Mata Kuliah: Perekonomian Indonesia
“PEMBANGUNAN DAERAH DI INDONESIA: POLA DAN
MASALAHNYA”
Dosen Pengajar:
Anwar Abbas M.Ag
Disusun Oleh:
Suci Hanifa 1111046100021 Sabrina Fitria 1111046100103 Niswah Mutiah 1111046100113
PERBANKAN SYARIAH 6 C FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sebagian besar studi-studi tentang negara, dimensi pembangunan ekonomi daerah jarang mendapat perhatian secara serius. Kebanyakan kisah keberhasilan Asia Timur adalah cerita negara bangsa yang kecil, padat dan dalam dua kasus merupakan negara kota. Di negara-negara berpendapatan tinggi seperti Amerika dan Australia, perbedaan daerah (regional) tampak jelas. Meskipun demikian, integrasi perekonomian internal pada umumnya berkembang pesat karena fasilitas infrastruktur yang efisien, dan perbedaan pendapatan daerah dikurangi dengan mekanisme penyeimbangan fiskal yang telah berlangsung lama.
Akan tetapi di indonesia, seperti juga di negara-negara besar Dunia Ketiga seperti Brasil, Cina dan India, aspek daerah (region) selalu memperoleh perhatian besar. Tidak ada negara yang sedemikian beragamnya sebagaimana Indonesia dalam hal ekologi, demografi, ekonomi dan kebudayaan. Jelas tidak ada negara lain yang menyamai Indonesia dalam kedudukan geografisnya yang unik sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Moto bangsa Bhineka Tunggal Ika, yang secara bebas dapat diterjemahkan sebagai “Kesatuan dalam Perbedaan,” melambangkan arti penting dari kesatuan nasional sembari mengakui perbedaan kedaerahan. Persatuan nasional adalah komponen utama dari perjuangan kemerdekaan, dan ia diakui sebagai prioritas tertinggi oleh semua rezim sejak 1945.
pemerintahan dan pembangunan daerah di seluruh nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Sistem pemerintahan dan pembangunan daerah lama yang sangat sentralisir dan sangat didominasi oleh Pemerintah Pusat mulai ditinggalkan. Sedangkan Pemerintah Daerah diberikan wewenang dan sumber keuangan baru untuk mendorong proses pembangunan di daerahnya masing-masing yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan.
Sebelum melangkah lebih jauh membahas bagaimana Pembangunan Daerah di Indonesia yang dilaksanakan dengan dibentuknya Otonomi Daerah. Maka perlu diketahui pengertian dari Pembangunan daerah itu sendiri. Pembangunan Daerah merupakan suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku, baik umum, pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial ekonomi dan aspek lingkungan lainnya sehingga peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan.
Pembangunan Daerah ini memiliki tujuan yang baik tapi sejauh ini perjalanan Pembangunan daerah di Indonesia tidak terlalu berjalan dengan baik, masih banyak kekurangan dalam perkembangannya. Oleh karena itu Makalah ini akan membahas mengenai Pola Pembangunan Daerah beserta masalah yang dihadapinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Uraian Latar Belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana Pola Pembangunan Daerah di Indonesia?
2. Apa Permasalahan Pembangunan Daerah yang terjadi di Indonesia? 3. Apa solusi yang tepat untuk menanggulanginya?
4. Bagaimana langkah-langkahnya?
Tujuan dari Penelitian ini adalah teridentifikasinya Pola Pembangunan daerah beserta Masalahnya. Secara Rinci Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan Pola Pembanguan Daerah di Indonesia.
2. Menjelaskan Masalah Pembangunan Daerah yang terjadi di Indonesia. 3. Memberikan solusi terhadap masalah yang selama ini membayangi
pembangunan daerah di Indonesia.
4. Menawarkan langkah-langkah dalam menjalankan solusi pemecahan pembangunan daerah di Indonesia.
BAB II Pembahasan A. Pentingnya Pembangunan Daerah
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas 1,904,569 km2 . Dengan wilayah seluas itu, Indonesia mempunyai banyak daerah yang berpotensi dalam mengembangkan dirinya sendiri. Apalagi tiap daerah memiliki kekhasan dan ciri yang berbeda-beda. Jadi, tidak heran bila terdapat perbedaan distribusi APBD dan dana pemasukan dari tiap daerah.
Tapi bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa otonomi daerah dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan di Indonesia. Jika tiap daerah dapat mengembangkan potensi daerahnya masing-masing, maka hal tersebut akan menciptakan sebuah atmosfer yang baik dalam program pembangunan pemerintah pusat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pembangunan daerah merupakan salah satu langkah konkret guna melaksanakan pembangunan di Indonesia.
B. Teori-teori tentang Pembangunan Daerah
Terdapat beberapa teori yang menerangkan tentang pembangunan daerah, yakni :
a) Teori Ekonomi Klasik
Teori ini memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu: keseimbangan (equilibirium) dan mobilitas faktor produksi. Artinya, sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal bisa mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Oleh karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah.
b) Teori Basis Ekonomi
Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah hubungan langsung permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Model ini didasarkan pada permintaan eksternal, bukan internal sehingga akan timbul ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatan-kekuatan global.
c) Teori Lokasi
Para ekonom regional mengatakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan daerah adalah lokasi. Pernyataan tersebut masuk akal jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri,
“Jika mobilitas faktor produksi antar daerah tinggi, maka akan semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonominya.”
yaitu adanya kecenderungan dari suatu perusahaan untuk meminimumkan biaya-biayanya dengan cara memilih lokasi yang dapat memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar.
