• Tidak ada hasil yang ditemukan

Copyright 2019, JRKPL, ISSN: , E-ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Copyright 2019, JRKPL, ISSN: , E-ISSN:"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299

RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN

Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan

Vol. 6 No. 1 April 2019 Ketua Editor

Anja Meryandini Dewan Editor

Dodik Ridho Nurrochmat Widiatmaka

Hadi Susilo Arifin Ahmad Maryudi Sofyan Sjaf Leti Sundawati M. Alif Sahide Lukas Giessen

James Thomas Erbaugh Ho Sang Kang Editor Pelaksana Kaswanto Tim Teknis Riza Hariwahyudi Fajar Cakrawinata Badar Muhammad Penerbit

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSP3-LPPM IPB) dan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI)

Sekretariat

Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSP3-LPPM IPB, Gedung Utama Kampus IPB Baranangsiang, Jl. Raya Pajajaran No.7, RT.02/RW.05, Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129

P: +62 251 8345 724 F: +62 251 8344113 E: psp3@apps.ipb.ac.id

(4)
(5)

1

EVALUASI KEBIJAKAN PELATIHAN TERHADAP PENINGKATAN

KINERJA KARYAWAN INDUSTRI KIMIA AGRO: STUDI KASUS DI

PT. TRIDHARMA POLAKARSA

Daniel Stevanus Pontoan1*, Dodik Ridho Nurrochmat1,2,Ono Suparno1,3

1Sekolah Bisnis, Institut Pertanian Bogor (IPB)

2Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) 3Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(IPB)

*E-mail: danielhadasha@gmail.com RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pelatihan karyawan yang dilakukan PT. Tridharma Polakarsa terhadap motivasi dan kinerja karyawan. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan yang terlibat dalam pelatihan yang diadakan perusahaan sebanyak 30 orang. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Penelitian ini menggunakan metode SEM PLS (Structural Equation Modeling-Partial Least Square) dengan program Smart PL 2.0 M3 dengan melakukan penilaian dari hasil pengukuran model melalui faktor konfirmatori dengan menguji validitas dan reliabilitas konstruk laten. Berdasarkan hasil analisis menggunakan SEM PLS pelatihan dapat meningkatkan motivasi karyawan serta pelatihan dan motivasi dapat meningkatkan kinerja karyawan secara signifikan.

Kata kunci: pelatihan, motivasi, kinerja karyawan, SEM PLS PERNYATAAN KUNCI

• Volume produksi industri olahan kimia agro di Indonesia cenderung mengalami penurunan dari waktu ke waktu.

• Industri kimia agro yang berkaitan erat dengan teknologi dan pasokan bahan mentah, seperti bahan olahan karet, memerlukan kualitas sumber daya manusia yang baik agar dapat bersaing dengan kompetitor.

• Pengaruh motivasi terhadap kinerja lebih besar dibandingkan dengan pengaruh pelatihan terhadap kinerja

karyawan kimia agro, yang bermuara pada peningkatan daya saing produk. REKOMENDASI KEBIJAKAN

• Kebijakan pelatihan karyawan perlu didorong untuk dilaksanakan di industri kimia agro karena berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

• Selain pelatihan, pemberian motivasi juga sangat diperlukan karena berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja karyawan kimia agro.

(6)

• Perlu dibuat suatu metode penilaian kinerja atau prestasi kerja untuk mengukur sejauhmana efektivitas pelatihan, pendidikan, pengembangan dan motivasi kepada karyawan sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing.

I. PENDAHULUAN

Pada tahun 2017 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa industri pengolahan kimia dalam negeri mengalami penurunan output sebesar 14.85% yang disebabkan oleh persaingan ketat terutama pada sektor teknologi serta sumber daya manusia (SDM) antara industri-industri dalam negeri dengan kompetitor dari perusahaan-perusahaan asing. Oleh karena itu, industri olahan kimia yang erat kaitannya dengan teknologi serta pangsa pasar membutuhkan mutu SDM yang cukup mumpuni.

Dalam suatu organisasi, SDM mempunyai peranan yang penting dibandingkan dengan faktor lain, apabila organisasi mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan, maka faktor manusia dapat menjadi penyebab di dalamnya. Oleh karena itu, karyawan perlu mendapatkan pelatihan dan motivasi agar dapat bekerja lebih baik sehingga tercapai prestasi kerja yang baik pula. Menurut Notoadmodjo (2003), pelatihan merupakan suatu upaya dalam mengembangkan kepribadian pegawai dan juga intelektual pegawai. Setiap

perusahaan atau organisasi yang ingin berkembang wajib untuk memberikan perhatian khusus terhadap pelatihan dan dan pendidikan karyawannya, sehingga dapat meningkatkan kinerja karyawan tersebut.

Menurut Simanjuntak (2005), ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan, yakni kompetensi individu, dukungan organisasi. dan dukungan manajemen. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan pengetahuan, pelatihan, keterampilan dan perilaku yang dapat diperoleh melalui pelatihan dan pengembangan karyawan (Hok, 2013). Dalam proses latihan maupun pendidikan untuk pengembangan lebih lanjut, perlu dilaksanakan penilaian kebutuhan latihan, tujuan ataupun sasaran program, isi program, dan prinsip belajar (Moses, 2014). Munculnya pelatihan merupakan bagian dari motivasi. Motivasi merupakan kekuatan untuk mendorong seseorang untuk mengarahkan perilaku (Yunarifah et

al, 2012).

Kinerja karyawan dipengaruhi oleh dua faktor, baik faktor internal, yaitu skill maupun karakter yang dimiliki oleh pegawai itu sendiri, maupun faktor eksternal, yaitu melalui pelatihan dan seminar motivasi yang dilaksanakan perusahaan bagi karyawan agar dapat meningkatkan mutu SDM yang dimiliki, sehingga dapat bekerja secara maksimal dan memberikan dampak yang

(7)

3 positif bagi perusahaan. Hal tersebut diperlukan karena pelatihan dan motivasi merupakan bentuk dorongan yang dapat mengubah sikap dan perilaku karyawan serta dapat mengubah etika moral karyawan yang berasal dari dalam dirinya dan tidak lepas dari pelatihan itu sendiri (Julianry, 2016).

Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pelatihan karyawan yang dilakukan PT Tridharma Polakarsa terhadap motivasi karyawan, menganalisis pengaruh pelatihan terhadap kinerja karyawan, dan menganalisis pengaruh motivasi terhadap kinerja karyawannya, serta memberikan saran kepada PT. Tridharma Polakarsa agar dapat menjawab tantangan perusahaan pada saat ini dan masa depan.

II. SITUASI TERKINI

PT. Tridharma Polakarsa merupakan perusahaan sole agent yang bergerak di bidang pengolahan bahan kimia raw materials, seperti karet yang dalam proses pengolahannya melalui penelitian di laboratorium khusus milik perusahaan dan dilakukan secara detail sesuai Sistem Manajemen Mutu (SMM) atau Quality

Management System (QMS) dengan prosedur

dan spesifikasi yang detail, sehingga dapat menghasilkan produk-produk yang memuaskan bagi pelanggan domestik maupun luar negeri dan dapat bersaing dalam ketatnya pasar internasional.

Produk-produk yang dihasilkan perusahaan antara lain antitack, outside paint, cleaner, aquacoat, dan

inside paint. Dalam memasarkan produknya,

PT. Tridharma Polakarsa juga sudah mempunyai pelanggan tetap yang berasal dari dalam negeri atau domestik maupun luar negeri, terutama Jerman, Jepang, dan Thailand.

Pada bulan Agustus 2015, PT. Tridharma Polakarsa telah mendapat pengakuan sebagai perusahaan yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikasi ISO 9001, yaitu penilaian yang didapatkan dari lembaga independent, yaitu TUV Rheinland Germany terkait sistem manajemen mutu produk dan jasa yang disesuaikan dengan standar internasional. Pada tahun 2018, perusahaan tersebut meningkatkan target penjualan dari Rp 22.467.257.000 menjadi Rp 36.000.000.000 untuk tahun 2019. Pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan produk-produk luar negeri yang masuk ke pasar domestik serta munculnya perusahaan-perusahaan kompetitor yang berasal dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, Jepang, Jerman dan Korea, sehingga target pemasaran sebesar 25% belum tercapai karena masih di kisaran 10% sampai dengan 15%. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja SDM-nya agar dapat meningkatkan mutu produk, sehingga dapat memperluas pangsa pasar sebagai respon terhadap

(8)

meningkatnya perusahaan-perusahan industri olahan kimia asing yang memasuki pasar domestik Indonesia.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka diperlukan adanya suatu penilaian kinerja atau prestasi kerja untuk mengukur sejauh mana efektivitas pelatihan, pendidikan, pengembangan dan motivasi kepada karyawan sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing.

