• Tidak ada hasil yang ditemukan

1965 dan Masa Depan Hukum Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1965 dan Masa Depan Hukum Indonesia"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1965 dan Masa Depan Hukum di Indonesia

Oleh : Prof. Dr. Suteki, SH., M.Hum dan Rian Adhivira, SH.1

Abstrak

Peristiwa 1965 adalah sebuah penanda, tentang berakhirnya jargon-jargon revolusi dan dimulainya era pembangunan. Akan tetapi proyek raksasa yang disebut sebagai pembangunan itu terlalu mahal harganya; pencekalan atas kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, teror, pembunuhan, dan yang paling mengerikan adalah legitimasinya atas pembantaian 3.000.000 orang di tahun 1965-68 yang disertai dengan pemenjaraan terhadap 1.500.000 orang lainya. Jumlah tersebut belum termasuk keluarga yang ditinggalkan, perkosaan massal, kerja paksa, dan lain sebagainya, yang merubah seluruh tatanan politik Indonesia pada masa itu. Peristiwa 1965 dengan demikian, adalah titik pijak legitimasi atas berdirinya rezim represif otoritarian selama 32 tahun lamanya.

Tulisan ini hendak memberikan refleksi atas kejadian 1965 dan sumbangsihnya dalam pemikiran hukum. Apakah hukum itu dan untuk siapa dia ada? Satjipto sempat menyatakan bahwa hukum untuk manusia, tapi masalahnya, manusia macam apa? Konsekuensinya, berkaca dari peristiwa 1965, terdapat dua golongan: mereka yang memiliki hak untuk memiliki hak, dan mereka yang tidak memiliki hak untuk memiliki hak. Pada titik inilah tragedi 1965 menjadi tidak mungkin dilewatkan untuk masa depan hukum Indonesia, bahwa tidak mungkin membangun Hukum Indonesia dengan melupakan nyawa jutaan orang yang bisa dan boleh dihilangkan atas nama kebenaran rezim. Apa yang dipertaruhkan bukan hanya tseks yang berisi aturan, melainkan wajah dengan segala kisahnya.

I

1965 adalah anomie bagi sistem hukum Indonesia. Berdasarkan peristiwa tersebut, tata hukum menjadi tidak lagi berlaku, yang berlaku, sebagaimana dikatakan oleh Schmitt, adalah keputusan kongkrit (Schmitt, 2005:1). Keputusan tersebut diambil melalui peneguhan kedaulatan, melalui distingsi antara kawan-lawan (Schmitt, 2007:26,27). Distingsi tersebut menimbulkan satu konsekuensi, yaitu melalui status manusia seseorang dalam keberanggotaan dalam komunitas politiknya. Tanpa adanya keberanggotaan dalam satu komunitas politik, maka seseorang tidak mempunyai apa yang disebut sebagai hak untuk memiliki hak-hak. Dalam terminologi Agamben, distingsi tersebut merupakan pembagian atas zona hidup seseorang, apakah dia termasuk dalam bios atau zoe (Agamben, 1998:1). Zona kehidupan yang pertama adalah hidup yang penuh, yaitu hidup dalam ranah ke-publik-an sedangkan zona hidup yang kedua adalah zona hidup dalam

1 Suteki adalah Guru Besar Hukum & Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang. Rian Adhivira adalah

(2)

artian biologi, yaitu hidup yang semata-mata privat, hidup untuk bertahan hidup pada keesokan harinya. Anomie hukum tersebut, adalah akhir sekaligus genesis dari hukum.

