KAJIAN PENCAPAIAN TARGET MDGs PADA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI SEMARANG
Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang berat bagi pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara-negara miskin yang sangat
dipengaruhi epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang ditimbulkannya. Bagian terbesar orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang dewasa
yang berada dalam usia kerja dan hampir separuhnya adalah wanita, yang akhir-akhir ini terinfeksi lebih cepat daripada laki- laki. Konsekwensinya dirasakan oleh perusahaan dan ekonomi nasional, demikian juga oleh tenaga kerja dan keluarganya. Dalam konteks ini
pemerintah mempunyai kewajiban untuk menerapkan ketentuan-ketentuan United Nations Declaration of Commitment on HIV/AIDS tahun 2001,yang mencakup
komitmen untuk memperkuat sistem pemeliharan kesehatan dan memperluas cakupan pengobatan, juga mengatasi masalah HIV/AIDS di dunia kerja melalui peningkatan program pencegahan dan kepedulian di tempat kerja publik, swasta dan informal. Harus
diingat bahwa belum ada vaksin untuk mencegah HIV/AIDS, dan pengobatannya juga belum ada. Pencegahan sangat tergantung pada kampanye kesadaran masyarakat dan
perubahan perilaku individu dalam lingkungan yang mendukung, yang memerlukan waktu dan kesabaran.
Dari segi pengobatan, peningkatan Terapi Anti Retroviral -TAR (Anti Retroviral
Treatment) yang efektif dan terjangkau telah membantu menjaga kesehatan bagi mereka yang mempunyai akses pada obat-obatan, dan memperpanjang usia dan memelihara
oleh negara, organisasi pengusaha dan internasional , berkonsentrasi untuk mempercepat akses terhadap TAR di negara-negara yang paling parah dampaknya, disamping
memperkuat kampanye pencegahan secara global. Bagaimanapun, mengobati orang dalam jumlah besar memerlukan fungsi sistem pemeliharaan kesehatan yang mempunyai kemampuan untuk memberikan dan memantau pengobatan disamping melaksanakan
upaya pencegahan yang sedang berjalan, serta memberikan kepedulian dan dukungan jangka panjang. Karena sudah menjalar ke seluruh sektor ekonomi dan seluruh bidang
kehidupan sosial, epidemi HIV/AIDS telah merupakan ancaman bagi pertumbuhan dan pembangunan jangka panjang. Dampak sosial ekonominya akan sangat akut apabila kerugian SDM terkonsentrasi pada tenaga dengan ketrampilan yang langka, profesional
dan pelatihan manajerial yang lebih tinggi. Konsekwensi kerugian ini akan mencapai bagian yang kritis bila mereka mempengaruhi pelayanan dan struktur yang sangat penting
yang ada pada garis depan, seperti sistem kesehatan nasional.
Tekanan HIV/AIDS terhadap sistem kesehatan sangat hebat. Walaupun perawatan kesehatan merupakan hak asasi manusia yang mendasar,dan di seluruh dunia terdapat
lebih dari 100 juta pekerja sektor kesehatan yang memberikan pelayanan,“kesehatan bagi semua” masih jauh untuk dicapai. Beberapa kendala telah teridentifikasi pada bermacam
tingkat dan termasuk kebijakan penyesuaian struktur yang telah mengurangi pengeluaran dan lapangan kerja bagi publik; kelemahan pada kebijakan dan manajemen strategik sektor kesehatan; keterbatasan infrastruktur, peralatan dan SDM yang telah merusak
pemberian pelayanan kesehatan.
Beberapa masalah SDM yang ditemukan oleh WHO adalah jumlah dan kualitas
pelatihan awal dan selama bekerja. Epidemi HIV/AIDS merupakan faktor tambahan utama yang dihadapi sistem kesehatan di banyak negara. Lebih dari 50% tempat tidur
rumah sakit di sub-Sahara Afrika ditempati oleh penderita penyakit yang berkaitan dengan HIV/AIDS, walaupun sebagian besar mereka akhirnya dirawat dirumah. Peranan wanita yang bersifat tradisional menyebabkan wanita dan anak perempuan menanggung
sebagian besar beban perawatan. Hal ini tidak hanya menambah beban kerja mereka, tapi juga menurunkan produktivitas vital mereka, peran reproduksi dan masyarakat
yang mereka mainkan.
