• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEREMPUAN SEBAGAI HARTA DALAM PANDANGAN MASYARAKAT ADAT SENTANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEREMPUAN SEBAGAI HARTA DALAM PANDANGAN MASYARAKAT ADAT SENTANI"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

9

I

PEREMPUAN SEBAGAI HARTA

DALAM PANDANGAN MASYARAKAT ADAT SENTANI

Dalam kehidupan suatu keluarga, anak adalah harta yang berharga, entah ia itu laki-laki atau perempuan, sehingga tidak heran jika dalam membangun suatu keluarga memiliki anak menjadi harapan dan tujuan setiap keluarga setelah menikah. Namun kenyataannya dalam membangun sebuah keluarga tidak semua pasangan diberikan kesempatan untuk memiliki anak.

Anak adalah anugerah Allah. Sebagai pemberi anugerah, Allah tidak membeda-bedakan anugerahNya itu dengan memberikan penilaian-penilaian tertentu berdasarkan jenis kelamin. Akan tetapi justru manusia sebagai penerima anugerah Allah yang memberikan penilaian-penilaian tertentu untuk membeda-bedakan anugerah Allah tersebut. Pemberian nilai-nilai tertentu ini sangat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap seorang anak. Pandangan tersebut akan terus melekat pada diri anak dan akan mempengaruhi pula pola pikir dan perilaku anak tentang dirinya dan apa yang harus dilakukannya sebagai pribadi laki-laki atau perempuan menurut apa yang pantas di dalam masyarakat.

Salah satu contoh misalnya, dalam masyarakat adat Sentani yang menganut struktur sosial patriakhal. Anggapan ini membuat sampai sekarang perempuan dipandang sebagai makhluk nomor dua yang tidak lebih dari laki-laki. Akan tetapi jika setiap orang mau lebih melihat pada kenyataan, rupanya perempuan mempunyai nilai tersendiri yang jauh lebih besar dari laki-laki. Nilai ini semakin besar ketika seorang perempuan berkeluarga.

Berbicara tentang nilai seorang perempuan, sesungguhnya bukan suatu pujian yang berlebihan jika dikatakan bahwa dalam kehidupan setiap orang ada keterlibatan seorang perempuan yang tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun semenjak seseorang masih menjadi janin hingga menjadi tua. Mungkin itulah sebabnya muncul istilah yang mengatakan “tangan yang menimang bayi memerintah dunia” pernyataan lain yang terkenal ialah “di balik setiap laki-laki yang sukses ada seorang perempuan yang besar”.1

Dapat dikatakan bahwa sebenarnya

pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam diri seseorang sejak di dalam kandungan dan selama hidupnya, keterlibatan perempuan sebagai pribadi yang berperan penting itu tetap ada.

1

Haya La Bevarly., Pernikahan Itu Untuk Seumur Hidup, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1999), hal. 53

@UKDW

(2)

10

Meskipun demikian, seringkali nampak ketidakadilan dalam adat di mana jika perempuan berkeluarga maka ia akan menjadi bagian dari keluarga laki-laki dan dikenal sebagai perempuan dalam lingkungan keluarga suaminya, sehingga akhirnya masyarakat lebih mengenal perempuan tersebut dengan panggilan marga suaminya daripada marga bujangnya dan anak-anaknya pun akan masuk menjadi bagian keluarga besar suaminya sehingga menyandang marga suami. Kenyataannya tidak ada dalam sebuah perkawinan orang Sentani yang anak-anaknya masuk dalam marga mamanya, kecuali jika anak tersebut tidak diakui oleh bapanya sehingga ia dipelihara oleh keluarga atau orangtua mamanya.

Dalam kehidupan masyarakat adat Sentani, pada saat pembayaran mas kawin, nilai seorang perempuan dapat menjadi sangat tinggi, sehingga untuk membayarnya akan melibatkan keluarga besar dengan pembayaran yang tidak sedikit. Meskipun di sisi lain keterlibatan keluarga besar merupakan wujud kebersamaa keluarga, tetapi di sisi lain keluarga besar itu juga akan mendapat bagian-bagiannya ketika pihak perempuan mengantarkan makanan, atau pada saat pembayaran kepala yang akan terjadi jika ada kematian dalam keluarga laki-laki.

Meskipun tujuan dari pembayaran mas kawin itu adalah sebagai sebuah penghargaan kepada keluarga pihak perempuan, namun harus diakui bahwa nilai pembayaran ketika salah diartikan oleh pihak yang membayar satu ketika dapat menjadi senjata untuk menuntut balik perempuan yang dibayar jika dalam kenyataan berumah tangga ia tidak dapat memberikan keturunan ataupun tidak dapat menolong keluarga laki-laki dalam kesusahan mereka.

Pada bagian ini, akan diuraikan bagaimana pandangan orang Sentani terhadap perempuan yang bagi mereka adalah harta dan juga bagaimana dalam pandangan itu perempuan harus dapat memainkan peranannya dalam kehidupan selanjutnya. Bagi penulis ini penting untuk dilihat karena perempuan bagi orang Sentani bukan hanya harta pada saat ia akan dikawinkan, tetapi ia tetap menjadi harta dalam keluarganya, keluarga suaminya dan juga dalam keluarga besarnya sendiri. Sebab pembayaran tidak hanya akan berakhir pada saat pembayaran mas kawin tetapi akan tetap terjadi sampai akhirnya ia menutup mata atau meninggal.

Untuk dapat lebih memahaminya, alangkah baiknya dimulai dari mengenal alamnya terlebih dahulu sebab kehidupan seorang perempuan biasanya tidak terlepas dari lingkungan di mana ia berada.

(3)

11 A. LOKASI DAN LINGKUNGAN ALAM

Sentani dalam bahasa daerah disebut dengan sebutan ‘Bhuyakha’ atau ‘Bhuyakla’.

Bhuyakha atau Bhuyakla sebenarnya terdiri dari dua kata dalam bahasa Sentani, yaitu kata ‘Bhu’

yang berarti ‘air’ dan ‘yakha’/’yakla’ berarti ‘terang, jernih’. Dengan demikian dapat diartikan

Bhuyakha / Bhuyakla sebagai air yang terang atau jernih. Sebenarnya pengertian ini menunjuk

pada keadaan danau yang berair jernih, yang sebagian wilayahnya dijadikan tempat bermukimnya masyarakat adat Sentani, khusus tepian danau Sentani. Tetapi ada juga yang mengartikannya dengan sebutan ‘bhuyakha’ yang dalam bahasa Sentani berarti ’tempat kosong’ yang menunjuk pada tempat pemukiman mereka yang merupakan wilayah kosong yang berair.2

Bhuyakha atau Bhuyakla sebenarnya merujuk pada maksud yang sama, hal ini

dikarenakan adanya sedikit perbedaan pengucapan. Masyarakat Sentani Tengah menyebutnya

‘Bhuyaka’ sedangkan masyarakat Sentani Timur menyebutnya dengan ‘Bhuyakla’, namun ada

juga orang yang menyebutnya dengan Puyaka. Sebenarnya kata Puyaka ini hanya perbedaan pengucapan sebab seringkali para pendatang mengalami kesulitan dalam pengucapan dan juga karena kedengarannya seperti Puyaka, sehingga pengucapannya berubah menjadi Puyaka.

Air yang mengalir ke danau Sentani ini berasal dari sungai-sungai kecil yang mengalir dari gunung Cycloop atau yang keseharian dikenal oleh penduduk asli Sentani dengan sebutan Robhonghollo3 dari kata ’Robhong’ yang berarti ‘perempuan’ dan ’hollo’ yang berarti

‘gunung’ yang juga sekarang disebut dengan sebutan ‘Dobonsolo’. Dari cerita lisan yang

berkembang di kalangan masyarakat Sentani, ada yang mengatakan bahwa ’robhong’ adalah nama seorang perempuan dan ’hollo’ adalah nama seorang laki-laki. Mereka kedua kemudian bertemu dan menikah lalu menetap di gunung ini, kemudian dari nama mereka berdua inilah lalu diabadikan sebagai nama gunung.

Dalam kehidupan masyarakat Sentani gunung ini dianggap sebagai pemberi kehidupan bagi mereka karena darinya masyarakat Sentani dan sekitarnya memperoleh air bersih, bercocok tanam dan berburu. Gunung ini kemudian dijadikan daerah hutan lindung, yang kemudian berubah nama menjadi cagar alam Cycloop.4 Namun karena perkembangan wilayah

2

Wigati Yektiningtyas-Modouw., Halaehili dan Ehabla Fungsi dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Sentani

Papua, (Yogyakarta : Adikta Karya Nusa, 2008), h. 44

3 Istilah Robhonghollo ini sebenarnya memiliki banyak versi cerita terbentuknya gunung Robhonghollo dan hingga saat ini masih berupa cerita lisan yang berbeda pada setiap kampung.

