BAB II
LANDASAN TEORI
A.Intentions
1. Definisi Intention
Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan teori pembentukan tingkah laku yang dibangun dengan adanya hubungan timbal balik antara kepercayaan (belief), sikap (attitude) dan intention (intention). Sikap (attitude) adalah bagaimana
seseorang berpendapat, berpandangan atau evaluasi terhadap objek. Kepercayaan (belief) merupakan informasi yang dimiliki seseorang mengenai objek. Intention
merupakan intention individu untuk menunjukkan suatu perilaku. Selanjutnya dalam Fishbein & Ajzen (1975) dijelaskan bahwa intention terdiri atas empat elemen, yaitu tingkah laku, target yang akan dikenakan perilaku, situasi dimana
perilaku akan ditunjukkan dan waktu tindakan tersebut ditunjukkan.
Kemudian, Fishbein & Ajzen (1975) mengemukakan theory of reasoned behavior yang menjelaskan bahwa terdapat dua faktor penentu terjadinya
intention yaitu attitudetoward the behavior dan subjective norms.Attitudetoward the behavior merupakan sikap seseorang berdasarkan pandangan dan evaluasi
terhadap suatu perilaku, dan subjective norms merupakan bagaimana persepsi seseorang terhadap objek dengan mempertimbangkan pendapat orang-orang yang
berpengaruh baginya.
dipergunakan untuk memperediksikan dan menjelaskan tingkah laku manusia pada konteks spesifik. Teori ini berisikan penambahan atas faktor intention, yaitu
penambahan faktor perceived behavioral control. Perceived behavioral control merupakan bagaimana kontrol seseorang terhadap suatu perilaku, dimana hal ini
didukung dengan sejauhmana seseorang memiliki kesempatan, sumber daya yang dibutuhkan dan bermaksud untuk melakukan suatu tindakan yang akan dia
lakukan.
Dengan kata lain, berdasarkan theory of planned behavior, intention dipandang sebagai determinan terdekat dari perilaku yang terlihat
2. Aspek-Aspek Intention
Berdasarkan theory of planned behavior Ajzen (1991), intention terdiri
atas :
1. Attitudetoward the behavior
Aspek ini menjelaskan bagaimana sikap seseorang berdasarkan pandangan dan evaluasi terhadap objek atau perilaku.
2. Subjective norms
Aspek ini berisikan bagaimana persepsi seseorang terhadap objek dengan mempertimbangkan pendapat orang-orang yang berpengaruh baginya. 3. Perceived behavioral control
Aspek ini menjelaskan bagaimana kontrol seseorang terhadap suatu perilaku, dimana hal ini didukung dengan sejauhmana seseorang memiliki
kesempatan, sumber daya yang dibutuhkan dan bermaksud untuk melakukan suatu tindakan yang akan dia lakukan
3. Definisi Turnover
Turnover menurut Cascio (1998) adalah berhentinya hubungan kerja
karyawan dan perusahaannya. Sementara (Mobley, 1982 ; Jewell & Siegall, 1998) berpendapat bahwa turnover bukan merupakan pelarian, penghindaran, atau “penarikan diri” dari pekerjaan yang tidak memuaskan dan penuh stress
melainkan karena adanya alternatif pekerjaan lain. Price (2001) mendefinisikan
Sementara itu menurut (Bluedorn, 1993 ; Jewell & Siegall, 1998) istilah turnover dalam kepustakaan industri dan organisasi dibedakan menjadi dua, yaitu
pengertian umum dan khusus. Dalam pengertian umum, turnover mengacu pada perubahan dalam keanggotaan dari organisasi dimana posisi yang ditinggalkan
oleh pemegang jabatan yang keluar dari organisasi digantikan oleh pendatang baru, sementara dalam pengertian khusus, turnover mengacu pada anggota
organisasi yang keluar.
Berdasarkan pemaparan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa turnover adalah berhentinya hubungan kerja karyawan dengan perusahaan tempatnya
bekerja.
4. Jenis-jenis Turnover
Menurut Price (2001) turnover dibagi menjadi dua macam, yaitu sukarela
dan tidak sukarela. Turnover sukarela (voluntary turnover) adalah keluarnya karyawan dari perusahaan dengan kemauannya sendiri. Sementara turnover tidak
sukarela (involuntary turnover) adalah keluarnya karyawan berdasarkan keputusan perusahaan.