Pengukuran kinerja karyawan melalui pelatihan dan motivasi diperlukan perusahaan untuk menilai serta menjadi acuan terhadap pencapaian yang telah diraih oleh perusahaan, karena pelatihan merupakan faktor yang sangat penting untuk mengembangkan potensi karyawan (Andri, 2011), sehingga dapat tercipta hasil yang optimal atau good coorporate. Pelatihan merupakan suatu bentuk rangkaian aktivitas yang dirancang agar dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan para pihak yang terkait dengan pelatihan agar dapat menunjang pekerjaan mereka saat ini (Mondy, 2008). Selain itu, menurut Westerman dan Pauline (1992), pelatihan merupakan pengembangan secara sistematis, baik itu pola atau sikap dan keahlian yang diperlukan seseorang dalam menunjang keterampilan dalam suatu pekerjaan secara memadai. Dengan program pelatihan yang baik dan dengan metode yang tepat serta mempunyai alasan dan tujuan yang tepat pelatihan tersebut

diharapkan memberikan dampak yang maksimal bagi organisasi atau perusahaan. III. METODOLOGI

Pendekatan Teoritis

Menurut Suryodi (2012), analisis yang berkaitan dengan pelatihan merupakan suatu usaha-usaha yang sistematis yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi pada permasalahan kinerja dalam organisasi serta untuk melihat kekurangan atau kelemahan kinerja karyawan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara karyawan dengan perilaku aktual dengan kinerja yang diharapkan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Motivasi merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai. Motivasi dan kinerja adalah dua elemen yang konstruktif dan korelatif. Keduanya saling mensyaratkan dan tidak bisa dilepaskan dengan yang lain. Prestasi kerja pegawai akan rendah apabila tidak mempunyai motivasi untuk melaksanakan pekerjaan itu. Sebaliknya kalau pegawai tersebut mempunyai motivasi yang tinggi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, maka pada umumnya tingkat kinerja pegawai akan tinggi (Harlie, 2011). Menurut Munandar (2001), motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.

Istilah kinerja berasal dari Job

(9)

5 disebut juga dengan prestasi kerja yang dicapai karyawan (Triasmoko et al, 2014). Menurut Mangkunegara (2009), kinerja adalah hasil secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan. Herzey dan Blanchard (1993) berpendapat bahwa kinerja merupakan suatu fungsi dari suatu motivasi dan fungsi serta kemampuan pegawai dalam menyelesaikan suatu tugas yang diberikan oleh perusahaan. Oleh sebab itu, segala hasil kerja baik itu dilakukan karyawan ataupun tidak dilakukan merupakan hasil kerja dari tingkah laku karyawan tersebut (Armstrong, 1999).

Menurut Prawiro Sentono (1999) ada empat faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu:

(1) Efektifitas dan efisiensi, yakni apabila kegiatan tersebut berhasil menunjang karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan, maka kegiatan tersebut efisien dan sebaliknya.

(2) Otoritas atau wewenang. Suatu bentuk dan hukum yang berlaku yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua karyawan dalam suatu organisasi atau perusahaan tempat dia bekerja.

(3) Disiplin. Suatu sikap yang harus dimiliki karyawan dalam mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di

organisasi ataupun perusahaan tempat dia bekerja.

(4) Inisiatif. Berkaitan dengan daya pikir dan kreativitas dalam membuat suatu ide untuk menunjang karyawan dalam mencapai tujuan organisasi atau perusahaan.

SEM PLS (Structural Equation

Modeling-Partial Least Square) digunakan

dalam mengevaluasi model pengukuran. Menurut Anuraga et al, (2017), SEM PLS merupakan salah satu dari bagian SEM atau metode Structural Equation Modelling (SEM) yang merupakan gabungan dari analisis regresi, analisis faktor, dan analisis jalur. Menurut Ghazali (2014), Partial Least Square (PLS) merupakan metode analisis yang bersifat soft modelling karena tidak berpatokan pada asumsi data melainkan melalui skala pengukuran, skala distribusi data dan jumlah sampel tertentu yang artinya jumlah sampel tergolong kecil atau di bawah 100 sampel.

Metode PLS pertama kali dikembangkan oleh Wold pada tahun 1966 dengan menggunakan konstruk laten dengan multiple indikator sebagai metode umum untuk mengestimasi path model dan mempresentasikan prosedure iterative untuk komponen tunggal dan multi dengan menggunakan multikomponen model. Tujuan dari PLS adalah untuk menunjukkan pengaruh antara perubah serta teoritik di antara dua perubah.

(10)

Pengumpulan data

Responden dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan yang terlibat dalam pelatihan yang diadakan perusahaan sebanyak 30 orang. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Kuesioner diberikan kepada para karyawan yang terlibat dalam pelatihan dan wawancara dengan melibatkan atasan karyawan sebagai responden utama, sedangkan studi dokumentasi melalui literatur-literatur atau studi-studi yang relevan dan terkait dengan penelitian dalam mendukung penelitian ini.

Pengukuran Peubah

Proses pengolahan data kuantitatif yang diambil dari kuesioner menggunakan skala Likert (Tabel 1). Tiap responden akan diberikan sebuah pernyataan yang terdiri atas Sangat Setuju, Setuju, Netral, Tidak

Setuju dan Sangat Tidak Setuju. Setiap jawaban memiliki nilai berbeda-beda. Tabel 1 Skala Likert

No Simbol Kategori Nilai/Bobot

1 SS Sangat Setuju 5 2 S Setuju 4 3 N Netral 3 4 TS Tidak Setuju 2 5 STS Sangat Tidak Setuju 1 Sumber: Sumarwan (2014) Peubah Operasional

Peubah operasional terdiri atas dua peubah bebas dan terikat yaitu: Pelatihan (X1) dan Motivasi (X2) terhadap kinerja (Y). Pada Tabel 2 menunjukan peubah-peubah antara pelatihan, motivasi, dan kinerja serta indikator-indikator dan metode analisisnya.

Tabel 2 Definisi, indikator, metode dan analisis peubah pelatihan, motivasi dan kinerja

Peubah Indikator Metode Analisis

Peubah Bebas:

1. Kebutuhan 2. Pengembangan 3. Evaluasi

Kuesioner

Pelatihan X1 Skala Likert

Motivasi X2 1. Motivasi 2. Harapan 3. Insentif

Kuesioner Skala likert

Peubah Terikat: Kinerja Y 1. Kuantitas 2. Kualitas 3. Tanggung jawab 4. Kerja sama 5. Inisiatif Kuesioner SkalaLikert Evaluasi Model

Evaluasi model dalam penelitian ini menggunakan SEM PLS (Structural Equation

Modeling-Partial Least Square) dengan

program Smart PL 2.0 M3 dengan melakukan penilaian dari hasil pengukuran model melalui faktor konfirmatori dengan

(11)

7 menguji validitas dan reliabilitas konstruk laten. Setelah itu, dilakukan evaluasi model dan goodness fit model. Pengukuran ini terdapat dua model untuk mengukur evaluasi model, yaitu inner model dan outer

model. Inner model menggambarkan hubungan antara peubah yang diteliti melalui teori substantif. Menurut Ghazali (2014), dalam model ini, evaluasi dilakukan terhadap model struktural yang telah dibentuk dengan menggunakan R-Square yang digunakan untuk konstruk dependen,

stone-geisser Q-square test untuk predictive revelance dan uji-t dari koefisien jalur

struktural. Selain itu, perubahan nilai dari 𝑅2 dapat menjadi penilaian apakah ada pengaruh dari peubah independen terhadap peubah dependen, sedangkan outer model dalam pengujiannya terdapat dua jenis, yaitu uji validitas dan uji reliabilitas.

Uji validitas terdiri atas:

(1) Convergent validity adalah pengukuran

dengan menggunakan model reflektif indikator berdasarkan ukuran reflektif lebih dari 0,50 dengan konstruk yang diukur.

(2) Discriminant validity adalah pengukuran

dengan membandingkan nilai Root of

Average Variance Extracted (√AVE)

antara korelasi konstruk yang lainnya. Nilai AVE yang direkomendasikan adalah > 0,50.

Uji Reliabilitas menggunakan dua model, yaitu composite reliability, pengukuran

nilai sesungguhnya terhadap suatu konstruk dalam mengukur konsistensi konstruk. Model yang kedua adalah Cronbach Alpha’s, yaitu pengukuran batas bawah suatu nilai konstruk.

Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis menggunakan

resampling boothstraping dengan uji t-statistik,

sehingga dapat diputuskan apakah penelitian tersebut menerima atau menolak hipotesis. Menurut Sugiono (2010), dalam uji hipotesis ini tingkat atau batas nilai untuk menolak dan menerima adalah 1,96, maka jika nilai t-statistik < nilai t-tabel [t-statistik < 1,96], maka H0 diterima dan H1 ditolak; jika nilai statistik > atau sama dengan t-tabel [t-statistik > 1,96], maka H0 ditolak dan H1 diterima.

IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN Evaluasi Model

Evaluasi model pengukuran dilakukan sebagai tahap awal metode SEM PLS. Nilai X1 (Pelatihan), X2 (Motivasi) dan Y (Kinerja) merupakan R Square yang menunjukkan seberapa besar keberagaman untuk peubah laten endogen atau peubah yang tidak bisa diukur secara langsung, sehingga membutuhkan indikator-indikator untuk mengukur peubah tersebut. Peubah laten ada dua, yaitu peubah laten endogen dan peubah laten eksogen. Pada penelitian ini, peubah eksogen yaitu X1 (Pelatihan) sifatnya mempengaruhi saja sedangkan

(12)

endogen yaitu X2 (Motivasi) dan Y (Kinerja) yang sifatnya dipengaruhi.

Apabila terdapat indikator yang memiliki nilai loading factor < 0,5, harus dilakukan perhitungan kembali terhadap model awal, sehingga menghasilkan loading

factor seluruh indikator reflektif bernilai >

0,5 sebagai kriteria dari uji validitas convergent konstruk laten (Ghozali, 2008). Gambar 1 menunjukkan terdapat indikator yang memiliki nilai loading factor < 0,5, yaitu Y3 (Tanggung Jawab), sehingga indikator tersebut perlu dikeluarkan dari model. Setelah itu, diperoleh model SEM akhir pada Gambar 2 menunjukkan semua indikator telah memiliki loading factor > 0,5. Nilai indikator tanggung jawab rendah mungkin disebabkan oleh kurangnya motivasi karyawan, baik itu dari segi insentif maupun reward atau penghargaan yang diberikan oleh perusahaan.

Gambar 1 Loading factor pada model pengukuran awal

Gambar 2 Loading factor pada model pengukuran akhir

Pengukuran selanjutnya adalah pengujian reliabilitas terhadap model yang

digunakan untuk membuktikan keakuratan, konsistensi, dan ketepatan instrumen dalam mengukur konstruk. Uji reliabilitas dengan mengukur composite reliability terhadap peubah laten yang memiliki nilai > 0,7 dikatakan reliabel. Hasil penelitian ini (Tabel 3) menunjukkan bahwa semua konstruk laten memiliki reliabilitas yang baik, akurat, dan konsisten karena memenuhi syarat dengan nilai composite reliability pada setiap konstruk laten lebih dari 0,7.

Tabel 3 Nilai average variance extraxted (AVE) dan composite reliability

Peubah AVE Composite Reliability X1. Pelatihan 0,582 0,806

X2. Motivasi 0,607 0,820 Y. Kinerja 0,553 0,831

Pengujian validitas discriminant

dilakukan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur (manifest variable) konstruk yang berbeda seharusnya tidak berkolerasi tinggi (Ghozali, 2008). Pengujian validitas diskriminan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa semua indikator memiliki nilai

crossloading lebih besar terhadap peubah

latennya dibandingkan dengan peubah laten yang lainnya dapat dikatakan bahwa model telah memenuhi syarat validitas discriminant. Uji Hipotesis

Hasil bootstrapping pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pelatihan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi pada taraf 5% karena nilai statistik > t-tabel (1,96). Pelatihan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja

(13)

9 pada taraf 5% karena nilai statistik > t-tabel (1,96). Motivasi juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pada taraf 5% karena nilai statistik > t-tabel (1.96).

Pengaruh pelatihan terhadap motivasi sebesar 0,718 artinya semakin baik pelatihan, maka semakin meningkatkan motivasi karyawan tersebut. Selain itu, pelatihan juga berpengaruh terhadap kinerja sebesar 0,408 artinya semakin baik pelatihan maka kinerja juga akan semakin meningkat. Peubah motivasi juga berpengaruh terhadap kinerja sebesar 0,490 artinya semakin meningkat motivasi yang diukur oleh motif, harapan dan insentif maka kinerja juga akan semakin meningkat.

Tabel 4 Nilai path coefficient dan t-statistik Path coefficient T-statistik R-square X1.Pelatihan -> X2.Motivasi 0,718 9,814* 0,516 X1.Pelatihan -> Y.Kinerja 0,408 2,119* 0,693 X2.Motivasi -> Y.Kinerja 0,490 2,630*

Keterangan: *) pengaruh signifikan pada taraf 5% (t-statistik > t-tabel (1,96)

Model struktural motivasi menghasilkan nilai R-square 51,6% artinya keragaman motivasi yang mampu dijelaskan oleh pelatihan sebesar 51,6% sedangkan sisanya 48,4% dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Model struktural kinerja menghasilkan nilai R-square 69,3% artinya keragaman kinerja yang mampu dijelaskan oleh model sebesar 69,3% sedangkan

sisanya 30,7% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

Berdasarkan hasil penelitian ini indikator pelatihan seperti kebutuhan pelatihan, pengembangan program pelatihan, dan evaluasi pelatihan perlu lebih ditingkatkan di sektor industri kima agro agar menghasilkan kinerja yang lebih baik. Model motivasi terutama pada dua indikator, yaitu: insentif dan harapan mengenai karir, serta bonus bagi karyawan harus dipertimbangkan secara serius agar menjadi motivasi bagi karyawan untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. Kebijakan pemberian pelatihan dan motivasi bagi karyawan dapat menjadi solusi untuk peningkatan kualitas SDM dan kinerja karyawan, yang dalam jangka panjang diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk industri kimia agro nasional.

REFERENSI

Andri, S. 2011. Pengaruh pendidikan dan pelatihan terhadap kinerja dan kepuasan kerja karyawan. Jurnal

Aplikasi Bisnis, 1: 64-77.

Amstrong, M. 1999. Manajemen Sumber Daya

Manusia. Terjemahan Sofyan dan

Haryanto. Jakarta (ID): PT. Elex Media Komputindo.

Anuraga, W., Sitohang, S. 2015. Pengaruh Produk, Harga, Promosi, dan Merk terhadap Keputusan Pembelian Ulang. Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen, 4(10): 1-14.

Ghozali, I., Latan, H. 2014. Partial Least

Squares: Konsep, Teknik dan

Aplikasi Menggunakan Program SmartPLS 3.0 edisi kedua.

(14)

Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Ghozali, I. 2008. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang (ID): Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Harli, M. 2011. Pengaruh Disiplin Kerja, Motivasi dan Pengembangan Karier terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Kabupaten. Hersey, P., Blanchard, K.H.1993.

Management for organizational behavior, sixth edition. Singapore: Prentice Hall.

Julianry, A. 2016. Pengaruh Pelatihan Serta Motivasi Terhadap kinerja Karyawan dan kinerja Organisasi Kementerian Informatika. [Tesis]. Bogor (ID): IPB.

Martina, S., Syarifuddin, D. 2014. Pengaruh Pelatihan dan Pengembangan Terhadap Prestasi Kerja Karyawan di Lokawisata Baturaden. Jurnal Manajemen Pariwisata Bina Sarana Informatika Jalan Sekolah Internasional Antapani. Bandung. 1(6): 1-14.

Mathis, R.L., Jackson, J.H. 2006. Human

Resources Management:

Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan Dian Angelia. Jakarta (ID): Salemba Empat.

Mondy, R.W. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): Erlangga.

Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi, edisi pertama, Jakarta (ID): UIP.

Mangkunegara, A.P. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung (ID): Remaja Rosda Karya.

Melmambessy, M. 2013, Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Penjenjangan terhadap Prestasi Kerja Pegawai pada Dinas Koperasi dan UKM Kota Jayapura, Jurnal STIE Port Numbai, Jaya Pura. 5(2).

Mathis, R.L., Jackson, J.H. 2006. Human

Resources Management:

Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan Dian Angelia. Jakarta (ID): Salemba Empat.

Notoadmojo, S. 2009. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): PT. Rineka Cipta.

Prawiro, S., Suryadi. 1999. Kebijakan Kinerja Karyawan. Yogyakarta (ID): BPFE.

Simanjuntak, P.J. 2005. Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung (ID): Alfabeta.

Tjoen, H.T. 2014. Pengaruh Pelatihan dan motivasi terhadap kinerja karyawan di PT. United Traktors Tbk [Tesis]. Bogor (ID): IPB.

