• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTAMBAHAN BOBOT HIDUP HARIAN ANAK DOMBA EKOR GEMUK (DEG) YANG DIBERIKAN PAKAN TAMBAHAN LEGUMINOSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTAMBAHAN BOBOT HIDUP HARIAN ANAK DOMBA EKOR GEMUK (DEG) YANG DIBERIKAN PAKAN TAMBAHAN LEGUMINOSA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PERTAMBAHAN BOBOT HIDUP HARIAN ANAK DOMBA

EKOR GEMUK (DEG) YANG DIBERIKAN PAKAN

TAMBAHAN LEGUMINOSA

(The Daily Life Weight Gain of Fat Tail lamb Fed on Leguminous Feed

Additive)

F.F.MUNIER

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Jl. Raya Lasoso 62 Biromaru 94364

ABSTRACT

The slaughtering rate of sheep was increasing about 18.89% for the last two years. The increased number of slaughtering Fat Tail Sheep (FTS) should be followed by improving farming management. One of improving management is to provide feed additive. The purpose of this assessment was to investigate the effects of leguminous as feed additive in daily life weight gain (DLWG) of male and female FTS lambs. The FTS were raised in semi intensive farming system. This study was carried out in Kawatuna Village, South Palu Sub District, Central Sulawesi from February to July 2004. A total of 24 heads FTS lambs from1 months old was used in this experiment using 12 heads male and femle respectively. Feeding treatments consisted p0 = without feed additive; P1 = 500 g/head/day, peanut (Arachis hypogeae) by products; P2 = 500g/head/day

Desmanthus virgatus and P3 = 500 g/head/day Gliricidia septum. Three leguminouses were given to FTS

lambs every morning and drinking water was available ad libitum in the pen. The native grass (basal feed) was consumed FTS lambs on pasture. DLWG was calculated every two weeks. The data was analysed by using Complete Random Design (CRD) and tested with Least Significant Different (LSD) method. Feeding of leguminouses shown significant different (P<0.01) between DLWG of male and female FTS lambs. The average of DLWG for male FTS lambs was the highest in P3, followed by P2 and P1 and the lowest in P0,

102,77 g, 95,83 g and 81,95 g and 61,11 g, respectively. The average DLWG for female FTS kids were the highest in P3, followed by P2 and P1 and the lowest in P0, 83,22 g, 81,95 g, 77,77 g and 38,89 g, respectively.

Key Words: Leguminous, FTS of Male and Female Kids, DLWG

ABSTRAK

Selama dua tahun terakhir terjadi kenaikan pemotongan domba sebesar 18,89%. Kenaikkan angka pemotongan DEG ini harus diimbangi dengan perbaikan manajemen pemeliharaan. Salah satu usaha perbaikan manajemen pemeliharaan DEG adalah dengan pemberian pakan tambahan. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian tiga jenis leguminosa sebagai pakan tambahan terhadap pertambahan bobot hidup harian (PBHH) anak DEG jantan dan betina yang dipelihara secara semi intensif. Pengkajian telah dilaksanakan di Kelurahan Kawatuna, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Propinsi Sulawesi Tengah dari bulan Pebruari – Juli 2004. Anak DEG yang digunakan sebanyak 24 ekor (12 ekor jantan dan 12 ekor betina) yang berumur satu bulan. Perlakuan pakan, P0 = tanpa pemberian pakan tambahan, P1 = 500 g/ekor/hari

brangkasan kacang tanah (Arachis hypogaea), P2 = 500 g/ekor/hari daun desmanthus (Desmanthus virgatus),

