• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SINGKONG (Manihot esculenta Crantz.)

Tanaman singkong termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, family Euphorbiaceae, genus Manihot, dan species

Manihot esculenta Crantz. (Rukmana 1997). Tanaman ini dapat tumbuh dengan subur serta

memiliki toleransi tinggi terhadap tekanan lingkungan dan membutuhkan perawatan minimal. Oleh karena itu, tanaman ini juga diunggulkan sebagai tanaman yang mendukung ketahanan pangan nasional karena rendemen umbi yang cukup besar (El-Sharkawy 2004).

Singkong merupakan sumber pati yang banyak digunakan di banyak negara di dunia baik sebagai sumber pangan maupun ekonomi melalui perkembangan industri yang memanfaatkan hasil ekstraksi yang berasal dari umbinya. Diperkirakan 10% dari total 60 juta ton pati yang diekstrak berasal dari umbi singkong (FAO 2006).

Tanaman singkong memiliki umbi yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Umbinya berbentuk bulat memanjang, daging umbi mengandung pati dan tiap tanaman dapat menghasilkan 5-10 umbi (Rukmana 1997). Bagian penyusun umbi singkong diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagian-bagian penyusun singkong (CIAT 2009)

Daging umbi dapat berwana putih atau kuning. Komposisi kimia singkong dipengaruhi oleh faktor tanah, kondisi penanaman, kelembaban, suhu, varietas, dan umur tanaman. Hal lain yang perlu dicatat adalah kandungan racun sianida di dalam singkong. Racun tersebut ada dalam tanaman singkong (akar, batang, dan daun) dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk terikat secara kimia yaitu sebagai senyawa kompleks linamarin glukosa. Tanaman yang mengandung sianogenik glukosida atau yang dikenal dengan phaseolunatin mulai terpecah menjadi sianida, aseton, dan glukosa dengan bantuan aksi dari enzim linase. Adanya sianida mudah dikenali dengan munculnya rasa pahit (Wirakartakusumah 1989). Tahap-tahap pengolahan sejak pengecilan ukuran hingga pengolahan lebh lanjut akan mengurangi kadar racun ini sampai ke tingkat yang tidak membahayakan (Wirakartakusumah 1989). Komposisi kimia singkong ditunjukan pada Tabel 1.

(2)

4 Tabel 1. Komposisi kimia singkong per 100 gram bahan

Komponen Jenis Singkong

Putih Kuning Energi (kal) 146.00 157.00 Protein (g) 1.20 0.80 Lemak (g) 0.30 0.30 Karbohidrat (g) 34.70 37.90 Kalsium (mg) 33.00 33.00 Fosfor (mg) 40.00 40.00 Besi (mg) 0.70 0.70 Vitamin A (SI) 0.00 385.00 Vitamin B (mg) 0.06 0.06 Vitamin C (mg) 30.00 30.00 Air (g) 62.50 60.00

Bagian yang dapat dimakan (g) 75.00 75.00

Sumber : Departemen Kesehatan RI (1990)

B. JAGUNG (Zea mays L. )

Tanaman jagung tergolong dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi

Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Poales, family Graminae, genus Zea, spesies Zea mays L. Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting

setelah beras dan gandum. Selain dimanfaatkan sebagai makanan pokok. pemanfaatan jagung juga sangat luas diantaranya sebagai pakan ternak. bahan baku industri pangan yang berbasis jagung (pipil, minyak, tepung, dan pati), dan lain-lain (Ofori dan Kyei-Baffour 2010).

Saat ini jagung termasuk tanaman yang digalakkan menjadi bahan pangan lokal penunjang usaha ketahanan pangan serta berperan strategis dalam perekonomian nasional. Untuk mencapai kesuksesan usaha tersebut. kegiatan budi daya tanaman jagung terutama jagung varietas unggul yang didukung penerapan teknologi budi daya yang maju harus terus didukung baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Jagung lengkap terdiri atas kelobot, tongkol, biji, dan rambut. Menurut Effendi dan Sulistiati (1991). tongkol jagung merupakan simpanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol bervariasi antara 8-12 cm. pada umumnya. tongkol jagung mengandung 300-1000 biji jagung. biji melekat pada tongkol jagung dan berbentuk bulat dan memiliki warna yang bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, dan hitam. Secara anatomi. biji jagung terdiri atas tiga bagian pokok yaitu kulit (perikarp), endosperma, dan lembaga. Anatomi biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2.

Biji jagung disebut kariopsis yaitu memiliki dinding ovary atau perikarp menyatu dengan kulit biji atau testa membentuk daging buah. Perikarp merupakan lapisan luar tipis yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron serta berfungsi mencegah kerusakan biji dari organism pengganggu dan kehilangan air. Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung yaitu 75% dari bobot biji. Fungsi endosperm adalah sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Lembaga merupakan tempat perkecambahan biji. yang terdiri atas plumula. meristem. skutelum.

(3)

5 dan koleoptil (Subekti et al. 2007 di dalam Lestari 2000). Tabel 2 memperlihatkan komposisi kimia biji jagung.

Gambar 2. Anatomi biji jagung dan bagian-bagiannya (Subekti et al. 2007 di dalam Lestari 2009)

Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung

Komponen Jumlah (%bk)

Pati Protein Lemak Serat Lain-lain

Endosperma 86.4 8.0 0.8 3.2 0.4 Lembaga 8.0 18.4 33.2 14.0 26.4 Perikarp 7.3 3.7 1.0 83.6 4.4 Tip cap 5.3 9.1 3.8 77.7 4.1 Sumber: Johnson (1991)

C. TAPIOKA

Tapioka merupakan hasil ekstraksi umbi singkong. Pati ini mudah diekstrak karena rendahnya kandungan protein, lemak, dan lain-lain (Moorthy 2004) sehingga lebih sering digunakan daripada pati yang berasal dari umbi maupun serealia lainnya (FAO 2006). Komposisi kimia tapioka ditunjukan pada Tabel 3.

Kadar pati tapioka tidak dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Rahman (2007) melaporkan kadar pati pada tepung tapioka berkisar antara 72-82 (%bb) dan kadar abu pada tapioka berkisar antara 0.01-0.04 (%bb). Menurut Morthy (2004). kadar amilosa tepung tapioka berada pada kisaran 20-27% dari kadar patinya dan kadar lipid pada tapioka sangat rendah (<0.1%).

Karakteristik tapioka akan mempengaruhi produk yang dihasilkan. termasuk juga pH.