C. Pola Pembangunan Daerah
Gambar 1 : Indikator Pembangunan Daerah
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keberhasilan pembangunan daerah bisa dilihat dari beberapa indikator, di antaranya adalah produk domestik regional bruto (PDRB), konsumsi rumah tangga perkapita, human development index (HDI), kontribusi sektoral terhadap PDRB, tingkat kemiskinan dan struktur fiskal. Dengan melihat nilai dari keenam indikator tersebut dan membandingkannya dengan tiap daerah (dalam hal ini provinsi), kita dapat mengetahui mana daerah yang lebih maju pembangunannya.
a) Produk Domestik Bruto Perkapita (PDRB)
PDRB adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian di suatu daerah dalam suatu periode tertentu. Dengan melihat PDRB dari tiap provinsi, kita dapat mengetahui provinsi mana yang lebih produktif dilihat dari barang dan jasa yang dihasilkannya.
Perhitungan PDRB dapat menggunakan dua cara yaitu metode harga konstan dan metode harga berlaku. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan
“Jika lokasi suatu daerah semakin strategis (dekat dengan pasar lokal, pemukiman penduduk, dll), maka akan semakin tinggi pula tingkat pembangunan ekonominya.”
P
o
l
a
P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
D
a
e
r
a
h
P
o
l
a
P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
D
a
e
r
a
jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar penghitungannya. Karena menggunakan harga pada suatu tahun tertentu yang dinilai stabil, maka PDRB atas harga konstan dapat menghilangkan pengaruh inflasi.
Laju PDRB menggambarkan pertumbuhan PDRB dibandingkan dengan tahun sebelumnya (yoy). Semakin tinggi laju PDRB, semakin baik usaha suatu provinsi dalam menggali potensi daerah yang dimilikinya. Presentase distribusi menggambarkan kontribusi tiap provinsi terhadap PDB nasional (atas harga berlaku). Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi presentase distribusi yang dimiliki suatu provinsi, semakin tinggi pula kontribusinya dalam mendukung program pembagunan nasional melalui indikator PDRB.
Sementara itu PDRB perkapita adalah jumlah PDRB suatu daerah (dalam hal ini provinsi) dibagi dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. PDRB perkapita merupakan sub-indikator yang lebih tidak bias dibandingkan nilai PDRB, sebab bisa saja nilai PDRB suatu provinsi besar namun jumlah penduduknya juga banyak. Akan sulit menggunakan indikator tersebut untuk membandingkan tiap daerah dengan jumlah penduduk yang berbeda-beda. Namun sub-indikator ini tetap memiliki kelemahan yaitu tidak meratanya distribusi PDRB.
Provinsi
PDRB Harga Konstan
(2000) PDRB Harga Berlaku PDRB Perkapita PDRB PDRBLaju PDRB PresentaseDistribusi
Bangka Belitung
10 Kepulauan Riau 41076 7.19 71615 1.35 24462187 11 DKI Jakarta 395622 6.5 861992 16.28 41177224 12 Jawa Barat 322224 6.2 771594 14.57 7484229 13 Jawa Tengah 186993 5.84 444666 3.24 5774479 14 DI.Yogyakarta 21044 4.88 45626 8.4 6086494 15 Jawa Timur 342281 6.68 778564 0.86 9133154 16 Banten 88552 6.11 171748 14.7 8328688 17 Bali 28882 5.83 67194 1.27 7423234 18 Nusa Tenggara Barat 20073 6.35 49632 0.94 4460456
19 Nusa Tenggara Timur 12547 5.25 27746 0.52 2678792 20 Kalimantan Barat 30329 5.47 60542 1.14 6899253 21 Kalimantan Tengah 18806 6.5 42571 0.8 8501466
22 Kalimantan Selatan 30675 5.59 59823 1.13 8458298
23 Kalimantan Timur 110953 5.1 321764 6.08 31226719 24 Sulawesi Utara 18377 7.16 36809 0.7 8093469 25 Sulawesi Tengah 17624 8.74 37314 0.7 6688402 26 Sulawesi Selatan 51200 8.19 117862 2.23 6372299 27 Sulawesi Tenggara 11654 8.22 28377 0.54 5219955 28 Sulawesi Barat 4744 7.63 8057 0.15 4094416 29 Gorontalo 2917 6.03 10985 0.21 2804365 30 Maluku 4251 6.47 8085 0.15 2772079 31 Maluku Utara 3036 7.95 5390 0.1 2924610 32 Papua Barat 9361 28.47 26873 0.51 12310269 33 Papua 22400 -3.19 87733 1.66 7905749 Jumlah 33 Provinsi 2222987 6.14 5295074 100 9354378
Tabel 1 : PDRB tahun 2010 (Sumber : BPS, diolah)
harga konstan, dan Maluku Utara menggunakan metode harga berlaku. Artinya, inflasi di Maluku Utara sejak tahun 2000 lebih tinggi.
Gambar 2 di atas menunjukkan ketimpangan PDB antar negara bagian di Amerika Serikat. Sama halnya dengan Indonesia, negara besar seperti Amerika juga mengalami gap dalam pembangunan daerahnya. Negara-negara bagian seperti New York, Massachusetts, Connecticut, New Jersey, Delaware dan Wyoming memiliki PDB perkapita yang tinggi yaitu di atas lima puluh ribu dollar. Jauh berbeda dengan Montana, Arkansas , West Virginia dan Missisipi yang hanya menghasilkan GDP dua puluh lima ribu sampai tiga puluh ribu dollar.
Grafik 2 : PDB Harga Berlaku Negara-negara ASEAN pada 2012
Grafik 2 di atas memperlihatkan perbandingan PDB perkapita negara-negara ASEAN pada tahun 2012. Indonesia menempati urutan kelima (dengan pengecualian ASEAN5, ASEAN, dan BCLMV), jauh di bawah Singapura dan Brunei Darussalam yang melesat meninggalkan tetangga-tetangganya. Seperti yang kita ketahui, Singapura merupakan negara yang sudah sangat maju. Sedangkan Brunei kaya berkat sumber daya alamnya yakni minyak bumi dan gas alam.
