• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengaruh Transfer Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Transfer Dana Perimbangan

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini yang akan menjadi dasar pemikiran teori adalah komponen transfer dana perimbangan. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 19). Dana perimbangan terdiri atas, 1) Dana Bagi Hasil (DBH); 2) Dana Alokasi Umum (DAU); dan 3) Dana Alokasi Khusus (DAK). Menurut Bastian (2006) dalam Syahputra (2010: 30), perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.

(2)

(2006) yaitu menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh daerah. Selain itu, tujuan transfer adalah mengurangi kesenjangan keuangan horisontal antardaerah, mengurangi kesenjangan vertikal pusat-daerah, mengatasi persoalan ketimpangan pelayanan publik antardaerah, dan untuk menciptakan stabilisasi aktifitas perekonomian di daerah.

Rosen (2002) dalam Purnomo (2011: 4), membagi jenis transfer menjadi dua macam yaitu conditonal grant dan unconditional grant. Conditional grant adalah transfer khusus yang diberikan kepada pemerintahan daerah untuk tujuan khusus, misalnya untuk Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Jadi, conditional grant serupa dengan matching grant. Sementara, unconditonal grant diberikan kepada pemerintahan daerah tanpa persyaratan tertentu dan pada umumnya berkaitan dengan usaha-usaha produktif untuk investasi pada badan usaha. Sering juga unconditional grant disebut revenue sharing. Menurut Brojonegoro dan Vazquez (2005: 159), transfer tidak bersyarat (unconditional grants) di Indonesia adalah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil, sedangkan transfer bersyarat (conditional grants) berupa Dana Alokasi Khusus.

(3)

sesuai dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan yang menjadi prioritas daerahnya (Iskandar, 2012: 115).

Menurut BPPK (2006) dalam Iskandar (2012: 115), conditional transfer digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh pemerintahan pusat namun kurang dianggap penting oleh daerah. Transfer ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis.

a) Transfer Pengimbang (matching grants). Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan pusat kepada daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Di sini pemerintahan daerah telah mengalokasikan sejumlah dana dari pendapatan daerahnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut, hanya dananya belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari pemerintahan pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Transfer pengimbang ini juga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu transfer pengimbang tidak terbatas (open-ended matching grants) dan transfer pengimbang terbatas ( closed-ended matching grants).

(4)

limpahan manfaat (eksternalitas) terutama kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat tersebut. Jadi meskipun pemerintahan daerah telah mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh pemerintahan pusat untuk mendorong pemerintahan daerah agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi tersebut.

2.1.1.1 Unconditional Grants

Menurut Brojonegoro dan Vazquez (2005: 159), transfer tidak bersyarat (unconditional grants) di Indonesia adalah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil.

(5)

Tim asistensi Kementerian Keuangan bidang desentralisasi fiskal mengatakan, DAU merupakan dana perimbangan yang memiliki tujuan utama untuk pengurangan kesenjangan fiskal antardaerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk pengalokasian DAU sudah tepat untuk diadopsi di Indonesia, karena memperhitungkan dua aspek sekaligus, yaitu kebutuhan dan juga kemampuan fiskal pemerintahan daerah, dengan kondisi yang diharapkan, antara lain: 1) DAU harus mampu mengatasi horizontal imbalance yang sampai saat ini masih cukup tinggi; 2) Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah; 3) Perhitungan DAU dilakukan oleh lembaga independen yang terlepas dari berbagai kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu kepentingan pemenuhan standar pelayanan minimum.

(6)

sumber-sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi penerimaan pajak pusat dan penerimaan dari sumber daya alam. Bagian daerah dari pajak maupun sumber daya alam tersebut telah ditetapkan besarnya berdasarkan suatu persentase tertentu (Masdjojo dan Sukartono, 2009: 37).

