• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Sejarah Singkat Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Sejarah Singkat Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Singkat Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar

Menurut cerita turun temurun, pada tahun 1957 pusat Kasepuhan, pindah ke Kampung Cikaret (Sirnaresmi), untuk kemudian ke Kampung Ciganas (Sirna Rasa) pada tahun 1972 sebelum ke Kampung Lebak Gadog (Linggar Jati) tahun 1982. Pada tahun 1983 mereka pindah lagi ke Kampung Datar Putat (Cipta Rasa) dan terakhir pada 2000 ke Kampung Cikarancang (Ciptagelar) sampai sekarang. Sebagaimana diungkapkan Suganda (2013: 35) bahwa perpindahan yang begitu sering dan mencakup wilayah yang luas ini adalah sebagai upaya untuk menghapus jejak mereka dari kejaran pihak Kesultanan Banten. Hal lain dilakukan karena leluhur masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dulunya tetap tidak mau tunduk di bawah struktur kekuasaan Banten.

Awal perpindahan dimulai dari leluhur mereka, yaitu Aki Buyut Jasiun memindahkan Kampung Gede dari Tegallumbu ke Bojong Cisono (Sukabumi) yang menggantikan ayahnya yaitu Aki Buyut Arikin. Aki Jasiun mempunyai dua orang anak, yaitu Aku Buyut Las atau Aki Buyut Rusdi dan Nini Buyut Ari. Pengganti Aki Buyut Jasiun adalah Aki Buyut Rusdi. Aki Buyut Rusdi memindahkan kedudukan Kampung Gede ke daerah Cicemet (Sukabumi). Pada tahun 1957 Aki Buyut Rusdi memindahkan pusat Kasepuhan (Kampung Gede) ke Cikaret. Selanjutnya, terjadi perubahan nama Kampung Cikaret menjadi Kampung Sirnaresmi. Aki Buyut Rusdi mempunyai empat orang anak, yaitu Nini Buyut Lasm atau Ma Anom, Ama Sup, Abah Ardjo, dan yang keempat tidak disebutkan namanya. Abah Ardjo atau Ki Ardjo kemudian menggantikan ayahnya, Aki Buyut Rusdi menjadi Sesepuh Girang Kasepuhan. (http://www.disparbud.jabarprov.go.id, diakses pada tanggal 14 Juli 2019, pada pukul 21:05 WIB).

Pada saat menjadi sesepuh girang, Abah Ardjo beberapa kali memindahkan lokasi pusat Kasepuhan yang disebut Kampung Gede. Pertama, Abah Ardjo

(2)

2 memindahkan Kampung Gede dari Kampung Cidamar ke sebuah kampung di sekitar Kecamatan Cisolok. Kedua, Ki Ardjo lalu memindahkan lagi ke Kampung Ciganas. Kampung Ciganas mengalami perubahan nama menjadi Sirnarasa. Ketiga, setelah bermukim selama 8 tahun di Kampung Ciganas, Ki Ardjo memindahkan Kampung Gede ke Kampung Linggarjati. Keempat, Ki Ardjo memindahkan Kampung Gede ke Kampung Ciptarasa. Ki Ardjo pernah menikah sebanyak tujuh kali dan mempunyai anak tiga belas orang. Dari isteri keenam yang bernama Ma Tarsih mempunyai tiga orang anak, yaitu Encup Sucipta, Lis, dan Lia. Dari isteri ketujuh yang bernama Ma Isah mempunyai enam anak. Setelah Ki Arjo meninggal, anak pertama dari Ma Tarsih yaitu Encup Sucipta, menggantikan kedudukannya sebagai sesepuh girang yang dikenal sebagai Abah Anom. Abah Encup Sucipta yang lebih dikenal dengan nama Abah Anom (Bapak Muda) karena saat dia menerima jabatan sesepuh girang masih berusia muda yaitu 17 tahun. Jabatan sesepuh girang bersifat turun temurun dan selalu diwariskan kepada anak laki-Iaki (tidak harus yang sulung). (http://www.disparbud. jabarprov.go.id, diakses pada tanggal 14 Juli 2019, pada pukul 21:08 WIB).