Cara utama mendapatkan infeksi HIV berkaitan dengan perilaku pribadi. Sebagai tambahan, pekerja sektor kesehatan dalam memberikan perawatan kepada pasien
HIV/AIDS juga berisiko mendapat penularan, khususnya bila aturan-aturan dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) tidak dilaksanakan. Beban kerja yang lebih besar
akibat epidemi, ketakutan terhadap infeksi dan kurangnya syarat-syarat K3 atau pelatihan khusus tentang HIV/AIDS menyebabkan pekerja sektor kesehatan mengalami stres fisik dan psikologis yang hebat. Keadaan ini juga menyebabkan jumlah tenaga yang tidak
cukup, jam kerja yang panjang dan kekerasan. Akibat tekanan ini banyak tenaga kesehatan terpaksa meninggalkan profesinya, meninggalkan sektor publik, atau migrasi
untuk bekerja di negara-nagara lain. Karena ketakutan terhadap stigma yang melekat kepada profesi kesehatan, asupan yang lebih rendah sedang terjadi di n egara-negara berkembang, khususnya diantara pekerja lini terdepan seperti perawat. Hal ini
memperberat keterbatasan kapasitas untuk menyampaikan masalah HIV/AIDS dalam sistem kesehatan. Pekerja sektor kesehatan yang diperluas, terlatih baik, dilengkapi
menghambat penularan HIV disamping memberikan perawatan, pengobatan dan dukungan bagi orang-orang yang membutuhkan mereka. Multiplikasi isu yang terlibat
memerlukan kebijakan yang koheren dan terpadu untuk membangun infrastruktur, kapasitas manusia dan tehnik yang diperlukan.
Kerangka kerja hukum dan kebijakan
Bermacam peraturan dan kebijakan nasional merupakan kerangka kerja untuk aksi yang berkaitan dengan HIV/AIDS dan pelayanan kesehatan. Kerangka kerja ini
termasuk kebijakan sektor kesehatan nasional dan AIDS, peraturan ketenagakerjaan, peraturan dan standar K3, peraturan anti-diskriminasi dan peraturan perundangan yang diterapkan kepada sektor kesehatan. Keterlibatan ODHA dalam menanggulangi
HIV/AIDS sangat penting dan mereka adalah pihak pertama yang akan dipengaruhi oleh kebijakan dan peraturan. Karena itu pekerja sektor kesehatan yang hidup dengan
HIV/AIDS dan asosiasi mereka harus sejauh mungkin memainkan peran sentral dalam mengembangkan, menerapkan dan mengevaluasi kebijakan dan program, baik pada tingkat nasional ataupun dalam tempat kerja.
Kebijakan kesehatan perlu mencakup dan mempromosikan kerjasama antara semua institusi yang relevan termasuk rumah sakit dan klinik pendidikan, rumah sakit
tingkat daerah dan swasta, pelayanan kesehatan kerja, pelayanan kesehatan masyarakat, apotik dan asosiasi perawatan berbasis rumah dan LSM nasional ataupun internasional lainnya. Karena itu pemerintah harus:
2. Menyediakan dan memelihara kesinambungan perawatan yang efektif mela lui koordinasi pelayanan, dan berbagi sumber daya termasuk informasi dan pelatihan;
3. memperbaiki kapasitas institusi untuk perencanaan dan manajemen pelayanan kesehatan
4. Merancang dan mereformasi peraturan tentang pengembangan SDM bagi
pelayanan kesehatan mencakup perencanaan, pendidikan dan pelatihan, dan peraturan tentang kualifikasi dan syarat-syarat praktek tenaga kesehatan, termasuk
persyaratan sertifikasi dan akreditasi;
5. Segera mengembangkan dan menerapkan rencana dan strategi perencanaan SDM yang memungkinkan sistem kesehatan memberikan pelayanan;
6. Memprioritaskan dan menyediakan anggaran yang sesuai untuk memberikan pelayanan yang efektif kepada pasien dan perlindungan terhadap pekerja sektor
kesehatan
Berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS baik di tingkat Nasional maupun tingkat provinsi telah dilakukan. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Tengah
(KPAP) yang dibentuk sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden RI No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, merupakan koordinator
dalam program penanggulangan HIV dan AIDS dengan kebijakanyang ditujukanuntuk mencegah timbulnya infeksi baru HIV dan menyediakan perawatan, dukungan dan pengobatan untuk ODHA.