Sebagaimana telah diketahui, pasca 1965, Pancasila sebagai batas komunitas politik dibaca dengan cara yang sama sekali berbeda. Akan tetapi yang paling menyakitkan dari peristiwa 1965 sesungguhnya bukan pada malam 1 Oktober itu, melainkan kekerasan yang terjadi setelahnya. Atas dalih malam 1 Oktober dimana beberapa jenderal terbunuh, aksi pembalasan dilakukan secara meluas dan sistematis,2 yang ditujukan kepada tertuduh golongan kiri. Upaya Soekarno untuk meredam kerusuhan dengan mengadakan Mahmillub, memberlakukan larangan berkumpul, tidak banyak membantu. Tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali melalui pidato-pidatonya sepanjang akhir 65 hingga Pelengkap Nawaksara, upayanya dalam menolak pembubaran PKI, penghentian pembunuhan, dan klarifikasi bahwa tidak ada jenderal yang dicongkel mata dan penyayatan penisnya berakhir sia-sia. Jargon-jargon Nasakom, Manipol-Usdek, Panca-Azimat, beserta mimpi-mimpi revolusi sudah tidak lagi memiliki banyak arti, bersamaan dengan digulungnya para pengikut utamanya: PKI. Terlebih semenjak Maret 1966, kekuasaan secara de facto praktis sudah berpindah kepada Soeharto. Apabila malam 1 Oktober adalah legitimasi politik, maka TAP XXV/MPRS/1966 adalah dasar legalitas dari segala bentuk diskriminasi yang dianggap kiri.

Golongan kiri dipukul, setelah pembunuhan yang menurut Sarwo Edhie telah sukses mengambil sebanyak 3 juta orang, tahun 1969, lebih dari 1,5 juta orang menjalani pembuangan (Kammen & McGregor, 2012;9), yang paling terkenal diantara semuanya adalah Pulau Buru. Tidak pernah ada pengadilan terhadap tuduhan tersebut, juga tidak pernah ada kejelasan hingga kapan para tahanan tersebut menjalani masa pembuanganya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh negara melalui militer –khususnya angkatan darat- maupun secara horizontal, dari lembaga negara, Komnas HAM dan Komnas Perempuan telah melakukan penelitian maupun penyelidikan terhadap kekerasan yang terjadi, penelitian secara swadaya juga telah banyak menunjukkan hal yang kurang lebih sama.

Secara singkat, menjadi kiri pada tahun-tahun pasca 1965 adalah permasalahan bertahan hidup, yang apesnya, tidak hanya menimpa orang per orang secara begitu saja, melainkan juga anak-turunanya baik PKI, organisasi underbouw, maupun mereka yang secara serampangan dituduhkan begitu saja. Apa yang tersisa dari malam-malam penuh kengerian tersebut adalah PKI itu jahat, dan Gerwani, adalah iblis perempuan yang memakai kemben, menari telanjang, mencongkeli mata dan menyayat penis para jenderal. Berulang-ulang, memori tersebut diteguhkan dengan peringatan hari kesaktian dan pemutaran film Pengkhianatan G30S.

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa rezim Soeharto adalah peneguhan atas keadaan kekecualian (state of exception), dimana atas dasar pemulihan ketertiban melalui tindakan yang

(3)

dianggap perlu,3 kewenangan kekuasaan negara bertambah kuat dibarengi dengan pembatasan hak warganegara. Situasi ini tidak lagi memerlukan fakta, karena kebenaran yang ada adalah melalui peneguhan itu sendiri. Sebagai contoh, Soeharto, yang telah menerima hasil visum et

repertum para dokter dari pembunuhan para jenderal membiarkan gambaran penis disayat dan

mata dicongkel menyebarluas dalam media massa yang kala itu berada dalam kontrol angkatan darat (Roosa, 2008:9).4 Meminjam istilah Ariel Heryanto, masyarakat Orde Baru adalah masyarakat simulakra, dari penanda-penanda absurd yang kebenaranya disahihkan oleh kekuatan militer (Heryanto, 2006: 112). Padahal, persis dari gambaran tersebutlah, basis legitimasi dari kekerasan yang terjadi dibanyak tempat, bahwa gerwani adalah kelompok wanita amoral yang hobinya menyayat penis.

Angka-angka adalah masalah statistik. Apa yang tidak bisa disingkirkan adalah pengalaman personal mengenai kisah-kisah pribadi dari rasa rindu maupun kehilangan. Tulisan ini tampaknya tidak bisa menghindar dari godaan untuk menampilkan beberapa kisah tersebut. Pengalaman penyiksaan dialami selama menjadi tahanan politik oleh Pak ES, dari kota K, tentu saja tanpa pengadilan dan kejelasan kapan akan bebas:

Setelah saya ditangkap, saya dimasukkan ke sel. Harusnya ruangan itu hanya sepuluh orang, tapi diisi seratus orang, sehingga tidak bisa duduk selonjor, semua duduk jongkok. Orang yang merasa kehilangan hak-haknya pasti terasa sangat sengsara. Makan hanya paling banyak delapan sendok. Pertama saya ditangkap di gedung z di Kota K, saya ditangkap 17 Oktober 1965, dan datang untuk membebaskan teman saya yang semenjak saya datang langsung boleh pulang.

