• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dispepsia Fungsional

2.1.1 Defenisi Dispepsia Fungsional

Dalam konsensus Roma III (tahun 2006 dikutip dari Djojoningrat, 2009) yang khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefenisikan sebagai:

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.

2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.

3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.

2.1.2 Klasifikasi Dispepsia Fungsional

Berdasarkan kriteria Roma III gejala dispepsia fungsional terbagi dua:

a. Rasa penuh setelah makan (postprandial distress syndrome): meliputi rasa kembung, penuh, atau kenyang setelah makan

b. Rasa nyeri epigastrium (epigastric pain syndrome): meliputi rasa nyeri terbakar di epigastrium

Rasa penuh setelah makan dan rasa nyeri epigastrium dapat terjadi bersamaan pada orang yang menderita dispepsia fungsional. (Chan & Burakoff, 2010)

2.1.3 Patogenesis Dispepsia Fungsional

Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung, dismotilitas

(2)

gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor lingkungan, psikologis (Djojoningrat, 2009)

1.Sekresi Asam Lambung

Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk mencerna makanan. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500ml cairan lambung yang mengandung zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi karena cairan lambung karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor pelindung lambung (Ganong, 2003). Kasus dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut (Djojoningrat, 2009).

2.Dismotilitas Gastrointestinal

Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau duapertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati (Djojoningrat, 2009).

Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia dan merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam dispepsia fungsional. Gangguan pengosongan lambung dan fungsi motorik pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien dengan dispepsia fungsional. Sebuah studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional dan ganguan pengosongan lambung, ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal (Chan & Burakoff, 2010).

(3)

3.Hipersensitivitas viseral

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009). Beberapa pasien dengan dispepsia mempunyai ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak terbatas pada distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap stres, paparan asam, kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon, seperti kolesitokinin dan

glucagon-like peptide. Penelitian telah menunjukkan hipersensitivitas terhadap

distensi lambung sebanyak 50% pasien dengan dispepsia fungsional, jika dibandingkan dengan kontrol, pasien dengan dispepsia fungsional memiliki ambang yang signifikan lebih rendah untuk sensasi distensi lambung dan sensasi nyeri (Chan & Burakoff, 2010).

4.Gangguan akomodasi lambung

Pada keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Akomodasi lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus dengan pemeriksaan gastric

scintigraphy dan ultrasound (USG) (Chan & Burakoff, 2010).

5.Helicobacter Pylori

Peran infeksi Helicobacter Pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.pylori pada dispepsia fungsional dengan H.pylori positif yang gagal dengan pengobatan konstervatif baku (Djojoningrat, 2009).

(4)

5.Diet

Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan. Khususnya makanan berlemak telah dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah, alkohol, makanan pedas, coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff, 2010).

6.Faktor psikologis

Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan antara dispepsia fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial (Djojoningrat, 2009).

2.1.4 Diagnosa Dispepsia Fungsional

Dalam mendiagnosa dispepsia fungsional, terlebih dulu untuk menginterpretasikan kemungkinan etiologi seperti GERD, batu empedu, pankreatitis kronis, obstruksi, efek obat-obatan (NSADs). Beberapa hal yang dapat ditanyakan kepada pasien seperti riwayat operasi, riwayat keluarga dengan keganasan sistem pencernaan, konsumsi alkohol dan rokok, pola makan, stres, dan faktor psikologis (Chan & Burakoff, 2010). Langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi pankreas, dll), radiologi (barium meal, USG) dan endoskopi merupakan langkah paling penting (Djojoningrat, 2009).

Esofagogastroduoendoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan

(5)

tanda-tanda bahaya (alarm symptoms). Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS, khususnya dengan predominan konstipasi, mengalami keterlambatan pengosongan lambung sehingga akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala saluran pencernaan bagian atas yang menyerupai gejala dispepsia (Abdullah & Gunawan, 2012).

Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional Dispepsia fungsional*

Kriteria diagnostik terpenuhi bila poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: Salah satu atau lebih dari gejala-gejala dibawah ini

Rasa penuh setelah makan Perasaan cepat kenyang Nyeri ulu hati

Rasa terbakar di daerah ulu hati

Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi) saat endoskopi saluran cerna bagian atas.

*Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadinya sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

a.Postprandial distress syndrome*

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi:

Rasa penuh setelah makan yang menggangu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

*Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadinya sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

(6)

Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan

Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium b.Epigastric pain syndrome*

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi:

Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalikasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan sedang paling sedikit sekali dalam seminggu

Nyeri timbul berulang

Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium

Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosa kelainan kandung empedu dan sfingter Odd

*Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadinya sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrostrenal

Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa

Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan

2.2 Stres

2.2.1 Defenisi stres

Stres adalah respons manusia yang bersifat non spesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya (Selye, 1979). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2007 dikutip dari Hidayat, 2009) yang dimaksud dengan stres adalah gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan

(7)

oleh faktor luar atau ketegangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap tuntutan yang menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari (Hidayat, 2009).