The Tapioca Institute of America (TIA) mempunyai standar spesifikasi untuk tapioka. Salah

satunya adalah standar untuk pH tapioka yaitu sekitar pH 4.5-6.5 (Balagopalan et al.. 1988). sedangkan nilai keasaman tapioka berdasarkan SNI 01-3451-1994 ditetapkan dalam bentuk derajat asam yaitu maksimal sebesar 3 NaOH 1 N/ 100g . Syarat mutu tapioka berdasarkan SNI dilihat pada Tabel 4.

(4)

6 Tabel 3. Komposisi kimia tapioka

Komponen Jumlaha Jumlahb

Serat 0.03 0.50 Air (%bb) 11.40 8.10 Abu 0.06 0.33 Karbohidrat 87.52 98.54 Protein 0.76 0.86 Lemak 0.19 0.26 Pati 85.19 86.90 Amilosa 22.51 28.35 Total gula 1.43 - HCN (ppm) 0.40 -

Sumber : aFebriyanti dan Wirakartakusumah (1990) b

Pangestuti (2010)

Tabel 4. Syarat mutu tapioka SNI 01-3451-1994

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1994)

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II Mutu III

1. Kadar air (b/b) % Maks.15 Maks.15 Maks.15

2. Kadar abu (b/b) % Maks. 0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60

3. Serat dan benda

asing (b/b) % Maks. 0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60

4. Derajat putih

(BaSO4 = 100%) % Min. 94.5 Min. 92 < 92

5. Kekentalan oEngler 3-4 2.5-3 < 2.5

6. Derajat asam ml 1 N NaOH/ 100g

Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3

7. Cemaran logam -Timbal (Pb) -Tembaga (Cu) -Seng (Zn) -Raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 1.0 Maks. 10 Maks 40 Maks 0.05 Maks. 1.0 Maks. 10 Maks 40 Maks 0.05 Maks. 1.0 Maks. 10 Maks 40 Maks 0.05

Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5 Maks. 0.5 Maks. 0.5

8. Cemaran mikroba -Angka Lempeng Total -E.coli -Kapang Koloni/g Koloni/g Koloni/g Maks.1.0x106 Maks.10 Maks.1.0x104 Maks.1.0x106 Maks.10 Maks.1.0x104 Maks.1.0x106 Maks.10 Maks.1.0x104

(5)

7

D. MAIZENA

Pati jagung merupakan ingredien penting yang digunakan secara luas pada industri pangan sebagai pengental, penstabil koloid, gelling agent, bulking agent, dan water retention

agent (Singh et al. 2003). Dilihat dari perbandingan amilosa dan amilopektin. pati jagung dapat

digolongkan menjadi pati jagung biasa, pati jagung berlilin (waxy/ glutinous corn), dan pati jagung tinggi amilosa (high-amylose corn). Tabel 5 berikut memperlihatkan komposisi kimia dari berbagai tipe pati jagung. Pati jagung diperoleh dari ekstraksi biji jagung dengan metode penggilingan basah. Contoh diagram alir yang memperlihatkan proses penggelingan basah pati jagung dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 5. Komposisi kimia pati jagung

Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) Lipid (%) Protein (%) Fosfat (%) Normal maizena 25 75 0.80 0.35 0.090 Waxy maizena 0 100 0.20 0.25 0.024 Amilomaize - V 53 47 0.70 0.30 0.090 Sumber: Robyt (2008)

E. PATI

1. Morfologi Granula

Pati merupakan cadangan makanan tanaman berupa polisakarida yang tersimpan pada akar dan biji-bijian serta dalam endosperma kernel biji-bijian. Pati disintesis dalam bentuk granula yang tersimpan dalam organel selular (amiloplas) (Jacobs dan Delcour 1998).

Menurut Tester et al. (2004). granula pati yang disintesis dengan susunan yang bervariasi pada setiap jaringan dan jenis tanaman. Variasi granula diantaranya adalah diameter ukuran, bentuk, distribusi ukuran, model asosiasi, dan komposisi dipengaruhi asal tanaman (Tester et al. 2004).

Variasi granula yang dimiliki pada setiap sumber pati mempunyai pengaruh terhadap gelatinisasi. Misalnya pada pati dengan ukuran granula yang lebih besar memiliki ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih mudah putus bila dibandingkan dengan pati yang memiliki granula yang lebih kecil (Wattanachant et al. 2002). Tabel 6 menunjukkan keanekaragaman granula pati dari beberapa jenis tanaman.

(6)

8 Tabel 6. Karakteristik granula pati dari sumber tanaman berbeda

Pati Tipe Bentuk Distribusi Ukuran (µm)

Maizena (waxy dan normal)

Serealia Spherical/

polihedral

Unimodal 2-30

Amylomaize Serealia Tidak beraturan Unimodal 2-30

Kentang Umbi Lentikular Unimodal 5-100

Beras Serealia Polihedral Unimodal 3-8 (tunggal)

150 (kumpulan)

Tapioka Akar Spherical/ lentikular Unimodal 5-45

Sagu Palem Oval Unimodal 20-40

Gandum Serealia Lentikular (tipe A)

Spherical (tipe B)

Bimodal 15-35

2-10 Sumber: Tester dan Karkalas (2002)

2. Struktur Granula

Pati disintesis dalam bentuk granula yang tersusun atas lapisan konsentris yang menunjukkan perbedaan kecenderungan indeks refraksi, densitas, kristalinisasi, ketahanan terhadap hidrolisis asam maupun enzim, serta pertumbuhan lapisan cincin granula (French 1984). Pertumbuhan lapisan cincin tersebut muncul pada periode biosintesis dan dipengaruhi fluktuasi dari rata-rata dan atau mode penyimpanan pada periode tersebut. Model struktur granula ditunjukkan pada Gambar 3.

Rantai polimer glukosa pada granula pati bergabung satu sama lain melalui ikatan hidrogen yang kuat membentuk kristal atau misela (Swinkels 1985). Misela merupakan bagian molekul linier yang berikatan dengan rantai terluar molekul cabang (Pomeranz 1991). Ikatan ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada pararel satu sama lain. sehingga gaya ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu (Swinkels 1985). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorphous (Pomeranz 1985). Menurut Kaletunç dan Breslauer (2003). zona

amorphous lebih mudah dimasuki oleh air karena strukturnya tidak beraturan.

Amilosa sebagian besar berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian kecil menyusun bagian kristalin. Lamella kristalin disusun atas rantai ganda amilopektin yang membentuk jaringan pararel sedangkan titik percabangan amilopektin berada pada zona

amorphous. Zona kristalin lebih resisten terhadap reaksi enzimatis. reaksi kimia dan penetrasi

oleh air daripada daerah amorphous pada granula pati. Menurut Hoseney (1998) granula pati terdiri dari ± 30% daerah kristalin. Senada dengan yang disampaikan Swinkels (1985) bahwa daerah kristalin berbagai varietas pati ± 25-50% dari total granula pati.

