• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Sosial Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Sosial Politik"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Sosial Politik

Volume 3 Nomor 2 Juli - Desember 2020

Menegakkan HAM “Kultural” (Cultural Rights) Melalui Peran Islam dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia

Miski

Praktek Politik Transaksional Menjelang Pemilu 2019 di Kabupaten Wonosobo

Bambang Sugiyanto

Strategi Komunikasi Politik Amerika Serikat dalam Memanfaatkan Hollywood sebagai Media untuk Memperkuat Dominasi Global

M. Elfan Kaukab, Atinia Hidayah

Drug Trafficking in Afghanistan

Shafiullah Farzayee

Interdependensi dalam Belenggu Diplomasi

M. Elfan Kaukab

Peran LSM ‘Konservasi Kima Toli-Toli – Labengki’ Untuk Kelestarian Kima Sebagai Pelindung Ekosistem Laut

Dian Trianita Lestari, Iriyani Astuti Arief, Shinta Arjunita Saputri

Peran Kepala Desa dalam Alokasi Dana Desa di Bidang Infrastruktur

Melia Sintha, Robert Caniago

ILMU POLITIK

(2)

63

Menegakkan HAM “Kultural” (Cultural Rights)

Melalui Peran Islam dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia

Miski

Universitas Alma Ata miskianwar@yahoo.co.id

Abstract

This paper reviews comprehensively about how to uphold "cultural" human rights through the role of Islam in the discourse of religious pluralism in Indonesia. This study explores the strategic position of Muslims in building religious pluralism both concepts and actions, which in the end discourse on religious pluralism not only pours sweet words, but can be implemented in an effort to create harmony in religious life in Indonesia. The study of cultural rights is not only aimed at upholding human rights based on culture, but its output provides input to the government in formulating a policy agenda in overcoming issues of religious conflict, injustice and discrimination in Indonesia.

Keywords: islam, pluralism, cultural rights

Abstrak

Tulisan ini mengkaji secara komprehensif tentang bagaimana menegakkan HAM “kultural” melalui peran Islam dalam wacana pluralisme agama di Indonesia. Kajian ini mengupas posisi strategis umat Islam dalam membangun pluralisme agama baik konsep maupun aksi, yang pada akhirnya wacana pluralisme agama tidak hanya menjadi kata-kata manis, akan tetapi bisa dimplementasikan dalam upaya menciptakan kerukunan dan harmoni dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia. Kajian tentang HAM kultural (cultural rights) tidak hanya bertujuan menegakkan hak asasi manusia (human rights) berdasarkan kebudayaan, akan tetapi output-nya memberikan masukan terhadap pemerintah dalam merumuskan agenda kebijakan dalam mengatasi persoalan konflik agama, ketidak adilan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia.

Kata kunci: islam, pluralisme, HAM kultural

Pendahuluan

Wacana HAM “kultural” (cultural rights) menjadi isu yang sangat penting ketika dikaitkan dengan Islam dan pluralisme agama, kebebasan beragama dan jaminan perlindungan terhadap kaum minoritas agama di Indonesia. Wacana pluralisme agama hadir di tengah ketegangan sosial umat beragama, klaim kebenaran absolut (absolute truth claims) dan doktrin keselamatan (doctrine of salvation), seolah agama yang paling benar adalah agama yang dianut kelompok agama tertentu saja

(3)

64

yang lain salah dan masuk neraka. Di sisi lain konflik antar agama tersebut dipicu oleh derasnya arus globalisasi teknologi informasi dan komunikasi, peran dan fungsi agama sebagai moral spiritual umat manusia telah dibelokkan menjadi sumber konflik di bawah ambisi politis komunitas tertentu.1 Misalnya saja, konflik Islam dan Kristen di Poso dan banyak kasus-kasus lain yang melibatkan konfllik antar agama.

Pluralisme agama2 sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan dan pengharagaan terhadap hak asasi manusia, umat beragama hidup berdampingan dengan umat agama yang lain dalam satu kelompok masyarakat, wilayah, kota bahkan dalam satu Negara. Akan tetapi, jika kita megkaji lebih kritis lagi, pluralisme yang dimunculkan oleh Barat masih menimbulkan pertanyaan besar ketika diimplementasikan dalam realitas sosial, antara lain bagaimana memposisikan iman kita di tengah pluralitas iman yang lain? Dan praktek pluralisme yang yang dipraktekkan di Barat seringkali dijadikan dalih untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas. Hal ini menunjukkan bahwa, wacana pluralisme agama belum menyatu secara inheren dalam agama itu sendiri, justru pluralisme agama seringkali memicu konflik sosial dan sentimen keagamaan.

Dikalangan umat Islam, wacana pluralisme dipahami berbeda-beda. Salah satunya adalah pluralisme dianggap sebuah paham yang sesat sebab wacana itu lahir dari Barat (Kristen). Dan sebagian yang lain memahami bahwa pluralisme merupakan hukum Tuhan atau sunnatullah, karena Islam meyakini adanya prinsip-prinsip pluralisme sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an, antara lain: Q.S. al-Baqaroh (2): 256, Q.S. al-Kafirun (109): 6, Q.S. al-Baqaroh (2): 62, dan lain-lain. Demikian juga, terjadi pemahaman yang berbeda-beda tentang konsep HAM. Misalnya saja, sebagian umat Islam menganggap bahwa HAM betentangan dengan Islam. Hal ini disebabkan karena HAM produk barat, budaya liberal dan lain-lain. Biasanya, pendapat ini sering dikemukakan oleh kelompok fundamentalis. Sementara sebagian umat Islam yang lain menyatakan bahwa konsep HAM tidak betentangan dengan Islam, justru nilai-nilai Islam menyatu secara integral dalam Islam itu sendiri. Contoh nilai-nilai-nilai-nilai HAM

1 Fakta historis menunjukkan pada tahun 850 M., khalifah al-Mutawakkil pada masa

kekhalifahan Abbasiyah memerintahkan penghancuran terhadap gereja-gereja Kristen yang baru dibangun, serta memaku boneka kayu yang menggambarkan setan di pintu rumah-rumah orang Kristen, melarang ditampilkannya salib pada hari minggu dan melarang pelaksanaan ritus yahudi di jalan. Tindakan khalifah al-Mutawakkil tersebut jelas sangat bertentangan dengan al-Qur’an tentang perlindungan terhadap ahli al-dzimmah (minoritas yang dilindungi) (Schedina, 2002, p. 133). Hal ini menunjukkan ketika din hanif yakni agama-agama ibrahimi yaitu Kristen, Islam dan Yahudi yang berfungsi sebagai nilai moral spiritual umat manusia, sebaliknya agama cendrung dijadikan legetimasi melakukan penindasan dan kekerasan dengan dalih kekuasaan, maka yang terjadi konflik yang pada akhirnya perang atas nama agama.

2 Kata Pluralisme berasal dari kata “Plures” yang artinya “beberapa”, dengan implikasi

perbedaan. Kata ini biasanya dihadap-hadapkan dengan “dualisme” (yang menyatakan bahwa realitas fundamental ada dua), juga dengan “monisme” , (yang menyatakan bahwa realitas fundamental hanya satu) (Malik Thoha, 2005, pp. 11–16).

(4)

65

yang terdapat dalam al-Qur’an antara lain: QS. An-Nisa: 93, QS. Al-Hujarat: 256, QS. Al-Baqoroh: 256, dan lain lain.

Hemat penulis, sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam mempunyai peran besar dalam penegakan HAM “kultural”, membangun pluralisme dan menghilangkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas karena perbedaan agama, suku, dan adat istiadat. Islam diharapkan tampil sebagai agama yang menjadi garda terdepan membangun pluralisme dan melawan segala bentuk diskrimisasi karena perbedaan agama. Demikian juga sebaliknya, sebagai mayoritas, Islam tidak menutut dirinya ditempatkan dalam posisi tinggi dalam pluralisme itu. Dalam konteks inilah peran strategis Islam sebagai garda terdepan menegakkan pluralisme agama di Indonesia, karena pluralisme menjadi sebuah tolak ukur akan tegaknya sebuah konsep HAM “kultural”.

Memahami HAM “Kultural” (Cultural Rights)

Istilah HAM “kultural” merujuk kepada International Convenant on Economic,

social, and Cultural Right yang telah diratifikasi dengan Undang-undang nomor 11

tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dengan kata lain, saat ini telah ada pengakuan terhadap hak asasi manusia yang lebih spesifik yaitu pengakuan tehadap hak agama, budaya dan tradisi yang disebut dengan HAM “kultural”. HAM kultural ini tidak hanya diartikan sebagai hak asasi manusia dalam kebudayaan yang bersifat simbolik, akan tetapi hak mendasar yang dimiliki oleh individu atau komunitas yang bebas menentukan sendiri agama, kepercayaan, dan keyakinannya tanpa ada gangguan atau intervensi dari pihak manapun (Baso, 2006).

HAM kultural merupakan sebuah konsep yang belum terakomodasi dalam sekian banyak gerakan hak asasi manusia di dunia maupun Indonesia, hak-hak kebudayaan masih bersifat simbolik seperti karya seni, artefak-artefak dan lain-lain. Gerakan HAM kultural adalah bagaimana tradisi agama atau budaya membentuk identitas yang menjadikannya sebagai sarana negosiasi membangun kerukunan dan harmoni antar penganut agama, dan bahkan tradisi agama sebagai sarana resistensi terhadap penyalahgunaan agama yang mungkin dilakukan oleh kalangan elite agama atau pemerintah (Baumann, 1999; Wilson, 1997). Sementara itu, agenda Gerakan HAM kultural adalah menghapus berbagai macam diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan dengan mengedepankan sebuah dialog, mediasi, rekonsiliasi dan negosiasi antar agama dan kebudayaan tersebut.

