viii
ABSTRAK
NARASI TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965 PADA
MASA ORDE BARU DAN PASCA ORDE BARU
Dian Beni Yuda
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2013
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis : (1)
Tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pada masa Orde Baru. (2) Tragedi
kemanusiaan 1965 dinarasikan pasca Orde Baru.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
pendekatan historis, sosiologis, dan politik, sehingga model penulisannya bersifat
deskriptif analisis.
ix
ABSTRACT
NARRATION OF HUMAN TRAGEDY OF 1965 IN
ORDE BARU AND AFTER ORDE BARU
Dian Beni Yuda
Sanata Dharma University
Yogyakarta
2013
The purposes of this thesis are to describe and to analyze: (1) The human
tragedy in 1965 narrated by the Orde Baru. (2) The tragedy of humanity in 1965
narrated after the Orde Baru.
This thesis uses the historical research method that consist of historical,
sociological, and political approach, so that the written type is analyzing
description writing.
i
NARASI TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965 PADA MASA ORDE
BARU DAN PASCA ORDE BARU
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh :
Dian Beni Yuda
NIM: 061314023
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karyaku ini kepada Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan
malaikat pembimbingku, atas penyertaan Roh Kudus yang selalu
membimbing dan menyertai langkah hidupku,
Orang tuaku, Bapak Petrus Mida dan Ibu Radiyati yang telah membesarkan
dan mendidikku dengan penuh cinta dan kasih sayang,
Adikku Novita Dewi Yuda dan sepupuku Alexander Andi Kurnianto yang
telah membantu, memberikan doa, semangat dan dukungan,
Seluruh keluarga besarku yang mengharapkan kelulusanku,
Para Pendidik dan sahabat-sahabat ku di Pendidikan Sejarah,
v
MOTTO
Kesuksesan jangan diukur dengan uang dan kekuasaan. Senyata-nyatanya sukses
adalah ketika kamu bahagia dan bisa tertawa lepas tanpa beban.
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi
kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena
Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab
kuk yang kupasang itu enak dan bebanKu pun ringan.
(Mat 11:28-30).
Kebaikan yang kau lakukan hari ini, mungkin besok akan dilupakan orang. Tetapi,
teruslah berbuat baik.
(Mother Theresa)
Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki, dan itu mungkin tidak akan pernah
cukup. Tetapi, tetap berikanlah yang terbaik.
(Mother Theresa)
Sadarilah bahwa semuanya itu ada diantara engkau dan Tuhan. Tidak akan pernah
ada antara engkau dan orang lain. Jangan pedulikan apa yang orang lain pikirkan
atas perbuatan baik yang kaulakukan. Tetapi, percayalah bahwa mata Tuhan
tertuju pada orang-orang yang jujur, dan Dia dapat melihat ketulusan hatimu.
viii
ABSTRAK
NARASI TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965 PADA
MASA ORDE BARU DAN PASCA ORDE BARU
Dian Beni Yuda
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2013
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis : (1)
Tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pada masa Orde Baru. (2) Tragedi
kemanusiaan 1965 dinarasikan pasca Orde Baru.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
pendekatan historis, sosiologis, dan politik, sehingga model penulisannya bersifat
deskriptif analisis.
ix
ABSTRACT
NARRATION OF HUMAN TRAGEDY OF 1965 IN
ORDE BARU AND AFTER ORDE BARU
Dian Beni Yuda
Sanata Dharma University
Yogyakarta
2013
The purposes of this thesis are to describe and to analyze: (1) The human
tragedy in 1965 narrated by the Orde Baru. (2) The tragedy of humanity in 1965
narrated after the Orde Baru.
This thesis uses the historical research method that consist of historical,
sociological, and political approach, so that the written type is analyzing
description writing.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “
Narasi
Tragedi Kemanusiaan 1965 Pada Masa Orde Baru Dan Pasca Orde Baru
”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana
Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak terlepas dari batuan
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
2.
Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
3.
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
4.
Dr. Anton Haryono, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah sabar
membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta
masukan selama penyusunan makalah ini.
5.
Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang
telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi
xi
6.
Romo Bakara T. Wardaya yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini baik dari sisi spiritual, dorongan semangat serta
dukungan materi. Terima kasih Romo.
7.
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma dan perpustakaan pribadi Romo
Baskara yang telah menjadi tempat penulis memperoleh sumber makalah ini.
8.
Kedua orangtua penulis yang telah memberikan dorongan spiritual dan
material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata
Dharma.
9.
Sepupu saya Alexander Andi Kurnianto dan adik saya Novita Dewi Yuda
yang membantu saya begadang hingga pagi demi menyelesaikan makalah ini.
10.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.
Yogyakarta, 8 Juli 2013
Penulis,
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
... ii
HALAMAN PENGESAHAN
... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
... iv
HALAMAN MOTTO
... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH
... vii
ABSTRAK
... viii
ABSTRACT
... ix
KATA PENGANTAR
... x
DAFTAR ISI
... xii
DAFTAR LAMPIRAN
... xiv
BAB I: PENDAHULUAN
... 1
A.
Latar Belakang Masalah ... 1
B.
Permasalahan... 8
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9
BAB II: NARASI TRAGEDI 1965 PADA MASA ORDE BARU
... 11
A.
Narasi Umum Di Masyarakat ... 12
B.
Narasi Melalui Buku-buku Pelajaran ... 14
C.
Narasi Melalui Film ... 16
D.
Indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) ... 17
BAB III: NARASI TRAGEDI 1965 PASCA ORDE BARU
... 21
xiii
B.
Munculnya Kembali Semangat Orde Baru ... 35
BAB IV: KESIMPULAN
... 39
DAFTAR PUSTAKA
... 43
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Apa yang terjadi antara bulan-bulan terakhir tahun 1965 dan bulan-bulan
pertama tahun 1966 merupakan peristiwa besar bagi kemanusiaan. Tidak hanya
bagi Indonesia, melainkan juga bagi dunia pada umumnya. Diperkirakan 500 ribu
sampai 1 juta jiwa menjadi korban pembantaian dalam masa itu.
1Peristiwa yang
lebih tepat disebut tragedi kemanusiaan ini tidak terjadi pada masa perang ataupun
konfrontasi, melainkan pada masa damai, di mana Indonesia yang baru dua puluh
tahun merdeka kini sedang mulai menata kehidupan sebagai bangsa yang bebas
dari penjajahan asing. Pada waktu itu sesama anak-anak bangsa saling bunuh
hanya karena perbedaan ideologi dan karena saling men-cap pihak lain sebagai
pesaing dan sebagai
“musuh
politik”.
Peristiwa besar ini berawal dari terbunuhnya 7 perwira tinggi militer pada
dini hari 1 Oktober 1965. Dari tujuh korban yang jatuh, enam di antaranya adalah
jendral angkatan darat dan seorang Perwira tinggi. Peristiwa 1 Oktober itu
kemudian disusul dengan beredarnya kabar bahwa sebelum dibunuh, para jendral
ini disiksa dengan keji.
James Luhulima dalam bukunya “Menyingkap Dua Hari
Tergelap di Tahun 1965” menyebutnya sebagai “brutalisasi”
.
2Sejak itu semua
mata tertuju ke PKI (Partai Komunis Indonesia), karena PKI-lah yang dituduh
1
Diambil dari Film 40 years of silence adalah sebuah film dokumenter tentang peristiwa ’65 di mana ditampilkan peristiwa ’65 dalam perspektif yang berbeda, bagaimana dampaknya hingga sekarang masih terasa, dan bagaimana peristiwa tersebut masih berada dalam lubang hitam yang penuh dengan kebisuan.
2
sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas pembunuhan para jendral itu.
Saat itu antara PKI dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan saat
ini disebut TNI / Tentara Nasional Indonesia) sedang terjadi persaingan untuk
merebut kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno. Kecurigaan ini terjadi karena
sejak beberapa bulan terakhir sebelum terjadinya peristiwa tersebut telah terjadi
gesekan kepentingan antara PKI dengan ABRI yang sama-sama ingin merebut
kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno yang saat itu mulai sering sakit.