2.2.2 Teori stres

Walter Cannon, (1875-1945), 1920an memperkenalkan studi sistematis hubungan antara stres dengan suatu penyakit. Stres yang menstimulir sistem syaraf otonomik, terutama sistem simpatetik, menimbulkan reaksi “fight or flight” pada binatang. Pada manusia, yang karena peradabannya tidak bisa melakukan keduanya, stres menyebabkan terjadinya suatu penyakit (dikutip dari Noorhana, 2010).

Harold Wolf (1982-1962), menjelaskan hubungan antara kondisi emosi spesifik dengan fisiologi pada saluran gastrointestinal. Sebelumnya, William Beumont (1785-1853), mengenali bahwa aliran darah ke perut dipengaruhi emosi. Hans Selye (1907-1982) mengembangkan model stres yang disebut sebagai General

Adaption Syndrome yang terdiri dari 3 fase, yaitu: fase reaksi alarm, fase pertahanan,

dimana pada fase ini diharapkan terjadi proses adaptasi, serta fase kelelahan. Stres yang dimaksud bisa berupa kondisi yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan. Diperlukan proses adaptasi untuk dapat menerima kedua tipe stres tersebut (dikutip dari Noorhana, 2010).

a.Fase reaksi alarm

Fase saat tubuh menggerakkan sistem saraf simpatetik untuk menghadapi ancaman langsung. Pelepasan hormon adrenal, epineprine, dan norepinephrine terjadi saat munculnya emosi kuat. Hormon-hormon ini menghasilkan lonjakan energi, ketegangan otot, gangguan sistem pencernaan, dan meningkatnya tekanan darah (Wade & Tavris, 2007).

b.Fase pertahanan

Saat tubuh berusaha menolak atau mengatasi stresor yang tidak dapat dihindari. Selama fase ini, respons fisiologis yang terjadi pada fase alarm terus

(8)

berlangsung, namun respons-respons tersebut membuat tubuh menjadi lebih rentan terhadap stresor-stresor lain. Dalam kebanyakan kasus, tubuh pada akhirnya akan beradaptasi terhadap stresor dan kembali ke kondisi normal (Wade & Tavris, 2007). c.Fase kelelahan

Saat stres yang berkelanjutan menguras energi tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap masalah fisik dan pada akhirnya akan memunculkan penyakit. Reaksi yang sama, yang memampukan tubuh merespons tantangan secara efektif pada fase alaram akan merugikan bila berlangsung secara terus-menerus (Wade & Tavris, 2007).

2.2.3 Sumber stres

Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber, dalam istilah yang lebih umum disebut stressor. Stresor adalah keadaan atau situasi, obyek atau individu yang dapat menimbulkan stres. Masalah penyesuaian atau keadaan stres dapat bersumber pada frustasi, konflik, tekanan, atau krisis (Hidayat, 2009).

1.Frustasi

Timbul bila ada aral melintang antara kita dan maksud (tujuan) kita, individu yang sedang berusaha mencapai kebutuhan mendadak timbul halangan yang merupakan frustasi baginya yang dapat menimbulkan stres padanya. Misalnya bila kita mau berpiknik lantas mendadak hujan turun. Ada frustasi yang dari luar, seperti: bencana alam, kecelakaan, kematian, norma-norma, adat istiadat, goncangan ekonomi, diskriminasi, persaingan, perubahan yang terlalu cepat. Frustasi yang datang dari dalam seperti: cacat tubuh, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga penilaian diri sendiri menjadi sangat buruk. Kecelakaan dan penyakit juga dapat merupakan frustasi dan dapat pula melemahkan daya tahan psikologik terhadap stres lain (Maramis, 2010).

(9)

2.Konflik

Menurut Marasmis (2010), terjadi bila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan sebagai berikut:

Konflik pendekatan-penolakan: individu dihadapkan pada suatu keadaan yang mengharuskan ia mengambil keputusan, tetapi ia tidak dapat, maju terus tidak berani, mundur juga tidak menyenangkan. Bila keadaan ini berlangsung lama atau mempunyai arti penting, maka stres yang timbul akan mengakibatkan dekompensasi mental.

Konflik pendekatan ganda: individu itu berusaha mencapai kedua-duanya, tetapi sukar baginya, ia harus melepaskan salah satu atau harus mengubah sikapnya terhadap salah satu.

Konflik penolakan ganda: individu itu tidak menghendaki kedua-duanya karena tidak menyenangkan baginya, tetapi ia harus memilih salah satu.