Dasar hukum DBH dalam undang-undang terbaru selain Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/ 07/ 2012 tentang pengalokasian anggaran transfer ke daerah, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/ 03/ 2013 tentang penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari: Pajak Bumi dan Bagunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang penetapan alokasinya diatur dalam lampiran PMK No. 05 Tahun 2007, sedangkan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 serta Wajib Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh 21) penetapan alokasinya diatur dalam lampiran PMK No. 127 Tahun 2006. Kemudian, untuk bagi hasil dari sumber daya alam (bukan pajak), terdiri dari: sumber daya kehutanan, sumber daya kelautan (perikanan), pertambangan umum, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

(7)

PBB). Peraturan baru ini menjelaskan persentase pembagian DBH PBB yang baru antara pemerintahan pusat dan daerah untuk sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan sektor pertambangan (Peraturan Ditjen Perbendaharaan, 2013).

2.1.1.2 Conditional Grant

Menurut Brojonegoro dan Vazquez (2005: 159), transfer bersyarat (conditional grant) di Indonesia adalah dalam bentuk Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Khusus–selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 23). Pemerintahan pusat menetapkan DAK untuk suatu daerah dengan memperhatikan beberapa kriteria tertentu: a) kriteria umum, ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); b) kriteria khusus, ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah; dan terakhir c) kriteria teknis, ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis (Ulum, 2008: 105).

(8)

prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan yang tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan/kondisi khusus adalah: 1) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam artian kebutuhan tersebut tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, seperti: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis sarana/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan 2) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional (Syahputra, 2010: 28).

Sebagai contoh, beberapa waktu lalu Gubsu telah memaparkan mengenai kemajuan pembangunan infrastruktur jalan dan irigasi. Mengenai infrastruktrur, ujar Gubsu, memang ruas jalan di Provinsi Sumatera Utara merupakan ruas jalan terpanjang dari Provinsi lain. Tak bisa dipungkiri, keluhan akan infrastruktur jalan ini menjadi keluhan utama saat para Gubernur melakukan rapat koordoinasi dengan Presiden. Hal yang menggembirakan di Sumut adalah telah dimulainya pembangunan jalan tol Medan-Binjai dan jalan tol Medan-Tebing Tinggi yang tentunya akan memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Untuk tahun 2015, pembenahan infrastruktur seperti jalan dan irigasi dianggarkan dari DAK (Waspada Online, 9 November 2014).

2.1.2 Pendapatan Asli Daerah

(9)

bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, danlain-lain PAD yang sah yang dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan desentralisasi (Ndadari dan Adi, 2008: 5).

Menurut Ndadari dan Adi (2008: 6), PAD memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian daerah. Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk mencapai pendapatan per kapita yang lebih baik. Apabila suatu daerah PAD-nya meningkat maka dana yang dimiliki pemerintahan akan meningkat pula. Peningkatan ini akan menguntungkan pemerintahan, karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerahnya.

Kendala utama yang dihadapi pemerintahan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari PAD. Proporsi PAD yang rendah, di lain pihak menyebabkan pemerintahan daerah memiliki derajat kebebasan (diskresi) yang rendah pula dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik belanja rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum. Kenyataan ini tentu tidak sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi daerah, yaitu memandirikan daerah dengan potensi-potensi yang dimilikinya.

(10)

daerah dapat menghasilkan PAD yang signifikan, tentu pemerintahan daerah lebih memiliki keleluasaan yang lebih besar dalam merencanakan pembangunan sesuai dengan inisiasi sendiri (Kuncoro, 2007: 2).

Wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi yang diatur dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2000, yang tata cara pelaksanaannya diperbaharui dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi (Rahmawati, 2009: 34). Pemerintahan daerah dituntut kemandiriannya dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal secara bertanggungjawab. Karenanya, pajak dan retribusi yang pemungutannya telah diserahkan dan menjadi urusan pemerintahan daerah sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi fiskal, harus dikelola dan ditingkatkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Hal ini mengingat bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan kelompok PAD dan menjadi sumber pendanaan bagi keberlangsungan pembangunan dalam kerangka otonomi daerah (Peraturan Pemerintah, 2010).

Menurut jenisnya, PAD dikelompokkan menjadi empat jenis pendapatan, adalah sebagai berikut.

(11)

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Bermotor, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak yang dipungut oleh kabupaten/kota meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengelolahan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir.

2. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintahan daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi ini dirinci menjadi:

a) Retribusi Jasa Umum, meliputi: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Maya, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksanaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, dan Retribusi Pengujian Kapal Perikanan,

(12)

Penyedotan Kakus, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Penyeberangan di atas Air, dan Retribusi Pengolahan Air Limbah,

c) Retribusi Perijinan Tertentu, meliputi: Retribusi Izin Mendirikan Bagunan, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan, dan Retribusi Izin Trayek.

3. Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan, terdiri dari: bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintahan daerah/negara dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, seperti penerimaan jasa giro, penerimaan bunga, penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah, komisi denda keterlambatan pekerjaan, dan lain-lain.

2.1.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

(13)

juga mempunyai pengertian yang sama tapi hanya dalam lingkup suatu daerah (Risuhendi, 2012: 22).

Perhitungan PDRB dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, pertama yaitu pendekatan produksi yang menyangkut jumlah nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu daerah selama jangka waktu tertentu. Pendekatan kedua yaitu pendekatan pendapatan, merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi dalam suatu proses produksi. Pendekatan ketiga yaitu pendekatan pengeluaran, menyangkut jumlah pengeluaran yang dilakukan baik oleh rumah tangga, swasta, maupun pemerintahan.

Badan Pusat Statistik (BPS), Lembaga Keuangan, dan Bappeda baik tingkat kabupaten maupun provinsi selalu mencantumkan PDRB menurut harga berlaku (current year price) dan harga konstan (basic year price), menurut harga berlaku artinya nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan harga pada tahun yang bersangkutan, sedangkan harga konstan dihitung berdasarkan tahun dasar yang telah ditetapkan menurut suatu tahun tertentu. Tahun dasar biasanya digunakan tiap sepuluh tahun sekali. Dari pengalaman diketahui bahwa nilai satuan uang sepanjang waktu mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi karena penurunan nilai uang, akibat inflasi atau kenaikan harga umum, ataupun sebaliknya terjadi penurunan tingkat harga umum (Abonia. 2014: 29).

(14)

kekayaan yang bertambah. Dan pada gilirannya juga akan berdampak pada PAD yang mengalamai kenaikan, sehingga sangat dimungkinkan ada hubungan antara PDRB dengan PAD.

2.1.4 Belanja Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 16, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sumber -sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan pinjaman daerah. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah, pada prinsipnya lebih menyangkut persoalan tentang pembagian kekuasaan. Terutama hak mengambil keputusan mengenai anggaran, yaitu bagaimana memperoleh dan membelanjakannya. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyaraka yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Belanja urusan pilihan, terdiri dari: pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan perikanan, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi (Syahputra, 2010: 31).

(15)

kegiatan, yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran dan memperjelas efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Berdasarkan Permendagri No. 22/ 2011, belanja daerah dapat diklasifikasikan ke beberapa bagian.

1. Belanja Tidak Langsung, merupakan belanja yang penganggarannya tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya usulan program atau kegiatan. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan setiap bulan dalam satu tahun anggaran sebagai konsekuensi kewajiban pemerintahan daerah secara periodik kepada pegawai yang bersifat tetap (pembayaran gaji dan tunjangan) dan atau kewajiban untuk pengeluaran belanja lainnya yang diperlukan secara periodik. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

a) Belanja Pegawai, merupakan belanja kompensasi dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,

b) Belanja Bunga, digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian-pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang,

(16)

jual dari produksi/jasa yang dihasilkan tersebut dapat terjangkau oleh masyarakat luas,

d) Belanja Hibah, digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang, dan atau jasa kepada pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya,

e) Belanja Bantuan Sosial, digunakan untuk pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan atau barang kepada kelompok atau anggota masyarakat, dan partai politik, yang pemberiannya secara selektif, serta memiliki kejelasan peruntukan penggunaanya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan berdasarkan keputusan kepala daerah,

f) Belanja Bagi Hasil, digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan pemerintahan provinsi kepada kabupaten/kota atau pendapatan pemerintahan desa atau pendapatan pemerintahan tertentu kepada pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,

(17)

h) Belanja Tidak Terduga, merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan terjadi berulang, seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah untuk tahun-tahun yang telah ditutup.