Selain Kasepuhan Ciptagelar, di daerah Banten dan sekitamya terdapat beberapa masyarakat yang menamakan dirinya sebagai kasepuhan, antara lain Kasepuhan Urug (Bogor Selatan), Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Ciherang, Kasepuhan Cicarucub, dan Kasepuhan Cisitu (semua berada di Banten Selatan) serta Kasepuhan Sirnaresmi (Sukabumi). Semua kasepuhan tersebut diikat oleh sebuah lembaga persatuan yang disebut Kesatuan Adat Banten Kidul. Pusat kepemimpinan Kesatuan Adat Banten Kidul berada di Kasepuhan Ciptagelar dengan ketuanya Abah Anom Encup Sucipta (Abah Anom) yang sekarang dipimpimpin oleh putranya, yakni Abah Ugi. Perpindahan yang terjadi pada masyarakat kasepuhan Ciptagelar, menurut para pemuka Kasepuhan Ciptagelar sebagaimana diungkapkan Suganda (2013: 36) merupakan bentuk upaya napaktilas dan mengurus wilayah adat Kasepuhan, yang terletak dalam tiga kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi dan Lebak dan berada di seputar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Menurut cerita turun temurun, suatu saat kelak

(3)

3 masyarakat Kasepuhan Ciptagelar percaya mereka secara bersama-sama dengan Kasepuhan Citorek dan Cicarucub yang ketiganya memiliki hubungan kekerabatan, akan kembali lagi ke Pusat Kerajaan Pajajaran di Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat.

Perpindahan masyarakat Kasepuhan dari Ciptaresmi ke daerah lain yang dikenal sebagai Kasepuhan Ciptagelar sekarang ini berasal dari wangsit (petunjuk gaib) yang diterima Abah Anom (Bapak Encup Sucipta). Hingga sepeninggal Abah Anom, kepemimpinan Kasepuhan Ciptagelar kemudian dilanjutkan oleh Abah Ugi yang merupakan putra dari Abah Anom, hingga saat ini. Ciptagelar memiliki makna bahwa Kasepuhan telah saatnya untuk membuka diri pada budaya luar. Arti Ciptagelar kemudian merujuk pada proses menggelarkan (membuka) diri, yang terkait juga makna filosofis bahwa adat Ciptagelar telah ada pada posisi dipertunjukkan pada budaya lain mengenai kearifannya. Ciptagelar juga dapat bermakna kepasrahan dalam menyerahkan dan membuka diri. Oleh karena itulah perpindahan kampung adat bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya.

1.2 Latar Belakang Penelitian

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan, yang dimana bisa dipastikan dengan budayanya yang beragam. Berbagai jenis budaya, seperti rumah adat, seni tari, seni musik, pakaian, nilai adat, bahasa, dan yang lainnya, memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda di setiap daerah. Bukan hanya budaya yang beragam, Indonesia juga memiliki suku yang beragam. Bahkan dalam suku yang sama terdapat perbedaan ritual dan keyakinan yang akhirnya membuat Indonesia menjadi kaya akan budaya. Kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur dan diterapkan dari generasi ke generasi, membuat tidak sedikit masyarakat yang sampai saat ini masih menerapkan adat-istiadat kebudayaan leluhur demi menjaga kearifan lokal.

Salah satu perbedaan ritual dan keyakinan yang terdapat dalam suku yang sama di Indonesia, yaitu suku Sunda. Suku Sunda adalah salah satu masyarakat

(4)

4 etnis yang bertempat tinggal di sebelah Barat pulau Jawa. Dalam pandangan antropologi budaya, Koentjaraningrat (dalam Dewantara, 2013:89) menyebutkan bahwa suku Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Sunda beserta dialeknya sebagai bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari dan berasal atau bertempat tinggal di Jawa Barat. Tidak sedikit masyarakat suku Sunda yang masih menggunakan bahasa Sunda beserta dialekenya, baik itu di kota maupun di kampung, seperti yang digunakan oleh masyarakat kampung adat Kasepuhan Ciptagelar.