Grafik 3 : Pertumbuhan GDP Negara-negara ASEAN Per Semester 2005-2013
Tabel 2 : Tingkat Pertumbuhan PDB ASEAN 2005-2012
Indeks Ketimpangan Ekonomi Regional (IKER) di Indonesia 1971-1998
Tahun IKER Tahun IKER
1971 0.396 1985 0.494
1972 0.406 1986 0.474
1973 0.415 1987 0.471
1974 0.483 1988 0.465
1975 0.462 1989 0.483
1976 0.415 1990 0.484
1977 0.396 1991 0.536
1978 0.429 1992 0.535
1979 0.417 1993 0.544
1980 0.425 1994 0.643
1981 0.445 1995 0.653
1982 0.438 1996 0.654
1983 0.498 1997 0.671
Semakin tinggi PDRB di suatu daerah (provinsi),
semakin tinggi pula tingkat pembangunan
ekonomi atau kesejahteraan masyarakatnya.
1984 0.515 1998 0.605
Tabel 3 : Indeks Ketimpangan Ekonomi Regional tahun 1971-1998 (dalam Tulus Tambunan)
IKER atau Indeks Ketimpangan Ekonomi Regional juga merupakan salah satu sub-indikator yang penting. Seperti yang bisa dilihat walaupun terkadang fluktuatif, dalam jangka panjang nilai IKER secara nasional cenderung meningkat yang berarti semakin besar ketimpangan ekonomi antar daerahnya.
b) Konsumsi Rumah Tangga Perkapita
Pengeluaran rata-rata per kapita adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan baik yang berasal dari pembelian, pemberian maupun produksi sendiri dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga dalam rumah tangga tersebut. Konsumsi rumah tangga dibedakan atas konsumsi makanan maupun bukan makanan tanpa memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan kepada pihak lain.
Semakin tinggi nilai IKER, semakin tinggi
tingkat ketimpangan ekonomi antar daerah
Tabel 4 : Presentase Pengeluaran rata-rata Perkapita untuk makanan dan bukan makanan tahun 2010-2011 (BPS, diolah)
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa DKI Jakarta adalah provinsi dengan presentase pengeluaran non-makanan tertinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa penduduk di DKI Jakarta sudah tidak lagi berfokus pada pengeluaran untuk makanan karena pendapatannya yang tinggi, tetapi mulai merambah pada sektor jasa seperti pariwisata, perumahan, sampai ke instrument investasi. Berbeda dengan daerah yang kurang maju atau yang pendapatannya masih rendah, mereka akan cenderung menghabiskan uangnya untuk membeli makanan. Contoh provinsi seperti ini adalah Papua.
Semakin tinggi presentase pengeluaran daerah terhadap konsumsi bukan makanan, semakin baik pula pembangunan
ekonomi atau kesejahteraan masyarakatnya.
Semakin tinggi presentase pengeluaran daerah terhadap konsumsi bukan makanan, semakin baik pula pembangunan
Gambar 3 : Konsumsi Daging Perkapita Dunia Tahun 2009 (Sumber : http://chartsbin.com)
Gambar 3 di atas memperlihatkan konsumsi daging perkapita pertahun dari tiap negara, termasuk Amerika dan negara-negara ASEAN. Amerika tercatat sebagai negara dengan konsumsi daging terbanyak, yaitu sebesar 120,2 kg/orang pertahun. Tidak mengherankan, mengingat statusnya sebagai sebuah negara adidaya. Namun bagaimana dengan Indonesia? Ternyata konsumsi daging pertahun perkapita Indonesia adalah yang paling rendah di kawasan Asia Tenggara, yakni sebesar 11,6 kg/orang pertahun. Hampir seperenam lebih kecil dari Brunei Darussalam yang merupakan negara ASEAN dengan konsumsi daging tertinggi, yaitu 67,5 kg/orang pertahun.
Setelah daging, kita akan menilik konsumsi susu perkapita dunia pada tahun 2007. Kali ini, Amerika tidak lagi menduduki peringkat pertama walaupun tingkat konsumsinya terbilang salah-satu yang tertinggi yakni sebesar 253,8 kg/tahun perkapita. Negara yang justru merajai kategori ini adalah Swedia dengan tingkat konsumsi sebesar 355,86 kg/tahun perkapita. Bagaimana dengan Indonesia? Rupanya posisi Indonesia terhadap negara-negara ASEAN dilihat dari tingkat konsumsi susu tidak seburuk bila dilihat dari tingkat konsumsi dagingnya. Karena di bawah Indonesia, masih ada Laos dan Kamboja yang tingkat konsumsi susu perkapitanya berturut-turut hanya sebesar 4,63 kg/orang pertahun dan 5,59 kg/orang pertahun. Sementara itu peringkat tertinggi di Asia Tenggara masih dipegang oleh Brunei Darussalam yaitu sebesar 129,11 kg/orang perkapita.
c) Human Development Index (HDI)
Mengutip isi Human Development Report (HDR) pertama tahun 1990, pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat; pengetahuan, dan kehidupan yang layak.