Sementara menurut (Dalton, Tudor, & Krackhard, 1987 ; Jewell & Siegall,
1998) terdapat organisasi yang tidak keberatan atas turnover sukarela karyawannya, sehingga turnover sukarela dibagi menjadi fungsional dan
disfungsional. Turnover disfungsional terjadi apabila karyawan yang
Sementara karyawan yang meninggalkan organisasi dan organisasi tidak
keberatan disebut dengan turnover fungsional.
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa terdapat empat jenis pembagian turnover yang dibagi atas keadaan karyawan saat keluar dan bagaimana dari sisi
organisasi tempatnya bekerja. Pada penelitian ini turnover yang dimaksudkan adalah turnover sukarela (voluntary turnover).
5. Definisi Turnover intention
Turnover intentions diindikasikan sebagai sifat individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan hubungannya dengan organisasi dimana
dirinya bekerja dan belum terwujud dalam bentuk tindakan (Suwandi dan Indrantoro, 1999). Sementara Sousa-Poza & Henneberger (2002) menDefinisikan turnover intention sebagai kemungkinan yang bersifat subjektif bahwa individu
akan mengganti pekerjaannya dalam jangka waktu tertentu.
Menurut Mobley (2011) turnover intentions merupakan prediktor dominan
yang bersifat positif terhadap terjadinya turnover. Karatepe & Ngeche (2012) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki turnover intention cenderung memberikan pelayanan yang buruk dan dapat mengganggu efektivitas organisasi.
Lambert, Cluse-Tolar, Pasupuleti, Prior, & Allen (2012) mengemukakan bahwa turnover intention adalah prediktor terkuat untuk memprediksikan turnover.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa turnover intentions adalah intention karyawan untuk berhenti dari pekerjaan dimana ia bekerja selama
ini.
6. Aspek-Aspek Turnover intention
Berdasarkan aspek-aspek intention yang dikemukakan Ajzen (1991) melalui theory of planned behavior dan perilaku yang dimaksudkan adalah
turnover, maka dikembangkan aspek-aspek turnover intentions, yaitu :
a. Attitudetoward turnover
Aspek ini menjelaskan bagaimana sikap seseorang berdasarkan pandangan
dan evaluasi terhadap turnover. b. Subjective norms toward turnover
Aspek ini berisikan bagaimana persepsi seseorang dengan
mempertimbangkan pendapat orang-orang yang berpengaruh baginya terhadap turnover.
c. Perceived behavioral control toward turnover
Aspek ini menjelaskan bagaimana kontrol seseorang terhadap turnover, dimana hal ini didukung dengan sejauhmana seseorang memiliki
7. Faktor-Faktor Turnover
Price (2001) mengemukakan beberapa faktor yang mendukung terjadinya
turnover, yaitu:
a. Opportunity, yaitu adanya ketersediaan alternatif pekerjaan lain dan daya
tarik lingkungan, daya tarik lingkungan mengacu pada tingkat gaji yang lebih tinggi. Faktor ini memiliki hubungan positif dengan tindakan turnover.
b. Kinship responsibility, yaitu adanya kewajiban terhadap kerabat yang tinggal di masyarakat, seperti orang tua, kakek dan nenek. Faktor ini memiliki hubungan negatif dengan tindakan turnover.
c. General training, yaitu pelatihan yang diberikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan yang dibutuhkan perusahaan.
Faktor ini memiliki hubungan negatif dengan turnover.
d. Job satisfaction, merupakan bagaimana seorang individu menyukai
pekerjaannya. Faktor ini memiliki hubungan negatif dengan turnover, job satisfaction ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1) Job involvement, merupakan kemauan untuk mengerahkan usaha
pada pekerjaan tanpa mengacu kepada pekerjaan spesifik. Faktor ini dapat mengurangi turnover dikarenakan memberikan pengaruh
positif terhadap kepuasan kerja
2) Positive and negative affectivity, merupakan kecenderungan seseorang mengalami keadaan yang menyenangkan atau tidak
dengan perspektif subjektif masing-masing individu, apabila yang dirasakan negative affectivity maka akan menurunkan kepuasan
kerja dan dapat meningkatkan turnover.
