• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Adat Mahar telah menjadi suatu momok yang menakutkan bagi sebagian besar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Adat Mahar telah menjadi suatu momok yang menakutkan bagi sebagian besar"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Adat Mahar telah menjadi suatu momok yang menakutkan bagi sebagian besar pemuda yang mau menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari oleh fakta yang bahwa sebagian besar pihak mempelai wanita pasti akan mematok mahar yang terbilang fantastis dan cukup tinggi bagi ukuran masyarakat kita yang mayoritas di dominasi oleh masyarakat berstatus ekonomi kelas bawah. Ini adalah fakta, dan kondisi ini di perparah oleh sebagian besar pihak mempelai wanita yang menganggap tingginya patokan jumlah mahar sebagai sebuah prestise.

Pada pihak mempelai wanita dalam hal ini tidak bisa disebut materialistis ataupun pragmatis, baik mempelainya ataupun orang tua mempelai yang bersangkutan, karena mereka hanya mengikuti adat dan pertimbangan lain yang didominasi oleh pengaruh adat yang kadang tidak memperhitungkan faktor afeksi.

Dalam masyarakat seperti masyarakat Batak, mahar disebut sebagai sinamot yang artinya biaya mahar dalam sistem adat Batak yang di berikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Istilah sinamot merupakan suatu bagian dalam pesta perkawinan yang akan dilangsungkan.

Besarnya sinamot di tentukan oleh tingkat ekonomi dan pendidikan yang sudah ditempuh oleh perempuan namun masih bisa di negosiasikan dalam acara marhata

sinamot. Dalam pesta perkawinan adat batak, pihak hula-hula (bride giver) akan

memegang peran yang maha tinggi karena telah memberikan putrinya kepada boru (bride

(2)

Oleh karena itu, dia harus disembah dan tabu untuk di tentang. Selanjutnya, dongan sabutuha adalah tempat bertukar pikiran sekalian dalam menunjang keberhasilan perhelatan perkawinan tersebut.

(http://sirajabatak.com/Penyederhanaan%20Adat%20Batak.htm)

Kalau dilihat dalam tata cara perkawinan masyarakat batak secara kerajaan, perkawinan tersebut di selenggarakan sesuai dengan musyawarah, adapun musyawarah tersebut dapat dilalui dengan tiga tingkatan yaitu :

1. Musyawarah dalam rumah tangga (tahi ungut-ungut/unung-unung nasibahue). Disini segala sesuatu penyelenggaraan acara di bahas pertama kali oleh anggota keluarga inti, yaitu suami istri, atau pun kalau ada anak-anak yang sudah dianggap dewasa. Dalam musyawarah ini, yang paling pokok di bicarakan adalah masalah dana (keuangan) untuk penyelenggara pesta besar.

2. Musyawarah keluarga besar (klan), yang kadang disebut dengan tahi sabagas, yaitu musyawarah yang diadakan dengan kaum kerabat terdekat untuk minta pertimbangan mengenai maksud yang akan diadakan oleh tuan rumah. Musyawarah ini sangat penting artinya, karena disini dibahas juga masalah dana yang dapat dibantu oleh kaum keluarga dekat. Serta rencana penyelenggaraan pesta besar (horja).

3. Musyawarah dengan tetangga sekampung, atau yang disebut dengan tahi godang parsahutaan, yaitu musyawarah dengan beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mewakili masyarakat kampung tersebut. Hal ini juga penting, karena selain kampong tersebut akan menjadi tuan rumah pelaksaan horja tersebut, juga akan ikut membantu pelaksaan pesta besar. Pada musyawarah tingkat tiga ini, yang

(3)

hadir diantaranya yaitu : kahanggi, anak boru, pisang rahut, mora, hatobangan, panusunan bulung, harajaon, dan orang kaya (bendahara).(khairuddin, 1997 : 91-92).

Dalam adat masyarakat Minang, mahar disebut sebagai uang jemputan, yaitu sejumlah uang yang mesti di bayarkan oleh pihak keluarga wanita kepada pihak keluarga laki-laki (berasal dari daerah Padang atau Padang Pariaman) sebanyak permintaan pihak keluarga laki-laki.

