• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum terhadap Dosen Perguruan Tinggi Swasta yang di-PHK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum terhadap Dosen Perguruan Tinggi Swasta yang di-PHK"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SISTEM PERJANJIAN KERJA YANG DILAKUKAN OLEH PERGURUAN TINGGI SWASTA DENGAN DOSEN

A. Perjanjian Kerja Menurut Peraturan Perundang-undangan 1. Kitab Undang Hukum Perdata

Istilah perjanjian kerja ini menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja,

yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi

berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan

kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat tentang

perburuhan.32 Dengan demikian adalah kurang tepat bila Wirjdono Prodjodikromo

menggunakan istilah perburuhan untuk menunjuk istilah perjanjian kerja. Sedangkan

untuk perjanjian kerja beliau menggunakan istilah persetujuan perburuhan bersama.33

Prof. Subekti juga menggunakan secara kurang tepat istilah persetujuan perburuhan

untuk perjanjian perburuhan diberinya nama persetujuan perburuhan kolektif.34

Perjanjian kerja yang dalam bahasa belanda biasa disebut

Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam berbagai pengertian. Pengertian yang

32

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2003), hal 70

33

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu dalam Imam Soepomo, Ibid.

34

(2)

pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601 a KUH Perdata, mengenai perjanjian

kerja disebutkan bahwa :

“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu si buruh,

mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak lain, si majikan untuk

suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”

Selain itu pengertian mengenai perjanjian kerja yang menerangkan bahwa

perihal pengertian tentang perjanjian kerja, mengemukakan bahwa ;

“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh,

mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya,

majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan

membayar upah”35

Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai perjanjian kerja,

khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601 a KUH Perdata tersebut

dikemukakan perkataan “dibawah perintah” maka perkataan inilah yang merupakan

norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan

perjanjian perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “dibawah” ini mengandung arti

bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak lainnya,

atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain berarti ada unsur wewenang perintah

dan dengan adanya wewenang perintah berarti antara kedua belah pihak ada

kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi disini ada pihak yang

kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di

35

(3)

bawah, yaitu yang diperintah.36 Maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh

mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.

Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan yang satu, yaitu si

buruh atau pekerja, adalah tidak sama dan seimbang dengan pimpinannya yaitu

kedudukan si buruh berada di bawah, jika dibandingkan dengan kedudukan dari pihak

majikan. Dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja, maka

kedudukan hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam kedudukan yang sama

atau seimbang.

Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada

umumnya seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu seperti yang ditentukan

pada Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah

suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut perikatan yang di

dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing masing pihak. Jelas di dalam pasal

tersebut bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama

dan seimbang.

Ketentuan tentang perjanjian kerja antara para pihak yang mengadakan

perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang

sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari

di-sekelilingnya (Sosial dan Ekonomi), maka kenyataan menunjukkan bahwa

36

(4)

kedudukan dan derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut

menjadi tidak sama dan seimbang.

Selanjutnya jika dilihat dari segi obyeknya, maka perjanjian itu mirip dengan

perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu

menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan pembayaran

tertentu. Namun perbedaannya antara satu dengan yang lainnya, bahwa pada

perjanjian kerja ada terdapat gabungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dan

majikan. Sedangkan pada perjanjian pemborongan tidak ada hubungan semacam itu,

melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya mandiri.37

Perjanjian kerja merupakan bukti dari suatu ikatan hukum yang mengatur

serta melahirkan hak dan kewajiban. Perihal perjanjian menurut R.Wirjono

Prodjodikoro:

“…perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum antara orang dan

orang, lebih tegas lagi antara seorang tertentu dan orang lain tertentu. Artinya hukum BW tetap memandang suatu perjanjian sebagai perhubungan hukum di mana seorang tertentu, berdasarkan atas suatu janji, berwajib untuk melakukan sesuatu hal, dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan

kewajiban itu.38

1.a.Unsur-Unsur Di Dalam Perjanjian Kerja

Dalam perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan

Pasal 1320 KUH Perdata tersebut masih juga menjadi pegangan dan harus diterapkan,

37

Sri Soedewi Maschun Sofwan, Hukum Bangunan, (Yogyakarta: Perjanjian Pemborongan Bangunan,1982), hal 52

38

(5)

agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan

konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap berpedoman

pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang

harus mereka penuhi, menurut seorang pakar hukum perburuhan dari negeri Belanda,

yaitu Mr.M.G.Rood, beliau menyebutkan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada,

manakala di dalam perjanjian kerja tersebut telah memenuhi 4 syarat yaitu berupa

unsur-unsur yang terdiri dari:39

1. Adanya Unsur Work atau Pekerjaan

Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang

diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja

tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri, haruslah

berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. Pekerja yang melaksanakan

pekerjaan atas dasar perjanjian kerja tersebut, pada pokoknya wajib untuk

melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak itu bebas untuk melaksanakannya

perkerjaannya itu, untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada orang lain untuk

melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan

dari perjanjian kerja. Bahkan di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dinyatakan

bahwa upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan.

39

(6)

Ketentuan tersebut di atas, bisa disebut When do not work, do not get pay,

maksudnya dari kalimat tersebut adalah jika seseorang tidak mau bekerja, maka

berarti seseorang tersebut tidak berkehendak untuk mendapatkan upah. Walaupun

demikian di dalam pelaksanaannya, jika seseorang atau pihak pekerja, sewaktu akan

melaksanakan pekerjaannya sebagai implementasi dari isi yang tercantum dalam

perjanjian kerja, akan tetapi berhalangan.40 Ternyata ketentuan tersebut bisa

dikesampingkan, yaitu dalam pelaksanaannya tenyata pekerjaan tersebut bisa

diwakilkan atau digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah

diberitahukan dan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain, yaitu si

majikan selaku pemberi kerja. Ketentuan ini bisa didapat dalam Pasal 1383 KUH

Perdata jo 1603 a KUH Perdata jo Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang

Perlindungan Upah.

Adapun bunyi dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 1383 KUHPerdata berbunyi:

“suatu perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh seseorang dari

pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang ini mempunyai

kepentingan supaya perbuatannya dilakukan sendiri oleh si berpiutang”.

40

(7)

Adapun bunyi Pasal 1603 a KUHPerdata adalah:

“buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan izin majikan

ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya” (Pasal 1383

KUHPerdata)

2. Adanya Unsur Service atau Pelayanan41

Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi

adanya perjanjian kerja tersebut, pekerja haruslah tunduk pada perintah orang lain,

yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah perintah orang lain, si

majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa si pekerja dalam

melaksanakan pekerjaannya berada di bawah wibawa orang lain, yaitu si majikan.