4

Wawancara dengan bapak Amos Ondy tanggal 11 Mei 2014

(4)

12

pemerintahan, kini sebagian daerah hutan lindung telah dijadikan tempat pemukiman, dan kini Sentani telah menjadi sebuah daerah padat penduduk.

Sentani sendiri secara administratif di tahun 2013 dibagi dalam lima wilayah Distrik, yaitu Distrik Sentani Barat, Distrik Waibu, Distrik Sentani, Distrik Ebungfau dan Distrik Sentani Timur. Khusus untuk Distrik Sentani Timur dan Distrik Ebungfauw, sebagian besar masyarakatnya bermukim di pinggiran danau Sentani. Sedangkan Distrik Sentani, Distrik Waibu dan Distrik Sentani Barat, sebagian besar masyarakatnya bermukim di daratan atau biasa disebut dengan daerah tanah besar.

Danau Sentani memiliki luas 25,5 km2 atau sekitar 9.630 ha. Danau ini mencakup empat Distrik, yaitu Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, Distrik Ebungfauw dan Distrik Waibu.5 Kedalamnya bervariasi sampai mencapai 140 meter. Ini merupakan hasil pengukuran pertamakali oleh tim ekspedisi dari Belanda pada tahun 1893. Ekspedisi ini merupakan rangkaian ekspedisi yang dilakukan di beberapa wilayah pantai Dutch New Guinea, dan sejak saat itu masyarakat Sentani mulai dikenal.6

Sumber lain mengatakan bahwa danau ini dikunjungi pertama kali oleh William Doherty, yaitu pemimpin Tim Penyelidik Ilmiah dari kerajaan Inggris pada tahun 1892. Dan kedalamannya rata-rata 50 meter sampai dengan 71 meter.7 Namun karena pembuangan limbah industri dan rumah tangga, serta akibat penebangan hutan yang menyebabkan setiap kali datang musim penghujan, sampah-sampah tersebut terbawa hanyut ke danau menyebabkan terjadinya pendangkalan. Sedangkan Gunung Cycloop atau Dobonsolo atau Rhobonghollo sendiri mempunyai ketinggian mulai dari 3.900 meter sampai dengan 4.087 di atas permukaan air.8 Gunung ini telah menjadi “bak” penampung air bagi danau dan masyarakat di sekitarnya.9

Tumbuhan yang hidup di sekitar danau mau pun gunung ini, antara lain: pohon sagu (latin: metroxylon sp.) yang menjadi bahan makanan pokok orang Sentani, pohon kelapa (latin:

cocos mucifera), pohon kayu jati (latin: constanopsis accuminatissima), pohon sukun, pohon

kayu terap (latin: artocarcarpus sp), pohon kayu perahu (latin: octo meles sumterena), pohon

5 Bapeda., Profil Kabupaten Jayapura, (Jayapura: Bapeda Kabupten Jayapura, 2012), h. 3 6 Wigati Yektiningtyas-Modouw., h. 45

7

Daniel Wonmaly, dkk., Tugas Kelompok Etnografi Irian Jaya “Suku Sentani”, (Jayapura: Universitas Cenderawasih, 2004), h. 6

8 Wigati Yektiningtyas-Modouw., h. 45

9 WWF., Kearifan Tradisional dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Desa di Sentani, Pegunungan Cycloop dan Muara Tami, (Jayapura: WWF, 2002), h. 33

(5)

13

matoa (latin: pometia pinnata), pohon berdaun jarum, pohon mangga, pisang,10 pohon kayu besi (latin: intsia bijuga), pohon kombouw (latin: ficus variagata) ini merupakan pohon utama pembuatan kulit yang kemudian dilukis dengan motif suku Sentani yang juga merupakan salah satu sumber pendapatan masyarakat khususnya masyarakat pulau Asei, serta pohon kayu soang (latin: xanthostemon sp.) yang adalah kayu paling kuat yang digunakan sebagai tiang rumah panggung yang ditancapkan di dasar danau dan dapat bertahan ratusan tahun. Konon semakin lama kayu ini berada di dalam air, kayu ini akan semakin kuat.11 Itu terbukti sampai saat ini di mana masih ada sisa tiang rumah dari sebelum perang dunia kedua yang tetap kokoh berdiri hingga saat ini secara khusus di pulau Asei. Juga karena tanahnya yang subur, maka ditanami sayur-sayuran.

Selain pepohonan, terdapat juga berbagai jenis hewan seperti babi, tikus tanah, kuskus, kangguru, mambruk, cenderawasih,12 dan beraneka warna dan jenis kupu-kupu. Namun sayangnya hewan-hewan ini sudah sangat sulit ditemui sekarang ini karena penebangan hutan yang terus terjadi dari hari ke hari. Sedangkan untuk jenis ikan di danau antara lain: ikan gete-gete (Sentani: khandei, latin: apogon wichmani), ikan gabus jenis kecil (Sentani: kehe), ikan gabus hitam (Sentani: khayouw, latin: oxyeleotoris herwedinii), ikan sembilan (Sentani: khanseli, latin: arius veluntinus), belut (Sentani: khahilo, latin: aguilla bicolor),13 ikan gabus toraja (latin:

channa striata), ikan puri danau (Sentani: hew, latin: chilaterina sentaniensis), ikan halus

(Sentani: onoi), ikan mas (latin: cyprinus carrpio), ikan pari sentani (latin: pristis microdon), ikan tawes (latin: puntius gonionotus), ikan gurami (latin: osphronemus goramy), ikan mujair (latin: oreochromis mossambica)14, dan ikan nila merah (Sentani: lohan). Dari Gunung dan danau inilah masyarakatnya dibentuk secara alami untuk bekerja dan hidup dari alam yang telah menyediakan segalanya.

B. MATA PENCAHARIAN

Menurut data yang diperoleh, ada beberapa jenis mata pencaharian yang dimiliki oleh masyarakat kampung Asei Besar khusus untuk tahun 2012 sebab data terkini belum ada, dan dapat dilihat pada tabel berikut:

10

Daniel Wonmaly, dkk., h. 5

11 Wigati Yektiningtyas-Modouw., h. 45 12 Daniel Wonmaly, dkk., h. 6

13 Daniel Wonmaly, dkk., ibid 14

Wigati Yektiningtyas-Modouw., h. 53

(6)

14

Tabel 1. Penduduk usia 15 tahun ke-atas menurut lapangan pekerjaan15

No Jenis Lapangan Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1. Bertani 79 80% 2. Tukang Ojek 2 2% 3. PNS 11 11% 4. Supir Taksi 1 1% 5. Polri 1 1% 6. Swasta 5 5% JUMLAH 98 100%

Namun berdasarkan lingkungan tempat tinggalnya, masyarakat Sentani memanfaatkan apa yang telah tersedia di alam sebagai penyambung kehidupan. Umumnya mata pencaharian masyarakat Sentani adalah (1) mengolah/meramu sagu (Sentani: fi melejande), (2) berkebun (Sentani: heke mokande), (3) menangkap ikan (Sentani: kha heu peijande), dan (4) berburu (Sentani: obohamoi peijande). Dalam melaksanakan tugas-tugas ini, sudah ada pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan.16 Namun pada beberapa kampung tertentu ada juga mata pencaharian lain, misalnya lukisan kulit kayu, khusus pulau Asei (Sentani Timur) dan juga pembuatan keramik khususnya pada kampung Abar (Sentani Tengah). Kedua kampung ini adalah kampung wisata karena masyarakatnya menghasilkan kerajinan yang tidak dimiliki oleh kampung lain.

1. Mengolah/Meramu Sagu (Sentani: fi melejande)

Sagu (Latin: metroxylon sp.) adalah makanan pokok orang Sentani yang dalam bahasa Sentani disebut “fi”. Bagi orang Sentani pohon sagu adalah “pohon kehidupan” karena pohon ini terbukti telah memberi kehidupan bagi generasi ke generasi. Selain itu juga karena seluruh bagian pohon ini bisa dimanfaatkan, (1) patinya dijadikan tepung sagu yang nantinya diolah menjadi makanan pokok dan berbagai panganan lainnya, (2) pelepahnya dijadikan lantai rumah,

15

PSK MPD UNCEN., Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung Asei Besar 2012-2017, (Sentani: Distrik Sentani Timur, 2014)., h. 8

16

Wigati Yektiningtyas-Modouw., h. 46

(7)

15

(3) daunnya dijadikan atap rumah, dan (4) pangkal pohon sagu dijadikan sebagai media pembenihan ulat sagu dan jamur.17

Gambar 1: Pohon sagu dan yang dihasilkan

Umumnya tempat pengambilan sagu terletak di daerah berawa, sebab pohon sagu selalu tumbuh di tempat berawa. Hasil sagu ini umumnya dikonsumsi sendiri oleh masyarakat dan diberikan kepada kepala suku dan anak yatim piatu serta sebagai bagian dari alat pembayaran dalam adat. Namun dengan berjalannya waktu dan banyaknya perubahan pola hidup, masyarakat mulai menjualnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup.