P3 = 500 g/ekor/hari daun gamal (Gliricidia sepium). Ketiga jenis leguminosa ini diberikan pada anak DEG

setiap pagi hari dan air minum selalu tersedia di dalam kandang. Rumput alam (pakan dasar) dikonsumsi anak DEG saat digembalakan di padang penggembalaan. Pengamatan PBHH anak DEG dilakukan dengan penimbangan setiap dua minggu. Analisis statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan diuji dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Pemberian tiga jenis leguminosa sebagai pakan tambahan memperlihatkan perbedaan yang nyata (P < 0,01) terhadap rataan PBHH anak jantan dan betina DEG. Rataan PBHH pada anak jantan DEG tertinggi pada P3, diikuti oleh P2 dan P1, terendah pada P0, masing-masing

102,77 g, 95,83 g dan 81,95 g serta 61,11 g. Rataan PBHH pada anak betina DEG tertinggi pada P3, diikuti

oleh P2 dan P1, terendah pada P0, masing-masing 83,22 g, 81,95 g dan 77,77 g serta 38,89 g.

(2)

PENDAHULUAN

Permintaan daging asal domba di wilayah Sulawesi Tengah memiliki kecenderungan meningkat selama beberapa tahun terakhir. Data dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Propinsi Sulawesi Tengah selama dua tahun terakhir menunjukkan bahwa pemotongan domba yang tercatat tahun 2005 sebanyak 1.095 ekor dan 2006 naik menjadi 1.350 ekor (SUJANARTO, 2006) atau terjadi kenaikan pemotongan 18,89%. Kenaikkan permintaan daging asal domba ini karena masyarakat di wilayah Lembah Palu lebih menyukai daging domba dibandingkan dengan daging kambing. Hal ini disebabkan karena daging domba tidak berbau, sebaran lemak yang (marbling) merata dan tidak tebal. Domba ekor gemuk (DEG) yang dipelihara di Lembah Palu umumnya digembalakan di padang rumput yang terbatas dengan intensitas penyinaran matahari tinggi (di bawah garis khatulistiwa) sehingga lemak yang ada dibawah kulit diubah menjadi energi. Alasan lainnya yang dikaitkan dengan budaya masyarakat Kaili (suku asli di Lembah Palu) bahwa ketika melaksanakan acara hajatan lebih terhormat menggunakan domba dari pada kambing untuk dipotong.

Kenaikkan angka pemotongan DEG di Lembah Palu harus diimbangi dengan perbaikan manajemen pemeliharaan karena kalau tidak diimbangi dengan perbaikan manajemen akan mengakibatkan penurunan populasi DEG. Hal ini dibuktikan dengan data populasi DEG selama tiga tahun terakhir yakni tahun 2003 populasinya sebanyak 5.953 ekor, 2004 turun menjadi 5.351 ekor, 2005 terjadi penurunan drastis yakni menjadi 2.172 ekor, tetapi 2006 terjadi sedikit kenaikan populasi menjadi 2.211 ekor (DISTANBUNNAK PROP. SULTENG, 2007). Salah satu perbaikan manajemen pemeliharaan DEG dengan pemberian pakan tambahan untuk menutupi kekurangan pakan saat digembalakan di padang penggembalaan. DEG yang digembalakan di padang penggembalaan ini tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan sedikit untuk produksi karena terbatasnya ketersediaan biomassa hijauan pakan dan kandungan nutrisinya rendah (NASER, 2002; MUNIER, 2007). Pemberian pakan tambahan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi

hijauan pakan yang tersedia di lapangan baik berasal dari limbah pertanian, tanaman pagar dan hijauan pakan yang tumbuh disekitar lahan pertanian.