Dengan demikian, wacana HAM kultural adalah wacana tentang kebebasan berekspresi dalam kebudayaan dan jaminan dalam kebebasan beragama. Wacana HAM kultural ini berlaku manakala dikaitkan dengan apa yang disebut dengan

(5)

66

kelompok minoritas. Karena ada yang disebut minoritas, maka negara diminta untuk melindungi agama, tradisi dan adat istidat mereka (Baso, 2006, p. 473). Dalam konteks Indonesia, Islam yang mayoritas ini bisa tampil sebagai garda depan perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia dalam bidang kultural, agama, etnis dan kepercayaan, tampil sebagai motor penggerak perjuangan pluralisme dan melawan diskriminasi berdasarkan atribu-atribut agama, tradisi, adat, maupun kepercayaan.

Persoalan HAM kultural selalu saling berkaitan antara, global human rights,

national human right, dan local human rights,3 walaupun tampak ada diskriminasi akibat

dari persilangan tersebut, tapi dalam rangka membentuk prikemanusiaan dalam bingkai nation building. Misalnya adalah Tapres tahun 1965 yang dikeluarkan oleh Soekarno. Menurut Tapres no 1 tahun 1965, dasar “Ketuhanan yang maha esa” bukan saja meletakkan dasar moral di atas negara dan pemerintahan, tetapi memastikan adanya kesatuan nasional yang berasaskan agama. Pengakuan sila pertama tidak bisa dipisahkan dari agama sebagai tiang pokok prikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia (Baso, 2006, p. 472). Komitmen terhadap identitas keagamaan membatasi hanya lima agama yang diakui oleh negara sebagaimana dalam Tapres Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU Nomor 5 tahun 1969. Pembatasan dan pengekangan itu diinstitusionalisasi dalam lembaga PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) di Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Wilayah.

Tanggungjawab negara (state obligation) dalam membangun cultural right tidak hanya berbentuk obligation of result, akan tetapi juga dalam bentuk obligation of conduct (El-Muhtaj, 2008, p. 30). Kedua tanggungjawab ini harus dapat dipenuhi oleh pemerintah, akan tetapi ketika negara gagal memenuhi hak warga negaranya terutama dalam HAM kultural maka pemerintah dapat dianggap melanggar HAM. Peran pemerintah dalam membangun tegaknya HAM terutama HAM kultural sangatlah penting. Lembaga pemerintah seperti Komnas HAM tidak hanya bekerja ketika ada kasus pelanggaran HAM, tetapi memberikan pendampingan berupa pemahaman ke masyarakat tentang pentingnya membangun HAM terutama dalam perspektif budaya, agar perspektif HAM menjadi urat nadi di tengah masyarakat.

3 Dalam Undang-undang Indonesia, istilah HAM dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang–

Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang–Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebagai rujukan dalam penegakan HAM adalah deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia (DUHAM) tanggal 10 november 1948, yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, kepemilikan, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasan beragama. Lihat, El-Muhtaj (2008, p. 10).

(6)

67 Islam dan HAM

Diskursus tentang Islam dan hak asasi manusia sebagaimana mengutip Syaukat Hussain, dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang diberikan oleh Allah SWT. kepada umat manusia. Kedua, konstruksi konsep hak asasi manusia yang dibangun oleh Islam sebagaima terdapat dalam Piagama Madinah (624 M.). Islam memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas agama, suku dan golongan. Islam juga memberikan perlindungan terhadap non muslim, wanita, anak-anak, dan lain-lain (Hussain, 1996, p. 55).

Secara spesifik al-Qur'an tidak berbicara tentang HAM. Akan tetapi nilai-nilai HAM terdapat dalam Al-Qur'an yaitu nilai keadilan, nilai musyawarah, tolong-menolong, tidak ada diskriminasi, dan lain-lain. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang HAM adalah sebagai berikut; hak untuk hidup (QS. al-Isra’(17): 33, QS. al-An’am(6): 151), hak milik (QS. al-Baqarah(2): 188, QS. an-Nisa’(4): 29), hak perlindungan kehormatan (QS. al-Hujurat(49): 11-12), hak perlindungan keamanan (Qs.an-Nur(24): 27), hak kemerdekaan (al-Hujurat(49: 6), hak perlindungan dari kekerasan (QS. al-An’am(4): 164, QS. Fathir(35): 18), hak mengajukan protes (QS. an-Nisa(4): 148, QS. Ali Imran(2): 110), hak kebebasan berekspresi (QS. at-Taubah(9): 71), hak beragama (QS. al-Baqoroh(2): 84-85), hak persamaan di depan hukum (QS. an-Nisa(4): 58), hak mendapat keadilan (QS. al-Syuro(42): 15), hak mendapat keperluan hidup (QS.adz-Dzariyat(15): 19), hak mendapat pendidikan (QS. Yunus(10): 101, QS. at-Tahrim(66): 6), hak kesetaraan gender (QS. Baqoroh(2): 228), hak anak (QS. al-Baqoroh(2): 233), hak mendapatkan suaka (al-Nisa(4): 97), hak berkeluarga (QS. an-Nur(24): 32, QS. al-Mumtahanah(60): 9), dan hak untuk bekerja (QS. at-Taubah(9): 105) (Maulana, 2015, p. 31).

Dalam dunia Islam, ada tiga dokumen tentang HAM yaitu: Piagam Madinah, Deklarasi HAM dalam Islam tahun 1981 dan Deklarasi Kairo 1990.4 Tiga deklarasi tersebut mengindikasikan bahwa Islam sangat peduli dengan persoalan HAM, sesuatu yang harus dijunjung tinggi untuk kemaslahatan umat manusia. Deklarasi ini seharusnya menjadi dasar untuk membangun budaya HAM dalam Islam, sebab justru Nabi sendiri telah memberikan contoh yang tiada bandingnya hingga saat ini. Tiada masyarakat yang lebih ideal pada masa nabi karena pengaturan dan tata kelola masyarakat madinah yang sangat plural dengan berbagai agama, suku bangsa dan

4 Deklarasi Kairo Hak Asasi Manusia dalam Islam (CDHRI) merupakan deklarasi

negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam diadopsi di Kairo pada tahun 1990, yang memberikan gambaran umum pada perspektif Islam tentang hak asasi manusia, dan menegaskan Islam syariah sebagai yang satu-satunya. CDHRI menyatakan tujuannya untuk menjadi “pedoman umum untuk Negara Anggota (dari OKI) di Bidang hak asasi manusia”. Deklarasi ini biasanya terlihat sebagai respon Islam pasca-Perang Dunia II PBB Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dari tahun 1948.

(7)

68

golongan bersatu mewujudkan masyarakat yang beradab tanpa diskriminasi (Sardi, 2016).

Dengan demikian, relasi Islam dan HAM merupakan bagian integral dari Islam itu sendiri, sebab nilai-nilai hak asasi manusia sudah tertuang di dalam al-Qur’an dan dipraktekkan langsung oleh Rosulullah SAW. di kota Madinah. Kajian HAM dalam Islam merupakan sebuah keniscayaan bagi agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal, maka dari itu kajian inklusif-progresif tentang Islam agar kontekstual dan menjawab tantangan zaman (shulihun lukulli zama wa makan). Dalam konteks ini, teori

maqosid syari’ah (tujuan syari’at Islam) sangat relevan untuk menjabarkan hak asasi

manusia dalam Islam (al-huquq al-insaniyyah fil Islam), sebagaimana terangkum dalam lima prinsip dasar (adh-dharuriyyah al-khomsah), antara lain: 1) Hifdzu al-Din (penghormatan terhadap kebebasan agama). 2) Hifdzu al-Maal (penghormatan atas harta benda). 3) Hifdzu an-Nafs (penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu). 4) Hifdzul al-‘Aql (penghormatan atas kebebasan berfikir). 5) Hifdzu an-Nasl (keharusan untuk menjaga keturunan) (Alfaruqi, 2017).

Islam dan Pluralisme

Terminologi pluralisme atau dalam bahasa Arabnya “at- Ta’addudiyah”, populer dikalangan umat Islam sekitar abad ke 20-an, ketika barat dengan ideologi modernnya secara habis-habisan menghegemoni dunia Islam, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan lain-lain. Maka dari itu, perlunya membangun pemikiran Islam yang inklusif-pluralis atau internalisasi etika pluralitas yang terdapat dalam al-Qur’an sebuah doktrin yang pro pluralisme, serta membongkar doktrin-doktrin agama yang diyakini oleh kalangan “islamis-konservatif” yang sangat eksklusif, mengembalikan nilai-nilai universal Islam, seperti kemaslahatan umat, egalitarianisme, rasionalisme dan pluralisme, dalam rangka membangun teologi inklusif dan prinsip-prinsip pradigmatik fiqih sehingga tidak terjebak dalam lubang literalisme, fundamentalisme dan konservatisme.5

5 Lihat Sirry (2004, p. 172). Upaya ulama’ terkait dengan metodologi fiqih yang inklusif antara

lain: upaya yang dilakukan oleh Imam asy-Syatibi dalam magnum opusnya al-Muwafaqot yaitu tatkala memulai upaya menangkap komitmen wahyu dan melakukan ijtihad baru sebagai upaya rekonstruksi atas orisinalitas (ta’shiil al-ushul), yang didasarkan pada nilai-nilai universal dan tujuan umum syari’ah

(maqasid asy-syari’ah). Ibn Rusyd filosuf muslim asal Abdalusia, juga melakukan hal yang sama yaitu

meletakkan rasionalitas (filsafat) sejajar dengan fiqih (agama). Dalam bidang tafsir, perlunya metode hermeneutika dalam tafsir al-Qur’an misalnya saja, Hasan Hanafi yang mempunyai pandangan hermeneutika fungsionalis yang emansipatoris. Farid Esack dalam hermenutikanya menekankan dimensi progresifitas wahyu. Dengan semangat hemeneutika tersebut setidaknya dapat melakukan perubahan yang mendasar dalam fiqih klasaik : Pertama, meingimani teks sebagai produk budaya,

kedua, mengimani tek sebagai wahyu progresif, sehingga tidak menjadikan ideologis dan dijadikan alt

(8)

69

Islam6 adalah agama universal dan sesuai untuk setiap ruang dan waktu

(shalihun likulli zaman wa makan). Sejak Islam lahir sekitar abad ke-7 dalam

pergumulannya Islam melibatkan unsur kritis pluralisme yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Kesadaran akan pluralitas ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Ketika hijra ke Madinah. Nabi Muhammad senantiasa mencari titik temu dengan berbagai golongan yang ada di Madinah dengan terlebih dahulu mengakui eksistensi masing-masing kelompok dalam dokumen yang terkenal dengan "Konstitusi Madinah".