Gambar 5 : Diagram Perhitungan HDI (Sumber : BPS)
Human Development Index (HDI) by Province and National, 2011-2012
Provinsi 2011 2012 Provinsi 2011 2012
11. Aceh 72.16 72.51 -
12. Sumatera Utara 74.65 75.13 52. Nusa Tenggara Barat 66.23 66.89
13. Sumatera Barat
74.28 74.70
53. Nusa Tenggara
Timur 67.75 68.28 14. Riau 76.53 76.90 61. Kalimantan Barat 69.66 70.31
15. Jambi 73.3 73.78 62. Kalimantan Tengah 75.06 75.46
16. Sumatera Selatan 73.42 73.99 63. Kalimantan Selatan 70.44 71.08
17. Bengkulu 73.4 73.93 64. Kalimantan Timur 76.22 76.71
18. Lampung 71.94 72.45 71. Sulawesi Utara 76.54 76.95
19. Kepulauan Bangka
Belitung 73.37 73.78 72. Sulawesi Tengah 71.62 72.14
20. Kepulauan Riau 75.78 76.20 73. Sulawesi Selatan 72.14 72.70
31. DKI Jakarta 77.97 78.33 74. Sulawesi Tenggara 70.55 71.05
32. Jawa Barat 72.73 73.11 75. Gorontalo 70.82 71.31
35. Jawa Timur 72.18 72.83 82. Maluku Utara 69.47 69.98 36. Banten 70.95 71.49 91. Papua Barat 69.65 70.22
51. Bali 72.84 73.49 94. Papua 65.36 65.86
INDONESIA 72.77 73.29 INDONESIA 72.77 73.29
Tabel 5 : HDI tahun 2011-2012
Tabel 5 menunjukkan skor HDI untuk setiap provinsi. Seperti yang bisa dilihat, DKI Jakarta lagi-lagi keluar sebagai pemegang skor HDI tertinggi walaupun kali ini dispersinya tidak sebesar indikator-indikator sebelumnya. Sementara itu pemegang skor HDI terendah adalah Papua dengan nilai 65,86 pada 2012. Data di atas menunjukkan bahwa tingkat harapan hidup, angka melek huruf, dan pengeluaran riil perkapita di DKI Jakarta sudah lebih baik dibandingkan Papua.
Gambar 6 : HDI di Amerika Serikat Tahun 2005
Gambar 6 di atas menggambarkan HDI dari tiap daerah di Amerika Serikat. Negara bagian dengan skor HDI tertinggi dipegang oleh New York, California, dan Minnesota. Sementara itu Olakhoma, Arkansas, Lousiana dan negara-negara bagian di sekitarnya memiliki HDI paling rendah.
Tabel 6 : HDI Negara-negara ASEAN Tahun 2007
Singapura 0.944 23 Very High HumanDevelopment Brunei
Darussalam 0.92 30 Very High HumanDevelopment
Malaysia 0.829 66 DevelopmentHigh Human
Thailand 0.783 87 Medium HumanDevelopment
Filipina 0.751 105 Medium HumanDevelopment
Indonesia 0.734 111 Medium HumanDevelopment
Vietnam 0.725 116 Medium HumanDevelopment
Laos 0.619 133 Medium HumanDevelopment
Kamboja 0.593 137 Medium HumanDevelopment
Myanmar 0.586 138 Development Low Human Sumber :
http://suvisutrisno93.wordpress.com/2013/10/01/data-hdi/
Bagaimana posisi HDI Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya? Faktanya Indonesia menempati posisi kelima di antara supuluh negara ASEAN dengan kategori “Medium Human Development”. HDI tertinggi dipegang oleh Singapura dengan kategori “Very High Human Develompent” dan skor sebesar 0,944. Hal ini mencerminkan betapa baiknya pembangunan daerah yang ada di Singapura karena pembangunan daerah merupakan penopang terjadinya pembangunan nasional.
Gambar 7 : HDI Negara-negara di Dunia Tahun 2011 (Sumber : http://chartsbin.com )
d) Kontribusi Sektoral terhadap PDRB
Perbedaan tingkat pembangunan dapat juga dilihat dari perbedaan kontribusi sektoralnya dalam pembentukan PDRB. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa semakin besar peranan sektor ekonomi yang memiliki nilai tambah yang tinggi seperti industri manufaktur terhadap pembentukan PDRB di suatu wilayah, semakin tinggi pula pertumbuhan PDRB wilayah tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) membaginya menjadi sembilan sektor, yaitu sektor pertanian (1), sektor pertambangan dan penggalian (2), industri manufaktur (3), sektor listrik gas dan air (4), sektor konstruksi (5), sektor perdagangan hotel dan restoral (6), sektor transportasi dan komunikasi (7), sektor keuangan sektor penyewaan dan bisnis (8), serta jasa lainnya (9).
Tabel 7 : Distribusi Presentase PDRB menurut harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2010 (Sumber : BPS)
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa Banten adalah provinsi dengan kontribusi industri manufaktur tertinggi, disusul oleh Kepulauan Riau dan Papua Barat. Di Banten, terdapat kota yang cukup terkenal dengan kegiatan industrinya, yaitu Cilegon. Cilegon adalah daerah penghasil baja terbesar di Asia Tenggara dengan produksi sekitar 6 juta ton pertahunnya di kawasan industri Krakatau Steel.
Sementara itu Kepulauan Riau punya Batam yang merupakan salah satu daerah dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia. Hal tersebut wajar, mengingat letaknya yang strategis dan banyaknya inndustri berat dan ringan di sana. Di belahan timur ada Papua Barat dengan Kota Sorong-nya yang sudah lama dikenal sebagai “Kota Minyak” sejak Nederlands Nieuw-Guinea
Tabel 8 : PDRB Perkapita menurut migas dan non-migas tahun 2005 (Sumber : Indonesia Human Development Report, diolah)
Tabel 8 di atas membagi PDRB menjadi dua jenis yaitu PDRB yang menyertakan migas dan yang tidak. Provinsi-provinsi seperti NAD Aceh, Riau, serta Kalimantan Timur yang terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya (SDA) memiliki PDRB migas yang jauh lebih tinggi dibandingkan PDRB non-migasnya. Sejarah mencatat, Aceh adalah daerah dengan cadangan gas alam terbesar di dunia. Ia juga kaya akan minyak bumi. Sumber daya alam di Riau didominasi oleh gas alam, minyak bumi, serta perkebunan sawit yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sementara itu Kalimantan Timur adalah penghasil minyak bumi, gas alam dan batu bara.
Semakin besar peranan sektor ekonomi yang memiliki
nilai tambah seperti jasa dan industri manufaktur, semakin
tinggi pula pertumbuhan PDRB wilayah tersebut.