Desas-desus yang dihembuskan dan terlanjur beredar di masyarakat bahwa
PKI adalah pelaku pembantaian dan penyiksaan terhadap para jendral mendorong
kemarahan masyarakat terhadap PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi
kepadanya. PKI dan simpatisannya mulai diburu.
3Terjadilah pembantaian
terhadap anggota PKI di mana-mana, di Jawa dan di Bali serta pulau-pulau lain.
4Ratusan ribu orang ditahan dan dipisahkan dari keluarga mereka. Banyak dari
mereka yang juga dibuang hingga ke pulau Buru (di Maluku) sebagai tahanan
politik. Hampir semuanya dihukum tanpa melalui proses peradilan sebagaimana
yang berlaku di sebuah negara hukum. Sejak saat itu situasi politik Indonesia pun
masuk ke dalam masa gelap.
Di tengah gelapnya periode sejarah itu muncullah narasi
5resmi yang dibuat
oleh Orde Baru, yang intinya menuduh PKI sebagai satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab atas terbunuhnya para jendral angkatan darat pada tanggal 1
Oktober 1965 tersebut. Selain itu narasi tersebut juga membenarkan pembantaian
3Ibid, hal. 11 4
Baca Liputan Khusus Majalah TEMPO Edisi 1-7 Oktober 2012 5
3
terhadap ratusan ribu nyawa dari orang-orang yang dibunuh pada tahun
1965-1966 itu dengan memandangnya sebagai sebuah tindakan balas dendam yang
“wajar” dari
masyarakat. Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa, narasi itu
terus diulang dan dijadikan sebagai salah satu alat pembenaran bagi kekuasaan
rejim tersebut. Namun demikian, ketika pada tahun 1998 Orde Baru tumbang,
mulai muncul narasi-narasi lain sebagai tandingannya. Narasi-narasi lain itu
berupaya memberikan pandangan yang lebih luas dan lebih bisa diterima akal dari
pada narasi ciptaan Orde Baru. Untuk beberapa saat setelah tumbangnya Orde
Baru narasi-narasi itu diterima. Namun demikian, tak lama kemudian mulai
muncul reaksi-reaksi balik yang intinya mendukung kembali narasi Orde Baru
tersebut.
Studi mengenai narasi-narasi yang beredar itu penting, karena tragedi
6atau
peristiwa yang menjadi dasar bagi narasi-narasi tersebut merupakan peristiwa
yang penting, namun yang sekaligus
masih “gelap” dalam
sejarah bangsa
Indonesia. Tujuannya bukan untuk
“mengungkit
-ungkit
luka lama”
melainkan
untuk mempelajarinya guna memperoleh pelajaran dan pembelajaran yang
berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya berkaitan dengan masalah kejujuran,
keterbukaan dan kedewasaan sebagai bangsa. Tragedi 1965 begitu besar
pengaruhnya bagi perjalanan bangsa Indonesia. Tragedi itu tidak hanya
mengakibatkan kehidupan jutaan anak bangsa hilang dan berubah melainkan juga
telah mendorong terjadinya transisi kekuasaan pemerintahan secara berdarah, di
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan tragedi sebagai sandiwara sedih (pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yg luar biasa atau sampai
mana ribuan bahkan mungkin jutaan nyawa anak bangsa melayang. Diharapkan
bahwa dengan mempelajari tragedi tersebut berikut narasi atasnya kita bisa
menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya hal serupa.
Permasalahan yang sesungguhnya adalah bahwa pada masa Orde Baru
narasi-narasi yang beredar luas di masyarakat adalah narasi sepihak, yakni narasi
dari pemerintah Orde Baru tanpa adanya penyeimbang informasi. Jikapun ada
sifatnya
underground
atau sembunyi-sembunyi, dan tentu saja ilegal dan tidak
diakui kebenarannya oleh para penguasa. Setiap media masa seperti koran-koran
dan majalah-majalah bahkan dibreidel atau dilarang terbit jika memberikan versi
lain mengenai peristiwa 1965. Begitu pula yang terjadi pada masa pasca Orde
Baru. Ada lebih banyak informasi mengenai tragedi 1965 , tetapi tetap saja versi
pemerintah Orde Baru yang secara resmi diakui.
Melihat sebuah peristiwa tidak cukup hanya dari satu sisi, tetapi perlu
melihatnya dari berbagai sisi. Dalam melihat sebuah objek seperti sebuah rumah,
misalnya, setiap orang pasti memiliki pandangan yang berbeda tentang rumah
tersebut, tergantung dari mana seseorang memandangnya, entah itu dari depan,
dari samping atau dari belakang. Begitu pula dengan tragedi 1965. Ada banyak
perspektif yang bisa (dan sudah) digunakan orang dalam melihat dan menarasikan
tragedi kemanusiaan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan studi terus-menerus tidak
hanya tentang peristiwanya, melainkan juga tentang bagaimana peristiwa itu
dinarasikan oleh berbagai kelompok dalam berbagai periode dalam masyarakat
5
Selain penting, studi mengenai tragedi kemanusiaan di tahun 1965 ini juga
menarik, karena terdapat perbedaan-perbedaan narasi mengenai beberapa
peristiwa yang terjadi di dalamnya. Ambillah contoh narasi tentang penyiksaan
para jendral yang dilakukan oleh PKI. Menurut versi resmi, namun juga menurut
banyak buku yang terbit pasca Orde Baru, terjadi penyiksan atas para jendral
sebelum dibunuh, dan hal itu dilakukan oleh para anggota PKI, termasuk
kelompok organisasi perempuannya. Berkat narasi-narasi seperti itu PKI tampak
begitu keji, sehingga
“
layak
”
dibalas secara keji pula. Akumulasi dari
narasi-narasi yang diterima masyarakat selanjutnya membentuk opini publik tentang
siapa yang salah siapa yang benar, narasi-narasi yang beredar pula lah yang
memberi “pembenaran” atas pembantaian yang dilakukan.
Narasi seputar tragedi kemanusiaan di tahun 1965 tidak hanya disampaikan
melalui cerita dari mulut kemulut, melainkan juga melalui koran, majalah serta
film. Sangat menarik apabila kita melihat peran koran dalam menggiring opini
publik pasca peristiwa penjemputan paksa para jendral ini. Fungsinya sebagai
sumber informasi menjadi krusial karena pada saat itu masyarakat kebingungan
dengan apa yang sebenarnya terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965 itu dan sumber
yang paling cepat dan mudah untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa
tersebut adalah koran. Pada tanggal 2 Oktober 1965 koran-koran nasional dilarang
te
rbit kecuali koran milik angkatan darat yaitu “Berita Yudha” dan “ Harian
Angkatan Bersenjata” dan hanya ada 1 koran di
luar koran angkatan darat yang
boleh terbit yaitu koran “Harian Rakyat” yang notabene berafiliasi dengan PKI
dengan koran, majalah ataupun film yang muncul dimasa Orde Baru memiliki
peran sangat krusial dalam membentuk opini di masyarakat. Bagaimana
dilustrasikan di dalam film mengenai peran masing-masing pihak yang terkait
dengan peristiwa tersebut. Lebih menarik lagi adalah jika kita sedikit
membandingkan dengan narasi-narasi yang ada pada saat ini, pasca rezim Orde
Baru runtuh, saat di mana arus informasi relatif lebih beragam dan informasi
mengenai peristiwa jauh lebih terbuka. Jika kita telaah informasi dari kedua era
tersebut (Orde Baru dan masa setelah Orde Baru runtuh) terdapat perbedaan narasi
di dalamnya, inilah kenapa penulis memandang bahwa studi ini menarik dan
penting untuk dikaji, dengan harapan me
mberi sedikit “terang” di “gelap” nya
peristiwa 1 Oktober 1965 dan tragedi kemanusian yang mengikutinya.