2. Belanja Langsung, merupakan belanja yang penganggarannya dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

a) Belanja Pegawai, merupakan belanja digunakan untuk mendanai pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah,

(18)

c) Belanja Modal, merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka menambah nilai aset tetap berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan.

2.1.5 Teori Belanja Pemerintahan

Teori belanja pemerintahan yang digunakan sebagai kajian pustaka dalam penelitian ini adalah Hukum Wagner dan Teori Peacock dan Wiseman.

1) Hukum Wagner

Hukum Wagner berbicara mengenai perkembangan aktivitas pemerintahan. Wagner mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintahan yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner berpendapat bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita menunjukkan peningkatan, maka secara relatif pengeluaran pemerintahan pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum

tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju, seperti Amerika, Jerman, dan Jepang. Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintahan menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintahan harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat (Iskandar, 2012: 117).

(19)

lainnya. Menurut Wagner, ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintahan selalu meningkat, yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, trend urbanisasi yang mengiringi laju pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi, dan ketidakefisienan birokrasi (Purnomo, 2011: 6).

Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan hubungan antarsektor industri dan hubungan antara industri dengan masyarakat akan semakin kompleks, sehingga potensi terjadinya eksternalitas negatif menjadi semakin besar. Misalnya, pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengendalikan dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintahan juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Di antara tujuan utama implementasi transfer adalah untuk mengatasi masalah eksternalitas yang dimaksud.

2) Teori Peacock dan Wiseman

(20)

mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat di mana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintahan untuk membiayai pengeluaran pemerintahan tersebut. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintahan membutuhkan dana untuk membiayai aktivitasnya sehingga mereka membutuhkan tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintahan untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena (Iskandar, 2012: 117).

Teori Peacock dan Wiseman menyebutkan bahwa meningkatnya pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun mungkin tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintahan juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintahan akan semakin besar. Begitu juga dengan pengeluaran pemerintahan yang akan menjadi semakin besar pula. Pengeluaran tersebut sebagian digunakan untuk administrasi pembangunan dan sebagian lagi untuk kegiatan belanja pembangunan di berbagai jenis infrastruktur yang penting dan strategis. Anggaran-anggaran tersebut akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi (Purnomo, 2011: 6).

(21)

perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak tersebut. Disebutkan bahwa limit perpajakan adalah sebesar 25 persen dari pendapatan nasional. Apabila limit dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan lainnya.

2.1.6 Analisis Flypaper Effect

(22)

Interpretasi tentang flypaper effect ini berangkat dari asumsi bahwa dana yang ditransfer dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah haruslah setara dengan kenaikan pendapatan masyarakatnya. Pendekatan tersebut memberikan gambaran bahwa setiap kenaikan transfer yang diberikan oleh pemerintahan pusat untuk daerah otonom haruslah sepadan dengan kenaikan pendapatan masyarakat daerah otonom tersebut. Artinya bahwa, setiap rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintahan pusat sebagai bantuan (transfer) ke pemerintahan daerah, mestinya memberikan pengaruh yang juga sama besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat lokal, otomatis akan memperbesar potensi pajak lokal, oleh karena peningkatan pendapatan tersebut disetor ke kas daerah sebagai pajak untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (Suyanto, 2010: 74).

(23)

pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara optimal (Kuncoro, 2007: 6).

Flypaper effect erat kaitannya dengan efisiensi penggunaan anggaran untuk belanja daerah. Dalam konteks daerah yang mengalami flypaper effect, daerah tersebut akan cenderung menuntut transfer yang lebih besar untuk pembiayaan publik dari pemerintahan pusat, sehingga pengeluaran pemerintahan pusat menjadi berat sebelah. Penerimaan pajak yang dipungut oleh pemerintahan pusat akan bertambah untuk memenuhi permintaan daerah tersebut, sementara pelayanan yang diberikan pemerintahan pusat cenderung stagnan. Sebaliknya, penerimaan pajak daerah mungkin menurun tetapi pelayan publiknya tetap dan cenderung bertambah, karena dibiayai oleh unconditional grants.

