• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. transformasional dan kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. transformasional dan kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

9

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian ini mengacu pada bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai.

2.1.1 Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNS Daerah) adalah PNS yang bekerja di pemerintahan daerah provinsi / kabupaten / kota dan gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). PNS Daerah dapat diperbantukan di luar instansi induknya. Jika demikian, gajinya dibebankan pada instansi yang menerima pembantuan. Di samping PNS, pejabat yang berwenang dapat mengangkat Pegawai Tidak Tetap (PTT) atau disebut pula honorer yaitu pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis dan profesional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. PTT tidak berkedudukan sebagai pegawai negeri.

Dalam birokrasi pemerintah dikenal jabatan karier, yakni jabatan dalam lingkungan birokrasi yang hanya dapat diduduki oleh PNS. Jabatan karier dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Jabatan Struktural, yaitu jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Kedudukan jabatan struktural bertingkat-tingkat dari tingkat yang terendah (eselon IV/b) hingga yang tertinggi (eselon I/a). Contoh jabatan

(2)

struktural di PNS Daerah adalah sekretaris daerah, kepala dinas/badan/Kantor, kepala bagian, kepala bidang, kepala seksi, camat, sekretaris camat, lurah, dan sekretaris lurah.

2. Jabatan Fungsional, yaitu jabatan yang tidak secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya diperlukan oleh organisasi, misalnya auditor (Jabatan Fungsional Auditor atau JFA), guru, dosen, dokter, perawat, bidan, apoteker, peneliti, perencana, pranata komputer, statistisi, pranata laboratorium pendidikan, dan penguji kendaraan bermotor.

2.1.2 Kepemimpinan

2.1.2.1 Definisi Kepemimpinan

Kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam organisasi. Kepemimpinan dibutuhkan oleh manusia karena adanya sifat keterbatasan yang sangat melekat pada diri manusia. Suatu organisasi tanpa ada sosok seorang pemimpin akan mengalami kesulitan dalam mencapai visi dan misi dari organisasi itu sendiri. Dari sinilah timbul kebutuhan untuk memimpin dan dipimpin. Secara kasar, kepemimpinan didefinisikan sebagai ciri – ciri individual, kebiasaan, cara mempengaruhi orang lain, interaksi, kedudukan dalam organisasi dan persepsi mengenai pengaruh yang sah.

Menurut Robbins dan Judge (2007, p.365) kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan.

Menurut Soekarso dkk (2010, p.10) kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial , yaitu suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain, kekuatan yang mempengaruhi perilaku orang lain ke arah pencapaian tujuan tertentu .

(3)

Menurut Locander dalam Maulizar, Musnadi, dan Yunus (2012), kepemimpinan adalah hubungan antara pimpinan (leader) dengan yang dipimpin (follower). Lebih lanjut Locander menjelaskan bahwa kepemimpinan mengandung makna bahwa pemimpin mempengaruhi yang dipimpin tapi hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat saling menguntungkan kedua belah pihak.

Sementara itu, Drath dan Palus ( dalam Yukl, 2013, p.19) memberikan definisi sebagai berikut : “Leadership is the process of making sense of what people are doing together so that they will understand and be committed”.

Menurut Tangkilisan (2007, p.7), antara kepemimpinan dengan pemimpin memiliki kaitan yang erat. Di samping kata “kepemimpinan” merupakan bentukan kata dan mendapat imbuhan “ke-an” dari kata dasar “pemimpin”, pemimpin pada dasarnya adalah orang yang melaksanakan kepemimpinan. Namun demikian, ada perbedaan tegas antara kepemimpinan dengan pemimpin. Kalau kepemimpinan merujuk pada proses kegiatan, maka pemimpin merujuk pada pribadi seseorang.

Maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses yang disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk memahami dan setuju untuk berkerja sama untuk mencapai tujuan kelompok yang telah ditentukan

2.1.2.2 Elemen Kunci Kepemimpinan

Berdasarkan Achua dan Lussier (2009, p.6), kepemimpinan adalah proses mempengaruhi antara pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi melalui perubahan. Kepemimpinan sendiri terdiri dari lima elemen kunci, yaitu :

(4)

Mengacu pada pengertian kepemimpinan oleh Achua dan Lussier di atas, proses mempengaruhi disini terjadi antara pemimpin dan pengikutnya. Artinya adalah tidak hanya pemimpin yang mempengaruhi pengikutnya, tetapi pemimpin juga dapat dipengaruhi oleh pengikutnya. Terdapat proses timbal balik antara pemimpin dengan pengikutnya. Hal ini diperlukan oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan, agar keputusan yang diambil tidak dari sudut pandang pemimpin saja, tetapi juga dari sudut pandang pengikutnya. Agar keputusan yang diambi tidak merugikan salah satu pihak.

2. Influence

Mempengaruhi (influencing) adalah suatu proses dari seorang pemimpin dalam mengkomunikasikan ide – idenya kepada pengikutnya, yang kemudian ide tersebut diterima oleh pengikutnya, dan memotivasi pengikutnya untuk mendukung dan mengimplementasikan ide – ide tersebut melalui perubahan. 3. Organizational Objective

Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mempengaruhi pengikutnya untuk berpikir tidak hanya kepentingan mereka sendiri tetapi juga dari kepentingan organisasi melalui visi bersama. Seluruh komponen dalam organisasi bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin perlu memberikan arahan, tetapi kelompok menetapkan tujuan.

4. Change

Proses mempengaruhi dan mengatur tujuan selalu berkaitan dengan proses perubahan. Suatu organisasi perlu untuk terus melakukan perubahan agar dapat beradaptasi di lingkungan global yang dapat berubah dengan sangat cepat.

(5)

5. People

Seorang pemimpin tidak hanya mementingkan kepentingan pengikutnya dan organisasi tempat ia bekerja, melainkan juga harus memikirkan masyarakat sekitar. Suatu organisasi yang sukses selalu memperhatikan bagaimana cara mereka memperlakukan masyarakat di sekitar organisasi itu agar terjadi proses timbal balik antar kedua belah pihak.

2.1.2.3 Fungsi – fungsi Kepemimpinan

Berdasarkan pendapat Soekarso dkk (2010, p.22-23) agar kelompok berjalan dengan efektif, maka seorang pemimpin harus melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut:

1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau pemecahan masalah, mencakup penetapan struktur tugas, pemberian saran dan penyelesaian, informasi dan pendapat.

2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok atau sosial, mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, pengaruh perbedaan pendapat dan sebagainya.

Fungsi-fungsi kepemimpinan dalam organisasi dapat disebut dengan “enam F”, antara lain :

a. Fungsi pengambilan keputusan ( Decision Making) b. Fungsi pengarahan (Directing)

c. Fungsi pendelegasian (Delegation) d. Fungsi pemberdayaan (Empowerment)

(6)

e. Fungsi fasilitas (Facilitating) f. Fungsi pengendalian (Controlling)

2.1.2.4 Sumber Daya Kepemimpinan

Berdasarkan pendapat Soekarso dkk (2010, p.26-39) seorang pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki kekuatan berupa suatu sumber daya tertentu, seperti :

1. Pengaruh (Influence)

Kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial dalam hubungan interpersonal. Pemimpin mempengaruhi bawahan atau pengikut kearah yang diinginkan.

2. Kekuasaan (Power)

Pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki suatu sumber daya tertentu, yaitu power. Dalam hal ini power berarti daya, atau dalam teori kepemimpianan power adalah sebagai kekuasaan.

3. Legitimasi (Legitimacy)

Kepemimpinan memerlukan legitimasi agar posisi formal keberadaan pemimpin dan kekuasaan mendapat pengakuan resmi dalam organisasi.