Menurut Taggart (2004) di bawah mikroskop granula pati akan merefleksikan cahaya terpolarisasi dan memperlihatkan pola „maltose cross’ (pola silang) yang dikenal dengan nama sifat birefringence. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi intensitas birefringence-nya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney 1998). Kehilangan sifat

birefringence disebabkan pecahnya molekul pati yang dipengaruhi oleh panas. Penetrasi panas

menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney 1998).

(7)

9 Gambar 3. Struktur granula pati (Tester et al. 2004)

(A) Penyusunan mikrokristalin granula yang terpisah oleh pertumbuhan cincin amorphous (B) Perbesaran tampilan daerah amorphous dan kristalin (C) Struktur heliks ganda yang dibentuk

dari cabang amilopektin yang meningkatkan lamella kristalin di mana titik percabangan berada pada daerah amorphous.

Difraksi sinar X telah digunakan untuk mengungkap karakteristik dari struktur kristalin granula pati (Hoover 2001). Tiga pola sinar X yang berbeda yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A- merupakan karakteristik utama dari granula pati serealia. tipe B- terdapat pada umbi-umbian dan pati dengan kadar amilosa tnggi. dan tipe C ditemukan pada umbi polong-polongan.umbi-umbian. dan beberapa pati yang berasal dari buah maupun batang. Tipe C merupakan intermedit antara pola A dan B (Tester et al. 2004). Tipe kristal pada kristalin umumnya dipengaruhi oleh panjang rantai (CL) [tipe A CL < 19.7; tipe B CL ≥ 21.6; dan beberapa pati dengan panjang rantai (CL) antara 20.3 hingga 21.3 menunjukkan tipe A, B, atau C] (Hoover 2001). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kristalin adalah suhu pertumbuhan. alkohol dan asam lemak (Hoover 2001). Struktur kristal tipe A- dan tipe B- ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur kristal tipe A dan tipe B (Tester et al. 2004)

Hoover (2001) mengungkapkan bahwa heliks ganda pada tipe A dan tipe B memiliki kesamaan ditinjau dari struktur heliksnya. tapi keduanya memiliki perbedaan jika dilihat dari model pengepakan heliks dan air pada kristal. Pengepakan heliks ganda pada kristal tipe A cenderung lebih kompak dengan kandungan air yang lebih sedikit. sementara tipe B memiliki struktur yang lebih terbuka dengan memiliki inti heliks terhidrasi sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4. Penyusunan granula pati dapat bervariasi yang dikarenakan oleh letak hilum (Tester et al. 2004). Tipe kristal pada granula pati dapat berubah yang sebagaimana pada pati

(8)

10 maizena yang berubah dari tipe A ke tipe B. Perubahan ini disebabkan adanya penurunan pada kristalinitas yang diikuti dengan kenaikan kandungan amilosa (Cheetam dan Tao 1998).

3. Amilosa dan Amilopektin

Granula pati terdiri atas dua molekul yang dapat dipisahkan dengan air panas. amilosa dan amilopektin. yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2002). Gambar 5 memperlihatkan struktur amilosa dan amilopektin. Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul, dan pengaturan posisi pada granula pati.

Gambar 5. Struktur amilosa dan amilopektin (Robyt 2008)

Amilosa tersusun atas molekul D-glukopiranosa yang berikatan α-(1,4) dalam struktur rantai lurus. Molekul amilosa lengkap dapat terdiri atas 3000 unit D-glukopiranosa. Menurut Taggart (2004). amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana dapat membentuk interaksi molekular yang kuat pada gugus hidroksil. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin. Interaksi antar gugus hidroksil tersebut akan membentuk jaringan tiga dimensi ketika molekul berasosiasi ketika pendinginan. karakteristik inilah yang berperan dalam pembentukan gel pada pemasakan dan pendinginan pasta pati.

Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa sehingga amilopektin biasanya menjadi komponen utama dari pati. Rasio amilosa dan amilopektin dari berbagai jenis sumber pati sangat bervariasi. berkisar antara 17-70% amilosa dan 30-83% amilopektin seperti yang dinyatakan (Robyt 2008). Rasio amilosa dan amilopektin tersebut berpengaruh terhadap sifat dan derajat gelatinisasi pati. Selain itu. menurut Robyt (2008) molekul amilopektin memiliki rantai distribusi yang berbeda-beda (A, B, dan C) yang ditentukan oleh panjang rantai pada molekul amilopektin. Rasio molar dari panjang pendeknya rantai amilopektin dipengaruhi sumber pati dan varietasnya.

Amilopektin terdiri atas molekul D-glukosa yang berikatan α-(1,4) dan mengandung ikatan α-(1,6) pada percabangan rantainya. Amilopektin juga dapat membentuk kristal. tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart 2004). Pati yang memiliki persentase amilopektin yang tinggi akan

(9)

11 mengentalkan suspensi tetapi tidak membentuk gel. hal ini karena molekul tidak berasosiasi dan membentuk ikatan kimia seperti molekul amilosa. Sehingga dapat dikatakan semakin banyak amilopektin. maka akan semakin kental pasta pati yang dihasilkan dan semakin banyak amilosa maka akan semakin kokoh gel yang terbentuk.

F. GELATINISASI PATI

Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula bersifat tidak dapat balik (irreversible) yang dipengaruhi oleh suhu dan kadar air, menghasilkan peningkatan viskositas, serta kondisi pemanasan dan tipe granula pati (Huang dan Rooney 2001). Pembengkakan granula disebabkan difusi air ke dalam granula yang diikuti dengan masuknya air ke daerah amorphous. yang akhirnya mengakibatkan pembengkakan granula secara menyeluruh. Pelunakan struktur pada zona amorphous diperlukan sebelum peleburan struktur pada zona kristalin pada granula terjadi (Jacobs dan Delcour 1998).

Fenomena tersebut diikuti dengan hilangnya formasi silang (birefrigence) yang diamati pada mikroskop dengan cahaya terpolarisasi (Robyt 2008). Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu di mana sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Terlihat pada Tabel 7 bahwa suhu gelatinisasi pada suatu suspensi dari berbagai sumber pati merupakan kisaran. Perbedaan suhu gelatinisasi ini berkaitan dengan perbedaan karakteristik granula yang bervariasi yaitu ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk pengembangan.