3) Autonomy, merupakan sejauh mana individu dapat mandiri
terhadap pekerjaannya. Faktor ini dapat mengurangi turnover dikarenakan memberikan efek positif pada kepuasan kerja.
4) Distributive justice, seperti apa reward ataupun punishment yang
diberikan perusahaan terhadap job performance individu. Faktor ini memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan kerja sehingga
mengurangi turnover.
5) Job stress, sejauh mana individu merasakan kesulitan untuk memenuhi kewajiban atas pekerjaannya. Dimana stress yang
dirasakan karyawan dapat mempengaruhi kinerja. Faktor ini mengurangi turnover dikarenakan memberikan efek negatif
terhadap kepuasan kerja.
6) Pay, merupakan uang atau imbalan yang diterima individu atas kinerja yang telah mereka berikan. Faktor ini memberikan efek
positif terhadap kepuasan kerja sehingga dapat mengurangi turnover.
8) Routinization, sejauh mana suatu pekerjaan dilakukan berulang-ulang oleh individu. Faktor ini mengurangi turnover dengan
memberikan dampak negatif terhadap kepuasan kerja.
9) Social support, bagaimana dukungan yang didapat untuk
menghadapi masalah dalam pekerjaan. Dukungan dari pengawas dalam perusahaan dan dukungan dari rekan kerja memberikan dampak positif terhadap kepuasan kerja dan mengurangi turnover.
e. Organizational commitment, berfokus kepada loyalitas individu terhadap pekerjaannya. Faktor ini memiliki hubungan negatif dengan turnover,
tetapi faktor ini juga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu:
1) Distributive justice, faktor ini memberikan efek positif terhadap organizational commitment
2) Promotional chances, faktor ini memberikan efek positif terhadap organizational commitment, dan
3) Social support, dukungan yang didapat dari pengawas juga memberikan efek positif terhadap organizational commitment dan dapat mengurangi turnover.
f. Search behavior, tindakan individu untuk mecari alternative pekerjaan lain. Faktor ini meningkatkan terjadinya turnover.
B.Psychological Well-being
1. Definisi Psychological Well-being
Ryff mengembangkan teori psychological well-being pada tahun 1989, dan mendefinisikan psychological well-being sebagai fungsi psikologis yang
positif. Psychological Well-being adalah suatu keadaan dimana hidup seseorang berjalan dengan baik, seseorang merasa baik dan dirinya berfungsi dengan efektif. Kestabilan psychological well-being bukan hanya berfokus pada keadaan baik
yang dialami secara berkelanjutan, pengalaman dari emosi negatif seperti kekecewaan adalah hal normal dalam kehidupan dan kemampuan untuk mengatasi
emosi negatif tersebut adalah kunci dari kebertahanan psychological well-being pada diri seseorang (Huppert, 2009).
Ryff (1989) mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan
individu saat dapat menerima kekuatan dan kelemahanan dirinya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki kemampuan untuk mengarahkan
tingkah lakunya, mampu untuk mengatur lingkungan, memiliki tujuan dalam hidup dan mampu untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Selanjutnya Ryff & Keyes (1995) menjelaskan psychological well-being sebagai
dorongan yang dimiliki individu untuk menggali potensi dirinya, dimana dorongan tersebut dapat menyebabkan individu berusaha untuk memperbaiki
keadaan hidupnya sehingga individu tersebut memiliki psychological well-being yang tinggi.
Ryff (1989) mengemukakan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki
kehidupannya, memiliki kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk, memiliki hubungan positif dengan orang lain,
mampu menentukan tujuan dalam hidupnya tanpa bergantung dengan orang lain, mampu mengontrol lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas dan
mampu mengembangkan potensi dirinya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah keadaan individu yang mampu untuk menerima kelebihan dan
kekurangan dirinya, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, memiliki kemampuan untuk mengatur lingkungan sekitarnya, mampu untuk mengarahkan
dirinya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, memiliki tujuan hidup dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi dalam dirinya.