Fase pertumbuhan anak domba memiliki laju pertumbuhan yang tinggi namun apabila tidak didukung oleh kecukupan pakan yang dikonsumsi maka laju pertumbuhannya menjadi rendah. Pemberian pakan tambahan berupa leguminosa dapat memacu laju pertumbuhan anak DEG karena memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi. Pemanfaatan limbah pertanian berupa brangkasan kacang tanah (Arachis hypogaea) dan leguminosa lainnya seperti gamal (Gliricidia sepium) dan desmanthus (Desmanthus virgatus) diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan anak DEG dan diikuti dengan pertambahan bobot hidup harian yang tinggi (NASER, 2002). Brangkasan kacang tanah memiliki potensi ketersediaanya cukup tinggi yakni dapat mencapai 3,5 – 5,5 ton bahan kering/ha (GINTING, 2004). Ketiga jenis leguminosa ini cukup melimpah tersedia di Lembah Palu tetapi belum dimanfaatkan secara optimal para peternak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian tiga jenis leguminosa sebagai pakan tambahan terhadap pertambahan bobot hidup harian (PBHH) anak DEG jantan dan betina yang dipelihara secara semi intensif.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini telah dilaksanakan di Kelurahan Kawatuna, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Propinsi Sulawesi Tengah (kawasan Lembah Palu) dari bulan Pebruari – Juli 2004. Anak DEG yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 24 ekor, masing-masing 12 ekor jantan dan 12 ekor betina yang berumur satu bulan. Masing-masing kelompok anak DEG jantan dan betina ditempatkan dalam satu kandang. Kandang yang digunakan type panggung yang disekat untuk tiap individu anak DEG. Perlakuan pakan terdiri dari kelompok kebiasaaan peternak (kontrol) dan tiga kelompok diberikan perlakuan pakan tambahan leguminosa. Setiap kelompok perlakuan ada tiga ekor anak DEG baik jantan dan betina (tiga ulangan). P0 = tanpa pemberian

(3)

g/ekor/hari brangkasan kacang tanah (Arachis

hypogaea), P2 = 500 g/ekor/hari daun

desmanthus (Desmanthus virgatus), P3 = 500

g/ekor/hari daun gamal (Gliricidia sepium). Brangkasan kacang tanah yang diberikan dalam bentuk kering (BK), sedangkan gamal dan desmanthus dilayukan (dikering-anginkan) terlebih dahulu selama 14 – 15 jam sebelum diberikan pada anak DEG untuk mengurangi kadar air. Brangkasan kacang tanah dan desmantus beserta batangnya yang dicacah sepanjang 10 – 20 cm sebelum diberikan pada anak DEG, sedangkan gamal diberikan dengan tangkai daun. Ketiga jenis leguminosa ini diberikan pada anak DEG setiap pagi hari jam 07.00 – 08.00 dan air minum selalu tersedia (ad libitum) di dalam kandang. Rumput alam sebagai pakan dasar dikonsumsi anak DEG saat digembalakan di padang penggembalaan mulai pukul 11.00 – 17.00.

Analisis kandungan nutrisi leguminosa berdasarkan data hasil penelitian sebelumnya di lokasi yang sama oleh MUNIER (2007). Pengamatan laju pertumbuhan dengan melakukan penimbangan anak DEG jantan dan betina pada setiap dua minggu sekali. Penimbangan ini dilakukan pagi hari sebelum diberikan pakan pada semua anak DEG jantan dan betina yang dikaji selama empat bulan. Perhitungan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) selama penelitian pada anak DEG yakni bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal dan dibagi dengan lama pemeliharaan.

Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menurut prosedur KUSRININGRUM (2008). Apabila hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakukan pemberian pakan berpengaruh nyata terhadap bobot lahir anak DEG jantan dan betina, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menurut KUSRININGRUM (2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi padang penggembalaan

Ternak DEG di kawasan Lembah Palu umumnya dipelihara dengan sistem digembalakan (grazing system). Para peternak DEG menggembalakan ternak di padang penggembalaan dengan ketersediaan biomassa hijauan pakan dan kandungan protein yang

terbatas (MARTAWIJAYA et al., 1990). Hijauan pakan yang tersedia di padang penggembalaan adalah rumput alam dan sebagian kecil leguminosa merambat berdaun kecil. Hasil penelitian AMAR (2000) melaporkan bahwa jenis rumput yang dominan tumbuh di padang penggembalaan di lokasi pengkajian adalah Cynodon sp., Digitaria fuscescens dan jenis leguminosa Thephrosia sp., Desmodium

triflorum, Alysicarpus sp. Jenis rerumputan

dan leguminosa ini termasuk hijauan penutup tanah yang tipis di padang penggembalaan sehingga produksi biomassanya rendah (MUNIER dan SARASUTHA, 2004).