(24)

yang bersifat asimetris seperti ini menunjukkan tujuan efisiensi dalam penggunaan dana tidak berhasil dicapai.

Flypaper effect dapat terjadi dalam dua versi, yaitu: Pertama, merujuk pada peningkatan pajak dan retribusi daerah serta anggaran belanja pemerintahan yang berlebihan. Kedua, mengarah pada elastisitas pegeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah. Artinya, apabila elastisitas pengeluaran terhadap transfer lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah, ini merupakan indikasi telah terjadi flypaper effect (Kuncoro, 2007: 6).

Sementara, menurut Maimunah dan Akbar (2008), agar dapat dikatakan suatu daerah mengalami flypaper effect, maka hasil uji statistik yang diperoleh haruslah menunjukkan: Pengaruh koefisien DAU dan DBH terhadap Belanja Daerah nilainya lebih besar dari pengaruh koefisien PAD terhadap Belanja Daerah, dan keduanya signifikan. Atau, pengaruh PAD tidak signifikan terhadap Belanja Daerah (Panggabean, 2014: 20).

2.2 Review Penelitian Terdahulu

(25)

memang terjadi di beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa stimulus terhadap belanja daerah yang disebabkan transfer (grants) mengalami kenaikan yang lebih besar daripada pendapatan asli daerah. Dalam artian bahwa, pemerintahan daerah lebih dominan menggunakan transfer dana perimbangan untuk membiayai belanjanya ketimbang mengandalkan Pendapatan Asli Daerah.

Peneliti sebelumnya seperti Maimunah dan Akbar (2008) menemukan terjadinya flypaper effect pada beberapa kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Pertama, hasil pengujian hipotesis menyebutkan bahwa besarnya nilai DAU dan PAD memengaruhi besarnya nilai Belanja Daerah (pengaruh positif). Kedua, hasil pengujian hipotesis yang tujuannya adalah untuk mengetahui terjadi tidaknya flypaper effect, juga diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi flypaper effect pada belanja daerah kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Flypaper effect terjadi pada belanja daerah bidang kesehatan dan pekerjaan umum. Namun, untuk bidang pendidikan tidak ditemukan adanya indikasi tersebut.

(26)

mengisyaratkan bahwa ketergantungan pemerintahan daerah terhadap transfer dari pemerintahan pusat semakin membesar.

Menariknya, sebagai antitesis dua penelitian sebelumnya, adalah penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2012). Iskandar meneliti kemungkinan terjadinya flypaper effect pada unconditional grants di Jawa Barat. Hasilnya ditemukan bahwa nilai koefisien pendapatan asli daerah (PAD) lebih besar dari unconditional grants dan keduanya signifikan. Ini menunjukan tidak terjadinya flypaper effect di Jawa Barat. Dalam artian kapasitas fiskal kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap belanja daerah daripada pengaruh dana alokasi umum terhadap belanja daerah. Provinsi Jawa Barat telah mandiri dari segi keuangan karena telah mampu bertumpu pada kemampuan keuangan daerah itu sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.

(27)

Daftar Tabel 2.2 Review Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Variabel Penelitian Cara yang

Digunakan Hasil Penelitian Iskandar

(2012)

Variabel Independen:

- Dana Alokasi Umum - Dana Bagi

Hasil

- Pendapatan Asli Daerah

- PDRB

Variabel Dependen: - Belanja Daerah

Data dalam penelitian ini merupakan data skunder yang diperoleh dari BPS Jawa Barat, Bappeda, dan instansi terkait lainnya. Penelitian ini bersifat kuantitatif.

