; (EAC): kombinasi vit E, A dan C

(6)

rasio komposisi yang paling rendah adalah perlakuan R3 (1,10) sedangkan yang paling tinggi adalah perlakuan R6 (3,41).

Pada Tabel 3 diperlihatkan bahwa perlakuan suplementasi antioksidan tampak mengubah komposisi ALTJ khususnya pada perlakuan R2, R4, R5 dan R6. Total komposisi ALTJ pada perlakuan tersebut semakin bertambah dengan adanya suplementasi antioksidan. Komposisi ALTJ pada daging itik rebus khususnya linoleat (C18:2) pada daging itik rebus tampak semakin bertambah dengan adanya suplementasi antioksidan. Dikatakan pula bahwa komposisi ALTJ yang lebih tinggi dengan adanya suplementasi antioksidan menunjukkan bahwa pada perlakuan tersebut tidak terjadi reaksi oksidasi lipid (PURBA et al., 2010).

Adanya suplementasi santoquin + vitamin E maupun kombinasi antara vitamin E dan C tampak saling bekerjasama (bersinergi) untuk meghambat terjadinya reaksi oksidasi lipid yang menyebabkan off odor pada daging itik.

Selain dapat menghambat proses oksidasi lipid pada daging, sinergisme komponen antioksidan yang terkandung pada santoquin +

vitamin E maupun vitamin E + C dapat dengan efektif mempertahankan stabilnya lemak maupun asam-asam lemak pada daging paha itik (PURBA et al., 2010).

Aplikasi teknologi persilangan dalam mengurangi off-odor

Salah satu upaya dalam meningkatkan produktivitas itik lokal sebagai itik potong dapat dilakukan melalui persilangan. Teknologi persilangan yang sudah dilakukan pada itik misalnya antara entok jantan dengan itik betina lokal atau sebaliknya, yang disebut itik Mandalung (Serati) (HARDJOSWORO et al., 2001; SETIOKO et al., 2002; SETIOKO, 2003; SUPARYANTO, 2005), juga persilangan antara itik Alabio dengan Mojosari yang disebut itik MA (PRASETYO et al., 2005), persilangan ini dilakukan untuk mendapatkan itik petelur lokal unggul sementara itik jantannya sebagai itik potong.

Walaupun daging itik mempunyai bau khas yang oleh konsumen dikategorikan mempunyai

Tabel 3. Komposisi asam-asam lemak daging itik rebus dengan suplementasi santoquin + vitamin E dan

vitamin E + C dalam ransum

Jenis asam lemak Komposisi (%) berdasarkan ransum perlakuan

R1 R2 R3 R4 R5 R6 Laurat (C12:0) 8,54 1,13 12,5 1 0,45 0,58 5,75 Miristat (C14:0) 4,80 1,45 6,43 1,36 1,36 2,96 Palmitat (C16:0) 24,57 24,99 22,34 25,80 26,02 19,77 Stearat (C18:0) 0,06 0,42 - 0,12 0,03 3,16 Total ALJ 37,97 27,99 41,28 27,73 27,99 31,64 Oleat (C18:1) 54,47 57,68 40,36 60,78 60,15 68,60 Linoleat (C18:2) 2,24 2,46 4,95 2,46 3,38 5,11 Total ALTJ 56,71 60,15 45,31 63,24 63,53 73,71 Ratio ALTJ/ALJ 1,49 2,15 1,10 2,28 2,27 3,41 - : Tidak terdeteksi

ALTJ : Asam Lemak Tidak Jenuh ALJ : Asam Lemak Jenuh

R1 : TIR(tepung ikan rendah) tanpa antioksidan (kontrol) R2 : TIR + 150 ppm Sq (santoquin) + 400 IU Vit E R3 : TIR + 400 IU Vit E + 250 mg Vit C

R4 : TIT (tepung ikan tinggi) tanpa antioksidan (kontrol) R5 : TIT + 150 ppm Sq + 400 IU Vit E

R6 : TIT + 400 IU Vit E + 250 mg Vit C

(7)

Barat) memiliki off-odor lebih tajam dibandingkan dengan itik Alabio (Kalimantan Selatan). Hal ini disebabkan komposisi asam lemak tidak jenuh (ALTJ) C18:2 itik Cihateup (16,43%) lebih tinggi daripada itik Alabio (14,48%). Tingginya asam lemak tidak jenuh linoleat pada itik Cihateup dapat menyebabkan cepat terjadinya oksidasi lipid sehingga menimbulkan off-odor berupa bau amis pada daging (RANDA et al., 2007).