Kampung adat Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu kelompok masyarakat bersuku Sunda dari banyaknya masyarakat bersuku Sunda lainnya di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa kampung adat, diantaranya Kampung Naga, Kampung Cirendeu, Kampung Pulo, Kampung Kuta, dan Kasepuhan Ciptagelar. Kampung-kampung adat tersebut memiliki ciri khas masing-masing yang menunjukkan perbedaan tentang penerapan budaya dalam kehidupan sehari-hari, walaupun suku etnisnya sama. Selain penerapan budaya yang berbeda, keterbukaan akan era globalisasi pada masyarakat adatpun berbeda-beda, ada yang menutup diri, ada yang membatasi, ada yang sangat terbuka, dan ada juga yang mempelajari suatu teknologi untuk diciptakan sendiri dan dikembangkan demi menjaga kearifan lokal, seperti kampung adat Kasepuhan Ciptagelar. Karakteristik masing-masing kampung adat akan dijelaskan pada tebel di bawah ini:

Tabel 1.1 Kampung Adat Suku Sunda di Jawa Barat

No Kampung Adat Lokasi Keunikan Terbuka pada globalisasi

1. Kasepuhan

Ciptagelar Sukabumi

Larangan dalam menjual beras ataupun bahan-bahan makanan yang terbuat dari beras dan berpindah tempat (nomaden) setelah kepala adat

mendapatkan wangsit

Sangat terbuka dengan era globalisasi, seperti menciptakan teknologi saluran televisi sendiri dan menciptakan pembangkit listrik kecil dengan memanfaatkan energi matahari dan air

2. Kampung Kuta Ciamis

Larangan membuat rumah dengan atap genting,

Terbuka dengan

globalisasi yang diwakili oleh adanya televisi,

(5)

5 mementaskan

wayang, dan membuat sumur di rumah

kulkas, aliran listrik, dan handphone

3. Kampung Pulo Garut

Jumlah rumah yang ada hanya 6 dan satu masjid, yang penghuninya tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga

Terbuka dengan

globalisasi yang diwakili oleh adanya televisi, kulkas, aliran listrik, dan handphone 4. Kampung Cirendeu Cimahi Makanan pokoknya bukan nasi, melainkan dari singkong yang disebut rasi Terbuka dengan globalisasi yang mana masyarakatnya memegang prinsip "ngindung ka waktu, mibapa ka zaman", yang artinya tak melawan arus perkembangan zaman

5. Kampung Naga Tasikmalaya

Jumlah rumah yang ada tidak bertambah ataupun berkurang dan tetap bertahan pada angka 111

Membatasi globalisasi, masih menggunakan lampu tempel dan menggunakan setrika dengan bahan bakar arang

Kampung-kampung adat yang telah disebutkan di atas, semuanya masih melakukan upacara ritual, melaksanakan adat istiadat, serta menjaga kearifan lokal di masing-masing kampung adat. Tabel di atas menunjukkan adanya perbedaan antar kampung adat di Jawa Barat dalam keterbukaan terhadap teknologi dan budaya luar, seperti kampung adat di Sukabumi yaitu Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar adalah komunitas masyarakat adat yang memiliki konsep keseimbangan dalam kehidupannya yang berfokus pada padi. Mereka menganggap bahwa padi adalah sebuah kehidupan, dimana manusia hidup oleh padi, begitupun padi hidup oleh manusia. Karena konsep kehidupan yang seperti itu, maka ditetapkan peraturan bahwa dilarang keras dalam menjual beras. Dan barang siapa yang menjual beras atau makanan yang berbahan beras kepada orang lain, mereka percaya bahwa orang tersebut akan mendapatkan mala petaka. Selama proses penanaman padi hingga akhirnya bisa dikonsumsi, mereka masih menggunakan proses tersebut dengan cara tradisional seperti tidak menggunakan teknologi canggih. Di setiap proses tersebut juga selalu dilakukan ritual, baik upacara adat, ataupun doa-doa.