Datang disitu digebuki tanpa dikasih makan dan hanya makan dari kiriman rumah. Kita makan dari kiriman makan rekan tahanan yang dibagi ramai-ramai. Minum dan makan adalah dari kiriman rumah, tidak disediakan. Hal inilah yang banyak mematahkan semangat orang-orang. Setiap hari banyak orang yang mati, umpamanya Pak Lurah x, dihajar, kemudian mati, dan orang-orang lihat itu bagaimana dia mati. Orang yang dianggap tokoh setiap jam 11 sampai jam 1 dipanggil, dihajar, diroyok, sambil mengucap

Allahu Akbar. Saya bingung, ngapain menghajar orang sambil mengucap Allahu Akbar?

Salah kita apa? Apakah kami pernah membunuh santri? Apakah saya pernah membunuh santri? Lha wong saya pulang kesini saja belum tentu sebulan sekali karena dari SMP

3 Salah satu Frasa dalam Surat Perintah Sebelas Maret 1966, selengkapnya:

1. Mengambil segala tindakan jang danggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpnan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran pemimpin Besar Revolusi. 2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain

dengan sebaik-baiknja.

3. Supaya melaporkan segala sesatu jang bersangkutan-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnya seperti disebutkan diatas.

4 Berdasarkan hasil penelitian Weiringa, para perempuan yang memberikan pengakuan adalah hasil dari

(4)

hingga kuliah saya di luar kota. Pertanyaan itu tidak masuk akal, dimana menyimpan senjata? Dimana siletnya? Katanya mau membunuh para kyai? Lha boro-boro punya senjata! Kalau tidak jawab terus digebuki. Kata mereka orang komunis akan membunuh orang-orang beragama, tapi lihat dong, nyatanya, siapa yang dibunuh?5

Pengalaman lain adalah tentang rasa hilang anggota keluarga, dimana sang ibu adalah anggota Gerwani dan ayahnya adalah pegiat organisasi. Sang ibu kembali namun tidak dengan ayahnya. Semasa remaja, dirinya kerap dijenggung dan dikatak dasar anak PKI! Dasar anak gerwani! Dengan sang ibu sebagai Gerwani, sementara disekolah maupun melalui film Pengkhianatan G30S PKI digambarkan sebagai sosok amoral.

Ucapan dasar anak PKI dan dasar anak Gerwani itu saya terima sebagai kalimat makian yang mengganggu saya. Saya melawan, semakin besar, saya melawan secara fisik, dengan berkelahi. Pada titik tertentu saya bertanya, apakah arti ucapan itu? Jenggungan kepala pada saya itu dilakukan tidak hanya oleh orang lain, tapi juga oleh keluarga, kami diasingkan tanpa tahu apa kesalahan kami. Saya bertanya pada ibu saya, tapi tidak mendapat jawaban dari ibu saya yang kemudian membuat saya mencari sendiri, apa arti dari semua itu. Kelamaan saya jadi tahu bahwa PKI itu adalah hal itu, dan Gerwani adalah itu, dan saya bertanya betulkah ayah ibu saya adalah anggota organisasi macam itu. Suatu ketika saya malu betul, pada ibu saya, dianggap dan diperlakukan sebagai perempuan Gerwani, yang dalam film Pengkhianatan G30S PKI itu adalah kelompok perempuan yang tidak bermoral. Gambaran yang sama juga saya peroleh dari pelajaran sejarah di sekolah, sampai SMA, yang membuat saya jijik terhadap ibu saya. Inilah yang membuat saya melawan terhadap ibu saya, segala ucapan, perintah, dan larangan dari ibu saya adalah omong kosong. (…)

