• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan khususnya di bidang ekonomi sangat memerlukan pengaturan

secara hukum bisnis agar terciptanya ketertiban dalam kegiatan usaha yang dilakukan

oleh para pelaku usaha. Pelaku usaha melakukan kegiatan bisnis dengan maksud

untuk memenuhi kepentingannya dan mencapai tujuan masing-masing. Di dalam

menjalankan bisnis, sering kali para pelaku usaha melupakan betapa pentingnya

perjanjian yang harus dibuat sebelum bisnis itu berjalan di kemudian hari. Sebagian

pihak melakukan perjanjian bisnis secara lisan, namun ada pula yang melakukan

perjanjian secara tertulis. Baik di Indonesia maupun di dunia Internasional, kerjasama

bisnis diantara para pihak dirasakan lebih mempunyai kepastian hukum bila diadakan

dengan suatu perjanjian tertulis.1

Disadari atau tidak, hubungan para pihak yang terjalin dalam aktivitas bisnis

komersial tersebut juga akan diikuti oleh kesepakatan-kesepakatan untuk membangun

aturan-aturan yang akan menjadi dasar pelaksanaan aktifitas tersebut yang harus

dipatuhi bersama oleh para pihak untuk mencapai tujuannya. Dari adanya

kesepakatan untuk membangun ketentuan atau aturan tersebut, lahirlah apa yang

dinamakan dengan kontrak atau perjanjian. Kontrak atau perjanjian tersebut

mengandung hubungan kontraktual di antara para pihak yang diwujudkan melalui

pelaksanaan kewajiban oleh para pihak yang membentuk dan melaksanakan

1

(2)

perjanjian tersebut. Beranjak dari adanya hak dan kewajiban inilah pentingnya hukum

hadir untuk memberikan pengaturannya karena eksistensi hukum itu sendiri sangat

erat dengan perlindungan hak manusia dan keadilan.2

Bila melihat dari tata cara pembentukannya (law making process), hukum

perdata lahir dari dua kewenangan pembentukan hukum, yaitu

kewenangan-kewenangan pembentukan hukum yang dimiliki oleh negara (Lembaga Eksekutif

bersama dengan Lembaga Legislatif atau DPR) (Lebih jauh lihat Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta

Pasal 5, 20 dan 21 UUD 1945), serta juga kewenangan pembentukan hukum yang

dimiliki oleh setiap warga negara.3

Kewenangan pembentukan hukum yang dimiliki oleh negara memberikan

konsekuensi lahirnya hukum yang demi hukum (by law) akan berlaku dan mengikat

seluruh warga Negara yang tunduk padanya terhitung sejak hukum tersebut

diberlakukan. Sementara kewenangan pembentukan hukum yang dimiliki oleh setiap

warga merupakan kewenangan masing-masing pihak (party authonomy) yang pada

dasarnya lahir dari pelaksanaan prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract)

yang harus dipatuhi berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda, dimana keberlakuan dari

hukum yang diciptakan oleh masing-masing warga negara tersebut hanyalah

mengikat sebagai hukum diantara pihak-pihak yang setuju untuk terikat padanya

(contracting parties).4

2Faizal Kurniawan dan Ayik Parameswary,Konstruksi Hukum Perlindungan Adhered Party dalam Kontrak Adhesi yang digunakan dalam Transaksi Bisnis,Perspektif, Vol.19 (3). 2014. hal. 145.

3Ibid.

(3)

Kewenangan pembentukan hukum oleh para pihak menghasilkan suatu produk

hukum yang dikenal dengan nama kontrak atau perjanjian, yang kemudian mengikat

bagi para pihak yang membuatnya tersebut layaknya sebagai undang-undang.

Keberlakuan kontrak atau perjanjian sebagai undang-undang yang mengikat dan

harus dipatuhi oleh yang membuatnya, secara eksplisit diatur Pasal 1338

KUHPerdata.

Perjanjian diatur di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang berbunyi: “perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut namanya, hukum kontrak dapat dibagi

menjadi dua macam, yaitu hukum kontraknominaatdan hukum kontrak innominaat.