4. Indiosinkratik kredit (Indiosyncracy credit)

Konsep Indiosinkratik merupakan elemen penting dari analisis teori pertukaran (exchange theory). Bagaimanapun pemimpin atau anggota dalam menjalankan tugas mempunyai peran masing-masing sesuai dengan kelompok atau organisasi. 5. Wewenang (Authority)

(7)

Wewenang merupakan dasar hukum untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan baik.

6. Politik (Politic)

Dalam organisasi terdapat keterbatasan sumber daya, keanekaragaman struktur, perbedaan kepentingan dan terjadi perubahan, maka agar mendapatkan lebih berperan atau lebih berkuasa dalam organisasi maka diperlukan tindakan-tindakan tertentu yaitu politik.

2.1.2.5 Teori Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Atau dengan kata lain bagaimana cara seorang pemimpin dalam memimpin para bawahannya.

Berdasarkan pendapat Soekarso dkk (2010, p.11) gaya kepemimpinan adalah perilaku atau tindakan pemimpin dalam mempengaruhi para anggota/pengikut serta melaksanakan tugas-tugas pekerjaan manajerial.

Menurut Stoner dalam Aprilita (2012) memberikan definisi tentang gaya kepemimpinan adalah berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja.

Maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu perilaku yang ditunjukan oleh pemimpin kepada bawahannya dengan tujuan untuk mempengaruhi bawahannya supaya dapat diarahkan.

(8)

2.1.2.6 Gaya Kepemimpinan Transformasional

Berdasarkan Yukl (2013, p.312), konsep awal tentang kepemimpinan transformasional telah diformulasi oleh Burns (1978) dari penelitian deskriptif mengenai pemimpin – pemimpin politik. Burns (1978) menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai proses para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Kemudian Bass (1985) mengusulkan sebuah teori kepemimpinan transformasional yang dibangun atas gagasan – gagasan yang lebih awal dari Burns (1978). Menurut Bass (1985) dalam buku Yukl (2013, p.313) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah suatu keadaan dimana para pengikut dari seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan mereka. Pemimpin tersebut mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan cara membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil – hasil suatu pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan diri sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan – kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi.

Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2007, p.387) kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan memiliki kharisma.

Sedangkan menurut Newstrom dan Bass (dalam Sadeghi dan Pihie, 2012) pemimpin transformasional memiliki beberapa komponen perilaku tertentu, diantaranya adalah integritas dan keadilan, menetapkan tujuan yang jelas, memiliki harapan yang tinggi, memberikan dukungan dan pengakuan, membangkitkan emosi pengikut, dan

(9)

membuat orang untuk melihat suatu hal melampui kepentingan dirinya sendiri untuk meraih suatu hal yang mustahil.

Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik dan mempunyai peran sentral serta strategi dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.

Interaksi yang timbul antara pemimpin dengan bawahannya ditandai dengan pengaruh pemimpin untuk mengubah perilaku bawahannya menjadi seorang yang merasa mampu dan bermotivasi tinggi dan berupaya mencapai prestasi kerja yang tinggi dan bermutu. Pemimpin mempengaruhi pengikutnya sehingga tujuan organisasi akan tercapai.

Bass dalam Robbins dan Judge (2007, p.387) dan Bass dalam Hariyanti (2011), mengemukakan ada empat karakteristik kepemimpinan transformasional, yaitu :

a) Pengaruh Ideal (Idealized Influence) : Pengaruh yang ideal berkaitan dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin. Pemimpin diidentifikasikan dengan dijadikan sebagai panutan, dipercaya, dihormati dan mempunyai visi dan misi yang jelas menurut persepsi bawahan dapat diwujudkan.

b) Motivasi yang Inspirasi (Inspirational Motivation): Pemimpin yang inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu mengomunikasi ekspektasi yang tinggi dari bawahannya, menggunakan simbol-simbol untuk berfokus pada upaya bawahannya dan menyatakan tujuan-tujuan penting secara sederhana.