Semakin besar peranan sektor ekonomi yang memiliki
nilai tambah seperti jasa dan industri manufaktur, semakin
tinggi pula pertumbuhan PDRB wilayah tersebut.
Semakin jauh gap antara PDRB dengan harga berlaku
dan harga konstan, akan semakin tinggi pula
ketergantungan suatu daerah dengan sumber daya yang
ada.
Semakin jauh gap antara PDRB dengan harga berlaku
dan harga konstan, akan semakin tinggi pula
Gambar 8 : PDB Negara-negara di Dunia Berdasarkan Sektor Tahun 2010 (Sumber :
http://chartsbin.com )
Menurut CIA, berdasarkan sektornya PDB di Indonesia tersusun dari tiga sektor yakni 14,9 % dari sektor pertanian, 38,3% dari sektor jasa, dan 46,8% dari sektor industri. Minimnya sumbangan pertanian terhadap PDB secara nasional menandakan sudah tidak cocok lagi penyandangan gelar “Negara Agraris”. PDB Indonesia justru lebih banyak ditopang oleh sektor industri dan jasa (terutama industri). Hal tersebut menandakan sudah semakin majunya pembangunan di Indonesia bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun tetap saja masih belum bisa menyamai negara-negara maju seperti Amerika yang 76,7% PDB-nya berasal dari sektor jasa. Rata-rata PDB negara maju memang didominasi oleh sektor jasa kecuali China. Sektor industri dan sektor jasa di China hampir sama, yaitu sekitar 40%.
e) Tingkat Kemiskinan
Tingkat kemiskinan juga bagus digunakan sebagai indikator untuk mengukur pembangunan daerah. Untuk mengukur tingkat kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll)
Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Percentage of PP (%) atau adalah presentase penduduk yang berada di bawah kemiskinan. Semakin tinggi sub-indikator ini, semakin banyak pula penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Propinsi (2012)
Number of PP(000)
Percen tage of PP (%)
Garis Kemiskinan
(Rp)
P1 (%) P2 (%)
Kota+Desa Kota+
Aceh 876,6 18,58 321.893 3,07 0,83 Sumatera Utara 1.378,40 10,41 271.738 1,82 0,5 Sumatera Barat 397,9 8 292.052 1,24 0,31
Riau 481,3 8,05 310.603 1,13 0,25
Jambi 270,1 8,28 273.267 1,37 0,44
Sumatera Selatan 1.042,00 13.48 259.668 1,85 0,43 Bengkulu 310,5 17,51 283.252 3,05 0,8 Lampung 1.219,00 15,65 263.088 2,53 0,62 Kepulauan
Bangka Belitung 70,2 5,37 382.412 0,66 0,14 Kepulauan Riau 131,2 6,83 363.450 0,85 0,19 DKI Jakarta 366,8 3,7 392.571 0,56 0,15 Jawa Barat 4.421,50 9,89 242.104 1,62 0,42 Jawa Tengah 4.863,40 14,98 233.769 2,39 0,57 DI Yogyakarta 562,1 15,88 270.110 2,89 0,75 Jawa Timur 4.960,50 13,08 243.783 1,93 0,44
Banten 648,3 5,71 251.161 0,95 0,28
Bali 161 3,95 254.221 0,39 0,07
Nusa Tenggara
Barat 828,3 18,02 248.758 0,2 0,83
Nusa Tenggara
Timur 1.000,30 20,41 222.507 3,47 0,91 Kalimantan Barat 355,7 7,96 239.162 1,24 0,33 Kalimantan
Tengah 141,9 6,19 277.407 1,08 0,27
Kalimantan
selatan 189,2 5,01 269.714 0,76 0,17 Kalimantan
Timur 246,1 6,38 363.887 0,99 0,25
Sulawesi Utara 177,5 7,64 223.883 1,18 0,3 Sulawesi Tengah 409,6 14,94 266.718 2,82 0,82 Sulawesi Selatan 805,9 9,82 195.627 1,68 0,42 Sulawesi
Tenggara 304,3 13,06 203.333 1,92 0,49 Gorontalo 187,7 17,22 212.476 3,21 0,84 Sulawesi Barat 160,6 13,01 207.072 1,74 0,4 Maluku 338,9 20,76 295.904 4,38 1,31 Maluku Utara 88,3 8,06 250.184 0,85 0,14 Papua Barat 223,2 27,04 354.626 5,71 1,71
Papua 976,4 30,66 297.502 7,35 2,44
Indonesia 28.594,60 11,66 259.520 1,9 0,49
Bangka Belitung merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin paling sedikit, yaitu 70.200 sedangkan yang tertinggi dipegang oleh Jawa Timur dengan jumlah penduduk miskin sebesar 4.960.500. Jawa sebagai pusat kemiskinan di Indonesia erat kaitannya dengan tingkat kependudukan di Jawa, yang memang paling tinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain di tanah air. Tabel 8 di atas memperlihatkan setidaknya ada dua provinsi di Jawa yang memiliki jumlah penduduk miskin di atas 4000, yaitu Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Garis kemiskinan tiap provinsi tiap daerah berbeda-beda. Semakin maju suatu daerah, semakin tinggi pula garis kemiskinannya. Tabel di atas memperlihatkan bahwa DKI Jakarta adalah provinsi dengan garis kemiskinan tertinggi, sementara provinsi dengan garis kemiskinan terendah dipegang oleh Sulawesi Selatan. Hal tersebut masuk akal, mengingat status DKI Jakarta sebagai kota besar dengan gaya hidup yang tinggi.
Gambar 9 : Tingkat Kemiskinan Negara-negara di Dunia Tahun 2008 (Sumber :
http://chartsbin.com)
yang tinggi umumnya berasal dari Benua Afrika serta daerah-daerh yang berada di perbatasan Amerika Utara dan Amerika Selatan seperti Nigeria dan Honduras.