Membahas dan membandingkan narasi-narasi yang ada tentang tragedi 1965
baik itu yang berasal dari masa Orde Baru maupun yang berasal dari masa pasca
Orde Baru akan memberikan sebuah perspektif baru yang diharapkan akan bisa
membantu menjadikan bangsa ini lebih bijak dan terbuka serta berani dan jujur
dalam mempelajari sejarah bangsanya. sebagaimana disinggung di atas,
narasi-narasi atas apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 telah menjadi
trigger
atau pemicu bagi terjadinya peristiwa berdarah dalam bentuk pembantaian ratusan
ribu manusia Indonesia oleh orang Indonesia sendiri. Inilah salah satu alasan
mengapa penulis merasa bahwa narasi-narasi tentang tragedi kemanusiaan 1965
sangat perlu dibahas. Di dalam setiap narasi biasanya terdapat unsur
7
Indonesia adalah bangsa yang besar, baik dari segi luas wilayah, dari segi
jumlah penduduk, maupun dari segi budayanya. oleh karena itu sudah selayaknya
bangsa Indonesia menghargai sejarahnya sendiri. Tahun 1965 adalah tahun di
mana Indonesia mengalami tragedi kemanusian dengan segala dampaknya.
Sayangnya tragedi kemanusiaan ini masih “gelap”
, belum secara jelas dinarasikan
apa sebenarnya yang terjadi, yang kita tahu hanyalah bahwa waktu itu ada banyak
orang yang menjadi korban, baik itu kehilangan nyawa, dipenjara maupun
mendapatkan cap bersalah.
Lewat tulisan ini penulis berharap bahwa pembaca akan dapat melihat
bagaimana narasi-narasi seputar peristiwa pembunuhan ditanggal 1 Oktober 1965
dan pembunuhan massal yang mengikutinya disampaikan secara berbeda pada
masa pemerintahan Orde Baru dan setelahnya. Narasi-narasi yang berkembang di
masyarakat kemudian akan menjadi wacana publik yang berlanjut menjadi opini
publik dan kemudian menjurus kepada “penghakiman” publik terhadap sebuah
peristiwa dan mereka yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks narasi Orde Baru
tentang tragedi kemanusiaan tahun 1965 opini publik yang dilahirkan telah
menyebabkan dipersalahkannya PKI dan dianggap layaknya tindakan untuk
”membasmi”
-nya. Sementara itu para pelaku dibenarkan sepenuhnya, dan atas
dasar pembenaran itu mereka lantas menguasai Indonesia selama lebih dari 30
tahun. Kalau kita tidak hati-hati, hal seperti itu bisa terjadi lagi di Indonesia ini.
Oleh karena itu kita perlu belajar dari masa lalu kita, agar hal seperti itu tidak
B.
Permasalahan
Latar belakang masalah di atas menunjukkan adanya perbedaan narasi yang
beredar di masyarakat seputar peristiwa 1 Oktober 1965 dan tragedi kemanusiaan
yang mengikutinya pada tahun 1965 sampai Rezim Orde Baru runtuh dengan
narasi-narasi yang ada pasca Orde Baru tidak lagi berkuasa. Perbedaan-perbedaan
narasi yang ada di masa Orde Baru dengan di masa setelahnya, setelah rezim itu
runtuh mendorong penelitian perlu untuk dilaksanakan.
Permasalaan pertama yang akan dibahas adalah narasi-narasi tentang
Tragedi 1965 yang ada pada masa Orde Baru yang nanti di dalamnya akan
dibahas narasi-narasi umum di masyarakat, narasi-
narasi yang “ditawarkan” lewat
buku-buku ajar, narasi lewat film dan diimplementasikan lewat indoktrinasi
melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Permasalahan kedua yang ingin diteliti adalah narasi Tragedi 1965 pada
masa pasca Orde Baru runtuh. Narasi-narasi tersebut dapat dilihat dari
diterbitkannya buku-buku yang bersifat kritis akademik, diselenggarakannya
forum-forum publik tentang Tragedi 1965, diterbitkannya memoar para survivor,
diproduksinya film-film di sekitar topik Tragedi 1965 tentu saja dengan sudut
pandang berbeda dengan sudut pandang yang ditawarkan di masa Orde Baru,
permintaan maaf Gus Dur kepada korban Tragedi kemanusiaan 1965, dan lewat
laporan dan rekomendasi Komnas HAM tahun 2012 soal Tragedi 1965, di bagian
ini pula akan dibahas bagaimana semangat Orde Baru yang semula “meredup”
pelarangan-9
pelarangan diputarnya film-film tentang Tragedi 1965 yang tidak sesuai dengan
versi resmi pemerintah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah dalam
penulisan ini, adalah:
1. Bagaimana tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pada masa Orde Baru?
2. Bagaimana tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pasca Orde Baru?
C.
Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah :
a.
Mendeskripsikan narasi-narasi tentang Tragedi 1965 pada masa Orde Baru.
b.
Mendeskripsikan narasi-narasi tentang Tragedi 1965 pada masa pasca Orde
Baru.
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat Penulisan ini adalah :
a.
Bagi Universitas Sanata Dharma
Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma perguruan tinggi khususnya
bidang penelitian yaitu ilmu pengetahuan sosial, makalah ini diharapkan dapat
memberikan kekayaan khasanah yang berguna bagi pembaca dan pemerhati
sejarah di lingkungan Universitas Sanata Dharma.
b.
Bagi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai sejarah para tokoh bangsa dan peranannya, lebih khususnya tentang
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pelengkap dalam pembelajaran
sejarah.
c.
Bagi Pembaca
Makalah ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari
tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai Tragedi
11 BAB II
NARASI TRAGEDI 1965 PADA MASA ORDE BARU
Alur narasi tentang tragedi 1965 pada masa Orde Baru dimonopoli oleh
pemerintah pada saat itu. Segala informasi tentang tragedi tersebut dikontrol oleh
pemerintah. Mulai dari kronologi peristiwa penjemputan paksa para jendral
sampai siapa yang kemudian dianggap bertanggung jawab, dalam hal ini adalah
PKI. Dalam otobiografinya, ketika melihat Danyon 454 dan 530 tidak berada di
tempat karena alasan ingin mengamankan presiden yang dikatakan akan dikudeta
oleh Dewan Jendral Soeharto mengatakan:
“Itu semua tidak betul, “sambut saya sambil menatap kedua kapten itu. “kamu tahu, Presiden Sukarno saat ini tidak ada di Istana. Coba kamu cek sendiri ke Istana kalau tidak percaya. Lagi pula Dewan Jendral itu tidak ada, yang ada adalah Wanjakti, dan tidak mungkin ada rencana kup. Saya sendiri menjadi anggota Wanjakti itu. Saya mengetahui betul, gerakan Untung ini pasti didalangi oleh PKI.7
Dari petikan ucapan Soeharto di atas telah men-judge PKI sebagai
penanggung jawab peristiwa penjemputan dan pembunuhan 7 jendral pada dini
hari tanggal 1 Oktober 1965. Narasi tentang tragedi 1965 ini ada yang bersifat
umum dan berkembang di masyarakat, yang penyebarannya dari mulut ke mulut,
ada juga yang dinarasikan melalui buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Selain
kedua cara tersebut, narasi lain tentang tragedi 1965 disampaikan melalui film
“Pengkhianatan G30S/PKI” yang isinya menunjukkan betapa mengerikannya
peristiwa penjemputan paksa para jendral sampai penyiksaan yang dilakukan oleh
PKI. Hal lain yang dilakukan pemerintah dalam penyampaian narasi tentang
7
tragedi 1965 adalah lewat indoktrinasi penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4).
A. Narasi Umum Di Masyarakat
Narasi yang beredar umum di masyarakat tidak dapat kita pisahkan dengan
informasi yang beredar lewat surat kabar (koran) dan radio pada saat itu. Mayjen
Soeharto, dalam kedudukannya sebagai Panglima Kostrad, secara sepihak
mengumumkan keadaan darurat. Ia menelepon Men/Pangal Laksdya Laut RE
Martadinata, Men/Pangak Inspektur Jendral Polisi Sutjipto Judodihardjo, dan
Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dani, yang diterima oleh Panglima Koops AU
Komodor Udara Leo Wattimena, untuk memberi tahu bahwa ia untuk sementara
mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat8. Setelah merebut kembali RRI
pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 18.00, Mayjen Soeharto membuat
ketentuan bahwa setiap berita atau pengumuman apa pun yang akan disiarkan RRI
harus melalui dan seizin dirinya9.