Al-Qur’an mengakui adanya pluralitas, mengakui daya penyelamatan (salvafic

efficacy) melalui jalan yang berbeda-beda (Esack, 2000, p. 207) sebagaimana

disebutkan dalam Q.S. al-Baqaroh (2): 62. Demikian juga seperti yang ditulis Nurcholis Madjid (1992), Islam sangat menjunjung tinggi semangat pluralisme, dan mengakui adanya pluralitas dalam kehidupan sebagaimana dalam Q.S. al-Hujarat (49): 13, Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal dan saling menghargai, maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajmukan itu sendiri, dan menerimanya sebagai sesuatu yang positif (Q.S. ar-Rum(30): 22) , dan pengakuan akan hak-hak agama lain (Q.S. al-Maidah (5): 48).

Pluralisme agama dalam Islam diartikan sebagai penghargaan, toleransi,7 dan pengakuan terhadap perbedaan identitas agama lain, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Maidah (5): 48, QS. Al-Kafirun: 5, QS. al-’Ankabut (29): 46, dan lain-lain. Dalam konteks ini, paradigma pluralisme agama dibangun di atas dialog antar umat beragama guna menjalin persaudraan, kerukunan dan harmoni dalam bingkai pluralisme, menghilangkan diskriminasi, kekerasan dan konflik antar agama.

HAM Kultural melalui Peran Islam: Sebuah Proyek untuk Indonesia

Indonesia merupakan suatu bangsa yang hetrogen, terdiri dari pluralitas budaya, ras, agama dan aliran-aliran. Pluralitas budaya, ras, agama dll., mengakibatkan sistem dan ideologi pluralisme tampak sangat dielu-elukan

komitmen wahyu, seperti al-Qur’an sebagai teks terbuka, keseteraan, kemanusiaan, pluralisme, keadilan gender dan tidak diskrimanatif.

6Kata Islam sebagaimana mengutip pernyataan C.W. Smith dan Jane I. Smith, Islam

merupakan sikap kepasrahan (submission). Oleh sebab itu siapapun yang melakukan penyerahan maka seseorang itu dapat dikategorikan Muslim. Ide inilah yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi gagasan teologi inklusif dan pluralisme agama.

7 Toleransi dalam bahasa arab adalah “tasamuh”, yang berasal dari kata “sa-ma-ha” memiliki

arti tasahul (kemudahan), memperbolehkan, dan memberikan. Sebagaimana sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda, “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?” Maka beliau bersabda, “Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran).”

(9)

70

khususnya bagi kalangan non muslim di negeri ini. Kehadiran wacana pluralisme sebenarnya merupakan pranata nation-state yang dibungkus dalam kemasan “Demokrasi Liberal tapi Terpimpin”-nya Orde lama dan “Demokrasi Pancasila”-nya Orde Baru, yang seolah-olah sebagai dewa penyelamat dan pemersatu di tengah kehidupan pluralitas di Indonesia . Namun, setelah lahirnya era reformasi 1998 yang ditandai dengan semakin maraknya konflik berdarah antar umat beragama di beberapa daerah di Indonesia, khususnya setelah terjadi konflik antara Islam dan Kristen di Maluku, Sulawesi Tengah, Poso dll., pluralisme agama di Indonesia semakin populer dan mendapat pengakuan, baik moral maupun politis yang lebih besar dari pada sebelumnya di berbagai kalangan masyarakat (Thoha, 2005, p. 6).

Pluralisme agama menjadi wacana yang sangat penting dan telah mewarnai sejarah kehidupan sosial, tidak terkecuali masyarakat kontemporer, baik dalam skala kecil maupun skala besar, terutama pada negara-negara yang sangat mengedepankan relegiusitas. Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (freedom of religion and belief) seperti yang termaktub dalam Undang-Undang HAM (Indonesia) yang merupakan hak individu. Pasal 22 (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menganut agamanya dan untuk beribadah menurut agama/kepercayaannya. Pasal 22 (2) menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan setiap individu untuk menganut agama dan menjalankan agama/kepercayaannya. Dengan demikian, negara memiliki kewenangan dalam mengatur kehidupan beragama dalam menciptakan hubungan yang harmonis antar umat beragama, akan tetapi negara tidak berhak dalam memaksa warga negara untk menganut agama dan keyakinan tertentu. Karena agama meruapakn wilayah individu yang tidak dapat dibatasi dan digugurkan oleh Negara (Fuad, Pratiwi, & Aris, 2010, p. 63).

Pluralisme merupakan komponen dasar dalam HAM. Sebagai contoh, bahwa kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan tidak dapat berjalan secara baik tanpa adanya perlindungan dengan dasar hak asasi. Terkait dengan pluralisme budaya, HAM memberikan jaminan perlindungan bagi setiap masyarakat budaya seperti yang diatur dalam CESCR. Sementara Islam secara jelas tidak membeda-bedakan manusia karena budaya, karena yang memmembeda-bedakan manusia hanyalah tingkat ketakwaannya kepada Allah swt. Oleh karena itu, antara HAM dan Islam memiliki relevansi dalam melindungi setiap perbedaan budaya masyarakat atau individu, karena perbedaan budaya (multikulturalisme) merupakan bagian dari kehidupan manusia. Peran strategis pemerintah dalam konvensi hak ekonomi, sosial dan budaya (CESCR), khususnya dalam hak budaya telah diatur dalam Undang-undang No. 39/1999 mengenai HAM menyebutkan:

“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan

(10)

71

perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia” (Pasal 71).

“Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana diatur pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan negara, dan bidang lain”. (Pasal 72).

Dengan demikian, hal ini menyadarkan kita tentang petingnya agenda hak-hak kultural atau HAM kultural menjadi bagian dari agenda membangun pluralisme dalam civil society, dengan keyakinan bahwa kerja-kerja kebijakan (policy work) seharusnya didasarkan pada satu penegasan bahwa kebijakan pemerintah dalam hak-hak kebudayaan untuk membuat sekian agenda dan program untuk memenuhi dan melindungi hak asasi manusia. Kemudian HAM kultural membentuk identitasnya sendiri dan sebagai sarana negosiasi membangun kerukunan dan harmonisasi antara umat beragama.

Dalam konteks ini peran Islam sangat dibutuhkan untuk membangun pluralisme agama di Indonesia untuk tegaknya HAM kultural, aktor dalam hal ini adalah melalui Civil Society Organization seperti NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini punya caranya sendiri untuk membangun pluralisme dalam kehidupan kerukunan karena perbedaan agama. Sebagai contoh NU, dibeberapa daerah misalnya ada acara istghosah juga menghadirkan orang non muslim, pasukan Banser NU mengamankan malam Natal, dan lai-lain (Baso, 2006, p. 469).

Menegakkan HAM kultural dimulai dengan membagun budaya penghormatan terhadap kehidupan, Islam sangat menghormati kemanusia. Adapaun cara atau strategi untuk dapat membangun HAM kultural melalui peran Islam,

pertama, kita harus respek tehadap HAM yang telah dideklarasikan oleh Islam, tiga

dokumen HAM dalam Islam yang berkesinambungan dan mempunyai satu kesatuan yang integral. Kedua, HAM dalam Islam harus menjadi bagian yang integral dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, salahsatunya melalui pendidikan (Sardi, 2016).

Ketiga, senantiasa mengkampanyekan HAM kultural khususnya wacana pluralisme

agama ke masyarakat melalaui media massa, baik elektronik maupun cetak, dan media sosial. Dalam konteks media sosial sangatlah penting pada zaman keterbukaan seperti sekarang ini, karena yang berkembang saat ini adalah wacana-wacana radikal, fundamentalis yang menyebabkan kekerasan dan disintegrasi bangsa, maka counter wacana melalui media sosial untuk menangkal sikap radidikalisme denngan wacana inklusi seperti pluralisme agama agar HAH kultural bisa tegak di Indonesia.

Negara harus memberika perhatian dan perlindungan dalam memenuhi segenap hak-hak dasar warga negara dalam penegakan HAM “kultural” terutama yang bekaitan dengan kebebasan beragama dan kerukunan antar umat beragama,

(11)

72

tanpa diskriminasi, tanpa pengecualian dan tanpa pemilihan mayoritas dan minoritas. Sebagaimana lazimnya, posisi yang mayoritas “Islam” inilah yang selalu mendapatkan perlakuan dominan dan mempengaruhi setiap proses berbangsa dan bernegara. Inilah bentuk diskriminasi yang jelas-jelas didasarkan pada sentiment perbedaan agama dan logika berkuasa negara serta aparat birokrasinya dengan dalih mayoritas. Persoalan diskriminasi inilah yang menyadarkan kita tentang pentingnya menegakkan HAM kultural menjadi agenda perjuangan civil society, dengan keyakinan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam persoalan kebebasan beragama dan kerukunan antar umat beragama bukan semata-mata sentiment “mayoritas”, akan tetapi merupakan kewajiban negara dan pemerintah untuk membuat sekian agenda dan program untuk memenuhi dan melindungi hak asasi manusia (Baso, 2006, p. 471).