Hukum kontrak nominaat merupakan ketentuan hukum yang mengkaji berbagai

kontrak atau perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata. Sedangkan hukum kontrak

innominaat merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengkaji berbagai kontrak

yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat dan kontrak ini belum dikenal

pada saat KUHPerdata diundangkan.5

Bentuk perjanjian baku, telah muncul pada setiap level transaksi bisnis, mulai

dari transaksi bisnis yang berskala besar sampai pada “kaki lima”. Munculnya

perjanjian baku sebenarnya merupakan akibat tidak langsung dari introduksi asas

kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata). Tidak adanya restriksi-restriksi

substsansial yang mampu menyeimbangkan posisi tawar (bargaining position)

5Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,(Jakarta: Sinar

(4)

diantara para pihak yang mengadakan perjanjian, maka melahirkan penguasaan oleh

satu pihak dan keterpaksaan pada pihak lainnya.

Hal tersebut menyebabkan posisi kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak

seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu

menguntungkan bagi salah satu pihak. Keuntungan kedudukan tersebut oleh pelaku

usaha sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan atau klausula

baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang

“lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian

maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau

ditawar-tawar oleh pihak lainnya.6 Salah satu hal yang menonjol dalam perjanjian baku adalah terjadinya penekanan secara sepihak. Oleh karena itu perjanjian baku

cenderung menjadi perjanjian yang berat sebelah atau perjanjian sepihak, dengan kata

lain transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha cenderung bersifat tidak

balance.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang mengikat para pihak yang

menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam

perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang

perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul

dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat

berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan

6Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka

(5)

klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-undang No 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.7

Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka

pihak yang kedudukannya lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang

betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Hal yang

demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan

tersebut untuk menentukan klausula-klusula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga

perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam

perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi

perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.8 Perjanjian baku semacam ini sering disebut dengan istilahtake it or leave it(ambil atau tidak ambil).

Perjanjian dengan klausula baku cenderung menguntungkan pihak yang

mempersiapkan atau merumuskannya, hal ini banyak dijumpai dalam kemasan

barang atau tercantum dalam produk tertentu, nota-nota penjualan, tiket/karcis

perjalanan, karcis parkir, tanda penitipan barang dan sebagainya.

Permasalahan mulai muncul ketika adanya kontrak atau perjanjian ditetapkan

secara sepihak oleh salah satu pihak yang lazimnya dilakukan oleh pelaku usaha,

yang disebut dengan nama kontrak baku atau kontrak adhesi (standard contract) yang

isi atau klausula dari perjanjian tersebut mengandung keadaan yang cenderung tidak

fair bagi konsumen dengan pencantuman klausula yang bersifat membatasi

7Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,Hukum Perlidungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada), 2004, hal. 118.

(6)

kewajiban pelaku usaha dalam pelaksanaan perjanjian yang disebut dengan nama

klausula eksonerasi.9

Kontrak baku sendiri sebenarnya tidak dilarang karena merupakan perwujudan

asas kebebasan berkontrak namun dengan tidak adanya kesempatan bagi mitra

berkontraknya untuk secaraface to facedapat menegosiasikan poin-poin kesepakatan

yang diinginkan ataupun diterimanya sehubungan dengan transaksi ataupun

perbuatan hukum yang akan mereka lakukan, membuat posisi mitra berkontraknya

secara langsung ataupun tidak langsung seolah-olah cenderung terpaksa, dimana

keadaan mitra berkontraknya tersebut terdesak oleh tingkat kebutuhan, sehingga tidak

mempunyai pilihan lain kecuali menandatangani kontrak yang sebenarnya

mengandung kelemahan pada hal hukumnya. Menjadi suatu persoalan, apakah hal ini

merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999

tentang Perlindungan Konsumen.10

Berdasarkan uraian kontrak baku di atas yang menjadi kajian dalam penelitian

ini adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 368K/Pdt.Sus-BPSK/2013 dalam

memeriksa perkara perdata khusus tentang keberatan atas putusan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen pada tingkat kasasi memutuskan sebagai berikut

dalam perkara antara: PT. Express Limo Nusantara, berkedudukan di Graha Niaga I

Blok A 3, Jalan Putri Hijau No. 20 Medan, Provinsi Sumatera Utara, Pelaku Usaha,

(7)

yang diwakili oleh Herman Gozali, Direktur Utama PT. Express Limo Nusantara,

berkedudukan di di Graha Niaga I Blok A 3, Jalan Putri Hijau No. 20 Medan,

Provinsi Sumatera Utara, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat melawan Dedek

Cahyo, bertempat tinggal di Jalan Karya Gang Sosro No. 12 B, Kelurahan Karang

Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara,

Konsumen, sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat.

