BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Perkembangan pembangunan wilayah di Indonesia setelah era pemberlakukan otonomi daerah memperlihatkan beberapa fenomena yang cukup menarik untuk ditelaah dan dianalisis. Dalam beberapa hal, perkembangan ekonomi yang dapat ditelusuri dari perubahan struktur ekonomi wilayah (regional economic transformation), pulau – pulau besar atau kawasan – kawasan dimana tempat kegiatan ekonomi utama berlangsung seperti Jawa dan Sumatera memperlihatkan adanya
kecenderungan mengalam perubahan struktur ekonomi yang sifatnya agak berfluktuatif. Pulau Jawa misalnya, meskipun pertumbuhan ekonomi wlayahnya cukup progresif, namun pertumbuhan ekonomi tersebut tidak terlalu memberikan peran penting terhadap penurunan angka kemiskinan dan
pengangguran dan bahkan muncul kecenderungan akan terjadi stagnasi ekonomi yang di ikuti dengan proses de-industrialisasi. Kawasan lain seperti pulau Sumatera tampaknya tidak terlalu memperlihatkan perkembangan yang komprehensif, beberapa wilayah di pulau Sumatera kecenderungan pertumbuhan ekonominya memang mengalami peningkatan, akan tetapi bila dikaitkan dengan upaya – upaya dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, sama halnya dengan Jawa, pertumbuhan ekonominya seperti belum terlalu mampu memberikan kontribusi positif, begitu pula halnya dengan angka pengangguran, dinama muncul kecenderungan jumlahnya terus
mengalami peningkatan walaupun tidak begitu signifikan.
Kawassan – kawasan seperti Kalimantan dan Sulawesi pun pada dasarnya tetap terjebak dalam perangkap pertumbuhan lamban (the slow growth trap), apalagi wilayah – wilayah ini telah mengalami penipisan ketersediaan sumberdaya alam yang semakin mengkhawatirkan. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini berbasis pada penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (endowment reources led of economic growth) .
Sebagai bahan pembandiing, kontribusi sektor primer terhadap perekonomian wilayah pulau Jawa semakin menurun walaupun penurunannya tidak secara cepat, selama periode 2004 – 2011, kontribusi sektor primer yang didominasi sektor pertanian rata memberikan kontribusi sebesar 10,46 persen, sektor sekunder yang didominasi oleh sektor industri manufaktur atau sektor pengolahan telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap perekonomian pulau Jawa, selama periode analisis kontribusi sektor ini sebesar 27,84 persen begitu pula halnya dengan sektor jasa atau sektor tersier, yang dalam periode analisis masing – masing memberikan kontribusi sebesar 20,66 persen.
Secara umum patut diketahui bahwa kedua pulau ini pada dasarnya dapat dikatakan sebagai inti (core) bagi pembentukkan perekonomian nasional, apabila dilihat dari
kontribusinya terhadap total ekspor Indonesia maka pulau Sumatera memberikan kontribusi sebesar 29,67 persen atau sebesar 38,749 milyar dollar AS terhadap total ekspor Indonesia, pada bagian lain pulau Jawa juga memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap perolehan ekspor Indonesia. Selama periode analisis 2010, pulau Jawa memberikan sumbangan sebesar 45,11 persen atau berjumlah sebesar 58.523,1 milyar dollar AS. Dilihat dari sisi atau dinamika kependudukan dan ketenaga kerjaan, pulau Sumatera pada tahun 2010 dihuni oleh tidak kurang dari 50.631 juta jiwa, sedangkan pada periode yang sama, pulau Jawa dihuni oleh sekitar 140.501,4 juta jiwa. Kedua pulau ini berarti dihuni oleh sekitar 191.132,4 juta jiwa atau sekitar 80,65 persen dari total penduduk Indonesia yang dalam periode tersebut berjumlah sebesar 237.641,3 juta jiwa. Kondisi ketenaga kerjaan di kedua pulau tersebut juga sangat dinamis, dari total angkatan kerja yang bekerja pada seluruh sektor, angkatan kerja yang bekerja di pulau Sumatera jumlahnya sekitar 24.455.952 jiwa, sedangkan di pulau Jawa terdapat tidak kurang dari 72.009.825 jiwa angkatan kerja yang bekerja. Dengan angka – angka ketenaga kerjaan seperti ini tidaklah terlalu
mengherankan manakala dikatakan kedua pulau ini merupakan wilayah yang memperkerjakan tidak kurang dari 96.465.777 angkatan kerja.
Bila dilihat dari dinamika investasi regional, kawasan pulau Sumatera dan pulau Jawa boleh dikatakan merupakan kawasan yang menyerap tidak kurang dari 50 persen arus investasi baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Alokasi Penanaman Modal Asing di pulau Sumatera dan di pulau Jawa selama tahun 2011 yang lalu masing – masing berjumlah sekitar 2.076,5 milyar dollar AS dan 12.806,7 milyar dollar AS, sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) diperkirakan sebesar 16.334,20 milyar rupiah dan 40.307,60 milyar rupiah. Angka ini merupakan bagian terbesar dari seluruh penanaman modal yang terrealisir d Indonesia. (Bappenas, 2012) Corak dan ragam struktur ekonomi yang berbeda antara pulau Jawa dan pulau Sumatera sudah barang tentu memberikan implkasi yang berbeda terhadap dinamika perkembangan ekonomi wilayah pada masing – masing wilayah. Perbedaan ini paling tidak telah
SUMATERA DAN PULAU JAWA SELAMA PERIODE 1990 – 2013 : PENGUJIAN HIPOTESIS KONVERGENSI DAN DIVERGENSI KUZNETS”
1.2. Perumusan Masalah
Perbedaan dalam pola dan karakeristik pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah pada dasarnya banyak memberikan kontribusi terhadap terciptanya pola dan kinerja perekonomian suatu wilayah. Pulau Sumatera mendasarkan pertumbuhan ekonominya dari pengeksploitasian sumberdaya khususnya sumberdaya alam yang berbasis pada sektor pertanian dan sektor pertambangan, sedangkan pulau Jawa merupakan wilayah atau
kawasan yang pertumbuhannya ekonomi lebih banyak dipicu oleh kontribusi kapital (modal) , kualitas sumberdaya manusia dan boleh jadi perkembangan teknologi. Perbedaan dalam sumber – sumber pendorong pertumbuhan ekonomi inilah yang dapat memicu terjadinya perbedaaan dan pola pertumbuhan ekonomi wilayah yang pada gilirannya akan mendorong pula terbentuknya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Dinamika ekonomi wilayah yang ditekankan pada aspek – aspek pertumbuhan ekonomi wilayah, pola investasi wilayah, penciptaan kesempatan kerja, topologi atau pengklasifikasian wilayah termasuk perubahan struktur ekonomi wilayah inilah yang akan menjadi inti dari penelitian ini. Dari latar belakang sebagaimana dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana pola ketimpangan pembangunan wilayah antara pulau Sumatera dengan
pulau Jawa selama periode 1990 – 2013
b. Faktor – faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antara wilayah di pulau Sumatera dengan pulau Jawa selama periode analisis 1990 - 2013 c. Bagaimana pola perubahan struktur ekonomi wilayah di pulau Sumatera dan pulau Jawa
selama periode 1990 – 2013
d. Bagaimana tipologi perekonomian wilayah di pulau Sumatera dan pulau Jawa selama periode 1990 – 2013
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian disertasi ini adalah sebagai berikut : 1.3.1. Untuk menganalisis dan mengetahui pola ketimpangan pembangunan antara wilayah
pulau sumatera dengan pulau Jawa selama priode 1990 – 2013
1.3.2. Untuk menganalisis dan mengetahui faktor – faktor yang penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antara wlayah pulau Sumatera dengan pulau Jawa selama periode 1990 – 2013
1.3.3. Untuk menganalisis pola perubahan struktur ekonomi wilayah di pulau Sumatera dan pulau Jawa selama periode analisis 1990 – 2013
1.3.4. Untuk menganalisis dan mengetahui pola tipologi perekonomian wilayah di pulau Sumatera dan pulau Jawa selama periode analisis 1990 – 2013