Epilog

HAM “kultural” diartikan sebagai akomodasi hak-hak komunitas atas identitas kultural. HAM kultural tidak hanya diartikan sebagai hak asasi manusia dalam kebudayaan yang bersifat simbolik, akan tetapi hak mendasar yang dimiliki oleh individu atau komunitas yang bebas menentukan sendiri agama, kepercayaan, dan keyakinanyannya tanpa ada gangguan atau intervensi dari pihak manapun.

Sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam mempunyai peran besar dalam penegakan HAM “kultural”, membangun pluralisme dan menghilangkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas karena perbedaan agama, suku, dan adat istiadat. Islam diharapkan tampil sebagai agama yang menjadi garda terdepan membangun pluralisme dan melawan segala bentuk diskrimisasi karena perbedaan agama, Demikian juga sebaliknya, sebagai mayoritas, Islam tidak menutut dirinya ditempatkan dalam posisi tinggi dalam pluralisme itu. Dalam konteks inilah peran strategis Islam untuk dapat mengkampanyekan dan menegakkan pluralisme agama di Indonesia, karena pluralisme menjadi sebuah tolak ukur akan tegaknya sebuah konsep HAM “kultural”.

Ada beberapa prospek upaya menegakkan HAM kultural melalui Islam.

Pertama, kita harus mengenal terlebih dahulu konsep HAM dan pluralisme agama

dalam Islam, agar tertanam pemahaman dan membentuk prilaku yang baik dan terhindar dari kekerasan dan diskriminasi. Kedua, peran aktif CSO (civil society

organization) seperti NU dan Muhammadiyah untuk menjadi garda depan motor

penggerak HAM dan pluralisme agama di Indonesia. Ketiga, media sosial harus dikuasi oleh wacana-wacana inklusif untuk meng-counter wacana-wacana yang radikal. Islam sebagai mayoritas di Indonesia punya andil besar terhadap tegaknya

(12)

73

pluralisme dan HAM kultural, karena baik dan buruknya bangsa dan negara ini tergantung pada “Islam” yang mayoritas itu.

Daftar Pustaka

Alfaruqi, D. (2017). Korelasi Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam. SALAM: Jurnal

Sosial dan Budaya Syar-i, 4(1), 57–76.

Baso, A. (2006). NU studies: pergolakan pemikiran antara fundametalisme Islam &

fundamentalisme neo-liberal. Jakarta: Erlangga.

Baumann, G. (1999). The multicultural riddle: Rethinking national, ethnic, and religious

identities. London: Routledge.

El-Muhtaj, M. (2008). Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya. Jakarta: Raja Grafindo.

Esack, F. (2000). Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas (Terj.). Bandung: Mizan.

Fuad, A. N., Pratiwi, C. S., & Aris, S. (2010). Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Malang: Madani.

Hussain, S. (1996). Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Madjid, N. (1992). Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.

Maulana, M. A. (2015). Konsepsi HAM dalam Islam antara Universalitas dan

Partikularitas. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.

Sardi, M. (2016). Membangun Budaya Hak Asasi Manusia dalam Islam Sebagai Jawaban

Mengatasi Tindak Kekerasan Berlatar Agama. Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta, Yogyakarta.

Schedina, A. A. (2002). Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam

Islam, terj. Jakarta: Serambi.

Sirry, M. A. (2004). Fiqih lintas agama: membangun masyarakat inklusif-pluralis. Jakarta: Paramadina.

Thoha, A. M. (2005). Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif. Wilson, R. (1997). Human rights, culture and context: Anthropological perspectives.

(13)

74

Praktek Politik Transaksional Menjelang Pemilu 2019 di Kabupaten

Wonosobo

Bambang Sugiyanto

PIAUD – Universitas Sains Al Qur’an bambangsugiyanto81@gmail.com

Abstract

When it comes to general elections, each candidate will certainly pass the winning strategy by getting as much support as possible. This paper examines specifically the phenomena leading up to the 2019 general elections in Wonosobo, Central Java. Using the case study method by emphasizing the primary source of the interview results, this research confirms the existance of money politics. As is generally the case in other regions in Indonesia, transactional politics also become parts of the celebaration of democracy in Wonosobo. In addition, the public has indeed been carried away by the buying and selling vote because they are pragmatic in mind. This fact has been increasingly used by political elites to win votes by providing money and similar assistance.

Keywords: money politics, general election, Wonosobo

Abstrak

Ketika datang waktunya pemilihan umum, setiap kandidat tentu akan melalukan strategi pemenangan dengan mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya. Tulisan ini meneliti secara spesifik fenomena menjelang pemilu 2019 di kabupaten Wonosobo. Dengan menggunakan metode studi kasus dengan menekankan sumber primer dari hasil wawancara, penelitian ini mengkonfirmasi jamaknya praktek politik transaksional. Seperti umumnya terjadi di daerah lain di Indonesia, politik transaksional juga mewarnai pesta demokrasi di Wonosobo. Selain itu, masyarakat memang telah terbawa arus jual beli suara karena mereka berpikiran pragmatis. Hal ini justru semakin dimanfaatkan oleh elit politik untuk meraup dukungan suara dengan memberikan uang maupun bantuan serupa.

Kata kunci: politik transaksional, pemilu, Wonosobo

Latar belakang

Pemilihan lkepala ldaerah l(pilkada) lsecara llangsung lmerupakan lsalah lpraktek lperwujudan ldemokrasi ldi ltingkat llokal. lSebagai lnegara ldemokrasi, lIndonesia lmenerapkan lpilkada lsebagai lupaya luntuk lmewujudkan ltata lpemerintahan lyang lefektif. lPemilihan lseperti lini lberfungsi luntuk lmenentukan lpemimpin lyang lkompeten

(14)

75

luntuk lduduk ldan lmenjalankan lfungsi lpemerintahan l l(Sardini, l2011, lp. l298). lNamun ldalam lperjalanannya lhingga ltahun l2019, lpilkada ltelah lmenuai lpro ldan lkontra ldi lbeberapa lkalangan, lbaik lpraktisi, lakademisi, lmaupun lmasyarakat lsecara lumum. lHal lini ldapat ldilihat ldengan lterjadinya lpemborosan langgaran lserta ljanji lyang ltidak lsesuai ldengan lyang ldikampanyekan. lBahkan lbanyak lkepala ldaerah lyang lterjerat lkasus lpelanggaran lhukum. lSengketa lantar lpendukung lmasing-masing lcalon latas lketidakpuasan lperolehan lhasil lsuara ljuga lberujung lpada lkonflik lhorizontal ldi lbanyak ldaerah. lHal lini ljuga ltambah ldengan ladanya lmoney lpolitics ldan lkasus lkorupsi lyang lmelibatkan lbeberapa lkepala ldaerah ldi lIndonesia l(Djauhari, l2011). l

Tidak lhanya lkepala ldaerah, lkorupsi ljuga lmenjerat lbanyak langgota lDPRD, lsalah lsatunya ladalah lkasus ldi lKabupaten lWonosobo. lContoh lyang lsempat lmenjadi lpembicaraan ladalah lkasus lMantan lDPRD ldham lChalied lyang ldihukum lempat ltahun lpenjara l(Kompas.com, l2014), lserta lkasus langgota lDPRD lWonosobo, lKhamim lalias lMuhamad lHamimil lMutaqin, lyang ldididakwa latas lkasus lpemotongan ldana lbantuan lsosial l(Tribunnews.com, l2015).

Beberapa lkasus lkorupsi lyang lmuncul ldalam lbentuk lpolitik ltransaksional ljuga lnampak lmenjelang lpilkada lserentak ltahun l2019 ldi lsalah lsatu lkabupaten ldi lJawa lTengah ltersebut. lHal ltersebut ldapat lditelusuri ldari lproses lpengajuan lusulan lcalon linternal lpartai lpolitik, lhingga ltahapan-tahapan lpilkada lyang lberjalan lselanjutnya. lPolitik ltransaksional ldalam lpilkada lini ldampaknya ltidak lhanya lsampai lpada lhasil lpemenangan lpilkada, lnamun ljuga lpada lpenyelenggaraan lpemerintahan lyang ltidak lefektif lsetelah lpilkada ltersebut.

Politik lyang ltidak lfair ldan ljujur ini lditunjukkan ldengan lterutama ladanya lpraktek-prakter lmoney lpolitics, lsebagaimana ltelah ldisebutkan ldi lawal. lMoney lpolitics latau lpolitik luang ldilakukan loleh lpara lelit lpolitik lsecara ltidak lfair lsebagai

lmodal luntuk lmemperoleh lkekuasaan. lHalini ltidak lhanya lterjadi ldalam level lpolitik lnasional lsaja, lnamun ljuga lsampai lpada ltingkat lokal lsebagai lsymbol ltali lasih lyang lbermakna lsosial l(Kana, l2011). lSingkatnya, lpolitik luang ltelah lmenjadi lnstrumen luntuk lmemperoleh lsebanyak lmungkin lsuara ldalam lpemilu. l

Dengan ldemikian, ltidak lmenutup lkemungkinan lkasus lsepertiini ljuga lterjadi ldi ltengah lmasyarakat lWonosobo lsebagaimana ldua lcontoh lkasus lyang ltelah ldipaparkan ldi latas. lUntuk itu, lpenulis lberusaha lmeneliti lpolitik ltransaksional ldi lKabupaten lWonosobo lterutama lmenjelang lpilkada l2019. lUntuk itu, lpokok lpertanyaan ldalam lstudi ini ladalah lBagaimana lpraktek lpolitik ltransaksional loleh lcalon

llegislatif lpada lPemilu ltahun l2019 ldi lKabupaten lWonosobo? lDengan lrumusan lmasalah

ltersebut, lmaka lpenelitianini lbertujuan luntuk l(1) lmengetahui lpola latau lbentuk lpolitik ltransaksional lyang ldilakukan loleh lcaleg lmenjelang lpemilu l2019, lserta l(2) lmengetahui lmodus/motivasi/alasan lsikap ldari lcaleg ldan lmasyarakat lterhadap lpolitik ltransaksional.