Pada tanggal 4 Oktober 1965, pagi hari, dengan bantuan pasukan Pengintai
Amfibi (Taifib) KKO, penggalian sumur untuk mengeluarkan jenazah enam
jendral dan seorang perwira Angkatan Darat itu dilanjutkan, setelah sempat digali
saat malamnya. Penggalian itu berlangsung di bawah pengawasan Panglima
Kostrad Mayjen Seoharto, dan diliput secara luas oleh media massa.
8
Luhulima, James , hal. 107 9
13
Selesai penggalian jenazah para jendral dan perwira pertama Angkatan
Darat di Lubang Buaya, Pondok Gede, Panglima Kostrad Mayjen Seoharto
mengatakan :
“Bahwa dengan penggalian djenazah-djenazah ini, djelaslah bagi kita jang menjaksikan dengan mata kepala sendiri betapa kedjamnja aniaja jang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa jang dinamakan “Gerakan 30 September”.
Ketudjuh djenazah para Pahlawan TNI/AD itu, 6 orang Djendral dan seorang Perwira Pertama, diketemukan dalam keadaan tubuh jang djelas penuh siksaan. Bekas-bekas luka di sekudjur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalur tubuh-tubuh Pahlawan-Pahlawan kita.
Melihat tempat di mana djenazah-djenazah itu diketemukan, jakni Lubang Buaya, daerah ini djelas merupakan bagian dari daerah Pangkalan Udara Halim. Satu fakta lagi, melihat sumur jang dipergunakan tempat menanam majat ini telah pula mendjadi pusat daerah latihan Sukarelawan/Sukarelawatijang dilaksanakan AURI. Mereka terdiri dari Pemuda Rakjat dan Gerwani.
Mungkin mereka itu dalam rangka latihan pertahanan pangkalan, tetapi dengan tertangkapnja seorang anggota Gerwani di Tjirebon jang berasal dari Djawa Tengah, teranglah mereka berasal jauh dari sini (Djakarta-Pen). Dengan fakta-fakta, mungkin jang diamanatkan oleh Presiden jang tertjinta Bung Karno bahwa AURI tidak terlibat, mungkin ada benarnja, tapi tidaklah mungkin kalau tidak ada hubungan antara oknum-oknum anggota AURI dengan peristiwa pembunuhan jang kedjam ini.
Sebagai warga anggauta Angkatan Darat, saja mengetuk djiwa dan peresaan daripada patriot-patriot anggauta AURI bila ada oknum-oknum jang terlibat dalam pembunuhan Djendral-djendral jang tidak berdosa ini mudah-mudahan patriot-patriot AURI akan dibersihkan djuga anggauta-anggauta AURI dari petualang-petualang jang terlibat.
Saja mengutjapkan terima kasih dan rasa sjukur saja kepada Tuhan Jang Maha Esa jang pada achirnja menundjukkan kita bahwa semua tundakan jang tidak djudjur dan tidak baik akan tertindas. Penghargaan tinggi diberikan kepada Resimen RPKAD, KKO, Satuan-satuan lain dan Rakjat jang telah membantu usaha penggalian djenazah para djendral.”10
Narasi lain yang mendukung pernyataan Soeharto adalah Harian Angkatan
Bersendjata dan Berita Yudha edisi 5 Oktober. Harian Angkatan Bersendjata
menampilkan beberapa foto kabur dari mayat-mayat yang mulai membusuk lalu
10
menggambarkan kematian mereka sebagai perbuatan barbar dalam bentuk
penyiksaan yang dilakukan di luar batas-batas kemanusiaan. Sementara itu, Berita
Yudha menyebutkan mayat-mayat itu tertutup dengan tanda-tanda yang
mengindikasikan adanya penyiksaan.11
Pada edisi 9 Oktober 1965, Berita Yudha bahkan melaporkan bahwa jasad
Lettu Tendean mengalami luka sayatan pisau di dada sebelah kiri dan perutnya,
lehernya telah di penggal, dan kedua matanya dicungkil keluar. Pada edisi 11
Oktober, Harian Angkatan Bersendjata menulis Pierre Tendean sebelumnya
diperlakukan sebagai “barang mainan” Gerwani. 12
Berdasarkan informasi yang diterima lewat media massa tersebut, maka
pada umumnya masyarakat memandang bahwa peristiwa 1 Oktober tersebut
adalah peristiwa di mana orang-orang PKI menculik dan membunuh 7 Jendral
Angkatan Darat dengan kejam dengan menyiksa terlebih dahulu para Jendral
tersebut sebelum mereka dibunuh. Tentu saja isu ini menyulut kemarahan
masyarakat terhadap PKI dan simpatisannya.
B. Narasi Melalui Buku-buku Pelajaran
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu cara pemerintah
Orde Baru menyampaikan narasi tentang tragedi 1965 adalah melalui buku-buku
pelajaran di sekolah. Narasi yang ditawarkan oleh pemerintah Orde Baru, yakni
menyebutkan Gerakan September 30 (G30S) adalah gerakan pengkhianatan yang
dilakukan oleh PKI untuk merebut kekuasaan dan mengganti dasar negara
11
Eros Djarot, dkk, Siapa Sebenarnya Soeharto, Jakarta, Mediakita, 2006, hal. 17 12
15
Pancasila dengan ideologi Komunis.13 Dalam otobiografi Soeharto yang menjadi
acuan dalam penulisan sejarah tentang peristiwa dan tragedi 1965 ia mengatakan
“... Saya tegaskan, menurut saya, ini bukan sekedar gerakan untuk menghadapi
apa yang dikatakan Dewan Jenderal saja, melainkan lebih jauh dari itu. Mereka
mengadakan gerakan kup untuk merebut kekuasaan negara secara paksa. Dan
pasti didalangi oleh PKI.”14
Disebutkan pula, untuk memenuhi ambisinya tersebut, PKI tidak
segan-segan menghalalkan segala cara seperti menculik dan membunuh para perwira
tinggi Angkatan Darat (AD). Untuk melaksanakan tujuannya, PKI melakukan
beberapa langkah antara lain dengan melakukan propaganda untuk memprovokasi
emosi massa lewat media massa yang dimiliki oleh PKI, selain itu adalah dengan
menyebarkan isu Dewan Jendral untuk menciptakan image buruk terhadap
pimpinan TNI AD.
Karena alasan-alasan itulah kemudian seperti ada “pembenaran” dalam
penumpasan PKI. Buku-buku pelajaran yang membahas mengenai peristiwa
G30S ini umumnya menarasikan, peran PKI dalam G30S, hingga
penumpasannya. Di sana penggambaran bahwa ABRI dan peran Soeharto sebagai
“penyelamat” sangat ditonjolkan seperti yang terdapat pada bagian pembahasan
Penumpasan Gerakan G30 S/PKI15, disebutkan bahwa Mayor Jendral Soeharto
selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) mengambil
13
Herimanto, Sejarah : Pembelajaran Sejarah Interaktif, Jakarta, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2012, hal. 209
14
Otobiobrafi Soeharto, Op.Cit. hal. 121 15
alih komando Angkatan Darat dan mulai memimpin operasi penumpasan terhadap
gerakan 30 September.
C. Narasi Melalui Film
Film adalah sebuah media audio visual yang dapat menampilkan dengan
jelas suatu peristiwa atau kejadian, mungkin karena hal tersebut maka pemerintah
Orde Baru memilih media ini untuk menyampaikan narasi tentang tragedi 1965.