Nilai koefisien pendapatan asli daerah (PAD) lebih besar dari unconditional

grants dan keduanya signifikan. Ini menunjukan tidak terjadinya flypaper effect di Jawa Barat. Dalam artian pemerintahan daerah di Jawa Barat telah mandiri dari segi keuangan karena telah mampu bertumpu pada

kemampuan keuangan daerah itu sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan. Gennari dan Messina (2012) Variabel Independen: - Unconditional Grant - Local Government Own Revenue - Political Policy

Factors

Variabel Dependen: - Local Expenditure Data dalam penelitian ini merupakan data representatif yang diambil dari database Municipal Accounts dan dari berbagai sumber informasi.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemerintahan daerah merespon (local expenditure) lebih banyak dengan

menggunakan unconditional grants daripada menggunakan kemampuan (local revenue) sendiri. Penjelasan dari dampak ini disebutkan bahwa para birokrat berusaha untuk

memaksimalkan anggaran karena dengan melakukan hal tersebut akan membuat mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang lebih besar di masyarakat.

Maimunah dan Akbar (2008)

Variabel Independen:

- Dana Alokasi Umum (DAU) - Pendapatan Asli

Daerah (PAD)

Variabel Dependen: - Belanja Daerah

Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh melalui permintaan tertulis ke pejabat Pemerintahan Kabupaten/ Kota yang bersangkutan, serta sumber lain seperti laporan dari kabupaten/ kota yang diperiksa BPKP.

Pertama, hasil pengujian hipotesis menyebutkan bahwa besarnya nilai DAU dan PAD

memengaruhi besarnya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Kedua, hasil pengujian hipotesis yang tujuannya adalah untuk mengetahui terjadi tidaknya flypaper effect, juga diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah pada

(28)

Kuncoro (2007)

Variabel Independen:

- Dana Alokasi Umum (DAU) - Dana Bagi

Hasil (DBH) - Dana Alokasi

Khusus (DAK) - Pendapatan Asli

Daerah (PAD)

Variabel Dependen: - Belanja Modal

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari BPS dan Ditjen PKPD Departemen Keuangan.

Setiap peningkatan alokasi transfer diikuti dengan

pertumbuhan belanja yang lebih tinggi. Memperlihatkan bahwa birokrat pemerintahan daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat. Mengisyaratkan bahwa

ketergantungan pemerintahan daerah pada transfer dari pusat akan semakin membesar.

2.3 Kerangka Konseptual

Menurut Erlina (2011: 35), kerangka konseptual adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka konseptual akan menghubungkan variabel independen dengan variabel dependen. Begitu juga apabila ada variabel lain yang menyertai, maka peran variabel tersebut harus dijelaskan. Berdasarkan landasan teori dan rumusan masalah penelitian, maka dapat dikembangkan kerangka konseptual yang diuji secara simultan dan parsial sebagaimana terlihat pada gambar 2.1 di bawah ini.

Dana Alokasi Umum (DAU)

(X1)

Dana Alokasi Umum (DAU) (X2)

Belanja Daerah (Y) Dana Bagi Hasil (DBH)

(X3)

Dana Alokasi Khusus (DAK) (X4)

(29)

Peneliti mengidentifikasi enam variabel penelitian, yaitu Dana Alokasi Umum (X1) dan Dana Bagi Hasil (X2) yang dikategotikan sebagai unconditional

transfer, Dana Alokasi Khusus (X3) sebagai conditional transfer, Pendapatan Asli

Daerah (X4), PDRB (X5), dan Belanja Daerah (Y). Dari gambar kerangka

konseptual 2.1 dapat diuraikan bahwa Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan PDRB memengaruhi Belanja Daerah. Berkaitan dengan hal tersebut dapat diprediksi bahwa tinggi rendahnya Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan PDRB akan berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Di mana Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil mempunyai pengaruh secara langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah yang merupakan sumber dana utama dalam pembiayaan belanja daerah. Dengan pengaruh tersebut, maka total dana transfer dari pusat akan sangat berdampak pada besar kecilnya belanja di setiap daerah otonom.

2.3.1 Hubungan PAD terhadap Belanja Daerah

(30)

pemerintahan daerah dikenal dengan nama tax spend hypothesis (Maimunah dan Akbar, 2008). Dalam hal ini, pengeluaran pemerintahan daerah akan disesuaikan dengan perubahan dalam pendapatan pemerintahan daerah atau perubahan pendapatan terjadi sebelum perubahan pengeluaran.