(15)

76 Kajian lPustaka l

Penelitian lmengenai lpolitik ltransaksional lmemang ltidak lbegitu lbanyak. lKebanyakan lpenelitian ltentang ltema ini lebih lcenderung lmemfokuskan lpada lpenegakan lhukum ldan lmotif-motif ldalam lmelakukan lpolitik ltransaksional lserta lvariasinya. lWahyu lTriono lKS l(2017) l“Politik lTransaksional lPada lPemilukada lSerentak l(Suatu lTinjauan lAnalisis lTeori lDesentralisasi)” lmenyatakan lbahwa lpolitik ltransaksional ltelah lmengkontaminasi lpesta ldemokrasi. lHalini ltidak lepas ldari lbudaya lpolitik lpatrimonial latau lklientelisme. lSementara litu, lpolitik luang ljuga ldipengaruhi loleh lbeberapa laspek. lDiantaranya ladalah lambisi lcalon lyang lkuat, lfaktor lkebutuhan luang ldari lmasyarakat lterutama lmereka lyang lmiskin, ltingkat lPendidikan lmasyarakat lyang lrendah, ltidak ladanya lbudaya lmalu ldan ldealisme, lserta lpengawasan lyang ltidak lkuat l(Fuadi, l2012). lPrakter lseperti litu ltentunya lmenimbulkan ldampak lyang ltidak lbaik. lBahkan lsebagaimana ldalam lpandangan lhukum lIslam, l lmoney lpolitics ladalah lpraktek lHaram lmeski lkegiatan ltersebut ltelah ldianggap lwajar ldi lkalangan lmasyarakat l(Abdillah, l2009).

Anggapan lbahwa lpolitik ltransaksional ladalah lprakter lyang lwajar ini ljuga ldikonfirmasi loleh lFitriyah l(2012). lIa lberpendapat lbahkan lmasyarakat lsecara lprakmatis lberpendapat lbahwa lbantuan ldalam lbentuk lpemberian luang latau lsejenisnya lharuslah lada ldalam lPilkada. lBerdasarkan lpenelitian-penelitian ltersebut, lposisi lpenelitianini lebih lpada lpenggambaran lterhadap lfenomena lmasyarakat lyang lterjadi lselama lPemilu ltahun l2019. lDengan lfocus lpenelitian ldi lKabupaten lWonosobo, lpenelitianini lebih lmenekankan lpada lmodel ldan lbentuk ldari lpolitik ltransaksional, lmotivasi lyang lmendasari lpolitik ltransaksional lserta laktor lyang lberperan.

Metodologi

Penelitian ini lmenggunakan lpendekatan ldeskriptif lanalitik, lyaitu ldengan lmembuat ldeskripsi lnformasi, ldata, lperistiwa ldengan lcara lfaktual, lsistematis, ldan lakurat. lCara ini ldilakukan lmenggunakan lnformasi ldan ldata ldari lpernyataan lbeberapa lsumber. lUntukitu, lfokus lokasi lpenelitianini ladalah lmasyarakat lKabupaten lWonosobo, lDPRD lKabupaten lWonosobo, lserta lpihak-pihak lyang lberperan ldan lmengetahui lmengenai lpolitik ltransaksional. l lData lyang ldigunakan ladalah ldata lprimer lmaupun lsekunder. lData lprimer ldi lkumpulkan loleh lpeneliti ldari lhasil lwawancara lkepada lnforman latau lsumber-sumber lyang lkompeten ldalam lmenjawab lpermasalahan ini. lSementara litu, ldata ldekunder, ldidapatkan ldari lartikel, lbuku, lmajalah, lhasil lpenelitian lterdahulu lserta ldokumen-domumen lyang lrelevan.

(16)

77 Money Politics dalam Pemilu

Money lpolitics lmerupakan lpraktek lyang lmelibatkan l“pasar ldukungan lpolitik”

l(electoral lmarket) ldengan l“pembeli lsuara” l(vote lbuyers) lmemberikan luang lataupun lbarang ldan ljasa lsesuai ldengan lapa lyang ldiinginkan loleh l“penjual lsuara” l(vote lseller),

lserta lpenjual lsuara lmenyerahkan lsuaranya lsebagai lwujud lmbalan latas luang latau lbarang ldan ljasa lyang ltelah lditerimanya l(Sumarto, 2018).

Mengenai lpemberian lmateri lsebagai lstrategi lpemenang lelektoral, lStokes l(2011) lmenjelaskan ldalam lskema ldistributive lpolitics latau lpolitik ldistributif. lStokes lmembedakan lmaterial lsumber ldaya lyang ldidistribusikan lyakni lapabila lsumber ldaya lyang ldidistribusikan lbersifat lpublik lmaka ldikategorikan lsebagai lstrategi lpemenangan lprogramatik, lnamun lbila ltidak lbersifat lpublik lataupun lbarang lpublik lyang ldi l“personalisasi” lmaka ltermasuk ldalam lstrategi lpemenangan l

non-programatik. lDalam lstrategi lnon-programatikini, lpemberian luang ldibagi lmenjadi ldua lbentuk lyaitu lvote lbuying ldan lpork lbarrel.

Gambar 1

Skema Politik Distributif

Sumber : Stokes (2009, p. l)

Vote lbuying latau lbiasa ldisebut ldengan lpembelian lsuara ladalah lsalah lsatu

lbentuk ldari lmoney lpolitics ldengan lcara lmemberikan luang lkepada lpemilih ldalam lbentuk lfresh lmoney lpada lpemilih. lMenurut lSchaffer ldan lSchadler l(Schaffer &

Schedler, 2007, p. l7), lpraktek ljual lbeli lsuara lseperti lkontrak latau llelang ldimana lpembeli lmenjual lsuara lmereka lpada lpenawar ltertinggi. lDalam lhal lini logika ltransaksi lkomersil lbekerja ldengan lprinsip ljika lpembeli ltidak lmemberikan lpenawaran ltertinggi, lmaka lseorang lpenjual ltidak lakan lmemberikan lsuaranya lkepada lpembeli ltersebut. lSchaffer lmenjelaskan lbahwa lpembelian lsuara lyang ldilakukan loleh lkandidat lwakil lrakyat lmemiliki lbeberapa lkriteria, lantara lain: l(1) lMateri lyang ldiberikan loleh lpolitisi

(17)

78

luntuk lditukar ldengan lsuara lpemilih ldibagikan lbeberapa lhari latau lbeberapa ljam lmenjelang lpemilihan lumum; l(2) lTarget lpenerima lmateri lyang ldipertukarkan luntuk lmemperoleh lsuara lpemilih ladalah liindividu ldan latau lrumah ltangga; l(3) lMateri lyang ldipergunakan luntuk lmembeli lsuara lmerupakan lbarang lprivat latau lbarang lpublik lyang ldi l“personalisasi” l(Schaffer & Schedler, 2007).

Selain itu, lSchaffer ljuga lmemberikan lbeberapa ldentifikasi lterhadap lbentuk lpenawaran lyang ldilakukan loleh lpara lkandidat, lyaitu: l(1) lSebagai lsebuah luang lmuka lyaitu lwarga ldipandang lsebagai lpemilih ldalam lmodel lpasar lklasik lyang lmenganggap lpenawaran lsebagai lpembayaran ldari ljasa lyang lmereka lberikan lkepada lkandidat lberupa lhak lpolitik lyang lmereka lmiliki; l(2) lSebagai lsebuah lupah, lyakni lpembayaran lyang ldilakukan loleh lkandidat ldidasari latas lpemberian lupah lkepada lpemilih lyang ltelah lmendukung lterselenggaranya lkampanye lseperti lmenempel latribut lkampanye lkandidat; l(3) lSebuah lhadiah lmerupakan lpenawaran lyang ldiberikan loleh lkandidat ldengan lkonsekuensi lmenciptakan lkeharusan lbagi lmasyarakat luntuk lmemilih lkandidat lyang ltelah lmemberi lhadiah lmereka l(Schaffer & Schedler, 2007).

Pork lbarrel lbiasanya ldiidentikkan ldengan lproyek-proyek lpembangunan

lataupun lperbaikan lfasilitas lpublik lyang ldilakukan loleh lkandidat, lhalini lbertujuan luntuk lmeningkatkan lpeluang ldipilihnya lkandidat ltersebut ldalam lpemilu. lPork lbarrel

lmemberikan lbarang lyang lbersifat lpublic lgoods, lsehingga lbergeraknya lpada larena lbarang-barang lpublik luntuk ldipertukarkan ldengan lsuara lpemilih l(public-goods

lelectoral lmarkets) lseperti lpembangunan lfasilitas lpublik lataupun lprogram lsosial

(Sumarto, 2018, p. 31). lTarget lpenerima lpork lbarrel ltersebut lmenyeluruh lberdasarkan lwilayah lgeografis latau lterritorial ltertentu lsesuai ldengan ldaerah lpemilihan ldari lcalon langgota llegislatif lterkait.

