BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pemerataan pembangunan di Indonesia saat ini telah diwujudkan melalui
program beasiswa yang ditawarkan oleh perusahaan maupun lembaga dengan memberikan biaya pendidikan gratis bagi siswa berprestasi dan beasiswa
peningkatan potensi akademik. Beasiswa tidak hanya dapat dinikmati oleh mahasiswa dari kota-kota besar saja, namun kini telah muncul program beasiswa yang memfasilitasi putra-putri bangsa terutama yang berada di daerah-daerah
terluar yang sulit dalam akses pendidikan (Ariani, 2015).
Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) menjadi solusi bagi putra-putri asli Papua
untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Program tersebut berlandaskan pada Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat yang berbunyi “Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang selanjutnya disebut UP4B, adalah lembaga
yang dibentuk untuk mendukung koordinasi, memfasilitasi dan mengendalikan pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat”.
Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) adalah beasiswa hasil kerjasama
Kemdikbud, Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), dan Majelis Rektor PTN Indonesia, dalam rangka meningkatkan sumber
Implikasi dari adanya program beasiswa ini mengharuskan para mahasiswa asli Papua keluar dari Papua dan tinggal di daerah-daerah tempat
mahasiswa melanjutkan pendidikan di universitas-universitas negeri yang tersebar di Indonesia. Beasiswa ini diselenggarakan mulai tahun 2012 bekerja sama
dengan 32 PTN di Indonesia. Tahun 2014 jumlah Perguruan Tinggi Negeri yang bergabung dengan program beasiswa ini mengalami pertambahan menjadi 39 PTN yang tersebar diseluruh Indonesia (Sumber: website resmi UP4B
Universitas Sumatera Utara (USU) merupakan salah satu dari 39
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menerima mahasiswa dari Papua melalui program beasiswa Afirmasi Dikti (ADik). Sejak tahun 2012 hingga penerimaan mahasiswa baru 2015 terdapat 58 mahasiswa Papua yang aktif kuliah di USU.
Semua mahasiswa tersebut diterima melalui jalurseleksi nasional SNMPTN.Mahasiswa Papua yang menerima beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) di
USU harus pindah dan menjalani kehidupan yang baru sebagai mahasiswa USU. Kehadiran mahasiswa Papua di USU memberikan nuansa baru dalam dunia pendidikan perguruan tinggi di USU.
Mahasiswa Papua mulai angkatan 2012 hingga angkatan 2015 menetap di lingkungan USU dengan segala aspek sosial budaya yang berbeda dari tempat asal
mahasiswa Papua.Tinggal atau kuliah di tempat masyarakat yang berbeda secara sosial dan budaya kemungkinan memunculkan dampak sosial psikologis tertentu. Salah satu dampak sosial-psikologis yang biasa terjadi adalah beradaptasi dengan
iklim geografis, menjadi hambatan utama (Wijanarko & Safiq, 2013). Oleh karena itu banyak hal yang dirasakan oleh mahasiswa asal Papua berubah dari
kesehariannya di Papua. Mulai terjadi perbedaan adat-istiadat, makanan, minuman, bahasa, lingkungan dan sosial yang berbeda.
Ariani (2015) menunjukkan dalam penelitian kualitatifnya bahwa mahasiswa Papua yang menerima beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) di Unnes mengalami hambatan sosial budaya pada saat berkuliah di Unnes. Hasilnya
menunjukkan hambatan yang dialami mahasiswa Papua adalah : 1) kurangnya pengetahuan dan bekal mahasiswa Papua mengenal Unnes; 2) perbedaan makanan; 3) perbedaan gaya berpenampilan; 4) Homesick; 5) stereotip dan
diskriminasi; serta 6) perbedaan bahasa. Hambatan tersebut memunculkan dampak psikologis dalam diri personal maupun khidupan sosial mereka.
Wijanarko & Safiq (2013) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa mahasiswa luar pulau yang berasal dari Papua di Surabaya mengalami berbagai
hambatan dalam menyesuaikan diri. Hambatan tersebut adalah adanya perbedaan bahasa, karakteristik fisik, dan kebiasaan budaya dengan masyarakat lokal. Hambatan-hambatan tersebut memunjulkan dampak psikologis dalam diri
personal maupun kehidupan sosial mereka.