Upaya penanggulangan HIV di propinsi Jawa Tengah juga didukung oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan berbagai program yang ditujukan
1.Layanan Voluntary Counseling & Tes ( VCT), 2.Infeksi Menular Seksual (IMS),
3.Program Terapi Rumatan Metadone (PTRM), 4.Program Pertukaran Jarum Suntik Steril (PJSS), 5.Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT),
6.Program TB-HIV,
7.Care, Support & Treatment (CST) di RS Rujukan HIV-AIDS
Analisis program, kelebihan dan kekurangan
Penyebaran infeksi HIV di Semarang masih terkonsentrasi pada subpopulasi
risiko tinggi, yaitu pengguna napza suntik, wanita pekerja seks, laki-laki berisiko tinggi (Waria, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, dan pelanggan penjaja seks),
terlihat dari masih tingginya prevalensi HIV pada subpopulasi tersebut. Sedangkan Prevalensi pada populasi umum masih belum dapat terpotret dengan baik, karena sampai saat ini masih belum pernah dilakukan survey untuk mengukur tingkat prevalensi HIV
pada populasi umum tersebut. Oleh karena itu, untuk mencapaian target MDGs maupun target yang diinstruksikan oleh Presiden guna percepatan pencapaian MDGs, masih tetap
perlu dipertahankan bahkan perlu adanya penguatan dan peningkatan program-program penanggulangan HIV dan AIDS kepada subpopulasi risiko tinggi tersebut. Juga, tidak semua indikator dalam tujuan keenam MDGs diadopsi oleh Indonesia. Indikator
prevalensi pada ibu hamil yang seharusnya menjadi indikator pertama, diadaptasi oleh Indonesia menjadi prevalensi pada populasi umum, dan indikator keempat yaitu proporsi
sebagai indikator dalam tujuan menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya di Indonesia. Hal ini menunjukkan belum adanya prioritas untuk program-program pada
kelompok tertentu seperti Ibu hamil dan anak-anak
Sebenarnya, secara Nasional, komitmen pemerintah untuk mewujudkan akses universal bagi pengobatan ARV bagi ODHA, terlihat cukup serius. Peningkatan subsidi
yang diberikan pemerintah untuk obat ARVcukup signifikan. Pada tahun 2008, subsidi obat ARV yang didanai oleh APBN adalah 37 miliar rupiah, pada tahun 2009 meningkat
menjadi 43 miliar rupiah, dan pada tahun 2010 melonjak hingga 84 miliar rupiah (JOTHI, 2010). Namun, apabila kita perhatikan, dana yang dialokasikan oleh KPAP Jawa Tengah untuk program pengobatan, perawatan dan dukungan hanyalah30.45% dari jumlah dana
yang diperuntukkan bagi program penanggulangan HIV dan AIDS secara keseluruhan pada tahun 2008 dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan di tahun 2009
(30.92%). Presentase terbesar masih diperuntukkan bagi program pencegahan yaitu hampir 60% baik di tahun 2008 maupun tahun 2009.
Meskipun perhatian pemerintah pusat sudah cukup besar dalam pemenuhan
kebutuhan ARV, beberapa hal masih perlu menjadi perhatian seperti,pengaturan rantai pasokan (terutama di kota satelit atau kota-kota kecil) danketersediaan ARV bagi
pediatrik. Keberhasilan terapi ARV sangat dipengaruhi oleh kepatuhan dalam mengkonsuminya. Ketidakteraturan dalam meminum ARV dapat mengakibatkan kekebalan dalam tubuh ODHA, sehingga ARV menjadi tidak efektif lagi. Oleh karena itu
ketersediaan dan manajemen distribusi dan logistik ARV menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan terapi ARV. Disamping itu, peranan Pengawas Minum Obat
menjaga kedisiplinan pasien dalam mengkonsumsi ARV.Keluarga dan Petugas LSM dapat berperan sebagai POM. Penelitian UIC-ARC (2010) juga mengungkapkan hal
yang sama bahwa peranan Orang tua, pasangan dan petugas LSM (petugas penjangkau maupun manajer kasus) memiliki andil yang cukup besar dalam memberikan dukungan bagi ODHA untuk menjaga kepatuhan mereka dalam menjalankan terapi ARV. Hal
tersebut sangat penting diperhatikan untuk mensiasati pasien-pasien yang berhenti mengakses pengobatan ARV tanpa dapat ditelusuri jejaknya, juga untuk terus
menurunkan angka kematian setelah mengkonsumsi ARV. Proporsi ODHA yang meninggal setelah menjalani terapi ARV tidak dapat dikatakan rendah, walaupun dari tahun 2008 sampai dengan 2010 mengalami penurunan (tahun 2008: 33.7%; tahun 2009:
29.44; tahun 2010: 28.43%). Karena perawatan ARV membutuhkan kedisiplinan yang tinggi, maka penyampaian informasi di awal perencanaan terapi sangatlah penting.