Money lpolitics ldalam lkampanye lselalu lmelibatkan lntermediary lagent ldengan

ltujuan luntuk lmenghindari ljeratan lhukum lyang lada lsecara ldiam-diam. lDalam lprosesnya lpelibatan lagen lpenghubung lsangat lpenting ldalam lsetiap lpemilihan lumum luntuk lmenjaring lsuara lpemilih lpada level lokal. lDalam lproses lpembelian lsuara, lseorang lkandidat lperlu lmenyewa lpolitikus lokal latau lagen lpenghubung lokal lyang lmemiliki lpengetahuan lokal lsecara lterperinci ldengan lkriteria: lseseorang lyang lmengetahui lkepada lsiapa la lakan lmemberikan luang, lseseorang lyang ldapat ldipercaya, ldan lbagaimana lhubungan ini ldapat ldigunakan luntuk lmemperngaruhi lpemilih. lAdanya lpemanfaatan ljaringan lpribadi lkandidat lyang lmemiliki lkedekatan lsosial ldipercaya loleh lkandidat lsering lkali ldimanfaatkan lsebagai lagen lpenghubung, lhal lini lkarena lapabila lkandidat ltidak lmemilih lorang lyang ltepat lmaka lakan lmembawa lresiko lpada ldiketahuinya lskema lpembelian lsuara lyang ldilakukan loleh lkandidat (Schaffer &

(18)

79 Politik Pemilu di Kabupaten Wonosobo

Kondisi politik di Kabupaten Wonosobo masih sama dengan wilayah-wilayah

lain. Namun bedanya di wilayah Kabupaten Wonosobo selain mempunyai

sumberdaya alam yang melimpah, juga masyarakat pemilihnya masih tergolong pragmatis sehingga mudah untuk memobilisasi secara materialis dengan kata lain

menggunakan politik transaksional. Sehingga para pemodal mempunyai kesempatan yang llebar untuk memenangkan Pileg atau Pilkada yang diselenggarakan di

Kabupaten Wonosobo. Berdasarkan data dari KPUD Kabupaten Wonosobo tahun 2014 pemenang Pemilu tahun 2014 kemarin adalah Partai Demokrat. Berdasar rekapitulasi jumlah perolehan suara pada memilu DPRD Kabupaten Wonosobo tahun 2014 disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 1

Rekapitulasi lJumlah lPerolehan lSuara lSah lPartai lPolitik lpada lPemilu l2014

No Partai lPolitik

Perolehan lSuara lSah

Jumlah lSuara lSah Dapil l1 Dapil l2 Dapil l3 Dapil l4 Dapil l5 Dapil l6 1 Partai lNasdem 7,160 1,617 4,195 5,688 10,163 6,619 35,442 2 Partai lKebangkitan lBangsa l(PKB) 12,480 10,815 13,479 26,278 16,077 10,579 89,708

3 Partai lKeadilan lSejahtera

l l(PKS) 7,912 1,583 2,014 3,037 4,040 970 19,556 4 Partai lDemokrasi lndonesia lPerjuangan l(PDIP) 17,560 13,831 15,368 11,375 22,697 8,725 89,556

5 Partai lGolongan lKarya

l(Golkar) 7,191 11,507 8,034 4,740 3,488 8,555 43,515

6 Partai lGerakan lndonesia l

lRaya l(Gerindra) 4,835 5,540 12,806 7,806 6,122 2,914 40,023

7 Partai lDemokrat 5,255 5,053 3,243 6,445 3,825 8,492 32,313

8 Partai lAmanat lNasional l

l(PAN) 5,520 3,962 7,569 5,012 4,048 8,082 34,193

9 Partai lPersatuan

(19)

80

10 Partai lHati lNurani

lRakyat l(Hanura) 2,928 5,304 4,990 10,597 7,115 5,322 36,256

12 Partai lBulan lBintang

l(PBB) 355 296 203 265 289 207 1,615

13

Partai lKeadilan l ldan lPersatuan lndonesia l(PKPI)

130 146 145 340 269 85 1,115

Sumber : KPUD Kabupaten Wonosobo (n.d.)

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa suara terbanyak pada pemilu tahun 2014 di Kabupaten Wonosobo adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 89.708 suara. Hal tersebut dikarenakan basis agama di Kabupaten Wonosobo masih sangat kental, sehingga bukan hal yang baru apabila Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menempati posisi dalam perolehan suara Pileg tahun 2014. Kemudian disusul PDI Perjuangan dengan 89.556 suara, berikutnya ditempati Partai Golkar dengan 43.515 suara, berikutnya Partai Gerindra dengan 40.023 suara, PPP dengan 39.425 suara, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan 36.256, Partai Nasdem dengan 35.442 suara, Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 34.192 suara, Partai Demokrat dengan 32.313 suara, PKS dengan l9.556 suara, PBB dengan l.515 suara, dan

terakhir PKPI dengan l.115 suara.

Selain data perolehan suara sah pada pemilu 2014 tersebut terdapat data DPT terbaru berdasarkan data pada Pilgub Jawa Tengah tahun 2018. Data tersebut untuk memberikan pengetahuan sekaligus memetakan jumlah dukungan yang kemungkinan berpotensi untuk mendongkrak suara pada Pileg 2019 berdasarkan wilayah teritorial kecamatan sebagai berikut.

Tabel 2

Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilgub Jawa Tengah 2018

No. Kecamatan Jumlah TPS

Jumlah Pemilih

Pemilih Difabel Laki-Laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (4) (5) (6) (7) (8)

1. Garung 90 21.430 19.923 41.353 67

(20)

81 3. Kalikajar 144 27.465 25.942 53.407 98 4. Kaliwiro 117 21.359 21.116 42.475 114 5. Kejajar 89 17.312 16.130 33.442 44 6. Kepil 130 24.887 24.176 49.063 76 7. Kertek 168 33.170 32.223 65.393 124 8. Leksono 90 17.483 17.512 34.995 105 9. Mojotengah 118 24.264 22.354 46.618 51 10 Sapuran 122 23.504 22.517 46.021 48 11. Selomerto 108 20.168 20.215 40.383 98 12. Sukoharjo 72 13.879 13.490 27.369 59 13. Wadaslintang 124 24.049 23.671 47.720 91 14. Watumalang 117 21.728 21.037 42.765 83 15. Wonosobo 163 32.661 32.489 65.150 118 JUMLAH 1.717 334.488 323.345 657.833 1.199

Sumber: KPUD Kabupaten Wonosobo (n.d.)

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa Kecamatan Kertek menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak dibandingkan kecamatan-kecamatan

lainya. Namun yang menarik adalah Kecamatan Wonosobo menjadi kecamatan

dengan jumlah penduduk terbanyak ke dua setelah Kecamatan Kertek. Hal ini menjadi menarik karena Kecamatan Wonosobo merupakan Kecamatan Kota dari Kabupaten Wonosobo dengan Desa terbanyak dibandingkan Kecamatan lainnya.

Dengan kata llain wilayah Kecamatan Kertek sangat berpotensi dalam

memberikan suara yang banyak bagi para anggota llegislatif sehingga calon yang

mampu menguasai kedua kecamatan tersebut sudah dapat dipastikan memenangkan pemilu. Dalam data tersebut mengacu pada data pilkada pada tahun 2018 karena data

(21)

82

yang mengalami perkembangan sudah berbeda jauh dengan data Pemilu pada tahun 2014 yang lalu. Bahkan data tersebut merupakan data terbaru.

Politik Transaksional Menjelang Pemilu di Kabupaten Wonosobo

Pengetahuan Masyarakat

Sebelum memahami praktik politik berbasis transaksional yang telah dilakukan oleh para caleg menjelang pilkada 2019 di Wonosobo, adalah penting untuk membahas pengetahuan masyarakat maupun praktisi politik tentang politik transaksionalitu sendiri. Sebenarnya, sebagian masyarakat telah mengetahui dan mampu mengkarakterisasi lisu-isu politik transaksional. lndividu telah mulai bersikap

kritis ketika pemilihan umum dilaksanakan. Dari hasil wawancara, mayoritas

lnforman memahami lsu politik transaksional, baik dari pelakunya maupun objek

politik transaksional tersebut. Berikut ini merupakan kutipan lnterview dengan

seorang anggota DPRD Wonosobo dari fraksi Gerindra:

“...tentu saya paham apaitu politik transaksional, politik transaksional adalah

cara untuk membeli suara dari masyarakat untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya dengan cara memberikan sesuatu kepada masyarakat...” (Hasil wawancara 8 November 2018)

Pernyataanini menyiratkan, dari kacamata politikus di kabupatenini, politik transaksional merupakan strategi untuk bertransaksi kepada masyarakat demi mengumpulkan suara kemenangan agar terpilih sebagai anggota llegislatif Wonosobo.

Politik transaksional adalah jual beli politik yang bahkan begitu terlihat dalam politik

lokal Wonosobo. Pernyataanini selaras dengan pernyataan Bayu Aditya: “...politik transaksional adalah dimana seseorang pemilih menerima sesuatu (uang/barang) dari salah satu calon dan uang/barang tersebut digunakan untuk

kepentingan calonitu sendiri...”(Hasil wawancara 8 November 2018)

Ini menunjukkan bahwa masyarakat telah dapat memaknai politik transaksional. Pola transaksi politik yang terjadi di tengah masyarakat ini menunjukan eksisnya jual beli secara langsung harga dukungan suara seseorang yang

ditukar dengan uang/barang. Praktis, transaksiini telah menjadi hal yang jamak dan tidak lagi bersifat sembunyi-sembunyi. la telah menjadi tradisi yang mengakat dalam

pola perilaku pemilih maupun para calon llegislatifitu sendiri.