MATITAPUTTY (2012) melaporkan bahwa hasil persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan Alabio dibandingkan dengan tetua murni dapat menurunkan off-odor daging itik. Hasil analisis menunjukkan bahwa persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan itik Alabio menghasilkan itik hibrida (F1) yakni itik AC (Alabio jantan  Cihateup betina) dan itik CA (Cihateup jantan  Alabio betina), dengan komposisi asam lemak januh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ) berbeda dengan tetua murni. Komposisi asam lemak tidak jenuh C18:1 (oleat), C18:2 (linoleat), C18:3 (linolenat) dari masing-masing jenis itik menunjukkan, itik tetua AA (Alabio jantan  Alabio betina) dengan komposisi asam lemak C18:1 (34,32%); C18:2 (14,07%);

C18:3 (0,56%), itik tetua CC (Cihateup jantan  Cihateup betina) komposisi asam lemak C18:1 (35,02%); C18:2 (14,91%); C18:3 (0,50%), itik persilangan CA komposisi asam lemak C18:1 (37,97%); C18:2 (15,21%); C18:3 (0,53%) dan itik persilangan AC sebesar C18:1 (32,40%); C18:2 (13,71%); C18:3 (0,47%). Asam lemak tidak jenuh yang tinggi cenderung mempermudah terbentuknya komponen volatil hasil degradasi lemak yang sangat berperan menyebabkan off-odor pada daging itik (HUSTIANI et al., 2001; RUKMIASIH

et al., 2010; RANDA, 2007).

Hasil persilangan timbal balik ini juga, menghasilkan mutu sensori/intensitas off-odor yang rendah dibandingkan dengan tetua murni. Profil aroma itik AA lebih dominan pada atribut off-odor lemak dan langgu yang berada pada kuadran I (positif), sementara pada itik CC lebih dominan pada atribut off-odor amis, tengik, tanah dan jamur yang berada pada kuadran II (positif). Itik persilangan CA dan AC profil aroma off-odor memiliki korelasi negatif terhadap atribut aroma yang dimiliki oleh itik tetua murni dan berada pada kuadran III (negatif) (Gambar 1).

Gambar 1. Profil off-odor daging itik berdasarkan analisis komponen utama (AKU) Sumber: MATITAPUTTY (2012)

(8)

Secara genetik persilangan timbal balik antara itik Cihateup dengan Alabio terhadap kualitas sensori daging menunjukkan adanya pengaruh dari jantan (paternal efek). Aroma bau amis/anyir dihasilkan oleh itik jantan, terlihat jelas pada itik CC yang memiliki intensitas off-odor bau amis yang tajam dibandingkan dengan itik AA, sedangkan untuk persilangan (AC dan CA) bau amisnya sangat rendah. Aroma bau amis/anyir dihasilkan pada masing-masing jenis itik, diduga juga adanya pengaruh gen-gen yang ada di kromosom kelamin Z.

KESIMPULAN

Ternak itik berpotensi sebagai sumber alternatif penghasil daging yang mudah diperoleh. Dalam upaya mengurangi off-odor pada daging itik dapat dilakukan dengan inovasi teknologi pakan dan genetik yang mudah dilakukan peternak. Pemberian ransum yang mengandung antioksidan atau melalui perbaikan genetik dengan persilangan dapat menurunkan off-odor daging itik sekaligus meningkatkan kualitas daging yang berdayasaing.

DAFTAR PUSTAKA

ANDARWULAN, N., R. BATARI, D.A. SANDRASARI dan H. WIJAYA. 2008. Identifikasi senyawa flavonoid dan kapasitas antioksidannya pada ekstrak sayuran indigenous Jawa Barat. Makalah Seminar pada “Half Day Seminar on Natural Antioxidants: Chemistry, Biochemistry and Technology”. Bogor, 16 September 2008. Biopharmaca Research Center-SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor, Bogor. ANDERSON, S.L.E., R.O. MYER, J.H. BRENDEMUH

dan L.R. MCDOWELL. 1995. The effect of excessive dietary vitamin A on performance and vitamin E status in swine fed diets verying in dietary vitamin E. J. Anim. Sci. 73: 1093 – 1098.