Hambatan yang dialami mahasiswa dalam konteks antar negara tergambar
pada penelitian Sodjakusumah & Everts (1996 dalam Wijanarko & Safiq, 2013) terhadap mahasiswa Indonesia di New Zealand menunjukkan bahwa mereka menghadapi masalah akademis (termasuk didalamnya perbedaan bahasa dan
sekitar), dan masalah pribadi (merasa sendiri dan rindu rumah). Kemampuan bahasa diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang asing.apabila
pendatang tidak dapat berbahasa sesuai dengan lingkungan barunya maka mereka akan merasa terisolasi.
Selain hambatan bahasa dan komunikasi, (Meganga, 2009 dalam Wijanarko & Safiq, 2013) juga menyebutkan kecenderungan mahasiswa asing untuk mengelompok dengan mahasiswa dari asal atau etnis yang sama sebagai
hambatan adaptasi sosial. Hal ini disebabkan karena pendatang cenderung memandang kehadiran mereka bersifat sementara. Akibatnya, mereka cenderung
untuk tidak berupaya maksimal dalam mengambil pengalaman interaksi dengan masyarakat lokal ketika muncul hambatan-hambatan adaptasi. Pada prosesnya mereka akan membentuk wadah-wadah (enclaves) diantara mereka sendiri.
Karena merupakan kumpulan dari orang yang berasal dari budaya pendatang yang sama, wadah seperti ini mampu mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya
akibat tekanan lingkungan asing tempat mereka belajar. Namun, dampak buruknya, mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri melalui belajar secara langsung bagaimana hidup dengan masyarakat dari
beragam budaya.
Sodowsky, Lai & Plake (1991 dalam Sodowsky & Maestas, 2000)
mendefinisikan proses adaptasi kelompok minoritas terhadap kultur kelompok mayoritas disebut dengan akulturasi.Akuturasi juga didefinisikan sebagai proses yang terjadi pada saat dua atau lebih kultur yang saling berinteraksi (Suinn, 1992
dan mendorong, hal ini dapat diartikan bahwa individu dari kelompok minoritas merasa ditekan untuk berakulturasi ke dalam kelompok dominan yang ada dalam
masyarakat (Roysircai-Sodowsky & Macstas, 2000 dalam Andiyasari, 2005). Salah satu dampak negatif dari kesulitan menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru adalah stres akulturasi. Stres akulturasi adalah serangkaian pengalaman psikologis yang kompleks, biasanya tidak menyenangkan dan menganggu (Tsytsarev & Krichmar dalam Shiraev & Levy, 2012).
Acculturative stressjuga merupakan sebuah pengalaman tertekan dengan perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses akulturasi (Berry dalam
Organista, Chun, & Marin, 1998). Pengalaman individu pada perubahan-perubahan tersebut bervariasi pada berbagai tingkat, dari sangat banyak hingga sedikit sekali. Pada beberapa individu, proses akulturasi yang dialami dapat
menjadi stressor, sementara pada individu lain mungkin dilihat sebagai peluang (Andiyasari, 2005).
Acculturative stress tergantung pada sejumlah faktor perantara, termasuk
diantaranya adalah karakter kelompok dominan, stretegi akulturasi yang dilakukan kelompok minoritas, bentuk-bentuk akulturasi yang dialami, kondisi
demografi, sosial, dan karakteristik psikologis dari kelompok maupun anggota kelompok. Masing-masing faktor ini dapat mempengaruhi level acculturative stress (Berry dalam Organista, Chun & Marin, 1998).
Faktor-faktor perantara yang lain adalah bagaimana kelompok dominan menggunakan pengaruh-pengaruhnya pada proses akulturasi dan tingkat
multikultural, merupakan kebalikan dari masyarakat monokultural yang dicirikan oleh dua faktor penting: pertama, keberadaan jaringan sosial dan kelompok yang
dapat mendukung kelompok minoritas masuk ke dalam proses akulturasi; kedua, toleransi yang cukup besar atau penerimaan terhadap perbedaan-perbedaan kultur
(Murphy, 1965 dalam Berry, 1989).
