• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis dan Kelimpahan Sampah Laut (Makro dan Mikro Plastik)Serta Dampaknya Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Di Pesisir Desa Jaring HalusKabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jenis dan Kelimpahan Sampah Laut (Makro dan Mikro Plastik)Serta Dampaknya Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Di Pesisir Desa Jaring HalusKabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pesisir dan Pencemaran Laut

Berdasarkan UU No 1 Tahun 2014, Wilayah Pesisir didefenisikan sebagai daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Perairan Pesisir didefenisikan sebagai laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Pencemaran pesisir didefenisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan setiap orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, pantai berpasir dan lainnya yang satu sama lain saling terkait (Masalu, 2008). Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia baik langsung atau tidak langsung maupun proses-proses alamiah yang terdapat diatas lahan maupun lautan (Djau, 2012).

(2)

kegiatan di laut termasuk perikanan dan lain-lain, penggunaan laut yang wajar, pemburukan dari pada kwalitas air laut dan menurunnya tempat-tempat pemukiman dan rekreasi (Kusumaatmadja, 1978).

Pencemaran laut merupakan masalah yang dihadapi bersama oleh masyarakat internasional. Pengaruhnya bukan saja menjangkau seluruh kegiatan yang berlangsung di laut, melainkan juga menyangkut kegiatan-kegiatan yang berlangsung di wilayah pantai, termasuk muara-muara sungai yang berhubungan dengan laut. Pada dasarnya laut itu mempunyai kemampuan alamiah untuk menetralisir zat-zat pencemar yang masuk ke dalamnya. Pencemaran dapat diartikan sebagai bentuk Environmental impairment, yakni adanya gangguan, perubahan, atau perusakan (Silalahi, 2001).

Banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan, yaitu dapat membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan spesies lain. Jika air tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran dari jumlah yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi jumlah spesies yang sedikit tetapi populasinya tinggi. Oleh karena itu, penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran (Sastrawijaya, 1991).

Sampah Laut (Marine Debris)

(3)

Nomor 18 tahun 2008 yang menyatakan bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses yang berbentuk padat.

Sampah laut adalah setiap buangan manusia, yang berbentuk padat (keadaan benda, dengan volume dan bentuk yang tetap) atau materi yang masuk kedalam

lingkungan air laut baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Engler, 2012). Sampah laut meliputi segala bentuk yang diproduksi atau bahan

yang diproses kemudian dibuang atau ditinggalkan di lingkungan laut. Ini terdiri dari barang, makanan/snack yang digunakan oleh manusia kemudian dimasukkan ke laut, baik sengaja atau tidak sengaja, seperti transportasi laut, drainase, dan sistem pembuangan limbah atau sampah oleh angin (Galgani dkk., 2010).

Karakteristik limbah dari manusia telah berubah secara signifikan selama 30 hingga 40 tahun terakhir seiring dengan maraknya penggunaan bahan

sintesis seperti plastik (Sheavly, 2007). Banyak penelitian tentang sampah laut telah menunjukkan bahwa plastik adalah penyumbang 60 sampai 80 % dari keseluruhan total sampah laut (Derraik, 2002). Penggunaan bahan – bahan plastik dan bahan sintesis lainnya dalam industri perikanan selama 35 tahun terakhir yang digunakan secara luas telah berdampak pada banyaknya sisa alat tangkap ikan di perairan laut dan pantai. Kemasan makanan maupun minuman yang saat ini umumnya terbuat dari bahan plastik juga banyak ditemukan di pantai dan laut. Sampah ini bersumber dari wisatawan maupun kebiasaan buruk membuang sampah ke sungai (Henderson dkk., 2001).

Sampah Plastik (Plastic debris)

(4)

digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Derraik, 2002). Menurut Kemenperin (2013), sekitar 1.9 juta ton plastik diproduksi selama tahun 2013 di Indonesia dengan rata-rata produksi 1.65 juta ton/tahun. Thompson dkk (2004) dalam Cauwenberghe dkk., (2013) memperkirakan bahwa 10% dari semua plastik yang baru diproduksi akan dibuang melalui sungai dan berakhir di laut. Hal ini berarti sekitar 165 ribu ton plastik/tahun akan bermuara di perairan laut Indonesia.

Plastik adalah polimer organik sintetis, dan meskipun plastik ada kurang

dari satu abad (Gorman, 1993), pada tahun 1988 di Amerika Serikat saja, 30 juta

ton plastik diproduksi setiap tahunnya (O'Hara dkk., 1988). Fleksibilitas dari

bahan-bahan tersebut telah menyebabkan peningkatan besar dalam penggunaan

selama tiga dekade terakhir, dan mereka telah cepat pindah ke dalam semua aspek

sehari-hari kehidupan (Hansen, 1990; Laist, 1987). Plastik merupakan bahan yang

ringan, kuat, tahan lama dan memiliki harga yang murah (Laist, 1987), sehingga

plastik efisien digunakan sebagai bahan utama berbagai produk. Hal ini menjadi

alasan serius mengapa plastik memiliki dampak berbahaya bagi lingkungan

(Pruter, 1987; Laist, 1987). Salah satu karakteristik dari plastik adalah mengapung

sehingga penyebarannya sangat luas dan dapat menjadi resisten di perairan dalam

waktu yang lama (Hansen, 1990; Ryan, 1987; Goldberg, 1995, 1997).

Makroplastik

Sampah laut terdiri dari bahan termasuk kayu, kaca dan logam. Namun,

jenis yang paling berlimpah dan jelas dari sampah laut adalah plastik (Derraik,

2002). Makroplastik didefinisikan sebagai barang plastik, fragmen atau strand

yang dimensi terbesar adalah > 5 mm (Arthur dkk., 2009). Puing-puing dalam

(5)

organisme predator besar termasuk burung (Auman dkk., 1997) kura-kura

(Mrosovsky dkk., 2009) dan mamalia laut (Laist, 1997), memberikan tekanan pada organisme bentik (Goldberg, 1997), serta membelit ikan, burung dan

mamalia (Gregory, 2009).

Degradasi plastik terjadi di semua lingkungan dan dikendalikan oleh

beberapa faktor lingkungan. Plastik yang terdegradasi diakibatkan foto-oksidasi

oleh ultraviolet (UV) cahaya, dan dipercepat oleh suhu yang tertinggi

(ValadezGonzalez dkk., 1999). Dengan demikian, plastik di lingkungan laut akan

lebih stabil dibandingkan dengan permukaan tanah karena adanya redaman suhu

dan cahaya (UV) oleh air laut (Pegram dan Andrady, 1989). Selain itu, pengembangan biofilm pada sampah plastik akan meminimalkan paparan

ultraviolet pada permukaan plastik yang berpotensi memperlambat proses

degradasi, sementara aktivitas mikroba mungkin salah satu cara untuk

mendegradasi polimer secara biologi (Artham dkk., 2009).

Mikrodebris (Mikroplastik)

Mikroplastik didefinisikan sebagai partikel berukuran plastik < 5 mm (Arthur,

dkk., 2009) dan dapat akibatkan oleh kegiatan industri maupun domestik atau dapat dihasilkan oleh degradasi dan fragmentasi makro-plastik seperti disebutkan

di atas. Dampak dari fragmentasi dan degradasi sampah plastik di lingkungan

merupakan salah satu perhatian utama. Sampah plastik ditemukan di permukaan

air dan kolom air di daerah pantai (Ryan dkk., 2009).

Mikroplastik telah ditemukan pada kolom air dan sedimen laut di

berbagai tempat seluruh dunia (Browne dkk., 2011.; Claessens dkk., 2011.; Ng

(6)

menunjukkan bahwa partikel-partikel ini dapat dicerna oleh cacing polychaete,

teritip, amphipoda dan teripang (Thompson dkk., 2004), dan dapat di translokasi

ke sistem peredaran darah hewan (Browne dkk., 2008). Plastik juga berpotensi

menyerap dan melepas bahan kimia berbahaya ke perairan sehingga berdampak

buruk dalam sistem rantai makanan (biomagnifikasi) (Teuten dkk., 2009).

Aktivitas industri juga diketahui sebagai salah satu penyebab tingginya

kepadatan mikroplastik di perairan laut karena sampah - sampah sisa kegiatan

industri secara langsung dibuang ke sungai yang akhirnya bermuara ke laut seperti

bubuk atau pelet, serta praktik tembakan peledakan menggunakan plastik abrasif

untuk mesin pembersihan dari cat dan karat (Cole dkk., 2011).

Makrozoobenthos

Organisme dasar perairan (benthic organism) dapat digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan perairan. Ekosistem perairan dengan tingkat keragaman jenis yang tinggi akan lebih stabil dan kurang terpengaruh oleh tekanan dari luar dibandingkan dengan ekosistem dengan keragaman yang rendah (Odum, 1995). Keragaman jenis merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat kestabilan yang mencirikan kekayaan jenis dan keseimbangan suatu komunitas. Menurut Widodo (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman jenis dan dominasi antara lain kerusakan habitat alami, pencemaran kimiawi, dan perubahan iklim.

(7)

Keberadaan bentos dibentuk dari sifat fisik lingkungannya yang berbeda-beda sehingga terjadi kelompok-kelompok biota (Brotowidjoyo, 1990).

Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di permukaan sedimen dasar perairan. Bentos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan memiliki kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam keseimbangan suatu ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada kawasan tertentu (Nybakken,1992).

Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida. (Cummins,1975). Makrozoobenthos adalah salah satu organisme akuatik menetap di dasar perairan yang memiliki pergerakan relatif lambat (Zulkifli dan Setiawan, 2011). Makrozoobenthos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan memiliki kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran makrozoobenthos dalam keseimbangan suatu ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada kawasan tertentu (Petrus dan Andi, 2006). Menurut Barnes dan Mann (1987) diacu oleh Ruswahyuni (2010) Hewan makrozoobenthos mendapatkan makanan dari dua bagian yaitu mikroalga benthik dan guguran dasar atau detritus yang suatu saat juga dapat tersuspensi oleh adanya pergerakan air.

(8)

substrat perairan dengan cara menggali lubang, sebagian besar hewan tersebut hidup sesil. Sedangkan epifauna adalah makrozoobenthos yang hidup di permukaan dasar perairan yang bergerak dengan lambat di atas permukaan sedimen yang lunak atau menempel pada substrat yang keras (Nybakken, 1992). Peranan Benthos

Bentos memegang peranan yang penting dalam komunitas perairan, terutama dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan organik. Selain itu dalam rantai makanan, hewan bentos menempati tingkat rantai makanan (tropik-level)

kedua dan ketiga. Sebagai konsumer tingkat pertama, hewan bentos terdiri dari pemakan tingkat tinggi dan sebagai konsumer kedua, hewan bentos hanya bisa memangsa zooplankton atau sesama hewan bentos lainnya

(Dahuri dkk., 1996).

Menurut (Widiastuti, 1983), bahwa komposisi makrozoobentos meliputi keanekaragaman jenis, keseragaman dan kepadatan relative serta hubungannya dengan kualitas suatu perairan. Hubungan ini didasarkan atas kenyataan bahwa tidak seimbang lingkungan akan turut mempengaruhi kehidupan suatu organisme yang hidup pada suatu perairan sebagai contoh pengurangan jenis spesies tertentu yang diikuti dengan melimpahnya jumlah individu yang lain, menunjukan telah tercemarnya suatu perairan.

(9)

Kelompok organisme yang dominan yang menyusun makrozoobentos adalah dari kelompok Polychaeta, Crustacea, Echinodermata dan Moluska. Polychaeta banyak terdapat sebagai organisme pembentuk tabung dan penggali, Crustacea terutama golongan Ostracoda yang umumnya mendiami daerah permukaan. Molusca biasanya terdiri dari spesies-spesies Bivalvia dan beberapa Gastropoda yang hidup dipermukaan, serta Echinodermata terutama dari bintang laut atau bintang ular (Haslindah, 2003).

Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator

Wilayah perairan merupakan media yang rentan terhadap pencemaran. Berbagai jenis pencemar baik yang berasal dari sumber perumahan, industri, gejala alam, dan lainnya banyak memasuki badan air. Setelah terakumulasi maka secara langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air (Allard dan Moreau, 1987).

Makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit. Makrozoobenthos yang memiliki toleran lebih tinggi maka tingkat kelangsungan hidupnya akan

semakin tinggi. Tingkat pencemaran terhadap perairan dapat dilihat dengan identifikasi makrozoobenthos yang terdapat di wilayah tersebut (Koesbiono, 1979).

(10)

peran sebagai bioremidiator lingkungan dengan salah satunya ditunjukkan dengan kemelimpahan jumlah/kerapatan untuk spesies tertentu pada perairan tercemar Selain itu makrozoobenthos juga efektif sebagai bioindikator dikarenakan memiliki respon yang berbeda terhadap suatu bahan pencemar yang masuk dalam perairan sungai dan bersifat immobile (Indrowati dkk., 2012).

Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Faktor fisika dan kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos diantaranya adalah:

Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengontrol kehidupan dan penyebaran organisme dalam suatu perairan. Suhu akan mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme tersebut (Nybakken, 1988). Perubahan suhu akan mempengaruhi pola kehidupan dan aktivitas biologi di dalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran toleransinya (Simamora, 2009).

Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap suhu relatif sempit dengan organisme daratan. Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Naiknya suhu perairan dari yang biasa, misalnya karena pembuangan sisa pabrik, sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitasnya berubah (Suin, 2002).

(11)

Organisme perairan mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda dalam pH perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973).

Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar, misalnya air limbah (buangan), berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menuju kondisi asam. Hal ini karena bertambahnya bahan-bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian (Kristanto, 2002).

DO (Dissolved Oxygen)

Dissolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting didalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen didalam air terutama sangat dipengaruhioleh faktor temperatur, dimana kelarutan maksimum terdapat pada temperatur 0°C, yaitu sebesar 14,16 mg/L O2 (Barus, 2004).

Menurut Sinambela (1994) dalam Sinaga (2009), kehidupan makrozoobenthos di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimal 2 mg/L. Menurut Setyobudiandi (1997) kandungan oksigen terlarut mempengaruhi suatu perairan, semakin tinggi kadar O2 terlarut maka jumlah dan jenis makrozoobenthos semakin besar.

(12)

Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang

terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama. Kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35‰ (Syamsurisal, 2011).

Substrat

Referensi

Dokumen terkait