BAEZA, E. 2006. Effects of genotype, age, and nutrition on intramuscular lipids and meat quality. Symposium COA/INRA Scientific Cooperation in Agriculture, November 7 – 10, 2006, Taiwan. pp. 79 – 82.

BOU, R., F. GUARDIOLA, A. TRES, A.C. BARROETA and R. CODONY. 2004. Effect of dietary fish oil, and α-tocopheryl acetate and zinc supplementation on the composition and consumer acceptability of chicken meat. Poult. Sci. 83: 282 – 292.

CADENAS, E. 2004. Flavonoid. Review article. http://www.antioxidantes.com.ar/12/Ref00019 .htm. (6 Mei 2004).

DAMAYANTI, A.P. 2003. Kinerja Biologis Komparatif antara Itik, Entog dan Mandalung. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 75.

DITJEN PETERNAKAN dan KESEHATAN HEWAN. 2010. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. HARDJOSWORO, P.S., A.R. SETIOKO, P.P. KETAREN,

L.H. PRASETYO, A.P. SINURAT dan RUKMIASIH. 2001. Perkembangan teknologi peternakan unggas air di Indonesia. Pros. Lokakarya Unggas Air I, Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Ciawi, 6 – 7 Agustus 2001. Puslitbang Peternakan dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. hlm. 22 – 41.

HUSTIANY, R. 2001. Identifikasi dan Karakterisasi Komponen Off-Odor pada Daging Itik. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 78 hlm.

HUSTIANY, R., A. APRIYANTONO, J. HERMANIANTO dan P.S. HARDJOSWORO. 2001. Identifikasi komponen volatil daging itik lokal Jawa. Pros. Lokakarya Unggas Air I, Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai Peluang Usaha Baru. Ciawi, 6 – 7 Agustus 2001. Puslitbang Peternakan dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 192 – 201. JUN, K., O.H. ROCK and O. JIN MAN. 1996.

Chemical composition of special Chungnam Taehakkyo. J. Poult. Meat 23(1): 90 – 98. KILCAST, D. 1996. Sensory Evaluation of Taints and

Off-flavors. In: Food Taints and Off-flavours. SAXBY, M.J. (Ed.). Blackie Academic and Professional. Chapman and Hall, London. pp. 1 – 40.

KIM, G.D., J.Y. JEONG, S.H. MOON, Y.H. HWANG, G.B. PARK and S.T. JOO. 2006. Effects of muscle fibre type on meat characteristics of chicken and duck breast muscle. Division of Applied Life Science, Graduate School, Gyeongsang National University, Jinju, Gyeongnam 660 – 701, Korea. pp. 1 – 3.

(9)

LAMBELET, T., F. SAUCY and J. LŐLIGER. 1985. Chemical evidence for interactions between vitamin E and C. Experentia 41: 1384 – 1388. LEUNG, H.W., M.J. VANG and R.D. MAVIS. 1981.

The cooperative interactions between vitamin E and vitamin C in suppression of peroxidation of membrane phospholipids. Biochem. Biophys. Acta. 664(2): 266 – 272. MATITAPUTTY, P.R. 2012. Peningkatan Produktivitas

Karkas dan Kualitas Daging Itik Melalui Persilangan antara Itik Cihateup dengan Itik Alabio. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 130. MOUNTNEY, G.J. and C.R. PARKHURS. 1995. Poultry

Products Technology. 3rd Ed. Food Products Press. An Imprint of the Haworth Press Inc., New York.

PRASETYO, L.H., P.P. KETAREN dan P.S. HARDJOSWORO. 2005. Perkembangan teknologi budidaya itik di Indonesia. Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Pros. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Ciawi, 16 – 17 Nopember 2005. Kerjasama Balai Penelitian Ternak, Puslitbang Peternakan, Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) dan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 145 – 161. PURBA, M., E.B. LACONI, P.P. KETAREN, C.H.

WIJAYA dan P.S. HARDJOSWORO. 2010. Kualitas sensori dan komposisi asam lemak daging itik lokal jantan dengan suplementasi santoquin, vitamin E dan C dalam ransum. JITV 15(1): 47 – 55.

RANDA, S.Y., P.S. HARDJOSWORO, A. APRIYANTONO dan R. HUTAGALUNG. 2007. Pengurangan bau (off-odor) daging itik Cihateup dengan suplementasi antioksidan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 629 – 635.