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.4.1 Bagi akademisi
Sebagai bahan telaah atau kajian tentang pola ketimpangan pembangunan antar wilayah khususnya wilayah pulau Sumatera dengan pulau Jawa, hasil analisis kiranya akan dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian yang lebih
1.4.2. Bagi pemerintah
Sebagai bahan atau informasi untuk membuat dan merumuskan kebijakan
pembangunan ekonomi wilayah yang lebih aktual berdasarkan dinamika pembangunan wilayah baik datri sisi mikro maupun dari sisi makro. Sisi mikro ditelaah melalui aspek sumber – sumber pertumbuhan ekonomi wilayah, sedangkan sisi mikro ditelaah melalui komponen penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah khususnya antar pulau Sumatera dengan pulau Jawa
1.4.3. Bagi masyarakat
Sebagai gambaran tentang pola ketimpangan pembangunan di pulau sumatera begitu pula sebaliknya, dengan gamnbaran ini masyarakat dapat memahami tentang betapa pentingnya perumusan kebijakan yang berorientasi pada pengurangan ketimpangan pembangunan antar wilayah atau kawasan tidak hanya bagi wilayah Sumataera dan Jawa saja, namun mencakup seluruh wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup penenelitian ini adalah mencakup perekonomian wilayah di pulau Sumatera dengan penekanan pada aspek – aspek mendasar yang menyebabkan terciptanya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Aspek – aspek yang ditelaah pada dasarnya berupa dinamika PDRB dan PDB provinsi – provinsi di pulau Sumatera dan pulau Jawa, pertumbuhan ekonomi, pola investasi wilayah melalui besaran Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), kesempatan kerja dan, lalu lintas ekspor dan impor yang merefleksikan dinamika perdagangan internasional di wilayah yang bersangkutan sekaligus kaitannya dengan perdagangan internasional Indonesia.
1.5. Keterbatasan Usulan Proposal Disertasi
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Teori Pembangunan Ekonomi Wilayah
Model ini pertama kali di introdusir oleh Douglas C.North, menurut model ini,
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan sangat ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan. Keuntungan itu bisa diperoleh dengan jalan mendorong perkembangan sektor – sektor unggulan atau sektor – sektor strategis dalam perekonomian wilayah tersebut hingga sektor unggul;an atau sektor strategis tersebut dapat dijadikan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi wilayah (engine of economic growth). Biasanya sektor – sektor strategis tersebut akan dijadikan sebagai pendorong utama kegiatan ekspor wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian akan terjadi peningkatan ekspor yang pada gilirannya akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) terhadap pertumbuhan ekonomi.
b. Model Interregional Income
Model ini pertama kali dikembangkan oleh Harry W.Richardson. pendekatan ini berbeda dengan pendekatan basis ekspor, menurut pendekatan ini ekspor merupakan faktor yang berada dalam sistem (endogeneous variable) yang ditentukan oleh
perkembangan kegiatan perdagangan antar wilayah yang secara komoditas terdiri dari 2 jenis baramg yaitu barang konsumsi dan barang modal. Untuk lebih mengembangkan kegiatan perdagangan antar wlayah ini, model antar region ini juga memasukkan unsur pemerintah yang direfleksikan dengan variabel pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah serta kegiatan investasi yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
c. Model Neo Klasik
Model ini dikembangkan oleh George H.Bort. Teori pertumbuhan ekonomi regional menurut Model Bort bertumpu pada ke mampuan dan kapasitas wilayah yang
bersangkutan untuk meningkatkan out wilayah atau kapasitas produksi pada wilayah yang bersangkutan dalam rangka menunjang tingkat pertumbuhan ekonomi. Kegiatan – kegiatan produksi yang dilakukan oleh suatu wilayah, menurut teori ini tidak hanya ditentukan oleh potensi karakteristik wilayah tapi juga akan sangat ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja yang diikuti oleh mobilitas modal antar daerah
d. Model Penyebab Berkumulatif
Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Kaldor. Teori ini beranggapan ketimpangan pembangunan antar wilayah hanya akan dapat dikurangi manakala pemerintah ikut campur tangan, dan tidak semata – mata menyerahkan masalah ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi wilayah kepada kehandalan mekanisme pasar. Menurut model ini, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi dan pertumbuhan ekonomi wilayah akan dapat dipacu manakala pemerintah turut melakukan intervensi baik dalam bentuk kebijakan maupun dalam bentuk investasi.
kemajuan teknologi dan modal dalam upaya untuk mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Pemahaman yang sama tentang arus pemikiran pertumbuhan ekonomi wilayah juga dikemukakan oleh Tarigan (2004) dan Budiharsono (2005) yang memberikan informasi ilmiah tentang kelompok – kelompok pemikiran disekitar pertumbuhan ekonomi wilayah. Menuurt Tarigan (2004), yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertumbuhan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) di wilayah tersebut.
Sama halnya dengan pemikiran Sjafrizal, Budiharsono (2005) juga mengkategorikan pertumbuhan ekonomi wilayah berdasarkan kepada penentuan sektor basis dengan terlebih dahulu mengidentifikasi basis atau tidak basisnya suatu sektor melalui
pendekatan location quotient (LQ). dan model ekonomi Tiebout yang menekankan pada aspek pendapatan dengan angka pengganda baik jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sejalan dengan konsepsi pemikiran Budiharsono, Jusmaliani dan Siregar (2001) dalam Masyhuri dan Hidayat (2001) menyatakan bahwa laju tumbuh
pembangunan ekonomi suatu wilayah/daeah berjalan melalui suatu proses kenaikan produksi perkapita dalam jangka panjang
2.2. Sumber – sumber Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Secara teoritik, baik dalam konteks regional maupun dalam konteks nasional, arus pemikiran tentang sumber – sumber pertumbuhan ekonomi pada dasarnya dapat di kategorikan menjadi 2 bagian penting. Kelompok pertama menekankan pada pentingnya pertumbuhan produktivitas faktor total (TFP) dengan tekanan pada peranan
penambahan input atau faktor produksi didalam proses produksi seperti tenaga kerja dan stok modal fisik (misalnya mesin, tanah gedung dan sebagainya). Disamping itu, sumber pertumbuhan kedua adalah pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan output per satu unit input (input tetap tidak bertambah). Baik sumber pertama maupun sumber kedua sama – sama menghasilkan lebih banyak output atau pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu kelompok kedua menyoroti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi ide dasarnya adalah bahwa prospek pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan kesinambungannya sangat tergantung pada perubahan struktur ekonomi dan evolusinya sepanjang waktu. (Tambunan, 2008). Lebih lanjut diungkapkan, bahwa dalam teori ekonomi modern pertumbuhan ekonomi
perekonomian baik internal maupun eksternal, kondisi sosial politik, kualitas kelembagaan, dan tingkat demokratisasi, serta jumlah penduduk). Pertumbuhan ekonomi menurut BPS (2013) diartikan sebagai Pertumbuhan ekonomi menunjukka npertumbuhan produksi barang dan jasa disuatu wilayah perekonomian dan dalam selang waktu tertentu.
2.3.Faktor – faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah
Ketimpangan pembangunan wilayah pada dasarnya mencerminkan suatu kondisi dimana satu wilayah dapat tumbuh dan berkembang secara pesat sedangkan wilayah lainnya tidak terlalu mengalami perkembangan yang memadai. Ketimpangan pembangunan wilayah dapat saja terjadi pada awal proses pembangunan atau pada saat proses pembangunan tersebut sedang berlangsung. Dalam dinamika pembangunan wilayah di Indonesia biasanya sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh banyak aspek diantaranya : a. Ketersediaan sumberdaya alam (resources endowment)
Ketersediaan sumberdaya alam dalam kenyataannya dapat menjadi pemicu utama terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Banyak wilayah yang tidak dapat menghela proses pembangunannya secara progresif dikarenakan wilayah – wilayah tersebut tidak memiliki ketersediaan sumberdaya alam, dilain pihak banyak wilayah atau kawasan dapat maju dan berkembang secara dinamis karena mampu memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang dimillikinya. Saat ini pemahaman kritis tentang peran sumberdaya dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tidak hanya semata – mata
diletakkan dari segi kuantitfikasi atau jumlah, namun pola pengelolaan atau pendekatan yang tepatdan rasional justeru lebih penting. Kehadiran pemikiran semcam ini muncul karena saat adanya kenyataan banyak daerah yang sumberdaya alamnya terbatas dapat maju dan berkembang karena manajemen pengelolaaan sumberdaya – nya cukup rasional, namun tidak jarang dijumpai banyak daerah – daerah atau wilayah memiliki sumberdaya alam dalam jumlah yang memadai ternyata tidak terlalu mampu dalam memanfaatkan potensi dan ketersediaan sumberdaya tersebut dan tentu akan berujung pada stagnasi dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah
b. Perbedaan dalam besaran atau jumlah penduduk (the size of population)
Jumlah penduduk yang ideal pada prinsipnya dapat diajdikan salah satu aspek penting dalam mendorong dan mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Penduduk yang bermukim pada suatu wilayah akan dapat memberikan kontribusi penting terhadap upaya – upaya mengelola potensi sumberdaya alam yang selanjutnya akan memberikan dukungan pula pada penciptaan pertumbuhan ekonomi. Wilayah – wilayah yang berpenduduk jarang tentu akan dihadapkan pada kendala rendahnya aktivitas kegiatan ekonomi dan pembangunan
c. Pola alokasi investasi regional (regional of investment allocation pattern)
begitu besar. Biasanya akumulasi investasi pada suatu wilayah akan sangat tergantung dengan ketersediaan potensi sumberdaya yang dimiliki suatu daerah
d. Kualitas sumber daya manusia (the human resources quality)
Pada dewasa ini, tidak dapat dipungkiri betapa pentingnya kualitas sumberdaya manusia dalam mendorong dan mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Wilayah – wilayah yang memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang memadai tentu akan memiliki peluang cukup besar untuk dengan cepat memcau kualitas sumberdaya manusianya, dan ini sudah barang tentu akan sangat bermanfaat dalam menunjang
akselerasi proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah
e. Ketersediaan sarana dan parasarana (infrastructure and suprastructure instument) Tidak dapat dipungkiri lagi bawa untuk lebih menggairahkan perkembangan investasi dalam negeri dan luar negeri, ketersediaan infrastruktur utama dan suprastruktur sangat signifikan. Infrastruktur lunak (software infrastructure) dan infrastruktur keras (hardware infrastructure) dalam perekonomian daerah yang semakin dinamis memang sangat
diperlukan dan bahkan telah menjadi parameter utama untuk menghadirkan investasi regional baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri. Kualitas
infrastruktur yang baik dapat dijadikan sumber utama (the main sources) pertumbuhan dan pembangunan ekonomi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang
f. Kebijakan pemerintah dan tingkat intervensinya
Pemerintah harus lebih bisa memainkan peranan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, mengingat dalam proses pembangunan wilayah seringkali didapati suatu kondisi dimana mekanisme pasar ternyata gagal dalam mengemban misinya sebagai penggerak ekonomi utama. Untuk menutupi dan mengatasi kelemahan mekanisme pasar tersebut diperlukan kehadiran pemerintah yang dibekali dengan instrumen kebijakan ketataruangan dan pemberdayaan wilayah secara menyeluruh. Kebijakan dan pendekatan yang tepat akan dapat mengurangi derajad ketimpangan pembangunan wilayah secara signifikan, dan ini memang sangat dibutuhkan oleh banyak wilayah yang berupaya mendorong program pembangunan ekonominya dengan tingkat kemampuan yang relatif terbatas
g. Perbedaan dalam akses terhadap pusat pemerintahan dan kekuasaan
Akses yang dimiliki oleh suatu wilayah dewasa ini akan sangat menentukan derajad pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah, apabila suatu wilayah memiliki akses yang lebih luas dan lebih dekat terhadap pusat – pusat pemerintahan dan kekuasaan maka hal ini dapat dijadikan sebagai modal utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Begitu pula sebaliknya manakala wilayah atau region yang ada kurang memilik akses utama ke pusat – pusat pmerintahan dan kekuasaan maka sudah dapat diduga, proses pertumbuhan dan pembangunan ekonominya akan berjalan lebih lamban dan bahkan dapat mengalami stagnasi pembangunan secara terus menerus.
Rajalakshmi (2013) dalam satu studinya yang berjudul Growing Regional Disparites in India’s Development memaparkan secara rinci tentang jenis – jenis ketimpangan
disparities goes back to the British rule. The British government in India developed those regions which were important for them on economic and administrative grounds while rest of the regions were left neglected. At the time of independence India was characterized by different types of disparities. Through the planned economic development since 1951 India has though succeeded in mitigating a few types of socio-cultural disparities to some extent but the economic disparities became more widened instead of being mitigated during the plan period. The ratio of the minimum and the maximum income and wealth stands risen even above the level of one to hundred fifty (1: 150) in India.
Types of Economic Disparities in India: (bentuk – bentuk ketimpangan di India)
Despite various remedial measures taken by the government through its fiscal policy and by the central bank (the Reserve Bank of India) through its monetary policy Indian economy is still fascinated in different inextricable and interwoven types of economic disparities as given below.
1. Income and Wealth Disparity: (ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan)
Income distribution sufficiently unequal even in the pre-independence period but it became more unequal during the plan period after independence. 50% of the total national income goes to the hands of only 20% of the total population and rest 80% of the total population has to depend on the remaining 50% part of total national income. As regards to the distribution of wealth upper 10% of the households own 57% of the total built-up property whence only 43% of the total build-up property is distributed among 90% of the households. Similarly, 72% of the total farming families are marginal farmers and own only 10% of the total agricultural land while 28% of the farming families possess 73% of the total land.
2. Education Disparity: (ketimpangan pendidikan)
In remote rural areas there is widespread poverty and approximately 80% of the families are living in acute privation. In the upper strata of these families family income is too low to pay either for education in the low standard rural institutes or for good quality education in the well equipped urban institutes.
3. Regional Development Disparity: (ketimpangan pembangunan wilayah)
A considerable number of socially and economically sound and effective elites had already emerged in cities and urban towns during the British period. After independence these elites either entered into the government or supported their men to win election and thereby enter into the government. This made them interfere in the formulation and execution of development plans, on one hand, in the fixation of priorities, on the other. Thereby Indian development plans became urban oriented and concentrating on rich minority. Therefore, great many portion of the fruits of planned economic development remained centred towards and around the urban cities, towns and those rural regions where natural resources are abundantly available. Thus rural regions devoid of natural resources lagged far behind in the run of economic development and thence remained either undeveloped or insignificantly developed in comparison to the urban and the naturally resourced regions.
Instead of starting from the very beginning and covering the right locus of economic development India, being enticed and allured by the surprisingly fascinating fruits of heavy industrialisation, started its efforts but having longed for being developed and grabbing fruits thereof in a haste. Thus India lost sequences in its development path. Thus agriculture, the spine of Indian economy, was ignored. Thereby agricultural development and the
development of agriculture based small and cottage industries lagged far behind the
development of heavy industries. Thus the village industries were shattered and the villages were ruined on account of the acute shortage of energetic workforce, service centers,
infrastructure, intellectuals etc. emerged there due to the rural-urban migration. In this way the industrial sector became more developed than the agriculture sector and heavy industry sector became more developed than the small and cottage industry sector. Moreover, during industrial development both the private and the public sector were aimed at to be developed simultaneously for healthy competition to save the general public from being exploited by the profit motivated private producers. But the corruption prevailing in public sector and the manipulations by the private producers the public sector industries sustained heavy losses whereby a large number of these industries became auctioned to private hands and that too under some political strategies. The remaining ones also are running with old technology without renovation. Thus the private sector became more developed and flourished in comparison to the public sector.
5. Technology Disparity: (ketimpangan teknologi)
The multinational companies and the heavy industries of private sector are running with modern technology and earning large abnormal profits while almost all small and cottage industries along with the industries of the public sector are running either with normal profits or even loss. A number of public sector industries with loss are still running only because of some political strategy of the government or the public pressure. Similarly a large number of small and cottage industries are running without profit only because the family workforce working therein is getting salary. The technology used in all of these with loss or without profit industries is traditional, old, obsolete or rather discarded too while that of the heavy abnormal profit earning MNC's and private heavy industries is modern and rather latest technology. 6. Credit Disparity: (ketimpangan kredit)
The (central and state) governments in their fiscal policies and RBI (Reserve Bank of India) in its credit control have been talking quite loudly about subsidies, rural credit,
Moreover, the prevailing corruption and target based policy along with the profit motivated nature of the commercial banks strengthened the malpractice in case of credit distribution. Furthermore, the actually needy poor people and the small or cottage industrial units were not having enough assets to be pledged, wherever it was required, against loan. This factor also prevented them to avail the available credit facility. On the other hand, heavy industrial units, business houses and socioeconomic and political elites were above these constraints and therefore went on enjoying not only the share of subsidies and credit assigned to them but also a sufficiently large portion of the share assigned to poor mass and the small or cottage industrial units.
(Internatioanl Journal of Educational Research and Technology (IJERT) Volume 4 [3] September 2013 : 47 – 55 www.soeagra.com/ijert/ijert/htm
Teori Pertumbuhan ekonomi wilayah
Ada banyak teori yang dikemukakan sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah diantaranya teori – teori sebagai berikut (Daniela Antonescu, 2012 Identifying Regional Economic Dispariies and Convergence in Romania, Scientific Papers
(www.scientificpapers.org) Journal of Knowledge Management, Economics and Information Technology) Volume II, Issue 2 April 2012
Theoretical approaches of regional convergence (pendekatan teoritis tentang konvergensi wilayah)
Generally, the term convergence is commonly used in comparative economic analysis
regarding economic integration in order to identify trends entities (national, sectorial, regional) to a landmark considered the most performant or of medium level. Convergence studies take into consideration how the involved factors in a process or another (integration, globalization, etc.) acts to reduce disparities between the analyzed entities2. Reducing disparities requires close values established performance indicators and ensuring reduce disparities in
development of these entities. In literature, there can be identified three specific
convergences of application domains: 1. Real convergence (konvergensi nyata) - to eliminate disparities between countries or regions in the development level given by income per capita and labour productivity; 2. Nominal convergence (konvergensi nominal) – is applied in monetary policy and refers to achieving economic stability and the transition to the euro; 3. Institutional convergence (konvergensi institusi - requires compatibility in terms of structure and functioning of institutions. In Romania, all three types of convergence above is a
Krugman) 3. Institutional theory ---- teori kelembagaan (WR Scott, DiMaggio P., Powell W.). Endogenous growth theory --- teori pertumbuhan endogen focuses on the concentration of economic activities due to the effect of increasing the profit level of investment in human capital and research and development. According to this theory, the concentration of the factors mentioned above in the central area and not in the peripheral area is the result of the economic integration process. Economic growth at regional level, including those based on innovation (Schumpeter's growth theory) are effective at change, adaptation, and less than optimal allocation adjustment of certain locations, and focused on integration and trade. Regional economic growth is taking place on the basis of the gaining process of innovation – learning - knowledge - assimilation associated to labour. This process involves important spatial implications until the associated transaction costs of the knowledge transmission elements remain high (Romer, 1986, Lucas, 1988; Fontagne, Freudenberg, Ünal-Kesenci, 1999, Grossman, Helpman, 1991, Aghion, Howitt, 2005).
region, the benefits from labor market and location of advanced technologies (Krugman 1991, Fujita, Venables, 1999). According to the institutional theory, the key element for development of a region is the institutions that determine the technological frontiers of the economic hierarchy. The reason is the fact that these institutions can control the economy's ability to use and develop their own resources in a particular way. When institutional capacity is unevenly distributed in space, institutional factors contribute to agglomeration of economic activity, strengthening the more advanced activities in most developed areas. An important feature of these institutions is that it facilitates innovation, research and development, business support, all known as "innovative systems" (Lundvall, 1992; Nelson, 1993). In the theoretical
approaches mentioned above, the polarization of economic activities is a slow, inevitable and convergent process in terms of GDP per capita. At regional level is recognized the importance of political measures and actions necessary to ensure balance between the work forces and tendencies of agglomeration (concentration). Myrdal is the first to propose and promote regional concept in the theory of circular and cumulative economic processes (1957), which explains the increase in international differences in development from similar initial conditions. The movement of capital, migration and trade in goods and services are continued and even increased international and regional inequalities. The liberalization of trade, less developed regions, lack of human capital and innovative technologies are required to specialize in production of goods, especially primary goods with inelastic demand (low elasticity) in relation to price and income. Developed regions become poles of attraction and absorb increasing amounts of capital and labour force from less developed regions. Neoclassical theories even if they anticipated long-term unconditional convergence (club convergence), failed to clarify the basic conditions that may affect regional disparities (including in times of crisis, recession, etc.). Despite all the efforts made on the proposed reforms in the integration process, there is still a natural tendency, universally valid, that the polarization process is leading ultimately to greater regional differences.
Relations between national economic growth and regional imbalances can be graphically presented with a form of an inverted U curve (Williamson curve). The new European Union member states find their place on the upward curve, while the old members are placed on the flat. The curve drawn by Williamson, this category of countries recorded increases in regional disparities, which makes them to be represented on the left side of income Y in Figure 1.
Williamson curve
Compared with the old theories, new approaches to regional convergence have in the spotlight the following: Increasing importance of intangible factors (including economic policies) in the widening of regional disparities also the investment associated with innovation, research and development capabilities and human capital skills are sources of growth of the disparities between regions;
New approaches are complementary and update old methods proposed by neoclassical theory, by extending the object of research, methods and techniques used, especially by modern methods of calculation and processing with computer and programming; You may also notice a much more anchored in reality interpretation of regional economies, which are part of the convergence process (both in terms of speed and in terms of growth rates). Summarizing, one can see that, in terms of theoretical approaches, regional convergence has attracted comments and critics alike, who helped develop the field of wide interest. However, with all the developments made, we cannot yet speak of a magic formula, specifying the exact solution or solutions that ensure convergence of regional structures, characterized by high diversity, both in terms of different conditions development (natural, human, infrastructure, innovative structures, etc.), traditions, mentalities and different growth rates.
2.4. Konsep perekonomian wilayah : pandangan teori
This section has four sub sections. The first section discusses on the existing studies on convergence from the theoretical ground. Its following section looks on the numerical testing of convergence issue on different economies excepting India. The third sub section notices on the existing studies on the test of convergence on Indian economy. The last sub section gives a quick overview on the policies after Independence to combat regional disparity, or in other words, to manifest the existence of convergence on this economy.
long-term growth were R.F.Harrod and E,D,Domar. Their theory indicates a ‘knife-edge’ of
equilibrium growth where the economic system can be balanced best in the long run. All of the theories from different schools of development economics indicate a supreme state of growth – a possibility where an economy can be equilibrated. But, what is the actual way of
adjustment that is not clear in any of the theories. It is the neo-classical theory, which firstly tries to find out the answer of this question. R.M. Solow, J.E.Meade et al. are the major contributors of this school of thought. The application area of this theory is much wider than any other theory dealt above because of its consideration of full substitutability between labor and capital and long run growth. The assumptions of neo-classical growth model are (I) Single commodity market, (ii) two factors of production, (iii) full employment of labor and capital, (iv) Continuous substitutability between labor and capital and (v) Free mobility of factors across the economies. Here the model has only one parameter, i.e., the capital-output ratio. The two main limitations of the model are that it considers technology as the exogenous factor and contribution of capital seems as homogeneous in all kinds of economies.
Convergence of income growth, basically, derived from neo-classical school of thought in growth economics, is mainly based on the ‘catch up’ hypothesis. The most popular version of the convergence hypothesis states that poor countries will have a natural tendency to steadily approach the income levels of the developed countries which implies a higher growth rate. It, in turn, implies the differential existence of factor prices across the regions as the main driving force behind the convergence of income across economies.
At the heart of the Solow model the prediction of convergence comes in several flavors. Let us postulate that countries, in the long run, have no tendency to display differences in the rate of technical progress, savings, population growth, and capital depreciation. In such a case, Solow model predicts that all countries, capital per efficiency unit of labor converges to the common value corresponding to the common steady state of growth irrespective of the initial state of each economy, as measured by their starting levels of per capita income (or initial per capita capital stock).
Convergence, thus, is indicated by a strong negative relationship between growth rates of per capita income and the initial value of the per capita income. This is known as the ‘unconditional’ convergence.
hypothesis of growth rate convergence is being conditioned on the position of the steady states. Such a concept is called ‘conditional’ convergence.
In general, the conditional convergence or β-convergence (poor countries grow faster than the rich ones subject to the variability of the initial conditions) tends to generate unconditional convergence or σ- convergence (reduced dispersion of per capita income), but the converse is not true. Furthermore the ‘unconditional’
convergence process may be disturbed by new shocks resulting a higher dispersion of income.
2.5. Review Literatur Empiris
Studies have referred that the story of divergence or contrast of convergence has been experienced in European Union. Button and Eric J. Pentecost (1995) examine changes in the economic performance of Western European regional economies, in particular the degree of convergence introducing structural variables, country dummies since the mid 1970s when the larger European Union was established. Interestingly, the set of country dummies reflect potential differences in domestic regional policy and variations in national technologies and preferences.
Between the 19th and 20th centuries, the regions of the United States went from a set of relatively isolated regional economies to an integrated national economy. Economic integration as well as long-run secular changes in the economic structure is associated with aggravated pace of economic growth playing an important role in determining U.S. regional industrial structures. Specifically, it is the industrial
structure in U.S. which is playing a substantial role behind this trend of convergence of regional incomes. This has been possible because of factor price equalization of different industries that in turn has been possible by free mobility of labor force. But, the flexibility of factor movement is not the sufficient condition behind convergence. For example, Japan. The gradually increasing convergence in Japan is not being followed by the flexibility of the factors of production. The law of flexibility of factors of production is, in fact, very restricted in this economy. But, balanced disbursement of the natural resources is one of the distinct causes playing vital role behind the convergence of ‘Japan’ economy.
of these factors have a very limited contribution in explaining the regional disparities in state incomes. This study mentions also if any differences, at all, exists in the labor productivity; that will be offset by demographic pattern of labor force. So, the neo-classical ‘conditional’ convergence theory has a bit limited power in explaining the pattern of convergence in U.S.
The trends of divergence among the Latin American have been experienced in many studies. For e.g., a study of Stephen Dobson and Carlyn Ramlogane have found that there is no evidence of narrowing in the cross-country dispersion of income ( or absolute convergence) during 1960-90; there is evidence of
convergence to different steady state income levels. Their study reveals that even the speed of the conditional convergence is almost common to all countries. While several studies of high-income market economies undertaken during the 1990s, for the U.S., Japan, and regions within Western Europe, found evidence for strong convergence among regions. A very little evidence of convergence has been found out in case of China which enjoys super economic power among the kingdom of developed countries. Like India and unlike U.S., China, where after 1991, market forces and international trade have played a larger role with insertion into the global economy more dramatically, has enjoyed an over-all trend of divergence in the regional incomes. In the case of China, Demurger et. al. (2001) found that the underlying drivers of economic growth, and hence the tendencies towards
convergence or divergence, differed markedly across sub-periods, especially as a result of major shifts in the economic policy regime.
It seems interesting to study inter-country relative convergence hypothesis test. But, this kind of study faces problem in introduction of different conditional variables in such cross-sectional analysis. Izraeli argues that cross-sectional estimates across countries can be problematic because it is likely that not all of the relevant
conditioning variables will be included in a cross sectional regression.1 As he suggested, pooling data and analyzing the panel data estimates can overcome this problem.
Prabirjit Sarkar (1999) has found that a worldwide convergence trend is followed between less rich North and richer North while divergence is going to assail poorer South and less poor South. Following the studies, it can be inferred that to
experience the test of convergence in an economy, the income level of a country and her responsiveness to price adjustment- these two factors are to be viewed. From the analysis of the international scenario on convergence, an important point has come
out. The most of the developed economies are experiencing a trend of convergence, mostly unconditional convergence, in their respective regional incomes. A lot of studies have revealed that among the different factors behind this convergence of the developed countries, it is the convergence in the industrial structure, (definitely favored by favorable policy implementations) is one of the substantially responsible forces. On the other hand, for the developing countries, the homogeneous feature is that most of them are following the path of divergence in regional incomes. Now-a-days, the rapid expansion of service sector unevenly across the regions is playing as an aggravating factor to regional disparity. In spite of this, if we look in a magnificent way, then it is revealed out that there are little evidences of conditional convergence.
2.6. Review literatur konvergensi dalam perspektif India
During the last two decades, there has been a proliferation of studies on inter-state disparity across the Indian inter-states using sophisticated analytical tools and better data giving emphasis on the question whether ‘conditional’ or ‘unconditional’
convergence has taken place in India. Among them, the list of the studies those have indicated the trend of divergence in Indian states during recent two decades is a quite large. But there are a few studies that reveal an on-going convergence trend in India. Let us discuss the findings of a few major studies.
Dholakia (1994) has pointed out a bit different result. His study analyzed 20 Indian states over the period 1960-90 finds notable tendencies of convergence of long-term State Domestic Product (SDP) growth rates. This, perhaps, appears due to the inclusion of the five special category Indian states and Delhi along with the 14 major Indian states. These special category states ( as classified by the Planning Commission ) are Assam, Himachal Pradesh, Jammu & Kashmir, Manipur and Tripura. Interestingly, Dholakia identifies 1980 as the year from when several of the lagging states started growing and the leading states beginning to stagnate. Cashin and Sahay (1996) also reach similar conclusions as Dholakia, finding absolute convergence in a study of 20 states over the period 1961-91. But, Dholakia’s study showed clearly that in India the basic determinant for the existing regionaldisparity in the level of income among states turns out into the disparity in the capital intensity or factor proportions. According to him, this directs the demand for direct governmental inventions in allocation of resources and policies to attract foreign investment subject to the lagging regions.
study found that the evidence does not permit one to reach very definite conclusions on convergence or divergence across the (14 major) states.
A lot of studies have found a divergent tendency across the Indian states during the last two decades. Among them, a short view is taken over the few studies. Rao, Shand, and Kalirajan (1999) suggest that per capita SDP in the Indian states have tended to diverge rather than converge in contrast to neo-classical growth model. Per capita SDP growth is positively related to their initial levels. States with better
infrastructure and human resources have had an edge over the others in attracting investment in the post-reform era. Dasgupta et. al. (2000) also report a distinct tendency for the Indian states to have diverged during the period 1960-95 as far as per capita SDP is concerned. In terms of the shares of the different sectors within each state’s SDP, they find a tendency for increasing similarity across states in sectoral composition. Kurian (2000) finds widening regionaldisparities among the Indian states and a clear dichotomy between what he calls the forward and backward states. The former having higher levels of per capita income, better infrastructure, higher per capita resource flows and private investment and better social and demographic indicators. He finds that it is the level of private investment which is aggravating the differentiation between forward and backward states. In other words, the existing opportunities in forward states conducive to attract the private
investment, is the pocket of generation of aggravating regional incomes. Ahluwalia (2000) analyzing the economic performance of the Indian states during the post-reform period suggests that not all the richest states got richer relative to poorer states. He cites Punjab and Haryana as two key examples. While these were the two richest states in 1990-91, their growth rates of per capita SDP in the 1990s were not only lower than in the 1980s, but also in both cases actually fell below the national average. He also points out that not all the poorer states lagged behind. While uggesting that two poor states, Rajasthan and Madhya Pradesh had performed well, some states with otherwise positive scores on various development indicators lagged behind. However, Alhuwalia does not offer an explanation for their better
performance. Though in another study, Ahluwalia (2002) did not examine divergence through regression analysis, but his calculations of population weighted gini
coefficients for the 14 major states showed a substantial increase, from 0.175 in 1991-92 to 0.233 in 1998-99. Like Kurian, in this study Ahluwalia similarly found private investment flows to be a significant factor in explaining cross-sectional
globalization’ on inter-state inequalities and ‘the standard of living’ across the states in regionaldisparity are scarce.
Like many other studies the study of Marjit and Mitra has also observed that the states have been ‘diverging’ rather than converging in terms of their per capita income. In comparison with the U.S. economy, this study has pointed out that the cause behind their convergence substantially accrues to the strong homogeneous elements of industrial structure across the regions of U.S. The free factor mobility, especially labor, coexistent with a flexible universal (federal) rule of administration is the added advantage behind the sustained convergence. Their study indicates that differential wage rates as a reflection of deviation for Samuelson’s Factor Price Equalization theorem to be hold, is one of the important birthplace of the divergence. Conclusively, it can be said that the dominant finding on Indian economy from various studies is strongly supporting the gradual increasing divergence among the major states of India. This finding casts doubts on the validity of the critical
assumption of diminishing returns to reproducible capital as assumed in neo-classical model and at the same time, supports Kuznet’s inverted U relationship between inequality and economic growth in developing countries.
Within the strong purview of divergence of income as the major existing studies suggest, the existence of convergence is seen in some other arenas. They are basically the non-income factors. For e.g., Tushar Kanti Das (2002)2 has done a study on the test of Convergence of wage rate across Indian states through a model of cross section and panel estimations for a last four decadal study of the pre-liberalization period. His formulated model has deflated the wage rate of each state by the all-India average wage rate. The finding is also indicating a trend of
convergence. The study of Dasgupta and et. all3. It reveals out that the income originating from agricultural sector among different states of India are tending to be converged rather diverged.
(1) In a nut-shell, from the consensus of most findings, though the overall state incomes are showing a divergent trend, but, from the aspects of wage rate and the share of agricultural sector incomes Indian states are following a trend of mild conditional convergence.
2.7. Review Konteks Kebijakan Konvergensi di India
The issues of convergence (or divergence) is important from policy perspective as a process of cumulative advantage suggests the need to bolster lagging regions for reasons of regional integration as well as equity. After independence, when the new
era of planning was introduced in India, then from the very beginning of the first plan, the planners imposed emphasis unanimously on the special objective of balanced regional development along with the objectives of high growth rate, reduction of poverty, expansion of employment etc. Regional imbalances have got importance in each plan though the degree of emphasis has been varied over different plans. Though the first two five year plans of the Government of India made reference to problems of regional development in a balanced way, in was in the Third Five Year Plan (1961-66) that a separate chapter was developed to Balanced Regional Development (chapter 9) suggesting that ‘ For assessing levels of development in different regions, indicators of production, investment, unemployment, electricity consumption, irrigated area, value of output by commodity producing sectors, level of consumption expenditure, road mileage, primary and secondary education and occupational distribution of population are useful’ (Planning Commission, 1962, para 23). As time precedes, the Government of India has been assigned a multitude of objectives - to promote rapid economic growth and industrialization, redistribution of income and wealth, import substitution, generation of resources through returns to investment, creation of employment opportunities and development of small scale and ancillary industries with equal emphasis on balanced regional development. In fact, numerous measures have also been implemented in different 5-year Plans to achieve balanced regional development of the country. From Third Plan to Eighth Plan, allocation of more central assistance to different states, were thought to be the only measure to combat the problem of regional disparity. From the last few plans, the central assistance to states has increased substantially over the last three decades.
growth. The reforms undertaken are of a nature that is expected to have a multiplier effect on the economics of the concerned regions.
Now, to understand the nature of inter-state disparity in terms of convergence concept, from the next section, this study will particularly focus on the behaviour of the fifteen major states of India over the last two decades. (Anindita Nandy, Regional Disparities in India : An Empirical Analysis of Convergence Hypothesis, Jawaharlal University New Delhi, India email:
[email protected] 2.8 Tujuan Pembangunan Wilayah
Dinamika pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah dalam era otonomi daerah memiliki beberapa tujuan fundamental diantaranya :
a. Untuk mempercepat perubahan struktur ekonomi wilayah
Percepatan prubahan struktur ekonomi akan sangat dimungkinkan dengan adanya penegasan yang komprhensif tentang pertumbuhan ekonomi wilayah dan proses penyebarannya
b. Untuk mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah
Pembangunan ekonomi wilayah yang berkualitas dan berkelanjutan diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah dan pada gilirannya akan mendorong pula secara konkrit penccapaian tujuan pembangunan yang bertumpu pada pencapaian taraf hidup dan kualitas hidup penduduk yang bermukim pada wilayah atau kawasan yang bersangkutan
c. Untuk memperluas kesempatan kerja dan membuka lapangan kerja
Perluasan kesempatan kerja dan pembukaan lapangan kerja baru akan sangat diumngkinkan manakala tujuan pembangunan wilayah mengehendaki agar perekonomian wilayah memasukkan parameter kesempatan kerja dan
perluasan kesempatan berusaha. Ini diperlukan dalam kaitannya dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional yang dengan jelas mencantumkan harus ada perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha pada masing masing wilayah setelah berlangsungnya otonomi daerah
d. Untuk meningkatkan pendapatan per kpita
Peningkatan pendapatan perkapita tentu berkorelasi positif dengan perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Semakin terbukanya
perekonomian suatu wilayah akan memungkinkan banyaknya aktivitas ekonomi wilayah yang pada gilirannya akan memberikan jalan yang lebih luas terhadap upaya – upaya peningkatan pendapatan per kapita
e. Untuk meningkatkan taraf hidup dan kaulitas hidup penduduk
masyarakat. Peningkatan ini hanya dimungkinkan apabila potensi sumberdaya daerah dapat di optmalisasikan secara baik dan harus diarahkan secara konkrit pada peningkatan mobilitas pembangunan wilayah dengan harapan akan dapat dijadikan sebagai landasan utama untuk meningkatkan kualitas hidup dan taraf hidup masyarakat
f. Untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran Tujuan seperti ini merupakan salah satu tujuan terpenting dari pelaksanaan pembangunan wilayah dalam era otonomi daerah. Pengentasan kemiskinan dan pengurangan angka pengangguran dalam era otonomi daerah merupakan refleksi dari tujuan pembangunan nasional yang dianut oleh pemerintah sejak Indonesia diterpa krisis ekonomi berkelanjutan beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu tujuan pembangunan wilayah yang ditetapkan pasca pemberlakukan otonomi daerah harus mampu memperluas kesempatan kerja, menngentaskan kemiskinan secara bertahap sekaligus mengurangi angka pengangguran paling tidak pada lingkup wilayah yang bersangkutan
g. Untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan memperbaiki kondisi ekosistem
Upaya – upaya yang dilakukan pemerintah dalam menerapkanotonomi daerah harus sejalan dengan penyelematan ekkosistem dan lingkungan hidup. Dewasa ini pembangunan ekonomi telah banyak memberikan kontribusi negatif terhadap ekosistem. Sumberdaya yang tersedia dalam ekosistem global mengalami degradasi sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan, di Indonesia kerusakan lingkungan hidup dan eksositem
h. Untuk meningkatkan kerjasama antar wilayah
Pembangunan wilayah yang bergerak secara dinamis dan terarah akan memungkinkan terjadinya interaksi yang lebih luas dalam hal menggerakkan dinamika pembangunan dengan wilayah lainnya. Hal ini semakin menjadi penting karena untuk memobilisir dan mengoptimalisasi potensi sumberdya sangat diperlukan mekanisme kerjasama dengan wilayah lain
i. Untuk meningkatkan mobilitas sumberdaya antar daerah
Setiap wilayah yang memiliki potensi sumberdaya alam pasti menginginkan agar sumberdaya yang dimilikinya dapat dimanfaatkan untuk menunjang program pembangunan yang telah digariskan. Pemanfaatan sumberdaya ini akan menjadi lebih optimal manakala wilayah – wilayah tersebut mampu
meningkatkan arus mobilitas dan menjaga proses pergerakkan sumberdaya tersebut dalam rangka untuk mem-back up- kegiatan pembangunan pada wilayah yang bersangkutan
Djakapermana (2010) mengemukakan pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar suatu wilayah berkembang menuju tingkat
perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat terpadu dan komprehensif.
Keterpaduan mencakup bidang ilmu, sektoral, wilayah, dan hirarki pemerintahan. Komprehensif terhadap aspek baik ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup.
2.9. Tehnik Analisis Perekonomian Wilayah a. Model Analisis shift – share
Menurut Budiharsono (2005), analisis shift – share merupakan suatu pendekatan dalam analisis ekonomi wilayah yang mencoba untuk mengkaji perubahan berbagai komponen atau variabel kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah seperti misalnya kegiatan produksi dan kesempatan kerja, sehingga dari hasil analisis akan dapat diketahui bagaimana tingkat perkembangan suatu sektor dalam suatu perekonomian wilayah, apakah bertumbuh lebih cepat atau relatif lamban. Selain itu hasil analisis shift – share juga dapat memperlihatkan bagiamana dinamika perkembangan suatu kawasan (wilayah) dibandingkan dengan kawasan atau wilayah lainnya, apakah bertumbuh secara cepat atau sebaliknya. Dalam analisis shift – share ada asumsi pokok yang menyatakan perubahan variabel tenaga kerja atau variable produksi pada suatu wilayah diantara tahun dasar dan tahun akhir analisis dapat dibagi menjadi tiga antara lain : komponen pertumbuhan nasional (national growth componen) disingkat PN, komponen pertumbuhan proporsional (proportional or industrial mix growth component) disingkat PP dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (regional share growth componen), disingkat PPW. Komponen pertumbuhan nasional adalah perubahan kesempatan kerja atau produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan kesempatan kerja atau produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional, atau perubahan dalam hal – hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Sementara itu, komponen pertumbuhan proporsional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri, dan perbedaan dalam peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya.
∆Yij = Pnij + PPjj + PPWij
Atau secara rinci dapat dinyatakan sebagai berikut : Y'ij – Yij = ∆Yij=Yij (Ra- 1 ) + (Ri – Ra) + Yij (ri + Ri) Dimana :
∆ Yij = perubahan dalam kesempatan kerja / produksi sektor i wilayah ke i pada wilayah ke j
Yij = produksi . tenaga kerja pada sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar
Y'ij = produksi / tenaga kerja dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis
m
Yi = ∑ Yij = Produk Domestik Bruto (PDB) atau tenaga kerja i =1 nasional dari sektor i pada tahun dasar analisis
m
Y’i. = ∑ Y’ij = Produk Domestik Bruto (PDB) atau tenaga kerja i=1 nasional dari sektor i pada tahun akhir analisis n m
Y.. = ∑∑ Yij = Produk Domestik Bruto (PDB) atau tenaga kerja I=1 j=1 nasional tahun dasar analisis
n m
Y’.. = ∑ ∑ Y’ij = Produk Domestik Bruto (PDB) atau tenaga kerja I=1 j=1 nasional pad tahun akhir analisis
rii = Y’ij/Yij Ri = Y’i/Yi. Ra = Y’../Y..
(ri – 1) = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja pada sektor i provinsi ke j
(Ra – 1) = PNij = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan nasional
(Ri – Ra) = PPij = persentase perubahan PDRB / tenaga kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan proporsional
(ri – Ri) = PPWij = persentase perubahan PDRB / kesempatan kerja yang disebabkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah
Alat ukur berikutnya yang digunakan untuk mendeteksi ketimpangan
pembangunan wilayah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Williamson (Williamson Index). Adapun rumus Indeks Williamson adalah sebagai berikut : (Daryanto dan Hafizrianda, 2010)
Keterangan
CVw = Indeks Williamson
n = Jumlah penduduk Indonsia (jiwa)
Yi = PDRB per kapita Provinsi ke-i (Rupiah) y
͞͞ = PDB per kapita Indonesia (Rupiah)
Indeks Wiiliamson berkisar antara 0 < IW < 1, dimana semakin mendekati nol artinya wilayah tersebut semakin merata. Bila mendekati satu maka semakin timpang wilayah yang diteliti (Kuncoro, 2013) Selain penggunaan indeks williamson, akan di appikasikan juga pendekatan lainnya itu indeks theil. Tidak seperti indeks – indeks tang lain, indeks Theil penggunaannya akan
memungkinkan kita untuk membuat perbandingan selama waktu tertentu dan menyediakan secara rinci sub unit geografis yang lebih kecil. Menurut Kuncoro (2013), indeks Theil atau Indeks entropi Theil memiliki 2 kegunaan antara lain pertama untuk menganalisis kecenderungan konsentrasi geografis selama periode tertentu, dan kedua, untuk mengkaji secara lebih rinci mengenai kesenjangan spasial, sebagai contoh kesenjangan antar daerah dalam suatu negara dan antar sub unit daerah dalam satu wilayah atau kawasan
Adapun rumus indeks entropi Theil adalah sebagai berikut :
Dimana :
I (y) adalah indeks entropi keseluruhan atas kesenjangan spasial di Indonesia, yi adalah pangsa provinsi i terhadap total PDB Indonesia, N adalah jumlah keseluruhan Provinsi yang ada di pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Penggunaan indeks theil menurut Sjafrijal (2008) memiliki beberapa keuntungan diantaranya pertama indeks ini dapat mengukur ketimpangan dalam daerah dan antar daerah sekaligus, sehingga cakupan analisis menjadi lebih luas, dan kedua dengan menggunakan indeks ini, dapat pula dihitung kontribusi (dalam persentase) masing – masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup penting.
utama yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Dengan menentukan rata – rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata – rata pendapatan per kapita sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat kualifikasi (kuadran) masing – masing-menjadi : daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low income), daerah berkembang cepat (high growth but low income), daerah relatif tertinggal (low growth and low income).
Adapun kriteria yang digunakan untuk membagi provinsi di pulau sumatera dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh yaitu daerah (provinsi) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan rata – rata pendapatan perkapita yang lebih tinggi (diatas)
dibanding rata – rata Indonesia. (2) daerah maju tapi tertekan yaitu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi lebih rendah, namun pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan rata – rata Indonesia. (3) daerah berkembang cepat yaitu daerah yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi tinggi, namun pendapatan per kapita lebih rendah dibandingkan rata – rata Indonesia. (4) daerah relatif
Keterangan : r = rata – rata pertumbuhan ekonomi Indonesia Y = Pendapatan per kapita Indonesia
Yi = Pendapatan perkapita Provinsi di pulau Sumatera atau Jawa
Ri = Pertumbuhan ekonomi Provinsi di pulau Sumatera atau pulau Jawa
Sumber : Kuncoro, 2004
2.10. Teori Perubahan Struktur Ekonomi
Banyak defenisi yang dikemukakan oleh para pakar ekonomi dan lembaga tentang perubahan struktur ekonomi diantaranya seperti dikemukakan oleh UNIDO yang menyatakan The terms “structure” and “structural change” have become widely used in economic research,although with different meanings and interpretations. In development economics and in economic history, structural change is commonly understood as “the different arrangements ofproductive activity in the economy and different distributions of productive factors among various sectors of the economy, various occupations, geographic regions, types of product,etc …” (Machlup, 1991: 76 in Silva and Teixeira, 2008: 275).
http://www.unido.org/fileadmin/user_media/Publications/Pub_free/Structural_cha nge_in_the_world_economy.pdf
Selanjutnya, Teixeira dan Silva (2008) mengatakan bahwa More specifically, structural change is associated with modifications in the relative importance of different sectors over time, measured by their share of output or employment. Other aspects taken into account are changes in the location of economic activity, such as the urbanisation process, or in a broader sense, changes in the institutional environment. Thus, structural change analysis assumes that
economic dynamics
“can be studied by focusing on a relatively small number of groups or activities that comprise the economic system, and thus form the economic structure”. Sementara itu menurut The Free Encyclopedia Wikipedia, perubahan struktur ekonomi adalah Economic structural change refers to a long-term shift in the fundamental structure of an economy, which is often linked to growth
and economic development. For example, asubsistence economy may be transformed into a manufacturing economy, or a regulated mixed economy is liberalized.A current driver of structural change in the world economy
Patterns and changes in sectoral employment drive demand shifts through the income elasticity. Shifting demand for both locally sourced goods and for imported products is a fundamental part of development. The structural changes that move countries through the development process are often viewed in terms of shifts from primary, to secondary and finally, to tertiary production. Technical progress is seen as crucial in the process of structural change as it involves the obsolescence of skills, vocations, and permanent changes in spending and production resulting in structural unemployment.
http://en.wikipedia.org/wiki/Structural_change
Menurut Weiss (1988) dalam Tambunan (2008) pembangunan ekonomi jangka panjang dengan pertumbuhan produk domestik bruto atau produk nasional bruto akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke sektor ekonomi modern yang didominasi oleh sektor – sektor non primer., khususnya industri manufaktur dengan increasing return to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Pandangan lain, umpamanya Kuznets mengemukakan perubahan struktur ekonomi yang lazim disebut transformasi struktural dapat di defenisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan yang lainnya dalam komposisi permintaan aggregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) dan penawaran aggregat (produksi dan faktor – faktor produksi yang diperlukan untuk mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Chenery, 1979 dalam Tambunan, 2008).
Teori perubahan struktural menitik beratkan pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh Negara berkembang yang semula bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke sektor pertanian yang lebih modern, yang didominasi oleh sektor – sektor non primer. Tambunan (2008) mengemukakan Ada 2 teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi yakni dari Arthur Lewis dan Hollis Chenery. Teori Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses
pembangunan ekonomi yang terjadi di daerah perdesaan dan perkotaan. Dalam teori tersebut Lewis berasumsi bahwa perekonomian suatu negara pada
penduduknya tinggi, maka terjadi kelebihan (surplus) tenaga kerja. Tingkat hidup masyarakatnya pun berada dalam kondisi subsisten akibat perekonomian juga bersifat subsisten. Kelebihan tenaga kerja ini ditandai dengan nilai produk marjinalnya nol dan tingkat upah riil rendah. Lebih rendahnya upah di sektor pertanian/ perdesaan daripada di industri/perkotaan menarik tenaga kerja pindah dari sektor pertama ke sektor kedua, maka terjadfilah proses migrasi dan
urbanisasi. Tenaga kerja yang pindah ke industri mendapat penghasilan yang lebih tinggi dibanding saat masih bekerja di pertanian.
Secara aggregat, berpindahnya sebagian tenaga kerja dari sektor – sektor dengan tingkat upah rendah ke sektor – sektor dengan tingkat upah tinggi membuat pendapatan di negara bersangkutan meningkat. Bersamaan dengan peningkatan pendapatan tersebut permintaan terhadap makanan juga
meningkat. Ini menjadi pendorong utama pertumbuhan output di sektor tersebut. Dari sisi permintaan aggregat dan dalam jangka panjang perekonomian
perdesaan mengalami pertumbuhan. Di pihak lain, terjadi terjadi perubahan permintaan konsumen, masyarakat atau pekerja mengalami peningkatan pendapatan mengkonsumsikan sebagian besar pendapatannya untuk berbagai macam produk industri dan jasa (non makanan). Perubahan pola konsumsi ini menjadi motor utama pertumbuhan output dan diversifikasi produksi di sektor – sektor non pertanian.
Sementara itu kerangka pemikiran teori Chenery pada dasarnya sama dengan model analisis Lewis. Teori Chenery yang dikenal dengan teori pola pembangunan memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di Negara sedang berkembang, yang mengalami
transformasi dari pertanian tradisional ke sektor industri sebagai mesin utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjang dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Chenery dan Syrquin (1975) mengidentifikasi bahwa struktur perekonomian suatu negara bergeser dari yang semula didominasi olwh sektor pertanian dan/atau sektor pertambangan menuju ke sektor nonprimer,
khususnya industri. Hal ini sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat perkapita yang membawa perubahan dalam pola permintaan konsumen dari penekanan pada makanan dan barang kebutuhan pokok lain ke berbagai macam barang manufaktur dan jasa, akumulasi modal fisik dan manusia (SDM), perkembangan kota – kota dan industri di perkotaan bersamaan dengan proses migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan dan penurunan laju