2. Dimensi-dimensi Psychological well-being
Ryff (1989) mengemukakan terdapat enam dimensi psychological
well-being, yaitu :
a. Self Acceptance
Self Acceptance adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya baik
pada pada masa kini maupun masa lalunya. Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini akan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan
menerima aspek dalam diri baik yang positif maupun negatif, bersikap positif terhadap masa lalu.
Sebaliknya, individu yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini akan
masa lalu, merasa bermasalah dengan kualitas yang dirinya miliki dan ingin menjadi individu yang berbeda dari dirinya yang sekarang.
b. Positive relations with other
Positive relations with other adalah kemampuan individu menjalin
hubungan yang baik dengan orang disekitarnya. Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini adalah individu yang hangat, memiliki hubungan saling percaya dengan orang lain, perhatian kepada kesejahteraan orang lain, memiliki
afeksi, empati dan keakraban dengan orang lain serta mengerti akan hubungan memberi dan menerima dalam kehidupan.
Sebaliknya, individu yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini adalah individu yang hanya memiliki sedikit teman dekat, sulit untuk bersikap hangat, terbuka dan perhatian terhadap orang lain, merasa terisolasi dan frustasi dalam
hubungan dengan orang lain serta tidak bersedia untuk membuat kompromi agar mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.
c. Autonomy
Autonomy adalah kemampuan individu untuk bebas tetapi mampu untuk mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang memiliki nilai tinggi pada
dimensi ini adalah individu yang mampu mengatur dirinya sendiri, mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu dan
mengevaluasi diri dengan standar yang telah dirinya tentukan.
Sebaliknya, individu yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini adalah individu yang berfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain, bergantung
dengan tekanan sosial dan berlaku sesuai dengan yang diinginkan lingkungan sosial.
d. Environmental mastery
Environmental mastery adalah kemampuan individu untuk mengatur
lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada pada lingkungan, menciptakan dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini adalah individu yang memiliki penguasaan
dan kompetensi dalam mengatur lingkungan, dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang ada di lingkungan termasuk mengatur dan mengendalikan situasi
kehidupan sehari-hari dan mampu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan.
Sementara individu yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini adalah
individu yang kesulitan untuk mengatur urusan sehari-hari, merasa tidak dapat merubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitar dan tidak mampu
memanfaatkan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. e. Purpose in life
Purpose in life adalah individu memiliki pemahaman yang jelas terhadap
tujuan hidupnya, memiliki keyakinan untuk mencapai tujuan tersebut dan merasa bahwa pengalaman di masa lalu dan sekarang memiliki makna untuk hidup.
Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dalam hidup, merasa adanya makna dalam kehidupan pada masa kini dan pada masa kehidupan yang telah dilewati dan memiliki keyakinan dalam
Sementara individu yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini merupakan individu yang kehilangan makna hidup, memiliki tujuan dan arah
hidup yang tidak jelas, tidak melihat adanya makna hidup dari pengalaman masa lalu dan tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang dapat memberikan makna
dalam hidup.
f. Personal growth
Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini adalah individu yang
memiliki keinginan untuk terus berkembang, memandang dirinya sebagai individu yang tumbuh dan berkembang, terbuka pada pengalaman baru, memiliki
kemampuan untuk menyadari potensi pada dirinya, dapat merasakan peningkatan pada diri dan perilakunya serta dapat berubah menjadi individu yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang terus bertambah.
Individu yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini adalah individu yang merasa dirinya tidak mengalami perubahan tidak merasa bahwa dirinya
mengalami peningkatan atau pengembangan, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupannya dan merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau perilaku baik.
C. Job embeddedness
1. Definisi Job embeddedness
Mitchell, Holtom & Lee (2001) mendefinisikan job embeddedness sebagai dorongan kognitif seseorang yang merupakan gabungan dari dimensi organisasi dan komunitas yang dapat menjaga seseorang untuk memilih bertahan pada
individu. Mitchell, Holtom & Lee (2001) berpendapat bahwa bertahannya individu pada pekerjaannya merupakan hasil dari gabungan faktor organisasi (
on-the-job embeddedness) dan faktor komunitas (off-the-job embeddedness), gabungan kedua faktor tersebutlah yang disebut dengan job embeddedness.