Bahwa pada tanggal 10 Agustus 2006, antara Pelaku Usaha dengan Konsumen

telah sepakat mengadakan Perjanjian Sewa Beli atas 1 (satu) unit kendaraan bermotor

Jenis Taxi, Merek Toyota Limo, Nomor Rangka MR.053.HY 4259029198, Nomor

Mesin INZ-Z 311292, Nomor Polisi BK 1543 HA (untuk selanjutnya disebut Armada

Taxi), milik Penggugat (PT. Express Limo Nusantara), dimana Surat Tanda Nomor

Kenderaan (STNK) dan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKP) serta, Ijin

Trayek pengoperasian Armada Taxi tersebut adalah atas nama penggugat (PT.

Express Limo Nusantara) dengan syarat dan Ketentuan sebagaimana telah dituangkan

atau disebutkan dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006

yang telah ditanda tangani Pelaku Usaha dengan Konsumen.

Dalam praktik pelaksanaan perjanjian kerjasama, ada kalanya para pihak tidak

dapat melaksanakan kewajibannya karena adanya wanprestasi (ingkar janji).

Wanprestasi artinya adalah tidak memenuhi prestasi yang merupakan kewajiban

debitur yang telah ditetapkan dalam suatu perikatan. Dalam hal ini konsumen (Dedek

(8)

Wanprestasi yang dilakukan telah melanggar ketentuan perjanjian antara pihak

Pelaku Usaha dengan konsumen. Bahwa dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas,

sebagai akibat dari perbuatan konsumen yang tidak mematuhi atau melaksanakan

kewajiban hukumnya kepada Pelaku Usaha dengan kewajiban hukum konsumen

sebagaimana yang telah disebutkan dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal

10Agustus 2006 (konsumen tidak menyerahkan uang setoran kepada Pelaku Usaha

sesuai dengan yang telah ditentukan di dalam Perjanjian Kerjasama Operasi

tertanggal 10 Agustus 2006), berdasarkan syarat atau Ketentuan yang disebutkan atau

dituangkan di dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 yang

telah disepakati dan ditandatangani Pelaku Usaha dengan Konsumen, pada bulan Juli

2007 Pelaku Usaha telah mengakhiri hubungan hukum antara Pelaku Usaha dengan

Konsumen dengan membatalkan Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus

2006 tersebut.

Bahwa walaupun Pelaku Usaha telah mengakhiri hubungan hukum antara

Pelaku Usaha dengan Konsumen dengan membatalkan Perjanjian Kerjasama Operasi

tertanggal 10 Agustus 2006 dan oleh karena itu Konsumen harus menyerahkan

Armada Taxi objek Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006

tersebut kepada Pelaku Usaha, namun Konsumen tidak menyerahkan kendaraan

bermotor Armada Taxi tersebut kepada Pelaku Usaha selaku pemiliknya, bahkan

Konsumen tetap menguasai dan mengusahai atau mengoperasikan kenderaan

bermotor Armada Taxi tersebut tanpa memperdulikan hak dari Pelaku Usaha selaku

pemiliknya. Perbuatan Konsumen yang tidak menyerahkan Armada Taxi tersebut

(9)

dibatalkannya Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 dan tetap

menguasai dan mengusahai atau mengoperasikan Armada Taxi tersebut hingga

sampai dengan sekarang, adalah merupakan perbuatan tanpa hak atau perbuatan yang

bertentangan dengan hukum dan dapat dikategorikan sebagai Perbuatan melawan

hukum.

Pihak Konsumen merasa keberatan atas pembatalan Perjanjian Kerjasama

Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dan

melakukan Pengaduan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) Kota Medan, Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota

Medan yang memeriksa perkara ini, dengan Putusannya No.

36/PEN/BPSK-MDN/2007 tertanggal 1 November 2007.

