• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Internet Dalam Perspektif Kriminologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Internet Dalam Perspektif Kriminologi"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku

masyarakat dan peradaban manusia secara global. Selain itu, perkembangan

teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa

batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan

berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang

bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan

kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi arena efektif

perbuatan melawan hukum.10

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan

Hukum Cyber, yang diambil dari kata cyber law adalah istilah hukum yang

terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang digunakan

adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum

dunia maya (virtual world law) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut

lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi

berbaris virtual. Istilah hukum cyber digunakan dalam tulisan ini dilandasi

pemikiran bahwa cyber jika diidentikan dengan dunia maya

10

http://www.setkab.go.id/artikel-6249-upaya-pemerintah-melawan-cybercrime.html diakses pada 22 juli 2014.

akan cukup

menghadapi persoalan jika harus membuktikan suatu persoalan yang

(2)

Melihat fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat ini, dampak

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah disalahgunakan

sebagai sarana kejahatan ini menjadi teramat penting untuk diantisipasi bagaimana

kebijakan hukumnya, sehingga cyber crime yang terjadi dapat dilakukan upaya

penanggulangannya dengan hukum pidana, termasuk dalam hal ini adalah

mengenai sistem pembuktiannya. Dikatakan teramat penting karena dalam

penegakan hukum pidana dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah

atau tidak melakukan tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan

atas kekuatan undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas legalitas), juga

perbuatan yang didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat

dipertanggungjawabkan (unsur kesalahan). Pemikiran demikian telah sesuai

dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP) kita, yakni

sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal I ayat (1) KUHP nullum

delictum nulla poena sine praevia lege poenali

Bertolak dari dasar pembenaran sebagaimana diuraikan di atas, bila

dikaitkan dengan cybercrime

atau dalam istilah lain dapat

dikenal dengan tiada pidana tanpa kesalahan.

,

Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat internet,

undang-undang yang diharapkan (

maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat

bukti yang sah dalam hukum acara pidana merupakan masalah yang tidak kalah

pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan dan adanya perbuatan

pidana.

ius konstituendum) adalah perangkat hukum

(3)

termasuk dampak negatif penyalahgunaan internet dengan berbagai motivasi yang

dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Saat

ini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus atau cyber law yang

mengatur mengenai cybercrime. Tetapi, terdapat beberapa hukum positif lain yang

berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk

kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai sarana, antara lain:11

A. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kebijakan hukum pidana adalah penerapan hukum pidana untuk

menangulangi kejahatan pengertian kebijakan hukum pidana sama dengan

kebijakan penal (penal policy), sehingga pengertian kebijakan hukum pidana

terhadap cybercrime adalah penerapan hukum pidana untuk menanggulangi

cybercrime.

Berikut ini penjelasan secara hukum kejahatan cybercrime:

1. Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding.

Untuk menangani kasus carding diterapkan pasal 362 KUHP yang

dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik

orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang

diambil dengan menggunakan software setelah card generator di internet untuk

melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang

11

(4)

dikrimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata

ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.12

2. Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan.

Penipuan secara online pada prinsipnya sama dengan penipuan

konvensional, yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni

menggunakan sistem elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi).

Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama

sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP).13

3. Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan

yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa

korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini

adalah Pasal 378 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan

memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan

rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu

benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,

diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”

Akhirnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 335 ayat

(1)

12

http://kelompokcarding.blogspot.com/2012/11/undang-undang-dan-cara-pencegahan-html, diakses pada 8 Juli 2014.

13

www.hukumonline.com/klinik/detail/cara-penyidik-melacak-pelaku-penipuan-dalam-jual-beli-online, diakses pada 8 Juli 2014.

(5)

menyenangkan dan Pasal 21 ayat (4)

Sehingga Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP selengkapnya

berbunyi,

tentang KUHAP. MK

membatalkan frasa perbuatan tidak menyenangkan dalam Pasal 335 KUHP, tetapi

MK tak membatalkan Pasal 335 ayat (1) KUHP dan Pasal 21 ayat (4) KUHAP

sebagai pasal yang bisa dilakukan penahanan.

MK menyatakan bahwa frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan

yang tak menyenangkan dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP bertentangan

dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua

MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 1/PUU-XI/2013 di

ruang sidang MK.

“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya

melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai

kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu

sendiri maupun orang lain.”14

4. Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan

menggunakan media internet, modusnya adalah pelaku menyebarkan email

kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau

mengirimkan email ke suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita

tersebut.

5. Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang

dilakukan secara online di internet dengan penyelenggara dari Indonesia.