Sampai hari ini saya belum bisa menjawab kepada anak-anak saya, kenapa setiap kali lebaran, setiap kali berziarah, anak-anak saya tidak pernah saya ajak ke makam bapak saya. Bagaimana saya mau mengajak? Pusara bapak saya pun saya tidak tahu. Saya belum bisa menjawab, karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana respon anak saya kalau saya mengatakan bahwa kakek kamu dibunuh, saya yakin mereka akan kembali bertanya, siapa yang membunuh, kapan, dan kenapa kakek dibunuh? Pertanyaan yang sampai hari ini juga saya sendiri belum bisa temukan jawabnya.6

Masalah-masalah diatas menunjukkan bagaimana hidup selama dan setelah 1965, bahwa permasalahan kekerasan yang terjadi pada masa itu tidak hanya permasalahan struktur, namun juga personal. Kisah yang seolah sederhana seperti kenapa saya ditangkap, maupun dimana

kubur bapak, bagaimana menjelaskan pada anak, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari

urgensi atas pentingnya penyelesaian mengenai 1965. Momentum peneguhan kedaulatan diataslah yang kemudian yang menentukan apakah seseorang masuk atau dicoret dari komunitas politiknya. Akibatnya jelas, mereka yang tidak termasuk dalam komunitas politik boleh dibunuh beserta impunitas atas pembunuhan tersebut. Semenjak 1965, praktis kehidupan berubah, sudah tidak ada lagi Nas, A maupun Kom, politik massa pada massa demokrasi terpimpin digantikan

(5)

dengan depolitisasi massa yang berujung pada asas tunggal yang puncaknya dikukuhkan melalui TAP II/MPR/1978 dan UU 3/1985. 7 Atau dengan kata lain, Indonesia pada masa Orde Baru tidak berbeda dari TMII, merangkum Sabang hingga Merakuke melalui tafsir tunggal dan pendekatan represif terhadap oposisi. Merubah jargon politik sebagai panglima menjadi pembangunan. Semenjak 1965, 1 Oktober menjadi semacam hari peringatan atas kekecualian tersebut, dan secara berulang menegaskan distingsi kawan-lawan, bahwa PKI adalah lawan yang harus dibasmi atas potensialitas laten-nya. Pancasila menjadi dalih, setiap gerak oposisi politik dengan segera dikategorikan sebagai tidak Pancasilais, dan dapat sewaktu-waktu dikenakan tuduhan subversif.8 Tanah dapat dirampas dengan menggunakan dalih fungsi sosial hak atas tanah, terhadap perlawanan mudah saja, tuduhkan pada mereka kalau mereka itu komunis ditambah dengan teror dari militer (Yusriadi,2009, Pompe, 2012: 217-222).9 1 Oktober 1965 beserta dengan tindakan kekerasan setelahnya menjadi basis legitimasi dari rezim otoritarian Orde Baru. Dengan kata lain, rezim Orde Baru berdiri diatas darah dengan Pancasila yang diteguhkan sebagai pembatas komunitas, dan musuh yang terus ditegaskan.

II

Inilah yang membuat posisi masa depan hukum menjadi menarik. Keadilan dan Hukum berasal memiliki kedekatan semantik, yaitu dikaion yang berarti hak atau hukum, dan dikaiosyne yang berarti adil (Douzinas, 2000;47). Hukum berdasarkan pengertian yang demikian adalah berdekatan dengan adil dan bersinonim dengan hak. Hukum adalah hak, karena hanya melalui hukum hak-hak dapat dijaminkan. Pada satu pihak, universalitas HAM yang mewarisi corak hukum kodrat menanggap bahwa hak adalah melekat pada setiap manusia, akan tetapi pada sisi yang lain, hak-hak tersebut sesungguhnya bergantung pada komunitas politik tertentu.10 Douzinas menggambarkan relasi keberanggotaan komunitas politik tersebut layaknya ketergantungan anak terhadap orang tuanya (Douzinas, 2007:96). Hak dijaminkan melalui

7Termasuk implementasi P4 dalam bentuk pelatihan kepada seluruh siswa dan pegawai negeri sipil. Pelatihan

semacam ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dari apa yang diterapkan Soekano melalui slogan Manipol-Usdek yang juga wajib diikuti oleh seluruh siswa hingga pegawai negeri sipil. Kesamaan lain adalah penggunaanya untuk melawan musuh politik. Meski memiliki kesamaan, namun yang menjadi ciri khas dari P4 adalah rujukanya pada peran militer sebagai bagian dari pembangunan. Ciri utama tersebut menjadi pembeda karena dalam Manipol-Usdek, Pancasila dipergunakan untuk memobliisasi secara dinamis lawan-lawan negara (nekolim). Sementara pada P4 adalah terutama untuk mengaburkan pandangan sosial dengan dalih Pancasila dengan mengambil jalan Komunis sebagai musuh bersama (Morfit, 1981).