Tabel 7. Suhu gelatinisasi beberapa sumber pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)a

Normal maizena 62-80 Waxy maize 63-72 Amylomaizeb 66-170 Kentang 58-65 Tapioka 52-65 Gandum 52-85 a

Diukur dari suhu gelatinisasi awal untuk menyempurnakan pemastaan

b

Di bawah kondisi umum pemasakan. larutan dipanaskan mencapai 95-100oC. tetapi pati

amylomaize belum membentuk kekentalan. Pemastaan (pasting) tidak terjadi hingga suhu

mencapai 160-170oC Sumber: Fennema (1996)

Selain itu. suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Perubahan struktural yang terjadi selama gelatinisasi meliputi perubahan bentuk dan ukuran granula, absorpsi air dan pembengkakan granula, peleburan struktur kristalin, keluarnya amilosa dari granula, dan perusakan struktur granula (~85oC) (Jacobs dan Delcour 1998) yang diakibatkan meningkatnya pergerakan molekul dalam granula pati sehingga dapat memecah ikatan hidrogen dan hidrofobik antar molekul dalam daerah kristalin

(10)

12 granula pati. Perubahan struktural yang terjadi demikian merupakan peristiwa pemastaan (pasting) yang merupakan kelanjutan dari gelatinisasi.

1. Faktor yang Mempengaruhi Gelatinisasi

Gelatinisasi merupakan fenomena kompleks yang bergantung pada jenis pati. konsentrasi pati yang digunakan, suhu pemastaan (pasting), atau suhu awal terjadinya gelatinisasi, ukuran granula pati, presentase amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula, tipe granula, prosedur pemasakan (suhu, pH, waktu, agitasi, metode), dan keberadaan komponen lain (Pomeranz 1985; Moorthy 2004; Swinkels 1985).

Menurut Winarno (1992). suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan. suhu tersebut akan semakin lambat tercapai. sampai suhu tertentu kekentalan tidak berubah. bahkan kadang-kadang menurun. Selanjutnya menurut Winarno (1992). Pati dengan butir yang lebih besar akan mengembang pada suhu yang lebih rendah daripada butir pati berbutir kecil. Hal ini dikarenakan granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih lemah.

Menurut Wurzburg (1968) pemasakan di bawah pH 5 atau di atas pH 7 cenderung menurunkan suhu gelatinisasi dan mempercepat proses pemasakan. Menurut Franco et al. (2002) kondisi asam yang tinggi menyebabkan hidrolisis ikatan glukosida pada zona amorphous granula pati. Hidrolisis ikatan glukosida menyebabkan fragmentasi dan pembentukan dekstrin atau polimer berantai pendek. Hidrolisis molekul pati terjadi pada absorpsi air yang minim pada granula yang mengakibatkan pengenceran pada pasta yang dipanaskan maupun ketidakkompakan struktur pada gel yang dikarenakan pemutusan ikatan hidrogen. Hal ini senada dengan pernyataan Charley (1982) bahwa asam organik seperti asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat yang ditambahkan dalam proses dapat membantu pemutusan ikatan hidrogen sehingga menyebabkan menurunnya kekentalan pasta pati. breakdown yang lebih cepat dan menurunnya kekuatan gel. Sementara pada pH yang sangat tinggi seperti yang diutarakan Eliasson dan Gudmundsson (2006) akan terjadi cold gelatinization di mana granula pati akan mengembang pada suhu ruang dan amilosa akan larut.

Penambahan sejumlah gula terutama disakarida sukrosa dan laktosa dari susu akan menurunkan viskositas pasta dan firmness dari produk pati yang dipanaskan maupun yang didinginkan. Gula turut menghambat absorpsi air oleh granula sehingga pembengkakan menjadi tidak sempurna. Seperti juga garam. gula akan meningkatkan temperatur gelatinisasi secara signifikan pada konsentrasi di atas 60%.

Komposisi kimia lain pada granula pati seperti lemak dan protein juga dapat mempengaruhi proses gelatinisasi. Adanya lemak dan protein yang menutupi atau mengadsorpsi pada permukaan granula pati dapat menyebabkan gangguan pada hidrasi dan viskositas pati. Lemak merupakan penahan air sehingga air tidak dapat mudah berpenetrasi selama proses gelatinisasi. Akibatnya granula pati tidak membengkak sempurna dan amilosa yang keluar menjadi lebih sedikit, sehingga menyebabkan penurunan viskositas pasta pati dan menurunnya kekuatan gel. Sedangkan protein dapat menyelimuti granula pati (membentuk kompleks dengan amilosa) sehingga dapat menghambat pengembangan dan pati menjadi sukar tergelatinisasi (Kilara 2006).

Pengaruh kondisi pemasakan seperti agitasi dan temperatur juga turut mempengaruhi proses gelatinisasi. Agitasi atau stirring yang diberikan pada awal maupun selama proses gelatinisasi memberikan pengembangan granula dan memberikan suspensi yang lebih seragam.

(11)

13 Namun. pengadukan berlebih setelah gelatinisasi dapat merusak granula sehingga menyebabkan suspensi menjadi encer. Gelatinisasi sempurna terjadi pada suhu hingga 203oF (95oC). walaupun pati memiliki suhu gelatinisasi yang beragam tergantung sumber dan varietas patinya. Lama pemanasan yang berlebihan akan menyebabkan pati menjadi encer yang dikarenakan pergerakan berlebih granula pati yang menyebabkan kerusakan. Jenis panas yang diaplikasikan seperti panas lembab dibutuhkan untuk terjadinya gelatinisasi. Sedangkan panas kering dapat menyebabkan pati terhidrolisis. pembentukan dekstrin. warna coklat. dan aroma „panggang‟. Walaupun demikian, efek pencoklatan tersebut diinginkan dalam produk tertentu (Vaclavik dan Christian 2008).

2. Profil Gelatinisasi

Karena gelatinisasi pati merupakan proses endotermik. Differential Scanning

Calorimetry (DSC) dapat mengukur baik temperatur maupun entalpi gelatinisasi. DSC telah lama

digunakan untuk mempelajari temperatur gelatinisasi pati. DSC mengukur perubahan temperatur gelatinisasi [(onset [To], midpoint [Tp], conclusion [Tc], dan entalpi (∆H)]. Noda et al. (1996) mempostulasikan parameter DSC (To, Tp, Tc, dan ∆H) yang dipengaruhi arsitektur molekul pada daerah kristalin yang berhubungan pada distribusi amilopektin rantai pendek (DP 6-11) dan bukan oleh proporsi daerah kristalin yang berhubungan pada rasio amilosa-amilopektin.