(6)

6 Kampung adat Kasepuhan Ciptagelar dikenal sebagai komunitas masyarakat yang masih tetap mematuhi aturan adat istiadat dan melaksanakannya di kehidupan sehari-hari, seperti menggunakan bahasa Sunda dalam setiap percakapan, para perempuan menggunakan kebaya dan kain batik/samping, para laki-laki menggunakan baju hitam (pangsi) dan ikat batik di kepala, berbagai macam peralatan rumah tangga yang masih tradisional, bangunan rumah yang berbentuk rumah panggung, dan mengikuti berbagai ritual upacara yang diselenggarakan, walaupun era globalisasi sudah muncul ke lingkungan masyarakat.

Era globalisasi yang telah masuk ke dalam lingkungan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar diwakili oleh adanya saluran televisi, handphone, laptop, dan koneksi internet. Bahkan saat ini, di Kasepuhan Ciptagelar menyediakan koneksi internet melalui jaringan wi-fi. Selain itu, mereka juga memiliki akun social media, seperti Instagram dan Facebook. Beberapa barang elektronik pun sudah digunakan oleh mereka untuk keperluan di dalam rumah, seperti kulkas, kompor, dan setrika. Sebagian dari mereka juga memiliki kendaraan seperti motor dan mobil untuk mempermudah perjalanan mereka ke tempat lain. Dalam konteks kesenian pun, mereka menggelar suatu acara dengan menyajikan musik dangdut.

Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar sangat terbuka dengan teknologi dan budaya luar. Meskipun terbuka dengan teknologi dan budaya luar, mereka tetap patuh mengikuti tradisi dan adat istiadat yang berlaku di Kasepuhan Ciptagelar. Ketaatan yang mereka lakukan terhadap tradisi dan istiadat merupakan sebagai bagian dalam menjaga kearifan lokal. Menurut Wagiran (dalam Purnomo, 2015:52), pengertian kearifan lokal adalah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lingkungan yang hidup di dalam masyarakat lokal, bersifat dinamis, mempertimbangkan keberlanjutan, dan diikat dalam komunitasnya.

Tekad yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjaga kearifan lokal di era globalisasi, membuat penulis tertarik untuk meneliti

(7)

7 lebih lanjut dan mempelajari bagaimana cara mereka berinteraksi dan berkomunikasi dalam menjaga kearifan lokal di era globalisasi melalui komunikasi keluarga di Ciptagelar. Komunikasi dalam keluarga mencakup komunikasi suami dan istri, komunikasi antara orang tua dan anak (Wulan & Wahyuni, 2015: 80). Keluarga merupakan suatu kelompok yang anggotanya lebih sedikit dari masyarakat yang di mana saling berkegantungan untuk mencapai tujuan tertentu, sebagaimana diungkapkan oleh Bailon dan Maglaya (dalam Ali, 2010: 5), keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya dengan memiliki peran masing-masing untuk menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. Dengan begitu, keluarga memiliki fungsi, sesuai dengan teori McMaster Model of Family Functioning (MMFF) (dalam Segrin & Flora, 2011: 20-21) yang mengatakan bahwa fungsi keluarga memiliki enam dimensi, yaitu penyelesaian masalah (problem solving), komunikasi (communication), peran (roles), tanggapan afektif (affective responsiveness), keterlibatan afektif (affective involvement), dan pengendalian perilaku (behavioral control). Dalam penelitian ini, fungsi keluarga masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dapat dijelaskan bahwa orangtua mengontrol perilaku anak-anaknya untuk mematuhi peraturan adat yang berlaku, orangtua juga melibatkan anaknya untuk mengikuti aturan adat yang berlaku dengan cara memberitahu sejak usia dini bahwa apa saja peraturan adat yang wajib dipatuhi, karena setiap keluarga di Kasepuhan Ciptagelar memiliki peran masing-masing dalam sistem kemasyarakatan di Kasepuhan Ciptagelar yang diturunkan secara terus menerus kepada generasi selanjutnya, dengan begitu, terdapat komunikasi yang terjadi antara orangtua dan anak dalam mempertahankan kearifan lokal berdasarkan garis keturunannya di era globalisasi.