Film tentang tragedi 1965 yang sangat dikenal di masyarakat adalah film
“Pengkhianatan G30S/PKI”. Film yang dibuat pada tahun 1984 ini,
menggambarkan secara gamblang adegan penyiksaan yang dilakukan Gerwani
dan Pemuda Rakyat terhadap para jendral di Lubang Buaya. Dalam film ini
digambarkan Gerwani dan Pemuda Rakyat menyilet, menyundut, dan mencungkil
mata para jendral.16
Film Pengkhianatan G30S/PKI yang berdurasi sekitar 220 menit ini
diperoduksi pada 1984 dan almarhum Arifin C. Noer didapuk menjadi sutradara
film itu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memerintahkan TVRI
untuk menayangkan film itu setiap tanggal 30 September. Murid-murid sekolah
juga diwajibkan menonton film tersebut.17 Film Pengkhianatan G30S/PKI mulai
ditayangkan pada 1984 hingga 1997 di TVRI.18 Selama 13 tahun ditayangkan di
televisi nasional dan ditonton oleh hampir seluruh rakyat Indonesia bahkan
16
Luhulima, James , hal. 12 17
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432667/Film-Pengkhianatan-G30SPKI-Propaganda-Berhasilkah.Diakses tanggal 31 Mei 2013
18
17
sampai ke pedalaman-pedalaman. Dengan demikian maka timbullah kebencian
masyarakat terhadap PKI, lewat film tersebut.
Pada 2000, Tempo mengadakan survei lagi terhadap lebih dari 1.000
responden dari tiga kota terbesar di Indonesia. Ditanya dari mana mereka belajar
tentang sejarah 1965. Hasilnya, 90 persen responden menjawab dari film. Ketika
ditanya berapa kali mereka menonton Pengkhianatan G30S/PKI, sebagian besar
menonton dengan jumlah paling sering. Hanya 13 persen yang menonton sekali;
29 persen dua kali; 20 persen tiga kali, dan persentase terbesar (38 persen) sudah
menonton film itu lebih dari tiga kali. Kerangka berpikir Pengkhianatan
G30S/PKI masuk ke sumsum tulang sebagian besar masyarakat. Orang swasta
yang tertular kemudian ikut menebar kuman bertutur seperti film propaganda
itu.19
D. Indokrinasi Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan
mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal
dengan namaEkaprasatya Pancakarsaatau Pedomanan Pengahayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Untuk mendukung
pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4
secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan
membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga
19
dengan adanya pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan
terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada
dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Sejak
tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan
berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain
Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan
pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian
Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila
menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial
masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh
karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai
dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila,
demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Dan Pancasila dianggap memiliki
kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.20
Kelahiran dan tumbuh kembang P4 didorong oleh situasi kehidupan
negara yang terjadi pada pertengahan tahun 1965. Orde Baru menilai bahwa
terjadinya tragedi nasional, G-30-S/PKI pada tahun 1965, adalah karena bangsa
Indonesia tidak melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara
murni dan konsekuen. Setelah bangsa Indonesia mampu mengatasi akibat dari
gejolak yang ditimbulkan oleh gerakan G-30-S/PKI, serta telah mampu untuk
menetapkan program pembangunnya, dirasa perlu untuk membenahi karakter
20
19
bangsa dengan mengembangkan sikap dan perilaku warganegara sesuai dengan
amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasarnya. Maka Majelis
Permusyawaratan Rakyat, dalam Sidang Umumnya, pada tanggal 22 Maret 1978
menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dengan demikian
pelaksanaan P4 merupakan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh MPR RI
sebagai penjelmaan rakyat, yang wajib dipatuhi.21
Untuk menindak lanjuti TAP MPR tersebut Presiden menerbitkan Instruksi
Presiden No. 10 tahun 1978, untuk menyelenggarakan penataran P4, dan sebagai
langkah pertama diselenggarakan penataran bagi calon Penatar Tingkat Nasional,
yang biasa disebut Manggala. Penataran Manggala pertama berlangsung dari
tanggal 1 Oktober sampai dengan 15 Oktober 1978, berlangsung di Istana Bogor
dan diselenggarakan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara dan
Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara. Manggala angkatan pertama
berjumlah sekitar 100 orang terdiri dari para pejabat eselon dua dan satu dari
berbagai departemen dan lembaga negara. Kemudian para manggala angkatan
pertama ini bersama dengan para pembina penatar nasional ditugasi untuk
menyusun bahan penataran yang terdiri atas tiga bahan yakni Pancasila, UUD
1945, dan GBHN dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 dan
Ketetapan MPR yang terkait.
Pemerintah pada masa Orde Baru memberikan penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai cara untuk menunjukkan
bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang diakui dan boleh berkembang
21
di Indonesia. Narasi mengenai Tragedi 1965, secara massal dinarasikan lewat
Indoktrinasi (P4) dan dilakukan terhadap seluruh lapisan masyarakat. Lewat
program P4 tersebut, masyarakat hanya diberi satu tafsir tunggal terhadap
pancasila, tafsir lain harus disensor dan dijauhkan ada dalam benak setiap manusia
indonesia.22 Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),
dilengkapi dengan propaganda tentang musuh utama ideologi Pancasila, yang
diperkuat dengan pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI, sehingga ancaman
paling nyata terhadap ideologi Pancasila adalah seperti yang tervisualisaikan
lewat film tersebut.
22
21 BAB III
NARASI TRAGEDI 1965 PASCA ORDE BARU
Perubahan cara pandang tentang Tragedi kemanusiaan 1965 terjadi setelah
munculnya tulisan-tulisan mengenai peristiwa tersebut terutama pasca runtuhnya
pemerintahan Orde Baru di tahun 1998. Buku-buku yang bersifat kritis akademis
banyak diterbitkan, forum-forum publik tentang Tragedi 1965 pun banyak
diselenggarakan. Angin reformasi juga membuat para survivor bisa memberikan
narasi Tragedi 1965 menurut versinya, apa yang mereka lihat dan apa yang
mereka ketahui tentang Tragedi tersebut, yang kebanyakan berbeda dengan narasi
yang disampaikan pemerintah Orde Baru.
Pasca Orde Baru runtuh, penarasian Tragedi 1965 ataupun
penggalan-penggalan peristiwa seputar Tragedi 1965 banyak divisualisasikan pula lewat
film. Beberapa film yang cukup dikenal antara lain: film Shadow Play, film 40
Years of Silence dan film The Act of Killing (Jagal). Meski bangsa Indonesia
masih terpecah dalam dua pendapat antara percaya atau tidak kepada anggapan
bahwa PKI lah yang paling bertanggung jawab atas Tragedi kemanusiaan tersebut
namun munculnya film-film diatas (dan beberapa film lain) berjasa memberikan
narasi-narasi lain dengan sudut pandang lain mengenai tragedi kemanusiaan yang
selama masa Orde Baru ditabukan oleh negara.
Meskipun pasca runtuhnya Orde Baru, masyarakat Indonesia relatif lebih
terbuka terhadap narasi lain mengenai Tragedi 1965, namun penolakan terhadap
narasi-narasi baru mengenai tragedi tersebut banyak mengalami kendala dan
perlahan mulai muncul lagi, buku-buku pelajaran sejarah untuk anak sekolah yang
memberikan pemahaman lain tentang Tragedi 1965 ditarik dari peredaran untuk
kemudian “diperbaiki” sesuai dengan narasi pada masa Orde Baru.
A. Munculnya Semangat Keterbukaan di Masyarakat
Pasca Orde Baru, banyak buku-buku yang membahas tentang Tragedi 1965
yang diterbitkan. Sejarawan dan akademisi banyak menulis buku tentang tragedi
tersebut. Romo Baskara T Wardaya, Eros Djarot, Asvi Warman, dan Hersri
Setiawan adalah beberapa akademisi yang banyak menulis tentang topik tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Romo Baskara T. Wardaya dalam bukunya
Suara di Balik Prahara, beliau mengatakan “diharapkan kita bisa melihat secara
lebih utuh sejarah seputar Tragedi Kemanusiaan 1965, serta bagaimana selama ini
sejarah tentang tragedi itu dinarasikan dan dipahami oleh masyarakat pada
umumnya”.23 Masih menurut Romo Baskara T. Wardaya narasi yang selama 32
tahun ini beredar di masyarakat adalah narasi yang diproduksi oleh pemerintah
guna menunjang kepentingan-kepentingan sendiri.24
Pasca Orde Baru runtuh, sejarawan terutama ingin mengajak melihat
tragedi kemanusiaan 1965 dari berbagai sudut, seperti disebutkan diatas, sejarah
ditulis guna menunjang kepentingan-kepentingan tertentu, jika kita tarik ke
tragedi 1965 maka sejarah dibuat demi “pembenaran” atas pembantaian yang
terjadi pada masa-masa tersebut. Sejarawan mengajak masyarakat Indonesia
melihat hal-hal kecil maupun peristiwa-peristiwa kecil yang terkadang luput dari
23
Baskara T. Wardaya, Suara di Balik Prahara :Berbagi Narasi Tentang Tragedi 1965, Yogyakarta, Galangpress, 2011, hal. 29
23
perhatian namun memberi dampak besar bagi perjalanan sebuah bangsa, seperti
penyebutan “lubang buaya” pada kalimat “PKI memasukkan jenazah para jendral
ke sumur lubang buaya” adalah kalimat yang jika tidak paham dengan konteksnya
maka yang ditangkap oleh masyarakat awam, terutama di luar jakarta secara
harafiah akan menangkap kebengisan PKI dengan memasukkan mayat para
jendral ke lubang buaya, padahal Lubang Buaya itu sendiri adalah nama
tempat/daerah/kampung di Jakarta yang kebetulan bernama Desa Lubang Buaya.