Jane et al. (1999) menambahkan bahwa To rendah merupakan ciri pati dengan proporsi rantai cabang amilopektin pendek yang lebih besar. Tp mengindikasikan arsitektur granula (kualitas zona kristalin) yang mana pati dengan suhu puncak tinggi menunjukkan proporsi rantai panjang yang lebih besar pada molekul amilopektin sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk mendisosiasi granula secara menyeluruh (Karim et al. 2007). Sementara perubahan entalpi (∆H) yang terjadi selama gelatinisasi umumnya dikarenakan hilangnya susunan heliks ganda dan bukan dikarenakan hilangnya kristalinitas. Namun demikian. Hoover (2001) menyatakan bahwa ∆H menggambarkan keseluruhan kristalinitas (kualitas dan jumlah kristalit pati) dari amilopektin. Moorthy (2004) menambahkan bahwa ∆H berkaitan dengan kristalinitas. ikatan intermolekuler. kecepatan pemanasan pada suspensi. dan komposisi kimia pati.

Gernat et al. (1993) menyatakan bahwa jumlah heliks ganda pada pati native sangat berhubungan kuat dengan kandungan amilopektin. dan kristalinitas granula meningkat dengan adanya amilopektin. Gelatinisasi dan pengembangan granula dipengaruhi oleh struktur molekul amilopektin (panjang rantai, percabangan, berat molekul, dan polidispersitas), komposisi pati (rasio amilosa-amilopektin, komplek amilosa-lipid, dan kandungan fosfor), dan arsitektur granula (rasio daerah kristalin-amorphous) sebagaimana yang dinyatakan Tester (1997).

3. Profil Amilografi

Ditinjau dari sifat reologinya. pati yang tergelatinisasi memiliki sifat mengalir sehingga dapat diukur nilai kekentalannya. Tetapi setelah proses gelatinisasi selesai. maka sifatnya dapat menjadi lebih elastis (gel) sehingga yang dapat diukur adalah nilai kekuatan gelnya. Dalam beberapa kondisi, pati yang tergelatinisasi juga dapat bersifat viskoelastik. Viskositas merupakan karakteristik pati yang membuatnya aplikatif di banyak industri, seperti pengental. Meski demikian. sifat fungsional granula pati sangat beragam tergantung jenis pati yang digunakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari karakteristik fungsional pati untuk

(12)

14 menentukan pati mana yang akan digunakan dalam pengolahan. Tabel 8 menunjukan karakteristik pasta dari berbagai jenis pati.

Tabel 8. Karakteristik pasta berbagai jenis pati Karakteristik Normal

maize

Waxy maize

Amylomaize Kentang Tapioka Gandum

Viskositas relatif

Medium Medium-tinggi

Sangat rendah Sangat tinggi Tinggi Rendah Reologi pastaa Pendek Panjang (kohesif) Pendek Sangat panjang Panjang (kohesif) Pendek Kejernihan pasta Opak Sedikit keruh

Opak Jernih Jernih Opak

Retrogradasi Tinggi Sangat rendah

Sangat tinggi Medium hingga rendah

Medium Tinggi

a “Aliran pendek (short flow)” dimiliki pati dengan sifat pseudoplastic dan menunjukkan shear-thinning dan

larutan yang kental. Sementara pati dengan “aliran panjang (long flow)” hampir menunjukkan

shear-thinning yang sangat kecil dan cenderung tidak ada.

Sumber : Fennema (1996)

Berdasarkan profil yang terbentuk. tipe gelatinisasi pati menurut Collado et al. (2001) dapat digolongkan menjadi empat tipe yaitu A, B, C, dan D. Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas puncak. namun akan mengalami penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengembang sehingga tidak dapat membentuk pasta apabila dipanaskan.

Pati dengan profil gelatinisasi tipe A sebagaimana yang dinyatakan oleh Herawati (2009) umumnya mempunyai kandungan amilosa yang rendah. Pati dengan kandungan amilosa rendah (amilopektin tinggi) akan mengalami pengembangan yang tinggi saat tergelatinisasi yang ditandai dengan tingginya viskositas pasta. Namun apabila pemanasan dilanjutkan. viskositas pasta akan turun dengan tajam. Menurut Wattanachant et al. (2002) pati dengan kandungan amilosa tinggi akan mengalami pengembangan terbatas karena keberadaan amilosa akan mencegah pengembangan granula pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati tersebut cenderung stabil bahkan dapat mengalami peningkatan sehingga pati tersebut dapat dikategorikan pati dengan profil gelatinisasi tipe C (Collado et al. 2001). Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C adalah kacang hijau, navy bean, dan pinto bean (Kim et al. 1996) dan pati yang telah mengalami modifikasi ikatan silang (Wattanachant et al. 2003). Pati dengan kandungan amilosa moderat umumnya mempunyai viskositas puncak yang lebih rendah dari pati dengan profil gelatinisasi tipe A namun lebih tinggi dari pati dengan profil gelatinisasi tipe C sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B.

(13)

15 Perilaku gelatinisasi dan profil pemastaan dari campuran tepung-air dan pati-air dapat dimonitor menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) yang merupakan viskometer dengan pemanasan dan pendinginan sekaligus untuk mengukur resistansi sampel terhadap penanganan dengan pengadukan terkontrol. Prinsip pengukuran RVA sama dengan Brabender Amilograf hanya saja waktu pengukurannya lebih singkat (15-20 menit). RVA dapat memberikan simulasi proses pengolahan pangan dan digunakan untuk mengetahui pengaruh proses tersebut terhadap karakteristik fungsional dan struktural dari campuran tersebut. sebagaimana dinyatakan Copeland

et al. (2009).

Gambar 6. Profil RVA pada pati beras (Copeland et al. 2009)

Gambar 7. Perubahan granula pati selama pengukuran (Fennema 1996)

Ketika suspensi pati diaduk dan dipanaskan. granula pati akan menyerap air sehingga terjadi pembengkakan granula yang menyebabkan suspensi pati menjadi mengental. Pati yang membengkak tersebut akan mudah dipecah oleh pengadukan sehingga viskositas menurun. Pada granula yang membengkak amilosa yang terhidrasi akan berdifusi keluar dari granula dan bercampur dengan air, fenomena ini akan bertanggung jawab pada beberapa aspek dari perilaku pasta pati. Pada waktu pendinginan, beberapa molekul pati secara parsial akan berasosiasi kembali untuk membentuk gel. Proses ini dinamakan retrogradasi. Firmness dari gel yang terbentuk tergantung pada pembentukan junction zone. Pembentukan junction zone dipengaruhi oleh adanya lemak, protein, gula, asam, dan kandungan air (Fennema. 1996).