(10)

c) Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation) : Pemimpin mendorong bawahan untuk lebih kreatif, serta mendorong bawahannya untuk menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih rasional dalam pengambilan keputusan dan cermat dalam menyelesaikan permasalahan yang ada .

d) Perhatian yang bersifat Individual (Individualized Consideration) : Pemimpin memberikan perihatian pribadi kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh, mempertimbangkan kebutuhan dari bawahannya, serta melatih dan memberikan saran kepada bawahannya.

Dalam jurnal Boateng (2012) menyatakan bahwa :

Bass (1985) proposes that transformasional leadership was characterized by four factors included; charisma that involved the followers respect and trust for the visionary leader; inspirational motivation which involved using symbols or emotional appeals to gain support for the vision; intellectual stimulation which dealt with encouraging followers to think about old problems in new days; and individual consideration which reflected the personal concern expressed by the leader for the follower.

2.1.2.7 Gaya Kepemimpinan Transaksional

Dalam Yukl (2013, p.312) Bass memandang kepemimpinan transaksional sama dengan Burns yaitu sebuah pertukaran imbalan – imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Namun demikian, Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional dalam arti yang lebih luas dari pada Burns. Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2007, p.387) pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memadukan atau memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.

(11)

Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2007, p.387) mengemukakan bahwa kepemimpinan transaksional terdiri dari empat dimensi :

a) Penghargaan Bersyarat (Contingent Reward) : Menjalankan pertukaran kontraktual antara penghargaan dan usaha, menjanjikan penghargaan untuk kinerja yang baik dan mengakui pencapaian yang diperoleh.

b) Manajemen Pengecualian-aktif (Management by Exception-Active) : Mengamati dan mencari penyimpangan dari aturan-aturan dan standar, serta melakukan tindakan-tindakan perbaikan.

c) Manajemen Pengecualian-pasif (Management by Exception-Passive) : Mengintervensi hanya jika standar tidak tercapai.

d) Laissez-faire : Melepas tanggung jawab dan menghindari pengambilan

keputusan.

Dalam jurnal Boateng (2012) menyatakan bahwa :

Bass and Avolio (2000) identified these factors as contingent reward, management-by-exception-active, and management-by-exception-passive. Contingent reward leaders clarified the expectations of followers and the compensation they would receive if they met their performance expectations. Management-by-exception-active leaders attended to followers’ mistakes and failures to meet standards but management-by-exception-passive leadership waited until problems became severe before intervening (Bass & Avolio, 1994).

(12)

2.1.2.8 Cakupan Utuh Model Kepemimpinan ( Transaksional-Transformasional)

Gambar 2.1 Full Range of Leadership Model Sumber : Robbins dan Judge, 2007, p.388

Kepemimpinan transaksional dan transformasional hendaknya tidak dipandang sebagai pendekatan yang saling bertentangan. Kedua jenis kepemimpinan ini saling melengkapi, tetapi tidak berarti keduanya sama penting. Kepemimpinan transformasional lebih unggul dari pada kepemimpinan transaksional dan menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang melampaui apa yang bisa dicapai kalau

(13)

hanya pendekatan transaksional yang diterapkan. Tetapi, yang sebaliknya tidak berlaku, jadi sebaik-baiknya kepemimpinan transaksional maka akan menjadi biasa saja apabila tidak memiliki sifat-sifat transformasional. Pada gambar Cakupan Utuh model kepemimpinan ini menjelaskan bahwa Laissez-Faire adalah model yang paling pasif dan karena itu merupakan perilaku pemimpin yang paling tidak efektif. Para pemimpin yang menggunakan gaya ini jarang dianggap efektif. Management by exception-entah aktif ataupun pasif-sedikit lebih baik dari pada Laissez-Faire, tetapi masih dianggap tipe kepemimpinan yang tidak efektif. Pemimpin yang menerapkan Management by exception cenderung hanya memberikan reaksi saat ada masalah, yang sering kali sudah

terlambat. Kepemimpinan yang memberikan contingent reward bisa menjadi gaya kepemimpinan yang efektif. Namun, pemimpin seperti ini tidak bisa mendorong karyawannya untuk bekerja di luar cakupan tugasnya. Hanya dengan empat gaya kepemimpinan yang lain- semuanya merupakan aspek dari kepemimpinan transformasional - pemimpin bisa memotivasi karyawan untuk bekerja diatas ekspetasi dan mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan organisasi. Individualized consideration, intellectual stimulation, inspirational motivation, dan

idealized influence, seluruhnya mendorong karyawan untuk bekerja lebih keras,

meningkatkan produktivitas, memiliki moril kerja serta kepuasan kerja yang lebih tinggi, meningkatkan efektivitas organisasi, meminimalkan perputaran karyawan, menurunkan tingkat ketidakhadiran dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara organisasi yang lebih tinggi. Berdasarkan model ini, pemimpin umumnya paling efektif bila mereka secara rutin menetapkan masing-masing dari keempat perilaku transformasional.

(14)

2.1.3 Kepuasan Kerja 2.1.3.1 Definisi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan bentuk perasaan seseorang terhadap pekerjaannya, situasi kerja dan hubungan dengan rekan kerja. Dengan demikian kepuasan kerja merupakan sesuatu yang penting untuk dimiliki oleh seorang pegawai, dimana mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan kerjanya sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan perusahaan.

Robbins dan Judge (2007, p.79) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan positif sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut. Definisi ini tentu sangat luas maknanya.

Marihot Tua (2007, p.290) mengemukakan bahwa kepuasan kerja menunjukkan hingga sejauh mana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor dari tugas dalam pekerjaannya.

Hasibuan (2007, p.202) menyatakan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja.

Menurut Luthans (1995) dalam jurnal Engko (2008) kepuasan kerja dapat dipahami melalui tiga aspek. Pertama, kepuasan kerja merupakan bentuk respon pekerja terhadap kondisi lingkungan pekerjaan. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh hasil pekerjaan atau kinerja. Ketiga, kepuasan kerja terkait dengan sikap lainnya dan dimiliki oleh setiap pekerja.

Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dicerminkan oleh pegawai terhadap pekerjaannya.

(15)

2.1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Kreitner dan Kinicki (2001) dalam buku Wibowo (2009, p.326) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu :

1. Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan)

Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Discrepancies (perbedaan)

Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan.

3. Value attainment (pencapaian nilai)

Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.

4. Equity (keadilan)

Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.

(16)

5. Dispositional/genetic components (komponen genetik)

Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.

Terwujudnya kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu faktor pendorong dari tercapainya tujuan organisasi. Menurut Hasibuan (2007, p.203), faktor yang menimbulkan kepuasan kerja karyawan adalah:

a. Balas jasa yang adil dan layak

b. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian c. Berat ringannya pekerjaan

d. Suasana dan lingkungan pekerjaan

e. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan f. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya

g. Sadar pekerjaan monoton atau tidak

2.1.3.3 Teori Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa lainnya. Greenberg dan Baron (2003, p. 153) menjelaskan dua pendekatan dari teori kepuasan kerja ada sebagai berikut:

(17)

a. Two-Factor Theory

Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan) merupakan bagian

dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu motivatorsdan hygiene factors. Motivators factors menjelaskan bahwa kepuasan ditarik dari faktor yang terkait

dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pegembangan diri dan pengakuan. Sedangkan hygiene atau maintance factors menjelaskan bahwa ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di sekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan, keamanan, kualitas pengawasan, dan hubungan dengan orang lain), dan bukannya dengan pekerjaan itu sendiri.

b. Value Theory

Teori ini memfokuskan pada hasil manapun yang menilai orang tanpa memperhatikan siapa mereka. Kunci menuju kepuasan dalam pendekatan ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan seseorang.

2.1.3.4 Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2007, p.83) ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dengan sejumlah cara, diantaranya:

a Keluar (Exit): Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti.

(18)

b Suara (Voice): Dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.

c Kesetiaan (Loyalty): Pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat. d Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk

kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan tingkat kekeliruan yang meningkat.

Gambar 2.2 Response to Job Dissatisfaction Sumber : Robbins dan Judge (2007, p.84)

2.1.3.5 Panduan Meningkatkan Kepuasan Kerja

Menurut Greenberg dan Baron (2003, p. 159) ada beberapa cara untuk meningkatkan kepuasan dan mencegah ketidakpuasan pada pekerjaan, diantaranya sebagai berikut:

(19)

Karyawan akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka senangi ketimbang dengan pekerjaan yang membosankan. Meskipun beberapa pekerjaan secara instrinsik membosankan, pekerjaan tersebut masih mungkin meningkatkan kesenangan ke dalam setiap pekerjaan.

b. Karyawan dibayar secara adil

Karyawan yang meyakini bahwa sistem pengupahan organisasinya tidak adil akan cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. Hal ini diberlakukan tidak hanya untuk gaji dan upah per jam, tetapi juga fringe benefit. Konsisten dengan value theory, karyawan yang merasakan dibayar secara adil dan apabila

karyawan diberi peluang untuk memilih fringe benefit yang paling mereka inginkan, maka kepuasan kerjanya cenderung akan meningkat.

c. Mencocokan karyawan dengan pekerjaan yang sesuai dengan minatnya.

Semakin banyak karyawan menemukan bahwa dirinya dapat memenuhi minatnya pada pekerjaan mereka, maka mereka akan lebih puas terhadap pekerjaannya. Perusahaan dapat menawarkan jasa konseling individu kepada pekerja sehingga kepentingan pribadi dan professional dapat diidentifikasi dan disesuaikan.

d. Mengindari kebosanan dan Pekerjaan yang berulang-ulang.

Kebanyakan karyawan cenderung mendapat sedikit kepuasan apabila mereka dihadapi dengan pekerjaan yang membosankan dan berulang-ulang. Sesuai dengan two-factor theory, karyawan jauh lebih puas dengan pekerjaan yang meyakinkan mereka memperoleh sukses dengan secara bebas melakukan kontrol atas bagaimana cara mereka melakukan sesuatu.

(20)

2.1.3.6 Dimensi Kepuasan kerja

Menurut Marihot Tua (2007, p.291) mengemukakan bahwa kepuasan kerja meliputi enam dimensi yaitu :

a. Gaji

Yaitu sejumlah bayaran yang diterima seseorang akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil sesuai dengan ketrampilan dan pengorbanan yang diberikan.

b. Pekerjaan itu sendiri

Salah satu faktor kepuasan kerja adalah pekerjaan yang menantang, bervariasi dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menggunakan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya sehingga tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi karyawan dalam mengerjakannya.

c. Atasan

Seseorang yang senantiasa memberikan perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan pekerjaan. Cara atasan memberi perintah kepada bawahan bisa berdampak menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi karyawan sehingga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang.

d. Rekan kerja

Rekan kerja yang ramah, hubungan kerja sama dan komunikasi dengan rekan kerja yang terjalin dengan baik akan mendatangkan kepuasan kerja yang tinggi. e. Promosi

Pemberian kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan karirnya. Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan

(21)

atau tidak. Proses kenaikan jabatan yang kurang terbuka dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang.

f. Lingkungan kerja

Terdiri dari lingkungan kerja fisik dan psikologis. Karyawan akan mudah mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaannya bila kondisi seakan sekitarnya bersih, terang,tidak terlalu sempit dan bising. Sehingga karyawan akan mudah mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan dalam suasana atau kondisi yang mendukung atau harmonis.

2.1.4 Kinerja Pegawai

2.1.4.1 Definisi Kinerja Pegawai

Pada dasarnya kinerja seorang pegawai merupakan hal yang bersifat individual karena setiap karyawan mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda – beda dalam mengerjakan tugas pekerjaannya. Kinerja seseorang tergantung pada kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang diperoleh.

Definisi kinerja pegawai yang dikemukakan Bambang Kusriyanto dalam Mangkunegara (2006, p.10) adalah perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu (lazimnya perjam).

Menurut Boxall et al (dalam Mokaya dan Gitari, 2012) kinerja pegawai adalah fungsi dari kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan peluang (opportunity) atau yang disingkat AMO. Ketiga hal tersebut adalah hal dasar dari produktivitas seorang pegawai.

(22)

Sedangkan menurut Martin (2009, p.56) memberikan penjelasan sebagai berikut : “Performance as the level of achievement by an individual, measured against what they would be expected to achive”.

Menurut Rivai (2009, p.549) kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan atau organisasi.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah kemampuan maksimal dari pegawai dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya di dalam suatu organisasi

2.1.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja menurut Mangkunegara (2006, p.13) adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).

Human Performance = Ability + Motivation

Motivation = Attitude + Situation

Ability = Knowledge + Skill

Penjelasan:

a. Faktor Kemampuan (Ability)

Secara psikologi, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) apabila IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan

terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.

(23)

b. Faktor Motivation (Motivation)

Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) di lingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif (kontra) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.

Sedangkan menurut Simamora yang dikutip oleh Mangkunegara (2006, p.14), kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:

1. Faktor individu yang terdiri dari : a. Kemampuan dan keahlian b. Latar belakang

c. Demografi

2. Faktor psikologis yang terdiri dari: a. Persepsi

b. Attitude c. Penghargaan d. Struktur e. Job design

Dari paparan tersebut Mangkunegara (2006, p.16) menyimpulkan bahwa faktor penentu prestasi kinerja individu dalam organisasi adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi.

(24)

Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antar fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi.

2. Faktor Lingkungan Kerja Organisasi

Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarier dan fasilitas kerja yang relatif memadai.

2.1.4.3 Aspek – Aspek yang Dinilai dalam Kinerja Pegawai

Dari hasil studi Lazer dan Wikstrom (1997) yang dikutip dalam buku Veithzal Rivai (2009, p.324) bahwa aspek–aspek yang dinilai dalam kinerja dapat dikelompokkan menjadi :

1. Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang digunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.

2. Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit masing – masing kedalam bidang operasional perusahaan secara menyeluruh, yang pada intinya individual

(25)

tersebut memahami tugas, fungsi serta tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan.

3. Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, melakukan negosiasi dan lain – lain.

2.1.4.4 Dimensi Kinerja Pegawai

Berdasarkan Peraturan Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2009, Petunjuk pelaksanaan Gubernur Nomor 215 Tahun 2009 Tentang Tunjangan Kinerja Daerah. Pada Bab 4 Pasal 6, mengenai indikator Kinerja PNS terdiri atas :

1. BHU (Badan Hasil Utama)

a) Ketepatan waktu penyelesaian pekerjaan b) Kebenaran hasil pekerjaan

c) Ketepatan dan kebenaran pembuatan dan penyampaian laporan pelaksanaan tugas

2. BPU (Badan Perilaku Utama)

a) Kejujuran menyampaikan data dan informasi dalam tugas b) Kemampuan kerja sama atas tim

(26)

2.1.5 Kajian Penelitian Terdahulu yang relevan

Berikut ini hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini:

1. Penelitian yang dilakukan oleh H.M Thamrin dengan judul “Influence of Transformational Leadership and Organizational Commitment on Job

Satisfaction and Employee Performance”. Dalam penelitian tersebut ditemukan

bahwa kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja memiliki pengaruh positif langsung pada kinerja individu. Untuk meningkatkan kinerja individu dapat diperoleh dengan memberikan perhatian dan stimulasi intelektual untuk individu dan dengan karismanya pemimpin akan dapat membuat perubahaan kearah yang lebih baik, contohnya dengan melakukan pelatihan, konseling, mempertahankan frekuensi interaksi bertujuan untuk mencapai akutalisasi diri. Kepuasan kerja dapat membantu dan memaksilkan profit perusahaan dalam jangka panjang

2. Pada penelitian yang dilakukan oleh Maulizar, Musnadi dan Yunus tentang Pengaruh Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional Terhadap

Kinerja Karyawan Bank Syariah Mandiri Cabang Banda pada tahun 2012,

ditemukan bahwa Kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai di perusahaan tersebut. Ini dapat kita lihat pada hasil perhitungan di dalam penilitian yang mereka lakukan. Gaya kepemimpinan transformasional memiliki empat karakter yang dimilikinya, dan kesemuanya itu memberikan pengaruh terhadap bawahannya. Karisma dari sang pemimpin, mampu memberikan atau menciptakan inspirasi bagi bawahannya, memiliki kemampuan untuk menstimulasi intelektual para bawahannya dalam

(27)

memecahkan masalah serta pemberian perhatian terhadap bawahannya merupakan ciri khas dari kepemimpinan transformasional.

3. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wahab tentang Pengaruh Kepuasan Kerja dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Bank Mandiri

Makassar, ditemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja dengan kinerja pegawai di perusahaan tersebut. Karyawan yang memiliki rasa puas akan pekerjaan mereka akan memberikan hasil yang maksimal terhadap perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari penelitian tersebut bagaimana kepuasan kerja memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja dari para pegawai. Dengan meningkatnya kinerja dari pegawai, maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan dari para pegawainya.

2.2 Kerangka Pikiran

Berdasarkan pembahasan penelitian yang sudah dibahas diatas, maka kerangka penelitian ini ditunjukkan oleh model gambar sebagai berikut:

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Sumber : Penulis, 2013

(28)

2.3 Hipotesis

Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitan ini, maka hipotesis sementara yang dapat disumpulkan dipenelitian ini yaitu:

Untuk T-1

: Tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kecamatan Kembangan.

: Ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan tranformasional terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kecamatan Kembangan.

Untuk T-2

: Tidak ada pengaruh secara signifikan antara kepuasan kerja terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kecamatan Kembangan.

: Ada pengaruh secara signifikan antara kepuasan kerja terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kecamatan Kembangan.

Untuk T-3

: Tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kecamatan Kembangan.

(29)

: Ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kecamatan Kembangan.

Gambar

Gambar 2.1 Full Range of Leadership Model  S umber : Robbins dan Judge, 2007, p.388
Gambar 2.2 Response to Job Dissatisfaction
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

CPI sehingga perusahaan harus membayar biaya keterlambatan ( penalty ) dengan nominal yang telah disepakati pada kontak kerja. Maka untuk menjawab permasalahan yang

Hasil pendugaan parameter persamaan biaya operasi prod uksi tenaga listrik dapat dilihat pada Tabel 25. Dari Tabel 25 tersebut memperlihatkan bahwa hampir semua variabel

Potensi yang dimiliki masing – masing daerah merupakan kekuatan yang dapat dikembangkan menjadi keunggulan daerah dan mencapai tujuan pembangunan daerah dan

Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan dalam laporan akhir ini, kesimpulan yang didapatkan ialah untuk tingkat likuiditas perusahaan dianggap likuid tetapi

Hasil Uji Statistik Kekerasan Tablet Orally Disintegrant Tablet Ondansetron Menggunakan Ko-Proses Antar Batch ... Hasil Uji Statistik Kekerasan Tablet ODT Ondansetron Tanpa

Sebagai insan intelektual yang berasal dari salah satu daerah di Indonesia yang terkenah dampak langsung beroperasinya perusahaan tersebut,penulis berminat untuk mengetahui

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Regresi kuantil merupakan teknik statistika yang digunakan untuk menduga hubungan antara variabel respon dengan variabel penjelas pada fungsi kuantil bersyarat