Dengan adanya ketentuan tersebut maka seorang dokter misalnya dalam

melaksanakan tugasnya, yaitu memeriksa dan atau mendiaknosa pada pasiennya atau

seorang notaris yang melayani kliennya, mereka itu dalam melakukan pekerjaannya,

tidak bisa disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian kerja.

Alasannya, karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak

terdapat di dalamnya. Sebab mereka itu dalam melakukan pekerjaannya, tidak

tunduk dan di bawah perintah orang lain. Karena mereka mempunyai keahlian

tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu si pasien atau klien.

Di samping itu, di dalam melaksanakan pekerjaannya pekerjaan itu harus bermanfaat

bagi si pemberi kerja, misalnya jika dalam suatu perjanjian kerja yang mereka buat,

dinyatakan bahwa bidang pekerjaan yang dijanjikan adalah suatu pekerjaan

41

(8)

pengerasan atau pengaspalan jalan. Maka pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya

haruslah bermanfaat bagi si pemberi kerjanya, misalnya sejak si pekerja bekerja

memecah batu dan menghamparkannya di sepanjang jalan yang sedang diperkeras

atau di aspal. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan bahwa prinsip dalam

unsur ini adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh si pekerja dan harus

bermanfaat bagi si pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang dimuat di dalam isi

perjanjian kerja.

Karena itu jika suatu pekerjaan yang tujuannya bukan untuk memberikan

manfaat bagi si pemberi kerja, tetapi mempunyai tujuan untuk kemanfaatan si pekerja

itu sendiri. Maka tujuan si pekerja melakukan pekerjaan misalnya untuk kepentingan

praktek seorang siswa atau mahasiswa, maka perjanjian tersebut jelas bukan

merupakan perjanjian kerja.

3. Adanya Unsur Time atau Waktu Tertentu

Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-

undangan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak boleh

melakukan kehendak dari si majikan dan juga boleh dilakukan dalam kurun waktu

seumur hidup, jika pekerjaan tersebut dilakukan selama hidup dari pekerja tersebut, di

sini pribadi manusia akan hilang, sehingga timbullah apa yang dinamakan

perbudakan dan bukan perjanjian kerja.42 Pelaksanaan pekerjaan tersebut di samping

harus sesuai dengan isi dalam perjanjian kerja, juga si majikan. Dengan kata lain

42

(9)

dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya, si buruh tidak boleh bekerja dalam waktu

seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah

ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, dan juga pelaksanaan

pekerjaannya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan,

kebiasaan setempat dan ketertiban umum.

4. Adanya Unsur Pay atau Upah

Jika seseorang yang bekerja, dalam melaksanakan pekerjaannya bukan

bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah selain

upah, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan

dari perjanjian kerja. Selanjutnya jika seseorang yang bekerja tersebut bertujuan

untuk mendapatkan manfaat bagi diri si pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari

upah. Maka unsur keempat dalam suatu perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay atau

upah, maka hubungan tersebut bukan implementasi dari pelaksanaan suatu perjanjian

kerja. Upah maksudnya adalah imbalan prestasi yang wajib dibayar oleh majikan

untuk pekerjaan itu.43

Jika pekerja diharuskan memenuhi prestasi yaitu melakukan pekerjaan di

bawah perintah orang lain yaitu si majikan, maka majikan sebagai pihak pemberi

kerja wajib pula memenuhi prestasinya, berupa pembayaran atas upah. Dalam hal

menguraikan tentang upah, adalah merupakan kewajiban yang esensial dari majikan,

juga merupakan suatu hubungan kontraktual antara penerima kerja, yaitu si buruh

dengan pemberi kerja, yaitu si majikan. Pemberian si majikan, yang sifatnya tidak

43

(10)

wajib, sesuai dengan yang ditentukan di dalam perjanjian kerja atau berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang sifatnya tidak mengikat untuk

dilaksanakan, maka pemberian tersebut tidak bisa dikategorikan atau diklasifikasikan

sebagai upah, sebagai misalnya berupa bonus, persenan dan tunjangan Hari raya dan

lain sebagainya. Karena yang disebut dengan upah, adalah imbalan yang diberikan

oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus-menerus.

Pembayaran upah itu pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang,

namun demikian dalam praktek pelaksanaan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, tidak mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk barang,

tetapi jumlahnya harus dibatasi.

1.b.Bentuk dan Isi Perjanjian Kerja

Tidak ada 1 (satu) pun peraturan yang mengikat bentuk dan isi perjanjian,

karena dijamin dengan Asas Kebebasan Berkontrak yakni suatu asas yang

menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian)

yang berisi berbagai macam perjanjian asal tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak tersebut

dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dengan memperhatikan Pasal

1320, Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata.

1.c.Kewajiban Para Pihak Menurut KUH Perdata

Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur/memuat

hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Takaran hak dan kewajiban

(11)

merupakan kewajiban pengusaha dan sebaliknya hak pengusaha merupakan

kewajiban pekerja/buruh.

Kewajiban para pihak diatur dalam KUH Perdata sebagai berikut :

a. Kewajiban pekerja/buruh

1.Melaksanakan tugas/pekerjaan sesuai yang diperjanjikan dengan

sebaik-baiknya (Pasal 1603 KUH Perdata);

2.Melaksanakan pekerjaannya sendiri, tidak dapat digantikan oleh orang

lain tanpa izin dari pengusaha (Pasal 1603 a KUH Perdata);

3.Menaati peraturan dalam melaksanakan pekerjaan (Pasal 1603 b KUH

Perdata);

4.Menaati peraturan tata tertib dan tata cara yang berlaku di rumah/tempat

majikan bila pekerja tinggal di sana (Pasal 1603 c KUH Perdata);

5.Melaksanakan tugas dan segala kewajbannya secara layak (Pasal 1603 d

KUH Perdata);

6.Membayar ganti-rugi atau denda (Pasal 1601 w KUH Perdata)

b. Kewajiban Pengusaha

1.Membayar upah kepada pekerja (Pasal 1602 KUH Perdata);

2.Mengatur pekerjaan dan tempat kerja (Pasal 1602 u,v,w dan y KUH

Perdata);

3.Memberikan cuti/libur (Pasal 1602 v KUH Perdata);

(12)

5.Memberikan surat keterangan (Pasal 1602 z KUH Perdata)

2. Undang-Undang Ketenagakerjaan

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003. Perjanjan kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang

dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Syarat-syarat perjanjian kerja pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu

syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil diatur dalam Pasal 52 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003, sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Syarat materiil dari perjanjian kerja berdasarkan ketentuan, dibuat atas dasar:44

a. Kesepakatan kedua belah pihak;

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila perjanjian kerja yang dibuat itu bertentangan dengan ketentuan huruf

a dan b maka akibat hukumnya perjanjian kerja itu dapat dibatalkan, dan apabila

betentangan dengan ketentuan huruf c dan d maka akibat hukumnya perjanjian kerja

itu adalah batal demi hukum, kemudian kita kaji lebih jauh sebenarnya ketentuan

44

(13)

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 itu mengadopsi ketentuan Pasal

1320 BW. Perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus

memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 BW.

Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi unsur-unsur yang terdapat

di dalam yaitu sebagai berikut:45

1. Adanya sepakat;

2. Kecakapan berbuat hukum;

3. Hal tertentu;

4. Causa yang dibenarkan.

Sepakat yang dimaksudkan adanya kesepakatan antara pihak pihak yang

melakukan perjanjian. Di dalam hubungan kerja yang dijadikan dasar adalah

perjanjian kerja, maka pihak pihaknya adalah buruh dan majikan. Kesepakatan yang

terjadi antara buruh dan majikan secara yuridis haruslah bebas. Dalam arti tidak

terdapat cacat kehendak yang meliputi adanya dwang, Dwaling dan bedrog

(penipuan, paksaan, dan kekhilafan).46 Dwang (Unsur paksaan): 47 paksaan terhadap

badan (fisik) dan paksaan terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh

terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang, tetapi dalam

hal ini, di dalamnya undang-undang ada suatu unsur paksaan yang diizinkan oleh

Undang-undang, yakni paksaan dengan alasan akan dituntut di muka hakim, apabila

45

Pasal 1320 KUHPerdata 46

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan (Bandung : Citra Aditya, 2010), hal 98

(14)

pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang telah ditetapkan. Dwaling (Unsur

Kekeliruan):48 Kekeliruan dapat terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan, yaitu kekeliruan

terhadap orang atau subjek hukum dan kekeliruan terhadap barang atau objek hukum.

Kekeliruan terhadap orang, misalnya perjanjian akan mengadakan pertunjukan lawak,

akan tetapi undangan untuk pelawaknya salah alamat, karena namanya sama.

Kekeliruan terhadap barang, misalnya jual-beli yang diberikan salah, karena

barangnya sama dan yang berbeda ialah tahunnya. Bedrog (Unsur Penipuan):49

apabila terjadi suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar.

Suatu perjanjian yang mengandung salah satu unsur paksaan, kekeliruan, ataupun

penipuan dapat dituntut pembatalannya sampai batas jangka waktu 5 tahun seperti

dimaksud oleh Pasal 1454 KUH Perdata. Kenyataannya dalam hubungan kerja buruh

terutama yang unskillabour tidak secara mutlak menentukan kehendaknya. Hal ini

terjadi karena buruh hanya mempunyai tenaga yang melekat pada dirinya untuk

kompensasi di dalam hubungan kerja. Buruh tidak mempunyai kebebasan untuk

memilih pekerjaan yang sesuai dengan kehendaknya apabila ia tidak mempunyai

skills yang memadai.

Subekti50 menyebutkan sepakat sebagai perizinan, yaitu kedua subjek hukum

yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-

hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang

satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama

48

Ibid, hal 99 49Ibid 50

(15)

secara timbal balik. Saat terjadinya sepakat tidak diterangkan dalam BW.Hoffman

menyatakan perlu pernyataan kehendak (Wisverklaring) dari kedua belah pihak.51

Kehendak dinyatakan cacat apabila terdapat kekhilafan, paksaan, dan penipuan pada

saat terjadinya sepakat.

Syarat kedua dari sahnya perjanjian adalah adanya kecakapan bertindak.

Sesuai Pasal 69 Undang-undang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa anak boleh

bekerja antara umur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun

dengan pertimbangan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu

perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.

Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan harus

memenuhi syarat-syarat : (Pasal 69 ayat (2) Undang-undang ketenagakerjaan)

a. Izin tertulis dari orang tua atau wali;

b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;

c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;

e. Keselamatan dan kesehatan kerja;

f. Adanya hubungan kerja yang jelas;dan

g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ketentuan Pasal 1320 ayat (2) BW, yaitu adanya kecakapan untuk membuat

perikatan. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada

51

(16)

asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah

cakap menurut hukum.52

Onbekwaamheid dapat dianggap sebagai suatu cacat kehendak (wilsgebrek),

tetapi dasarnya bukan suatu keadaan yang abnormal seperti pada paksaan, kesesatan,

dan penipuan (dwang,dwaling,bedrog), akan tetapi berdasarkan Undang-undang

sendiri yang karena beberapa hal tidak memberikan kekuatan yang normal kepada

kehendak beberapa orang tertentu.53

Batasan yang diberikan undang-undang terdapat dalam ketentuan Pasal 1330

BW, yaitu tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah :

1. Orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. Orang orang perempuan.

Ketentuan Pasal 1330 BW untuk sekarang tidak berlaku semuanya karena

sejak adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) yaitu hak dan kewajiban istri adalah

seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Selanjutnya ketentuan Pasal 31 ayat (2)

Undang-undang Perkawinan, yaitu masing-masing pihak berhak untuk melakukan

perbuatan hukum. Dengan demikian apabila seorang wanita dewasa yang kemudian

kawin, tidak akan berakibat ia akan kehilangan status kedewasaannya.

52Ibid,

53

(17)

Di bidang hukum ketenagakerjaan, seseorang dikatakan dewasa apabila ia

telah berumur 18 tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-undang

Nomor 20 Tahun 1999 tentang pengesahan ILO Nomor 138 mengenai usia minimum

untuk diperbolehkan bekerja (LN Tahun 1999 No 56) yaitu usia minimum yang telah

ditetapkan ialah tidak boleh kurang dari usia tamat sekolah wajib dan paling tidak,

tidak boleh kurang dari 15 tahun. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1),

yaitu usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau

kerja yang karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan di mana pekerjaan itu

harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral orang

muda tidak boleh kurang dari 18 tahun. Berdasarkan ketentuan di atas maka

seseorang dapat bekerja apabila usianya telah 18 tahun dan apabila terpaksa maka

usia minimumnya adalah 15 tahun.

Syarat ketiga adalah adanya hal tertentu, maksudnya semua orang bebas

melakukan hubungan kerja, asalkan objek pekerjaannya jelas ada, yaitu melakukan

pekerjaan. Syarat keempat adalah adanya causa yang diperbolehkan. Subekti

menyebutkan sebagai sebab yang halal. Soetoyo menyebutnya sebagai causa yang

diperbolehkan dengan alasan istilah halal lebih mengarah kepada agama.54

Causa yang diperbolehkan menunjuk pada objek hubungan kerja boleh

melakukan pekerjaan apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan

perundang undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Selanjutnya berdasarkan

ketentuan Pasal 53 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa segala

54

(18)

hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja

dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Selanjutnya suatu perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan syarat formil.

Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu :

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :

a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. Nama, jenis kelamin, dan alamat pekerja/buruh;

c. Jabatan atau jenis pekerjaan;

d. Tempat pekerjaan;

e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;

g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;

i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang

kurangnya rangkap 2 (dua) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1(satu) perjanjian kerja.

