• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL HUKUM HUMAN TE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL HUKUM HUMAN TE"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

HUKUM HUMAN TE

Oktober 2006

• Nils Marius Rekkedal

Insurgency and Counter Insurgency Some Concepts and Problems • Anhar Gonggong

Sejarah Pemberontakan Bersenjata di Indonesia:

Sketsa Pergumulan di dalam Era Kemerdekaan Tahun 1948-2006

• Terje Lund

The Norwegian Military Judicial System • Agustinus P.H.

lmplikasi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (Penundukan Prajurit TNI pada Peradilan Umum)

• Devy Sondakh

Kejahatan terhadap Kemanusiaan: Teori dan Praktik

Terjemahan dan Naskah tentang Protokol 1-V pada Konvensi

tentang Larangan atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional yang Dianggap Dapat Menimbulkan Luka yang Berlebihan atau Menimbulkan Akibat yang Membabi-buta (10 Oktober 1980)

Diterbitkan oleh:

PUSAT STUDI HUKUM HUMANITER DAN HAM UerlsJ FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI

(2)

&)

Diterbitkan atas kerja sama dengan:

Komite lnternasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross)

ICRC

(3)

JURNAL HUKUM HUMANITER

Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta

Penanggung-jawab:

Rekto r Universitas Trisakti Pro f. Dr: Thoby Mutis

Dewan Redaksi Kehormatan:

Pro f. KGPH. Haryomataram, S.H. Pro f. Tlmothy L . H. McCo rmack Pro f. Dr: F. Sugeng Jstanto, S.H.

Pro f. Dr: Andi Hamza h, S.H. Michael Cottier, LL. M.

Brigjen. TN/ (Pu rn) PL T. Sihombing, S.H., LL.M. Ko l. Chk. Na tsri Ansha ri, S.H., LL.M.

Rudi M. Rizki, S.H., LL.M.

Pemimpin Redaksi Arlina Pe rmanasa ri, S.H., M.H.

Anggota Redaksi: Andrey Sujatmoko, S.H., M.H. A ji Wibowo, S.H., M.H. Kushartoyo Budisantosa, S.H., M.H. Amalia Zuhra, S.H., LL.M. Jun Justinar, S.H., M.H. Sekretariat:

Ade A/fay Alfinur, S.Sos. Supriyadi, S. E. Alamat Redaksi:

Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) FH-USAKTI JI. Kyai Tapa No. 1 Gedung H Lt. 5 Kampus A Grogol Jakarta 1 1440

Tip./Faks.: (021) 563-7747 E-mail: terAs_fhusakti@yahoo.com Jurnal Hukum Humaniter terbit setiap enam bulan pada bulan Juli dan

(4)

EDITORIAL ii

EDITORIAL Para pembaca yang terhormat,

Segala puji hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu Wata 'ala yang tiada putus melimpahkan rahmatNYA, sehingga JURNAL HUKUM HUMANITER dapat kembali ke tangan para pembaca yang budiman. Edisi kali ini secara khusus membahas masalah pemberontakan, baik menurut konsepnya secara umum maupun mengenai sejarahnya di Indonesia pasca kemerdekaan. Terkait dengan pelanggaran­ pelanggaran yang terjadi dalam hal pemberontakan yang umumnya mewajibkan angkatan bersenjata negara untuk mengatasi hal tersebut, maka dikemukakan pula sistem hukum pidana militer yang berlaku di berbagai negara dan khususnya yang berlaku di Norwegia dan Indonesia. Di samping itu, dikemukakan pula teori dan praktek mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagai salah satu jenis kejahatan yang dapat terjadi baik pada waktu perang maupun di masa damai.

Sebagai lanjutan dari "Kolom" mengenai Konvensi Senjata-senjata Konvensional Tertentu (1980) yang terbit di edisi yang lalu, maka edisi ini memuat kelengkapan Konvensi tersebut; yakni terjemahan dari lima buah Protokolnya. Mengingat Protokol-protokol tersebut bersifat saling melengkapi, maka kelimanya sekaligus diterbitkan dalam edisi ini sehingga merupakan merupakan kesatuan yang utuh

dalam melengkapi isi Konvensi.

Atas terlaksananya penerbitan JURNAL HUKUM HUMANITER ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Inte rnational Committee of the Red Cross (ICRC) ya ng se l a l u berkom itmen tinggi d a l a m pengembangan hukum humaniter d i tanah air, termasuk mendukung penerbitan edisi ke tiga ini. Akhirnya, kami mengharapkan masukan dari pembaca baik berupa kritik maupun saran konstruktif lainnya. Selamat membaca.