Terbatasnya jenis vegetasi yang tumbuh dan rendahnya produksi biomassa hijauan pakan yang ada di padang penggembalaan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim setempat. Suhu udara di kawasan Lembah Palu saat musim hujan mencapai 25,8o – 28,8oC (BMG STA. MET. BANDARA MUTIARA PALU, 2002) dan saat musim kemarau suhu udara meningkat menjadi 32° – 358°C, bahkan dapat mencapai diatas 36oC (MUNIER, 2003). HUSAIN (2003) melaporkan bahwa suhu lingkungan pada saat siang hari di padang penggembalaan terbuka di Lembah Palu yang diukur pada ketinggian 30 cm dari permukaan tanah dapat mencapai 41oC dengan kelembaban 30%. Curah hujan yang terjadi di lokasi padang penggembalaan juga cukup rendah. Menurut SYAFRUDDIN et al. (2003) bahwa curah hujan yang terjadi di kawasan Lembah Palu berada pada kisaran 450 – 1000 mm/tahun dengan sebaran curah hujan tertinggi pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus. Rendahnya curah hujan dan didukung oleh suhu udara yang tinggi mengakibatkan produksi hijauan pakan rendah, tetapi saat musim hujan terjadi pertumbuhan vegetasi hijauan pakan di padang penggembalaan. Kandungan unsur nutrisi hijauan pakan

Protein merupakan unsur nutrisi utama yang dibutuhkan DEG untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Kandungan protein kasar yang rendah pada pakan yang dikonsumsi DEG dapat menghambat laju pertumbuhannya terutama pada anak DEG yang hanya mengkonsumsi rumput alam. Kandungan nutrisi rumput alam dan leguminosa yang

(4)

Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan pakan yang dikonsumsi anak DEG

Kandungan nutrisi (%) Jenis hijauan pakan

Bahan kering Protein kasar Serat kasar Rumput alam (P0)

Brangkasan kacang tanah (P1)

Desmanthus (P2) Gamal (P3) 54,2 88,5 88,3 90,9 3,0 15,1 16,3 23,5 13,5 12,5 27,1 24,3 Sumber: MUNIER (2007)

diberikan pada anak DEG jantan dan betina sebagai pakan tambahan disajikan pada Tabel 1.

Kandungan bahan kering dan protein kasar pada rumput alam umumnya rendah. Pada Tabel 1 diatas, kandungan protein kasar lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnnya. SUSILAWATI (2005) melaporkan bahwa rumput alam memiliki kandungan protein kasar yang sangat terbatas yakni hanya 4%, sedangkan AMAR (2000) melaporkan bahwa kandungan protein kasar rumput alam dan leguminosa di lokasi pengkajian masing-masing 5,1 dan 9,3%. Rendahnya kandungan bahan kering dan protein kasar pada rumput alam yang dikonsumsi DEG saat digembalakan di lokasi pengkajian ini maka perlu diberikan pakan tambahan leguminosa. Pemberian leguminosa ini dengan memanfaatkan potensi yang tersedia di lokasi pengkajian sehingga dapat menutupi kebutuhan hudup pokok dan pertumbuhan anak DEG pada fase pertumbuhan. Kandungan protein kasar pada brangkasan kacang tanah relatif lebih rendah dibandingkan desmanthus dan gamal karena merupakan limbah panenan yang telah mengalami proses pengayuan (lignification). Kandungan protein kasar brangkasan kacang tanah pada pengkajian ini relatif sama dengan hasil penelitian SOEDOMO et al. (1983) yaitu 14,9%.