Selain itu, masih terdapat beberapa ketentuan mengenai perjanjian kerja yang

diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu perjanjian kerja

tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

3. Undang-Undang Guru dan Dosen

Undang-undang guru dan dosen yang berlaku saat ini adalah Undang-undang

Nomor 14 Tahun 2005. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah

perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau

(19)

pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan

perundang-undangan.55

Menurut Pasal 68 Undang-undang Guru dan Dosen mengatur tentang

pemberhentian dosen sesuai dengan perjanjian kerja yaitu :

(1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri;

(2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Dan menurut Pasal 67 Undang-undang Guru dan Dosen :

(1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai dosen belas) bulan karena sakit jasmani dan/atau rohani; atau

e. Berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara dosen dan penyelenggara pendidikan.

(2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai dosen karena:

a. Melanggar sumpah dan janji jabatan;

b. Melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan

atau lebih secara terus-menerus.

(3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

(4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) Tahun;

55

(20)

(5) Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun;

(6) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang diberhentikan dari jabatan sebagai dosen, kecuali sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.

Sementara menurut Pasal 66 Undang-undang Guru dan Dosen juga mengatur

tentang pemindahan dosen berdasarkan perjanjian kerja atau berdasarkan kesepakatan

kerja bersama :

Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh

masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja

atau kesepakatan kerja bersama.

B. Hubungan Kerja Menurut Peraturan Perundang-undangan

Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal

dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan.56 Subjek hukum yang melakukan

hubungan kerja adalah pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Hubungan

kerja merupakan inti dari hubungan industrial.57 Suatu hubungan antara seorang

buruh dan seorang majikan, di mana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya

perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di

satu pihak pekerja/ buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha

memperkerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah.58

56

Hartono, Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal 10

57

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), hal 36

58

(21)

Perjanjian kerja merupakan syarat administrasi dalam memulai hubungan

kerja. Perjanjian merupakan keharusan untuk melindungi buruh.59 Dalam pengertian

yang umum dapat dijabarkan bahwa perjanjian itu bertujuan melindungi kepentingan

para pihak. Apabila timbul sengketa maka perjanjian kerja tertulis merupakan alat

bukti yang sah di pengadilan sehingga perjanjian kerja harus merumuskan pernyataan

kehendak kedua belah pihak secara jelas dan tegas.60 Penegasan ini paralel dengan

hakikat hukum perburuhan yaitu untuk melindungi buruh.61 Pentingnya peran

perjanjian kerja dalam hubungan kerja mendorong perlunya suatu kesadaran untuk

menempatkan pekerja/buruh dan pemberi kerja setara dan tunduk pada perjanjian

kerja.

Secara formil hubungan kerja dapat dibuktikan dari perjanjian kerja.

Hubungan kerja adalah:62

“hubungan (hukum) antara pengusaha dengan pekerja/buruh (karyawan)

berdasarkan perjanjian kerja. Dengan demikian, hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkrit atau nyata”

Untuk menandai hubungan kerja bahwa:63

“Terdapat tiga unsur yang menentukan adanya hubungan kerja yaitu adanya

pekerjaan yang harus dilakukan, perintah, dan upah. Tanpa adanya salah satu dari ketiga unsur tersebut maka tidak ada hubungan kerja”

59

H.R.Abdulsallam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) yang telah direvisi, (Jakarta: Restu Agung, 2009), hal 54

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 45 63

(22)

Penegasan yang sama tentang syarat hubungan kerja dikemukakan oleh

Soerdarjadi dengan mengatakan bahwa apabila dalam melaksanakan pekerjaan tidak

terdapat unsur pekerjaan, upah dan perintah maka tidak terdapat hubungan kerja dan

bila timbul perselisihan atau beda pendapat sulit diselesaikan dengan Undang-undang

Ketenagakerjaan.64

Dalam kaitannya dengan bentuk perjanjian kerja bahwa :65

“Bentuk perjanjian kerja hendaknya bersifat bebas, artinya perjanjian tersebut dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Perjanjian kerja yang dibuat secara

tertulis lebih menjamin adanya kepastian hukum”

1.Unsur Hubungan Kerja

Beberapa ahli berpendapat bahwa di dalam perjanjian kerja yang menjadi

dasar hubungan kerja adalah 4 (empat) unsur penting yaitu :

a. Adanya pekerjaan (Pasal 1601 a KUH Perdata dan Pasal 341 KUH

Dagang);

b. Adanya perintah orang lain (Pasal 1603 b KUH Perdata );

c. Adanya upah (Pasal 1603 p KUH Perdata );

d. Terbatas waktu tertentu, karena tidak ada hubungan kerja berlangsung

terus menerus.

64

Soerdarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2008), hal 22-23

65

(23)

2.Subjek Hukum Dalam Hubungan Kerja

Subjek hukum dalam hubungan kerja pada dasarnya adalah pengusaha/

pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

membedakan pengertian pengusaha, perusahaan dan pemberi kerja. Subjek hukum

yang terkait dalam perjanjian kerja pada dasarnya adalah buruh dan majikan. Subjek

hukum mengalami perluasan, yaitu dapat meliputi perkumpulan majikan, gabungan

perkumpulan majikan atau APINDO untuk perluasan majikan. Selain itu terdapat

serikat pekerja/buruh, gabungan serikat pekerja atau buruh sebagai perluasan dari

buruh.

Adapun pengertian pengusaha berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan

adalah:66

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaan sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri

sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Batasan pengusaha berbeda dengan pemberi kerja. Berdasarkan ketentuan

Pasal 1 angka (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, pemberi kerja adalah orang

perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan badan lainnya yang

memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk

66

(24)

lain. Adapun pengertian perusahaan berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan

adalah:67

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

3.Objek Hukum Dalam Hubungan Kerja

Objek hukum dalam hubungan kerja adalah pekerjaan yang dilakukan oleh

pekerja. Dengan kata lain tenaga yang melekat pada diri pekerja merupakan objek

hukum dalam hubungan kerja. Objek hukum dalam perjanjian kerja, yaitu hak dan

kewajiban masing masing pihak secara timbal balik yang meliputi syarat-syarat kerja

atau hal lain akibat adanya hubungan kerja. Syarat-syarat kerja selalu berkaitan

dengan upaya peningkatan produktivitas bagi majikan dan upanya peningkatan

kesejahteraan oleh buruh. Antara kepentingan pengusaha dengan kepentingan pekerja

pada hakikatnya adalah bertentangan.

Objek hukum dalam hubungan kerja tertuang di dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama/perjanjian kerja bersama.