2.3.2 Hubungan Transfer Dana Perimbangan (DAU, DBH, DAK) terhadap

Belanja Daerah

Darwanto dan Yulia (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintahan pusat dengan belanja pemerintahan daerah. Secara lebih spesifik ditegaskan bahwa variabel-variabel kebijakan pemerintahan daerah dalam jangka pendek disesuaikan (adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asymmetric.

Adapun studi Gennari dan Messina (2012), dengan menggunakan sampel municipalities di Italia, menyimpulkan bahwa pemerintahan daerah merespon (local expenditure) lebih banyak dengan menggunakan unconditional grants daripada menggunakan pendapatan sendiri. Studi Legrenzi dan Milas (2001), juga menggunakan sampel municipalities di Italia, menemukan bukti bahwa dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja daerah. Bahwa, peningkatan transfer grants dari pemerintah pusat secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan belanja daerah.

(31)

sekitar 12 sampai 15 sen. Namun, untuk setiap kenaikan dalam pendapatan bagi hasil (revenue sharing), peningkatan pengeluaran daerah mencapai 46-55 sen. Deller et al. (2007) menduga bahwa pola respon daerah ini juga dipengaruhi oleh formula penentuan bagi hasil itu sendiri. Hasil ini konsisten dengan hipotesis flypaper effect.

2.3.3 Hubungan PDRB terhadap Belanja Daerah

Peningkatan PDRB akan berdampak pada peningkatan kegiatan ekonomi sektor riil dan dunia usaha. Peningkatan kegiatan ekonomi akan membawa pengaruh pada peningkatan penerimaan pemerintah melalui perpajakan, karena bergairahnya perekonomian sehingga aktivitas dunia usaha meningkat dan pada akhirnya keuntungan perusahaan meningkat pula. Peningkatan aktivitas dan keuntungan perusahaan ini tentunya akan meningkatkan pungutan pajak baik dari pajak penghasilan, pertambahan nilai maupun cukai. Jika penerimaan pemerintah meningkat, maka pengeluaran pemerintah akan meningkat pula.

Secara teori, semakin besar PDRB, maka semakin besar pula pendapatan yang diterima oleh kabupaten/kota. Dengan semakin besar pendapatan yang diperoleh daerah, maka pengalokasian belanja oleh pemerintahan daerah akan lebih besar untuk meningkatkan berbagai potensi lokal di daerah tersebut untuk kepentingan pelayanan publik (Iskandar, 2012: 119).

(32)

H1: Transfer dana perimbangan (DAU, DBH, DAK), PAD, dan PDRB

berpengaruh terhadap Belanja Daerah baik secara simultan maupun parsial

2.3.4 Fenomena Flypaper Effect

Beberapa literatur ekonomi dan keuangan yang berkaitan dengan flypaper effect (Kuncoro, 2007; Schoeman, 2011; Iskandar, 2012; dan Panggabean, 2014) menemukan bahwa stimulus terhadap pengeluaran daerah yang disebabkan oleh transfer (grants) mengalami kenaikan yang lebih besar daripada pendapatan daerah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Aragon (2008) yang menyatakan bahwa flypaper effect merupakan suatu kondisi di mana stimulus terhadap pengeluaran daerah yang disebabkan unconditional grants lebih besar daripada pendapatan daerah. Ketika respon pemerintahan daerah lebih besar untuk transfer dibanding pendapatan daerahnya sendiri maka disebut flypaper effect.

(33)

hemat dalam membelanjakan pendapatan yang merupakan hasil dari effort-nya sendiri dibanding pendapatan yang diberikan pihak lain dalam bentuk grants.

Lebih lanjut, studi empiris mengenai perbedaan stimulus antara grants dan pendapatan daerah ditemukan juga di Indonesia (Kuncoro, 2007; Sudrajat, 2010; dan Iskandar, 2012). Kuncoro (2007) mendukung adanya flypaper effect dalam kabupaten/kota di Indonesia. Penelitiannya menunjukkan bahwa transfer (grants) antarpemerintahan merangsang peningkatan pengeluaran pemerintahan daerah lebih besar daripada pendapatan daerahnya. Hal tersebut sejalan dengan Sudrajat (2010), yang memberikan bukti empiris mengenai pengaruh transfer (grants) dan pendapatan daerah terhadap belanja daerah pada kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh transfer (grants) terhadap belanja daerah lebih signifikan dibandingkan dengan pengaruh pendapatan daerah terhadap belanja daerah. Hasil ini menunjukkan adanya flypaper effect.