8 UU 11/Pnps/1963 UU ini selama Orde Baru menjadi alat untuk mengadili oposisi politik (Gultom, 2003).

9 Misalkan pada kasus Kedung Ombo, para petani yang menolak pembebasan lahan oleh Soeharto ia katakan

sebagai mantan komunis, untuk meluluskan ganti rugi tanah dengan harga yang sangat minim.

10 Tema Partikularitas tersebut dilain pihak menjadi dalih selama Orde Baru untuk menghindari tanggung jawab

(6)

hukum, dan tiada hak, bahkan yang dijaminkan oleh hukum sekalipun, dapat berjalan tanpa keberanggotaan pada komunitas politik, (Douzinas, 2007:99).11

Hal ini dapat dipahami dalam konteks daya paksa, karena penguasaan daya paksa inilah yang menentukan dapat terwujud atau tidaknya hak seseorang, sebagaimana analogi ketergantungan anak terhadap orangtua Douzinas yang disebutkan tadi. Mereka yang tidak menjadi anggota atau dicoret keanggotaanya tidak lagi memiliki hak paling primordial, yaitu hak untuk memiliki hak-hak. Pola tersebut adalah sekaligus eksklusi atas status kemanusiaan seseorang, seberapa penuhkah status kemanusiaan seseorang. Manusia yang tidak penuh adalah manusia yang tidak memiliki jaminan atas haknya, sebagaimana dialami oleh para golongan kiri. Agamben menyebutnya sebagai homo sacer, mereka yang dibenarkan untuk dibunuh dengan impunitas atasnya (Agamben, 1998;72).

Praktik eksklusi ini, menurut Agamben adalah potensialitas dari peneguhan kedaulatan, yang membuktikan tipisnya batasan antara negara yang demokratis akan otoriter. Refleksi ini sekaligus mempertanyakan untuk apakah hukum itu, rumusan Satjipto bahwa hukum adalah untuk manusia sesungguhnya masih separoh jalan saja, pertanyaan selanjutnya adalah untuk manusia macam apa hukum itu ada. Pengalaman pada masa tahun 1965 secara tepat menunjukkan praktik-praktik itu dilakukan, eksklusi golongan kiri dengan label anti-Pancasila dan kekerasan yang dilakukan terhadapnya. Pembunuhan-pembunuhan massal maupun pembuangan dalam kamp konsentrasi seperti Pulau Buru, Nusakambangan, Plantungan, dan lain sebagainya tidak lain adalah konsekuensi dari eksklusi tersebut (Agamben, 1998). Perlawanan terhadap eksklusi adalah sekaligus klaim atas hak, rekognisi dari keberanggotaan seseorang atas komunitas politiknya, sebagaimana dikatakan Douzinas:

Rights play a key role here: they recognise, finesse and adjudicate the claims of groups and people and adjust them to changes in social life. In this vision, law aims to become identical with the natural life of society, to map the social landscape by replicating accurately within intself the facts of social life and helping reproduce the existing order (2007; 104).

Apa yang dikatakan Douzinas tersebut berkaitan dengan peneguhan kedaulatan yang dipergunakan untuk membalik posisi korban-pelaku. Mereka yang tadinya dituduh sebagai pelaku (pemberontak, tidak-Pancasilais) bergeser menjadi korban, dan demikian pula sebaliknya, mereka yang tadinya korban (negara, militer, penjagal) berubah menjadi pelaku. Maka registrasi politik pada masa ini kembali mengalami perubahan, layaknya revolusi Perancis yang menggulingkan monarki. Douzinas menyatakan

When the radically excluded protest the wrong they suffer, they present themselves as representatives of the whole society, as stand-ins for the universal. We, the nobodies, they proclaim, are everything against those who stand only for their particular interests.