Kedudukan perjanjian kerja adalah di bawah peraturan perusahaan, sehingga apabila

ada ketentuan di dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan peraturan

perusahaan maka yang berlaku adalah peraturan perusahaan. Peraturan perusahaan

yang membuat adalah majikan secara keseluruhan. Perjanjian kerja secara teoretis

67

(25)

yang membuat adalah buruh dan majikan, tetapi kenyataannya perjanjian kerja itu

sudah dipersiapkan majikan untuk ditandatangani buruh saat buruh diterima kerja

oleh majikan.68

Apabila di perusahaan itu sudah ada serikat pekerja, maka antara serikat

pekerja dan majikan dapat membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dahulu disebut

dengan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Ketentuan-ketentuan PKB/KKB memuat

syarat-syarat kerja yang mencerminkan hak dan kewajiban majikan dan buruh.

Pembuatan KKB dapat dilakukan oleh serikat pekerja dan majikan di luar jam kerja

atau diatur sedemikian rupa dibuat di luar kota dengan waktu khusus. Dalam praktik

banyak serikat pekerja yang ada di perusahaan mempersulit terbentuknya KKB secara

cepat.69

4.Klausul Berakhirnya Perjanjian Kerja

Pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja antara

pekerja dengan pengusaha yang menimbulkan berakhirnya hak dan kewajiban dari

masing-masing pihak. Artinya pekerja sudah tidak mendapatkan upah atau imbalan

dalam bentuk lain dari pengusaha atas pekerjaan yang telah dilakukan dan pengusaha

tidak lagi dapat memberikan perintah untuk dilaksanakan atas pekerjaan yang biasa

diberikan dalam lingkungan badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik

68

Iman Syahputra Tunggal, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan, ( Jakarta: Harvarindo, 2007), hal 17

69

(26)

perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, milik swasta atau milik

negara, serta usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain.70

Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (25)

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:

“Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu

hal tertentu mengakibatkan berkahirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan

pengusaha”.

Pengakhiran hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja

karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkahirnya hak dan kewajiban antara

pekerja dengan pengusaha. Setelah hubungan kerja berakhir pekerja tidak mempunyai

kewajiban untuk bekerja pada pengusaha dan pengusaha tidak berkewajiban

membayar upah kepada pekerja tersebut.71

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, dalam membuat sebuah perjanjian

dapat menentukan sendiri jangka waktu berlaku perjanjian yang dibuat dan

berakhirnya sebuah perjanjian. Perjanjian yang dibuat berdasarkan pertimbangan

rasional bahwa mereka akan dapat memperoleh manfaat ekonomis dari perjanjian

yang mereka laksanakan dalam jangka waktu tersebut. Jika jangka waktu berlakunya

perjanjian yang ditentukan sendiri sudah berakhir, maka berakhir dan hapuslah

perjanjian tersebut. 72

70

Soedarjadi, Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal 83

71

(27)

Perjanjian yang berakhir karena satu di antara dua pihak atau kedua belah

pihak sebagai subjek hukum yang membuat kontrak itu menyatakan mengakhiri

perjanjian, meskipun jangka waktu berlakunya kontrak yang ditentukan oleh

undang-undang belum berakhir. Pengakhiran kontrak itu tentu saja dengan atau tanpa

persetujuan dari pihak lainnya yang juga membuat kontrak. Hal tersebut dilihat dari

pengusaha sebagai pemberi kerja menyatakan mengakhiri kontrak kerja atau

memutuskan hubungan kerja.73

Mengenai pemutusan hubungan kerja sudah dijelaskan di dalam KUHPerdata

Pasal 1603 n menyatakan bahwa :

Masing-masing pihak dapat memutuskan hubungan kerja tanpa

pemberitahuan pemutusan hubungan kerja atau tanpa mengindahkan aturan-aturan yang berlaku bagi pemberitahuan pemutusan hubungan kerja; tetapi pihak yang berbuat demikian tanpa persetujuan pihak lain, bertindak secara bertentangan dengan hukum, kecuali bila ia sekaligus membayar ganti rugi kepada pihak lain atas dasar ketentuan Pasal 1063 q, atau ia memutuskan hubungan kerja secara demikian dengan alas dan mendesak yang seketika itu diberitahukan kepada pihak lain.

Dalam praktik, pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya

waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Dimana kedua belah pihak tidak

mempermasalahkan karena kedua belah pihak pekerja dan pengusaha yang

bersangkutan menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut,

sehingga masing-masing pihak telah berupaya mempersiapkan diri dalam

menghadapi kenyataan itu. 74

73

Zaenal Asyhadie, Op.Cit, hal 193

(28)

Bagi pekerja PHK berdampak langsung pada jaminan pendapatan (income

security) bagi diri dan keluarganya. Istilah PHK bisa menjadi momok bagi setiap

pekerja karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan hidupnya dan

merasakan derita akibat pemutusan hubungan kerja. Mengingat fakta dilapangan

bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Semakin

ketatnya persaingan, angkatan kerja harus bertambah dan kondisi dunia usaha yang

selalu fluktuatif sangatlah wajar jika pekerja selalu khawatir dengan ancaman

pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut.75

Sedangkan bagi pengusaha PHK berarti kehilangan pekerja yang selama ini

telah dididik dan memahami prosedur di perusahaannya. Pemutusan hubungan kerja

secara teoretis terbagi dalam 4 (empat) macam yaitu, pemutusan hubungan kerja

(PHK) demi hukum, pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengadilan, pemutusan

hubungan kerja (PHK) oleh pekerja, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh

pengusaha.76 Pemutusan hubungan kerja yang terakhir ini tampaknya lebih dominan

diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan. Hal ini karena PHK oleh pengusaha sering

tidak dapat diterima oleh pekerja sehingga menimbulkan permasalahan. Di samping

perlunya perlindungan bagi pekerja dari kemungkinan tindakan pengusaha yang

sewenang-wenangnya.

75

Eko Wahyudi, Wiwin Yulianingsih, Moh. Firdaus Sholihin, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016 ), hal 86

(29)

a. Putus demi hukum

Hubungan kerja putus demi hukum berarti putus dengan sendirinya tanpa

diperlukan adanya tindakan salah satu pihak pekerja yang ditunjukkan untuk itu.

Pasal 1603 e KUHPerdata menetapkan bahwa:

“hubungan kerja berakhir jika waktu kerja demi hukum, jika habis waktunya

yang ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan undang-undang atau

jika semuanya itu tidak ada menurut kebiasaan.

Pemberitahuan sebelumnya tentang kehendak untuk mengakhiri hubungan kerja

hanya diperlukan:77

a. Jika demikian itu telah diperjanjikan dalam perjanjian yang dibuat tertulis

atau dalam reglemen;

b. Jika menurut aturan undang-undang atau menurut kebiasaan juga dalam

hal lamanya hubungan kerja telah ditetapkan sebelumnya harus ada suatu

pemberitahuan tentang kehendak untuk mengakhirinya, sedangkan kedua

belah pihak sekedar itu diperbolehkan, tidak telah menyimpang dengan

perjanjian yang dibuatnya tertulis atau dalam reglemen.