Konsumsi pakan tambahan leguminosa Anak DEG yang digembalakan di padang penggembalaan bersama induknya yang mengkonsumsi jenis rumput alam dan leguminosa dengan produksi biomassanya rendah. Jenis rumput alam yang tumbuh di padang penggembalaan umum di wilayah Kelurahan Kawatuna, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu adalah Cynodon sp. dan Digitaria

fuscescens, sedangkan jenis leguminosa seperti Desmodium triflorum, Thephrosia sp. dan

Alysicarpus sp. Hasil analisis di laboratorium yang dilaporkan oleh MUNIER (2007) menunjukkan bahwa kandungan protein kasar rumput alam di padang penggembalaan di lokasi pengkajian hanya 3,0%. Kandungan protein kasar ini sangat rendah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan anak DEG. Pemberian pakan tambahan ketiga jenis leguminosa ini diharapkan dapat memenuhi kekurangan unsur nutrisi bagi anak DEG untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Pada Tabel 2 dapat dilihat total konsumsi harian pakan tambahan leguminosa per individu anak DEG yang dibedakan berdasarkan kandungan nutrisinya.

Hasil menunjukkan bahwa pada bulan pertama pengamatan, leguminosa yang

Tabel 2. Total konsumsi harian pakan tambahan leguminosa per individu anak DEG berdasarkan kandungan nutrisi

Total dikonsumsi (g) Perlakuan

Bahan kering Protein kasar Serat kasar P1 P2 P3 442,5 454,5 441,5 75,0 81,5 117,5 62,5 135,5 121,5

(5)

diberikan pada anak DEG tidak dihabiskan (tersisa) karena belum terbiasa mengkonsumsi leguminosa ini. Namun setelah memasuki bulan kedua pengamatan, ketiga jenis leguminosa yang diberikan setiap hari dapat dihabiskan oleh DEG. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga jenis leguminosa ini cukup disukai (palatable) oleh anak DEG. Disamping itu jumlahnya leguminosa yang diberikan per individu sesuai dengan kebutuhan pada fase pertumbuhan pada perlakuan P1, P2 dan P3

(Tabel 2). Jumlah protein kasar pada ke tiga perlakukan ini di atas standar kebutuhan protein kasar untuk hidup pokok domba di Indonesia yakni 52,55 g/ekor/hari (TOMASWEZKA et al., 1993). Kelebihan protein kasar ini digunakan untuk percepatan pertumbuhan anak DEG. P0

dalam pengkajian ini tidak diberikan pakan tambahan leguminosa dan hanya mengkonsumsi hijauan saat digembalakan di padang penggembalaan setiap hari.

Pertambahan bobot hidup harian (PBHH) PBHH anak DEG yang dipelihara oleh peternak sangat dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan. Salah satu faktor penting dalam manajemen pemeliharaan adalah pemberian

pakan. Anak DEG yang sedang tumbuh (fase pertumbuhan) membutuhkan pakan yang lebih banyak dibandingkan dengan DEG yang sudah dewasa. Pada penelitian ini anak DEG masih menyusui (kisaran umur satu bulan) tetapi air susu yang tersedia dari induknya sangat terbatas. Padahal anak DEG dalam fase pertumbuhan membutuhkan pakan kualitas dan kuantitas yang cukup untuk pertumbuhan otot, tulang, rambut, alat reproduksi dan organ-organ tubuh lainnya. Pemberikan pakan tambahan leguminosa pada anak DEG memberikan respon positif terhadap laju pertumbuhan dibandingkan anak DEG yang tidak diberikan pakan tambahan leguminosa. Hasil penimbangan reguler anak DEG setiap dua minggu sekali menunjukkan bahwa pemberian leguminosa dapat meningkatkan PBHH pada anak jantan dan betina. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4, ketiga perlakukan (P1, P2 dan P3) ini menunjukkan

rataan PBHH anak DEG yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak DEG yang tidak diberikan pakan tambahan (P0). Rataan PBHH

anak DEG jantan dan betina yang diberikan pakan tambahan leguminosa pada penelitian ini berkisar 60,11 – 102,77 g. Kisaran PBHH DEG ini sudah memenuhi rekomendasi BATURARA Tabel 3. Rataan bobot hidup awal (umur satu bulan), PBHH, bobot hidup akhir, kenaikkan bobot hidup anak