11 Arendt dalam Douzinas mengatakan : a man who is nothing but a man has lost the very qualities which make it

(7)

Political conflict brings together the structured whole and the excluded representative of the universal into one place and rewrites the rules of inclusion and exclusion. The inclusion of the invisible part overthrows the rules of the game and interrupts the natural order of domination. A new order is precipitated and transforms social visibility. The irruption of the excluded is the political event par excellence: it changes the political scene and then disappears. Before the transformation, political change is a matter of policing and consensus. After the change, politics returns to normality; its terrain has been modified, however, through the inclusion of the new group or subject and the redefinition of the rules of political legitimacy (2007;106).

Masalah akan masa depan hukum Indonesia nampak disini. Pernah ada satu masa dimana hukum yang sekaligus hak (dikaion) dapat disingkirkan dengan kekerasan yang ditujukan melalui eksklusi dari status keanggotaan seseorang dan kelompoknya. Pertanyaan yang muncul, apakah setelah adanya pergeseran pada masa reformasi meluluskan hal tersebut? Masa reformasi adalah bentuk protes atas otoritarianisme, akan tetapi proyek reformasi tersebut menunjukkan sekaligus dua muka. Pada satu sisi masa reformasi merupakan masa dimana wacana mengenai HAM meningkat dengan pesat, hal ini tampak pada regulasi nasional maupun ratifikasi internasional terhadap instrumen-instrumen HAM.12 Akan tetapi pada sisi yang lain, reformasi abai untuk membereskan basis legitimasi dari berdirinya rezim yang mereka tolak itu, yaitu peristiwa 1965. Pernah ada Pengadilan HAM ad hoc untuk Timor Timur maupun Tanjung Priok, juga Pengadilan HAM abepura,13 namun belum pernah ada kemajuan yang berarti untuk permasalahan 1965. Pertanyaan mengenai kenapa ayah saya dibunuh, kenapa saya disiksa, dimana kuburan ibu saya ditangkap, belum menemukan jawabanya. Dengan demikian, adakah masa depan bagi hukum yang tidak mengakui masa lalunya?

Berkaca pada pengalaman lain, di Chile, pasca jatuhnya Pinochet, Presiden Aylwin melalui Supreme Decree 355 membentuk KKR –meski bekerja dalam definisi yang terbatas- untuk menunjukkan praktik kekejaman dan reparasi korban. Begitupula di Afrika Selatan dimana Konstitusi 1993 dan Konstitusi 1996 meniadakan sistem Apartheid, dan melalui kerja komisi kebenaran melalui Act 34/1995. Baik Chile maupun Afrika Selatan dengan keunikanya masing-masing tetap menunjukkan tiga hal; reparasi korban, pengungkapan kebenaran, dan penuntutan terhadap pelaku. Ketiga hal tersebut luput dalam semangat reformasi, betul memang, jargon-jargon HAM menempati posisi yang penting, dan bahwa betul telah ada putusan penting

12 UU 39/1999, UU 26/2000, UU 11/2005, UU 12/2005, dan lain sebagainya.

13 Meskipun dalam pengadilan tersebut tidak pernah ada pelaku (Marzuki, 2012)maupun reparasi korban. Hal ini

karena untuk mendapatkan reparasi, UU 26/2000 mengharuskan adanya pelaku, dan pencantuman bentuk reparasi dalam amar putusan.

Pasal 35 UU 26/2000:

(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.

(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM.

(8)

mengenai pemulihan hak14 akan tetapi pada sisi lain, perampasan hak yang terjadi sebelumnya tidak diselesaikan, menyisakan para korban tanpa adanya hak dengan berbagai pertanyaan personalnya. Kini para penyintas hidup bersama dengan para jagal, mereka yang memperjuangkan klaim atas hak berjalan berdampingan dengan penyeru kebencian.