Uang jemputan yang mesti di bayarkan adalah tergantung kesepakatan dari ninik mamak pihak keluarga laki-laki, dan di pengaruhi sekali oleh status sosial yang disandang oleh calon pengantin laki-laki. Misalnya calon pengantin laki-laki seorang dokter, besarnya uang jemputan yang mesti di bayarkan bisa saja mendekati nilai 50juta rupiah bahkan lebih.

(http://gadissebrang.multiply.com/journal?&page_start=40).

Hal tersebut di atas bukan sesuai dengan anjuran syariat, bahkan saya melihat bahwa adat mahar di Aceh yang pada umumnya sangat besar dan memberatkan pihak laki- laki cenderung jauh dari tatanan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan. Kecenderungan tersebut semata- mata karena tuntutan peradatan yang sudah terlaksana secara turun- temurun di Tanah Serambi Mekkah ini.

Di satu sisi, adat mahar memang menghadirkan kemaslahatan karena menjadi suatu komoditi pasar yang kompetitif agar memotivasi para pemuda untuk bekerja keras dengan berbagai keterampilan ilmu dan usahanya. Dengan demikian mereka bisa mempersiapkan diri dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam keluarga.

(4)

Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia. Adat istiadat perkawinan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia. Dalam kebudayaan Indonesia, perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan harus mengikuti pola kebudayaan yang ketat.

Perkawinan bukan hanya bersatunya dua individu, namun lebih jauh adalah bersatunya dua keluarga besar. Perkawinan tidak boleh dilakukan serta merta dan tiba-tiba. Ia menjalani beberapa proses sehingga sampai pada bersatunya dua sejoli dalam ikatan rumah tangga.

Dalam sistem perkawinan yang terdapat dalam masyarakat Aceh biasanya yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan Bilateral. Dimana adat istiadat telah menetapkan sesudah menikah bersifat Matrilokal yaitu, yang mana setelah menjadi suami akan tinggal dirumah keluarga mempelai perempuan (istri) dalam kurun waktu lebih kurang satu tahun. Sedangkan anak adalah tanggung jawab ayah sepenuhnya.

Dalam sistem-sistem tersebut bahwa tampaknya terdapat kombinasi antara budaya minangkabau dengan Aceh itu sendiri. Garis keturunan perempuan juga diperhitungkan berdasarkan prinsip Bilateral, yang sedangkan adat telah ditetapkan sesudah menikah adalah Uxorilikal (yaitu tinggal didalam lingkup keluarga pihak mempelai perempuan).

Pada masa lampau masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial, antara lain empat lapisan/ golongan masyarakat yaitu :

(5)

1. Golongan keluarga sultan merupakan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah “ampon” untuk laki-laki dan “cut” untuk perempuan.

2. Golongan uleebalang merupakan orang-orang dimana keturunan-keturunan dari

bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil dibawah kerajaan.

3. Golongan Ulama yaitu merupakan pemuka agama ang lazim disebut (teungku

atau tengku).

4. dan, Golongan rakyat biasa.

Demikianlah pelapisan-pelapisan yang terjadi dalam suku Aceh pada masa kesultanan dulu. Pada saat zaman sekarang ini adat istiadat yang dijalankan sekarang ini dengan adat masa lalu sudah mengalami perbedaan yaitu bertambah modernnya masyarakat serta tata cara dalam menyusun adat istiadat perkawinan.

Dalam sistem keluarga di Aceh, apabila salah seorang anaknya sudah dewasa, para orang tua sudah mulai sibuk memikirkan untuk mencari jodoh anaknya. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, secara dini mereka para orang tua mulai memperhatikan dan menyelidiki muda mudi yang siap untuk berumah tangga.

Pada umumnya orang tua tempo dulu yang pertama diselidiki untuk calon jodoh anaknya adalah ahklak, ketaatan beribadah, pendidikan, pekerjaan, serta keturunan dari mana ia barada. Biasanya keturunan kurang dipersoalkan, asalkan mencapai tujuan yang dimaksud dari ketentuan-ketentuan adat perkawinan, yaitu salah satu tercapainya mas kawin maka suatu perkawinan dapat dijalankan sebagaimana mestinya.