DEG jantan selama empat bulan Perlakuan Bobot hidup awal

(kg) PBHH (g)

Bobot hidup akhir (kg) Kenaikkan bobot hidup (kg) P0 P1 P2 P3 6,17 6,17 6,34 7,00 61,11a 81,95ab 95,83bc 102,77c 13,50 16,00 17,83 19,33 7,33 9,83 11,49 12,33 Angka yang diikuti oleh huruf berbeda pada lajur sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,01).

Tabel 4. Rataan bobot hidup awal (umur satu bulan), PBHH, bobot hidup akhir, kenaikkan bobot hidup anak DEG betina selama empat bulan

Perlakuan Bobot hidup awal

(kg) PBHH (g)

Bobot hidup akhir (kg) Kenaikkan bobot hidup (kg) P0 P1 P2 P3 5,50 4,34 5,67 5,56 38,88a 77,77b 81,95b 83,22b 10,17 13,67 15,50 15,55 4,67 9,33 9,83 9,99 Angka yang diikuti oleh huruf berbeda pada lajur sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,01)

(6)

et al. (1993); HORNE et al. (1994) yaitu 53 – 150 g untuk domba yang diberikan pakan kombinasi pakan limbah pertanian.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian pakan tambahan leguminosa (P1, P2

dan P3) pada anak DEG jantan memberikan

pengaruh nyata (P < 0,01) terhadap PBHHnya (Tabel 3) dan pada anak betina juga memberikan pengaruh nyata (P < 0,01) terhadap PBHHnya (Tabel 4). Rataan PBHH pada anak jantan dan betina tertinggi pada P3

yang diikuti oleh P2 dan P1, terendah pada P0.

Rendanya PBHH P0 karena anak DEG hanya

mengkonsumsi rumput alam saja. Ternak yang hanya mengkonsumsi pakan tunggal memperoleh zat-zat makanan untuk kebutuhan hidup pokok dan sedikit produksi (MARRISON, 1981). NASER (2002) melaporkan bahwa DEG yang berumur 8 – 10 bulan yang diberikan ransum kombinasi rumput gajah dan bungkil sawit dengan rataan PBHH 83,33 g sedangkan pakan tunggal hanya 67,46 g.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa PBHH anak DEG jantan P1 tidak berbeda nyata

(P > 0,05) dengan P0, P2 berbeda nyata (P <

0,05) lebih tinggi dibanding P0, P3 berbeda

nyata (P < 0,01) lebih tinggi dibanding P0,

sedangkan antara perlakuan (P1, P2 dan P3)

menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0,05). PBHH anak DEG betina P1, P2 dan P3 berbeda

nyata (P < 0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan P0, sedangkan antara perlakuan (P1, P2

dan P3) menunjukkan tidak berbeda nyata (P >

0,05).

PBHH P3 pada anak DEG jantan dan betina

lebih tinggi dibandingkan dengan P0, P1 dan P2

karena kebutuhan protein kasar melebihi dari standar kebutuhan DEG yang direkomendasi oleh peneliti sebelumnya. Menurut KEARL (1982) bahwa kebutuhan protein kasar untuk domba adalah 15%, padahal kandungan protein kasar gamal (P3) sebesar 23,5%, berarti masih

memiliki kelebihan 8,5% atau 42,5 g/500 g gamal. Brangkasan kacang tanah (P1) dan

desmanthus (P2) hanya memiliki kandungan

protein kasar berkisar 15 – 16%, hal ini menunjukkan bahwa protein kasar yang dikonsumsi oleh anak DEG jantan dan betina pada kedua perlakukan ini hanya cukup untuk kebutuhan pokok dan pertumbuhan tetapi jumlah leguminosa yang dikonsumsi tidak berlebih. Hal didukung oleh MARRISON (1981)

bahwa zat makanan yang dibutuhkan oleh ternak dalam proporsi yang tinggi adalah protein.