Dilain pihak, hukum yang ada tampaknya tumpul, penyelesaian melalui Pengadilan HAM memiliki kelemahan dalam reparasi, begitupula dengan jalur KKR, RUU usulan pemerintah nampaknya hanya berminat pada dua hal: pengungkapan kebenaran dan reparasi korban saja, namun tidak dengan menghukum pelaku,15 yang menunjukkan pembunuhan dan impunitas

atasnya. Permasalahan basis legitimasi tersebut sesungguhnya terdapat dalam TAP

XXV/MPRS/1966 yang sialnya sulit untuk dihapuskan karena pertama, MPR tidak lagi memiliki kewenangan membuat TAP, dan kedua, MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji TAP yang berada diantara UUD dan UU. TAP tersebut memiliki keberadaan yang penting karena kasus-kasus yang berkaitan dengan diskriminasi golongan kiri selalu merujuk pada TAP

14 Putusan Mahkamah konstitusi mengenai hak pilih dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-1/2003, putusan

Mahkamah agung atas gugatan TUN Nona Nani Nurani melawan Kepala Pemerintahan Kecamatan Koja Jakarta Utara mengenai KTP seumur hidup yang menjadi yurisprudensi dalam Putusan MA No, 400 K/TUN/2004, Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Keppres 28/1975 dalam Putusan MA No. 25 P/HUM/2007.

15Pasal 28 RUU KKR 2015:

Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc, termasuk bantuan, rehabilitasi,dan Kompensasi yang diterima oleh korban dari lembaga atau instansi yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Ketentuan ini membuat kewenangan sub-poena ini mubazir karena kepada pelaku tidak ada kewajiban apapun untuk mengungkapkan kebenaran. Sementara, perkara yang dianggap telah selesai tidak dapat lagi diajukan secara yudisial. Hal ini berbeda dengan sub-poena di Afrika Selatan yang memberikan Amnesti dengan ketentuan pengungkapan kebenaran dan penilaian dari Komisi Amnesti terhadap pelaku –bukan perkara-.

Section 20 (7) a, b, c Act 34/1995:

a. No person who has been granted amnesty in respect of any act, omission or offence shall be criminally or civilly liable in respect of such act, omission or offence and no body or organisation or the State shall liable in respect of such act, omission or offence and no person shall be vicariously liable, for such act, omission, or offence.

b. Where amnesty is granted to any person in respect of any act, omission or offence, such amnesty shall have no influence upon the criminal liability of any other person contingent upon the liability of the first-mentioned person.

c. No person, organisation or state shall be civilly or vicariously liable for an act, omission or offence comitted between 1 March 1960 and the cut-off date by a person who is deceased, unless amnesty could not have been granted in terms of this Act in respect of such an act, omission or offence.

Di Chile, sekalipun tidak memiliki kewenangan Sub-poena karena dibentuk melalui dekrit, menyatakan bahwa seluruh hasil investigasi diberikan kepada pengadilan yang berwenang, sehingga tidak menghilangkan pidananya. Article 2 Supreme Decree 355:

In no case is the commisson to assume jurisdictional functions proper to the courts nor to interfene in cases already before the courts. Hence it will not have the power to take a position on whether particular individuals are legally responsible for the events that it is considering.

(9)

tersebut.16 Hingga kini, baru Gus Dur yang berani untuk mengusulkan pencabutan TAP tersebutm yang tentu saja tidak berhasil sebelum akhirnya ia dimakzulkan. Diluar KKR, kewenangan untuk memberikan rehabilitasi sesungguhnya dimiliki secara prerogatif oleh Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung, dan hal ini sesungguhnya pernah dilakukan pada masa Megawati dengan surat dari Bagir Manan yang menyatakan rekomendasi bagi Presiden untuk melakukan rehabilitasi, 17 tetapi Megawati hingga akhir masa jabatanya tidak menanggapi surat tersebut.

Menurut Arendt, terdapat dua jaminan dari politik yaitu permaafan dan jaminan masa lalu. Permaafan adalah adanya potensi kesalahan dari perbuatan manusia sehingga atas kesalahan tersebut ia harus menebusnya dengan memohon maaf, atau dengan penghukuman. Sementara untuk mengantisipasi masa depan, yang diperlukan adalah janji akan ketidakberulangan yang sekaligus merupakan hari depan (Arendt, 1998: 237-245). Tanpa ada pengakuan mengenai kesalahan (baca: kekejaman) pada masa lalu, maka hampir tidak mungkin untuk membuat janji bahwa peristiwa tersebut tidak akan berulang. Dan sulit rasanya membayangkan masa depan hukum di Indonesia, dimana perayaan atas kekejaman, glorifikasi atas kesewenangan dibiarkan tanpa penyelesaian dan membiarkan para korban tanpa pemulihan atas status kemanusiaanya, membiarkan kuburan masih menjadi misteri, dan kekejaman seolah tidak pernah terjadi

.