Era globalisasi sangatlah berbeda dengan zaman dahulu. Di zaman dahulu orangtua lebih mudah untuk memberitahu dan menjelaskan kepada anak mengenai tradisi dan adat istiadat, karena belum ada hal yang mengganggu anaknya seperti di zaman ini yang dimana anak dapat mengadopsi budaya luar

(8)

8 melalui teknologi informasi. Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu (Wulan & Wahyuni, 2015: 80). Dengan begitu, orangtua memiliki tantangan untuk mewariskan pengetahuan tradisi dan adat istiadat. Oleh karena itu, komunikasi yang terjadi antara orangtua dan anak di Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar dianggap penting, karena melalui komunikasi dalam keluarga, anak dapat mengetahui kearifan lokal setempat dengan cara orangtua memberitahunya dan menjelaskannya sejak kecil, sehingga sang anak paham dengan nilai adat yang berlaku dan mau mengikuti peraturan adat yang ada di Kasepuhan Ciptagelar.

Komunikasi keluarga yang terjadi pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang terbuka dengan adanya teknologi, namun tetap mematuhi tradisi dan adat istiadat yang berlaku, merupakan salah satu bentuk penerapan dalam mempertahankan kearifan lokal di era globalisasi. Melalui interaksi dan komunikasi yang terjadi di dalam keluarga menghasilkan bagaimana pola komunikasi keluarga itu hidup dan diatur sebagai sebuah sistem dari peristiwa komunikasi. Salah satu ruang lingkup kajian etnografi komunikasi menurut Hymes (dalam Kuswarno, 2011: 14) yaitu pola komunikasi. Menurut Djamarah (dalam Hariyani, 2013: 27), pola komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat, sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami. Dengan begitu, bentuk penerapan dalam menjaga kearifan lokal oleh keluarga pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, akhirnya membentuk pola komunikasi keluarga.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori milik Koerner dan Fitzpatrick tentang Pola Komunikasi Keluarga/Revised Family Communication Patterns (RFCP) yang dikembangkan oleh McLeod dan Chaffee (1972) (dalam Segrin & Flora, 2011: 50) yang mengemukakan bahwa, seiring berjalannya waktu, keluarga membentuk pola komunikasi, meskipun pola ini dapat berubah selama bertahun-tahun. Dua orientasi komunikasi yang mendasar, berkontribusi pada pola ini yang kemudian kedua orientasi ini diberi nama dengan orientasi

(9)

9 konformitas atau kesesuaian/kepatuhan dan orientasi percakapan. Orientasi konformitas dapat dijelaskan sebagai sebuah pengaruh sosial – kondisi dimana seseorang mengubah sikap dan perilakunya agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Orientasi konformitas/kesesuaian (conformity orientation) dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu konformitas tinggi (high conformity), dan konformitas rendah (low conformity). Orientasi konformitas tinggi ialah hal yang mengacu pada sejauh mana keluarga menciptakan suasana yang menekankan kesamaan sikap, nilai, dan kepercayaan. Sedangkan orientasi konformitas rendah ialah orientasi yang mengacu pada ketidaksamaan sikap dan kepercayaan, individualitas yang lebih besar, dan keunikan serta independensi anggota keluarga. Dalam interaksi konformitas tinggi juga menekankan adanya harmonisasi, penghindaran konflik, saling ketergantungan jaringan, dan kepatuhan pada orang tua. Sedangkan orientasi percakapan (conversation orientation) mengacu pada sejauh mana keluarga menciptakan suasana dimana semua anggota keluarga didorong untuk berpartisipasi secara bebas dan sering dalam interaksi tanpa batasan waktu yang dihabiskan dan topik yang dibahas (percakapan tinggi), namun juga dapat mengacu pada interaksi yang kurang sering dengan hanya beberapa topik yang dibahas secara bebas (percakapan rendah). Percakapan tinggi dalam keluarga dapat berupa berbagi banyak kegiatan, pikiran, dan perasaan.

Penjagaan kearifan lokal melalui interaksi dan komunikasi dalam keluarga bahwa tradisi dan adat istiadat tetap terlaksana meskipun adanya teknologi di lingkungan sekitar, tetapi kearifan lokal setempat tetap diturunkan secara terus menerus berdasarkan garis keturunannya, menunjukkan keunikan tersendiri pada keluarga masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Hal ini yang menjadikan penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pola komunikasi keluarga pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjaga kearifan lokal di era globalisasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis akan menjelaskan lebih mendalam mengenai pola komunikasi keluarga pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjaga kearifan lokal di era globalisasi.