Namun tak kalah penting juga untuk diingat bahwa, tanpa didukung oleh program pencegahan yang efektif, kebutuhan akan ART pada kelompok usia 15-49 tahun diproyeksikan meningkat tiga kali lipat dari 30.100 pada tahun 2008 menjadi 86.800 pada
tahun 2014. Kelebihan
Perawatan, dukungan dan pengobatan merupakan salah satu komponen program dalam kerangka penanggulangan HIV dan AIDS. Di Indonesia, akses pengobatan bagi ODHA sudah dimulai sejak dari awal ditemukannya kasus HIV dan AIDS. Sampai
sekarang, berbagai upaya telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pengobatan dan perawatan bagi mereka yang terinfeksi HIV. Penyediaan Obat Antiretroviral (ARV),
menjadi salah satu intervensi yang paling penting dalam strategi untuk mencegah kematian dan penyebaran infeksi HIV lebih lanjut. Perhatian dan komitmen
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ARV ini, mulai terlihat dengan dikeluarkannya Kepres No.83 tahun 2004 yang menjamin penggunaan lisensi wajib dua jenis obat ARV di Indonesia (Nevirapin dan Lamivudine) yang kemudian
dilanjutkan pada tahun 2007, Presiden mengeluaran Kepres yang mengatur lisensi wajib tiga jenis obat ARV (Nevirapin, Lamivudine dan Efavirenze). Pada tahun yang sama
pemerintah juga menyediakan obat ARV generik dan diberikan secara gratis, terutama kepada ODHA yang miskin. Pada tahun 2004 tersebut, pemerintah juga telah menetapkan 25 rumah sakit yang ditunjuk untuk memberikan layanan pengobatan
ARV, yang kemudian meningkat menjadi 75 rumah sakit di tahun 2007 dan 123 rumah sakit rujukan dan 26 rumah sakit satelit yang memberikan layanan pengobatan ARV.
Berdasarkan laporan Kementrian Kesehatan sampai dengan Juni 2010, sudah 29,581 (76.20%) ODHA yang mendapatkan pengobatan ARV dari 38,817 ODHA yang menjalani pengobatan dan memenuhi syarat untuk pengobatan ARV di 182 rumah sakit
seluruh Indonesia yang menyediakan pelayanan dan pengobatan HIV. DKI Jakarta, sebagaimana Nasional, juga mencanangkan program terapi ARV sebagai elemen penting
dalam upaya penanggulangan HIV. Berdasarkan proyeksi ODHA di Semarang pada tahun 2007 yang berjumlah 29,030 dan akan terus meningkat menjadi 68,140 pada tahun 2012, sepuluh persen dari jumlah ini diperkirakan memerlukan pengobatan ARV dan
Kekurangan
Prevalensi HIV
Prevalensi yang digunakan adalah prevalensi kelompok yang risiko tinggi tertular HIV. Berdasarkan data yang diperoleh dari IBBS 2007, prevalensi pada kelompok ini cukup beragam. Angka prevalensi pada kelompok risiko WPS dan LSL
cukup rendah (6%-10%), sedangkan untuk kelompok lainnya, Waria dan Penasun masih cukup tinggi (> 30%). Begitu juga dengan jumlah kumulatif kasus HIV di DKI
Jakarta, terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2009 yaitu sebanyak 777 kasus.
Penggunaan kondom
Tingkat penggunaan kondom pada kelompok berisiko tinggi juga bervariasi.