Usni, N.Y., Lilik, K. 2012 Pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja karyawan PT. Kebon Agung Malang, Jurnal Ekonomi Modernisasi. 8(2).

Westerman, J., Pauline, D. 1992. Pengelolaan Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Wold, H. 1982. Soft modeling: the basic desing and some extensions, In: Systems under Indirect Observation, Part 2, Jöreskog K.G., Wold H. (eds). North-Holland: 1-5.

(15)

11

RENCANA KEBIJAKAN ZONASI WILAYAH PESISIR DAN

PULAU-PULAU KECIL DI PROVINSI BALI

Muhammad Ramdhan1, August Daulat1, Nasir Sudirman1

1Peneliti pada Pusat Riset Kelautan, BRSDM - KKP Jln. Pasir Putih 1 Ancol Jakarta; Telp/fax : +62 21 64711583

Email: m.ramdhan@kkp.go.id

RINGKASAN

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk itu tiap provinsi diwajibkan untuk memiliki suatu Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14. Dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil untuk suatu provinsi memerlukan deskripsi potensi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil beserta kegiatan pemanfaatannya, isu-isu strategis wilayah, tujuan, kebijakan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana alokasi ruang, peraturan pemanfaatan ruang dan indikasi program. Tulisan ini akan mendeskripsikan bagian dari rencana kebijakan zonasi di wilayah perairan pesisir Provinsi Bali. Kata Kunci : Provinsi Bali, Wilayah Pesisir, Rencana Zonasi, Pengelolaan laut

PERNYATAAN KUNCI

Provinsi Bali terdiri dari Pulau Bali sebagai pulau utama dan beberapa pulau kecil di sekitarnya merupakan satu kesatuan wilayah yang harus dikelola melalui pendekatan terintegrasi antara ekosistem darat dan ekosistem laut.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Kebijakan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) merupakan tindakan yang diambil sebagai landasan untuk mencapai tujuan pengelolaan WP3K sehingga tercipta tatanan alokasi ruang yang teratur, aman, produktif dan berkelanjutan. Kebijakan

pengelolaan WP3K Provinsi Bali, sebagai berikut :

1. Pengembangan dan pemantapan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai prioritas alokasi ruang laut sebagai perwujudan pengelolaan berbasis ekosistem;

2. Pengarusutamaan nilai-nilai sosial, budaya, spiritual, dan kearifan lokal dalam pengelolaan WP3K;

3. Pencegahan, pengendalian, pemulihan dan rehabilitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu;

(16)

4. Peningkatan mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim;

5. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis kawasan secara terpadu

dengan penguatan pada

pemberdayaan masyarakat dan mendorong investasi pemerintah, masyarakat dan swasta secara merata antar wilayah;

6. Pengembangan sistem dan pendekatan pengelolaan WP3K secara terpadu;

7. Peningkatan aksesibilitas serta dukungan prasarana dan sarana dalam pengelolaan WP3K.

I. PENDAHULUAN

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Bali mengalami perkembangan pembangunan yang pesat, baik secara langsung maupun tidak langsung bertumpu pada sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan daerah lainnya, pembangunan Provinsi Bali bertumpu pada sektor pariwisata sebagai sektor unggulan dan pengganda yang mempunyai keterkaitan erat dalam mendorong sektor-sektor lainnya seperti perikanan, transportasi, industri pengolahan dan jasa-jasa lainnya. Kontribusi sektor pariwisata melalui Penyediaan Akomodasi dan makan/minum bagi pembentukan nilai

tambah perekonomian Provinsi Bali dalam periode 2011-2015 rata-rata 21,43% pertahun dengan pertumbuhan 7,04% pertahun (BPS 2017).

Sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh sektor pariwisata, pendayagunaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil juga cenderung akan berkembang pesat seiring dengan perkembangan pembangunan kepari-wisataan nasional yang mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan pasar pariwisata nasional terutama pasar Asia dan Pasifik cenderung akan terus tumbuh di masa yang akan datang sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan transportasi. Pada dekade 2006-2015, pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara mencapai rata-rata 8,65% pertahun dan wisatawan nusantara rata-rata 13,11% pertahun (BPS 2017).

Pesatnya pembangunan di WP3K di satu sisi memberi kontribusi yang besar bagi peningkatan perekonomian wilayah namun di sisi lain muncul berbagai permasalahan yang kompleks antara lain kerusakan dan alterasi ekosistem pesisir, erosi/abrasi pantai, pencemaran perairan pesisir, berkurangnya habitat peneluran penyu, kemerosotan sumber daya ikan dan konflik pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Berbagai permasalahan di atas merupakan dampak dari

(17)

13 pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung bersifat transformatif yang merubah bentang alam dan eksploitatif terhadap ekosistem pesisir. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga masih menjadi kantong-kantong kemiskinan di Bali khususnya wilayah pesisir di luar Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Gianyar. Sementara itu, untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya perairan pesisir melalui peningkatan investasi guna memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha masih terhambat oleh kekosongan regulasi pemanfaatan ruang laut.

Di sisi lain pembangunan di WP3K tidak terlepas dari ancaman bencana pesisir dan dampak perubahan iklim. Ditinjau dari aspek geografis, geologis dan hidro-meteorologis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Bali merupakan salah satu kawasan rentan terhadap ancaman bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi pantai, angin kecang dan gelombang badai pasang. Demikian juga bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Bali rentan terhadap dampak pemanasan global dan perubahan iklim. II. SITUASI TERKINI

Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2, secara administratif terdiri atas 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota. Provinsi Bali memiliki wilayah pesisir sebesar 3.512,68 km2 atau 62,3% dari total luas wilayahnya, wilayah pesisir ini terdiri

dari 7 kabupaten dan 1 kota serta 35 kecamatan. Luas perairan pesisir Provinsi Bali adalah 9.440 km2 dan panjang garis pantai lebih kurang 633 km (Gambar 1). Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Bali merupakan suatu sistem sumber daya alam dan lingkungan hidup berserta sistem sosial, budaya ekonomi dan pertahanan keamanan yang mempunyai peranan penting bagi pembangunan daerah dan nasional (BPS 2017).

Perairan pesisir Provinsi Bali merupakan area yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dimana terdapat aliran massa air Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesian Through

Flow (ITF) (Gordon 2012). Sebagai

penghubung Samudera Pasifik dan Samudera Hindia menjadikan perairan pesisir Bali dan sekitarnya sangat mendukung keragaman ekosistem pesisir. Sekitar 75% garis pantai Pulau Bali dan pulau-pulau kecilnya merupakan habitat terumbu karang. Bersama-sama dengan ekosistem mangrove dan padang lamun, ekosistem-ekosistem pesisir sangat mendukung tingginya produktivitas hayati perairan pesisir yang berkontribusi bagi perikanan dan pariwisata.

Kombinasi antara arus yang kuat dan morfologi dasar laut berupa cekungan dan palung serta tebing-tebing berundak dasar laut menyebabkan banyaknya muncul

(18)

kunci bagi habitat pelagik ekonomis penting, seperti ikan lemuru, tongkol dan cakalang. Sumber daya ikan pelagis ini menjadi tumpuan bagi nelayan tradisional yang jangkauan penangkapannya sangat terbatas hanya di perairan pesisir. Kondisi oseanografi yang demikian juga menjadikan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Bali sebagai koridor migrasi berbagai jenis mamalia laut dan beberapa spesies genting seperti penyu, paus, lumba-lumba, pari manta dan Mola-mola (Supriatna 2008). Jika dilindungi dan dikelola dengan tepat, perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Bali dapat menjadi kantong-kantong bagi kehidupan laut dan perikanan yang produktif serta mendukung pariwisata yang berdaya saing.

Gambar 1. Wilayah Pesisir Provinsi Bali, beserta garis batas perairannya III. METODOLOGI

Metode dilaksanakan melalui desk

study. Langkah pertama yaitu melaksanakan

studi literatur sebagai awal atau referensi untuk penyusunan kebijakan pengelolaan WP3K di Provinsi Bali. Studi literatur

dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder awal terkait Kawasan Sarbagita. Data awal, meliputi: Peta dasar, yang berupa: 1. garis pantai; 2. bathimetri; dan 3. batas wilayah Laut. Data tematik, yang berupa: 1. sistem jaringan prasarana Laut atau utilitas Laut; 2. bangunan dan instalasi di Laut; 3. oseanografi; 4. ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil; 5. wilayah pertahanan Laut; 6. sumber daya ikan; dan 7. pemanfaatan ruang Laut yang telah ada dan rencana pemanfaatan.