Masyarakat umum dan aktor politik di Wonosobo memahami politik transaksional berdasarkan pengalaman yang sudah dialami dan menjadi pengalaman. Artinya, pemahaman tentang politik transaksional telah mereka peroleh dari pengalaman berpolitik mereka alami.

(22)

83

Politik transaksional saat pemilu 2014 di Wonosobo sangat mungkin sekali terulang di pemilu tahun 2019. Tetapi, penelitianini juga memerlukan penjelasan konkrit tentang ada atau tidaknya praktek transaksional sepertiitu menjelang pemilu 2019 di Wonosobo. Halini dijelaskan oleh Suwarno, anggota DPRD Wonosobo dari

lpartai lGolkar.

“...pada lpemilu ltahun l2014 ltentu lsaja lada lpolitik ltransaksional, ltidak lhanya lpada

lpemilu l2014 lsaja, lnamun lpada lpemilu-pemilu lain lseperti lPilkada, lPilkades,

lPilgub, lPilpres, lbankan lpemilihan lumum lyang lakan ldatang lbisa ljuga lterdapat

lpermainan lpolitik ltransaksional ldisitu lseperti ldi ltahun l2019 lnanti...”(Hasil

lwawancara l10 lNovember l2018)

Pernyataan ini menunjukan pemilu 2014 di Kabupaten Wonosobo yang diwarnai politik transaksional akan terjadi pula di pemilu 2019.

Pernyataanitu tampaknya mengindikasikan bahwa setiap hajat demokratis seperti pemilu di kabupaten Wonosobo ‘mengharuskan’ ada permainan transaksional. Mmbeli suara adalah cara efektif mobilisasi massal untuk mendapatkan suara lyang lsignifikan. lPolitik ltransaksional ltelah lmenjadi lbudaya lpolitik lmasyarakat ldan lelit lpolitik lokal. lPolitik ltransaksional ladalah lritual lwajib lyang lharus ldilakukan loleh lkandidat latau lpenguasa lpotensial lainnya luntuk lmendapatkan ldukungan lmasyarakat. lPolitik lseperti ini lsudah lmenjadi lrahasia lumum. lKarena lmemiliki lnominal ldan lmemiliki lkekuatan luntuk lmempengaruhi lpemilih, laktor lpolitik lebih lsering lmenggunakan lstrategiini luntuk lmencapai ltujuan lmereka.

Penelitian ini ljuga lmenemukan lbahwa lKabupaten lWonosobo lmemiliki lntensitas lpolitik ltransaksional lyang ltinggi. lDi lKabupaten lWonosobo, lpolitik ltransaksional lsering lterjadi lketika partai-partai demokratis digelar, seperti Pilkada,

Pileg atau Pilkades.ini diungkapkan oleh pernyataan Riyan yang menjadi Panwascam di kecamatan Kepil.

“...di Kabupaten Wonosoboini tergolong sering terjadi politik transaksional.

Bahkan di setiap ada kegiatan pemilihan apapun pasti terjadi politik

uang...”(Hasil wawancara l0 November 2018)

Pernyataan ini memperjelas bahwa di Wonosobo sering terjadi politik transaksi. Orang lmenjadi llebih lpragmatis ldalam lmembuat lpilihan lmereka. lPemahaman ldan lapresiasi lmaterialis ltelah lmengakar ldalam lkehidupan lpolitik lmasyarakat lsetempat. lntensitas kebiasaan politik transaksional yang cenderung

tinggiini menunjukkan adanya dampak dari modernisasi masyarakat yang cepat dan mempengaruhi pemikiran mereka. Ada kebutuhan yang terus meningkat mendorong orang untuk mendapatkan penghasilan atau transaksi yang menurut mereka menguntungkan. Pola lsosial ini ltelah ldigunakan loleh lelit lpolitik ldari ltingkat lokal lhingga lnasional luntuk lmemobilisasi lmasyarakat. Pemilu 2019 juga menunjukkan

(23)

84

bahwa pola ini berulang karena tidak ada perubahan signifikan dalam pola pragmatisme politik antara kandidat dan pemilih.

Bentuk dan Model Politik Transaksional

Selainitu, jika melihat praktik umum politik transaksi di kabupaten Wonosobo, kita harus melihat pula ke dalam lbentuk ldan lmodel lyang lsering ldilakukan loleh lelit lpolitik ldalam lmelakukan ltransaksi ldi lpemilu l2014. Seperti disebutkan di bagian

sebelumnya, politik transaksional di kabupaten Wonosobo cukup tinggi. Dengan adanya politik transaksional antara kandidat dan pemilih pada tahun 2014 di wilayah Wonosobo.

Di Kabupaten Wonosobo, ada tanda-tanda pola perilaku llegislatif yang masuk

ke dalam politik transaksional seperti dalam pemilu 2014. Dalam persiapan untuk pemilihan 2019, pemilih ditawari barang atau uang untuk mengkonfirmasi dukungan mereka sebelum di bilik pemilihan umum. Halini juga diperkuat oleh pernyataan Amir selaku anggota masyarakat.

“...ada pemberian dari caleg berupa sembako dan bantuan dana untuk

perbaikan jalan dan masjid 2 minggu yang lalu...”(Hasil wawancara l4

November 2018)

Pernyataan Amir mengkonfirmasi pernyataan sebelumnya bahwa hadiah dan barang diperdagangkan dalam bentuk makanan pokok sebelum pemilihan 2019 di Wonosobo. Walaupun lnformasiini tidak secara jelas menunjukkan maksud atau

alasan kandidat untuk memberikan dukungan kepada masyarakat, donasi seperti ltu

dapat menjadi salah satu strategi untuk memenangkan suara di area di mana dukungan tersebut telah diberikan.

Terkait strategi kandidat untuk mengumpulkan suara, mereka tentu tidak hanya mendanai semua orang secara acak. Kelompok sasaran ditargetkan dan dukungan akan memiliki dampak besar pada kemenangan suara di kemudian hari. Cara-cara ini digunakan oleh kandidat untuk memobilisasi untuk mendapatkan dukungan. Dengan menargetkan mobilisasi suara pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu, akan llebih mudah bagi para calon untuk meraup suara pada

pemilu 2019 nanti. Keinginan masyarakat juga akan dibawa oleh kandidat dalam bentuk lsu atau permasalahan tertentu yang akan menguntungkan mereka. ini

diperdalam oleh pernyataan dari Kholiq, anggota DPRD partai Golkar.

“...tahun lalu, ldalam lpemberian lbarang ldan ltransaksional ltersebut lkita

lmengunjungi lkelompok-kelompok lpengajian, lPKK, lrapat lRT, lKarang lTaruna

lbahkan lpada lmajelis-majelis ldi lmasjid lyang lsedang lberkumpul...”(hasil

(24)

85

Kelompok-kelompok lyang lsering ldikunjungi latau lditargetkan loleh lkandidat luntuk lmobilisasi lmassa ladalah lkelompok lmasyarakat ltertentu. lMelalui l

kelompok-kelompokini, lsu lyang ldiajukan loleh lpara lkandidat lmenjadi lsubjek ldan lmudah luntuk lmengurangi lkepentingan lpribadi lmasyarakat lmenjadi lkepentingan lkelompok. lDampaknya ladalah lbanyak lsuara ldan ltidak lbanyak lbiaya. Bahkan, beberapa

kandidat memiliki kontrak atau perjanjian tertulis dengan masyarakat mengenai kelompok sasaran mereka dalam melakukan politik perdagangan. Seperti terungkap dalam pernyataan Soleh, anggota DPRD Wonosobo Fraksi Gerindra.

“...terdapat beberapa caleg yang melakukan kontrak kesepakatan dengan kelompok masyarakat tertentu, sepengetahuan saya ada caleg dari partai

Golkar yang membuat kontrak dengan masyarakat yang kurang llebih linti dari

kontrak tersebut kalau di desaini caleg tersebut memperoleh suara minimal

l0%, maka caleg tersebut akan membangun jalan di desa tersebut..”(Hasil

wawancara l1 November 2018)

Pernyataanitu mengindikasikan bahwa politik transaksi telah berubah. Halini disebabkan adanya kontrak lresmi ldengan lmasyarakat luntuk lmengamankan laspek lkepastian lmasyarakat luntuk lmemilih lsalah lsatu lkandidat. lDengan lmemeriksa l

pola-pola ltransaksi lyang lterjadi ldi lmasyarakat, lpara lkandidat lsecara ltidak langsung ltidak lmemihak lpartai secara umum. Rakyat tidak lagi dijanjikan lde ldeologis, tetapi

diarahkan pada janji-janji materialistis jika seorang kandidat memenangkan pemilihan.

Namun, beberapa kandidat tidak secara formal membuat kontrak dengan masyarakat, tetapi memberikan bantuan langsung kepada lmasyarakat ldengan lmembangun lbeberapa lnfrastruktur ldi ldaerah lpemilihan. lHalini lseperti ldiungkapkan loleh langgota masyarakat, Amir,

“...di dusun saya ada pembangunan beton jalan yang katanyaitu dari caleg

partai Golkar, tapi masyarakat dan caleg tersebut tidak ada perjanjian

sebelumnya...”(Hasil wawancara l1 November 2018)

Pernyataan ini mengkonfirmasi kegiatan caleg yang sudah memobilisasi masyarakat dengan membuatkan fasilitas publik, tetapi tanpa persetujuan sebelumnya dengan masyarakat. Model pengadaan massalini lmungkin ltidak lterlalu lefektif lkarena ltidak lada lkontrak lresmi ldengan lmasyarakat, tetapi orang-orang dapat

berpendapat bahwa para kandidatitu dermawan. Sehingga dengan demikian, la akan

mendapatkan dukungan suara.ini memiliki dampak yang sangat besar. Disamping itu, ada pernyataan menarik dari Handayani, seorang Panwas di Kec. Sapuran.