Acculturative stress merupakan konsekuensi dari proses akulturasi, tetapi
kemungkinan terjadinya dapat berkurang secara signifikan jika partisipasi dalam
masyarakat dan pertahanan kultur yang diwariskan didukung oleh kebijakan dan praktek di dalam masyarakat. Acculturative stress juga diketahui berdampak pada
tingkat personal, beberapa diantaranya adalah menurunnya kesehatan (fisik, sosial, dan psikologis), menurunnya tingkat motivasi, perasaan terasing, dan meningkatnya penyimpangan sosial (Murphy, 1965 dalam Berry, 1989).
Satu hal yang cukup penting diketahui adalah bahwa individu yang berakulturasi pada masyarakat plural cenderung lebih rendah stresnya dibanding
individu yang berakulturasi pada masyarakat monokultural yang menekankan asimilasi (Berry dalam Organista, Chun & Marin, 1998). Namun demikian, timbul juga paradoks pada masyarakat multikultural yang sengaja diciptakan kebijakan
menolak kelompok minoritas berpartisipasi di dalam kehidupan kemasyarakatan, maka penolakan ini dapat mengakibatkan meningkatnya acculturative stress pada
kelompok minoritas tersebut (Berry dalam Organista, Chun & Marin, 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Permana & Endang (2015) menunjukkan bahwa stres akulturasi yang dialami mahasiswa Papua lebih tinggi dibanding
akulturasi pada mahasiswa Papua di Semarang, diketahui bahwa kebanyakan berada pada kategori tinggi yaitu 21 orang, sedang 13 orang, dan yang berada
pada kategori sangat tinggi sebanyak 1 orang. Berdasarkan kategorisasi skor stres akulturasi pada mahasiswa Batak, diketahui bahwa kebanyakan berada pada
ketegori sedang yaitu 29 orang, rendah 8 orang, tinggi 7 orang, dan yang berada pada kategori sangat rendah sebanyak 1 orang.
Mahasiswa papua di USU sebagai minoritas termasuk salah satu yang
mengalami proses akulturasi. Proses akulturasi tersebut, memungkinkan mahasiswa Papua di USU terpapar dengan berbagai hambatan-hambatan akibat
dari adanya perbedaan budaya. Fenomena yang terjadi pada mahasiswa Papua di USU bahwa sudah ada 2 orang yang meninggal dunia pada tahun 2015 akibat hambatan yang dirasakan selama proses akulturasi. Hambatan yang dirasakan
tersebut adalah perbedaan makanan & minuman karena sudah terbiasa enak makan makanan khas Papua (sagu, ubi) sehingga pada saat di medantidak selera
makan karena tidak cocok dengan makanan di medan,juga disebabkan karena kebiasaan minum minuman beralkohol, dan hambatan bahasa juga terjadi terhadap sosialnya sehingga merasakan kesulitan dalam berkomunikasi dengan
sosial untuk mecari pelayanan kesehatan.
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebutmembuktikan bahwa pentingnya
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan konteks masalah diatas peneliti memfokuskan pada batasan
pokok : “Apakah mahasiswa Papua yang menjalani perkuliahan di USU mengalami stres akulturasi rendah atau tinggi”.
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stres akulturasi mahasiswa Papua yang menjalani perkuliahan di Universitas Sumatera Utara.
1.4 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat kepada berbagai
pihak sebagai berikut :
1.4.1 Pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi berharga
dan masukan bagi pendidikan keperawatan tentang gambaran stres akulturasi yang terjadi pada mahasiswa Papua yang menjalani perkuliahan
di Universitas Sumatera Utara, sehingga menjadi salah satu intervensi keperawatan yang digunakan untuk mengatasi stres akulturasi yang terjadi pada mahasiswa Papua terkhusus di Fakultas Keperawatan.
1.4.2 Pelayanan keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai masukan bagi
pelayanan keperawatan untuk dapat memberikan intervensi terkait stres akulturasi yang bukan hanya kepada pasien tetapi juga kepada komunitas atau kelompok terkhusus kepada mahasiswa Papua di USU yang
1.4.3 Penelitian keperawatan
Hasil penelitian ini dapat sebagai informasi/data penelitian
selanjutnya dalam lingkup penelitian yang sama yang berkaitan dengan dampak psikologi yang terjadi akibat perbedaan budaya dan lingkungan