Menilik kawasan Asia Tenggara, beberapa negara sudah bisa dibilang berhasil dalam pembangunan daerahnya. Hal tersebut dicerminkan oleh presentase penduduk miskinnya yang berada di bawah 16%. Negara-negara yang masuk kategori ini adalah Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Laos memiliki 26% penduduk yang tergolong miskin. Sedangkan sisanya yaitu Myanmar, Filipina dan Kamboja masih memiliki presentase penduduk miskin di atas 30%. Sayangnya data Singapura dan Brunei Darussalam tidak tersedia di sini.
f) Struktur Fiskal antar Daerah 2014
Struktur fiskal antar daerah juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur pembangunan daerah, sebab struktur fiskal menggambarkan kesenjangan antar daerah. Secara garis besar, struktur fiskal dapat dikatakan terbagi menjadi dua yaitu pendapatan dan belanja. Pendapatan daerah sendiri terbagi lagi menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Sementara itu belanja daerah terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung.
Uraian
Pendapatan Belanja
PAD PerimbanganDana Lain-lain
Belanja Tidak Langsung
Belanja Langsung
Aceh 1,312,371 2,462,716 7,389,322 5,876,207 7,491,821 Sumatera
Utara 4,944,502 1,906,486 1,637,656 5,706,320 2,819,981 Sumatera
Barat 1,568,557 1,359,925 568,815 1,830,142 1,778,747 Riau 2,840,011 3,638,492 648,147 3,745,617 4,531,135 Jambi 973,070 1,631,448 377,473 1,423,219 1,842,111 Sumatera
Selatan 2,482,129 3,841,412 813,335 4,273,129 2,228,143 Bengkulu 532,938 1,074,577 198,001 867,946 1,028,686 Lampung 2,005,246 1,471,956 821,506 2,101,432 2,216,773 DKI Jakarta 39,559,415 17,770,000 7,386,320 15,876,622 49,006,125
Terdapat korelasi positif antara
population density
dengan
tingkat kemiskinan. Semakin tinggi jumlah penduduk per
km2, semakin sempit lahan untuk dibuat ladang atau
pabrik, yang berarti semakin kecil kesempatan kerja dan
Jawa Barat 13,037,556 2,820,258 4,050,158 17,276,335 3,918,030 Jawa Tengah 8,347,875 2,606,901 2,782,382 9,837,615 4,159,543 DI Yogyakarta 1,233,739 1,038,621 827,838 1,547,087 1,782,982 Jawa Timur 11,103,565 3,459,731 2,830,482 11,769,244 6,041,891 Kalimantan
Barat 1,656,665 1,511,410 561,822 2,088,596 1,666,301 Kalimantan
Tengah 1,244,421 1,516,384 281,102 1,520,005 1,698,902 Kalimantan
Selatan 2,975,594 1,374,101 351,632 2,513,515 2,752,811 Kalimantan
Timur 5,519,834 6,186,052 424,113 6,872,728 6,932,272 Sulawesi
Utara 944,590 1,109,528 275,218 1,327,670 1,124,948 Sulawesi
Tengah 769,714 1,237,628 372,305 1,172,862 1,267,622 Sulawesi
Selatan 3,107,045 1,575,062 911,826 3,620,254 2,219,123 Sulawesi
Tenggara 529,176 1,212,197 314,274 1,189,772 996,399 Bali 2,303,812 1,065,533 588,828 3,062,434 1,427,233 NTB 1,144,588 1,215,276 503,691 1,699,164 1,135,040 NTT 695,416 1,290,418 735,139 1,756,409 981,652 Maluku 439,589 1,180,985 219,128 925,436 981,197 Papua 762,151 2,604,848 7,122,111 6,783,512 4,421,567 Maluku Utara 204,901 1,119,302 295,451 609,315 957,838 Banten 4,675,126 1,151,027 1,051,919 4,022,623 3,326,779 Bangka
Belitung 494,204 1,126,643 134,613 970,282 1,045,577 Gorontalo 274,275 801,586 127,221 597,770 696,888 Kepulauan
Riau 875,913 1,871,269 223,506 1,236,068 2,223,932 Papua Barat 203,783 2,393,669 2,672,864 3,223,824 2,646,386 Sulawesi Barat 215,353 849,335 161,486 528,903 776,337 Kalimantan
Utara 1,146,569 552,981 770,385 1,129,165
Tabel 10 : Struktur Fiskal tahun 2014 ( Sumber : DJPK, diolah)
adalah untuk membuka lapangan kerja lebih banyak, sehingga jumlah pengangguran dapat berkurang.
D. Masalah Pembangunan Daerah, Solusi, dan Langkah-langkahnya
Dalam perkembangannya, pembangunan daerah tidak luput dari berbagai masalah. Masalah tersebut semakin kontras bila kita membandingkan antara masa pra-otonomi dan pasca-otonomi. Mengapa otonomi daerah yang tujuannya baik yaitu memberikan kekuasaan pada tiap daerah untuk mengurus dirinya masing-masing justru malah menimbulkan masalah bagi beberapa daerah baik provinsi, kota ataupun kabupaten? Jawabannya adalah karena tidak semua daerah siap dalam menerima tanggung jawab tersebut. Sementara itu daerah-daerah yang sejak awal terlihat memiliki potensi yang tinggi untuk semakin maju setelah otonomi daerah dicanangkan semakin meninggalkan daerah yang tidak siap tadi jauh di belakang. Secara sistematis, kami membagi masalah pembangunan daerah menjadi empat (lihat Gambar 3 di bawah).