“...di kecamatan Sapuran, banyak para caleg yang mendekati tokoh agama dan tokoh masyarakat. Ada beberapa tokoh agama biasanya pemimpin pondok pesantren yang mendapatkan bantuan dari caleg tertentu dan pemimpin

(25)

86

pondok pesantren tersebut mengarahkan masyarakat dan santri setempat

untuk memilih acaleg tersebut...”(Hasil wawancara l2 November 2018)

Pernyataanitu juga mengindikasikan bahwa sebelum pemilihan 2019, politik transaksional sudah mulai dilakukan. ini dibuktikan dengan adanya calon yang mendekati tokoh agama atau tokoh masyarakat. Dengan menerapkan strategiini, kandidat dapat llebih mudah mendapatkan suara llebih banyak. Namun,

kelemahannya adalah bahwa pemimpin agama dan masyarakat bukanlah eksekutif yang dapat mengumpulkan suara. Tetapi mereka hanya menjual karisma yang mereka miliki untuk memobilisasi massa. Oleh karenaitu, massa yang mengikuti strategiini masih merupakan massa mengambang yang dapat mengubah dukungan kapan saja.

Banyak yang mengklaim bahwa pada 2014 mereka menerima uang dari para kandidat satu hari sebelum pemilihan. Seperti yang disampaikan Suharno, petani di kecamatan Wadaslintang, Wonosobo,

“...saya menerima uang dari caleg no urut 3 dari Golkar pada waktu sehari

sebelum pencoblosan. Waktunya kurang llebih malam hari jam 9

malam...”(Hasil wawancara 8 November 2018).

Pernyataan itu menunjukkan bahwa ada pola di mana para kandidat memberikan suara langsung ke orang-orang dengan memberi uang untuk

mendapatkan suara. Politik transaksi dibuat secara terbuka oleh kandidat llegislatif

dengan perhitungan yang akurat. Calon dapat membuat daftar data pendukung yang mereka pilih untuk dipilih di lain waktu, dan data tersebut akan digunakan sebagai

dasar bagi kandidat untuk bertransaksi kepada mereka yang memasukkan data. Pernyataanini juga senada dengan apa yang diungkapkan Amir, sebagai pekerja

llepas.

“...pemilu kemarin lsaya ldi lberi luang ldari lcaleg lGolkar luntuk lmemilihnya.

lWaktunya lpagi-pagi ljam l5 lpagi...”(Hasil lwawancara l15 November 2018)

Aksi lfajar lmasih lmenjadi ltren ldalam lpolitik ltransaksi. lPernyataan ini lmenjelaskan lwaktu lsumbangan lyang ldilakukan, lyaitu ljam l5 lpagi. lKarenaitu, lpara lkandidat lmemastikan lserangan lfajar ldengan lmembeli lsuara lterpisah ldi lpagi lhari lsebelum lpemungutan lsuara. lPada bagianini kita dapat menyimpulkan bahwa pada

saat pemilihan 2019, para calon llegislatif telah mulai melakukan perilaku

transaksional dengan memberikan dukungan berupa pembangunan masjid dan membuat kontrak politik dengan orang-orang. Pola model politik transaksi yang dilakukan oleh kandidat kabupaten Wonosobo dalam pemilihan umum 2014 adalah dengan memberikan dukungan kepada masyarakat di bidang pemilihan dalam bentuk kebutuhan dasar, bantuan keuangan, atau hibah. Selainitu, dukungan ljuga lberupa lpembangunan lnfrastruktur lmasyarakat, lyang lumumnya lberupa

(26)

87

lpembangunan ljalan latau ltempat lbadah. Jadi, sebagai perbandingan, modelini masih

cenderung mempengaruhi suara masyarakat di pilkada 2019.

Kesimpulan

Politik transaksional adalah sesuatu yang terbatas namun masyarakat telah memiliki pemahaman yang kuat. Karena efek dari lisu-isu transaksional dapat

mendorong praktik-praktik politik yang tidak semestinya. Dalam halini ada beberapa hal yang bisa dipahami. Persepsi masyarakat di Wonosobo llebih dipengaruhi oleh

contoh-contoh praktek politik transaksional. Untuk situasiini masyarakat sangat dipengaruhi oleh sikap politik mereka terhadap praktek transaksional. ini dipengaruhi biasanya oleh kondisi keuangan masyarakat Wonosobo. lndividu

semakin realistis dalam menentukan dukungan mereka.

Pemahaman dan penilaian pragmatis telah mengakar di kehidupan masyarakat Wonosobo. Saat mereka mendapatkan bayaran langsung dari calon llegislative, dalam halini menjelang pemilu 2019, mereka berpikir untuk mengambil

keuntungan. Menyadari akan llemahnya pendirian masyarakat yang dapat

dimobilisasi dengan uang ini, para lelit lpolitik ldari ltingkat lokal lhingga ltingkat lnasional ltelah lmemanfaatkan lmereka.

Contoh paling nyata politik transaksional menjelang pemilu 2019 Wonosobo adalah dengan adanya upaya caleg memberikan pasokan sembako, uang, serta pembangunan fasilitas public. lIde dan polanya adalah bahwa caleg menawarkan

sesuatu kepada masyarakat dengan lmbalan balik berupa dukungan suara. Jika

orang-orangitu bersedia, pada saatitu mereka sepakat untuk memberikan jumlah suara yang cukup. Di Kabupaten Wonosobo, sayangnya karakter jual beli suara sepertiini telah menjadi semacam magnet yang dimanfaatkan oleh para elit politik.

Daftar Pustaka

Abdillah, H. (2009). Money Politics Dalam Pilkades di Desa tegal Ampel Kecamatan Tegal

Ampel Kabupaten Bondowoso : Dalam Perpektif Hukum lIslam. Universitas lIslam

Negeri Sunan Kalijaga.

Djauhari, H. (2011). Problematika Kepala Daerah secara langsung (dalam Perspektif

Sosiologis). Jurnal Dinamika Hukum, l1, 25–35.

Fitriyah. (2012). Fenomena Politik Uang dalam Pilkada. Politika: Jurnal lmu Politik,

(27)

88

Fuadi, P. A. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Politik Uang pada pelaksanaan

Pemilihan Kepala Desa di Desa Serangan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo.

Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Kana, N. l. (2011). Strategi Pengelolaan Persaingan Politik Elit Desa di Wilayah

Kecamatan Suruh: Kasus Pemilihan Kepala Desa. Jurnal Renai, l(2).

Kompas.com. (2014, May 20). Korupsi, Mantan Ketua DPRD Wonosobo Divonis 4 Tahun

Penjara. KOMPAS.com.

https://regional.kompas.com/read/2014/05/20/1840236/Korupsi.Mantan. Ketua.DPRD.Wonosobo.Divonis.4.Tahun.Penjara.

KPUD Wonosobo. (n.d.).

http://kpud-wonosobokab.go.id/attachments/article/236/Model%20EB-5.pdf

Sardini, N. H. (2011). Restorasi penyelenggaraan pemilu di lndonesia. Fajar Media Press. Schaffer, F. C., & Schedler, A. (2007). What ls vote buying. l7–30.

Stokes, S. C. (2009). Pork by Any Other Name: Building a Conceptual Scheme of

Distributive Politics.

Stokes, S. C. (2011). What Killed Clientelism ln the Advanced Democracies? APSA 2011 Annual Meeting Paper.

Sumarto, M. (2018). Perlindungan Sosial dan Klientelisme: Makna politik bantuan tunai

dalam pemilihan umum. UGM Press.

Tribunnews.com. (2015, August l8). Potong Dana Bansos, Khamim Anggota DPRD

Wonosobo Dituntut l,5 Tahun Penjara. Tribun Jateng.

https://jateng.tribunnews.com/2015/08/18/potong-dana-bansos-khamim-anggota-dprd-wonosobo-dituntut-65-tahun-penjara

Gambar

Figure 1 How Afghan opium poppy farming has grown
Figure 4 Afghan Safron
Figure 5 Quick facts on Why Saffron for Afghanistan (Katawazy, 2013)
Gambar 1. Struktur Organisasi Konservasi Kima Toli-Toli – Labengki

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas kerja adalah sebagai kemampuan mengaplikasikan atau menerapkan suatu pekerjaan dalam teknologi yang dapat membantu meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk memahami peran public relations pada divisi Marcomm Binus dalam memelihara citra positif, dan untuk memahami kendala

• Uap air yang dihasilkan dari proses pengeringan dimanfaatkan kembali oleh kondensor untuk menghasilkan air, yang dapat dimanfaatkan lagi sebagai input air pada proses ekstraksi.

--Buku catatan rekapitulasi yankes Poskesdes Buku catatan rekapitulasi yankes Poskesdes --Buku catatan kegiatan pertemuan Poskesdes Buku catatan kegiatan pertemuan Poskesdes

d. Perubahan gaya dan cara hidup sebagian para orang tua telah membawa perubahan social yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai

bahwa dalam rangka memaksimalkan pengelolaan sumber daya air melalui upaya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya

Fundamentalisme adalah sebuah ideologi atau pemikiran dasar yang mengarah ke satu tujuan bersama yang bersifat otoriter.. Radikalisme adalah merupakan tindakan untuk

PHK dengan alasan efisiensi diatur secara rinci dan jelas dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan: ”Pengusaha dapat melakukan