Namun, penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2012) di Jawa Barat, menemukan bahwa nilai koefisien pendapatan asli daerah (PAD) lebih besar dari unconditional grants dan keduanya signifikan. Ini menunjukan tidak terjadinya flypaper effect di Jawa Barat. Dalam artian kapasitas fiskal kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap belanja daerah daripada pengaruh unconditional grants terhadap belanja daerah. Provinsi Jawa Barat telah mandiri dari segi keuangan karena telah mampu bertumpu pada kemampuan keuangan daerah itu sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.

(34)

Menurut Kuncoro (2007), fenomena flypaper effect dapat terjadi apabila elastisitas pengeluaran terhadap transfer lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah.

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, kajian teori, dan penelitian sebelumnya maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H2: Pengaruh DAU dan DBH (Unconditional Grants) terhadap Belanja

Daerahlebih besar daripada pengaruh PADterhadap Belanja Daerah

2.3.5 Pengaruh Flypaper Effect pada Daerah Kaya dan Miskin

Besar kecilnya PAD dijadikan salah satu ukuran kemampuan (kaya atau miskin) suatu daerah. Dengan kata lain, daerah dapat dikalisifikasikan pada kabupaten/kota kaya, sedang, dan miskin dalam kaitannya dengan tingkat PAD-nya (Maimunah, 2006: 7).

Pengklasifikasian tersebut dapat dilihat dari nilai persentase DOF (derajat otonomi fiskal) masing-masing daerah. DOF adalah hasil dari rasio PAD terhadap total anggaran pendapatan daerah. Menurut Kuncoro (2005) dalam Ulum (2008: 245), di Indonesia nilai DOF hanya berkisar 5 persen sampai dengan 10 persen saja untuk Dati II. Berdasarkan hasil tersebut, diklasifikasikanlah daerah dengan DOF 5 persen ke atas sebagai kategori PAD tinggi (kaya), sebaliknya untuk DOF 5 persen ke bawah sebagai kategori PAD rendah (miskin).

(35)

kelompok pemerintahan daerah kabupaten/kota kaya dan miskin. Atas dasar tersebut dikembangkan sebuah hipotesis alternatif sebagai berikut:

H3: Terdapat perbedaan flypaper effect antara daerah yang PAD-nya

Referensi

Dokumen terkait

Dalam jurnal penelitian yang berjudul “Representasi Pendekar Perempuan Pada Tokoh Malini Dalam Film Gending Sriwijaya” oleh Rizky Chandra S, membahas mengenai representasi

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh suhu penetasan yang berbeda terhadap perkembangan embrio, waktu inkubasi, daya tetas telur dan abnormalitas larva ikan

Choirul Amin 70 Algoritma dan Struktur Data 1 KP002 XI 3 Moh... 698 Pengantar Teknologi Informasi KP121 XO 3 Yohannes

Tinjauan Pustaka merupakan usulan hasil-hasil penelitian sebelumnya dan sintesa dari pustaka pilihan yang relevan dan mendukung masalah, tujuan, dan metodologi yang akan

Rencana pemasaran telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan dengan hasil adanya pembuatan brosur dan menyebarkan brosur tersebut kepada pasar konsumen, dan melaksanakan

Penetapan zona-zona rawan bencana alam beserta ketentuan mengenai standar bangunan gedung yang sesuai dengan karateristik, jenis, dan ancaman bencana,

Proses Penyajian Pemilihan Safeguard alternative untuk safe guard lingkungan dan safe guard pengadaan tanah dan permukiman kembali yaitu dengan memaparkan

Sebagian besar kegiatan mengakses facebook siswa dalam kategori kadang- kadang sebanyak 20 responden (68,96%), selanjutnya paling sedikit yaitu pada kategori jarang sebanyak 2