(6)

Tidak ubahnya saat zaman sekarang, sebagian dari pihak orang tua juga masih melihat status yang dimiliki, pendidikan bahkan jabatan dalam pekerjaan. Hal itu dilakukan untuk kepentingan dan yang terbaik untuk anaknya. Agar kelak hidup mereka tanpa kekurangan apa pun.

Dalam acara permulaan perkawinan, tahap pelamaran (ba ranup), biasanya dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki sebelumnya akan mengutuskan seorang yang dirasa bijak dalam berbicara, yang biasa disebut “teulangkee” yaitu sebagai pengurusan dalam peminangan.

Jika theulangke telah mendapat gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud untuk melamar gadis tersebut.

Bila lamaran diterima, keluarga pihak laki-laki akan datang untuk “peukeong

haba”(membicarakan kapan dilangsungkan pernikahan), termasuk menetapkan seberapa

besar uang yang akan diminta (disebut jeulamee), berapa banyak “jamee”(tamu) yang akan diundang, dan ketentuan hari datangnya “intat raneueb peukong haba”. Acara ini sekaligus “jak bie tanda”(upacara pertunangan).

Pada acara ini pihak laki-laki akan mengantar berbagai makanan khas daerah Aceh, seperti buleukat kuneeng dengan isi tumphou (pulut kuning serta isi yang dibuat dari tepung yang telah diolah), “lee macam boeh kayee” (aneka buah-buahan), serta seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuai dengan kemampuan keluarga laki-laki. Dalam adat Aceh, “jinamee”(mahar) adalah pemberian wajib seorang suami kepada calon istrinya.

(7)

Jumlah jinamee sangat variatif antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disesuaikan dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan kemampuan laki-laki. Jinamee ini tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat menjadi aib bagi keluarga tersebut (Muhammad Umar, 2006 : 159).

Di Krueng Manee Kecamatan Buara Batu Aceh Utara, jinamee yang harus dibayar oleh laki-laki kepada perempuan biasanya berkisar dari 15, 30, sampai 50 mayam (1 mayam = 3,3 gram). Di Aceh Pidie, jinamee yang harus dibayar laki-laki kepada perempuan lebih dari 20 mayam.

Namun, keluarga perempuan biasanya menyediakan rumah untuk mereka setelah menikah. Sedangkan di Aceh selatan umumnya dibawah 10 mayam, tetapi ditambah dengan “peng hangoh” (uang tunai). Pihak perempuan tidak menyediakan rumah. Bahkan ada dibeberapa daerah Aceh lainnya hanya 1-2 mayam saja, tanpa tambahan “peng hangoh” (uang tunai).

Suatu tradisi pada orang Aceh di dalam acara pesta dalam peresmian pernikahan biasanya acara makan dan minum sangat bervariatif. Perbedaannya cukup mencolok dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh, lauk pauk yang biasa dimakan bercitra rasa seperti masakan India.

Lauk pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Selain lauk pauk yang disebutkan diatas, yang termasuk dalam ciri khas makanannya adalah gulai kambing (kari kambing), “sie reboih”(daging sapi/kambing yang direbus dan bercampur dengan jeruk perut atau jeruk nipis), “keumamah”(ikan rebus yang dicampur air asam belimbing), “eungkoet paya”(ikan paya), mie aceh, dan martabak.

(8)

Selain itu, juga ada nasi ciri khas Aceh yaitu bu minyeuk (nasi gurih atau nasi minyak) serta tradisi minum kopi.

Dari pemaparan latar belakang di atas maka, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini agar mengetahui makna jeulamee (mahar) dalam penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan Suku Aceh di Krueng Manee Kecamatan Muara Batu Aceh Utara.

1.2. Perumusan Masalah

Guna meningkatkan arah jalannya penelitian maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang ada. Dengan itu, Suharsini Arikanto mengatakan bahwa “agar penelitian dapat dilakukan dan dilaksanakan dengan sebaiknya maka, peneliti harus merumuskan masalah yang ada sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus pergi, dan dengan apa” (Arikanto, 2002 : 22).