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor

36/PEN/BPSK-MDN/2007 tanggal 1 November 2007 yang amarnya antara lain sebagai berikut: 1)

Menyatakan bahwa “Surat Perjanjian Kerjasama Operasi" tertanggal 10 Agustus

2006 yang diperbuat oleh Pelaku Usaha dengan Konsumen adalah Klausula

Baku/Perjanjian Baku yang dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen

No.8/1999 dan menyatakan batal demi hukum Surat Perjanjian Kerjasama Operasi

tanggal 10 Agustus 2006 tersebut; 2) Menghukum/mewajibkan Pelaku Usaha untuk

menerima kembali/bergabung Konsumen dengan Pelaku Usaha terhitung sejak

Keputusan ini diterima oleh kedua belah pihak; dan 3) Menghukum/mewajibkan

Pelaku Usaha untuk memberikan kelonggaran pembayaran kepada Konsumen

terhitung sejak tanggal Konsumen tidak menyetor uang setorannya kepada Pelaku

(10)

Kekurangan setoran dibayar dimuka sebesar 10% dan b) Sisanya 90 % lagi dicicil

sebesar Rp50.000.- (lima puluh ribu rupiah) setiap harinya sampai lunas.

Amar putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut, Pelaku Usaha

keberatan dan telah mengajukan keberatan di depan persidangan Pengadilan Negeri

Medan yang pada pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa dalam Perjanjian Kerjasama

Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 yang telah disepakati Pelaku Usaha dengan

Konsumen melalui penandatanganan yang dilakukan Pelaku Usaha dengan

Konsumen tersebut, dinyatakan bahwa setelah masa Perjanjian ini selesai pada akhir

periode sebagaimana tertuang dalam Perjanjian ini, Armada Taxi tersebut di atas akan

menjadi milik Konsumen, dan Uang muka akan menjadi milik Pelaku Usaha (PT.

Express Limo Nusantara); 2) Bahwa dalam, Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal

10 Agustus 2006 yang telah disepakati Konsumen dengan Pelaku Usaha yang telah

ditandatangani Konsumen dengan Pelaku Usaha tersebut, juga disebutkan bahwa

selama seluruh uang setoran belum lunas dilakukan Konsumen kepada Pelaku Usaha,

Armada TAXI tersebut masih tetap milik Pelaku Usaha (PT. Express Limo

Nusantara); dan 3) Pelaku Usaha berhak mengenakan sanksi/pembatalan Perjanjian

ini secara sepihak apabila keterlambatan tersebut melebihi 3 (tiga) jam dan dalam 1

(satu) bulan terjadi 3 (tiga) kali keterlambatan.

Berdasarkan uraian di atas penulis mempunyai ketertarikan untuk melakukan

penelitian terkait dengan pembatalan perjanjian baku dengan mengambil judul

“Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-undang (Studi Kasus Putusan

(11)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana faktor yang menyebabkan bentuk perjanjian baku yang melanggar

undang-undang dibatalkan pada putusan Mahkamah Agung (Nomor 368

K/Pdt.Sus-BPSK/2013) ?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap pembatalan perjanjian baku yang melanggar

undang-undang berdasarkan putusan Mahkamah Agung (Nomor 368

K/Pdt.Sus-BPSK/2013) ?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaku usaha yang mengalami kerugian

atas pembatalan perjanjian baku yang melanggar undang-undang pada putusan

Mahkamah Agung (Nomor 368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013) ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang disebut di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan bentuk perjanjian baku yang

melanggar undang-undang dibatalkan pada putusan Mahkamah Agung (Nomor

368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013).

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pembatalan perjanjian baku yang

melanggar undang-undang berdasarkan putusan Mahkamah Agung (Nomor 368

(12)

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pelaku usaha yang mengalami

kerugian atas pembatalan perjanjian baku yang melanggar undang-undang pada

putusan Mahkamah Agung (Nomor 368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013).

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara Teoritis maupun

secara Praktis dibidang hukum perdata, dan perlindungan konsumen.