Pekerjaan mengolah/meramu sagu ini adalah pekerjaan bersama. Di mana pembagian tugas itu begitu nampak antara laki-laki dan perempuan, sehingga meskipun tergolong pekerjaan yang berat, namun kebersamaan dalam mengerjakannya membuat pekerjaan itu menjadi ringan. Tugas kaum laki-laki, yaitu: menebang, membawanya ke tempat yang cukup air bersihnya dan menokok atau memarutnya dan membawanya pulang. Dulu, mereka menokoknya dengan cara manual menggunakan alat yang dalam bahasa Sentani disebut kamehe dan fema.18 Fema, yaitu

sejenis kapak yang mata kapaknya terbuat dari batu untuk memotong daging sagu dan kamehe,

17 Wigati Yektiningtyas-Modouw., ibid 18

Wigati Yektiningtyas-Modouw., ibid

(8)

16

yaitu sebuah kapak yang matanya terbuat dari kayu bulat untuk menghancurkan potongan daging sagu tersebut sehingga menjadi halus.

Gambar 2. Kegiatan kaum laki-laki memarut sagu menggunakan mesin

Tugas kaum perempuan adalah menyiapkan lokasi dan alat-alat yang akan dipakai untuk meremas sagu. Setelah ada sagu yang diparut, pekerjaan selanjutnya menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Perempuan akan meremasnya dengan menggunakan alat saringan yang dibuat sendiri yang dalam bahasa Sentani disebut hem dan wa, yaitu semacam saringan yang dibuat dari pelepah sagu untuk meremas dan menyaring sagu, serta anggai dan habu, semacam timba yang terbuat dari pelepah sagu untuk menimba air.19 Namun saat ini, mereka sudah menggunakan kain tipis yang dapat menyaring pati sagu yang mereka remas dan timba yang digunakan adalah tempat cat plastim ukuran kecil karena dapat diberikan tali untuk mempermudah menimbanya.

Gambar 3. Kegiatan ibu-ibu dalam mempersiapkan peralatan hingga maremas sagu

19

Wigati Yektiningtyas-Modouw., h. 46

(9)

17

Hasil remasan sagu itu akan dialirkan menuju wadah penampung yang dulunya dibuat dari pelepah pohon sagu,20 namun sekarang mereka menggunakan kain yang dibentuk seperti wadah penampungan dengan tujuan agar sekaligus kain tersebut dapat mengendapkan pati sagu sehingga pati sagu tersebut tidak hanyut terbuang bersama air. Pati yang mengendap itulah yang nantinya dipindahkan ke dalam karung sebagai hasil kerja yang selanjutnya dapat diolah sebagai panganan masyarakat sehari-hari, seperti papeda panas, papeda bungkus, sagu bakar, dan panganan lainnya.

Gambar 4. Kegiatan meremas sagu dan hasil akhir yang dipindahkan dalam karung

Gambar 5. Panganan asli dari sagu papeda panas dan papeda bungkus

Nampak kebersamaan masyarakat Sentani pada saat makan.

2. Berkebun (Sentani: heke mokande)

Dalam bercocok tanam, masyarakat Sentani biasanya melakukannya secara bersama-sama di wilayah tanah adat mereka masing-masing yang telah ditentukan untuk bercocok tanam. Di sini laki-laki bertugas membuka lahan, setelah seminggu jika cuaca panas, lahan tersebut akan dibakar kemudian laki-laki akan membuat pagar untuk membatasi wilayah kebun masing-masing keluarga dan membuat pondok atau rumah kebun. Tugas selanjutnya menyiapkan bedeng untuk

20

Daniel Wonmaly, dkk., h. 18

(10)

18

tanaman yang hendak ditanam (namun tugas ini sekarang telah dilakukan juga oleh kaum perempuan) dan mendampingi isterinya saat berkebun terlebih saat panen.21 Jika panen pisang biasanya laki-laki akan memikul pisang untuk dibawa pulang. Umumnya suami dan isteri akan bersama-sama membersihkan lokasi kebun mereka, setelah itu kaum perempuan akan membersihkan rumput liar, menanam benih, menyiangi dan memanen bahkan membawa hasil panen pulang.22

Untuk jenis tanaman umumnya yang mereka tanam adalah ubi-ubian, sayur-sayuran, pisang dan rica, yaitu semua tanaman yang dikonsumsi sehari-hari tetapi juga yang nantinya akan diolah bila ada kegiatan-kegiatan adat maupun kemasyarakatan yang mengharuskan mereka untuk menyiapkan makanan, namun memang lebih ditujukan untuk konsumsi sehari-hari.

Pada beberapa kampung selain pulau Asei, memang ada sebagian kecil keluarga yang menjual hasil kebun mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun secara khusus bagi masyarakat pulau Asei, hingga saat ini yang penulis amati mereka tidak menjual hasil kebun mereka melainkan dipanen untuk dikonsumsi bersama.

3. Menangkap Ikan (Sentani: ka heu peijande)

Menangkap ikan di danau adalah tugas rutin kaum perempuan. Dulunya mereka berpergian semalaman untuk memancing ikan yang akan dikonsumsi keluarga, maupun yang akan dijual, tetapi saat sekarang ini kaum perempuan telah dipermudah dengan jaring berbagai ukuran ikan yang diinginkan. Biasanya mereka menggunakan istilah “mata jaring”, yaitu besaran lubang jaring yang diukur dengan memasukkkan beberapa jari untuk mengetahui ukuran besar ikan yang akan terjaring.

Umumnya jaring akan dibentangkan pada tengah malam atau pagi hari kemudian ditinggalkan beberapa waktu lamanya. Jika dibentangkan pada malam hari, maka biasanya mereka akan mengangkat jaring tersebut pada pagi harinya, dan jika dibentangkan pada pagi hari maka akan diangkat pada siang hari. Dari hasil tangkapan itulah yang kemudian dimasak untuk dikonsumsi seisi rumah, maupun untuk diberikan kepada keluarga lainnya dan untuk dijual.

Mencari ikan sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh kaum perempuan saja tetapi juga dilakukan juga oleh kaum laki-laki, hanya saja kaum laki-laki biasanya menangkap ikan dengan

21 Wawancara dengan bapak Theo Kere tanggal 8 Januari 2015 22

Wigati Yektiningtyas-Modouw., h. 49

(11)

19

cara menyelam menggunakan sumpit dan onggei (semacam tombak) dan menggunakan perahu laki-laki (Sentani: ifa) yaitu perahu yang berukuran relatif lebih kecil.23

4. Berburu (Sentani: obohamoi peijande)

Berburu merupakan pekerjaan kaum laki-laki. Di mana mereka akan mendaki gunung untuk melakukan perburuan binatang di hutan. Biasanya perburuan dibantu oleh anjing peliharaan yang telah dilatih. Bila buruan sudah dikepung oleh anjing, maka selanjutkan akan dipanah atau ditombak. Selain itu ada juga cara berburu yang lain, yaitu dengan menggunakan jerat.

Pada umumnya perburuan dilakukan oleh beberapa orang laki-laki untuk dikonsumsi sehari-hari, akan tetapi jika ada kegiatan besar yang akan dilaksanakan di kampung, maka kaum laki-laki akan pergi berkelompok-kelompok ke hutan yang masih dalam wilayah tanah adat mereka untuk berburu, sedangkan para wanitanya menanti bersama anak-anak.

Ketika mereka yang berburu pulang membawa hasil, maka kaum perempuan akan menyambutnya dengan melampaikan dedaunan sambil menari-nari pertanda mereka yang berburu telah pulang membawa hasil. Setelah itu buruan akan dipotong oleh kaum laki-laki dan dibagikan kepada beberapa perempuan, jika itu kegiatan adat maka setiap pesuruh dari kepala suku akan menerima bagiannya dan pesuruh itulah yang akan mengolahnya untuk dimakan bersama seluruh masyarakat.

C. STRUKTUR ADAT SENTANI

Dalam struktur adat Sentani, ada tiga jabatan penting yang selalu diutamakan dalam berbagai kegiatan adat. Walaupun semua jabatan itu penting, namun tiga jabatan ini adalah posisi yang tidak boleh dilupakan, yaitu Ondoafi / Ondofolo, Kose, dan Akhona. Ondoafi / Ondofolo sebenarnya sama saja pengertiannya, hanya pengucapan bahasa Sentani Timur dan Tengah yang sedikit membedakannya.