Hal lain yang dapat kita lihat dan perlu dikritisi dan jarang diperhatikan
menurut Romo Baskara T. Wardaya adalah sebenarnya tragedi 1965 terdiri dari
dua peristiwa yang tak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Peristiwa
pertama adalah peristiwa penculikan dan pembunuhan yang terjadi pada tanggal 1
Oktober 1965 dini hari di Jakarta. Peristiwa kedua adalah peristiwa pembantaian
massal yang dimulai dari Jawa Tengah pada pekan ketiga bulan Oktober 1965,
yang berlanjut pada bulan November 1965 di Jawa Timur dan pada bulan
Desember 1965 di Bali.25
Kedua peristiwa diatas jarang ditampilkan dalam satu frameagar kita lebih
jujur melihat perjalanan bangsa kita. Narasi-narasi yang ditawarkan oleh rezim
Orde Baru berhenti pada PKI dalang peristiwa penjemputan paksa para jendral
dan membunuhnya dengan kejam, maka layak ditumpas, tidak pernah
menyinggung bagaimana penumpasan PKI juga merupakan tindakan yang lebih
25
brutal dari kekejaman PKI yang digambarkan lewat film penghianatan G30S/PKI
(yang kebenarannya pun masih diragukan).26
Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 dengan berani memberikan laporan
tentang “sesuatu” yang jarang diketahui tentang tragedi 1965, yakni pengakuan
para algojo yang membunuh simpatisan PKI diseputaran tahun 1965 hingga 1966.
Banyak yang memprotes isi majalah ini, karena dianggap mendeskreditkan
kiai-kiai dan santri yang ikut serta membantai anggota PKI.27Majalah Tempo ini juga
memperlihatkan peran ABRI dalam mengorganisir massa guna membasmi PKI.28
Laporan khusus Tempo ini juga memberikan narasi lain mengenai apa yang
sesungguhnya terjadi di seputaran tragedi kemanusiaan di tahun 1965 tersebut.
Selain buku-buku yang terbit, beberapa hal yang lebih leluasa dilakukan
pasca Orde Baru runtuh yang dinilai sebagai kemajuan dalam memandang tragedi
1965 antara lain :
(a) Diselenggarakannya forum-forum publik tentang Tragedi 1965
Selain buku-buku tentang Tragedi kemanusiaan 1965 relatif lebih mudah
terbit jika dibanding dengan dikala Orde Baru sedang berkuasa, forum-forum
publik yang membahas tentang Tragedi kemanusiaan tersebut juga relatif lebih
mudah dilaksanakan. Beberapa forum tempat survivor Tragedi 1965 dibentuk, ada
yang menamakan dirinya YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan
26
Simak pernyataan pemain film Jagalyang menyatakan bahwa sesungguhnya kita (pembasmi PKI) lebih kejam dari mereka (PKI).
27
Baca Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 halaman 74 salah satu pelaku pembantaian terhadap anggota PKI
28
25
1965/1966), LPKP (Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965), LPRKROB
(Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru), PAKORBA
( Paguyuban Korban Orde Baru), Sekber ’65 (SEKRETARIAT BERSAMA
KORBAN 1965) dan sebagainya. Forum-forum tersebut mewadahi para survivor
dan sering melakukan diskusi-diskusi publik membicarakan tentang Tragedi 1965.
Salah satu forum, yakni sekber ’65 pernah beberapa kali melakukan
kegiatan diskusi tentang Tragedi 1965 ini, diantaranya pada tanggal 2 Juli 2012,
dari pukul 09.00-13.00 WIB SekBer’ 65 mengadakan Diskusidengan dua
peneliti sejarah dari School of Historical Studies, The University of Melbourne
Australia yaitu Kathrin Mc Gregor dan Vanessa Hearman, membahas mengenai
perkembangan RUU KKR (Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi) dan pernyataan tentang wacana permohonan maaf presiden terhadap
para korban HAM berat.29Tanggal 19 Juli 2012 jam 09.00-11.30 Sekertariat
Bersama ’65 ( Sekber’65 ) melakukan audiensi dengan DPRD Solo, membahas
tentang penyelesaian dan penuntasan tragedi 1965/1966 yang diamanatkan dalam
TAP MPR NO. V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional. Pada 15 September 2010 penulis, Romo Bakskara T Wardaya dan
beberapa teman mahasiswa dari Yogyakarta ikut serta dalam diskusi para survivor
untuk melihat langsung dinamika para mereka dalam memperjuangkan hak
haknya yang sudah puluhan tahun hilang. Diskusi ini juga dimuat oleh Solo Pos:
Puluhan korban Tragedi 1965 yang tergabung dalam Sekber ’65 menemui jajaran DPRD Kota Solo di Gedung DPRD Solo, Kamis
29
(19/7/2012). Mereka mendesak agar DPRD Solo menyampaikan aspirasi kepada DPR RI tentang penetapan RUU KKR.30
Pada tanggal 20 Nopember 2012, bertempat di aula Monumens Pers Surakarta Sekretariat Bersama ’65 ( SekBer’65 ) bekerjasama dengan Pemkot Suarakarta dan Kemenkominfo menggelar acara diskusi bersama dengan tema“Menyimak Suara di Balik Prahara”Diskusi Bersama demi Masa Depan Bangsa yang Lebih Baik. Diskusi ini bertolak dari buku yang disusun oleh Romo Baskara T. Wardaya SJ dkk yang berjudul“Suara di Balik Prahara: Berbagai Narasi tentang Tragedi ’65. Acara diskusi dihadiri sekitar 220 orang dari berbagai kota di Jawa Tengah terdiri dari korban’65, tokoh masyarakat dan tokoh agama di Surakarta, budayawan, kaum muda, ormas kepemudaan dan civitas akademis, tenaga pendidik, PKL, kelompok lintas agama serta praktisi hukum. Sedangkan narasumber yang hadir adalah Dr. Yosef Djakababa (CSEASI/Center for Southeast Asian Studies-Indonesia, Jakarta), Dr. Baskara T. Wardaya SJ (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ) dan Ashoka Siahaan (Budayawan). Diskusi yang cukup dinamis ini dipandu oleh Jlitheng Suparman (Seniman Suarakarta) yang juga seorang dalang wayang kampung sebelah.