(10)

10

1.3 Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah: “Bagaimana pola komunikasi keluarga pada masyarakat adat di Kampung Gede, Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi dalam menjaga kearifan lokal di Era Globalisasi?”

1.4 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka penulis mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana orientasi konformitas yang dilakukan orangtua pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjaga kearifan lokal?

2. Bagaimana orientasi percakapan yang dilakukan orangtua pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjaga kearifan lokal?

1.5 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui orientasi konformitas yang dilakukan orangtua pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjaga kearifan lokal. b. Untuk mengetahui orientasi percakapan yang dilakukan orangtua pada

masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjaga kearifan lokal.

1.6 Kegunaan Penelitian

1.6.1 Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan ilmu pengetahuan bagi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Bisnis Universitas Telkom, khususnya mengenai pola komunikasi keluarga. Selain itu, penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat

(11)

11 digunakan oleh peneliti selanjutnya sebagai bahan referensi penelitian yang ingin meneliti bidang kajian yang sama dengan penelitian ini.

1.6.2 Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar untuk memahami bagaimana pola komunikasi keluarga terkait kearifan lokal yang terus dijaga. Penelitian ini juga dapat menjadi dorongan bagi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar untuk dapat mengembangkan interaksi dan komunikasi yang efektif dari generasi ke generasi selanjutnya, sehingga pesan-pesan terkait tradisi dan adat istiadat dapat diterima dan terus terjaga kearifan lokalnya. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman pada masyarakat lainnya mengenai pola komunikasi keluarga pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar sebagai acuan untuk mempertahankan dan menjaga kearifan lokal di tengah arusnya zaman yang terus berkembang.

1.7 Waktu dan Periode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pra-riset, observasi, dan wawancara kepada narasumber terkait komunikasi keluarga di Kampung Gede, Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi dalam menjaga kearifan lokal.

Waktu dan periode pelaksanaan penelitian ini yaitu pada bulan Februari 2019 – Juli 2019. Penelitian yang dilakukan sebagai berikut:

Tabel 1.2 Tahapan dan Waktu Penelitian

No. Kegiatan Februari Maret April Mei Juni Juli agustus 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 3 4 1 2 3 4 1 1. Menentukan topik penelitian 2. Menentukan objek dan subjek penelitian 3. Merumuskan masalah penelitian

(12)

12 4. Penyusunan proposal penelitian 5. Pengumpulan data 6. Pengolahan data 7. Analisis 8. Menyusun laporan penelitian 9. Pengajuan sidang 10. Sidang skripsi

Gambar

Tabel 1.1 Kampung Adat Suku Sunda di Jawa Barat
Tabel 1.2 Tahapan dan Waktu Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Pembelajaran : Murid dapat Menyajikan dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan Luas Permukaan bangun ruang sisi lengkung

Pada saat Peraturan Kepala Badan ini mulai berlaku, pelaksanaan kegiatan Tahun Anggaran 2017 tetap mengacu pada Peraturan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional

Pemberian 200-250 kg/ha zeolit dapat menurunkan penggunaan pupuk P sampai 60% R tanpa menurunkan jumlah gabah per malai Pengaruh perlakuan terhadap komponen persen

Membantu pembaca dan penikmat musik dalam memahami apa maksud dari lirik lagu “Papua Dalam Cinta” sehingga pesan yang terdapat dalam lagu tersebut dapat diterima

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin,

Jadi, apabila persepsi siswa tentang kompetensi guru yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompe- tensi profesional, dan kompetensi sosial

Pada tahap Uji coba lapangan dianalisis sebagai bahan revisi III dilakukan untuk memperoleh hasil pengerjaan modul pada soal berpikir kritis 1, soal berpikir kritis 2,

PIHAK PERTAMA memberikan Dana Bantuan Operasional Sekolah ke- pada PIHAK KEDUA untuk melaksanakan program wajib belajar pendi- dikan dasar 9 (sembilan) tahun