1. Secara Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

a. Menambah khasanah ilmu Hukum Perdata khususnya perjanjian baku dan

Hukum Kenotariatan.

b. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih

lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang dapat memberikan

andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata khususnya

perjanjian baku.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

a. Manfaat yang sebesar-besarnya bagi para praktisi hukum khususnya bagi para

Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sehubungan dengan Perjanjian

Baku.

b. Mengungkap masalah-masalah yang timbul dan/atau muncul dalam lapangan

hukum dan masyarakat serta memberikan solusinya sehubungan dengan

(13)

c. Memperbaharui peraturan-peraturan yang menyangkut dengan pelaksanaan

perjanjian baku terhadap adanya pembatalan perjanjian baku yang melanggar

undang-undang bagi pemerintah dan pihak legislatif.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas

Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister

Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul

“Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-undang (Studi Kasus Putusan

MA No.368k/Pdt.Sus-BPSK/2013) belum pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan

beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini diantara lain :

1. Oki Andriansyah Kurniadi, NIM. 087011090, dengan judul Tinjauan Hukum

Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang Atas Dasar

Wanprestasi (Studi PT. Telemedia Network Cakrawala), dengan rumusan

Masalah:

a. Akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian kerjasama pengadaan barang

atas dasar wanprestasi ?

b. Bagaimana wanprestasi perjanjian kerjasama antara PT. TNC dengan PT.

Moratel ?

c. Bagaimana penyelesaian dalam sengketa pengadaan barang ?

2. Siti Ayu Revani, NIM. 107011075, dengan judul Analisis Yuridis Atas

(14)

Pada CV. Bintang Mandiri IN7 Wedding Organizer & Decoration di Medan),

dengan Rumusan Masalah:

a. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dari pembatalan kerjasama CV.

Bintang MandiriIn7 Wedding Organizer & Decorationdengan pengguna jasa

jika terjadi wanprestasi yang dikarenakan oleh salah satu pihak ?

b. Bagaimanakah pentingnya pencantuman klausulaforce majeuredalam sebuah

perjanjian yang dilakukan oleh CV. Bintang MandiriIn7 Wedding Organizer

& Decorationdengan pengguna jasa ?

c. Bagaimana ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian

dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama yang terjadi antara CV. Bintang

MandiriIn7 Wedding Organizer & Decorationdengan pengguna jasa ?

3. Rio Adrian Sukma, Nim. 097011118, dengan judul Tinjauan Yuridis Perjanjian

Kerjasama dalam Penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan

Hotel J.W. Marriot Medan, dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.

Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ?

b. Bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan

voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan?

c. Bagaimana penyelesaian perselisihan hukum jika terjadi wanprestasi antara

salah satu pihak.

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang

dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga

(15)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam penelitian suatu permasalahan hukum, maka relevan apabila

pembahasan dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan

asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan

pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan

yang muncul dalam penelitian hukum.11

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau

proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini

adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan

gejala yang diamati.12

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan

penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar

penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan

pertanyaan-pertanyaan. Penelitian ini berusaha untuk memahami kepastian hukum dari perjanjian

baku yang melanggar undang-undang. Hal ini berarti teori yang digunakan untuk

menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sebagai pisau analisis dalam

penelitian ini adalah teori kepastian hukum.

11

Salim H. S.,Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Rajawali Pers: Jakarta,2010), hal. 54.

12J. J. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta: UI

(16)

Pembahasan mengenai perjanjian baku dan akibat hukumnya jika terjadi

pembatalan perjanjian baku yang melanggar undang-undang pada hakekatnya tidak

dapat terlepas dari hubungan dengan masalah kepastian hukum, dimana adanya

kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa. Teori kepastian hukum mengandung 2

(dua) pengertian yaitu:

a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa

yang boleh atau tidak boleh dilakukan,

b. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena

dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui

apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang

melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim

yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di

putuskan”.13

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara

normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.

Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam

artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan

atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak

13Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media

(17)

pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.

Pemikiran pada umumnya beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan

dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan

berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis,

pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan

oleh Thomas Hobbes bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo

hominilupus)”. Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh

rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descartes (cogito ergo sum),

fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme

kuantitatif yang digemakan oleh FrancisBacon menjadikan sekomponen manusia di

Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap

hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan

ketertiban).14

Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum

yang normatif (peraturan) dapat diikuti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak

saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan

terukur secara kuantitatif dari hukum-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.

Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan di

hadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi,

tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan

realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi

14Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu

(18)

yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat

tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and

ordermenyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial.Law and

orderkemudian hanya cukup untuk the order of law, bukantheorder by the law(law

dalam pengertian peraturan/legal). Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan

hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan

hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian

perilaku terhadap hukum secara benar-benar”.15

Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang

telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku

pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh

subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan

secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang

menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme. Hukum diciptakan

untuk memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah

kedudukan hukumnya.16

Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan

sosial, kepastian adalah mensamaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu

perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh

15Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu

kepastian-hukum/, diakses tanggal 15 September 2015.

16Yance Arizona, Apa itu Kepastian Hukum?, http.//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu

(19)

negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian

dikonkritkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau

menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. Dalam

hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum

melalui perjanjian juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk Undang-undang

memberikan kepastiannya melalui Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Perjanjian yang berlaku sah adalah Undang-undang bagi para subjek hukum

yang melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam

memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu

kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar

subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum

adalah perwujudan dari itikad baik.

Menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum yang penting adalah

peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah

peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di luar

pengutamaan kepastian hukum. Dengan tersedianya pelanggar hukum yang tertulis,

siapapun yang berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang

tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya,

bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan yang

ada didalamnya17

17

Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,

(20)

Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo,

kepastian hukum adalah “Sicherkeit Des Rechts Selbst” (kepastian mengenai hukum

itu sendiri). Ada 4 (empat) hal yang erat kaitannya dengan makna kepastian hukum.18 a. Hukum itu positif, dengan maksud bahwa hukum adalah

perundang-undangan(gesetzliches Recht).

b. Hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen),bukan pada suatu rumusan tentang penilaian yang nantinya akan diterapkan oleh hakim, seperti “kemauan baik” dan ”kesopanan”.

c. Fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga nantinya menghindari kekeliruan dalam pemaknaan,di samping itu juga bertujuan agar mudah dijalankan.

d. Bahwa hukum positifitu tidak boleh sering diubah-ubah atau diganti.

Berdasarkan teori kepastian hukum menurut Satjipto Rahardjo diatas, bahwa

hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), fakta itu harus dirumuskan dengan cara

yang jelas sehingga nantinya menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping

itu juga bertujuan agar mudah dijalankan.

Jika dikaitkan dengan teori kepastian hukum tersebut bahwa perjanjian baku

tidak memiliki kepastian hukum yang jelas, disebabkan karena peraturan

perundang-undangan yang belum baku mengenai perjanjian baku di Indonesia sangat sering

menimbulkan permasalahan dan kebingungan dalam masyarakat. Suatu perjanjian

jika kedua belah pihak kurang mengerti dan melangar undang-undangakan

menimbulkan permasalahan jika dilakukan pembatalan perjanjian.

2. Konsepsi

Kerangka konsepsional ini penting dirumuskan agar tidak tersesat

kepemahaman lain, diluar maksud yang diinginkan. Konsepsional ini merupakan alat

18

(21)

yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standar. Oleh

karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu sari

hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi

mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran

penelitian untuk keperluan analisis.19

Dalam bahasa Latin, kata conceptus (dalam bahasa Belanda, begrip) atau

pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi

yang dalam bahasa Latin adalahdefenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (dalam

bahasa Belanda onschrijving) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk

ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal di dalam epistimologi

atau teori ilmu pengetahuan.20 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa

konsepsional atau pengetian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian

hukum.21

Di sini terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka

konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih

konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat

abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak

sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit di

19

Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 48-49.

20Konsep berbeda dengan teori, dimana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang

menjelaskan hubungan kausal antara dua variable atau lebih. Noeng Muhadjir,Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal. 22-23 dan 58-59, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,

Ibiddan Aminuddin dan H. Zainal Asikin,Ibid

(22)

dalam proses penelitian.22Maka konsepsional merupakan defenisi dari apa yang perlu

diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan adanya

hubungan empiris.23

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan

beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan

penelitian yang telah ditentukan. Konsep tersebut sebagai berikut :

a. Pembatalan menurut kamus umum bahasa indonesia yaitu berasal dari kata batal,

yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada.

b. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain

dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.24

c. Kontrak standar adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat para pihak

mengenai suatu hal yang telah ditentukan secara baku (standar) serta dituangkan

secara tertulis.25

d. Perjanjian baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah

dipersiapkan atau ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha

yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan

wajib dipenuhi oleh konsumen.26

e. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas

menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.27

22Satjipto Rahardjo, Op.cit,hal. 30.

23Koentjaraningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat,Cet 3, (Jakarta: Gramedia, 1980),

hal. 21.

24

Subekti,Hukum Perjanjian, Cet 13, (Jakarta: Intermasa, 1991), hal. 1

25

Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,

(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1991) hal. 6. 26

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

27

(23)

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa

dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.

Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah

berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang

bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.28

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif, yaitu penelitian

hukum kepustakaan. Pendekatan normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah

hukum atau kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam

arti sempit (value), Peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum

normatif berupa asas-asas hukum, system hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan

horisontal.29

Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

menganalisa hukum yang tertulis dari bahan perpustakaan atau data sekunder belaka

yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang

hukum atau bahan rujukan bidang hukum.30

28

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 2008), hal. 42.

29

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995),hal. 70.

(24)

b. Sifat Penelitian

Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat

deskriptis analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran

secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisi

dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis

secara cermat untuk menjawab permasalahan31 2. Sumber Data

Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder sebagai data yang

dapat menunjang keberadaan data primer tersebut, adapun kedua data tersebut

meliputi sebagai berikut:

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelahaan

terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau

materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum.32 Data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

1) Bahan Hukum Primer.

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan

utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini yaitu: Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2) Bahan Hukum Sekunder.

31Sunaryati Hartanto, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad-20, (Bandung:

Alumni, 1994), hal. 101.

32Fajat dan Yulianto, Dualisme Penelitan Hukum. Normatif dan Empiris, (Yogyakarta:

(25)

Yaitu bahan hukum memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, rancangan undang-undang,

hasil-hasil penelitian, hasil karangan dari kalangan hukum, dan seterusnya.33 3) Bahan Hukum Tertier.

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus dan seterusnya.34 3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara

penelitian kepustakaan (library research). Dengan penelitian kepustakaan,

dikumpulkan data, membaca dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang terkait

dengan judul.

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam

penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan

metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang

bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regulitas atau pola tertentu, namun

penuh dengan variasi (keragaman).35

Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang

menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang

33Ibid.

34Ibid.

(26)

terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek

penelitian.36

Bahwa penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yang artinya data

diuraikan secara deskriptif, sebagaimana bentuk-bentuk penelitian ilmu sosial, bila

dilakukannya sebuah penelitian atas ilmu tersebut. Selanjutnya ditarik kesimpulan

dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari

hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan

menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori,

dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik

kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, guna menjawab

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang didapat dalam aplikasi ini adalah Aplikasi Pengolahan Data Persediaan dan Permintaan Raw Material menggunakan bahasa pemograman PHP, dandatabase

Penelitian ini mengatakan bahwa semakin tinggi presentase kepemilikan oleh dewan direksi, maka tingkat dividen tunai juga semakin tinggi Hal ini menunjukkan bahwa

Pada masyarakat Desa Barengkok yang memilih pembersihan lahan dengan cara bakar (burning) yaitu sebesar 90% sedangkan yang memilih dengan cara tanpa bakar (no

Aktivitas antimikroba pada ekstrak daging gonggong Bintan rebus bercangkang tebal yang mengandung protein histon sebagai pangan favorit di Bintan memiliki kemampuan

Policy priorities for sustainable infrastructure development is the policy of physical and environmental fields through an integrated infrastructure management program that includes:

Lokasi yang paling diminati oleh PKL untuk berdagang yaitu menempati ruang yang dirasa cukup untuk membuka lapak dagangan serta berada berdekatan dengan pusat

Program PATEN yang dilaksanakan di kecamatan ini akan merubah sistem pelayanan dari sistem konvensional menjadi sistem Paten dengan harapan dapat mengoptimalkan

Dokumen ini dibuat oleh fungsi penerimaan untuk menunjukkan bahwa barang yang diterima dari pemasok telah memenuhi jenis, spesifikasi, mutu dan kuantitas seperti