KESIMPULAN

Pemberian leguminosa sebagai pakan tambahan dapat meningkatkan PBHH anak DEG jantan dan betina. Anak jantan dan betina DEG yang digembalakan tanpa diberikan pakan tambahan leguminosa memperlihatkan PBHHnya rendah. PBHH tertinggi pada anak jantan dan betina DEG yang diberikan pakan tambahan daun gamal, diikuti oleh anak jantan dan betina DEG yang diberikan daun desmanthus dan brangkasan kacang tanah.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Palu Bapak Ir. Zainal Abidin, MSi. atas bantuan dan dukungannya dalam kegiatan pengkajian ini. Terimakasih juga diucapkan kepada Saudara Agus (Ketua Kelompok Peternak Watu N’Jamboko, Kelurahan Kawatuna) beserta anggotanya dan Saudara Aslan Lasenggo AMd. (Teknisi BPTP Sulteng) atas bantuannya dalam memotivasi peternak, pengamatan dan pengumpulan data selama pengkajian.

DAFTAR PUSTAKA

AMAR, A.L. 2000. Komposisi botanis tumbuhan Menerna dan daya tampung penggembalaan umum di Kelurahan Kawatuna Lembah Palu, Sulawesi Terngah. J. Ilmu-Ilmu Pertanian: Agroland 16(3): 48 – 55.

BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA, STASIUN

METEOROLOGI BANDARA MUTIARA PALU.

2002. Data Suhu Udara Periode Pebruari-Mei 2002.

BATURARA, L.P., M.D. SANCHEZ and K.R. POND. 1993. Feeding of lamb with palm kernel cake and molasses. J. Penelitian Sei. Putih. 1(3), Ed. April. Sub Balitnak Sei Putih, Sumut. DINAS PERTANIAN,PERKUBUNAN DAN PETERNAKAN

PROPINSI SULAWESI TENGAH. 2007. Statistik Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Tahun 2006 (Angka Tetap).

(7)

GINTING, S.P. 2004. Tantangan dan peluang pemanfaatan pakan lokal untuk pengembangan peternakan kambing di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Kebutuhan Inovasi Teknologi Mendukung Agribisnis yang Berdayasaing, Bogor, 6 Agustus 2004. hlm. 61 – 77.

HORNE,P.M.,K.R.POND and L.P.BATUBARA. 1994. Strategies for utilizing improve forage for developing sheep enterprises in North Sumatera and Aceh. Paper Presented at The Seminar Produksi Peternakan di Sumatera Utara dan Prospek Pengembangannya Mendukung Segitiga Pertumbuhan Utara, di Puslit Karet, Sei Putih, March 21, South Sumatera.

HUSAIN,M.H. 2003. Pengaruh radiasi sinar matahari terhadap konsumsi pakan, air minum dan beberapa parameter fisiologi pada kambing. J. Ilmiah Agri Sains, Fakultas Pertanian, Univ. Tadulako, Palu. hlm 50 – 56.

KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. Int’l Feedstuff Inst. Utah Agric. Exp. Sta. USU. Logan Utah, USA.

KUSRININGRUM,R.S. 2008. Perancangan Percobaan: Untuk Penelitian Bidang Biologi, Pertanian, Peternakan, Perikanan, Kedokteran, Kedokteran Hewan, Farmasi. Cetakan Pertama. Airlangga University Press, Surabaya.

MARRISON, F.B. 1981. Feed and Feeding. 4th Ed. The Morrison Publishing Company, Clinton, Iowa.