3.Tekanan

Tekanan sehari-hari biarpun kecil, tetapi bila tertumpuk-tumpuk, dapat menjadi stres yang hebat. Tekanan yang datang dari dalam seperti cita-cita yang terlalu tinggi sehingga kita terus-menerus berada di bawah tekanan. Contoh tekanan dari luar seperti orang tua menuntut anak mendapatkan nilai yang tinggi (Maramis, 2010).

4.Krisis

Suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stres pada seorang individu ataupun suatu kelompok, seperti: kematian, kecelakaan, penyakit yang memerlukan operasi, masuk sekolah untuk pertama kali (Maramis, 2010).

2.2.4 Stres pada mahasiswa

Awal program universitas melibatkan banyak perubahan dalam kehidupan dari seorang siswa SMA yang dapat menyebabkan stres. Hidup jauh dari rumah,

(10)

membuat transisi menjadi lebih independen dari kondisi yang kurang mendukung. Studi yang telah mencoba untuk mengidentifikasi sumber stres di kalangan mahasiswa kedokteran umum terdapat tiga bidang utama: tekanan akademik, isu sosial dan masalah keuangan (Barikani, 2007).

  Proses evaluasi terus menerus, pekerjaan yang melelahkan, berjuang untuk mendapatkan nilai tinggi, tujuan yang ingin dicapai dan lainnya bukan satu-satunya sumber stres bagi mahasiswa kedokteran. Potensi sumber stres bagi siswa dapat

mencakup (Ray & Joseph, 2010): 1. Stres akademik: materi yang akan dibahas dalam jangka waktu yang terbatas,

perubahan dalam cara belajar, kurangnya bimbingan yang tepat, gagal dalam ujian. 2. tekanan sosial: hubungan dengan kelompok sebaya,dosen, senior, perpindahan dari rumah, harapan orang tua, perubahan dalam media pendidikan.

3. Stres fisik: fasilitas asrama yang tidak memadai, makanan dll.

Respons orang bervariasi tergantung dari pengalaman belajar, gender, kondisi medis, dan kecenderungan genetis untuk mengalami tekanan atau masalah-masalah kesehatan (Wade & Tavris, 2007).

2.3 Hubungan stres dengan dispepsia fungsional

Rangsangan psikis/emosi secara fisiologi dapat mempengaruhi lambung dengan beberapa cara yaitu:

1.Sistem Neurotransmiter

Dua daerah otak primer yang terlibat dalam reaktivitas stres adalah hipotalamus dan lokus seruleus. Aktivasi hipotalamus oleh stres kemungkinan dimediasi oleh sistem (khususnya amigdala dan hipokampus) dan lokus seruleus di batang otak. Masukan pada amygdala yang diperkirakan berasal dari hippocampus, korteks cingulate dan bagian lain dari sistem limbik. Lokus ceruleus terletak di bagian pontine batang otak. Lokus ceruleus adalah sumber dari sebagian besar neurotransmiter norepinefrin stimulan pada sistem saraf. Sel ini memproyeksikan ke

(11)

daerah otak lainnya, melepaskan norepinephrine yang akan mengaktifkan sistem lain dan meningkatkan gairah dan kewaspadaan (Mertz, 2003).

Respons neurotransmiter terhadap stres mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus ceruleus, menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom. Stres juga mengaktivasi sistem serotonergik di otak dan neurotransmisi dopaminergik di jalur mesofrontal. Respon terhadap stres juga terjadi terhadap

corticotropin-releasing factor (CRF), glutamat dan gamma-amino butiric acid

(GABA) (Noorhana, 2010). 2.Jalur neurogen

Rangsangan konflik emosi pada kortek serebri mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nukleus vagus, nervus vagus dan kemudian ke lambung (Mudjaddid, 2009).

3.Jalur neurohormonal

Rangsangan pada kortek serebri diteruskan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini merangsang kortek adrenal dan kemudian menghasilkan hormon adrenal yang selanjutnya merangsang sekresi asam lambung (Mudjaddid, 2009).

Referensi

Dokumen terkait

Tablet floating membutuhkan tingkat cairan yang cukup tinggi di perut sehingga sistem dapat mengapung (200-250 ml), dan obat yang memiliki efek iritasi pada mukosa

Ulkus peptikum dapat disebabkan oleh (1) sekresi asam dan pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung, atau (2) berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalis untuk

Dispepsia mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas; meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi

Efek samping lain, seperti rasa tidak enak di perut, mual, dan perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari tidak lebih dari 325 mg

Prostaglandin yang banyak ditemukan pada mukosa lambung, dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat memegang peran penting pada pertahanan dan perbaikan sel epitel

Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak  Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak  enak/sakit di perut

Dispepsia fungsional merupakan salah satu kondisi fisik dengan gejala sakit atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas, rasa penuh, dan rasa cepat kenyang setelah

2 Gastritis penyakit maag adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya asam lambung yang berlebih atau meningkatnya asam lambung sehingga mengakibatkan imflamasi atau peradangan dari