(14)

16

G. RETROGRADASI

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pada saat pendinginan beberapa molekul pati yang telah tergelatinisasi akan berasosiasi kembali untuk membentuk gel. Gel merupakan sistem cairan yang memiliki sifat seperti solid (Hoseney 1998). Interaksi molekular (terutama ikatan hidrogen antar rantai pati) akan terjadi setelah pendinginan dan disebut sebagai fenomena retrogradasi. Percabangan amilopektin akan mencegah terjadinya ikatan intermolekuler yang diperlukan untuk pembentukan gel. Sedangkan pati yang mengandung amilosa. pembentukan ikatan molekulernya akan lebih mudah sehingga terbentuklah struktur jaringan tiga dimensi yang disebut gel pada konsentrasi pati yang lebih rendah Hodge dan Osman (1976) yang disitasi Pangestuti (2010). Dengan terbentuknya struktur jaringan tiga dimensi itu maka air yang tadinya bebas akan terperangkap dalam jaringan itu seperti yang terlihat pada Gambar 8. Tipe struktur yang terlihat pada Gambar 8 dikenal dengan struktur misel berumbai (fringed micelle). Rantai pararel yang terbentuk dari sisi ke sisi mengindikasikan pengaturan struktur kristalin dari junction zone. Daerah yang berada diantara junction zone mengandung air yang terperangkap dalam rantai polimer.

Gambar 8. Struktur gel (Fennema 1996)

Kemampuan pati untuk membentuk tekstur pasta atau gel yang kental ketika dipanaskan dalam air merupakan karakter yang penting untuk aplikasi dalam produk. Selain itu. konsentrasi pembentukan gel juga dipengaruhi oleh pH larutan. Winarno (1992) menyatakan bahwa pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi. pembentukan gel makin cepat tercapai tapi cepat turun kembali. sedangkan pada pH yang terlalu rendah pembentukan gel akan terjadi lebih lambat dari pH 10, dan jika pemanasan diteruskan viskositas tidak berubah.

Menurut Hoover (2001) pembentukan awal firmness gel selama retrogradasi terkait dengan formasi matriks gel amilosa dan berikut penurunan firmness gel yang diakibatkan oleh kristalisasi dapat balik pada molekul amilopektin. Selama retrogradasi, amilosa membentuk asosiasi heliks ganda dari 40-70 unit glukosa (Singh dan Singh 2007). sedangkan kristalisasi amilopektin terjadi akibat asosiasi cabang pendek terluar (DP = 15) (Singh dan Singh 2007). Pati teretrogradasi menunjukan pola difraksi sinar X tipe B (Zobel 1988) yang terdapat zona kristalin dan amorphous.

(15)

17 Firmness gel disebabkan oleh retrogradasi yang berhubungan dengan sineresis dan

kristalisasi amilopektin yang menyebabkan terbentuknya gel yang keras (Miles et al. 1985). Pati yang menunjukkan gel yang lebih keras cenderung memiliki kandungan amilosa tinggi dan rantai amilopektin yang lebih panjang (Mua dan Jackson 1997). Karakteristik mekanis gel tergantung pada beberapa hal yaitu karakteristik reologi matriks amilosa, fraksi volume, dan rigiditas dari granula pati yang tergelatinisasi. maupun interaksi antara fase gel yang terdispersi dan kontinu (Hoover 2001). Faktor-faktor tersebut juga tergantung pada kandungan amilosa dan struktur amilopektin (Yamin et al. 1999).

Gel pati merupakan sistem yang tidak stabil dan akan mengalami perubahan struktur selama penyimpanan (Ferrero et al. 1994). Jika gel dibiarkan selama beberapa hari. air tersebut dapat keluar dari bahan. Keluarnya cairan dari suatu gel pati disebut sebagai sineresis (Winarno 1992). Sehingga jumlah air yang keluar (sineresis) dapat digunakan sebagai indikator kecenderungan terjadinya retrogradasi pada pati (Karim et al. 2000). Kecenderungan retrogradasi yang tinggi disebabkan kristalisasi yang terjadi pada molekul amilosa rantai pendek dan amilopektin rantai panjang (Peroni et al. 2006).

H. MODIFIKASI PATI

Setiap jenis pati memiliki karakteristik dan sifat fungsional berbeda. Sumber tanaman, kondisi lingkungan, dan varietas diketahui dapat mempengaruhi sifat fungsional pati (Mweta et

al. 2008). Akan tetapi penggunaan pati alami secara luas sering kali terkendala akibat

karakteristik yang dimiliki pati alami tersebut terbatas dan tidak memenuhi kriteria dalam industri. Pada umumnya, pati alami menunjukkan ketahanan yang rendah terhadap perlakuan pemanasan dan pengadukan, ditambah dengan kecenderungan kerusakan akibat retrogradasi dan sineresis yang tinggi (Dufour et al. 2000; Pongsawatmanit et al. 2007). Oleh karena itu dapat dilakukan modifikasi granula pati untuk mendapatkan karakteristik pati yang diinginkan.

Modifikasi dapat meningkatkan atribut positif yang dimiliki pati native tersebut dan atau mengurangi karakter negatifnya. Alasan perlu dilakukannya modifikasi pati adalah: 1) untuk memodifikasi karakteristik pemasakan, 2) mengurangi kecenderungan retrogradasi, 3) meningkatkan kekuatan menahan air pada dispersi pati saat suhu rendah, 4) mengurangi kecenderungan pembentukan gel pada dispersi pati, 5) mengurangi terjadinya sineresis pada pembentukan pasta maupun gel, 6) meningkatkan kejernihan pasta dan gel, 7) meningkatkan ketahanan dispersi saat penurunan kekentalan oleh asam maupun perusakan secara fisik, 8) menambah gugus hidrofobik (untuk stabilisasi emulsi), dan 8) memasukkan sifat ionisasi pati asal (Be Miller dan Lafayette 1997). Pati yang dimodifikasi dapat digunakan pada industri pangan sehingga pati yang dimodifikasi dapat digunakan dengan mudah, viskosias stabil, lebih tahan terhadap proses pengolahan (‟shearing‟ mekanis, suhu sterilisasi, dan asam), dan memberikan

texture range yang luas. Pati modifikasi merupakan pati yang diberi perlakuan baik secara fisik

maupun kimia sehingga mempunyai sifat reologi dan fungsional yang berbeda dari pati aslinya. Biasanya modifikasi pati secara kimia (seperti ikatan silang dan atau asetilasi) dilakukan. tetapi telah berkembang ketertarikan kepada modifikasi secara fisik (panas, kadar air, pengadukan, atau iradiasi) khususnya pada penggunaan pati dalam industri pangan. Hal ini dikarenakan perlakuan modifikasi secara fisik dianggap lebih aman dan alam dibandingkan modifikasi secara kimia (Collado et al. 2001).