Pada tanggal 13 Desember 2012 pukul 09.00-14.00 wib, bertempat di Pendopo Rumah Dinas Wakil Walikota Surakarta, acara ini dipandu oleh Majelis Warga (MW) yang berjumlah 5 orang terdiri dari : M.Z. Tammaka (direktur Pondok Pesantren Baitul Musthofa Mojosongo), Imam Aziz (wakil PB NU), Abdullah Faishol ( Dosen IAIN Surakarta, tokoh lintas agama), Vera Kartika Giantari ( Pengacara dan Freelancer Gender dan HAM) dan Nani Nurrachman ( Staf Pengajar /Kepala Bagian Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya Jakarta). Pada kesempatan tersebut Majelis Warga memberi waktu 30 menit untuk setiap testifier dalam memberi kesaksiannya. Kesaksian pertama diawali oleh kesaksian Ibu Budiarti (ibu Fatah) dari kasus’98 yang menyampaikan tentang penculikan dan pembunuhan Gilang, anaknya. Kesaksian kedua oleh Ibu Kastinah korban’65 yang pernah dipenjara di beberapa tahanan di Purwokerto, Semarang, Bukit Duri dan Plantungan, total lamanya penahanan ada 14 tahun. Kesaksian ketiga adalah Bapak Sugeng Yulianto atau pak Yuli korban Talangsari yang mendapat vonis seumur hidup, namun setelah Reformasi dibebaskan dan telah menjalani hukuman selama 10 tahun. Kesaksian keempat Bapak Djasmono korban’65 ditahan di Gresik, Surabaya dan Pulau Buru selama 13 tahun. Kesaksian kelima adalah bapak Sanusi korban’65 ditahan di kamp. Kota dan Pulau Nusakambangan selama 8 tahun. Dan kesaksian keenam atau terakhir yaitu Bapak Sudiharjo, ditahan di kamp. Kota Solo selama 7 tahun.31
Diskusi-diskusi yang dilakukan oleh para survivor dengan orang-orang yang peduli kepada mereka dan kemanusiaan (sejarawan, akademisi,
30
http://www.solopos.com/2012/07/19/korban-tragedi-1965-temui-dprd-203041diakses tanggal 2 Juni 20123
27
politisi dan lain-lain) menunjukkan bahwa masyarakat semakin terbuka menyikapi peristiwa Tragedi kemanusian yang terjadi di sepanjang tahun 1965 sampai 1966 tersebut. Meskipun tidak jarang mendapat penolakan dari kelompok-kelompok tertentu yang menentang forum-forum dan diskusi semacam ini, namun pada kenyataannya duskusi-diskusi tersebut berhasil digelar dan peserta diskusi mendapat persfektif lain tentang Taragedi 1965 adalah satu hal yang baik untuk pencerahan sejarah bangsa Indonesia.
(b) Diterbitkannya memoir para survivor
Angin reformasi memberikan kesempatan kepada para survivor untuk
memberikan narasi lain mengenai Tragedi 1965. Mereka yang disalahkan, mereka
yang selama ini dibungkam kemudian mendapatkan kesempatan untuk
memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi diseputar tragedi tersebut.
Buku-buku dari para survivor yang selama ini dilarang terbit, kemudian dapat kita baca
sebagai pembanding narasi yang disuguhkan secara “resmi” oleh pemerintah Orde
Baru. Memoir para survivor yang dapat kita baca antara lain yang ditulis oleh
Perhimpunan Purnawirawan AURI32 yang berjudul “Menyingkap Kabut Halim
1965”, buku tulisan Kolonel Abadul Latief yang diambil dari pledoi sidangnya
yang berjudul “Pledoi Kol. A. Latief : Soeharto Terlibat G30S, serta artikel Prof
Dr Arief Budianto yang berjudul “Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan
Revolusi”,33kesemuanya membalikkan narasi tentang peristiwa tanggal 1 Oktober
dan tragedi kemanusiaan yang mengikutinya yang dinarasikan di masa Orde Baru.
Dikutip oleh James Luhulima, dalam bukunya, para purnawirawan AURI
menulis :
32
Markas AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dituduh sebagai markas G30S lihat Luhulima James Op. Cit, hal. 33
33
Selama 33 tahun sejak peristiwa G30S/PKI, opini publik yang terbentuk oleh pernyataan elit pimpinan militer dan pemerintahan Orde Baru, telah menyudutkan AURI. Pernyataan mereka bagaikan memvonis, seakan-akan Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma menjadi markas pusat G30S/PKI dan seolah-olah AURI terlibat.
Juga diuraikan
Berdiam diri pada posisi tersudut, tanpa keberanian, itulah kondisi AURI selama ini, seakan-akan menghadapi kabut tebal yang menutup angkasa.34
Dalam bukunya ini, para purnawirawan AURI tidak menyangkal adanya
anggota mereka yang terlibat dalam peristiwa penjemputan paksa para Jendral,
namun mereka ingin menggarisbawahi bahwa AURI secara institusi tidak terlibat.
Dalam buku ini, para purnawirawan menjelaskan alasan-alasan mengapa ketua
PKI DN Aidit bisa berada di lingkungan PAU Halim Perdana Kusuma, serta
indikasi-indikasi bahwa AURI secara institusi tidak terlibat. Sebab, karena
keberadaan DN Aidit di PAU Halimperdanakusuma lah AURI secara institusi di
persalahkan dan PAU Halimperdanakusuma dianggap sebagai markas pusat
G30S.
Menurut Pledoi Kolonel Abdul Latief, dalam bukunya mengungkapkan
kepada masyarakat luas bahwa Panglima Kostrad Mayjen Soeharto telah diberi
tahu bahwa para Jendral akan dijemput paksa, beberapa jam sebelum aksi
penjemputan itu dilaksanakan.35 Diungkapkan pula bahwa ia dua kali bertemu
dengan Soeharto sebelum pelaksanaan penjemputan paksa, yang pertama terjadi
pada tanggal 28 September 1965 dirumah Mayjen Soeharto, membicarakan
tentang informasi adanya Dewan Jendral yang akan mengkudeta presiden Sukarno
34
James Luhulima menulis narasi dari para purnawirawan AURI yang menolak pernyataan bahwa Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma sebagai markas PKI
35
29
dan Soeharto menurut Latief sudah mendengar informasi tersebut dari anak
buahnya. Pertemuan kedua di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat), jam
22.00 WIB tanggal 30 September 1965, beberapa jam sebelum penjemputan paksa
itu dilakukan. Kolonel Abdul Latief menuturkan bahwa ia memberi tahu Soeharto
yang sedang menunggu anaknya yang sedang di rumah sakit karena tersiram sop
panas itu bahwa ia dan teman-temannya akan menjemput paksa para Jendral
beberapa jam lagi. Soeharto, kata Latief, tidak memberikan komentar apa-apa, ia
hanya mengagangguk-angguk. Oleh Latief, hal itu diartikan sebagai sebuah
dukungan.36
Pernyataan kolonel Abdul Latief ini memberi narasi baru terhadap peran
Soeharto dalam peristiwa dinihari 1 Oktober 1965 yang menyebabkan 7 Jendral
meregang nyawa tersebut, kenyataan bahwa Soeharto tidak melakukan apa-apa
padahal dia tahu bahwa akan terjadi penjemputan paksa memberikan persfektif
lain dalam melihat peristiwa dini hari tersebut. Apalagi melihat Soeharto yang
tidak melaporkan kepada atasannya Men/Pangad Letjen Ahmad Yani yang
namanya termasuk dalam daftar jendral yang akan dijemput.37
Tidak lama setelah Orde Baru runtuh mei 1998, di bulan Oktober 1998 Prof
Dr. Arief Budianto menulis sebuah artikel yang berjudul Meluruskan Sejarah
Penyiksaan Pahlawan Revolusi. Atikel ini juga memberi persfektif lain dalam
melihat narasi Tragedi kemanusiaan tahun 1965 tersebut dimasa Orde Baru tidak
lagi berkuasa. Dalam Artikelnya ini, Prof Dr Arief Budianto mengungkapkan,
sempat ada kekhawatiran di antara tim dokter yang mengotopsi 7 Pahlawan
36
Ibid, hal. 48 37
Revolusi sewaktu akan menyelesaikan laporan visum et repertum sesuai dengan
kenyataan yang ditemui, sebab diluar santer diberitakan bahwa para jendral
mengalami penyiksaan biadab. “Kami sampai waswas karena setelah selesai
memeriksa, kami tidak menemukan penis yang dipotong,” selanjutnya ia
menyatakan “kami memeriksa penis-penis korban dengan teliti. Jangankan
terpotong, bahkan luka iris saja tidak ada”.38Narasi ini penting karena kemarahan
masyarakat kepada PKI dan simpatisannya tersulut karena adanya desas desus
yang menyatakan adanya penyiksaan yang luar bisa terhadap para jendral sebelum
mereka dibunuh.