Selanjutnya pengumpulan data sekunder juga dilakukan melalui FGD. Focus

Group Discussion (FGD)/Diskusi Tematik

bertujuan untuk mengumpulkan data sekunder dari instansi dan stakeholders terkait seperti instansi pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan perwakilan masyarakat. FGD/ Diskusi Tematik untuk kebutuhan penyusunan Rencana Zonasi WP3K, antara lain:

a. FGD Penentuan Nilai Penting dan Strategis Nasional

FGD ini bertujuan untuk menyepakati kegiatan-kegiatan di pesisir Provinsi Bali yang bernilai penting dan strategis untuk kepentingan nasional, batas wilayah perencanaan WP3K Provinsi Bali, serta perumusan tujuan, kebijakan dan strategi WP3K Provinsi Bali. Kegiatan bernilai penting dan strategis nasional/Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/

(19)

15 atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.

b. FGD/Diskusi Tematik sesuai kebutuhan untuk mempertajam dan memperoleh kesepakatan mengenai data tematik, antara lain:

1. Kedaulatan, Pertahanan dan Keamanan

- Pertahanan Keamanan (daerah latihan militer, daerah buangan amunisi/ranjau, pangkalan militer, dll)

- Obyek vital kedaulatan Negara, dll 2. Sosial Ekonomi

- Pelabuhan, alur pelayaran,

- Mineral, Migas, Telekomunikasi, dan Energi (kawasan pertambangan, pipa bawah laut, kabel bawah laut) - Pariwisata

- Industri

- Program strategis nasional bernilai ekonomi,

- dll

3. Sosial Budaya

- Wilayah Masyarakat Hukum Adat - Tradisi budaya maritim

- Daerah Benda Muatan Kapal Tenggelam

- Situs warisan dunia, - dll

4. Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Ekosistem Pesisir

- Sumberdaya ikan - Kawasan Konservasi - Alur Migrasi Biota Laut

- Area Pemijahan (Spawning ground) - Kawasan yang memiliki nilai sumberdaya signifikan dan sensitif - Kawasan plasma nutfah

- Daerah rawan bencana dan pencemaran,

- dll

Klasifikasi Kawasan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan penentuan arahan pemanfaatan alokasi ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan melalui penentuan zona dan sub zona atau arahan pemanfaatannya pada masing-masing kawasan (Gambar 2).

Gambar 2. Ilustrasi Pembagian Kawasan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

IV. ANALISIS DAN ALTERNATIF SOLUSI/PENANGANAN 1. Penduduk

(20)

a. Jumlah dan Sebaran Penduduk

Jumlah penduduk Provinsi Bali menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2010 adalah 3.890.757 jiwa.Sedangkan jumlah penduduk tahun 2015 sebanyak 4.152.800 jiwa. Jumlah penduduk menurut kabupaten/kota berkisar 175.700- 880.600 jiwa, terkecil di Kabupaten Klungkung dan terbanyak di Kota Denpasar. Kepadatan rata-rata penduduk tahun 2015 adalah 737 jiwa/km2. Kepadatan menurut kabupaten/ kota berkisar 323 – 6892 jiwa/km2, terendah di Kabupaten Jembrana dan tertinggi di Kota Denpasar (BPS 2017).

Jumlah penduduk di WP3K Provinsi Bali yang tersebar pada delapan kabupaten/kota atau 35 kecamatan pesisir pada tahun 2015 adalah 2.703.250 jiwa atau 65,09%. Jumlah penduduk WP3K menurut kabupaten/kota berkisar 175.700 – 529.880 jiwa, terbanyak di Kabupaten Buleleng dan terkecil di Kabupaten Klungkung. Sedangkan jumlah penduduk menurut kecamatan berkisar 19.270 – 279.640 orang, penduduk terbanyak di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan terkecil di Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan (BPS 2017).

Kepadatan penduduk rata-rata WP3K adalah 770 jiwa/km2, lebih besar dibandingkan dengan kepadatan penduduk Provinsi Bali secara keseluruhan. Kepadatan penduduk WP3K menurut kabupaten/kota berkisar 323–5940

jiwa/km2, tertinggi di Kota Denpasar dan terendah di Kabupaten Jembrana. Sedangkan kepadatan penduduk menurut kecamatan berkisar 160 – 6708 jiwa/km2, tertinggi di Kecamatan Denpasar Timur dan terendah di Kecamatan Selemadeg Barat. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan kepadatan penduduk relatif tinggi terdapat di Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Gianyar (BPS 2017).

b. Pertumbuhan Penduduk

Selain sebaran penduduk yang tidak merata, masalah kependudukan lainnya di Bali adalah lajupertumbuhan penduduk yang tinggi dan cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 1980, laju pertumbuhan penduduk dalam periode 1971-1980 rata-rata 1,69% pertahun. Hasil SP tahun 1990, laju pertumbuhan penduduk dalam peridoe 1980-1990 rata-rata 1,18% pertahun. Hasil SP tahun 2000, laju pertumbuhan penduduk periode 1990-2000 rata-rata 1,19% pertahun. Pertumbuhan penduduk Provinsi Bali mengalami akselerasi selama periode 2000-2010 yaitu dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,14% pertahun.

Semua kabupaten/kota mengalami peningkatan laju pertumbuhan penduduk dalam periode 2000-2010 dibandingkan periode sebelumnya. Selama periode 2000-2010, pertumbuhan penduduk tertinggi terdapat di Kabupaten Badung yaitu 4,62%

(21)

17 pertahun. Pertumbuhan penduduk di Kota Denpasar juga tergolong sangat tinggi yaitu 4,01% pertahun. Posisi tertinggi ketiga diduduki Kabupaten Gianyar sebesar 1,80% pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa selain faktor kelahiran dan kematian, faktor

migrasi masuk penduduk ke

kabupaten/kota tersebut menjadi masalah penting dalam mempengaruhi tingginya pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut yang tentunya sangat terkait dengan ketidakmerataan pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang masih terpusat di wilayah Bali bagian selatan. c. Proyeksi Jumlah dan Kepadatan

Penduduk

Berdasarkan laju pertumbuhan penduduk menurut Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 dan tahun dasar 2015, jumlah penduduk di WP3K Provinsi Bali pada tahun 2038 diproyeksikan sebanyak 4.861.799 orang. Proyeksi jumlah penduduk menurut kabupaten/kota berkisar 214.182 - 1.839.043 orang dimana penduduk terbanyak diKabupaten Badung dan terendah di Klungkung. Kabupaten Badung

merupakan kabupaten dengan

pembangunan pariwisata yang paling maju di Bali, menghadapi masalah terkait dengan tingginya arus penduduk pendatang. Sedangkan proyeksi jumlah penduduk menurut kecamatan berkisar 21.303 - 838.349 orang, terbanyak di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dan

terendah di Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan (BPS 2017)..

Sementara itu, kepadatan penduduk rata-rata di WP3K Provinsi Bali pada tahun 2038 diproyeksikan sebesar 1384 orang/km2. Proyeksi kepadatan penduduk menurut kabupaten/kota berkisar407– 9.978 orang/km2, dimana penduduk terpadat di Kota Denpasar dan terendah di Kabupaten Jembrana. Kepadatan penduduk menurut kecamatan berkisar 185–18.120 orang/km2. Penduduk terpadat diproyeksikan di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung dan terendah di Kecamatan Selemadeg Kabupaten Tabanan.

2. Budaya

a. Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat Hukum Adat di Bali dilegalisasi berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagaimana diubah dengan Perda No. 3 Tahun 2003. Menurut Perda ini, Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Masing-masing Desa Pakraman memiliki

(22)

aturan tersendiri yang disebut Awig-awig Desa Pakraman.

Secara umum Desa Pakraman mempunyai identitas, eksistensi, peranan dan kewajiban-kewajiban yang dibangun atas dasar konsep Tri Hita Karana (Peters dan Wardana 2013), yaitu unsur Parahyangan (keterikatan terhadap tempat pemujaan yang sama), unsur Pawongan (keterikatan terhadap sesama warga atau krama adat khususnya yang beragama Hindu), dan unsur Palemahan (keterikatan terhadap wilayah teritorial).

Jumlah Desa Pakraman di Provinsi Bali pada tahun 2015 adalah 1.492

buahdengan rincian menurut

kabupaten/kota berkisar 35–344 buah. Desa Pakraman di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berjumlah 772 buah atau 51,74%. Mengingat seluruh wilayah Provinsi Bali merupakan wilayah Desa Adat (Desa Pakraman) maka seluruh WP3K Provinsi Bali juga merupakan kesatuan masyarakat Hukum Adat.