MARTAWIJAYA,M.A.WILLSON dan B.SUDARYANTO. 1990. Suplementasi gaplek dalam ransum yang menggunakan rumput Gajah dan biji kapuk untuk domba. Wartazoa 4(3).

MUNIER, F.F. 2003. Karakteristik sistim pemeliharaan ternak ruminansia kecil di Lembah Palu Sulawesi Tengah. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner di Auditorium Balai Penelitian Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 327 – 332.

MUNIER,F.F. 2007. Pengaruh pemberian leguminosa terhadap bobot lahir domba ekor gemuk (DEG) yang dipelihara secara semi intensif. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2007, Bogor 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 430 – 435.

MUNIER,F.F. dan I-G.P.SARASUTHA. 2004. Sistem pemeliharaan ternak kambing di Lembah Palu Sulawesi Tengah. Pros. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Kebutuhan Inovasi Teknologi Mendukung Agribisnis yang Berdayasaing, Bogor 6 Agustus 2004. hlm. 171 – 177.

NASER, A. 2002. Pengaruh pemberian ransum dengan berbagai tingkat bungkil kelapa sawit terhadap pertambahan bobot badan domba hasil persilangan ekor gemuk dan Merbas. J. Agroland 9(1): 85 – 91.

SOEDOMO, R.H., H. HARTADI, J.SUTRISNO dan R. UTOMO. 1983. Penggunaan limbah pertanian dengan suplementasi daun legum lamtoro dalam ransum untuk pertumbuhan kambing. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Kecil. Puslitbang Peternakan, Bogor.

SUJANARTO. 2006. Kebijakan strategis peningkatan produksi ternak ruminansia melalui pengembangan penanganan pascapanen. Makalah Seminar dan Lokakarya Peternakan: Peningkatan Kualitas Pascapanen Ternak Ruminansia Potong Indonesia sebagai Landasan Perkembangan Industri Peternakan di Indonesia. Palu, 29 Juli 2006. Dinas Pertanian Perkebuan dan Peternakan propinsi Sulawesi Tengah.

SUSILAWATI, E. 2005. Eksplorasi rumput Kumpai [Hymenachine amplexicaulis (Rudge) Nees] sebagai pakan ternak di Propinsi Jambi. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Bogor, 16 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 177 – 181.

SYAFRUDDIN, A.N. KAIRUPAN dan F.F. MUNIER. 2003. Potensi dan kesesuian lahan untuk pengembangan pakan ruminansia di Lembah Palu. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 266 – 271.

TOMASWEZKA, M.W., I.M. MASTIKA, A. DJAJANEGARA, S. GARDINER dan T.R. WIRADARYA. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pengujian frekuensi natural dengan urutan pengencangan baut dari yang Besar ke Kecil (2,0 kgfm – 1,2 kgfm – 0,2 kgfm) dan pengencangan baut dari Kecil ke Besar,

Umur simpan sari buah diduga dengan menghitung selisih skor awal produk dan skor pada saat produk tidak disukai dibagi dengan laju penurunan mutu (k) pada suhu

Tahap awal dari penelitian ini adalah identifikasi dan penetapan kadar tanin yang terdapat dalam daun jambu biji, karena senyawa tanin ini yang akan berfungsi

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasannya, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan antara Kelas Eksperimen

Ergonomi adalah ilmu yang menemukan dan mengumpulkan informasi tentang tingkah laku, kemampuan, keterbatasan, dan karakteristik manusia untuk perancangan mesin,

Dari hasil analisis GC-MS ketiga jenis minyak atsiri dari tiga jenis tumbuhan Rutaceae yang dilaporkan di atas, jelas terlihat bahwa ketiganya memiliki komponen kimiayangjauh

Gambar 5 adalah grafik Sum Square Error (SSE) proses learning Jaringan saraf tiruan (JST) yang digunakan pada sistem ini menggunakan jenis multi layer perceptron.. Lapisan

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, khususnya di Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar, dengan menggunakan metode kepustakaan