Job embeddedness berbeda dengan konstruk sikap kerja yang selama ini
diukur, sikap kerja yang selama ini diukur berfokus pada komponen afektif dan faktor organisasi. Namun, job embeddedness mencakup faktor organisasi (on-the
job embeddedness) dan komunitas (off-the-job embeddedness) dan
menggabungkan komponen afektif dan kognitif, sehingga gabungan faktor dan
komponen tersebutlah yang memprediksikan bertahannya individu pada pekerjaannya (Mitchell, Holtom & Lee, 2001).
Individu yang mengalami suatu kejadian pada tempat kerjanya yang
menyebabkan dirinya memiliki pemikiran untuk keluar dari pekerjaannya dapat dicegah karena adanya faktor keterikatan baik yang berdasarkan on-the-job
embeddedness maupun off-the-job embeddedness. Oleh karena itu, individu dengan job embeddedness yang tinggi akan bertahan di organisasi walaupun berada pada lingkungan kerja yang tidak memuaskan (Mitchell, Holtom & Lee,
2001).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa job embeddedness
2. Dimensi job embeddedness
Mitchell, Holtom & Lee (2001) mengemukakan dimensi job
embeddedness terbagi dua yaitu on-the-job embeddedness dan off-the-job embeddedness. Selanjutnya kedua dimensi tersebut masing-masing dibagi menjadi
tiga dimensi, sehingga job embeddedness memiliki 6 dimensi yaitu : a. On-the-job embeddedness
1. Links-organization
Links menggambarkan sejauh mana individu terkait dengan orang lain daam organisasi dan terkait dengan aktivitas organisasi. Didalamnya mencakup
hubungan formal dan informal individu dengan orang lain. Hubungan yang terjadi di tempat kerja seperti hubungan dengan atasan atau rekan kerja dan menjadi anggota tim kerja. Mitchell menyatakan bahwa semakin meningkat links antara
individu dan organisasi maka individu akan semakin terikat dengan pekerjaannya. 2. Fit-organization
Dimensi ini menjelaskan kecocokan dan kenyamanan individu dengan pekerjaannya, organisasi seperti apa yang dianggap cocok dengan ketertarikan individu. Penentu utama pada person-organization fit adalah kesesuaian
norma-norma dan nilai-nilai organisasi dengan nilai-nilai yang dimiliki individu. Artinya, nilai-nilai pribadi, tujuan karir individu dan rencana masa depan harus sesuai
3. Sacrifice-organization
Dimensi ini menjelaskan kerugian secara material dan psikologis yang
akan dirasakan individu apabila meninggalkan organisasi. Ketika individu meninggalkan organisasi, individu tersebut akan kehilangan proyek yang menarik,
tunjangan, rekan kerja, kompensasi, pensiun dan kesehatan serta peluang promosi. Semakin besar kehilangan yang akan dialami individu ketika meninggalkan organisasi maka akan semakin sulit individu tersebut untuk meninggalkan
organisasinya.
b. Off-the-job embeddedness
4. Links-community
Links menggambarkan sejauh mana individu terkait dengan orang lain dalam komunitasnya dan terkait dengan aktivitas komunitas Didalamnya
mencakup hubungan formal dan informal individu dengan orang lain. Hubungan yang terjadi di komunitas seperti hubungan dengan teman-teman yang selalu
berkumpul dalam jangka waktu tertentu atau hubungan kerabat dengan tetangga, jumlah anak dan sekolah anak yang berada di dekat lingkungan rumah. Mitchell menyatakan bahwa semakin meningkat links antara individu dan komunitas maka
individu akan semakin terikat dengan pekerjaannya. 5. Fit-community
Dimensi ini menjelaskan kecocokan dan kenyamanan individu dengan komunitasnya, lingkungan seperti apa yang dianggap cocok dengan individu. Faktor-faktor yang mempengaruhi person-community fit adalah jenis dan ukuran
individu dan komunitasnya maka semakin kecil kemungkinan individu meninggalkan pekerjaannya.