(16)

18

I. MODIFIKASI HEAT-MOISTURE TREATMENT (HMT)

Salah satu modifikasi fisik yang sekarang berkembang adalah heat moisture treatment (HMT) yaitu proses modifikasi dengan pemanasan tinggi dengan kadar air terbatas (<35%) (Collado et al. 2001; Lim et al. 2001). Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung memungkinkan pelemahan ikatan hidrogen inter- dan intramolekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak terjadi adanya peningkatan kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi. Namun demikian, berbagai studi menunjukkan bahwa imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati. Adanya pengaturan kembali pada molekul granula berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia pati (Herawati. 2009).

Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain perubahan profil amilografi pati (Collado dan Corke 1999; Collado et al. 2001; Purwani et al. 2006; Olayinka et al. 2008), perubahan karakteristik termal melalui pengujian Differential Scanning

Calorymetri (DSC) (Collado dan Corke 1999; Vermeylen et al. 2006; Pukkahuta et al. 2008),

perubahan volume pembengkakan granula pati (Collado dan Corke. 1999; Collado et al. 2001), dan perubahan kelarutan (Collado dan Corke 1999). Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain terjadinya peningkatan fraksi pati yang memiliki berat molekul pendek (Lu et al. 1996; Vermeylen et al.. 2006). Modifikasi HMT menurut Kulp dan Lorenz (1981) dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi kristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada zona amorphous. memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin. meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi. serta merubah derajat kristalinisasi pati.

HMT dapat merubah karakteristik fisikokimia tepung tanpa merusak granula pati (Stute 1992; Jacobs dan Delcour 1998). HMT diketahui dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, menurunkan viskositas puncak; pengembangan granula dan pelepasan amilosa; viskositas

breakdown; dan viskositas setback, sehingga dapat meningkatkan stabilitas granula terhadap

panas dan pengadukan (Jacobs dan Delcour 1998; Adebowale et al. 2005; Hormdok dan Noomhorm 2007). Kondisi pati dan proses seperti kadar air, sumber pati, suhu pemanasan, dan waktu proses telah dilaporkan dapat mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Kombinasi antar berbagai faktor tersebut dapat menghasilkan pati dengan karakteristik fungsional yang berbeda-beda.

1. Pengaruh Kadar Air

Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas puncak,

(17)

19 meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk teretrogradasi (meningkatkan setback). Selanjutnya menurut Adebowale et al. (2005) perubahan tersebut sangat tergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air modifikasi tidak memberikan pola khas dalam meningkatkan suhu gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan setback pati sorgum merah. Namun demikian. modifikasi yang dilakukan pada kadar air 24% memberikan pati termodifikasi dengan puncak viskositas, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan

setback paling rendah bila dibandingkan dengan kadar air 18%, 21%, dan 27%. Menurut Jacobs et al. (1995), formasi struktur granula mengembang dan rusak yang rapat dapat mempengaruhi

viskositas selama pemanasan dan peningkatan rigiditas granula akibat ketidaksempurnaan proses gelatinisasi. Peningkatan rigiditas menyebabkan granula menjadi lebih resisten terhadap pemanasan dan pengadukan sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan viskositas.

Pengaruh pengaturan kadar air modifikasi HMT terhadap karakteristik fungsional pati juga dilaporkan oleh Lewandowicz et al. (1997) pada pati tapioka dan kentang dengan teknik radiasi microwave. Pati modifikasi dengan kadar air HMT hingga 20% belum memperlihatkan perubahan signifikan dibanding pati native-nya. Perubahan signifikan ditunjukkan pada pati modifikasi dengan kadar air 25-35% di mana kurva Brabender cenderung memperlihatkan adanya penurunan viskositas dan kenaikan suhu gelatinisasi. Perubahan isotermal terjadi pada pati teradiasi microwave sehingga mempengaruhi perubahan temperatur gelatinisasi yang mungkin disertai dengan perubahan sifat fungsionalnya (Lewandowicz et al. 1997).

2. Pengaruh Sumber Pati

Adanya perbedaan proporsi amilosa/ amilopektin kemungkinan akan mempengaruhi sensifitasnya terhadap pengaruh modifikasi HMT. Hoover dan Manuel (1996) mengungkapkan bahwa pati termodifikasi HMT dari beberapa jenis tanaman polong dengan proporsi amilosa/ amilopektin berbeda mengalami penurunan pelepasan amilosa, penurunan faktor pembengkakan granula, dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda. Lewandowicz et al. (1997) menambahkan pada pati kentang (21% amilosa) menunjukkan perubahan lebih besar pada karakteristik fisikokimia dibandingkan tapioka (17% amilosa). Peristiwa tersebut dapat dijelaskan dalam Donovan et al. (1983) yang menyatakan bahwa asosiasi amilosa pada zona amorphous cenderung mengalami perubahan yang lebih besar daripada perubahan asosiasi amilopektin pada zona kristalin selama proses iradiasi microwave berlangsung. Hal ini mengakibatkan penurunan yang signifikan pada pengembangan dan kelarutan pada granula pati yang teriradiasi microwave. Kenaikan temperatur gelatinisasi pada pati termodifikasi mengindikasikan asosiasi dan konfigurasi struktur granula yang lebih stabil.

Hal berbeda diungkapkan oleh Anderson dan Guraya (2006) pada pati beras (waxy maupun non waxy) yang dimodifikasi HMT dengan teknik iradiasi microwave. Penurunan viskositas puncak pada pati beras dengan kandungan amilopektin tinggi (waxy) mengindikasikan penurunan daya pengembangan granula pati yang menyebabkan meningkatnya kemampuan ketahanan terhadap pengadukan dan viskositas setback (Stute 1992). Namun demikian. dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa lebih tinggi mempunyai perubahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya. Perbedaan panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin di dalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi

(18)

20 kemudahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air terutama saat berlangsungnya modifikasi HMT.

3. Pengaruh Interaksi Suhu dan Kadar Air

Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin di dalam granula dengan air. Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antar molekul amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektin-amilopektin. Ikatan hidrogen antar molekul tersebut kemudian digantikan dengan ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan.