RANDA, S.Y. 2007. Bau Daging dan Performa Itik Akibat Pengaruh Perbedaan Galur dan Jenis Lemak serta Kombinasi Komposisi Antioksidan (Vitamin A, C dan E) dalam Pakan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

RUKMIASIH, P.S. HARDJOSWORO, W.G. PILIANG, J. HERMANIANTO dan A. APRIYANTONO. 2010. Penampilan, kualitas kimia dan off-odor daging itik (Anas plathyrynchos) yang diberi pakan mengandung beluntas (Pluchea indica L. Less). J. Med. Pet. 33(2): 68 – 79.

RUKMIASIH. 2011. Penurunan bau amis (off-odor) daging itik lokal dengan pemberian tepung daun beluntas (Pluchea indica l.) dalam pakan dan dampaknya terhadap performa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

SCHEWE, T. and H. SIES. 2003. Flavonoids as protectants against prooxidant enzyme. http://www.uni-duesseldorf.de/WWW/Med Fak/PhysiolChem/index.html. (18 September 2008).

SETIOKO, A.R., D.A. KUSUMANINGRUM, ISTIANA, SUPRIYADI, E.S. ROHAENI, D.I. SADERI dan SURYANA. 2002. Performans itik Serati hasil inseminasi buatan di tingkat peternak. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi, 30 September – 1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 302 – 305.

SETIOKO, A.R. 2003. Keragaan itik Serati sebagai itik pedaging dan permasalahannya. Wartazoa 13(1): 14 – 20.

SMITH, D.P., D.L. FLETCHER, R.J. BURHR and R.S. BEYER. 1993. Peking duckling and broiler chicken pectoralis muscle structure and composition. J. Poult. Sci. 72(1): 202 – 208. SOEPARNO. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi

ke-4. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. hlm. 333.

SUPARYANTO, A. 2005. Peningkatan Produktivitas Daging Itik Mandalung melalui Pembentukan Galur Induk. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

WIDYAWATI, P.S. 2004, Aktivitas Antioksidan Tanaman Herba Kemangi (Ocimum basicillum Linn) dan Beluntas (Pluchea indica Less) dalam Sistem Model Asam Linoleat--Karoten. Laporan Penelitian Wima Grant, Unika Widya Mandala Surabaya. 30 hlm. WU, C.M. and S.E. LIOU. 1992. Volatile component

of water-boiled duck meat and Cantonese style roasted duck. J. Agric. Food Chem. 40: 838 – 841.

Gambar

Gambar 1. Proses oksidasi lemak pada bahan pangan  Sumber: O CKERMAN  (1999) dalam R UKMIASIH  (2011)
Gambar 1.  Profil off-odor daging itik berdasarkan analisis komponen utama (AKU)  Sumber: M ATITAPUTTY  (2012)

Referensi

Dokumen terkait

Demak Kota Wali yang menjadi tagline kota Demak, di lihat dari kondisi wilayah Demak dan unsur budaya kota Demak yang sangat agamis, Demak merupakan kerajaan islam

Dalam pengembangan pariwisata, Pemerintah daerah Tapanuli Utara selaku pengelola parawisata senantiasa memperhatikan sarana pendukung dalam meningkatkan kualiatas

Dari hasil studi wawancara dan studi lapangan mengenai objek wisata Alas Kedaton maka dikemukanan beberapa kesimpulan: (1) Alas Kedaton merupakan sebuah tempat

Sudjana (2013) menjelaskan bahwa kegiatan penilaian bertujuan untuk menjamin pelaksanaan pembelajaran agar sesuai terhadap kompetensi yang telah direncanakan,

Manfaat lain dari terapi latihan adalah meningkatkan stabilitas dengan melatih otot tonik, meningkatkan kekuatan otot terutama otot fisik, melatih sensomotorik

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan degradasi dari isolat bakteri yang diisolasi dari cacing tanah ( Lumbricus rubellus ) pada berbagai substrat lignin

Concord adalah hubungan antara subjek dengan kata kerjanya (verb) , atau pronoun dengan kata kerjanya, atau kata sifat (adjective) dengan kata yang diikutinya secara

Hal ini sejalan dan sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurwani (2016) yang menyatakan bahwa secara empiris variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif