• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

ii

KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA KASUS HEPATITIS B NON-KOMPLIKASI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT

PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI – JUNI 2007

SKRIPSI

Dikerjakan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Disusun Oleh: Rahardian Estu Primawati

NIM : 018114069

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2008

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(2)
(3)

iv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(4)

v

MEMBANGUN

FONDASI

DARI

BATU

MEMBANGUN

FONDASI

DARI

BATU

MEMBANGUN

FONDASI

DARI

BATU

MEMBANGUN

FONDASI

DARI

BATU----BATU

BATU

BATU

BATU

YANG

YANG

YANG

YANG

DI

DI

DI

DILEMPARKAN OLEH ORANG LAIN KEPADANYA

LEMPARKAN OLEH ORANG LAIN KEPADANYA

LEMPARKAN OLEH ORANG LAIN KEPADANYA “

LEMPARKAN OLEH ORANG LAIN KEPADANYA

(David Brinkley)

Karya kecilku ini kupersembahkan untuk Allah SWT

Orang tuaku tercinta (Ayah dan Ibu) Adikku tersayang Nine

Keluarga besarku tercinta dan Almamaterku

(5)

vi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(6)

vii

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT, atas anugerah, dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Drug Related Problems (DRPs) pada Kasus Hepatitis B

Non-Komplikasi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2007 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu sehingga terselesaikannya skipsi ini, terutama kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi dan dosen penguji yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini dan meluangkan waktunya untuk menguji, memberikan kritik dan saran demi terselelesainya skripsi ini.

2. Christine Patramurti, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi S-1 Farmasi atas bimbingan dan bantuan selama penulis melaksanakan studi di fakultas farmasi. 3. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar

memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi selama penulisan skripsi ini.

4. Aris Widayati, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi selama penulisan skripsi ini.

(7)

viii

5. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang telah diberikan demi terselesaikannya skripsi ini.

6. Erna Tri Wulandari, S.Si., M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing akademik, terima kasih telah memberikan bimbingan, masukan, serta motivasi selama penulis menempuh masa kuliah.

7. Direktur Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian, sehingga skripsi ini dapat terlaksana.

8. Bapak dan Ibu di bagian personalia dan rekam medik Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah membantu kelancaran pengambilan data penelitian ini. 9. Ayah dan ibu tercinta atas doa, cinta, kasih sayang, pengertian, dan dukungan

tiada henti selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Keluarga besar Eyang kakung dan Eyang putri (Sragen dan Klaten) tercinta terima kasih atas doa, cinta, dan dukungannya selama ini.

11. Adikku Nine tersayang yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat, dan motivasi untuk kakaknya menyelesaikan skripsi.

12. Teman dan sahabatku semua yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

13. Teman-teman di kost Agatha semuanya, terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.

14. Teman-teman Farmasi seperjuangan angkatan 2001 semuanya, terima kasih atas kebersamaan dan pengalamannya selama menjalani kuliah dan praktikum.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(8)

ix hingga terselesaikannya skripsi ini.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu di sini, baik secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu terselesaikannya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

(9)

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(10)

xi

Halaman

HALAMAN JUDUL………... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... iii

HALAMAN PENGESAHAN……… iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……… HALAMAN LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK... v vi KATA PENGANTAR………... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... x

DAFTAR ISI……….. xi

DAFTAR TABEL……….. xv

DAFTAR GAMBAR………. xviii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xix

INTISARI ……….. xx ABSTRACT ……….. xxi BAB I. PENGANTAR………... 1 A. Latar Belakang ………... 1. Perumusan masalah ………... 2. Keaslian penelitian ……… 3. Manfaat penelitian ………. B. Tujuan Penelitian ……… 1 3 3 4 5

(11)

xii

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ………... 7 A. Anatomi dan Fisiologi Hati ………. B. Patofisiologi Hepatitis B ………. 1. Definisi ……….. 2. Etiologi ………... 3. Epideminologi ………... 4. Patogenesis ……… 5. Gambaran klinis ……… a. fase inkubasi ………

b. fase prodormal (preikterik) ……….

c. fase ikterik ………... d. fase penyembuhan ………... 6. Diagnosis a. pemeriksaan serologi ………... b. pemeriksaan virologi ………... c. pemeriksaan biokimiawi ………. d. pemeriksaan histologi ………... 7. Pengobatan ………... 8. Penatalaksanaan terapi ……….. a. tujuan terapi ………. b. sasaran terapi ………... c. strategi terapi ………... 9. Pencegahan ……… 7 10 10 11 11 13 14 14 15 15 16 17 17 17 18 18 19 20 20 20 21 26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(12)

xiii

D. Keterangan Empiris ………. 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……… 30 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………..

B. Definisi Operasional ………...

C. Subjek Penelitian ……….

D. Bahan Penelitian ……….

E. Lokasi Penelitian ……….

F. Jalannya Penelitian ………..

1. Tahap perencanaan (persiapan) ………. 2. Tahap pengambilan (pengumpulan) data ………..

3. Tahap analisis data ………

4. Pembahasan kasus ………. G. Kesulitan ………. 30 30 33 33 33 33 33 33 34 35 36 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 37 A. Gambaran Kasus Pasien Hepatitis B Non-Komplikasi ………...

1. Jenis kelamin ……….

2. Umur ……….

B. Pola Pengobatan Hepatitis B ………... 1. Obat yang bekerja pada sistem saluran cerna……… 2. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernafasan……… 3. Obat yang bekerja sebagai analgesik………. 4. Obat yang bekerja pada sistem syaraf pusat………..

37 37 38 38 40 41 42 42

(13)

xiv

5. Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskuler……….. 6. Obat hepatoprotektor………...

7. Obat – obat hormonal……….

8. Obat untuk otot skelet dan sendi……… 9. Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi ... 10.Obat yang mempengaruhi gizi, dan darah……….. C. Kajian Drug Related Problems (DRPs) ………...

1. DRP Butuh Obat (Need Additional Drug Therapy) ………..

2. DRP Tidak Butuh Obat (Unnecessary Drug Therapy) ……….

3. DRP Salah Obat (Wrong / Ineffective Drug) ………

4. DRP Dosis Kurang (Dosage too low) ………...

5. DRP Dosis Berlebih (Dosage too high) ………

6. DRP Efek Samping Obat (Adverse Drug Reaction) dan Adanya

Interaksi Obat (Drug Interaction) ……….

D. Outcome Pasien ………... E. Rangkuman Pembahasan ……… 43 43 45 45 46 47 48 56 56 57 57 58 58 59 59 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 61

A. Kesimpulan ………. B. Saran ……… 61 62 DAFTAR PUSTAKA ………... 63 LAMPIRAN ……….. 65 BIOGRAFI PENULIS ……….. 71

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(14)

xv

Halaman

Tabel I. Definisi dan kriteria diagnostik pasien dengan infeksi

hepatitis B……….. 18

Tabel II. Rekomendasi The American Association For The Study of

Liver Disease untuk terapi farmakologi untuk hepatitis B

kronik……… 22

Tabel III. Distribusi pasien hepatitis B non-komplikasi berdasarkan kelompok umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari - Juni 2007………. 38 Tabel IV. Distribusi penggunaan obat pada pasien hepatitis B

non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari - Juni 2007………. 39 Tabel V. Golongan dan jenis obat yang bekerja pada sistem saluran

cerna yang digunakan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007……… 40 Tabel VI. Golongan dan jenis obat yang bekerja pada sistem saluran

pernafasan yang digunakan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007……… 41 Tabel VII. Golongan dan jenis obat yang bekerja sebagai analgesik

yang digunakan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007……… 42 Tabel VIII. Golongan dan jenis obat yang bekerja pada sistem syaraf

pusat yang digunakan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007……… 42 Tabel IX. Golongan dan jenis obat yang bekerja pada sistem

kardiovaskuler yang digunakan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 …….. 43

(15)

xvi

Tabel X. Golongan dan jenis obat hepatoprotektor yang digunakan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007………... 43 Tabel XI. Golongan dan jenis obat hormonal yang digunakan pada

terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 ………... 45 Tabel XII. Golongan dan jenis obat untuk otot skelet dan sendi yang

digunakan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 ………... 45 Tabel XIII. Golongan dan jenis obat yang digunakan untuk pengobatan

infeksi pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 ………... 46 Tabel XIV. Golongan dan jenis obat yang mempengaruhi gizi dan

darah yang digunakan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007……… 47 Tabel XV. Kajian DRPs kasus 1 pada pasien hepatitis B

non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 ………... 49 Tabel XVI. Kajian DRPs kasus 2 pada pasien hepatitis B

non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 ……….. 50 Tabel XVII. Kajian DRPs kasus 3 pada pasien hepatitis B

non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007………... 51 Tabel XVIII. Kajian DRPs kasus 4 pada pasien hepatitis B

non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007………... 52 Tabel XIX. Kajian DRPs kasus 5 pada pasien hepatitis B

non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007………... 53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(16)

xvii

komplikasi di Instalasi Rawat Inap R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007………... 54 Tabel XXI. Kajian DRPs kasus 7 pada pasien hepatitis B

non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007………... 55 Tabel XXII. Hasil analisis DRPs yang terjadi dalam pengobatan

hepatitis B non-komplikasi yang dirawat di R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007……… 56 Tabel XXIII. Kasus DRP butuh obat pada pasien hepatitis B

non-komplikasi yang dirawat di R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Juni 2007………. 56 Tabel XXIV. Kasus DRP dosis kurang pada pasien hepatitis B

non-komplikasi yang dirawat di R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Juni 2007………. 57 Tabel XXV. Kasus DRP dosis berlebih pada pasien hepatitis B

non-komplikasi yang dirawat di R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Juni 2007…... 58 Tabel XXVI Kasus DRP Efek Samping Obat (Adverse Drug Reaction)

dan Adanya Interaksi Obat (Drug Interaction) pada pasien hepatitis B non-komplikasi yang dirawat di R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Juni 2007…... 58

(17)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Letak hati (Anonim, 2008)………... 7 Gambar 2. Gambaran hati secara makro (Anonim, 2008) ………... 8 Gambar 3. Struktur dari partikel HBV (Anonim, 2008) ………... 11 Gambar 4. Grafik fase yang terjadi pada penyakit hepatitis B (Anonim,

2008) ………... 16

Gambar 5. Grafik petanda serologi pasien hepatitis B (Anonim, 2008) ….. 19 Gambar 6. Diagram prosentase pasien hepatitis B non-komplikasi

berdasarkan jenis kelamin di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007………….

37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(18)

xix

Halaman

Lampiran 1. Data pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap R S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni

(19)

xx

INTISARI

Penyakit hepatitis B menduduki peringkat ke sepuluh angka kematian terbesar di dunia dan merupakan penyebab kematian nomor tiga di Indonesia. Hepatitis B merupakan penyakit hepatitis yang paling sering berpotensi menjadi kronik dan mengalami pengerasan hati bahkan sampai berlanjut kanker hati. Banyak terapi pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengobati hepatitis B. Dalam proses terapi, memungkinkan timbulnya Drug Related Problems (DRPs) yaitu permasalahan yang muncul dalam farmasi klinis atau kejadian yang tidak diharapkan yang dialami pasien selama proses terapi dengan obat. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji adanya Drug Related Problems (DRPs) pada kasus hepatitis B Non-Komplikasi di Instalasi Rawat Inap R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non-eksperimental dengan menggunakan rancangan deskriptif-evaluatif. Data yang diperoleh bersifat retrospektif dan dianalisa secara deskriptif karena data yang diperoleh tidak dianalisa mengenai hubungan sebab-akibat tetapi disajikan menurut keadaan apa adanya. Drug

Related Problems yang terjadi dalam pengobatan pada kasus hepatitis B

non-komplikasi dikaji dengan metode SOAP, kemudian dibandingkan dengan standard pengobatan hepatitis B.

Dari hasil penelitian, diperoleh 7 kasus hepatitis B non-komplikasi di R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007. Profil pasien: berdasarkan jenis kelamin, pasien laki-laki yang paling banyak terjadi yaitu sebesar 86 %. Sedangkan berdasarkan kelompok umur, pasien dengan kelompok umur >18 – 55 tahun paling banyak terjadi yaitu sebesar 86 %. Kelas terapi obat yang paling banyak digunakan yaitu obat hepatoprotektor sebesar 86%. Prosentase Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi: butuh obat sebesar 14%, tidak butuh obat sebesar 0% (tidak ditemukan dalam penelitian), salah obat sebesar 0% (tidak ditemukan dalam penelitian), dosis kurang sebesar 14%, dosis berlebih sebesar 28%, efek samping obat dan adanya interaksi obat sebesar 14%, dan ketidakpatuhan pasien sebesar 0%. Sedangkan

outcome pasien, sebanyak 86% memberikan hasil terapi membaik, dan sebanyak

14% keluar atas permintaan sendiri (APS).

Kata kunci: Drug Related Problems, dan hepatitis B non-komplikasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(20)

xxi

Hepatitis B is on the tenth rank of the world mortality rate and on the third rank of the cause of death in Indonesia. Hepatitis B is hepatitis variant which highly potential becomes chronic, liver cirrhosis and liver cancer. They are many medical therapies for hepatitis B medication. Drug Relating Problems (DRPs), the problems which are the most frequently appear in clinical pharmacy or unwanted events facing by the patient in the drug use theraphy process, is possible to exist in theraphy process. The purpose of this research is to evaluate DRPs on a hepatitis B non-complication case existing in the Unit of Hospitalization of Panti Rapih Hospital Yogyakarta in during period January – June 2007.

This research is a non-experimental research using a descriptive-evaluative research design. This research got retrospective data and the data were analyzed by using descriptive analysis. The data were not analyzed on the cause and effect relationship but were show in nature. The existing Drug Related Problems in medication of hepatitis B non-complication case were analyzed using SOAP method, then were compared to the hepatitis B medication standard.

The result of this research, 7 cases hepatitis B non-complication in the hospitalized unit of Panti Rapih Hospital Yogyakarta in during period January – June 2007. The patient profile: gender-based, man patients more than women patients there was 86%. Based on age, patients with >18 - 55 years old which mostly happen there was 86 %. The class of drug therapy which was mostly used was hepatic protector drug for 86%. The existing Drug Related Problems (DRPs) percentages in hepatitis B non-complication medication were: 14% of need for additional drug therapy, 0% of unnecessary drug therapy (not findings in research), 0% of wrong drug (not findings in research), 14% of dosage too low, 28% of dosage too high, 14% of adverse drug reaction and drug interaction. The patient outcome: 86% of patients showed in good condition, and 14% of patients were out from hospital by the patients request.

(21)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang menyerang pada hati karena adanya infeksi atau peradangan yang disebabkan oleh virus hepatitis. Diantara sekian banyak macam penyakit hepatitis, yang paling sering berpotensi menjadi kronik dan mengalami pengerasan hati bahkan sampai berlanjut menjadi kanker hati adalah hepatitis B. Penyakit hepatitis B menduduki peringkat ke sepuluh angka kematian terbesar di dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, ada sekitar 2 milyar penduduk dunia telah terinfeksi virus hepatitis B dan sekitar 400 juta diantaranya mengalami infeksi hepatitis B kronik. Dari jumlah tersebut, menurut Asian Liver

Foundation dilaporkan bahwa 75% terdapat di Asia (Anonim, 2005b).

Penyakit hepatitis di Asia Tenggara khususnya di Indonesia, merupakan penyebab kematian nomor tiga. Data sampai dengan Juli 2004, sedikitnya 22,5 juta orang terkena penyakit hepatitis. Dari jumlah tersebut sekitar 15 juta orang menderita hepatitis B (Anonim, 2005a). Indonesia juga termasuk dengan angka prevalensi hepatitis yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 10% - 20%. Bahkan di beberapa daerah mencapai lebih dari 20% (Sulaiman dan Julitasari, 1998).

Virus hepatitis B merupakan salah satu penyebab utama hepatitis kronik dan karsinoma hepatoseluler (KHS) serta menyebabkan 1 juta kematian tiap tahunnya (Oswari, 2000). Virus ini dapat masuk ke sirkulasi darah dan menginfeksi cairan tubuh melalui transfusi darah, seks yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(22)

tidak steril, dan dari wanita hamil yang terinfeksi kepada bayi yang dilahirkan (Anonim, 2004).

Penyakit hepatitis B merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri (self

limiting disease), dengan atau tanpa gejala klinik berat. Namun 90% bayi penderita

hepatitis B dan 10% penderita dewasa biasanya tidak dapat sembuh dan dapat menjadi kronis persisten dalam waktu yang lama atau persistant life-long chronic (Lubis, 1991). Hepatitis B juga sering disebut sebagai “silent infection” karena banyak orang tidak tahu jika telah terinfeksi. Penderita hepatitis B kronik dapat bertahan dengan penyakitnya hingga puluhan tahun tanpa gejala (symptom). Walaupun penderita dapat bertahan dengan penyakitnya tanpa gejala, hepatitis B dapat merusak hati dengan diam-diam untuk beberapa tahun. Oleh karena itu perlunya dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui bahwa telah terinfeksi virus hepatitis B (Anonim, 2004).

Sampai saat ini, belum ditemukan obat modern yang secara spesifik dapat menyembuhkan penyakit hati (hepatitis), serta makin meningkatnya angka kejadian hepatitis menjadi salah satu pertimbangan penulis memilih topik mengenai penyakit hepatitis, khususnya hepatitis B non-komplikasi.

Penelitian dilakukukan di Rumah Sakit Panti Rapih, mengingat bahwa rumah sakit ini termasuk salah satu rumah sakit swasta Katholik terbesar di Yogyakarta yang memiliki pelayanan rawat inap serta dapat memberikan terapi pada pasien hepatitis B non-komplikasi dan memiliki unit rekam medik.

(23)

3

Berdasar dari latar belakang tersebut di atas, maka diperlukan adanya berbagai upaya penelitian. Penelitian yang dilakukan kali ini ditekankan pada kajian Drug

Related Problems (DRPs) pada penyakit hepatitis B non-komplikasi.

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. seperti apakah profil pasien hepatitis B non-komplikasi yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari – Juni 2007?

b. seperti apakah pola pengobatan pada penanganan pasien hepatitis B non-komplikasi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari – Juni 2007?

c. apakah ada drug related problems (DRPs) yang mencakup: 1). tidak perlu obat (unnecessary drug therapy)

2). butuh obat (need for additional drug therapy) 3). obat salah (wrong drug/ineffective drug) 4). dosis terlalu rendah (dosage too low)

5). efek samping obat (adverse drug reaction) dan interaksi obat (drug

interaction)

6). dosis terlalu tinggi (dosage too high)

d. seperti apakah outcome pasien hepatitis B non-komplikasi yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari – Juni 2007?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(24)

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran penulis, penelitian mengenai Drug Related

Problems (DRPs) yang sudah pernah dilakukan di Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, yaitu:

a. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pengobatan Pasien Stroke di Instalasi Rawat Inap R. S Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 (Krismayanti, 2007).

b. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pengobatan Pasien Kanker Prostat yang Dirawat di RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta Tahun 2005 (Kurniati, 2007).

c. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Ischemic Heart Disease di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2005 – Desember 2007 (Larasati, 2007).

d. Kajian Penggunaan Antibiotik Profilaksis dan Evaluasi Drug Related

Problems-nya pada Bedah Orthopaedi Kasus Fraktur di Unit Bedah Rumah

Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Agustus – September 2007 (Utami, 2008)

Penelitian dengan topik kajian Drug Related Problems (DRPs) pada kasus hepatitis B non-komplikasi di Instalasi rawat inap R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 sejauh ini belum pernah dilakukan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(25)

5

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi tentang kajian Drug Related Problems (DRPs) pada kasus hepatitis B non-komplikasi di Instalasi rawat inap R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007.

b. Manfaat praktis

Bagi pihak farmasis Rumah Sakit, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan gambaran pola pengobatan dan sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian terapi kepada pasien hepatitis B non-komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan : 1. tujuan umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji Drug Related Problems (DRPs) pada kasus hepatitis B non-komplikasi di instalasi rawat inap R.S Panti Rapih Yoggyakarta periode Januari – Juni 2007.

2. tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:

a. mengetahui profil pasien hepatitis B non-komplikasi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari – Juni 2007.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(26)

b. Mengetahui pola pengobatan (profil terapi) yang diberikan pada pasien hepatitis B non-komplikasi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari – Juni 2007.

c. mengkaji terjadinya Drug Related Problems (DRPs) yang mencakup: 1). tidak perlu obat (unnecessary drug therapy)

2). butuh obat (need for additional drug therapy) 3). obat salah (wrong drug/ineffective drug) 4). dosis terlalu rendah (dosage too low)

5). efek samping obat (adverse drug reaction) dan interaksi obat (drug

interaction)

6). dosis terlalu tinggi (dosage too high)

d. mengetahui outcome pasien hepatitis B non-komplikasi yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari – Juni 2007.

(27)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Hati

Hati terletak di dalam rongga perut, tepatnya di sebelah kanan atas rongga perut, di bawah sekat diafragma (Japaries, 1996). Secara kasar, hati berbentuk seperti prisma (segitiga) siku-siku, dengan sudut siku-sikunya (ada yang tidak siku, tapi membulat seperti kulit bola) terletak di sudut kanan atas rongga perut, puncak prisma tadi mengarah ke kiri sampai ke ulu hati. Tepinya yang dekat ke tepi lengkung iga, melancip (Japaries, 1998). Berat hati pada manusia dewasa kira-kira 1400 – 1500 gram. Berat jenisnya sedikit lebih besar dari air, yaitu 1,05 dengan konsistensi lunak kenyal namun rapuh. Permukaan licin, berwarna coklat kemerahan. Hati menerima hampir 25% cardiac output, kira-kira 1500 ml aliran darah per menit (Lingappa, 1995).

Gambar 1. Letak hati (Anonim, 2008)

Hati dibagi menjadi 2 lobus mayor dan 2 lobus minor (Stine dan Brown, 1996). Lobus kiri terdapat di epigastrum, tidak terlindungi oleh tulang rusuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(28)

(Chandrasoma dan Taylor, 1995). Darah masuk ke hati melalui 2 sumber, yaitu arteri hepatik (membawa darah dari sirkulasi sistemik) dan vena portal (membawa darah secara langsung dari saluran gastrointestinal). Darah keluar dari hati melalui vena hepatik, dan empedu keluar melalui duktus hepatikus. Empedu kemudian melalui saluran empedu normal menuju usus halus atau melalui duktus sistikus menuju kandung empedu untuk disimpan (Stine dan Brown, 1996).

Gambar 2. Gambaran hati secara makro (Anonim, 2007)

Hati jika dilihat secara mikroskopis, terdiri dari sel-sel hati (hepatosit). Tiap unit hepatosit disebut lobulus (baga kecil) hati (Japaries, 1996). Lobulus berbentuk silindris dengan diameter sekitar 1-2 mm. Hati manusia terdiri atas sekitar 50.000 – 100.000 lobulus (Guyton dan Hall, 1997). Di tengah-tengah setiap lobulus hati itu tampak rongga pembuluh darah balik yang disebut vena pusat atau vena sentralis yang merupakan percabangan vena porta yang membawa darah dari usus (Japaries, 1996).

Sel-sel hati tersusun berderet menuju ke arah pusat lobulus hati (tempat vena sentral). Vena sentral lobulus hati memiliki percabangan yang disebut sinusoid, yaitu saluran darah berdinding dan berongga luas. Pada sinusoid, menempel sel-sel

(29)

9

endothelial dengan permeabilitas yang tinggi. Sinusoid juga mengandung sel-sel fagosit yang disebut sel Kupffer (Stine dan Brown, 1996). Sel Kupffer bertugas memakan benda asing atau bibit penyakit yang mungkin menyelinap masuk ke hati. Antara sel Kupffer dan deretan sel-sel hati terdapat celah yang disebut celah Disse. Celah ini untuk mengalirkan getah bening dari hati ke luar hati, dan bergabung dengan getah bening seluruh tubuh untuk kembali menyatu dengan darah di daerah dada. Sinusoid ini mampu mengembang sehingga menampung banyak darah (Japaries, 1996).

Tiga pembuluh lainnya di setiap sudut luar heksagon (area portal): cabang dari vena portal, cabang dari arteri hepatik, dan saluran empedu. Darah mengalir ke dalam hati melalui cabang arteri hepatik dan vena portal, melalui sinusoid, dan mengalir keluar melalui vena sentral. Empedu dihasilkan di hepatosit, dan mengalir keluar melalui kanalikuli empedu (terletak di antara perbatasan hepatosit) menuju saluran empedu. Lobulus- lobulus bukan merupakan unit fungsional yang berdiri sendiri-sendiri. Setiap pasang vena portal/arteri hapatik mengalirkan darah tidak hanya ke satu lobulus tetapi ke suatu area sel-sel yang meliputi 2 lobulus atau lebih. Area ini disebut asinus (Stine dan Brown, 1996).

Fungsi hati tidak sedikit, diantaranya membantu pencernaan lemak (oleh empedu yang dihasilkan hati). Fungsi lainnya meliputi: mengatur kadar gula darah, menyimpan gula berlebihan, memusnahkan racun tertentu, menonaktifkan obat-obatan, menyimpan vitamin tertentu, memproduksi protein (zat putih telur) darah, menyimpan darah, mengolah kolesterol menjadi garam empedu, mengolah zat merah darah yang tidak dipakai lagi, memproduksi sel darah merah (di masa janin dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(30)

kandungan), menghasilkan zat (faktor) pembekuan darah, dan masih banyak lagi. Namun jika digolongkan, fungsi hati secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 golongan saja, antara lain:

1. berfungsi penampung dan penyaring darah. 2. berfungsi produksi empedu.

3. berfungsi dalam pengolahan (metabolisme) dari berbagai zat gizi, seperti: protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin (Japaries, 1996).

B. Patofisiologi Hepatitis B 1. Definisi

Hepatitis merupakan suatu penyakit peradangan pada hati. Penyebabnya yang paling umum adalah infeksi dari salah satu dari 5 virus hepatitis yang disebut hepatitis A, B, C, D, dan E (Anonim, 2000a). Hepatitis B adalah penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh virus DNA yang disebut HBV (hepatitis B virus). Diameter virus hepatitis B yang terbesar berukuran 42 nm yang disebut partikel Dane dengan 3200 pasang basa tiap genomnya. Basa tersebut diselubungi double-stranded (serat ganda) virus DNA suatu anggota famili Hepadnaviridae (Zuckerman, 1996). Hepatitis B dapat golongkan menjadi: hepatitis B akut dan hepatitis B kronis.

(31)

11

2. Etiologi

Gambar 3. Struktur dari partikel HBV (Anonim, 2007)

Virus Hepatitis B adalah virus DNA yang disebut HBV (hepatitis B virus). Diameter virus hepatitis B yang terbesar berukuran 42 nm yang disebut partikel Dane dengan 3200 pasang basa tiap genomnya. Basa tersebut diselubungi

double-stranded (serat ganda) virus DNA suatu anggota famili Hepadnaviridae.

Virus (partikel) ini terdiri atas selubung luar dan inti pusat. Selubung luar mengandung antigen permukaan hepatitis B (HBsAg), dan inti pusat mengandung molekul tunggal dari sebagian double-stranded DNA, sebagai HBV core antigen hepatitis B (HBcAg) yang berdiameter 27 nm, hepatitis B e antigen (HBeAg), DNA, dan DNA polymerase (Raebel, Mercier, and Pai, 2005).

3. Epideminologi

Penyakit hepatitis B telah menjadi epidemik pada sebagian Asia dan Afrika dan hepatitis B telah menjadi endemik di China, dan berbagai negara Asia (William, 2006). Kebanyakan orang terinfeksi HBV sejak masa kecil, dan 8-10% dari penderita terinfeksi secara kronik. Anak-anak yang terinfeksi HBV sebagian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(32)

besar berkembang menjadi infeksi kronik. Sekitar 90% bayi terinfeksi HBV selama tahun pertama hidupnya, dan 30-50% dari anak-anak antara umur 1-4 tahun yang terinfeksi HBV berkembang menjadi infeksi kronik. Sebanyak 5-10% penderita berkembang menjadi hepatitis kronik, morbiditas kronik, mortalitas, dan karsinoma hepatoseluler (Garcia, 1992).

Penyakit hepatitis B mula-mula dikenal sebagai “serum hepatitis”, karena diperkirakan hanya dapat ditularkan lewat darah melalui: suntikan, transfusi, cuci darah, operasi, luka (koreng, borok, frambesia) yang terciprat darah penderita hepatitis B yang masih infektif, jarum atau alat tusuk tato (perajahan kulit), tindikan dan sejenisnya, yang tidak disterilkan dengan baik dan digunakan banyak orang sekaligus. Namun kemudian diketahui, bahwa virus hepatitis B (HBV) tidak hanya dapat ditemukan dalam darah penderita, tetapi semua cairan badan lain, seperti: air liur, getah liang vagina, air mani (sperma), air susu ibu, keringat, dalam urin dan juga tinja. Di samping itu, ditemukan pula bukti bahwa penyakit hepatitis B, dapat ditularkan lewat serangga penghisap darah (misalnya: nyamuk, kepinding, dan sebagainya) (Japaries, 1996).

Macam penularannya ada 2 yaitu: a. secara vertikal

Cara penularan vertikal terjadi dari ibu yang mengidap virus hepatitis B kepada janin, bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera setelah persalinan, dan anaknya.

(33)

13

b. secara horizontal

Cara penularannya dapat terjadi antar satu orang ke orang lain yang ‘sederajat’ yang diakibatkan oleh penggunaan alat suntik yang tercemar (tidak steril), tindik telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi secara bersama-sama, serta hubungan seksual dengan penderita (Anonim, 2007). Di Indonesia sendiri, penularan horizontal ternyata yang lebih sering terjadi (Japaries, 1996).

4. Patogenesis

Pada saat virus hepatitis B (HBV) masuk ke dalam tubuh, HBV akan bermigrasi ke hati, dimana replikasi utamanya terjadi. Periode inkubasi HBV adalah 1-6 bulan, lebih lama daripada HAV. Replikasi HBV terjadi di nuklei sel hati, dengan diproduksinya HBsAg pada sitoplasma sel dan terpapar pada permukaan sel (Raebel et al., 2005). Pada saat periode inkubasi, maka tubuh akan memberikan tanggapan kekebalan (immune response). Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap virus Hepatitis B, yaitu: a. Jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh. Pada tahap ini akan terjadi 4 stadium siklus HBV yaitu fase replikasi (stadium 1 dan 2), dan fase integratif (stadium 3 dan 4). Pada fase replikasi kadar HBsAg, HBV DNA, HBeAg, AST, dan ALT serum akan meningkat, sedangkan anti-HBs dan anti-HBe masih negatif. Pada fase integratif (khususnya stadium 4) keadaan sebaliknya terjadi, yaitu kadar HBsAg, HBV DNA, HBeAg, dan ALT/AST menjadi negatif/normal, sedangkan anti-HBs dan anti-HBe menjadi positif (serokonversi). Keadaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(34)

demikian banyak ditemukan pada penderita hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa, dimana sekitar 95-97% infeksi hepatitis B akut akan sembuh karena imunitas tubuh dapat memberikan tanggapan adekuat.

b. Jika tanggapan kekebalan tubuh melemah, maka pasien tersebut akan menjadi

carrier inactive. Keadaan ini ditemukan pada 3-5% penderita dewasa, dan

95% neonatus dengan sistem imunitas imatur, serta 30% anak usia kurang dari 6 tahun. Hal ini dikarenakan gagal memberikan tanggapan imun yang adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B persisten, dapat bersifat carrier

inactive atau menjadi menjadi hepatitis B kronis.

c. Jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua diatas), maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronik. Tanggapan imun yang tidak atau kurang adekuat mengakibatkan terjadinya proses inflamasi/injury, fibrotik, akibat peningkatan turnover sel dan stres oksidatif. Efek virus secara langsung, seperti mutagenesis dan insersi suatu protein x dari virus hepatitis B menyebabkan hilangnya kendali pertumbuhan sel hati dan memicu transformasi malignitas, sehingga berakhir sebagai karsinoma hepatoseluler (Suharjo dan Cahyono, 2006).

5. Gambaran klinis

Umumnya hepatitis B menunjukkan gambaran klinis melalui 4 fase, yaitu:

a. fase inkubasi

Setelah virus hepatitis B (HBV) memasuki tubuh kita, tidak langsung timbul gejala. Diperlukan waktu antara 6 minggu hingga 6 bulan untuk virus

(35)

15

hepatitis B ‘menyesuaikan diri’ dan berkembang biak dalam inti sel-sel hati. Masa itu disebut masa tunas (inkubasi).

b. fase prodormal (preikterik)

Gejala prodormal penyakit hepatitis B terjadi pada semua penderita dan dapat berlangsung selama satu minggu atau lebih sebelum ikterik timbul (meskipun tidak semua penderita hepatitis B mengalami ikterik), karena pada umumnya gejala penyakit hepatitis B ringan, mirip seperti gejala influenza seperti malaise, kelesuan, anoreksia, sakit kepala, demam ringan, pilek, dan tenggorokan sakit. Namun selain gejala diatas, pasien hepatitis B mengeluh otot-otot dan persendian terasa pegal atau nyeri, cepat lelah, artralgia, arthritis, urtikaria, ruam kulit sementara dan nyeri perut sebelah (bagian) kanan dan atas perut (daerah ulu hati atau sebelah kanan ulu hati).

c. fase ikterik

Fase ini ada kalanya terjadi sejak timbulnya gejala awal, tapi yang lebih sering, timbul kuning (ikterik) adalah 5-10 hari setelahnya. Fase ini biasanya berlangsung 4-6 minggu. Jika daya tahan tubuh penderita cukup kuat, gejalanya baru akan mereda, dan kemungkinan penderita sembuh atau merasa lebih sehat. Nafsu makan kembali timbul, dan demam menghilang waktu urin menjadi lebih gelap dan feses menjadi lebih pucat. Hati membesar moderat dan nyeri, limpa terasa membesar pada sekitar 25% penderita. Sering terdapat limfadenopati yang nyeri jika ditekan. Pemeriksaan urin pada saat timbulnya penyakit menunjukkan adanya bilirubin dan urobilinogen berlebihan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(36)

d. fase penyembuhan

Tanda-tanda akan terjadinya penyembuhan adalah perasaan yang semakin enak, nafsu makan kembali secara bertahap, gejala kuning memudar, nyeri perut dan kelelahan menghilang. Tapi ada kalanya hati masih agak membesar (belum normal seperti semula), dan tes fungsi hati masih sedikit abnormal. Pemulihan dimungkinkan bila daya tahan tubuh cukup baik untuk mencegah kerusakan sel hati oleh virus hepatitis B. Sekitar 75% penderita, kesembuhan tuntas (klinis dan laboratorium) terjadi 3-4 bulan setelah timbulnya gejala kuning. Pada sebagian lainnya penyembuhan terjadi lebih lambat (Japaries, 1996).

Secara ringkas, fase yang terjadi pada penyakit hepatitis B, dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Grafik fase yang terjadi pada penyakit hepatitis B (Anonim,

(37)

17

6. Diagnosis

Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif (>6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati. Hepatitis B kronis eksaserbasi adalah gejala klinik yang ditandai dengan peningkatan intermiten alanin aminotransferase (ALT) lebih dari 10 kali batas atas nilai normal (BANN). Diagnosis infeksi hepatitis B didasarkan pada: pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi, dan histologi.

a. Pemeriksaan serologi

Secara serologi, pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah: HBsAg, HBeAg, anti HBe, dan HBV DNA. Secara serologi, infeksi hepatitis persisten dibagi menjadi hepatitis B kronis dan keadaan carrier HBsAg inaktif. Yang membedakan keduanya adalah titer HBV DNA, derajat nekro-inflamasi, dan adanya serokonversi HBeAg. Sedangkan hepatitis B kronis sendiri dibedakan berdasarkan HBeAg, yaitu hepatitis B kronis dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif.

b. Pemeriksaan virologi

Dilakukan untuk mengukur jumlah HBV DNA serum. Hal ini sangat penting untuk menggambarkan tingkat replikasi virus. Salah satu kepentingan lain penentuan kadar HBV DNA adalah untuk membedakan antara carrier hepatitis inaktif dengan hepatitis B kronis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(38)

c. Pemeriksaan biokimiawi

Pada pemeriksaan biokimiawi, yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktifitas kroinflamasi. Oleh karena itu, pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi.

d. Pemeriksaan histologi

Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis, dan menentukan manajemen anti viral (Suharjo dan Cahyono, 2006).

Secara ringkas, definisi dan kriteria dianositik hepatitis B dapat dilihat pada tabel I dan gambar 5 berikut ini.

Tabel I. Definisi dan kriteria diagnostik pasien dengan infeksi hepatitis B

(Suharjo dan Cahyono, 2006)

Keadaan Definisi Kriteria Diagnostik

Hepatitis B kronis

Proses nekro-inflamasi kronis hati disebabkan oleh infeksi persisten virus hepatitis B.

Dapat dibagi menjadi hepatitis B kronis dengan HBeAg positif (+) dan HBeAg negatif (-). 1. HBsAg + > 6 bulan. 2. HBV DNA serum > 105 copies/ml. 3. Peningkatan kadar ALT/AST secara berkala/persisten 4. Biopsi hati menunjukkan

hepatitis kronis (skor nekro-inflamasi >4)

Carrier HBsAg inaktif

Infeksi virus hepatitis B persisten tanpa disertai proses nekro-inflamasi yang signifikan.

1. HBsAg + > 6 bulan. 2. HBeAg - , anti HBe + 3. HBV DNA serum > 105

copies/ml.

4. Kadar ALT/AST normal. 5. Biopsi hati menunjukkan tidak adanya hepatitis yang signifikan (skor nekro-inflamasi <4).

(39)

19

Gambar 5. Grafik petanda serologi pasien hepatitis B (Anonim, 2008)

7. Pengobatan

Sampai saat ini, belum ditemukan obat modern yang secara spesifik dapat menyembuhkan penyakit hati (hepatitis). Manajemen terapi hepatitis biasanya bersifat suportif. Bersifat suportif, lebih dikaitkan dengan kemampuan obat sebagai pemasok energi (alternatif kelaziman minum manis yang dianjurkan bagi penderita hepatitis) (Donatus, 1992). Terapi suportif juga bisa dilakukan dengan cara: mengkonsumsi makanan sehat dan seimbang, istirahat yang cukup, menjaga keseimbangan cairan tubuh, menghindari obat yang yang bersifat hepatotoksik, dan menghindari alkohol. Pasien harus mencegah terjadi kelelahan (tidak boleh memforsir tubuhnya), dan harus istirahat total (bed-rest) dalam fase akut. Manajemen terapi ini juga termasuk memonitor perkembangan penyakit hati kronik dan mencegah penyebaran serta komplikasi penyakit (Raebel, 1997).

Selain manajemen terapi secara suportif, pengobatan (terapi) hepatitis harus bersifat kuratif dan preventif. Bersifat kuratif artinya obat hepatitis harus menunjukkan keaktifan anti-radang dan perangsangan regenerasi sel. Preventif artinya obat hepatitis harus dapat menunjukkan kemampuan mencegah atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(40)

melindungi sel hati terhadap serangan ulang virus atau senyawa endogen yang berpotensi sebagai hepatotoksin.

Pasien memerlukan perawatan di rumah sakit jika pasien mengalami dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGPT-SGOT >10 kali nilai normal, vomiting yang lama, kegagalan koagulasi, dan bila ada kecurigaan hepatitis fulminan (Raebel, 1997).

8. Penatalaksanaan Terapi

Penatalaksanaan terapi pada penyakit hepatitis B dapat diuraikan sebagai berikut:

a. tujuan terapi

Tujuan terapi hepatitis B adalah untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi virus hepatitis B (HBV) dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensi menjadi gagal hati dan mencegah karsinoma hepatoseluler pada saat pengobatan, serta mencegah terjadinya komplikasi setelah menjalani prosedur terapi (Suharjo dan Cahyono, 2006). Terapi yang dilakukan diharapkan juga dapat menjaga dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

b. sasaran terapi

Pada penatalaksanaan terapi hepatitis B, yang menjadi sasaran terapi adalah nilai atau kadar HBV DNA serta kadar bilirubin dan SGOT/SGPT dalam darah. Terapi dilakukan untuk sedapat mungkin menurunkan kadar HBV DNA serendah mungkin, serokonversi HBeAg, dan normalisasi kadar ALT (bilirubin dan SGOT/SGPT dalam darah). Sasaran sebenarnya adalah

(41)

21

menghilangnya HBsAg, namun sampai saat ini keberhasilannya hanya berkisar 1-5%, sehingga sasaran tersebut tidak digunakan (Suharjo dan Cahyono, 2006).

c. strategi terapi

Strategi terapi pada pasien hepatitis B meliputi terapi farmakologis dan terapi non-farmakologis.

1). terapi farmakologis

Terapi farmakologi untuk hepatitis B bertujuan untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi virus hepatitis B (HBV) dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensi menjadi gagal hati dan mencegah karsinoma hepatoseluler (Suharjo dan Cahyono, 2006). Hal ini yang harus menjadi perhatian dokter dalam meresepkan (memilih) obat yang rasional (artinya: mempertimbangkan keamanan jangka panjang, efikasi, dan biaya) agar tujuan terapi dapat tercapai, efek samping dapat dihindari, serta pasien tetap dapat melanjutkan pengobatan sesuai dengan target yang diharapkan.

Prinsip umum pemilihan obat pada pasien hepatitis B adalah:

a). sedapat mungkin dipilih obat yang eliminasinya terutama melalui ekskresi ginjal.

b). hindarkan penggunaan: obat-obat yang mendepresi susunan syaraf pusat (terutama morfin), diuretik tiazid dan diuretik kuat, obat-obat yang menyebabkan konstipasi, antikoagulan oral, dan obat-obat hepatotoksik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(42)

c). gunakan dosis yang lebih rendah dari normal, terutama obat-obat yang eliminasi utamanya melalui metabolisme hati.

Tabel II. Rekomendasi The American Association For The Study of Liver Disease untuk terapi farmakologi untuk hepatitis B kronik (Suharjo dan

Cahyono, 2006).

HBeAg HBV DNA

(>105 copies/ml)

ALT Strategi Pengobatan

+ + ≤ 2 x BANN Efikasi terhadap terapi rendah

Observasi, terapi bila ALT meningkat. + + > 2 x BANN Mulai terapi dengan: interferon alfa,

lamivudin, atau adefovir.

End point terapi: serokonversi HBeAg dan timbulnya anti HBe.

Durasi terapi:

♦ Interferon selama 16 minggu

♦ Lamivudin minimal 1 tahun, lanjutkan 3-6 bulan setelah terjadi serokonversi HBeAg.

♦ Adefovir minimal 1 tahun.

Bila tidak memberikan respon atau ada kontraindikasi, interferon diganti lamivudin atau adefovir.

Bila resisten terhadap lamivudin,berikan adefovir.

- + > 2 x BANN Mulai terapi dengan: interferon alfa, lamivudin, atau adefovir. Interveron atau adefovir dipilih mengingat kebutuhan perlunya terapi jangka panjang.

End point terapi: normalisasi kadar ALT dan HBV DNA (pemeriksaan PCR) tidak terdeteksi.

Durasi terapi:

♦ Interferon selama 1 tahun.

♦ Lamivudin selama > 1 tahun.

♦ Adefovir selama > 1 tahun.

Bila tidak memberikan respon atau ada kontraindikasi interferon diganti lamivudin atau adefovir.

Bila resisten terhadap lamivudin, berikan adefovir.

- - ≤ 2 x BANN Tidak perlu terapi

± + Sirosis hati Terkompensasi: lamivudin atau adefovir Dekompensasi: lamivudin (atau adefovir), interferon kontraindikasi, transplantasi hati. ± - Sirosis hati Terkompensasi: observasi

Dekompensasi: rujuk ke pusat transplantasi hati.

(43)

23

Saat ini, di Indonesia ada 5 jenis obat yang telah disetujui (direkomendasikan) untuk terapi hepatitis B kronis yaitu interferon alfa-2b, lamivudin, adefovir dipivoxil, peginterferon alfa-2a, dan entecavir (analog nukleosid) (Suharjo dan Cahyono, 2006).

(1). Interferon alfa-2b (Intron-A)

Interferon tidak memiliki khasiat antivirus langsung, tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Salah satu kekurangan interferon adalah efek samping (antara lain: gejala flu, depresi dan sakit kepala) dan pemberian secara injeksi. Dosis interferon 5-10 juta MU, 3 kali/minggu selama 16 minggu.

(2). Lamivudin

Lamivudin merupakan antivirus melalui efek penghambatan transkripsi selama siklus replikasi virus hepatitis B. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg, dan mengurangi progresi fibrosis secara bermakna dibandingkan plasebo. Namun lamivudin memicu resistensi. Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar lebih dari 32% setelah terapi selama 1 tahun, dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun. Resiko resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan semakin lamanya pemberian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(44)

(3). Adefovir dipivoxil (Hepsera)

Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate (dAMP), yang telah disetujui FDA untuk digunakan sebagai antivirus terhadap hepatitis B kronik. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari cccDNA virus. Dosis yang direkomendasaikan untuk dewasa adalah 10mg/hari oral paling tidak selama 1 tahun. Adefovir memberikan hasil yang lebih baik secara signifikan (p<0,001) dalam hal respon histologi, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg, dan penurunan kadar HBV DNA. Kelebihan adefovir dibandingkan lamivudin disamping resiko resistennya lebih kecil, adefovir juga dapat menekan YMDD mutant yang resisten terhadap lamivudin.

(4). Peginterferon alfa-2a (Pegasys)

Peginterferon alfa-2a (pegasys) diberikan dalam bentuk injeksi. Untuk terapi tunggal dosisnya 180 mcg 1 kali seminggu, sedangkan untuk terapi kombinasi dosisnya 180 mcg 1 kali seminggu dalam kombinasi dengan ribavirin. Terapi biasanya dilakukan untuk 6 bulan hingga setahun. Obat ini dapat menyebabkan atau memiliki efek samping gejala seperti flu, insomnia, mudah marah, depresi, gangguan konsentrasi, dan cemas. Peginterferon dapat pula dikombinasikan dengan lamivudin. Kombinasi peginterferon dengan lamivudin akan menghasilkan serokonversi dengan HBeAg, normalisasi ALT, penurunan HBV DNA,

(45)

25

dan supresi HBsAg. Peginterferon memberikan hasil lebih baik dibandingkan lamivudin.

(5). Entecavir

Adalah obat yang diminum sehari sekali, dengan hampir tidak ada efek samping selama 1 tahun. Dipertimbangkan sebagai obat antivirus oral yang paling poten untuk hepatitis B kronik hingga kini (Anonim, 2005).

2). terapi non farmakologis

Terapi non-farmakologis dapat diartikan terapi dengan tidak menggunakan obat, atau lebih menitikberatkan kepada peningkatan daya tahan tubuh pasien. Karena pada dasarnya penyakit hepatitis B sekitar 90% dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting disease) dengan daya tahan tubuh yang baik. Untuk dapat meningkatkan daya tahan tubuh, hal yang dapat dilakukan oleh pasien hepatitis B antara lain dengan jalan mengurangi aktivitas (kegiatan) fisik yang berlebihan (tidak memforsir tubuh), cukup istirahat, mengkonsumsi makanan yang seimbang dan bergizi, mengkonsumsi buah-buahan yang disamping mengandung banyak vitamin juga sekaligus mempunyai manfaat sebagai hepatoprotektor, diet sesuai dengan kebutuhan, serta menjaga kebersihan lingkungan (perbaikan hygiene sanitasi lingkungan).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(46)

9. Pencegahan

Upaya pencegahan dan pemberantasan hepatitis dapat dilakukan dengan cara perbaikan hygiene sanitasi lingkungan dan pribadi, mengurangi penyebaran dari carrier, pendidikan kesehatan pada golongan resiko tinggi, dan dengan pemberian vaksin (vaksinasi) hepatitis pada penyedia pelayanan kesehatan, anggota keluarga, dan partner seksual dari carrier, bayi pasien carrier, dan semua bayi.

C. Drug Related Problems (DRPs)

Permasalahan dalam farmasi klinis terutama muncul karena pemakaian obat.

Drug Related Problems (DRPs) atau sering diistilahkan dengan Drug Therapy Problems (DTPs) adalah permasalahan yang muncul dalam farmasi klinis atau

kejadian yang tidak diharapkan yang dialami pasien selama proses terapi dengan obat dan secara aktual atau potensial bersamaan dengan outcome yang diharapkan (Cipolle,1998). Drug Related Problems (DRPs) ini menjadi sangat penting dan harus dikuasai oleh para farmasis yang bekerja di Rumah Sakit yang dalam 10 tahunan ini sedang giat mempraktikkan farmasi klinik (Sari, 2003). Masalah-masalah dalam kajian DRPs menurut Cipolle, Strand, and Morley (1998) adalah seperti berikut ini. 1. Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy)

Dikatakan tidak perlu obat yaitu jika pasien akan mengalami komplikasi akibat mendapat obat yang tidak dibutuhkan. Pasien mendapat obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit, pasien tidak sengaja terkena racun di antara obat atau bahan kimia yang menyebabkan penyakit, masalah-masalah pengobatan

(47)

27

yang dihubungkan dengan penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol atau perokok, kondisi yang lebih baik dirawat dengan terapi tanpa obat, pasien yang melakukan terapi obat lebih dari yang dianjurkan.

2. Butuh obat (need for additional drug therapy)

Dikatakan butuh obat yaitu jika pasien akan mendapat risiko tinggi bila tidak mendapat terapi tambahan. Pasien dalam kondisi pengobatan baru yang membutuhkan terapi obat baru, pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat lanjutan, pasien dalam kondisi pengobatan yang membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau potensial. Pasien dengan kondisi memburuk dapat dicegah dengan terapi profilaksis atau sebelum operasi.

3. Obat salah (wrong drug/ineffective drug)

Dikatakan obat salah yaitu jika pasien bermasalah dengan pengobatan yang tidak efektif. Pasien mendapat obat yang tidak efektif (sesuai) dengan indikasi pengobatan. Pasien mengalami komplikasi akibat mendapat obat yang tidak dibutuhkan. Pasien alergi dengan pengobatan. Pasien kontraindikasi dengan obat, pasien menerima obat yang efektif namun mahal dan tidak aman, pemakaian obat infeksi (antibiotik) yang sudah resisten, pasien sulit disembuhkan dengan terapi obat baru, pasien menerima kombinasi obat yang tidak dibutuhkan.

4. Dosis terlalu rendah (dosage too low)

Dikatakan dosis terlalu rendah jika dosis obat tersebut terlalu rendah untuk memberikan efek (mencapai respon) pada pasien, interval dosis yang terlalu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(48)

jarang (lebar) untuk menghasilkan respon, konsentrasi obat dalam serum di bawah jarak terapetik yang diinginkan, durasi terapi obat terlalu pendek untuk menghasilkan respon.

5. Efek samping obat (adverse drug reaction) dan interaksi obat (drug interaction) Dikatakan efek samping obat jika obat diberikan menyebabkan alergi, adanya faktor resiko, bioavaibilitas obat berubah oleh adanya interaksi dengan obat lain atau dengan makanan, dan hasil laboratorium berubah akibat penggunaan obat.

6. Dosis terlalu tinggi (dosage too high)

Dikatakan dosis terlalu tinggi jika dosis obat tersebut terlalu tinggi (melebihi) untuk pasien, jika kadar (konsentrasi) obat dalam serum terlalu tinggi (di atas jarak terapeutik yang diinginkan), dosisnya terlalu cepat dinaikkan, terjadi akumulasi obat karena penyakit kronis, dan interval dosisnya berlebihan. 7. Ketidaktaatan pasien (noncompliance)

Dikatakan pasien tidak taat jika pasien tidak menggunakan obat tersebut karena ketidaktahuan cara pemakaian (aturan pakainya), pasien tidak membeli obat yang dianjurkan karena tidak adanya biaya atau karena mahal, pasien tidak menerima regimen obat yang tepat, terjadi medication error (pada peresepan, penyerahan obat, dan monitoring pasien), pasien tidak menggunakan obat karena ketidakpercayaan dengan produk obat yang disarankan.

(49)

29

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengobatan pada pasien hepatitis B non-komplikasi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007, serta diharapkan pula dapat memberikan gambaran tentang ada atau tidaknya Drug Related Problems (DRPs) dan bagaimana cara pengatasannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(50)

30

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang kajian Drug Related Problems (DRPs) pada kasus hepatitis B non komplikasi di Instalasi rawat inap R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Juni 2007, termasuk jenis penelitian non-eksperimental karena tidak ada perlakuan pada subjek uji (Supratiknya, 2001). Peneliti hanya melakukan observasi atau pengamatan terhadap subjek menurut keadaan apa adanya (in nature), tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif-evaluatif.

Data yang diperoleh bersifat retrospektif dan untuk menganalisis data tersebut digunakan analisa deskriptif karena data yang diperoleh tidak dianalisis mengenai hubungan sebab-akibat tetapi disajikan menurut keadaan apa adanya.

B. Definisi Operasional

1. Penyakit hepatitis B non-komplikasi adalah penyakit hepatitis disebabkan oleh virus DNA yang disebut HBV (hepatitis B virus) tanpa penyakit penyerta.

2. Kajian adalah melihat dan mengumpulkan kembali data tindakan terapi yang menggunakan obat dan menyesuaikannya dengan prosedur atau standar medis yang ada.

3. Drug Related Problems adalah kejadian atau efek yang tidak diharapkan yang

(51)

31

terjadi secara bersamaan dengan outcome yang diharapkan pada saat pasien mendapat pengobatan.

4. Tipe Drug Related Problems dalam penelitian ini adalah: a. tidak perlu obat (unnecessary drug therapy)

Artinya pasien memperoleh pengobatan yang tidak memiliki indikasi yang sesuai pada saat itu

b. butuh obat (need for additional drug therapy)

Artinya jika muncul kondisi yang membutuhkan permulaan terapi obat baru, membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk memperoleh efek sinergis/poten.

c. obat salah (wrong drug/ineffective drug)

Artinya jika ditemukan obat yang tidak tepat (tidak efektif) dengan gejala atau diagnosis.

d. dosis terlalu rendah (dosage too low)

Artinya jika dosis obat tersebut terlalu rendah dari dosis terapeutik (dosis yang dianjurkan) untuk menghasilkan respon yang diinginkan dari pasien.

e. efek samping obat (adverse drug reaction) dan interaksi obat (drug

interaction)

Artinya melihat kejadian efek samping obat dari gejala yang dikeluhkan oleh pasien selama menerima terapi obat, di luar gejala penyakit utamanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(52)

f. dosis terlalu tinggi (dosage too high)

Artinya jika dosis obat tersebut terlalu tinggi atau melebihi dari dosis yang dianjurkan untuk pasien.

5. Pasien hepatitis B non-komplikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap yang dalam rekam medis didiagnosis akhir sebagai hepatitis B tanpa penyakit penyerta pada periode Januari – Juni 2007.

6. Pola pengobatan adalah penggolongan atau mengelompokkan obat yang digunakan dalam terapi pasien hepatitis B non-komplikasi selama dirawat di R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 berdasarkan golongan obat, kelompok obat, dan jenis obat.

7. Outcome adalah kondisi pasien saat keluar dari rumah sakit (membaik, sembuh,

atau meninggal dunia) setelah pasien menjalani pengobatan di R S Panti Rapih Yogyakarta.

8. Lembar rekam medik adalah catatan dokter, apoteker, dan perawat yang berisi data klinis pasien hepatitis B non-komplikasi di R S Panti Rapih yang meliputi: nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, anamnesis, diagnosis masuk dan keluar, jenis obat yang digunakan serta aturan pakainya.

C. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis keluar hepatitis B non-komplikasi pada lembar rekam medik yang menjalani rawat inap di R.S Panti Rapih periode Januari – Juni 2007.

(53)

33

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah menggunakan lembar catatan medik (medical record) pasien dengan diagnosis keluar hepatitis B non-komplikasi di instalasi rawat inap R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007.

E. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di instalasi rekam medik R.S Panti Rapih Yogyakarta, Jalan Cik Ditiro 30 Yogyakarta 55223.

F. Jalannya Penelitian

Penelitian tetang kajian Drug Related Problems (DRPs) pada kasus hepatitis B non-komplikasi, dilakukan dalam 4 tahap.

1. Tahap Perencanaan (Persiapan)

Tahap perencanaan atau persiapan diawali dengan survei jumlah pasien hepatitis B non-komplikasi yang menjalani rawat inap di R S Panti Rapih Yogyakarta selama periode Januari – Juni 2007 yang diperoleh dari unit rekam medik.

2. Tahap Pengambilan (Pengumpulan) Data

Tahap ini adalah tahap penggumpulan data dari pasien hepatitis B non-komplikasi yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih periode Januari – Juni 2007. Data yang diambil terdiri atas: nomor catatan medik, jenis kelamin, umur, lama perawatan, anamnesis, diagnosis masuk, diagnosis keluar/akhir, riwayat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(54)

penyakit, riwayat obat, riwayat alergi, obat yang diresepkan selama perawatan (meliputi: dosis, frekuensi pemberian, dan bentuk sediaan obat), serta data penunjang lainnya (seperti: pemeriksaan fisik dan data laboratorium). Data yang diperoleh sebanyak 7 data yang diambil secara non-random dari daftar pasien hepatitis B non-komplikasi pada bagian rekam medik.

3. Tahap Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan melihat karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin dan umur, kemudian menggelompokkan obat yang digunakan dalam terapi hepatitis B non-komplikasi berdasarkan golongan obat dan jenis obat, setelah itu dihitung jumlah kasus yang terjadi DRPs dan dikelompokkan berdasarkan tipe atau jenis DRPs. Ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan obat tidak dapat diamati, karena penelitian ini bersifat retrospektif.

Untuk tata cara analisa hasil dilakukan sebagai berikut ini.

1. Distribusi jenis kelamin pasien pada kasus hepatitis B non komplikasi

2. Distribusi umur pasien pada kasus hepatitis B non-komplikasi dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu umur < 5 tahun, >5 – 12 tahun, >12 – 18 tahun, > 18 – 55 tahun, dan > 55 tahun.

3. Persentase umur pasien pada kasus hepatitis B non-komplikasi dihitung berdasarkan jumlah kasus masing-masing kelompok umur, kemudian dibagi dengan jumlah seluruh kasus yang ada lalu dikalikan 100%.

4. Persentase golongan dan jenis obat yang digunakan dihitung dengan cara menjumlahkan berapa kasus yang menggunakan golongan dan jenis obat

(55)

35

yang sama, kemudian dibagi dengan jumlah seluruh kasus dan dikalikan 100%.

5. Kajian penggunaan obat pada kasus hepatitis B non-komplikasi di R S Panti Rapih dilakukan dengan mengidentifikasi DRPs seperti berikut ini.

a. Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy) b. Butuh obat (need for additional drug therapy) c. Obat salah (wrong drug/ineffective drug) d. Dosis terlalu rendah (dosage too low)

e. Efek Samping Obat (adverse drug reaction) dan interaksi obat (drug

interaction)

f. Dosis terlalu tinggi (dosage too high)

Kajian DRPs yang terjadi dalam pengobatan pada kasus hepatitis B non-komplikasi dilakukan dengan melihat standar yang ada. Standar yang digunakan disini adalah Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) tahun 2000, MIMS Indonesia tahun 2006, dan Drug Information Handbook (DIH) tahun 2006.

4. Pembahasan kasus

Pembahasan kasus dilakukan dengan metode SOAP (Subjective, Objective,

Assessment, Plan) dan dianalisa berdasarkan standar pengobatan hepatitis B dan

pustaka yang sesuai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(56)

G. Kesulitan

Penelitian retrospektif mempunyai kelemahan yaitu peneliti tidak dapat mengamati perkembangan kondisi pasien yang sebenarnya berkaitan dengan analisis tipe DRPs, yaitu terjadinya (adanya) efek samping obat, dan interaksi obat. Selain itu, penulis mengalami kesulitan dalam membaca catatan terapi (rekam medik) yang kurang jelas, penggunaan bahasa daerah dalam penulisan keluhan pasien, atau catatan medik tidak lengkap (misalnya: tidak mencantumkan tanda vital harian, data laboratorium kurang lengkap, dan lain sebagainya).

Gambar

Tabel I.  Definisi  dan  kriteria  diagnostik  pasien  dengan  infeksi
Tabel X.  Golongan  dan  jenis  obat  hepatoprotektor  yang  digunakan  pada  terapi  pasien  hepatitis  B  non-komplikasi  di  Instalasi  Rawat  Inap  Rumah  Sakit  Panti  Rapih  Yogyakarta  periode  Januari – Juni 2007………………………….......................
Gambar 1.  Letak hati (Anonim, 2008)……………......................................  7  Gambar 2
Gambar 1. Letak hati (Anonim, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang mengikuti semua standarisasi peralatan listrik seperti cara penggambaran dan kode- kode pengaman dalam pemasangannya, maka menjadi tanggung jawab kita untuk. menggunakan

Denagan aneka makanan dan minuman yang enak dan segar dengan harga yang bias dicapai oleh semua golongan masyarakat sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan ketertarikan saya

Fasilitas yang disediakan oleh penulis dalam perancangan ini adalah kapel sebagai tempat berdoa baik bagi komunitas maupun masyarakat sekitar, biara dengan desain interior

Kata hasud berasal dari berasal dari bahasa arab ‘’hasadun’’,yang berarti dengki,benci.dengki adalah suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan

[r]

“ STUDI DESKRIPTIF MENGENAI SUBJECTIVE WELLBEING PADA LANSIA PENDERITA PENYAKIT KRONIS YANG MENGIKUTI PROLANIS DI PUSKESMAS ‘X’ KOTA BANDUNG “. Universitas Kristen

[r]

Konselor :”Sebagai kesimpulan akhir dari pembicaraan kita dapat Bapak simpulkan bahwa Anda mempunyai kesulitan untuk berkomunikasi dalam belajar oleh karena itu mulai besok anda