Pengingkatan yang cukup signifikan terlihat pada kelompok WPS tak langsung dari 45.5%26 di tahun 2004 menjadi 87%27 pada tahun 200. Pengingkatan penggunaan kondom juga terlihat pada kelompok Penasun, Waria dan PPS. Namun terlihat juga
penurunan pada kelompok risiko tinggi lainnya (LSL danWPS langsung). Apabila dilihat dari konsistensi penggunaan kondom pada seks komersial pada semua kelompok masih
relatif rendah (< 40%).
Pengetahuan komprehensif
Proporsi remaja yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan
AIDS di Semarang masih sekitar hampir 22%, sedangkan yang pernah mendengar mengenai HIV dan AIDS sudah cukup tinggi, yaitu sebesar 82.7%28. Data-data yang ada
usia 15-24 tahun adalah melalui hubungan seksual dan penggunaan napza suntik. Hal ini juga menggambarkan fokus program-program kampanye pencegahan yang
memang menekankan pada kedua cara penularan ini sebagai pesan pencegahan. Media yang digunakan dalam program pemberian informasi dan edukasi juga penting untuk dipertimbangkan, dan sebaiknya berdasar pada kajian mengenai
media informasi yang populer dan tepat guna untuk memberikan informasi HIV dan AIDS yang akurat kepada remaja dan kaum muda sebagai kelompok yang disasar (SDKI
2007 menunjukkan televisi menjadi salah satu media yang paling banyak dipilih sebagai sumber informasi mengenai HIV dan AIDS).
Layanan ART
Jumlah orang yang mengakses layanan dan yang sedang menjalani pengobatan terkait HIV dan AIDS dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik secara
Nasional, maupun di wilayah propinsi DKI Jakarta. Namun peningkatan ini juga diiringi dengan peningkatan jumlah orang yang memenuhi syarat untuk mengakses ARV, sehingga apabila dilihat dari akses universal untuk pengobatan ARV baru mencapai
REKOMENDASI
Beberapa hal yang dirasa perlu untuk direkomendasikan berdasarkan pengalaman dalam seluruh rangkaian proses kajian ini adalah:
Untuk menjawab target-target MDGs dengan tepat, perlu dilakukan sosialisasi
terhadap MDGs dan bagaimana menerjemahkan target-target MDGs ke dalam program-program penanggulangan HIV baik secara Nasional dan juga untuk tiap wilayah.
Mengingat pentingnya ketersediaan data yang akurat, juga dirasa perlu
dibentuknya sebuah pusat koordinasi data program penanggulangan HIV dan AIDS yang dapat diakses dengan mudah dan cepat untuk kepentingan
penelitian, perancangan program, penyusunan kebijakan, dan pengambilan keputusan.
Sistem monitoring program, khususnya pendokumentasian yang teratur,
teroganisir dan disesuaikan dengan kepentingan pengukuran untuk berbagai kepentingan di atas, juga dirasa perlu. Standarisasi data juga memiliki peran yang penting untuk kemudahan akses dan pengolahan data yang berasal dari
DAFTAR PUSTAKA
AIDS Research Centre Atma Jaya Catholic University and UNESCO. 2010. Education Sector Response To HIV, Drugs and Sexuality in Indonesia. Jakarta. UNESCO.
BAPPENAS. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta. BAPPENAS
BPS & Depkes. 2005. Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Indonesia: Hasil SSP Tahun 2004-2005. Jakarta. Depkes.
BPS & Macro International. 2007. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007. Jakarta. BPS
BPS & Macro International. 2008. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta. BPS
Departemen Kesehatan. 2009. Analisis Kecenderungan Perilaku Berisiko Terhadap HIV di Indonesia. Jakarta. Depkes.
Harian Umum PELITA, Edisi 8 Maret 2011. Promosi Kondom, Dual Proteksi Untuk KB dan Kespro. http://www.pelita.or.id/baca.php?id=291. Diakses tanggal: 2 Februai 2011
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. (Unpublished).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta. Depkes.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dirjen PP&PL. 2010. Laporan Triwulan Situasi Perkembangan HIV&AIDS di Indonesia sampai dengan 30 Juni 2010.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS, 2010-2014. Jakarta. KPAN.