Sedangkan menurut Undang-undang Ketenagakerjaan bahwa penyebab

pemutusan hubungan kerja karena:78

a. Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan

secara tertulis sebelumnya;

b. Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas

kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari

77

Imam Soepomo, Op.Cit,hal 166 78

(30)

pengusaha. Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu;

c. Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja sama atau peraturan perundang-undangan;

d. Pekerja meninggal dunia.

Pemutusan hubungan kerja demi hukum terjadi karena alasan batas waktu

masa kerja yang disepakati telah habis atau apabila pekerja meninggal dunia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja berakhir apabila:

a. Pekerja meninggal dunia;

b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau;

d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

b.Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pekerja

Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja dapat terjadi apabila pekerja

mengundurkan diri atau telah terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan pekerja

minta di PHK. Alasan-alasan mendesak dalam arti Pasal 1603 n adalah keadaan yang

sedemikian rupa sehingga mengakibatkan bahwa tidak pantaslah pekerja diharapkan

untuk meneruskan hubungan kerja.79 Dalam Pasal 1603 p menjelaskan alasan-alasan

mendesak dapat dianggap ada, antara lain:

1. Jika majikan menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan

ancaman yang membahayakan buruh, anggota keluarga atau anggota

79Ibid

(31)

rumah tangga buruh, atau membiarkan perbuatan semacam itu dilakukan oleh anggota rumah tangga atau buruh lain bawahannya;

2. Jika ia membujuk atau mencoba membujuk pekerja, anggota keluarga atau

anggota rumah tangga buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan atau membiarkan pembujukan atau percobaan pembujukan semacam itu dilakukan oleh anggota rumah tangga atau buruh lain bawahannya;

3. Jika ia tidak membayar upah pada waktunya;

4. Jika, dalam hal makan dan pemondokan dijanjikan, ia tidak memenuhinya

secara layak;

5. Jika ia tidak memberikan cukup pekerjaan kepada buruh yang upahnya

ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan;

6. Jika ia tidak memberikan atau tidak cukup memberikan bantuan, yang

dijanjikan kepada buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan;

7. Jika ia dengan jalan lain terlalu melalaikan kewajiban-kewajiban yang

dibebankan kepadanya oleh perjanjian;

8. Jika ia, dalam hal yang tidak diwajibkan oleh sifat hubungan kerja,

menyuruh buruh, meskipun buruh menolak, untuk melakukan pekerjaan di perusahaan seorang majikan lain;

9. Jika hubungan kerja dapat menimbulkan bahaya besar yang mengancam

jiwa, kesehatan, kesusilaan atau nama baik buruh, yang tidak melihat pada waktu pembuatan perjanjian;

10.Jika buruh, karena sakit atau karena alasan-alasan lain di luar salahnya

menjadi tidak mampu melakukan pekerjaan yang dijanjikan itu. Perjanjian yang menyerahkan keputusan ke tangan buruh mengenai adanya alasan mendesak dalam arti Pasal 1603 n, adalah batal.

Berdasarkan ketentuan Pasal 151 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya tekanan/intimidasi dari

pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu

untuk pertama kali. Pengunduran diri pekerja dapat dianggap terjadi apabila pekerja

(32)

oleh pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerja tidak dapat memberikan

keterangan tertulis dengan bukti yang sah.80

Selain itu, berdasarakan ketentuan Pasal 169 Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003, pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja

kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha

melakukan perbuatan sebagai berikut:81

a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja;

b. Membujuk dan/menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3

(tiga) bulan berturut-turut atau lebih;

d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja;

e. Memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang

diperjanjikan;

f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan,

dan kesusilaan pekerja. Sedangkan pekerjaan tersbeut tidak dicantumkan

pada perjanjian kerja.

c. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Oleh Pengusaha

Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha merupakan pemutusan hubungan

kerja yang paling sering terjadi karena kesalahan pihak pekerja atau karena kondisi

80

Zainal Asikin, Agustian Wahab, Lalu Husni, Zaeni, Dasar Hukum Perburuhan , (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hal 177

81 Ibid

(33)

perusahaan. Pemutusan hubungan kerja karena keterpaksaan terjadi kalau pengusaha

terpaksa harus memutuskan hubungan kerja kepada pekerja karena adanya

masalah-masalah yang dihadapi pengusaha dalam hal:82

a. Menghadapi kesalahan-kesalahan para pekerja yang tidak dapat

dipertanggung jawabkan;

b. Menghadapi perusahaan yang semakin menurun perkembangannya.

Lebih tepat mengenai hubungan kerja oleh pengusaha dan majikan didasarkan

pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 158, ayat (1) berbunyi:

Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan

alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang

milik perusahaan;

2. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan

perusahaan;

3. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau

mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

4. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja

atau pengusaha di lingkungan kerja;

6. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

7. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan

bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

8. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha

dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

9. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya

dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara atau melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."

82

(34)

Adapun kesalahan yang dianggap telah dilakukan oleh pekerja seperti di atas

harus di dukung dengan bukti seperti berikut:

1. Pekerja/buruh tertangkap tangan;

2. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau

3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang

di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2

(dua) orang saksi.

Selain itu, dalam KUHPerdata Pasal 1603 o pengusaha dapat mengakhiri

perjanjian kerja dianggap sebagai alasan-alasan mendesak dimana sifat dan tingkah

laku pekerja sudah tidak sepatutnya untuk meneruskan hubungan kerjanya.

Alasan-alasan mendesak tersebut adalah:

1. Jika buruh, waktu mengadakan perjanjian, mengelabui majikan dengan

memperlihatkan surat-surat yang palsu atau dipalsukan, atau sengaja memberikan penjelasan-penjelasan palsu kepada majikan mengenai cara berakhirnya hubungan kerja yang lama;

2. Jika ia temyata tidak mempunyai kemampuan atau kesanggupan sedikit

pun untuk pekerjaan yang telah dijanjikannya;

3. Jika ia, meskipun telah diperingatkan, masih mengikuti kesukaannya

minum sampai mabuk, mengisap madat di luar atau suka melakukan perbuatan buruk lain;

4. Jika ia melakukan pencurian, penggelapan, penipuan atau kejahatan lainnya

yang mengakibatkan ia tidak lagi mendapat kepercayaan dari majikan;

5. Jika ia menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan ancaman yang

membahayakan majikan, anggota keluarga atau anggota rumah tangga majikan atau teman sekerjanya;

6. Jika ia membujuk atau mencoba membujuk majikan, anggota keluarga atau

(35)

7. Jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan, dengan sembrono merusak milik majikan atau menimbulkan bahaya yang sungguh-sungguh mengancam milik majikan itu;

8. Jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan dengan sembrono

menempatkan dirinya sendiri atau orang lain dalam keadaan terancam bahaya besar;

9. Jika mengumumkan seluk-beluk rumah tangga atau perusahaan majikan,

yang seharusnya ia rahasiakan;

10.Jika bersikeras menolak memenuhi perintah-perintah wajar yang diberikan

oleh atau atas nama majikan;

11.Jika ia dengan cara lain terlalu melalaikan kewajiban-kewajiban yang

dibebankan kepadanya oleh perjanjian;

12.Jika ia karena sengaja atau sembrono menjadi tidak mampu melakukan

pekerjaan yang dijanjikan. Janji-janji yang menyerahkan keputusan ke tangan majikan mengenai adanya alasan memaksa dalam arti Pasal 1603 n, adalah batal.