Dalam buku “Aku Eks Tapol” Hersri Setiawan, muncul ula narasi lain
mengenai tragedi 1965, ia menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang juga
menjadi mantan tahan politik yang mencoba hidup kembali di masyarakat yang
memberinya cap “bengis” karena ke-PKI-an nya.39 Narasi lain yang ia sampaikan
adalah bagaimana seorang mantan napi politik begitu sulit diterima di masyarakat
karena sistem yang dibuat memang memangkas hak para eks tapol untuk berkarya
dan bekerja. Eks tapol tidak boleh menjadi PNS (hingga dicabut oleh Gus Dur), di
KTP nya diberi tanda e-t yang berarti eks tapol dan berarti “sampah masyarakat”
yang harus dijauhi. Pada pasca Orde Baru inilah dimensi-dimensi yang tidak akan
terlihat pada narasi-narasi yang disampaikan oleh rezim Orde Baru.
(c) Diproduksinya film-film di sekitar topik Tragedi 1965
Pasca Orde baru runtuh, film-film seputaran Tragedi 1965 banyak
bermunculan. Dengan semangat menggebu, modal pas-pasan, dan bantuan minim
38
Ibid, hal. 13 39
31
dari penderma, para sineas film indie mendirikan jaringan. Lembaga Kreatifitas
Kemanusiaan pimpinan Putu Oka Sukanta, penyair, mantan pegiat Lekra, dan
korban politik 1965, menjadi salah satu produser paling rajin. Film mereka antara
lain berjudul Menyemai Terang dalam Kelam (2006), Perempuan yang Tertuduh
(2007), Tumbuh dalam Badai (2007), Seni Ditating Jaman (2008), Tjidurian 19
(2009), dan Plantungan: Potret Derita dan Kekuatan Perempuan (2011).40
Film bertema 1965 juga diproduksi organisasi non-pemerintah dalam
bidang hak asasi manusia: Bunga-tembok (2003), Kawan Tiba Senja: Bali seputar
1965 (2004), Kado untuk Ibu (2004), Putih Abu-abu: Masa lalu Perempuan
(2006), dan Sinengker: Sesuatu yang Dirahasiakan (2007). Karya-karya di atas
menekankan advokasi gugatan keadilan.41 Semua karya itu menarasikan Tragedi
1965 dan memberikan suara serta simpati bagi para korban yang selama ini
dibungkam.
Film dokumenter karya sineas asing dengan tema serupa: The Shadow Play
(2001), Terlena: Breaking of a Nation(2004), 40 Years of Silence: An Indonesian
Tragedy (2009), dan The Act of Killing (Jagal) (2012).42 Kesemua film ini pun
menarasikan Tragedi 1965 dengan sudut pandang yang berbeda dengan yang
disuguhkan pada saat Orde Baru sedang berkuasa. Sebagai contoh, jika kita
metonton film 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy43 kita akan
diperlihatkan pola pembantaian massal yang bermula dari ujung barat pulau jawa
semakin ke timur sampai akhirnya di Bali yang kesemuanya memiliki pola yang
40
Baca Majalah Tempo Edisi 1-7 Oktober 2012, hal. 121 41
Idem 42
Idem 43
sama, yakni didahului oleh kedatangan pasukan angkatan darat. Hal-hal semacam
inilah yang tidak diperlihatkan kepada kita pada narasi yang disampaikan oleh
penguasa Orde Baru dimasa lalu.
(d) Permintaan maaf Gus Dur
Sewaktu menjabat sebagai presiden RI, Ketua Umum PBNU KH
Abdurahman Wahid (Gus Dur), dalam sebuah dialog interaktif Secangkir kopi
yang disiarkan TVRI tanggal 14 Maret (2000), menyatakan permintaan maafnya
kepada mereka yang menjadi korban mengingat banyak di antaranya yang tidak
bersalah dalam Tragedi 1965. Gus Dur mengakui, banyak warga NU terlibat
dalam pembantaian terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI itu.44
Dalam pernyataan Gus Dur itu (menurut Kompas 15/3-2000)
disebutkannya bahwa sejak dulu, ketika masih menjadi Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdatul Ulama (NU), dirinya sudah meminta maaf terhadap para korban
G30S. Pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali
kasus G30S dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya. Dari dulu
pun, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja, tanyakan pada teman-teman di
lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya sudah meminta maaf atas segala
pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai komunis.
Menurut Gus Dur, belum tentu orang-orang yang dituduh komunis
semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. "Buktikan dong secara
pengadilan, nggak begitu saja terjadi. Dan, maaf ya, hal semacam itu terjadi,
44
33
justru banyak pembunuhan dilakukan oleh anggota NU.” Gus Dur mengatakan,
kalau masalah G30S/PKI dibuka kembali, akan baik sekali bagi perdebatan
bangsa Indonesia. “Karena banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada
juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti
melalui pengadilan yang mana yang benar”, paparnya.45
Pernyataan Gus Dur ini memberikan pemahaman lain mengenai Tragedi
1965, bahwa peristiwa tersebut tidak hanya tentang siapa yang benar dan siapa
yang salah, namun lebih luas lagi melihat sisi di mana ada kelompok yang
dipersalahkan, dalam hal ini PKI, di lain pihak, ada juga kelompok yang merasa
benar dan melakukan “pembasmian” terhadap anggota PKI dan simpatisannya,
meskipun banyak di antara mereka yang tidak bersalah, bahkan tidak
tahu-menahu tentang Gerakan September 30.
Saat menjabat Presiden, Gus Dur melontarkan gagasan pencabutan
Ketetapan MPRS No XXV/1966. Pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/1966
menyangkut tiga hal, yaitu (1) mengakhiri diskriminasi terhadap keluarga korban
yang diduga sebagai anggota atau terkait PKI dan organisasi onderbouw, (2)
pelarangan ajaran komunis, dan (3) pelarangan terhadap PKI.46
(e) Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM tahun 2012
Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) pada tahun 2012
mengeluarkan rekomendasi menyangkut Tragedi 1965. Laporan hasil
Penyelidikan pro justisia oleh Komnas HAM atas rangkaian massal kekerasan
45
http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Fw-GELORA45-ISNU-Sejarah-G30S-PKI-Dijungkirbalikkan-td55666.htmldiakses tanggal 31 Mei 2013
46
pada masa awal berkuasanya pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto,
1965-1967 hingga tahun 1970an. Dalam laporannya, Komnas HAM menyatakan telah
ditemukan adanya indikasi atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, berupa
pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, kerja paksa,
pemerkosaan, pemenjaraan tanpa proses hukum dan berbagai tindakan lainnya.47
Laporan penyelidikan KOMNAS HAM ini telah membukakan pintu bagi
berbagai tindakan Negara untuk melakukan pengungkapan kebenaran,
memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban serta membawa
perubahan dalam pelurusan sejarah melalui pengakuan atas berbagai praktek
kekerasan dimasa lalu, terutama dimasa rezim politik Orde Baru.Sampai saat ini,
korban dari berbagai peristiwa yang berbeda secara umum masih terus mengalami
diskriminasi hukum maupun stigma sosial. Hal ini menunjukan bahwa sampai
detik-detik akhir dikeluarkannya laporan ini, para korban masih terus mengalami
dampak yang berlanjut akibat peristiwa yang terjadi di masa lalu tersebut.
Adapun isi dari rekomendasi komnas HAM antara lain:
1. Presiden bersama DPR segera mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan Adhoc sehingga Kejaksaan Agung tanpa penundaan dapat melakukan penyidikan atas laporan penyelidikan awal KOMNAS HAM 2. Jaksa Agung harus segera menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan
langkah-langkah penyidikan yang patut, baik memanggil para saksi, maupun tersangka yang masih hidup
3. DPR melakukan pengawasan yang efektif kepada Jaksa Agung dan Pemerintah untuk memastikan dijalankannya rekomendasi dari laporan Komnas HAM
4. Presiden, berdasarkan temuan dalam laporan ini, segera mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyusun kebijakan pemulihan bagi korban yang bersifat segera, baik terkait dengan reparasi, rehabilitasi dan penghentian diskriminasi terhadap korban
47