Gambar 10 : Masalah Pembangunan Daerah
Semakin tinggi penerimaan suatu daerah,
semakin tinggi pula tingkat pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.
a) Ketimpangan antar Daerah
Ketimpangan daerah merupakan masalah utama dalam pembangunan daerah. Sudah banyak studi mengenai hal ini beserta faktor-faktor penyebabnya. Dari beberapa studi tersebut, kami mengelompokkan empat lima penyebab, yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, alokasi investasi yang tidak merata, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah, perbedaan seumber daya alam (SDA) antarprovinsi, dan perbedaan kondisi demografis antarwilayah. Kelima faktor tersebut akan kami jabarkan satu persatu.
(a) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang terlalu tinggi di suatu daerah tertentu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antardaerah. ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesar sedangkan daerah yang tingkat konsentrasi ekonominya rendah akan cederung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Tabel 11 : Jumlah Industri Pengolahan Besar dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa
Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah industri pengolahan besar dan sedang baik Jawa maupun Luar Jawa dalam jangka panjang cenderung menurun. Namun hal lain yang lebih
penting untuk diperhatikan adalah gap jumlah industri yang sangat tinggi antara Jawa dan Luar Jawa. Data ini merupakan bukti bahwa kegiatan ekonomi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Solusi :
- Mulai berikan perhatian lebih pada daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi (terutama di luar Jawa).
Langkah-langkah :
- Memperluas pasar lokal yang ada di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi.
Keberadaan pasar menunjukkan kehidupan kegiatan ekonomi suatu daerah. Karena itu perluasan pasar di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi saat ini akan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah tersebut.
- Peningkatan infrastruktur di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi.
Infrastruktur yang buruk seperti jalan-jalan yang rusak, sarana komunikasi yang tidak menjangkau,dan fasilitas lain seperti pasokan air, listrik, rumah sakit, dan lain-lain akan membuat suatu daerah kurang menarik di mata investor. Hal tersebut pula yang menyebabkan kurang terkonsentrasinya suatu daerah.
- Peningkatan SDM.
Peningkatan SDM di daerah setempat juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan konsentrasi kegiatan ekonomi suatu daerah. SDM yang andal akan memberikan idea tau gagasan yang dapat mengakselerasi terjadinya pembangunan daerah yang baik.
(b) Alokasi Investasi yang Tidak Merata
Indikator lain yang juga menunjukkan ketimpangan antardaerah adalah alokasi investasi yang tidak merata. Sub-indikator yang digunakan adalah Penanaman Modal Dalam Negri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah.
Teori Harrod Domar : , terdapat korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya semakin tinggi investasi di suatu wilayah,
Tabel 13 : Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Menurut Lokasi
kesenjangan konsentrasi yang tinggi dengan daerah lainnya. Sementara itu Maluku tercatat sebagai provinsi yang paling jarang dijadikan tempat investor menanam dananya.
Solusi :
- Memperluas investasi ke daerah-daerah yang belum terjamah.
Langkah-langkah :
- Promosi yang gencar untuk menarik investor di berbagai event dan workshop.
- Birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit.
- Adanya pemberian jaminan keamanan untuk investor.
(c) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi Antardaerah yang Rendah
Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan capital antarpropinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan dan pertumbuhan antarpropinsi dapat lebih jelas dipahami dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Dasar teorinya adalah sebagai berikut, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antarpropinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan perkapita antar propinsi sejak perbedaan tersebut, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas (tanpa distorsi atau rekayasa).
Sesuai teori dari A. Lewis, yang dikenal dengan unlimited supply of labor, jika perpindahan faktor produksi antardaerah tidak ada hambatan, maka pada akhirnya pembangunan ekonomi yang optimal antardaerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik .
Teori Unlimited Supply of Labor by A. Lewis : Jika perpindahan faktor produksi antardaerah tidak mengalami hambatan, maka pada akhirnya pembangunan
Tempat lahir
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi LainnyaPulau 1990 2000 1990 2000 1990 2000 1990 2000 1990 2000 1.
Sumater
a na na 66.49 68.8 4.26 4.74 5.16 5.53 5.19 5.17
2. Jawa 95.25 93.79 Na na 74.66 72.05
59.6 5 51.6 3 61.9 70.0 2 3. Kalimant
an 0.63 0.69 12.31 10.15 na na 3.41 3.44 1.35 1.75 4.
Sulawesi 2.5 3.2 11.04 9.38 16.84 17.49 na na
31.5 6
23.0 5 5. Pulau
lainnya 1.62 2.33 10.16 11.68 4.24 5.72 31.78 39.41 na na 6. Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 7. Migran
masuk 3,699,393 3,588,945 1,608,136 2,267,873 1,127,938 1,644,690 528,629 653,389 601,103 703,673 Tabel 14 : Persentase Migran Masuk Seumur Hidup menurut Pulau Tempat Lahir dan Pulau
Tempat Tinggal Sekarang Tahun 1990 dan 2000 (Sumber : http://www.datastatistik-indonesia.com/, diolah)
Solusi :
- Mendorong kelancaran mobilitas faktor produksi antardaerah.
Langkah-langkah :
- Pembangunan sarana dan prasarana perhubungan ke seluruh pelosok wilayah.
- Pengembangan sarana komunikasi agar tidak ada daerah yang terisolasi.
- Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan (faktor produksi tenaga kerja).
(d) Perbedaan SDA Antarpropinsi
yang miskin SDA. Tetapi, tingkat pendapatan di propinsi-propinsi kaya tersebut tidak lebih tinggi dibandingkan di Jawa yang relative kaya SDM dan teknologi.
Jadi, dengan semakin pentingnya penguasaan teknologi dan peningkatan SDM, factor endowments lambat laun akan tidak relevan lagi. Bukti menunjukkan bahwa negara-negara maju di Asia tenggara dan Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura adalah negara-negara yang sangat miskin SDA. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa faktor-faktor di luar SDA jauh lebih penting dibandingkan SDA dalam menentukan maju tidaknya pembangunan ekonomi di suatu wilayah.