Selain itu juga pengusaha dilarang melakukan PHK terhadap pekerja (Pasal 153

UU Ketenagakerjaan) karena berbagai alasan sebagai berikut:

1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan

dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara

terus-menerus;

2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi

kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

Pekerja/buruh menikah;

4. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

(36)

5. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah

diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama;

6. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat

pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat

pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas

kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

7. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib

mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

8. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,

golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

9. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,

atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter

yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai alasan-alasan dari pihak pengusaha

dan majikan mengakhiri hubungan kerja, jika dilihat dari perjanjian peneliti ambil

bahwa keterangan dalam mengakhiri hubungan kerja yaitu: Hubungan kerja akan

berakhir bila:83

83

(37)

a. Operasi perusahaan diberhentikan karena suatu sebab diluar kekuasaan

perusahaan (Force Majeure);

b. Pekerja/buruh yang melakukan kesalahan berat sebagai mana diatur dalam

Pasal 158 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003;

c. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kehendak sendiri sebagaimana

diatur dalam Pasal 162 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003;

d. Pekerja/buruh meninggal dunia;

e. Adanya pemutusan pengadilan dan atau penetapan lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap;

f. Memberikan keterangan palsu atau tidak benar, baik pada saat melamar

kerja maupun setelah diterima bekerja termasuk memberikan keterangan

laporan palsu;

g. Pekerja/buruh menolak kesepakatan kerja yang sudah ditetapkan dalam

perjanjian kerja;

h. Pekerja/buruh tidak mampu menunjukkan standar kinerja yang ditetapkan

oleh perusahaan atau pelanggan dibuktikan melalui tindakan disiplin

tertulis;

i. Meminta atau menerima pemberian atau hadiah dalam bentuk apapun dari

pembeli, penjual, langganan atau rekanan perusahaan atau pihak manapun

dan memanipulasi dan/atau melakukan korupsi dan/atau melakukan

(38)

j. Pekerja yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka

waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu maka pekerja

diwajibkan membayar ganti rugi kepada perusahaan sebesar upah pekerja

sampai batas waktu tertentu maka pekerja diwajibkan membayar ganti-rugi

kepada perusahaan sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya

jangka waktu perjanjian kerja dan atau sebaliknya.

Dengan demikian, keterangan berakhirnya hubungan kerja tersebut mengikuti

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan mengikuti

peraturan perusahaan.

d. Pemutusan Karena Putusan Pengadilan

Cara terjadinya pemutusan hubungan kerja yang terakhir adalah karena

adanya putusan pengadilan. Putusan pengadilan adalah pemutusan oleh pengadilan

Negeri atas permintaan yang bersangkutan dalam hal ini pihak pengusaha dan pekerja

berdasarkan alasan penting. Cara yang keempat ini sebenarnya merupakan akibat dari

adanya sengketa antara pekerja yang berlanjut sampai ke proses pengadilan.

Datangnya perkara dapat dari pekerja atau dari pengusaha. 84

Menurut Pasal 1603 v KUHPerdata menjelaskan bahwa tiap pihak setiap

waktu juga sebelum pekerjaan dimulai, berwenang berdasarkan alasan penting

mengajukan permintaan tertulis kepada pengadilan di tempat kediamannya yang

sebenarnya untuk menyatakan perjanjian kerja putus. Selanjutnya yang dimaksud

dengan alasan penting menurut Pasal 1603 v KUHPerdata adalah di samping alasan

(39)

mendesak, perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau pihak lainnya

atau perubahan keadaan pada pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya

sehingga layak segera atau dalam waktu pendek diputuskan hubungan kerja.

5.Klausul Hak dan Kewajiban Para Pihak Pasca Berakhirnya Perjanjian Kerja

1. Kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja

a) Kewajiban Pekerja

Kewajiban pekerja pada umumnya tersimpul dalam hak pengusaha, seperti

juga hak pekerja tersimpul dalam kewajiban pengusaha. Bekerja pada pihak lainnya

berarti pada umunya bekerja di bawah pemimpin pihak lainnya itu dan karena itu

kewajiban terpenting bagi pekerja ialah melakukan pekerjaan menurut petunjuk dari

majikan.85

Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban pekerja diatur dalam pada

Pasal 1603, 1603 a, 1603 b, dan 1603 c KUHPerdata yang pada prinsipnya dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1) Pekerja wajib melakukan pekerjaan

Melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seseorang pekerja yang harus

dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha. Seperti telah

diuraikan sebelumnya, bahwa buruh atau pekerja dalam melaksanakan isi dari

perjanjian kerja yaitu pekerjaan, pada prinsipnya wajib dilakukan sendiri.86

85

Imam Soepomo, Op.Cit, hal 92 86Ibid

(40)

Pekerjaan yang harus dilakukan ialah terutama pekerjaan yang telah

ditetapkan dalam perjanjian kerja. KUHPerdata mengatakan: pekerja wajib

melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan. Jika sifat dan luas pekerjaan itu tidak

ditetapkan dalam perjanjian atau dalam peraturan pengusaha, maka kebiasaanlah

yang akan menentukannya.

Pekerjaan yang ditetapkan itu pada umumnya harus dilakukan oleh pekerja itu

sendiri lebih-lebih jika yang menjadi dasar perjanjian kerja adalah kecakapan dan

keahlian pekerja yang bersangkutan. Karena itu pada umumnya pekerja tidak berhak

dengan begitu saja mengirimkan seorang penggantinya. Misalnya jika pekerja

disebabkan oleh alasan-alasan tertentu tidak bisa hadir untuk bekerja dengan

sepengetahuan dan izin dari majikan maka pada praktek pelaksanaannya biasanya

pihak pekerja yang membuat perjanjian kerja bisa menyuruh orang lain untuk

menggantikan pekerjaannya atau meminta izin kepada majikan. Dalam hal ini

majikan tidak wajib membayar upah untuk waktu pekerja tidak melakukan pekerjaan

kecuali jika pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan karena alasannya dapat

dipertanggungjawabkan kepada pengusaha, baik alasan yang mengenai dirinya

sendiri maupun alasan dari luar dan pengusaha tetap wajib membayar upah. 87

Dalam hubungan ini, KUHPerdata pada Pasal 1603 menetapkan bahwa

kewajiban pekerja yang terpenting adalah melakukan pekerjaan yang dijanjikan itu

dengan sebaik-baiknya. Selain itu, KUHPerdata Pasal 1603 d mengatakan:

87

(41)

“buruh pada umumnya wajib melakukan atau pun tidak melakukan segala

sesuatu yang dalam keadaan yang sama, seharusnya dilakukan atau tidak

dilakukan oleh seorang pekerja yang baik.”