14

(6)

6. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun

website porno yang banyak berdar dan mudah diakses di internet. Walaupun

berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka

melakukan pendaftaran domain tersebut diluar negri dimana pornografi yang

menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.

7. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau

film pribadi seseorang yang vulgar di internet, misalnya kasus Sukma Ayu-Bejah.

8. Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang

membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak

berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Dalam konteksnya bahwa sudah ada kebijakan hukum pidana yang dapat

digunakan untuk menanggulangi cybercrime terutama dalam penyalahgunaan

informasi. KUHP, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman,

Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang

Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002

tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi,

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik. Namun tentu setiap kebijakan tersebut memiliki kelemahan dan

kelebihan.15

Saat ini pengaturan mengenai yurisdiksi tidak diatur dengan jelas serta

perlunya pengaturan lebih jelas dengan pertanggungjawaban dari subjek hukum

terutama korporasi. Kelemahan tersebut menuntut kebijakan formulasi hukum

15

(7)

yang mudah dan tepat dalam penanggulangan kejahatan pada umumnya serta

penyalahgunaan informasi pada khususnya. Dalam pembentukan kebijakan

hukum pidana tersebut haruslah memperhatikan dengan baik karakteristik

dari cybercrime

Dengan langkah awal kriminalisasi, maka penentuan yurisdiksi, subjek

dan objek tindak pidana, perumusan tindak pidana, perumusan

pertanggungjawaban pidana, perumusan sanksi pidana, dan perumusan sistem

pemidanaan harus dilakukan dengan tetap sasaran. Mengingat kejahatan dunia

maya tidak bisa dilawan dengan cara dunia nyata. Orientasi dari formulasi

kebijakan pidana yang baru juga harus jauh ke depan memikirkan kemungkinan

besar dampak buruk bentuk kejahatan baru. tidak semata-mata hanya memikirkan

untuk melahirkan aturan baru memang. Tetapi juga harus dimaksimalkan upaya

penanggulangan dan pencegahan dengan instrumen hukum yang ada saat ini.

Memaksimalkan faktanya kejahatan tradisonal yang sekarang menjadi

konvensional ternyata mampu melahirkan kejahatan dunia maya yang

memerlukan cara baru dalam penanggulangannya. Dengan adanya kejahatan

dunia maya saat ini, dimungkinkan akan lahir bentuk kejahatan lain diluar

jangkauan manusia dalam beberapa waktu ke depannya.

yang berbasis pada teknologi informasi yang terjadi di dunia

maya dan bersifat transnasional.

B.Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

(8)

Keberadaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik berfungsi sebagai pedoman, norma dan kontrol terhadap

perilaku para pengguna internet. Hal ini bertujuan untuk merevensi, mendeteksi

atau mereduksi kejahatan internet, kecurangan dan perilaku pengguna internet

yang tidak etis, yang dilakukan melalui penggunaan teknologi informasi.

Pedoman, norma dan fungsi kontrol tercermin pada ketentuan yang terdapat dalam

bab dan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik. Ketentuan ini mengacu pada upaya regulator untuk

mengarahkan dan mengendalikan perilaku para pengguna internet serta

meningkatkan kepatuhan para pengguna terhadap Undang-Undang Nomor 11

tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peningkatan kepatuhan

para pengguna internet diharapkan mampu mereduksi terjadinya kejahatan

internet (cybercrime) dan perilaku negatif para pengguna internet.

Perlakuan hukum pelaku cybercrime (fraud) jika dijerat

menggunakan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang

berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak

menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian

konsumen dalam Transaksi Elektronik.” Ancaman pidana dari pasal tersebut

adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1

miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).

Untuk pembuktiannya, aparat penegak hukum bisa menggunakan bukti

(9)

ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal 5

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang

sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia

Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah

delik penipuan yang dilakukan secara online (computer related fraud) dalam

ketentuan khusus cybercrime.

Berdasarkan ruang lingkupnya pengaturan tindak pidana cyber dapat di

bagi menjadi dua bagian, yakni :

1. Pengaturan Tindak Pidana Cyber Materil di Indonesia.

Berdasarkan instrumen Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), maka

pengaturan tindak pidana cyber di Indonesia juga dapat dilihat dalam arti luas dan

arti sempit. Secara luas, tindak pidana cyber ialah semua tindak pidana yang

menggunakan sarana atau dengan bantuan sistem elektronik. Itu artinya semua

tindak pidana konvensional dalam

sepanjang dengan menggunakan bantuan atau sarana Sistem Elektronik seperti

pembunuhan, perdagangan orang, dapat termasuk dalam kategori tindak pidana

(10)