6. Sacrifice-community
Dimensi ini menjelaskan kerugian pada komunitas yang akan dirasakan
individu apabila memutuskan untuk meninggalkan organisasi seperti pindahnya dari lingkungan yang harmonis, meninggalkan lingkungan dimana sesama tetangga saling membantu atau meninggalkan lingkungan yang aman.
D. Pengaruh Psychological well being terhadap Turnover intentions
Sumber daya manusia merupakan aset yang sangat penting untuk sebuah
organisasi dikarenakan seberapa modern teknologi yang digunakan organisasi dan seberapa banyak dana yang dipersiapkan perusahaan tidak akan bermakna tanpa adanya sumber daya manusia yang profesional (Tjutju, 2008). Perkembangan
ekonomi yang semakin pesat menuntut organisasi untuk melakukan perubahan-perubahan sehingga menyebabkan tekanan kepada karyawan. Tekanan yang
dirasakan dapat menyebabkan karyawan merasa tidak cocok dengan tempat kerjanya, hal ini dapat berakhir dengan pilihan karyawan untuk keluar (turnover) dari pekerjaannya (Faslah, 2010).
Berdasarkan teori perilaku Fishbein dan Ajzen (1975) terdapat intention yang mendahului munculnya perilaku dan dapat memprediksikan munculnya
Psychological well-being merupakan hal penting bagi kesehatan karyawan dan keberhasilan jalannya organisasi (Macdonald, 2010). Selanjutnya, Macdonald
(2010) mengemukakan bahwa meningkatkan psychological well-being karyawan akan memberikan manfaat untuk individu dan organisasi. Dalam dunia bisnis,
investasi pada psychological well-being menjadi fokus dikarenakan investasi tersebut menunjukkan hasil yang baik untuk organisasi seperti meningkatnya performa karyawan dan menurunnya tingkat absensi karyawan. Absensi karyawan
merupakan salah satu sikap negatif karyawan terhadap pekerjaannya dan dapat berakhir pada tindakan turnover (Gilmer, 1966).
Penelitian yang dilakukan Vandenberg dan Nelson (1999) menjelaskan bahwa komitmen organisasi, kepuasan kerja dan psychological well-being dapat menjadi prediktor dari munculnya turnover intentions. Selanjutnya dalam hasil
peneltiannya Vandenberg dan Nelson (1999) mengemukakan bahwa bahwa karyawan yang telah memenuhi psychological well-being mereka akan lebih
berkontribusi terhadap organisasi, lebih produktif dan akan memliki turnover intentions yang rendah.
Hasil penelitian Beach, Brereton dan Cliff (2003) menjelaskan bahwa
psychological well-being seseorang dapat mengurangi keinginan seseorang untuk meninggalkan pekerjaannya (turnover intention). Selanjutnya, hasil penelitian
Penelitian lain yang sejalan adalah hasil penelitian Harris & Cameron (2005) mengemukakan bahwa psychological well-being yang dimiliki seorang
individu dapat mengurangi turnover intention, meningkatkan peran individu dalam organisasi dan juga dapat mengurangi job dissatisfaction. Selanjutnya,
Dike (2011) menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki psychological well-being yang baik akan memilih untuk bertahan pada tempat kerjanya dan cenderung tidak akan melakukan turnover.
Berdasarkan teori-teori dan penelitian terdahulu oleh para ahli diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat apakah psychological well being berpengaruh
negatif terhadap turnover intentions.
E. Pengaruh Job embeddedness terhadap Turnover intentions
Tumbuhnya sebuah organisasi tidak terlepas dari adanya sumber daya
manusia (SDM) berkualitas yang mendasari jalannya organisasi untuk mencapai tujuan. Organisasi memerlukan sumber daya manusia yang bermutu dan dapat
mempertahankan kualitas kerja sehingga dapat mengendalikan biaya ketenagakerjaan (Cascio, 1998). Turnovernya karyawan dari pekerjaannya menunjukkan bahwa sebuah organisasi sedang mengalami masalah serius
dikarenakan kehilangan karyawan yang berpotensi, menimbulkan biaya tambahan untuk rekrutmen dan training (Loi, Hang-yue & Foley, 2006). Mempertahankan
Untuk mempertahankan karyawan dalam suatu perusahaan diperlukan kombinasi dorongan kognitif yang didasari oleh faktor organisasi dan komunitas
yang disebut dengan job embeddedness (Mitchell, Holtom & Lee, 2001). Job embeddedness mulai diakui sebagai faktor penting untuk mempertahankan
karyawan dan dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi organisasi (Bakker, Schaufeli, Leiter & Taris, 2008).