Dalam hal ini harus diperhatikan asas pokok dalam hukum yang menghendaki

supaya perjanjian dilaksanakan dan ditafsirkan berdasarkan itikad baik.

2) Pekerja wajib mentaati aturan dan petunjuk dari pengusaha.

Pekerja sewaktu melakukan pekerjaannya, wajib mentaati perintah-perintah

yang diberikan oleh majikan. Aturan-aturan yang wajib ditaati oleh pekerja tersebut,

antara lain dapat dituangkan di dalam tata tertib perusahaan dan peraturan

perusahaan. Pekerja diwajibkan melakukan pekerjaan yang diperjanjikan dalam

perjanjian kerja menurut kemampuan yang maksimal.88

Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah pekerja wajib mentaati

perintah-perintah yang diberikan oleh majikan sepanjang diatur di dalam perjanjian kerja,

undang-undang dan kebiasaan setempat. Karena itu, perintah pengusaha yang

datangnya di luar atau selain seperti disebutkan di atas, apalagi perintah yang

bertentangan dengan undang-undang, norma susila, kebiasaan dan ketertiban umum,

maka dalam hal ini pekerja tidak perlu mentaati perintah tersebut.89

Selain itu jika tentang hak dan kewajiban di dalam perjanjian kerja, yang salah

satu diantaranya adalah merupakan kewajiban dari pihak pekerja, akan tetapi jika

dalam suatu perjanjian kerja tidak dicantumkan secara tegas maka hal tersebut

88

A. Ridwan Halim, Op.Cit, hal 57 89

(42)

dikhawatirkan bahwa dalam pelaksanaan hubungan kerja tersebut, si pengusaha bisa

bertindak sewenang-wenanganya dalam memberikan perintahnya kepada kaum

pekerja . Hal tersebut mungkin saja terjadi, bisa saja karena ketidaktahuan dan

ketidakpahaman dari para pekerja tentang maksud dan tujuan yang ada atau dalam

keadaan terpaksa. Misalnya saja walaupun pekerja sebenarnya mengetahui bahwa isi

di dalam perjanjian kerja tersebut nantinya akan membuat kerugian bahkan

penderitaan bagi si pekerja. Namun karena keadaan yang memaksa apapun yang

disodorkan oleh pengusaha, maka perjanjian kerja tersebut dengan serta merta

ditandatangani oleh si pekerja. Karena itu, materi perjanjian yang dituangkan di

dalam perjanjian kerja harus secara jelas dan tegas.90

3) Kewajiban untuk membayar ganti rugi dan denda

Jika si pekerja dalam melakukan pekerjaannya akibat kesengajaan atau

kelalaiannya sehingga menimbulkan kerugian, kerusakan, kehilangan atau lain

kejadian yang sifatnya tidak menguntungkan atau merugikan pengusaha. Maka atas

kejadian tersebut resiko yang timbul menjadi tanggung-jawab si pekerja. Akan tetapi,

dengan catatan jika kejadian tersebut karena adanya unsur kesengajaan atau kelalaian

dari si pekerja. Ada suatu asas yang biasa disebut demnum in tura datum yang artinya

perbuatan melanggar hukum dapat menimbulkan ganti-rugi. Sebaliknya jika suatu

kejadian tersebut dikarenakan bukan karena kesalahan si pekerja atau karena di luar

90Ibid

(43)

batas kemampuan si pekerja maka kejadian tersebut bukan menjadi tanggung jawab si

pekerja. Misalnya karena bencana alam dan kejadian yang sejenis.91

b) Kewajiban Dari Pihak Pengusaha

Kewajiban pengusaha adalah suatu prestasi yang harus dilakukan oleh

pengusaha bagi kepentingan tenaga kerjanya. Pada dasarnya seorang pengusaha dapat

melakukan dua hubungan yakni hubungan ketenagakerjaan dan hubungan pemberi

kuasa. Adapun kewajiban dari hubungan hukum ketenagakerjaan yaitu:

1) Kewajiban membayar upah

Dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar

upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. Hal terebut sudah jelas disebutkan dalam

Pasal 1601 a KUHPerdata dimana disimpulkan perjanjian pekerja yang dibuat untuk

pekerja dengan pengusaha mengiatkan keduanya untuk sesuatu dengan waktu tertentu

dengan melakukan pekerjaan. Dengan kata lain pengusaha wajib membayar upah

kepada pekerja.92

Ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan ke

arah hukum publik. Hal ini dilihat dari campur tangan pemerintah dalam menetapkan

besarnya upah terendah yang harus dibayar oleh pengusaha yang dikenal dengan

nama upah minimum, maupun pengaturan upah dalam Peraturan Pemerintah. Campur

tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah ini penting guna menjaga agar

jangan sampai besarnya upah yang diterima oleh pekerja terlampau rendah sehingga

91

Djumialdji, Op.Cit, hal 39 92

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa indikator motivasi mahasiswa ingin menjadi wirausaha, karena memiliki kompensasi finansial yang tinggi, memiliki kompensasi finansial yang dapat

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa gender memiliki peran yang signifikan terhadap kinerja dosen, dan kinerja dosen pria lebih rendah dibandingkan dengan dosen wanita.. Kata kunci

Pengertian sertifikasi profesi dosen itu sendiri dikemukakan oleh Kunandar (2008:79) adalah “proses pemberian sertifikat kepada dosen yang telah memenuhi

Berdasarkan hasil penelitian, pemanfaatan teknologi informasi oleh dosen perguruan tinggi swasta di Indonesia yang diwakili oleh dosen PTS di Banjarmasin sebagai sampel

Tugas pengabdian kepada masyarakat harus dilaksana- kan oleh setiap dosen melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan

Jadi, faktor-faktor yang memotivasi seseorang menjadi dosen pada Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia setelah dilakukan analisis faktor adalah faktor kebutuhan

Dari hasil pengujian ini dapat disimpulkan semakin kuat budaya organisasi dan semakin tinggi komitmen dosen akan meningkatkan kinerja mereka dalam mencapai tujuan PTS

Banyak sekali iklim kerja yang dirasakan oleh para dosen pada Perguruan Tinggi Swasta di Aceh, dengan berbagai tipe atau jenis iklim kerja, seperti; 1 iklim terbuka; yang melukiskan