Ondoafi / Ondofolo adalah sebutan kepada pemimpin tertinggi dalam adat Sentani atau

pemegang kekuasaan adat tertinggi. Ia dapat dikatakan sebagai pemimpin yang sangat berkuasa dan semua orang mengabdi kepadanya. Masyarakat Sentani sering menyebutnya dengan Ondo dari kata Ondoafi. Kepemimpinan Ondo sama dengan kepemimpinan kepala negara, di mana

23

Wigati Yektiningtyas-Modouw., h. 53

(12)

20

kepala negara memiliki menteri-menteri untuk membantunya menjalankan roda pemerintahan demi kesejahteraan rakyatnya. Demikian juga dalam adat Sentani, ada orang-orang tertentu yang diberikan tanggung jawab untuk mengurus setiap urusan demi kesejahteraan rakyat dan keamanan kampung.24

Bedanya, mereka yang ditempatkan dalam adat ini adalah mereka-mereka yang secara turun-temurun telah ditentukan untuk menangani urusan-urusan tersebut, misalnya marga Puraro bertanggung jawab terhadap kesejahteraan kampung, ada juga marga tertentu yang menangani urusan keamanan, ada marga tertentu yang mengurus bagian dalam rumah Ondo, kalau dalam pemerintahan dikenal dengan istilah bagian kepala rumah tangga istana dan bahkan ada marga tertentu yang bertugas untuk mengawetkan mayat dan menggali liang kubur jika ada kematian dan tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Mereka percaya bahwa jika dilakukan oleh orang yang salah, maka orang tersebut dan keluarganya akan mendapat petaka. Jabatan-jabatan ini seperti jabatan suku lewi, jabatan yang diberikan secara turun temurun.

Untuk setiap marga memiliki pesuruh dari marga-marga tertentu yang akan mengurus segala sesutu yang dibutuhkan dan tidak boleh digantikan oleh orang lain. Setiap keluarga tahu posisi mereka dan apa yang harus mereka lakukan, sehingga ketika ada kegiatan atau ada suatu peristiwa terjadi, masing-masing petugas ini akan menjalankan tugas mereka dengan sendirinya.

Ondo memiliki lima kepala suku yang disebut Kose. Sebenarnya sebutan Kose menunjuk

kepada jabatan kepala suku, sedangkan orang yang menjabat sebagai kepala suku disebut

Koselo.25 Koselo ini memiliki lima kepala keret yang disebut Akhona. Ondo dan Koselo

mempunyai kewajiban untuk membayar maskawin dari semua kaum laki-laki dari clannya dan juga berkewajiban mengawinkan anak-anak perempuan dari clannya26 serta menerima bagian pembayaran mas kawin dari anak-anak perempuan yang dikawinkannya, termasuk Akhona.

D. NILAI PEREMPUAN DALAM ADAT SENTANI

Bagi masyarakat adat Sentani, perempuan adalah “harta” mereka. Ketika mendengar kalimat ini, tentu yang terpikir kata “harta” berkaitan dengan kebiasaan pembayaran mas kawin pada saat seorang perempuan akan berumah tangga. Namun, jika diteliti dengan baik, ternyata

24 Wawancara dengan bapak Henock Puraro tanggal 4 Maret 2012

25 Pilipus Kopeuw., http:/pealtwo.wordpress.com/Ondoafi-atau-ondofolo-adalah-kepala-adat-dan-bukan-sebagai-

kepala-suku/, diakses tanggal 16 Mei 2014

26 John Ibo, Skripsi : Sistem Kesatuan Hidup Setempat Pada Masyarakat Sentani,( Jayapura: 1987), hal. 95

(13)

21

pandangan perempuan sebagai harta bukan hanya berkaitan dengan pembayaran mas kawin saja, meskipun harus diakui bahwa harta selalu berkaitan dengan nilai.

Bagi orang Sentani, perempuan sebagai harta di sini dapat dikatakan mengandung pengertian yang negatif dan yang positif. Negatif karena nilai pembayaran mas kawin saat ini telah berubah menjadi semacam nilai tukar karena kenyataannya tuntutan nilai pembayaran yang besar. Positif karena ada nilai penghargaan terhadap keluarga perempuan, karena telah menjaga anak perempuan mereka dengan baik sehingga akhirnya dapat diperisteri oleh anak laki-laki mereka. Selain itu ada juga nilai sosialnya, karena nantinya anak perempuan inilah yang akan membawa jati diri keluarganya dalam kehidupan keluarga suaminya.27 Secara adat, dalam kehidupan sehari-hari perempuan yang telah menikah ini akan menunjukkan kepeduliannya kepada keluarga suami maupun keluarganya sendiri. Nilai sosial yang ditunjukkan akan menjadi penilaian bagaimana kehidupan keluarga besarnya sendiri, sehingga dengan sendirinya penghormatan itu diterimanya dari keluarga pihak laki-laki.

Pada bagian ini akan diuraikan kehidupan perempuan Sentani yang dipandang sebagai harta dari sisi positifnya, yang sampai sekarang masih banyak ditemui dalam kehidupan perempuan Sentani tradisional atau yang hidup di perkampungan.

1. Perempuan dalam Kehidupan Keluarga Orangtuanya

Bagi masyarakat Sentani kehadiran anak perempuan dalam kehidupan keluarga merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri, sebab anak perempuan merupakan harapan keluarga untuk menjaga nama baik keluarga di kemudian hari, tetapi juga mereka akan menjadi penolong dalam kesusahan saudara-saudara lelakinya meskipun nantinya mereka telah berkeluarga.

Memang nilai seorang perempuan Sentani yang telah menikah itu sedikit berbeda dengan nilai anak perempuan yang belum menikah. Hal ini dikarenakan, anak perempuan yang belum menikah masih menjadi tanggung jawab orangtua dan masih menjadi milik orangtua sehingga segala sesuatu yang dibutuhkannya masih bergantung kepada orangtua. Berbeda dengan perempuan yang telah menikah. Selain pernikahan merupakan pemersatu dua keluarga besar, pernikahan juga merupakan saat di mana anak perempuan membanggakan keluarganya dengan menjadi perempuan yang dapat memberikan keturunan kepada keluarga suaminya, tetapi juga dapat nantinya menolong kesusahan saudara-saudaranya baik yang lelaki maupun yang perempuan serta keluarga besarnya baik dari pihak suami maupun keluarga besarnya sendiri.

27

Wawancara dengan bapak Theo Kere tanggal 8 Januari 2015

(14)

22

Dapat dikatakan bahwa anak perempuan yang belum menikah selama masih berada dalam tanggung jawab orangtuanya akan dijaga serta disiapkan untuk menjadi seorang perempuan yang nantinya tidak mempermalukan keluarganya serta dapat diharapkan ketika keluarganya dalam kesusahan, sehingga dalam kehidupan keluarga nampak anak perempuan mendapat perlakuan yang sedikit istimewa, di mana orangtua mereka biasanya akan lebih memanjakan mereka. Apa yang mereka minta biasanya akan dituruti. Mereka akan dijaga dengan baik bukan hanya oleh orangtua mereka tetapi juga oleh keluarga besarnya karena pandangan tadi.

Seperti yang disampaikan oleh bapak Irenius Pepuho yang dalam struktur pemerintahan kampung menjabat sebagai kepala kampung Kleublouw dan dalam stuktur DAS (Dewan Adat Sentani) menjabat sebagai Sekretaris Dewan Adat wilayah Sentani Timur sekaligus merupakan tokoh adat Sentani, tentang anak perempuan yang telah menikah:28

Bagi kami anak perempuan itu penting, makanya kalau kami saudara laki-laki atau om-om jalan baru ketemu dengan saudara perempuan atau anak-anak perempuan, kami tidak bisa jalan tangan kosong. Kami harus kasih sesuatu entah itu uang atau beli gula satu bungkus ka atau beli apa saja buat mereka. Meskipun kami tidak ada uang, kami utang dulu di kios ka yang penting ada sesuatu yang kami kasih buat mereka.

Kalau kami kasih begitu anak perempuan akan tahu bahwa kami tetap perhatikan mereka dan kalau kami susah mereka yang akan langsung datang bantu kami. Misalnya kalau kami mau bayar mas kawin ka, bayar kepala ka, anak-anak perempuan dan kami punya saudara perempuan ini yang saat dengar kami mau bayar, mereka akan langsung datang bawa batu ka, uang atau makanan. Ini sudah biasa dalam adat orang Sentani.

Ungkapan ini menunjukkan bahwa betapa berharganya seorang anak perempuan sehingga mereka tetap mendapat perhatian dari keluarga besarnya, meskipun mereka telah memiliki keluarga sendiri. Ini berarti bahwa kekeluargaan dalam masyarakat adat Sentani merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat dibatasi sekalipun oleh sebuah pernikahan, karena pada umumnya setelah seorang perempuan menikah hubungannya dengan keluarganya mulai renggang karena ia lebih memberikan perhatian kepada keluarga suaminya ketimbang keluarganya sendiri. Ungkapan yang sering terdengar adalah “ia telah menjadi milik

orang lain.” Namun rupanya hal tersebut tidak berlaku bagi perempuan Sentani, sebab

perhatian dari keluarga besarnya tetap tidak terputus, justru dengan menikah ia dapat lebih

28

Wawancara dengan bapak Irenius Pepuho tanggal 3 Juli 2014

(15)

23

banyak menolong keluarganya bila mengalami kesusahan dengan meminta bantuan dari keluarga suaminya dan ia dapat menjaga nama baik suaminya jika suaminya atau keluarganya mengalami kesusahan dengan meminta bantuan dari keluarga besarnya.

2 . Perempuan dalam Sistem Kekerabatan

Bagi orang Sentani selain anak, keluarga juga sangat penting. Orang Sentani mengenal sistem kerabat terkecil yang disebut dengan ’iymea’ dan ‘yoho’.

‘Iymea’ atau kelompok kerabat terkecil yang terdiri dari seorang suami, seorang isteri dan

anak-anak yang belum kawin. Orang Sentani menyebutnya ‘iymea’. Secara harafiah iymea sebenarnya mengandung arti rumah tempat tinggal, namun bisa juga berarti clan.29

‘yoho’ (gabungan clan). Clan bagi orang Sentani adalah kelompok kekerabatan yang masih berasal

dari satu keturunan.30

Jika ada satu anggota keluarga yang mengalami kesusahan, maka anggota keluarga yang lain berkewajiban untuk membantu, sehingga kesusahan satu anggota keluarga dapat menjadi beban seluruh anggota keluarga.

Hal ini sangat menarik karena dalam menolong keluarga yang mengalami kesusahan atau keluarga yang membutuhkan bantuan, mereka tidak segan-segan untuk memberikan apa yang dibutuhkan meskipun dalam rumah tangga mereka sendiri sedang mengalami kesusahan. Menolong keluarga lainnya sangat diutamakan. Hal ini dikuatkan dengan pandangan mereka bahwa “hari ini saya bantu mereka punya susah, besok ketika saya juga mengalami kesusahan,

maka mereka juga yang nantinya akan menolong saya. Kalau tidak nanti waktu saya mengalami kesusahan tidak ada keluarga yang akan menolong”.31

Pandangan ini sebenarnnya memuat pesan bahwa kebersamaan dan sikap saling tolong menolong itu sangat penting dan sangat dijunjung dalam masyarakat adat Sentani, sehingga apapun keadaannya dan bagaimanapun caranya mereka akan berusaha untuk dapat menolong dan menunjukkan kepedulian kepada keluarga yang membutuhkan pertolongan.

29 John Ibo., hal. 88

30 John Ibo., hal.90 31

Wawancara dengan ibu Marjones Ongge/Pouw tanggal 15 Febuari 2012

(16)

24

Kuatnya kekeluargaan dalam kehidupan masyarakat Sentani sangat nampak bila terjadi pembayaran, baik pembayaran mas kawin maupun pembayaran kepala. Pembayaran kepala akan dilakukan jika ada kematian terjadi di dalam keluarga. Misalnya saja jika perempuan bermarga Ohee menikah dengan laki-laki bermarga Ongge kemudian perempuan meninggal, maka keluarga besar Ongge harus melakukan pembayaran kepala kepada keluarga Ohee, yaitu kepada saudara dari mama yang meninggal dan anak laki-laki dari saudara-saudaranya.

Jika yang meninggal ini adalah anak tertua dari Ondo atau Koselo, maka akan dibayar dengan eba (gelang batu). Atau jika mama dari yang meninggal ini pada saat pembayaran mas kawin dibayar dengan eba, dan kebetulan yang meninggal ini adalah anak yang tertua, maka pembayaran kepalanya juga akan dibayar nantinya dengan eba selain alat pembayaran yang lain yang sesuai dengan permintaan pihak perempuan yang meninggal dan sesuai dengan kesepakatan keluarga pembayar. Selain itu jika yang meninggal adalah laki-laki, maka dalam pembayaran kepala, keluarga laki-laki akan melakukan pembayaran kepada keluarga dari mama almarhum. Eba (gelang batu) adalah alat pembayaran khusus untuk anak Ondo atau Koselo.

Gambar 6. Alat pembayaran keluarga Ondoafi dan kepala suku

Keterangan gambar: Kapak batu (Tomako batu), manik-manik (rheboni) dan gelang batu (eba)

Tetapi jika yang meninggal adalah anak pertama dalam keluarga dan ia belum menikah maka yang akan membayar adalah keluarga besar pihak mama dan yang akan diterima oleh keluarga pihak bapa, yaitu saudara laki-lakinya dan anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki yang meninggal. Dengan kata lain pembayaran itu adalah bagian yang seharusnya mereka terima jika anak perempuan itu tetap hidup dan menikah.

Dalam pembayaran secara adat ini bisa dikatakan bahwa pembayaran ini merupakan bentuk pembayaran yang tidak terlalu merugikan satu pihak karena sebelum keluarga yang membayar melakukan pembayaran, maka keluarga yang menerima akan terlebih dahulu mengantar makanan kepada keluarga yang membayar sebagai tanda bahwa mereka siap untuk

(17)

25

menerima pembayaran dari pihak yang membayar. Makanan yang diantar biasanya tidak sedikit sebab ditujukan untuk keluarga besar pihak perempuan yang akan terlibat dalam pembayaran nantinya. Makanan di sini berupa hasil kebun dan babi, sehingga umumnya diantar menggunakan truk untuk yang di daratan tetapi juga dengan menggunkan perahu untuk yang di danau.

Selain itu pada saat pembayaran terjadi, pihak yang menerima pembayaran akan memberi makan keluarga yang membayar dan semua yang datang dan biasanya keluarga akan memotong babi untuk keluarga yang melakukan pembayaran, tetapi juga pada akhir acara pembayaran tersebut, keluarga yang membayar juga akan membawa pulang makanan yang telah dikhususkan untuk dibawa pulang.

3. Perempuan dalam Kehidupan Pernikahan

Kehidupan seorang perempuan akan semakin berarti pada saat ia mengambil keputusan untuk berumah tangga. Di sinilah nilai terbesar dari seorang perempuan begitu nyata, yaitu :

3.1. Sebagai pemberi mas kawin

Pembayaran mas kawin tidak selalu dilakukan sebelum perempuan tersebut berumah tangga. Pada umumnya pembayaran mas kawin akan terjadi setelah bertahun-tahun kemudian. Hal ini bukan dikarenakan mereka tidak menganggap penting nilai mas kawin tersebut, tetapi ini lebih dikarenakan proses pembayaran yang banyak sehingga membutuhkan persiapan yang tidak sedikit dari pihak laki-laki.32

Biasanya pada saat pembayaran maskawin, keluarga laki-laki akan memberikan pembayaran, berupa manik-manik (rheboni), kapak batu (tomako batu), dan sejumlah uang sesuai dengan permintaan keluarga besar perempuan, yaitu saudara dari bapa dan mamanya, sedangkan kewajiban keluarga perempuan adalah mengantar makanan sebelum keluarga laki-laki datang membayar mas kawin dan memberi makanan kepada keluarga laki-laki saat mereka datang untuk pembayaran. Makanan akan diantarkan oleh keluarga perempuan jika pihak laki-laki telah memberitahukan niat untuk membayar mas kawin kepada pihak perempuan. Biasanya makanan diantar sebagai pertanda bahwa keluarga perempuan telah siap menerima pihak laki-laki untuk melakukan pembayaran secepatnya, dengan demikian

32

Wawancara dengan bapak Kiis Ongge tanggal 17 Maret 2012

(18)

26

pihak laki-laki akan menyiapkan segala persiapan pembayaran setelah disepakati tanggal pembayaran.

Khususnya untuk gelang khusus (eba) hanya akan diberikan kepada anak perempuan pertama keturunan Ondo atau pun Koselo tetapi bisa juga diberikan kepada keluarga perempuan kelas bawah jika laki-lakinya adalah anak seorang Ondoafi ataupun anak kepala suku karena dengan memberikan eba berarti juga menunjukkan harga diri dari keluarga ondoafi atau koselo tersebut.33

Di sini pemberian tersebut menunjukkan status seseorang dalam adat. Jika orang tersebut adalah keturunan strata atas, maka eba adalah alat pembayaran yang harus diberikan. Tetapi jika bukan dari strata atas maka rebhoni dan tomako batulah yang akan menjadi alat pembayaran mereka, selain uang.

3.2. Sebagai pemberi keturunan

Dalam kehidupan berkeluarga, perempuan selalu dipandang sebagai pemberi keturunan yang akan memberikan anak laki-laki untuk meneruskan marga suami, tetapi juga yang akan memberikan anak perempuan yang kemudian hari membawa nama baik keluarga ketika ia hidup dengan baik dalam lingkungan keluarga suaminya, bisa memberi keturunan, tetapi ia juga akan menjadi penolong dalam kesusahan bagi keluarganya. Lalu bagaimana jika perempuan tersebut tidak dapat memberikan keturunan? Apakah nilai kehadirannya dalam lingkungan keluarga suaminya akan berkurang?

Ketika pertanyaan ini diajukan kepada bapak Theo Kere kepala suku Kere-Asabo, bapak Lewi Puhili kepala suku Puhili dan bapak Irenius Pepuho tokoh Adat Sentani Timur, mereka kemudian menjelaskan bahwa dalam adat Sentani jika terjadi hal yang demikian, apalagi jika hal tersebut terjadi pada perempuan yang telah lunas dibayar, maka keluarga perempuan anak memberikan anak perempuan mereka yang lain, baik saudara kandung dari perempuan tersebut jika ada atau anak perempuan yang masih saudara dekat mereka untuk menjadi isteri yang diharapkan dapat memberi keturunan menggantikan anak mereka yang tidak dapat memberikan keturunan tersebut. Akan tetapi pihak laki-laki tidak lagi membayar mas kawin sebab pembayaran telah dilakukan untuk anak perempuan mereka yang pertama dan hal itu dianggap lumrah bagi semua keluarga.34

33 Wawancara dengan bapak Henock Puraro tanggal 4 Maret 2012 34

Wawancara tanggal 3 Juli 2014

(19)

27

Secara adat yang dapat kawin lebih dari satu perempuan hanyalah Ondo atau Kose saja. Hal ini tidak berlaku bagi semua lapisan masyarakat dan perkawinan itu juga terjadi dalam keluarga isteri, yaitu saudara perempuan dari isteri dengan pemikiran bahwa jika kedua isteri itu adalah kakak dan adik, maka mereka akan saling menghormati dan menyayangi. Dan jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka orang-orang yang dituakan atau yang biasa dikatakan tua-tua dalam keluarga akan menyarankan mereka untuk berdamai dan mereka meyakini bahwa saudara dekat akan lebih mudah untuk hidup rukun ketimbang orang lain.35

Keputusan ini, sekarang dianggap sebuah kekerasan terhadap perempuan secara tidak langsung, namun bagi masyarakat adat Sentani ini merupakan cara untuk tetap dapat menjalin hubungan yang baik dengan keluarga laki-laki dan cara untuk menjaga nama baik perempuan tersebut dan keluarganya. Akan tetapi semua itu selalu dengan persetujuan bersama keluarga perempuan dan perempuan yang bersangkutan sebagai isteri sah maupun sebagai calon isteri.

Lalu bagaimana jika yang mandul adalah suami? Menurut bapak Theo Kere, dulu orang Sentani tidak mengenal istilah mandul. Istilah medis itu baru muncul setelah pemerintah masuk dan adanya perkembangan yang membawa perubahan bagi masyarakat adat Sentani. Dulu mereka meyakini bahwa jika seorang laki-laki kawin pada tempat kawinnya (marga atau kampung yang telah ditentukan sebagai tempat kawin), maka akan memiliki keluarga dan keturunan yang sehat dan mereka akan hidup sampai tua. Tetapi jika peraturan adat itu dilanggar, maka akan menghasilkan keluarga dan keturunan yang tidak sehat dan umur yang pendek.36 Hal itu diakui benar terjadi di masa lalu.

3.3. Sebagai pengelola kehidupan rumah tangga

Perempuan pada kenyataannya telah memainkan perannya untuk mengatur kehidupan rumah tangga yang membuat perempuan itu tidak dapat dipisahkan dengan keluarga. Dalam kehidupan sebagai perempuan Sentani, isteri bukan hanya bertugas untuk mengurusi pekerjaan rumah tetapi sebagai isteri dan mama, ia juga berkewajiban memelihara kehidupan keluarga dengan memberi makan seisi rumahnya. Ketika bangun pagi ia harus mengurus semua pekerjaan rumah, ia harus menyiapkan makan bagi seisi rumah, ia harus mengangkat jaring jika jaring sudah dilepaskannya dari semalam, kemudian

35 Wawancara dengan bapak Theo Kere tanggal 8 Januari 2015 36

Wawancara dengan bapak Theo Kere tanggal 8 Januari 2015

(20)

28

ia harus membersihkan ikan hasil tangkapan yang didapatinya. Sebagian ia masak untuk konsumsi keluarga sebagian lagi ia akan jual sendiri di pasar agar hasilnya dapat menambah kebutuhan keluarga lainnya.

Selain itu, khususnya di tempat penelitian, yaitu di pulau Asei, ibu-ibu juga menekuni pekerjaan tambahan sebagai pelukis kulit kayu. Di mana kulit kayu yang sudah didapat (kadang dibeli, kadang juga dicari sendiri) harus dikuliti sendiri, ditumbuk hingga menjadi seperti kain kemudian dicuci dengan air tanpa sabun lalu dijemur. Biasanya mereka menggunakan paku untuk merenggangkan kulit sehingga ketika kering kulit kayu tersebut menjadi lebih bagus dan mudah untuk selanjutnya dicetak dan diwarnai. Semua itu dilakukan oleh seorang perempuan dengan banyaknya beban pekerjaan rumah lainnya, sedangkan laki-laki bertugas menggambar langsung di kulit jika ada permintaan demikian, jika tidak mereka membuat cetakan ukiran tetapi hal ini biasa dilakukan hanya oleh beberapa orang laki-laki saja.

Gambar 7. Kegiatan pembuatan kulit kayu hingga siap di jual

Khusus untuk pewarnaan biasanya bagi keluarga yang memiliki anak terkadang mereka juga turut membantu memberi pewarnaan. Jika tidak demikian pada kenyataannya pekerjaan itu tidak dapat diselesaikan. Karena kenyataannya suami-suami kurang membantu para isteri dalam menyelesaikan pekerjaan tambahan tersebut meskipun ada beberapa suami yang juga membantu pewarnaan namun sangat sedikit, dan jika ada itu dikarenakan adanya

(21)

29

permintaan lukisan kulit kayu dalam jumlah banyak. Boleh dikatakan bahwa ‘perempuan Sentani adalah tulang punggung keluarga’ dan bukan suami.

Hal ini adalah kenyataan yang mereka sendiri akui. Kenyataan ini masih banyak ditemukan secara khusus dalam kehidupan masyarakat Sentani yang bertempat tinggal di perkampungan. Menurut bapak Theo Kere, hal ini terjadi sejak kehidupan orangtua dulu, sehingga menurun pada anak-anak mereka hingga sekarang. Dituturkan bahwa “mama akan selalu berusaha agar seisi rumahnya bisa makan. Ia akan berkebun, mencari ikan, meremas sagu, memasak makanan dan menyediakannya untuk seisi rumah, tetapi jika tidak ada uang, ia akan bertindak sebagai ekonom untuk mendapatkan uang.”37

Ditambahkan oleh bapak Amos Ondi bahwa hutan dan danau adalah dapur bagi perempuan Sentani. Jika mereka membutuhkan sesuatu, maka hutan dan danau akan menjadi tempat tujuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun untuk saat ini ada laki-laki yang memiliki pekerjaan tetap seperti PNS mereka memang bekerja menghasilkan uang, tetapi tetap isteri yang lebih banyak bekerja mengatur segala kebutuhan keluarga bahkan juga berkebun dan mencari ikan jika ia ibu rumah tangga.38 Selain itu biasanya jika ada pekerjaan pembangunan rumah atau fasilitas di kampung mereka akan bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Jadi pekerjaan mereka bukan pekerjaan tetap yang menghasilkan uang melainkan pekerjaan tidak tetap.

3.4. Sebagai seorang isteri

Dalam kehidupan berkeluarga, suami dan isteri adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai isteri, ia adalah harta suami yang berarti. Harta di sini bukan dipandang sebagai yang sudah lunas dibayar dan harus melakukan segala tuntutan adat yang ada. Dalam hal ini perempuan (isteri) disebut sebagai harta suami karena dalam kehidupan berkeluarga tentu ia akan menjadi mitra kerja suami, ia akan menjadi penolong dan penyukses program hidup keluarga. Kenyataannya bahwa banyak suami yang kemudian tidak bisa menjadi orang yang sangat berhasil karena tidak mendapat dukungan dari isterinya dan ada banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa perempuan sebagai isteri telah menjadi pribadi yang paling dibutuhkan oleh suami.

37 Wawancara dengan bapak Theo Kere tanggal 8 Januari 2015 38

Wawancara dengan bapak Amos Ondy tanggal 11 Mei 2014

(22)

30

Isteri dalam adat orang Sentani bukan hanya sebagai pemberi keturunan tetapi juga yang memainkan perannya sebagai penolong suami dalam melaksanakan pembayaran baik pembayaran mas kawin maupun pembayaran kepala. Jika akan dilaksanakan pembayaran biasanya sebagai isteri, ia juga menyiapkan apa yang harus diberikannya. Ia akan meminta bantuan dari keluarganya supaya dalam pembayaran ia pun terlibat di dalamnya karena ketika ia menjadi bagian keluarga suami, maka segala persoalan yang dihadapi ia juga harus dapat memainkan peranannya. Hal ini juga menyangkut nama baik suaminya dan keluarganya sendiri. Di sini perempuan memainkan perannya sebagai ‘penolong’. Ia menolong suaminya dalam kesulitan yang ada.

Pembayaran dipimpin oleh laki-laki, yaitu orang-orang khusus yang disebut abuakho

(pesuruh) yang memang bertugas untuk mengatur jalannya pembayaran tersebut jadi tidak

sembarang orang dapat melakukannya. Dan harta yang dibawapun telah dikhususkan di mana Tomako batu adalah harta milik kaum laki-laki dan manik-manik adalah harta milik kaum perempuan.

Gambar 8. Peran perempuan dalam kegiatan pembayaran adat Sentani

Mereka yang berkumpul ini adalah perempuan-perempuan yang sedang melakukan pembayaran kepala orang yang meninggal. Mereka adalah perempuan dari marga Ohee, baik itu anak-anak perempuan yang bermarga Ohee maupun para perempuan yang menikah dengan marga Ohee. Mereka ini berkewajiban membayar kepala karena yang meninggal adalah laki-laki Ohee (kampung Asei Besar) yang mempunyai mama berasal dari Ifale (kampung Ifar Besar).

Inilah salah satu peran perempuan dalam masyarakat Sentani. Ia berperan sebagai penolong suami tetapi dengan kehadirannya kebersamaan sebagai satu keluarga besar itu nampak, sehingga beban pembayaran kepala itu menjadi beban bersama baik beban

(23)

31

perempuan yang dilahirkan dari keluarga Ohee maupun beban dari perempuan yang menikah dan menjadi keluarga besar Ohee.

Selain hal positif di atas saja, ada juga hal negatifnya di mana isteri juga seringkali berperan sebagai wadah pelampisan suami. Kenyataan ini memang kedengarannya menyakitkan, tetapi itulah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak suami yang menjadikan isterinya sebagai pelampiasan emosi, misalnya saja jika ada anak yang melakukan kesalahan atau mungkin anak terlibat masalah di luar rumah biasanya isteri akan dipersalahkan. Tidak jarang jika suami mabuk, kemudian ada hal yang tidak memuaskan hatinya, maka isteri akan menjadi sasaran empuk pukulannya, seperti pengakuan ibu Rina dalam penggalan percakapan di bawah ini pada suatu hari setelah selesai ibadah kaum ibu dan nampak memar berwarna hitam seperti bekas pukulan pada mata kirinya:39

Penyusun : Mama, mata kenapa hitam?

Ibu Rina : Biasa ibu bapa yang tinju, mabuk jadi. Biasa kalau bapa mabuk pulang itu saya jadi sasaran. Biar saya tidak bikin salah juga tetap saya dapat pukul. Penyusun : Kenapa jadi?

Ibu Rina : Bapa itu biasa cemburu sembarang-sembarang, kalau mabuk baru nanti datang langsung ya cari saya pukul. Jadi kalau bapa mabuk, saya tinggal di rumah saja karena pasti bapa pukul saya, kalau saya tidak ada di rumah nanti bapa cari di rumah satu-satu baru bapa bikin kacau, bisa bongkar orang punya rumah. Jadi lebih baik saya di rumah saja supaya dia pulang lihat saya di rumah, dia mau pukul saya terserah sudah tapi jangan bikin kacau di orang punya rumah. Ibu begini sudah bisa ya kalau bapa mabuk.

Hal menyakitkan lainnya, jika suami mabuk lalu memaksa isterinya untuk berhubungan seks. Jika tidak dilayani maka akan terjadi tindakan kekerasan dan banyak hal yang tidak diharapkan. Hal ini pernah dikeluhkan beberapa ibu dalam jemaat di tempat penelitian terlebih bagi mereka yang memiliki anak dengan jarak kelahiran yang cukup dekat. Harus diakui bahwa ini terjadi karena laki-laki merasa berhak terhadap perempuan yang adalah isterinya.

Semua kenyataan di atas diterima agar suami mereka tidak melampiaskannya kepada orang lain yang akhirnya akan memperbesar persoalan dan menambah persoalan baru. Dalam adat Sentani, jika karena persoalan keluarga kemudian perempuan tersebut pergi meninggalkan suaminya beberapa hari lamanya kembali ke keluarganya atau ke orangtuanya

39

Wawancara dengan ibu Rina Y/O tanggal 8 April 2011

(24)

32

dan setelah itu suaminya menyadari kesalahannya dan berniat untuk rujuk kembali, maka ia dan keluarganya tidak bisa begitu saja pergi dan mengambil isterinya pulang dengan tanpa membawa sesuatu karena alasan sudah dibayar lunas, tetapi mereka harus memakai perantara yaitu pesuruh dalam clan suku mereka untuk memberitahukan kepada keluarga yang mana perempuan itu tinggal bahwa suaminya meminta ia pulang dan itu tidak dapat ditolak oleh perempuan.

Pesuruh adalah orang yang secara adat (turun-temurun) ditunjuk untuk melakukan segala pekerjaan dalam clan sukunya, termasuk sebagai orang yang membawa pesan mewakili clan sukunya kepada orang lain, yang dalam bahasa Sentani disebut Abuakho. Abuakho biasanya bertugas selain penyukses kegiatan dari keluarga-keluarga di mana ia menjabat sebagai pesuruh dalam struktur adat, ia juga berkewajiban menjadi perantara keluarga tersebut untuk menyampaikan pesan orang lain secara khusus mereka yang terlibat dalam urusan keluarga ini.

Pada saat perempuan diantar pulang ia tidak pulang begitu saja, tetapi akan diantar dengan membawa makanan. Makanan di sini berupa bahan mentah, biasanya beras, pisang, sagu atau bahan makanan lainnya sesuai dengan kemampuan mereka. Setelah perempuan diantar, maka pihak laki-laki akan memberikan manik-manik atau tomako batu (alat pembayaran dalam masyarakat adat Sentani) sebagai tanda terima kasih dan permohonan maaf untuk apa yang telah terjadi. Hal ini dilakukan sebagai bukti bahwa ia mengakui kesalahannya dan ada niat baik dari laki-laki itu sendiri dan keluarga besarnya agar mereka berdua rujuk kembali.

Dalam adat, keluarga perempuan tidak berhak menahannya. Mereka akan menyarankan si perempuan untuk kembali kepada suaminya dan diantar oleh orang yang dituakan, apalagi jika dari pihak laki-laki telah memiliki niat baik untuk berdamai. Jika dalam kenyataannya si perempuan mengalami perlakuan yang sama dari suaminya dan hal tersebut telah beberapa kali dilakukan dan dianggap dapat membahayakan di perempuan, maka keluarga perempuan dapat menahannya dengan alasan keselamatan.

3.5. Sebagai seorang mama

Dalam kehidupan sebuah keluarga, mama memiliki peran yang sangat besar. Sejak anak-anaknya masih di dalam kandungan ia akan mengkonsumsi makanan yang bergizi agar anak di dalam kandungannya dapat sehat. Ketika anak tersebut lahir ia akan merawat,

(25)

33

menghangatkan badan anaknya dengan panas tempurung sekaligus menguatkan tulang-tulangnya. Ia akan mengkonsumsi ulat sagu yang diyakini memiliki protein yang baik untuk anak serta papeda panas dan jamur sagu yang diyakini dapat menghasilkan air susu yang banyak bagi anaknya. Ia yang mengurusi anak-anaknya, memberi mereka makan tetapi juga yang selalu mengajarkan mereka banyak hal yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan. Ia menjadi guru bagi mereka dalam kehidupan hingga anak-anaknya dewasa.

Semua kenyataan itu membuat anak-anak seringkali bergantung kepada mamanya, sehingga ketika ada kesulitan atau kebutuhan apapun, mama yang akan menjadi tempat mereka meminta pertolongan. Melihat semua kenyataan ini, maka sebenarnya perempuan (mama) adalah harta anak. Sadar ataupun tidak sebagai mama, ia sangat berarti bagi anak-anaknya, sejak anak-anaknya berada dalam kandungan hingga mereka dewasa.

4. Perempuan dalam Masyarakat Adat 4.1. Sebagai penerima keputusan

Peran perempuan Sentani dalam masyarakat adat memang tidak jauh berbeda dengan suku-suku yang ada di Indonesia pada umumnya. Sebagai penganut sistem patriakhal yang lebih menonjolkan kekuasaan laki-laki daripada perempuan, perempuan seringkali mengalami kekerasan secara tidak langsung dalam berbagai keputusan adat, yaitu di mana perempuan tidak diberikan kesempatan untuk duduk dan memberikan pendapat mereka dalam berbagai pertemuan yang melibatkan kaum laki-laki atau dalam para-para adat. Jadi jika ada hal yang ingin mereka sampaikan, maka mereka harus menyampaikannya kepada suami mereka terlebih dahulu kemudian ia akan menyapaikannya dalam pertemuan para-para adat.

Menurut bapak Lewi Puhili alasan mereka dalam adat Sentani tidak melibatkan perempuan dalam pertemuan-pertemuan itu merupakan salah satu cara mereka untuk melindungi perempuan tersebut. Sebab mereka mengakui bahwa dalam pertemuan-pertemuan itu seringkali mereka merancangkan kejahatan yang dapat berakibat buruk bagi perempuan, misalnya dapat tidak memiliki anak, perempuan akan mengalami kesakitan dan dapat membuat akhirnya perempuan akan memberikan keturunan yang tidak sempurna.40 Hal ini dikarenakan dalam kehidupan orang Sentani, kepercayaan dan praktek ilmu hitam itu masih ada hingga saat ini.

40

Wawancara dengan bapak Lewi Puhili tanggal 3 Juli 2014

(26)

34

Jadi karena alasan untuk melindungi itulah mereka tidak melibatkan kaum perempuan. Intinya menurut bapak Theo Kere, secara adat tempat pertemuan atau para-para adat itu dan pengambilan keputusan adalah hak laki-laki dan bukan perempuan,41 sehingga biasanya perempuan hanya menjadi kelompok yang menerima apa saja keputusan yang telah diambil oleh kelompok laki-laki, agar terhindar dari niat jahat orang lain yang ingin menyusahkan mereka.

4.2. Sebagai penyukses kegiatan

Karena perempuan tidak diperbolehkan untuk duduk dalam pertemuan, maka perempuan diberikan tanggung jawab untuk menyiapkan makanan bagi mereka yang mengadakan pertemuan, sehingga mereka yang mengikuti pertemuan tidak pulang dengan lapar. Meskipun hanya bertugas untuk menyiapkan makanan bagi mereka yang mengikuti pertemuan, namun ketika tidak kekurangan makanan, maka nama baik pemilik rumah telah dijaga. Mereka pulang dengan penilaian yang baik karena puas dengan pelayanan yang diberikan.

Di sini perempuan tampil sebagai pendukung suksesnya kegiatan yang dilaksanakan oleh kaum laki-laki secara khusus dalam hal makan-minum. Biasanya jika ada kegiatan di kampung, maka perempuan-perempuan akan memasak untuk memberi makan orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Bisa dikatakan bahwa tugas yang paling sering dilakukan perempuan Sentani adalah memberi makan orang banyak dan jika makanan yang disiapkan itu kurang itu merupakan aib yang sangat memalukan, sehingga biasanya mereka akan masak sangat banyak agar tidak kekurangan makanan dan siapapun dapat makan bersama saat itu bahkan berkelebihan.

Karena makanan yang selalu berkelebihan inilah, maka muncul satu penilaian bahwa: kalau kegiatan di kampung orang kampung akan kasih makan sampai babi-babi

juga makan. Artinya bahwa orang-orang di kampung akan menyiapkan makanan yang

banyak sampai mereka yang makan tidak sanggup menghabiskannya sehingga binatang peliharaan mereka pun ikut kebagian makanan.

41

Wawancara dengan bapak Theo Kere tanggal 8 Januari 2015

(27)

35

Melihat kenyataan hidup perempuan Sentani yang dipandang sebagai harta di atas, sebenarnya sungguh sangat menyedihkan, sebab ternyata beban yang mereka pikul sangat berat. Beban itu terasa berat sebab adanya pemahaman yang salah tentang keberadaan seorang perempuan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat adat. Perempuan dipandang sebagai harta, namun secara kasar dapat dikatakan sebagai harta yang dimanfaatkan. Mungkin pendapat ini terlalu berlebihan, namun sesungguhnya tanpa disadari hal ini telah terjadi dalam kehidupan kaum perempuan Sentani, khususnya bagi para perempuan yang selama ini memainkan peran tradisionalnya. Kenyataannya mereka berarti bukan hanya bagi suami dan anak-anaknya tetapi juga bagi keluarga besarnya, bagi keluarga suaminya, dan bagi adat, namun di sisi lain banyaknya tuntutan membuat mereka mengalami ketidakadilan yang mungkin saja tidak mereka sadari. Dan hal tersebut terus mereka alami dan telah menjadi sesuatu yang diwajarkan terjadi dalam kehidupan mereka.

Jika dipandang dari sisi alkitab, kehadiran perempuan dalam dunia ini sebenarnya sebagai pelengkap laki-laki. Sebab dalam Kejadian 2:18 Allah berkata: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.” Berarti dengan kehadiran perempuan, maka kehidupan laki-laki akan menjadi baik. Dari ayat ini kalimat selanjutnya menjadi sangat penting “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Kalimat inilah yang sebenarnya telah dilupakan, sebab jika kalimat ini menjadi pusat perhatian setiap laki-laki Sentani saat ini, tentu mereka akan memandang perempuan sebagai harta mereka karena perempuan di hadirkan Allah sebagai penolongnya dalam kehidupan berumah tangga. Jadi pandangan itu akan berubah menjadi pandangan perempuan sebagai harta karena perempuan adalah mitra laki-laki, dan mitra itu “sepadan”, bukan hanya sebadan, tetapi juga sehati, sepikiran, setindakan dan segalanya.

Kini semua kembali kepada pandangan dan penilaian setiap pribadi akan nilai seorang perempuan dalam kehidupannya. Jika perempuan dalam pembayaran mas kawin di pandang sebagai sebuah alat tukar maka ia akan memberlakukan perempuan sebagai kaum nomor dua. Tetapi perlu diingat bahwa memang awalnya Allah menjadikan perempuan dari tulang rusuk laki-laki sehingga laki-laki begitu merasa berkuasa, tetapi janganlah lupa juga bahwa setelah itu laki-laki dilahirkan dari perempuan (lih. I Kor. 11:12) jadi tidak ada yang dapat berkata bahwa ia lebih penting dari yang lainnya karena antara laki-laki dan perempuan kedua-duanya adalah mitra dan satu adanya.

Gambar

Tabel 1. Penduduk usia 15 tahun ke-atas menurut lapangan pekerjaan 15
Gambar 1: Pohon sagu dan yang dihasilkan
Gambar 2. Kegiatan kaum laki-laki memarut sagu menggunakan mesin
Gambar 4. Kegiatan meremas sagu dan hasil akhir yang dipindahkan dalam karung
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar 2 sistem pengaman kendaraan bermotor yang dirancang terbagi atas dua bagian yaitu subsistem pengaman untuk menghidupkan sepeda motor dan subsistem pengaman

Aqidah merupakan pengalaman kemanusiaan yang tidak dapat diproduksi dan direduksi oleh siapapun dan oleh apapun. Keyakinan umat Islam yang terangkum dalam Tauhid

The adsorption capability of Ben- tonite – biochar nanocomposite was tested for the removal of Cu(II) and Pb(II) from aqueous solution. Langmuir and Freundlich adsorption

ode akan dii egmen konso yang menyat luka tidak saj daerah pusat silapan segme mi gangguan p iko-semantik ata tersebut emantik. rtian kata) ak ek visual me derita strok u kkan sebuah

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Current ratio (CR), Debt to Equity Ratio (DER), Return on Assets (ROA), Inventory Turnover (ITO), Earning per Share (EPS)

Jika perkuatan longitudinal ditinjau terhadap penambahan tegangan normal yang bekerja saat dilakukan pengujian, maka tahanan gesek tulangan rotan akan bernilai semakin

Data ini mengindikasikan bahwa dari ketiga cara tersebut yang paling cocok untuk mengisomerisasi linoleat menjadi CLA adalah dengan pengaruh microwave dengan inisiator

Meskipun biaya pembuatan rangka kuda- kuda baja ringan relatif lebih mahal daripada rangka kuda-kuda kayu, tetapi waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan rangka baja