Berdasarkan uraian diatas maka, penulis merumuskan masalah sebagai beriku : 1. Bagaimana Makna Mahar (jeulamee) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada

sistem Perkawinan Suku Aceh ?

2. Berapakah Jumlah Mahar (jeulamee) yang berlaku pada saat sekarang ini di Suku Aceh ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Makna Mahar (jeulamee) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada sistem Perkawinan Suku Aceh ?

(9)

2. Untuk mengetahui berapakah Jumlah Mahar (jeulamee) yang berlaku saat sekarang ini di Aceh ?

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memperluas pengetahuan bagi peneliti, akademi, dan masyarakat sehubungan dengan Makna Jeulamee (mahar) dalam penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan Suku Aceh di Krueng Manee Aceh Utara.

2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi hasil penelitian serta juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian terkait selanjutnya, serta diharapkan dapat pula memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat sehubungan dengan jeulamee bagi perempuan Aceh yang berada dalam ruang lingkup keluarga Suku Aceh di Krueng Manee.

1.5. Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan dimana kelompok atau individu menjadi pusat perhatian (Singarimbun,

1989 : 33).

Konsep sangat diperlukan dalam penelitian agar dapat menjaga masalah atau menjadi pembatasan masalah dan menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan defenisi yang dapat mengaburkan penelitian. Beberapa konsep yang dibatasi dengan pendefenisiannya secara operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(10)

1. Makna adalah sesuatu penghargaan yang diserahkan oleh laki-laki kepada perempuan dan mempunyai arti untuk bertujuan memiliki dan menyimpannya.

2. Jeulamee (mahar) adalah pemberian wajib yang berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah; mas kawin.

3. Penghargaan adalah suatu pemberian penghormatan yang diberikan kepada seseorang yang dikagumi dan disenangi.

4. Keluarga adalah suatu wadah atau tempat untuk berhubungan antara ayah, ibu,dan anak. Serta sebagai rangkaian tali hubungan antara anggota-anggota keluarga lainnya. Keluarga juga merupakan kelompok pertama yang mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada sianak dan disinilah dialami antar aksi dan disiplin pertama yang dikenalkan kepada anak dalam kehidupan social.

5. Istri adalah hasil pasangan nikah antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai peran penting dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

6. Sistem adalah tata cara atau aturan yang disusun atas dasar syarat dan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat.

(11)

7. Perkawinan adalah ikatan antara laki-laki dan perempuan, namun lebih jauh adalah bersatunya dua keluarga besar. Dalam kebudayaan Indonesia, perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan harus mengikuti pola budaya yang ketat.

8. Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka, sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian.

Referensi

Dokumen terkait

Apakah kemungkinan yang akan berlaku sekiranya semua negara mengamalkan prinsip tidak mahu menjaga tepi kain orangB. Perdagangan antarabangsa akan berkembang

Selain itu, sebelumnya perusahaan diketahui belum pernah melakukan pengukuran waktu kerja dan tidak memiliki waktu baku yang dapat digunakan sebagai acuan, metode ini

Pengetahuan mengenai keparahan sirosis hati dengan melihat konsentrasi kadar fibrinogen plasma dan hubungannya menurut skor MELD diharapkan dapat sebagai pemeriksaan

Pasien mengharapkan bahwa dokter dapat respek, penuh perhatian dan terbuka untuk menerima atau mendengarkan apa yang dirasakan pasien, dari segi provider , diperlukannya

Setelah ikan masuk ke dalam kantong, maka rangkaian jaring kaki panjang dan kaki pendek secepat mungkin dilepaskan dari jaring kantong, kemudian jaring kantong

platynota di Sumber Belajar Ilmu Hayati (SBIH) Ruyani yang nantinya akan dilepas di area konservasi kampus UNIB, aklimasi ini dilakukan untuk melihat bagaimana

Faktor penghambat Guru Pendidikan Agama Islam dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual siswa Beberapa faktor penghambat yang dialami Guru Pendidikan Agama Islam

Pada eksperimen ini dicari beberapa eksplorasi bentuk dari kombinasi pada teknik coiling dengan teknik lattice. Teknik lattice yaitu proses serut bambu untuk