Disamping Desa Adat, masyarakat Hukum Adat secara khusus di WP3K yang diakui keberadaannya yaitu Bendega berdasarkan Perda Provinsi Bali No. 11 Tahun 2017 tentang Bendega. Menurut Perda ini, Bendega adalah lembaga tradisional di bidang kelautan dan perikanan pada masyarakat adat di Bali yang ada di wilayah pesisir, bersifat ekonomi, sosial, budaya dan religius yang secara historis

terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan budaya dan kearifan lokal Bali.

Bendega secara kongkrit tersebar di sentra-sentra nelayan di seluruh Bali. Masing-masing Lembaga Bendega memililki Palemahan, Pawongan dan Parhyangan. Palemahan dapat berwujud secara fisik dalam bentuk lokasi/tempat pemangkalan perahu yang ada di pantai dan laut sekitarnya. Pawongan dapat berwujud dalam bentuk krama (warga masyarakat kelautan dan perikanan atau semisal nelayan). Sedangkan Parhyangan berwujud dalam bentuk Pura Segara (Pura Swagina untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Penguasa Laut).

Berdasarkan Perda di atas maka seluruh tempat-tempat pemangkalan nelayan di seluruh Bali yang memenuhi 3 syarat yaitu adanya Palemahan (Ruang), Pawongan (Warga/Anggota) dan Parhyangan (Pura Segara) merupakan kesatuan masyarakat Hukum Adat yang diakui eksistensinya oleh negara.

b. Pantai dan Laut sebagai Kawasan Suci Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci. Bagi umat Hindu di Bali, pantai dan laut diyakini memiliki nilai-nilai kesucian, di samping gunung, danau, dan campuhan (pertemuan sungai). Oleh karena itu pura dan tempat-tempat suci umumnya didirikan di tempat tersebut, karena di tempat itu

(23)

19 orang-orang suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu). Begitu juga berbagai jenis upacara keagamaan dilakukan di pantai dan laut.

Selain itu, banyaknya tempat-tempat suci (pura) yang didirikan di pantai maka kesucian pantai mutlak harus dipertahankan. Tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut Kekeran dengan ukuran Apeneleng, Apanimpug, dan Apenyengker tergantung pada tingkatan dari tempat suci (pura) tersebut. Sebagai kawasan suci, pantai dan laut difungsikan sebagai tempat melangsungkan berbagai upacara keagamaan. Upacara keagamaan Umat Hindu dilangsungkan di pantai dan laut yaitu: upacara Candi Narmada, Melasti, Nyegara Gunung, Nganyud, Mulong Pekelem, Banyu Pinaruh, Ngangkid, Melukat, dan lain-lain.

3. Ekonomi Wilayah a. Struktur Perekonomian

Secara kewilayahan, share

perekonomian Daerah Bali masih didominasi oleh wilayah Bali Selatan yaitu posisi pertama ditempati oleh Kabupaten Badung berkontribusi sebesar 23,39%, posisi kedua ditempati oleh Kota Denpasar berkontribusi sebesar 21,80% dan posisi yang ketiga dan keempat ditempati oleh wilayah Bali Utara yaitu Kabupaten Buleleng sebesar 14,45%. Kabupaten Bangli merupakan kabupaten yang paling rendah

kontribusinya terhadap pembentukan nilai tambah PDRB baik secara nominal maupun secara ril yaitu sebesar 2,83%. Kontribusi Kabupaten Tabanan, Karangasem, Jembrana dan Klungkung juga relatif rendah kontribusinya terhadap perekonomian provinsi yaitu masing-masing 9,75%, 6,97%, 5,82% dan 3,63%. Kondisi ini dapat menandakan masih ada ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Bali, karena pusat perekonomian cendrung masih terpusat.

Selama periode 2011-2015, kontribusi sektor primer terhadap pembentukan PDRB Provinsi Bali rata-rata 16,59%, sektor sekunder rata-rata 16,26% dan sektor tersier rata-rata 67,16%. Pada sektor primer, kontribusi terbesar adalah sektor pertanian dalam arti luas yaitu rata-rata 15,34%. Kontribusi sektor primer kecende-rungannya mengalami penurunan dari waktu kewaktu, kontribusi sektor sekunder berfultuasi kecil sedangkan sektor tersier cenderung meningkat walaupun pada tahun 2015 sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Dilihat dari lapangan usaha, kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB tahun 2015 adalah Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum. Selama periode 2011-2015, lapangan usaha ini meningkat dari 19,37% tahun 2011 sampai 23,10% tahun 2014 akan tetapi menurun di tahun 2015 menjadi 22,82%. Kontribusi

(24)

terbesar kedua diduduki oleh Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Kotribusi lapangan usaha ini pada tahun 2011 sebesar 16,23% dan terus menurun hingga menjadi 14,64% pada tahun 2014, dan pada tahun 2015 sedikit meningkat menjadi 14,92%. Peternakan dan Perikanan merupakan dua kategori pada lapangan usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan yang memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB yaitu masing-masing dengan rata-rata 4,63% dan 4,22% dalam periode 2011-2015.

Struktur perekonomian kabupaten/ kota di Bali juga menunjukkan dominasi kelompok sektor tersier akan tetapi dominasi sektor tersier di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung telah melampaui angka di atas 75%. Sementara kontribusi sektor primer menurut kabupaten/kota berkisar 7,0 – 30,2%, tertinggi di Kabupaten Karangasem dan terendah di Kabupaten Badung.

b. Pertumbuhan Ekonomi

Menurut BPS 2016, Pergerakan pertumbuhan ekonomi Bali dalam periode 2011-2015 berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan pertahunnya sebesar 6,62%. Pada tahun 2011, ekonomi Bali tumbuh 6,66%, kemudian terjadi peningkatan fluktuatif sampai tahun 2014 menjadi sebesar 6,73% akan tetapi tahun 2015 menurun menjadi 6,04%. Sebagai daerah yang mengandalkan sektor pariwisata,

pertumbuhan ekonomi Bali sangat dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali. Pada tahun 2014, pertumbuhan kunjungan wisatawan ke Bali sebesar 14,89% dan pada tahun 2015 pertumbuhannya hanya 6,24%. Pertumbuhan ekonomi Bali juga tidak terlepas dari kondisi global dimana terjadi penurunan harga komoditas yang berdampak pada penurunan nilai ekspor.

Selama periode 2011-2015, pertumbuhan ekonomi Bali selalu berada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional. Selama periode tersebut, laju pertumbuhan ekonomi nasional terus menurun dari 6,17% tahun 2011 menjadi 4,79% tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa secara nasional pertumbuhan ekonomi Bali relatif lebih baik. Pada tahun 2013 dan 2014, pertumbuhan ekonomi Bali selalu tertinggi di wilayah JABALNUSRA. Akan tetapi pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Bali dilangkahi oleh NTB yang tumbuh sebesar 21,24%.

Jika dilihat pertumbuhan menurut lapangan usaha atau sektor, sektor pertanian mengalami penurunan pertumbuhan dari 4,63% tahun 2014 menjadi 3,41% tahun 2015. Selama periode 2011-2015, pertanian tumbuh rata-rata 3,13% pertahun. Dengan sumbangan terhadap PDRB yang relatif besar yaitu rata-rata tahunan 15,34% maka angka pertumbuhan sektorpertanian ini

(25)

21 memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Penyediaan akomodasi dan makan minum sebagai penyumbang PDRB terbesar, tumbuh rata-rata tahunan sebesar 7,04% dan laju pertumbuhannya tahun 2015 sebesar 5,76%, menurun dari 6,82% di tahun 2014.

Lima lapangan usaha sebagai sumber pertumbuhan utama perekonomian Provinsi Bali tahun 2015 adalah Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum yaitu sebesar 1,13%, Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda sebesar 0,68%, Informasi dan Komunikasisebesar 0,64%, Pettanian, Kehutanan dan Perikanan sebesar 0,51% dan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar 0,50%.

c. Pendapatan Per Kapita

Pendapatan per kapita menggam-barkan seberapa besar nilai tambah yang diciptakan/diterima tiap-tiap penduduk, sehingga secara tidak langsung akan menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah bersangkutan. Semakin besar nilai PDRB per kapita maka dapat dikatakan semakin sejahtera atau makmur. Kendati demikian, PDRB per kapita merupakan angka agregat (rata-rata) sehingga masih sangat kasar jika dijadikan cerminan bagi tingkat kesejahteraan penduduk. Angka ini mengasumsikan semua penduduk mempunyai akses yang

sama terhadap pendapatan, sehingga kurang tepat dalam mencerminkan kesejahteraan.