Gambar 11 : Peta Persebaran Migas di Indonesia
Gambar 11 di atas memperlihatkan persebaran berbagai sumber daya alam (berupa pertambangan) di Indonesia. Daerah seperti Arun di Aceh yang kaya akan gas alam, Bontang di Kalimantan Timur yang kaya akan minyak bumi dan batu bara, dan Sorong di Papua yang kaya akan minyak bumi adalah beberapa bukti dari teori fisiokratis.
Solusi :
- Pengembangan potensi daerah selain SDA, terutama di wilayah-wilayah yang miskin SDA.
Langkah-langkah :
- Kenali lebih dalam semua potensi selain SDA yang dimiliki.
- Penguasaan teknologi dan sumber daya manusia. Peningkatan kedua hal ini sangat membantu dalam mengembangkan potensi yang ada.
(e) Perbedaan Kondisi Demografis Antarwilayah
Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis antarpropinsi. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan antar penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi.
Teori: Kondisi demografi seperti jumlah penduduk yang besar merupakan potensi yang besar pula bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor
Tabel 15 : Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia (Sumber : Profil Kesehatan Indonesia)
Tabel 16 : Rasio SDM Kesehatan (Sumber : Profil Kesehatan Indonesia, 2011)
Tabel 17 : Kepadatan Penduduk
Tabel 17 menunjukkan tingkat kepadatan penduduk dengan cara menghitung populasi suatu provinsi dibagi dengan luas wilayahnya. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, tingkat permintaan akan barang dan jasa juga akan meninggi. Hal tersebut pada akhirnya akan disusul oleh peningkatan pembangunan daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat. DKI Jakarta adalah provinsi dengan tingkat kepadatan tertinggi. Populasi yang membludak dan luas wilayah yang sempit adalah beberapa dari penyebabnya. Berlawanan dengan itu, Papua Barat yang memiliki wilayah yang amat luas dan penduduk sedikit tercatat sebagai provinsi dengan tingkat kepadatan terendah.
Langkah-langkah :
- Mendorong program transmigrasi.
- Pembangunan rumah sakit khusus orang miskin, dll.
b) Kelemahan Kinerja Aparat Daerah
Gambar 12 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Kinerja Aparat Daerah
44.55%
25.45% 22.73%
2.73%
0.91% 3.64%
Grafik 4 : Komposisi Belanja Kabupaten TA 2013
Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal Belanja Bansos dan Hibah
Transfer
Belanja Lainnya
Fenomena
Terjadi Pemerintah Dana
Penyebab
Pembukukan Penerimaan Banyak
Cara
49.00%
21.00%
26.00% 3.00% 1.00%
Grafik 5 : Komposisi Belanja Kota TA 2013
Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal Belanja Bansos dan Hibah
Transfer
Belanja Lainnya
Grafik 4 dan Grafik 5 di atas menggambarkan belanja pegawai yang sangat besar untuk kota dan kabupaten, yaitu di atas 40%. Jauh lebih besar daripada belanja lainnya. Hal tersebut mengindikasikan jeleknya kinerja aparat daerah. Alangkah baiknya bila dana yang terlalu besar untuk belanja pegawai tersebut dialokasikan untuk peningkatan layanan masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan defisitnya APBN karena utang pemerintah daerah yang seharusnya bisa digunakan untuk menutupi defisit tidak dibayar. Perbandingan pendapatan dan belanja nasional bisa dilihat pada Grafik 6.
c) Fenomena Desentralisasi Korupsi
Gambar 13 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Desentralisasi Korupsi
Tabel 18 : Data Penyerahan Gratifikasi ke Kas Negara
Tabel 18 di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota merupakan instansi yang melakukan penyerahan gratifikasi terbesar. Artinya, kasus gratifikasi yang berhasil dibongkar oleh KPK paling banyak adalah pemerintah daerah. Data ini memperkuat anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa fenomena korupsi setelah era otonomi justru semakin marak.
d) Politisasi Ekonomi Daerah : Pemekaran Daerah yang Berlebihan
Fenomena
Tingkat
Penyebab
Sebelum
Cara
Gambar 14 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Pemekaran Daerah yang Berlebihan
Grafik 7 : Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Otonomi Baru
Grafik 7 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah yang melepaskan diri (DOB) anjlok jauh di bawah daerah mekarnya. Grafik tersebut memperkuat anggapan bahwa daerah yang
Fenomena
Terjadi Negara Daerah yang
Penyebab
Persyaratan Banyak Terjadi Cara
melepaskan diri akan cenderung mengalami penurunan dari segala aspek, termasuk pertumbuhan ekonomi, PDRB Perkapita, tingkat kemiskinan, dan indikator lainnya.
BAB III Kesimpulan
Pembangunan daerah merupakan salah satu langkah konkret guna melaksanakan pembangunan di Indonesia.
Pola pembangunan daerah dapat dilihat dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu :
a) PDRB;
b) Konsumsi rumah tangga perkapita;
c) HDI;
d) Kontribusi Sektoral terhadap PDRB;
e) Tingkat Kemiskinan;
f) Struktur Fiskal.
Masalah yang biasanya membayangi pembangunan daerah adalah :
a) Ketimpangan pembangunan antardaerah;
b) Kelemahan kinerja aparat daerah;
c) Fenomena desentralisasi korupsi;
d) Pemekaran daerah yang berlebihan.
Terdapat solusi dan langkah-langkah untuk mengatasi masalah tersebut, namun diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Faisal dan Munandar, Haris. 2009. Lanskap Perekonomian Indonesia : Kajian dan
Renungan terhadap Masalah-masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Jakarta : Penerbit Kencana.
Tambunan, Tulus. 2001. Transformasi Ekonomi di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.
Hill, Hall. 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia. Yogyakarta : Tiara Wacana Jogja.
http://bps.go.id/
http://chartsbin.com/
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/
http://www.kpk.go.id/id/