Studi yang dilakukan oleh Lewandowicz et al. (1997) dan Vermeylen et al. (2006) menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih besar, dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Pada penelitian yang dilakukan Lewandowicz et al. (1997). pati dengan pengaturan kadar air 25-35% memiliki perubahan seperti peningkatan suhu gelatinisasi, penurunan kelarutan, dan perubahan struktur kristalin. Perubahan yang terjadi akan lebih besar jika pengaturan kondisi kadar air pada modifikasi HMT dan suhu yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan air mempengaruhi proses perubahan isotermal pada pati yang dimodifikasi dengan teknik radiasi microwave (Lewandowicz et al. 1997). Hoover dan Vasanthan (1994) menambahkan bahwa penurunan entalpi pada pati termodifikasi HMT seiring dengan meningkatnya kadar air menunjukkan adanya kerusakan pada struktur heliks ganda yang dipicu oleh pergerakan rantai heliks ganda (yang meningkat seiring kenaikan kadar air).

Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat granula lebih besar pada suhu 130oC dan integritas granula telah hilang sebagian (Lewandowicz et al. 1997). Vermeylen et al. (2006) juga menemukan hilangnya sifat birefringence serta kekosongan pada pusat granula yang disebabkan oleh hilangnya orientasi radial pada pusat granula. Imbibisi air yang didukung suhu tinggi menyebabkan hilangnya kristalinitas granula. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan sehingga meningkatkan molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal (Hoseney 1998).

4. Pengaruh Interaksi Waktu dan Suhu

Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang dilakukan pada suhu pemanasan 110oC selama 16 jam dengan kadar air sebesar 26% dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C yaitu pati yang cenderung dapat mempertahankan viskositasnya selama pemanasan dan pengadukan. Selain mempunyai profil gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada kombinasi waktu dan suhu yang berbeda.

Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas

(19)

21 panas pasta pasti meningkat dengan meningkatnya waktu modifikasi 12 jam menjadi 16 jam namun kemudian menurun ketika waktu modifikasi ditingkatkan menjadi 20 jam. Stabilitas pasta panas pati turut meningkat seiring dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 100oC menjadi 110oC namun kemudian menurun ketika suhunya ditingkatkan menjadi 120oC.

J. TEKNOLOGI MICROWAVE

Microwave merupakan perangkat dengan energi nonionisasi yang dapat menyebabkan

kenaikan temperatur diantara media yang terpenetrasi sebagai akibat perubahan cepat molekul elektromagnetik pada frekuensi tinggi (Lewandowicz et al. 2000). Hal serupa juga diungkapkan oleh Fellows (2000) bahwa microwave memanaskan bahan pangan menggunakan energi dielektrik yang mempengaruhi kutub positif dan negatif khususnya pada air yang merupakan komponen yang banyak terkandung dalam bahan pangan. Microwave dapat menciptakan keadaan di mana energi listrik tercipta yang menyebabkan molekul dipolar secara terus menerus bergerak sehingga menghasilkan gesekan yang menimbulkan panas.

Pemanasan pada microwave berbeda dengan pemanasan dengan metode konduksi maupun konveksi yang umum digunakan. Energi panas pada microwave dikonduksikan ke pusat bahan sehingga memiliki suhu yang lebih tinggi daripada di bagian permukaan yang dikarenakan evaporasi uap air (Buffler 1992). Untuk mencegah pemanasan yang hanya terkonsentrasi pada bagian tertentu sehingga menciptakan titik-titik panas atau dingin, kebanyakan microwave dilengkapi dengan pengaduk atau meja berputar (turntable) untuk menjamin keseragaman penetrasi panas pada bahan. Selain itu microwave juga dapat dilengkapi dengan sensor yang ketidakakuratannya dapat mencapai ± 8oF (3oC). Microwave sangat baik digunakan untuk

thawing, tempering, perehidrasi, dan pemanggangan tapi tidak untuk blansir atau pasteurisasi

(Fellows 2000).

Teknologi microwave saat ini telah banyak berperan penting pada pengeringan di industri pangan karena proses pemanasan yang cepat dan kemudahan penggunaan. Sebagai tambahan. penggunaan microwave tidak menimbulkan polusi terhadap lingkungan maupun menghasilkan bahan kimia asing. Selain itu energi microwave juga lebih efisien dari pada proses pemanasan secara tradisional karena penggunaan metode ini lebih meyakinkan dalam pemrosesan yang homogen pada seluruh volume bahan, penetrasi panas yang lebih baik, dan absorpsi selektif (Rajkó et al. 1997). Walaupun aplikasi microwave dalam proses pengolahan hanya melibatkan lebih sedikit kerusakan akibat pemanasan pada bahan dibandingkan metode pemanasan lainnya seperti pemanasan dengan air panas (Wang et al. 2003). Proses ini dapat menyebabkan reaksi biokimia. perubahan konformasi molekular pada pati, protein, tekstur, dan sifat fisikokimia seperti kelarutan dan temperatur gelatinisasi seperti yang diungkapkan Zhao et al. (2007).

Gambar

Gambar 1. Bagian-bagian penyusun singkong (CIAT 2009)
Gambar 2. Anatomi biji jagung dan bagian-bagiannya   (Subekti et al. 2007 di dalam Lestari 2009)
Gambar 4. Struktur kristal tipe A dan tipe B (Tester et al. 2004)
Gambar 5. Struktur amilosa dan amilopektin (Robyt 2008)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Daripada menulis buku, pengarang dapat memanfaatkan waktunya untuk memberikan jasa.. konsultasi ke perusahaan bisnis, imbalan jasa konsultasi ini disebut

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial suami dengan konflik peran ganda pada Polisi wanita di Polres Banyumas. Hipotesis dalam penelitian

Kriteria minimum dalam membangun kapal Tol Laut dibagi menjadi lima faktor utama yaitu pertama adalah fasilitas sarana penggalang, kedua adalah fasilitas bengkel

Keerhasilan penetasan uatan tergantung an)ak faktor/ antara lain telur  tetas/ mesin tetas/ !an tatalaksana penetasan 74upri,atna !kk/ 2008 'alau pun  pa!a kon!isi

Allah adalah dzat yang maha mengetahui, dzat yang maha mengetahui, dzat yang akan memberikan ganjaran kepada mereka yang berbuat baik maupun memberikan siksa kepada mereka

Seperti yang telah disinggung di atas, pemikiran tradisional ini menumt Harun tidak hanya terikat pada a1-Qur'an dan Hadits, akan tetapi juga terikat pada hasil ijtihad ulama

Selanjutnya tanggung jawab yang harus dijalani pada malam hari juga menimbulkan beban kerja khususnya beban psikologi yang berdampak pada timbulnya stress yang

Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pembentukan,