Pada tahun 2015, pendapatan per kapita Provinsi Bali atas dasar harga berlaku mencapai Rp. 42,66 juta, masih di bawah angka nasional yang mencapai Rp. 45,18 juta. Jika dibandingkan dengan tahun 2014, pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku tahun 2015 mengalami kenaikan 11,97%. Jika dilihat berdasarkan harga konstan, pendapatan perkapita Provinsi Bali tahun 2015 sebesar Rp. 31,10 juta, meningkat 4,82% dibandingkan tahun 2014. Pertumbuhan pendapatan perkapita ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,17%. Secara nasional, pendapatan perkapita Bali pada tahun 2015 berada pada ranking ke-11. Sedangkan di wilayah JABALNUSRA berada pada ranking ke-3 setelah DKI dan Jatim (BPS 2016).

Disparitas ekonomi antar kabupaten/ kota di Bali terlihat dari tingginya kesenjangan pendapatan perkapita. Pendapatan Perkapita Atas Dasar Harga Konstan menurut kabupaten/kota pada tahun 2015 berkisar Rp. 16,57 juta – Rp. 47,34 juta, tertinggi di Kabupaten Badung dan terendah Kabupaten Bangli. Pendapatan per kapita Kabupaten Badung hampir 3 kali lipat dari Kabupaten Bangli. Selain Badung, kabupaten/kota dengan pendapatan perkapita di atas provinsi yaitu Denpasar dan Gianyar. Sementara enam

(26)

kabupaten lainnya di bawah angka provinsi. Kondisi ini menunjukkan bahwa perekonomian Bali terpusat hanya di sebagian kecil kabupaten/kota.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis ucapkan kepada Gubernur Provinsi Bali, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali beserta seluruh jajarannya, Direktur Direktorat Perencanaan Laut KKP beserta seluruh jajarannya dan Kepala Badan Riset Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM-KP).

REFERENSI

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Bali Dalam Angka 2016, Badan Pusat Statistik, Denpasar.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Provinsi Bali Dalam Angka 2017, Badan Pusat Statistik, Denpasar.

Ditjen KKP. 2016. Tata Cara Penyusunan Peta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Direktorat Perencanaan Ruang Laut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut,

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Gordon, A.L. 2012. Brief ITF review; Pacific

inflow into the Indonesian Seas,

CLIVAR ITF -Task Team, Ancol, Indonesia.

[Sekda] Sekretaris Daerah Provinsi Bali. 2003. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman, perubahan dari Perda No. 3 Tahun 2001.

[Sekda] Sekretaris Daerah Provinsi Bali. 2017. Perda Provinsi Bali No. 11 Tahun 2017 tentang Bendega. [Setneg] Sekretariat Negara. 2014.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

[Setneg] Sektretariat Negara. 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam

Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Peters, J.H, Wardana, W. 2013. Tri Hita Karana, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

(27)

23

EVALUASI RENCANA AKSI MITIGASI DENGAN PENDEKATAN

EKONOMI HIJAU DI KABUPATEN JAYAPURA

Martha Christina Yufuai1*, Dodik Ridho Nurrochmat2, Suyanto3

1Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB)

2Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) 3World Agroforestry Centre

*Email: athajoef@gmail.com

RINGKASAN

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Jayapura bertumpu pada sektor berbasis lahan seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan. Kondisi ini harus dikelola dalam kerangka ekonomi hijau (green economy)sehingga dapat menjadi jalan tengah antara peningkatan populasi dan penurunan sumber daya lahan. Kabupaten Jayapura memiliki luas kawasan hutan sebesar 1.225.505 ha atau 70,73% dari luas Kabupaten Jayapura. Kawasan hutan terdiri dari Hutan Lindung 661.799 ha (38,04%), Cagar Alam 8.262 ha (0,74%), Hutan Suaka Marga Satwa 160.163 ha (9,23%) dan Hutan Budidaya 395.281 ha (22,72%). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak aksi mitigasi terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Jayapura dan membangun strategi kebijakan bagi Kabupaten Jayapura dalam Green Growth Economy. Penelitian ini menggunakan perangkat LUMENS dalam menganalisi input-output ekonomi Kabupaten Jayapura untuk mengetahui dampak aksi mitigasi dan trade off analysis dalam pertumbuhan ekonomi, dan membangun strategi pertumbuhan ekonomi hijau di Kabupaten Jayapura. Kabupaten Jayapura dapat memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pemerataan ekonomi, sepanjang pemerintah menjadikan sumberdaya alam sebagai penghasil devisa dan dapat mencipatakan kesejahteraan masyarakat, maka kawasan yang dapat dijadikan sumberdaya stock

carbon adalah kawasan konservasi (9,70%) dan kawasan hutan lindung (38,04%). Makna dari

pembangunan ekonomi hijau di Kabupaten Jayapura adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, menjadi investasi dalam modal sosial, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam dalam bentuk formal maupun informal. Memberikan ruang bagi pemerintah untuk menciptakan investasi sesuai dengan fungsi kawasannya. Strategi pembangunan ekonomi hijau Kabupaten Jayapura dapat dicapai dengan dukungan kebijakan (policy making), kerjasama serta koordinasi (patnership) dan pemerataan pembangunan.

(28)

PERNYATAAN KUNCI

1. Aktifitas ekonomi di Kabupaten Jayapura sebagian besar masih berbasis lahan seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan. Aktifitas tersebut mendorong adanya perubahan tutupan lahan dan memberikan pengaruh pada penyerapan emisi gas rumah kaca yang kemudian dapat memicu perubahan iklim.

2. Kebijakan ekonomi harus menengahi kebutuhan pemanfaatan sumberdaya alam dan mitigasi perubahan iklim. Untuk itu, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui Peraturan Presiden nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement to The

Nations Framework Convention on Climate Change.

3. Upaya Pemerintah Kabupaten Jayapura dalan Rencana Aksi Mitigasi telah menyusun 8 rencana aksi yang terdiri dari: 1) pencegahan penurunan cadangan karbon; 2) Implementasi NKT (Nilai Konservasi Tinggi) hutan tanaman; 3) pengembangan sumberdaya hutan (hutan lindung); 4) peningkatan cadangan/serapan karbon; 5) Rehabilitasi lahan kritis

menjadi hutan sekunder kerapatan rendah; 6) Rehabilitasi pada lahan kritis menjadi hutan produksi; 7) Penanaman pohon di lahan kritis (rawan longsor); dan 8) Penerapan sistem agroforestri. 4. Upaya memacu pertumbuhan Produk

Domestik Bruto (PDRB) harus memperhatikan nilai penyusutan sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan (degradasi), untuk tetap menjaga kestabilan karbon dalam memanfatkan kawasan sesuai fungsinya.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

1. Perlu percepatan pembangunan ekonomi hijau di Kabupaten Jayapura sebagai pembangunan berkelajutan yang merata di setiap wilayah. Kebijakan pembangunan ekonomi harus memperhatikan besaran dampak pada peningkatan pembangunan, ekonomi, ekologi (lingkungan) dan sosial budaya masyarakat.

2. Perlu melakukan prioritas pembangunan dari delapan aksi mitigasi oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura. Hasil analisis yang dilakukan menemukan bahwa aksi_8 (penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis dan lahan pertanian semusim) dapat menjadi prioritas dalam peningkatan ekonomi masyarakat.

3. Pertumbuhan ekonomi hijau dapat menjadi model pembangunan dalam

(29)

25 pembangunan berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mejaga kestabilan emisi GRK di Kabupaten Jayapura.

I. PENDAHULUAN

Perubahan iklim saat ini menjadi tantangan utama bagi pembangunan di Indonesia. Perubahan iklim memberikan dampak bagi pembangunan ekonomi. Sektor perekonomian di Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh kegiatan usaha yang berbasis lahan seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan. Keberhasilan dan produktivitas sektor-sektor ini sangat bergantung pada kondisi iklim. Penyebab utama terjadinya perubahan iklim karena aktivitas manusia yang melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Aktivitas manusia dan besarnya kebutuhan lahan memicu perubahan iklim, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi GRK. Hal ini menyebabkan berkurangnya luasan tutupan lahan sebagai sumber cadangan karbon (carbon stock). GGGI (2015) menyatakan eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan tanpa memperhatikan dampak lingkungan, akan mempengaruhi ketersediaan sumber daya alam dari sisi kualitas dan kuantitas. Akibatnya biaya sosial dari polusi dan perubahan iklim semakin meningkat dan ekositem yang mendukung kehidupan akan terancam.

Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan keberlanjutan kesejahteraan manusia secara fundamental juga ikut terancam.

Pemerintah Indonesia dalam menghadapi tantangan perubahan iklim telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai 41% dengan bantuan internasional sebagaimana tertuang dalam UU No 16 tahun 2016. Undang-undang ini merupakan hasil ratifikasi Paris Agreement to The Nations

Framework Convention on Climate Change.