Cybercrimes, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik juga tidak memberikan definisi juga mengenai cybercrimes,

tetapi membanginya menjadi beberapa pengelompokkan yang mengacu pada

Convention on Cybercrimes.

a. kesusilaan

Pasal 27

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusiakan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Ancaman pidana pasal 45 (1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Diatur

pula dalam KUHP pasal 282 mengenai kejahatan terhadap kesusilaan.

b. perjudian

Pasal 27

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentramisikan dan/atau mebuat dapat diaksesenya informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.

c. penghinaan atau pencemaran nama baik

Pasal 27

(3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

(11)

dan/dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran

nama baik

d. pemerasan atau pengancaman

Pasal 27

(4) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentramisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

e. berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen

Pasal28

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan

menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

f. menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA

Pasal 28

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang

ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau prmusuhan individu dan/atau

kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku. agama, ras, dan antar

golongan (SARA).

g. mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti

yang ditujukan secara pribadi

Pasal 29

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menggrimkan informasi elektronik

(12)

yang ditujukan secara pribadi (Cyber Stalking). Ancaman pidana pasal 45 (3)

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 29

dipidana dengan penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp.2.000.000.000,00.

h. dengan cara apapun melakukan akses ilegal

Pasal 30

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses

komputer dan/ atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar,

menerobos, melampaui, atau menjebol system pengamanan (cracking, hacking,

ilegal access). Ancaman pidana pasal 46 ayat 3 setiap orang yang memebuhi

unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat 3 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 8 (delapan) dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00

(delapan ratus juta rupiah)

i. intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan sistem

elektronik

Pasal 31

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik

tertentu milik orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau

(13)

suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik

yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan

adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan

kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainya yang

ditetapkan berdasarkan undang-undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah

j. tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:

1. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data

interference

Pasal 32

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara

apapun mengubah, menambah, tranmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,

menyebunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik

orang lain atau milik publik.

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara

apa pun memindahkan atau mentrasfer informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.

(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan

(14)

rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak

sebagaimana semestinya.

k. gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference)

Pasal 33

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum melakukan tindakan

apa pun yang berakibat terganggunya system elektronik dan/atau mengakibatkan

system elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.

l. tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang

Pasal 34

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan memproduksi, menjual,

mengadakan untuk untuk digunakan mengimpor, mendistribusikan, menyediakan

atau memiliki.

m. tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik

Pasal 35

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan

manipulasi penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi

elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik tersebut seolah-olah data yang autentik (phising=

penipuan situs)

n. tindak pidana tambahan (accessoir)

(15)

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum dengan melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan pasal 34 yang

mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

o. penyelesain sengketa

Pasal 38

(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang

menyelengarakan Sitem Elektronik dan/atau menggunakan Tekhnologi

Informasi yang menimbulkan kerugian.

(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak

yang menyelengarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi

Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 39

(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga

penyelesaian sengketa alternatif lainya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

p. peran pemerintah dan peran masyarakat

Pasal 40

(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi

(16)

(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan

sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi

Elektronik yang menggangu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang undangan.

(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik

strategis yang wajib dilindungi.

Pasal 41

(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi

melalui penggunaan dan penyelengaraan Sistem Elektronik dan Transaksi

Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

q. penyidikan

Pasal 42

Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan

dalam Undang-undang ini.

Pasal 43

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai

Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan

tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

diberi wewenag khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan Penyidikan tindak

pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

(17)

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut

ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;

b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5

ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

r. ketentuan pidana

Pasal 45

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal

27 ayat (1), ayat (2) ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap Orang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

s. terhadap ancaman pidana

Pasal 52

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)

menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan

pemberatan sepertiga dari pidana pokok

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 sampai dengan

pasal 37 ditujukan terhadap komputer dan/atau sistem elektronik serta

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik pemerintah dan/atau

digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana dengan pidana

(18)

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan

Pasal 37 ditujukan terhadap komputer dan/atau sistem elektronik serta

informasi elektronik dan/atau milik pemerintah dan/atau badan strategis

termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral,

perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam

dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing pasal

ditambah dua pertiga.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai

dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok

ditambah dua pertiga.

t. ketentuan peralihan

Pasal 53

Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan

dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi

yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.

u. ketentuan penutup

Pasal 54

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapakan paling lama 2 (dua) tahun

setelah diundangkanya Undang-Undang ini.