Hasil penelitian (Mitchell, Holtom & Lee, 2001) mengemukakan bahwan
job embeddedness dapat mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja pada organisasi dan dapat memprediksikan turnover intentions karyawan (Mitchell,
Holtom & Lee, 2001). Selanjutnya, Fletcher (2005) yang menunjukkan bahwa job embeddedness memiliki hubungan negatif dengan turnover intentions. Selanjutnya, hasil penelitian Besich (2005) mengemukakan job embeddedness
dapat memprediksikan turnover secara signifikan.
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, pada hasil penelitian Ramesh &
Gelfand (2010) menegaskan bahwa dikarenakan kemungkinan adanya resiko secara personal, maka karyawan yang merasa embedd dengan pekerjaannya akan cenderung lebih menunjukkan turnover intentions yang rendah. Selanjutnya, hasil
penelitian Khattak, Hussain, Mehmood, Mumtaz, Rehman dan Rehman (2012) menunjukkan bahwa job embeddedness dapat mengurangi turnover dan dapat
Hasil penelitian lain yang sejalan adalah hasil penelitian Brian (2014) yang menunjukkan bahwa teori job embeddedness merupakan prediktor yang baik
untuk memprediksikan turnover, sehingga karyawan yang memiliki job embeddedness yang baik akan memiliki turnover yang rendah dan sebaliknya.
Berdasarkan teori dan penelitian-penelitian terdahulu, maka peneliti tertarik untuk melihat apakah job embeddedness berpengaruh negatif terhadap turnover intentions.
F. Pengaruh Psychological Well-being dan Job embeddedness terhadap Turnover intentions
Pada era kompetitif ini turnover menjadi perhatian penting departemen sumber daya manusia di dalam suatu organisasi dan merupakan permasalahan serius yang dihadapi organisasi di seluruh dunia (Singh & Amish, 2015).
Turnover intention merupakan niat seorang karyawan untuk keluar dari organisasi tempatnya bekerja, turnover intention mendahului terjadinya turnover (Sharma &
Nambudiri, 2013). Dengan meningkatnya kompetisi dan tuntutan yang berasal dari lingkungan kerja maka penting untuk menanggapi turnover intention yang dimiliki karyawan (Singh & Amish, 2015).
Individu yang memiliki psychological well-being yang baik akan memiliki produktifitas yang baik dan menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaan,
sehingga tingkat absensi dan tingkat turnover intentions akan menurun (Wright, 2009). Hal ini didukung dengan hasil penelitian Vaart, Linde, Beer & Cockeran (2014) yang mengemukakan bahwa psychological well-being seorang individu
Bertahannya individu pada pekerjaan didasarkan pada proses kognitif karyawan dan faktor-faktor yang mempengaruhi, dorongan individu untuk
bertahan pada organisasi merupakan job embeddedness (Mitchell, Holtom & Lee, 2001). Individu yang memiliki job embeddedness yang tinggi akan memilih untuk
tetap bertahan pada organisasi dan job embeddedness merupakan prediktor dari turnover intentions (Mitchel, Holtom & Lee, 2001).
Hal di atas didukung oleh hasil penelitian Karatepe (2012) yang
menunjukkan bahwa job embeddedness berhubungan negatif dengan turnover intentions sehingga karyawan yang memiliki job embeddedness yang baik akan
menunjukkan tingkat turnover intentions yang rendah.
Berdasarkan teori-teori terdahulu yang telah ditemukan oleh para ahli diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat apakah psychological well being dan
job embeddedness berpengaruh terhadap turnover intentions.
G. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesa penelitian yang diajukan pada penelitian ini adalah :
H1 : ada pengaruh negatif psychological well-being terhadap turnover
intentions
H2 : ada pengaruh negatif job embeddedness terhadap turnover intentions
H3 : ada pengaruh psychological well-being dan job embeddedness terhadap