Komitmen ini menguatkan peraturan yang telah ada sebelumnya yaitu Peraturan Presiden nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang menjadi dasar acuan pelaksanaan penurunan emisi GRK di seluruh Indonesia. RAN-GRK tersebut dijabarkan pada tingkat daerah (provinsi) dalam bentuk Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) sebagai dasar bagi pemerintah daerah untuk melakukan berbagai upaya menurunkan emisi GRK di wilayahnya. Kebijakan pembangunan rendah karbon (low carbon) adalah pembangunan ekonomi yang berlangsung mampu mepertahankan dan menjaga kestabilan emisi GRK untuk mencapai pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan dan sosial.

Peran strategis Kabupaten Jayapura berkontribusi dalam penurunan emisi GRK

(30)

dengan menyusun rencana aksi mitigasi untuk mendukung komitmen pemerintah Provinsi Papua dalam Peraturan Gubernur Nomor 9 Tahun 2012 tentang rencana aksi daerah penurunan emisi GRK tahun 2013 sampai 2020. Hal tersebut dapat membantu pembangunan ekonomi di Kabupaten Jayapura hanya cenderung ekstraktif dengan kondisi pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada sektor sumberdaya alam.

Pembangunan ekonomi hijau adalah model perencanaan dan perancangan pembangunan nasional, dengan pendekatan pembangunan ekonomi yang rendah karbon, yang konsep pengelolaan sumberdaya alam disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial dan ekonomi daerah untuk kesejahteraan masyarakat (Pearce et al. 1992). Bagaimana pembangunan ekonomi di Kabupaten Jayapura dapat melaksanakan pertumbuhan ekonomi hijau?” merupakan pertanyaan penting yang akan dijawab dalam penelitian ini.

II. SITUASI TERKINI Aksi Mitigasi Karbon (CO2)

1. Proyeksi Emisi dari Aksi Mitigasi Dampak aksi mitigasi terhadap pertumbuhan ekonomi dianalisis dengan menggunakan dua indikator makro yaitu PDRB dan pendapatan skenario BAU (Bussines as Usual). Perhitungan perbandingan PDRB, pendapatan skenario

BAU dan skenario aksi mitigasi akan diketahui apakah skenario aksi mitigasi mempunyai pengaruh positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Skenario BAU pada tahun 2030 menghasilkan proyeksi PDRB sebesar 1.918.948,31 (juta Rp), untuk mengetahui dampak ekonomi aksi mitigasi adalah PDRB aksi mitigasi dikurangi dengan PDRB BAU. Dampak tingkat pendapatan dari aksi mitigasi diperoleh dengan mengurangi tingkat pendapatan BAU sebesar 682.882,00 (juta Rp) dan tingkat pendapatan PDRB aksi mitigasi. Pada Tabel 1 dapat dilihat dampak ekonomi aksi mitigasi di Kabupaten Jayapura.

Pengurangan emisi berbasis sektor lahan adalah mekanisme pengurangan emisi akibat perubahan penggunaan lahan, dan mengatasi perubahan iklim yang berdampak bagi penghidupan masyarakat secara global. Prinsip penting yang dalam penentuan aksi mitigasi menurut Bappenas (2011) menyatakan upaya penurunan emisi di tingkat daerah, sejalan dengan prinsip penyusunan RAN-GRK yaitu (1) rencana akis mitigasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari strategi pembangunan daerah, (2) tidak menghambat upaya pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dengan memprioritaskan kesejahteraan masyarakat, (3) terintegrasi antara satu bidang dengan bidang yang lain (cross sectorial issues), (4) dapat dijadikan

(31)

27 rencanan pembangunan dengan pendekatan yang baru, dan (5) keterlibatan stakeholder pembangunan di daerah dari berbagai unsur, meningkatkan kepemilikan (ownership) secara partisipasi dalam kurun waktu yang telah ditetapkan.

Proses penyusunan aksi mitigasi dilakukan dengan identifikasi program dan kegiatan pembangunan yang tertuang dalam RPJMD dan Rencana Kerja Perangkat

Daerah (RKPD) dan atau kegiatan yang terintegrasi dengan RPJMN dan RKP pemerintah pusat. Dengan melibatkan berbagai stakeholder, diskusi penentuan aksi mitigasi, pelaksanaan konsultasi publik. Penyusunan Aksi mitigasi dini telah disetujui oleh para pihak di lingkungan pemerintah dan masyarakat Kabupaten Jayapura. Skenario aksi mitigasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Skenario aksi mitigasi di Kabupaten Jayapura periode tahun 2016 sampai 2030 No Aktivitas Mitigasi (Unit Perencanaan) Lokasi kegiatan Perencanaan Pembangunan yang akan datang

1 Mempertahankan tutupan hutan

primer dan sekunder Cagar Alam Perlindungan ekosistem dan lingkungan yang ada di dalamnya 2 Implementasi NKT (Nilai

Konservasi tinggi) Hutan Tanaman Ada pengembangan penggunaan lahan dari hutan sekunder kerapatan tinggi untuk komoditas perkebunan 10% ke sawit dan 5% coklat

3 Pengamanan Sumber Daya Hutan Hutan Lindung Perubahannya mengikuti perubahan historis, kecuali pemukiman saja yang tetap dan tidak bertambah 4 Kegiatan konservasi atau restorasi

melalui penanaman kembali hutan sagu dari lahan terdegradasi

Sempadan Danau Agroforestri pada lahan semak belukar (tanaman sagu)

5 Rehabilitasi lahan kritis menjadi hutan sekunder kerapatan rendah sepanjang Cagar Alam Cycloop

Cagar Alam Perlindungan ekosistem dan lingkungan yang ada di dalamnya

6 Rehabilitasi pada lahan kritis menjadi hutan sekunder kerapatan rendah

- Hutan Produksi Konversi

- Ada pengembangan penggunaan lahan dari hutan sekunder kerapatan tinggi untuk komoditas perkebunan 10% ke sawit dan 5% coklat

- Hutan Produksi - Pengelolaan Hak Pengusahaan Hutan menggunakan hukum adat sebesar 20% dari hutan primer menjadi hutan sekunder kerapatan tinggi

- Hutan Produksi Terbatas

- Pemberian ruang kegiatan sebesar 5% dari hutan sekunder kerapatan tinggi menjadi hutan sekunder kerapatan rendah

7 Penanaman pohon di lahan kritis menjadi hutan sekunder kerapatan rendah

Rawan Longsor Sesuai kondisi perubahan dan penggunaan lahan sebelumnya

8 Penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis dan lahan pertanian semusim

Perkebunan Masyarakat Penggunaan lahan undisturbed forest akan dibangun menjadi kebun/agroforetri

Gambar

Tabel 2 Definisi, indikator, metode dan analisis peubah pelatihan, motivasi dan kinerja
Gambar 1 Loading factor pada model  pengukuran awal
Gambar 1. Wilayah Pesisir Provinsi Bali,  beserta garis batas perairannya  III.  METODOLOGI
Gambar 2. Ilustrasi Pembagian Kawasan di  Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau  Kecil
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bapak Muhamad As’adi, MT selaku Kepala Program Studi Teknik Industri UPN “Veteran” Jakarta dan yang telah bersedia menjadi pembimbing I penulis dalam

Jurnal Konseling Andi Matappa Volume 4 Nomor 1 Februari 2020 Hal 28 34 p ISSN 2549 1857; e ISSN 2549 4279 (Diterima Oktober 2019; direvisi Desember 2019; dipublikasikan Februari 2020)

Sarangan - Limpasan air hujan tidak bisa masuk ke saluran akibat inlet yang kurang - Membuat inlet-inlet saluran horisontal - Kapasitas tampungan saluran tidak mampu menampung

Implementasi Kewenangan absolut pada lembaga peradilan terkait penyelesaian perkara kekerasan seksual terhadap anak di Aceh, pengadilan negeri yang kewenangannya

1) KUR melalui lembaga linkage dengan pola channeling berdasarkan dengan lampiran Permenko No. 8 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat:.. Lembaga

(1) Untuk tiap tahun buku oleh Pimpinan Bank dikirimkan per­ hitungan tahunan jang terdiri dari neraca dan perhitungan laba rugi, kepada Badan Pengawas, para pemilik saham

Dapat disumpulkan bahwa model pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan Hasil belajar Matematika siswa yang semula rata-rata nilai siswa 6,5 masih dibawah

Ibu Muji (38) yang juga merupakan pembatik batik tulis di Putra Laweyan telah menjadi pembatik batik tulis selama 30 tahun menuturkan bahwa dalam membatik harus menggunakan