2. Pengaturan Tindak Pidana Cyber Formil di Indonesia

Selain mengatur tindak pidana cyber materil, Undang-Undang Nomor 11

(19)

cyber formil, khususnya dalam bidang penyidikan. Pasal 42 Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur

bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan berdasarkan ketentuan

dalam

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Artinya, ketentuan penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang

tidak diatur lain dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik. Kekhususan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam penyidikan antara lain:

a. Penyidik yang menangani tindak pidana cyber ialah dari instansi Kepolisian

Negara RI atau Kementerian Komunikasi dan Informatika.

b. Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap

privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan

data.

c. Penggeledahan dan atan penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait

dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri

setempat.

d. Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan Sistem Elektronik,

penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.

Ketentuan penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008

(20)

tindak pidana cyber dalam arti luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana

perpajakan, sebelum dilakukan penggeledahan atau penyitaan terhadap server

bank, penyidik harus memperhatikan kelancaran layanan publik, dan menjaga

terpeliharanya kepentingan pelayanan umum sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Apabila dengan mematikan server bank akan mengganggu pelayanan publik,

tindakan tersebut tidak boleh dilakukan.

Selain UU ITE, peraturan yang landasan dalam penanganan kasus cyber

crime di Indonesia ialah peraturan pelaksana UU ITE dan juga peraturan teknis

dalam penyidikan di masing-masing instansi penyidik.

C.Dalam Undang-Undang Hukum Positif Lainya

1.

Menurut Pasal 1 angka (8) Undang - Undang No 19 Tahun 2002 tentang

Hak Cipta, program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan

dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan

dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat

komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai

hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi

tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun (Pasal 30).

Harga program komputer/software yang sangat mahal bagi warga negara

Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis

(21)

murah. Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga

Rp20.000,00. Maraknya pembajakan software di Indonesia yang terkesan

dimaklumi tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan

program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur

dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak

memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program

komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau

denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) “.

2.

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang - Undang No 36 Tahun 1999,

telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan

setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan

bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

Melalui definisi tersebut, maka internet dan segala fasilitas yang dimilikinya

merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan

menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan

sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban

umum atau pribadi, terutama para hacker, dapat dikenakan sanksi dengan

menggunakan undang-undang ini, sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu setiap

orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

a. Akses ke jaringan telekomunikasi.

b. Akses ke jasa telekomunikasi.

(22)

Apabila anda melakukan hal tersebut seperti yang pernah terjadi pada

website KPU www.kpu.go.id, maka dapat dikenakan Pasal 50 yang berbunyi

“Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”

3.

Dengan dikeluarkannya

Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1997

4.

tanggal 24

Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur

pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi) yang

bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian

dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya Compact Disk-Read

Only Memory (CD-ROM), dan Write-Once-Read-Many (WORM), yang diatur

dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.

Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 15 Tahun 2002

Undang-undang ini merupakan undang-undang yang paling ampuh bagi

seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang

melakukan penipuan melalui internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi

yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah

satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian uang (Pasal 2 Ayat (1)

Huruf q). Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima transfer untuk

memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki oleh tersangka tanpa

(23)

perbankan. Dalam undang-undang pencucian uang proses tersebut Kapolda

cukup mengirimkan surat kepada pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut

dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data

dan informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses

penyelidikan terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak bank,

berbentuk: aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan

dan dimana dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan

pelaku berdasarkan data-data tersebut. Undang-undang ini juga mengatur

mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf

b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau

disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

5.

Selain

Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme

Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-undang ini

mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat

bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan

secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital

evidence atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus

terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan

pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di

internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena

para pelaku mengetahui pelacakan terhadap internet lebih sulit dibandingkan

Referensi

Dokumen terkait

The hypothesis presented in this study was that the longer the auditor tenure the higher the amount of non- audit services supplied as the auditor gains a better understanding on

Seberapa besar hasil peningkatan motivasi belajar siswa berdasarkan penerapan model pembelajaran Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada pembelajaran

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui lebih medalam tentang praktik pembiayaan gadai emas di BMT-UGT Sidogiri Kantor Cabang Pembantu Kwanyar Bangkalan. 2)

Emulsifier fase minyak merupakan bahan tambahan yang dapat larut dalam minyak yang berguna untuk menghindari terpisahnya air dari emulsi air

Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat DJBC Tahun Anggaran 2017 akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Demikian kami sampaikan undangan ini dan atas perhatian Saudara diucapkan terima kasih.. Kantor

Kelompok Kerja (Pokja) Khusus Unit Layanan Pengadaan (ULP) Atas Paket Pengadaan Jasa Konsultan Perencanaan Detail Desain Aplikasi Dan Rancangan Enterprise

[r]