Daftar Pustaka

Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer, Sovereign Power and Bare Life. Stanford University Press. California.

Arendt, Hannah. 1998. The Human Condition. The University of Chicago Press. Chicago & London.

Douzinas, Costas. 2007. Human Rights and Empire, The Political Philosophy of

Cosmopolitanism. Routledge-Cavendish. New York.

16 Merujuk pada putusan-putusan dalam catatan kaki nomor 14

17 Bagian menimbang paragraf 3-4 dalam surat itu Mahkamah Agung menyatakan:

Menimbang bahwa, Mahkamah Agung banyak menerima surat-surat baik dari perorangan maupun dari berbagai kelompok masyarakat yang menyatakan diri sebagai korban Orde Baru, yang pada pokoknya mengharapkan agar memperoleh rehabilitasi.

Menimbang bahwa, wewenang memberikan rehabilitasi tidak ada pada Mahkamah Agung, karena hal tersebut merupakan hak prerogatif yang ada pada saudara Presiden.

(10)

_______________. 2000. The End of Human Rights, Critical Legal Thought at The Turn of the

Century. Hart Publishing. Portland.

Firdiansyah, D. Andi Nur Aziz. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak

Asasi Manusia Berat. Komnas HAM RI. Jakarta. Tanpa Tahun.

Marzuki, Suparman. 2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia. Erlangga. Jakarta.

_______________. 2012. Pengadilan HAM di Indonesia, Melanggengkan Impunity. Penerbit Erlangga. Jakarta

Heryanto, Ariel. 2006. State Terrorism and Political Identity in indonesia, Fatally Belonging. Routledge. London & New York.

Kammen, Douglas & Katharine McGregor. 2012. The Contours of Mass Violence in Indonesia

1965-68. Asian Studies Association of Australia & University of Hawaii Press. Honolulu.

Michael Morfit. The Indonesian State Ideology According to the New Order Government.Asian Survey Vol. 21. No.8 (August 1981). University of California Press. Hlm 838-851

Yusriadi. 2009. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak atas Tanah. Genta. Yogyakarta.

Pompe, Sebastian. 2012. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Leip. Jakarta.

Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. ISSI & Hasta Mitra. Jakarta

Weiringa, Saskia E. 2012. Penghancuran Gerakan Perempuan; Politik Seksual di Indonesia

Pascakejatuhan PKI. Galang Press. Yogyakarta.

Schmitt, Carl. 2005. Political Theology, Four Chapters on the Concept of Sovereignty. University of Chicago Press. Chicago & London.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian menganalisis Pengaruh Earning Per Share (EPS), Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE) Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Real Estate Dan

Para peneliti sebelumnya menggunakan istilah hiperalimentasi sebagai pengganti pemberian makanan melalui intravena, dan akhirnya diganti dengan istilah yang lebih

1.1 Dasar luar Negara dapat dimaksudkan sebagai matlamat, garis panduan untuk menentukan hala tuju, tindakan, strategi yang diambil oleh sesebuah Negara dalam menjalin

Teknik yang biasa digunakan untuk menyembunyikan informasi di dalam file audio ialah low bit encoding yang mirip dengan teknik LSB yang biasa digunakan di gambar yaitu dengan

Jika pada penulisan laporan Proyek Ilmiah dan Seminar ada rincian yang akan disampaikan dengan urutan ke bawah, dapat digunakan urutan dengan angka (1, 2, 3,…) atau huruf (a, b,

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Buku yang pertama adalah buku berjudul Fisika untuk SMA/MA kelas X karangan Marthen kanginan yang diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2013, buku kedua berjudul

Bidan Novi Inggerianie, S.ST. adalah tempat usaha yang bergerak dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Bidan Novi Inggerianie, S.ST. didirikan