Redaksi

(5)

iii

DAFTAR ISI

ARTIKEL him

1. Nils Marius Rekkedal

Insu rgency and Counte r Insu rgency Some Concep ts and Problems ... 402

2. Anhar Gonggong

Sejara h Pem beronta ka n Bersenj ata di Indonesia: Sketsa Pergumulan di dalam Era Kemerdekaan Tahun

1948-2006 · · · ··· · ··· · · ··· 456 3. Terje Lund

The No rwegian Military Judicial System ... ... .... 480 4. Agustinus P.H.

I m p l i kasi terhadap Kita b Undang-undang H u ku m Pidana Militer (Penundukan Prajurit TNI pada Peradilan

Umum) . . . .. . . .. . . .. . . .. . . 506 5. Devy Sondakh

Kejahatan terhadap Kemanusiaan: Teori dan Praktik ... 521

KOLOM

1. Protokol tentang Pecahan-pecahan yang Tidak Dapat Dideteksi (Protokol I). Jenewa, 10 Oktober 1980. . . 555

2. Protokol tentang Larangan dan Pembatasan Penggunaan Ranjau, Jebakan dan Alat-alat lainnya (Protokol II) Jenewa,

10 Oktober 1980 dan Perubahannya (3 Mei 1996) . . . 556 3. Protokol tentang Larangan atau Pembatasan Penggunaan

Senjata-senjata Pembakar (Protokol III)

Jenewa,10 Oktober1980. . . ... . . 588 4. Protokol tentang Senjata-senjata Laser yang Membutakan

(Protokol IV pada Konvensi 1980),

13 Oktober 1995. . . .. . . .. . . 591

5 . Protokol tentang Sisa-sisa Bahan Peledak Perang (Protokol V dari Konvensi tahun 1980), 2 8 November 2003 . . . . .. . . 592 JURNAL HUKUM HUMANITER, Vol . 2, No. 3

(6)

506

IMPLIKASI TERHADAP KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PIDANA MILITER (PENUNDUKAN PRAJURIT TNI

PADA PERADILAN UMUM)

Agustinus P. H.1

Abstrak

Kemauan politik MPR untuk menundukkan Prajurit TNI ke dalam Peradilan Umum dalam hal terjadi pelanggaran hukum pidana

umum, yang dirumuskan di dalam Pasal 65 Ayat (2) pada Undang­

undang Nomor 4 Tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indo­

nesia secara umum akan membawa implikasi pada sistem hukum militer dan hukum pidana militer pada khususnya, yakni pada sistem hukum acara, kewenangan peradilan militer, serta hukum pidana militer substantif, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer ( KUHPM).

A. Pendahuluan

Bernhard Grossfeld,2 dari Universitas Munster mengatakan, bahwa tiap kebudayaan mempunyai hukumnya sendiri, dan tiap hukum mempunyai individualitasnya sendiri, . . . hukum adalah kebudayaan, dan kebudayaan adalah hukum (every culture has its particular law, and every law has an unique individuality, . . . Law is culture and culture is laW). Pandangan ini, mempunyai relevansi untuk membahas dan mendalami salah satu sistem hukum yang ada di Indonesia, yaitu hukum militer; di mana hukum militer merupakan bagian khusus dari berbagai bidang hukum yang berlaku khusus bagi militer/ angkatan perang.

Dewasa ini hukum militer, khususnya hukum pidana militer mendapat perhatian dan sekaligus menjadi bahan diskusi dari masyarakat luas, terutama sejak adanya kemauan polltik dari Majelis

' Aguslinus P. H., S.H .• M.H. adalah Lektor Hukum Pidana di Sekolah nnggi Hukum Militer (STHM) "AHM-PTHM".

2 Grossfeld. The Strenght and Weakness of Comparative Law. Oxford: Oxford University Press, 1990. him. 41 . dalam A.S.S.Tambunan, Hukum Militer Indonesia, Suatu Pengantar, Jakarta: PSHM STHM, 2005, him. 43.

(7)

Pemusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menundukkan Prajurit TNI ke Peradilan Umum dalam hal melakukan pelanggaran hukum pidana umum. Kemauan politik ini tertuang di dalam Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000, dalam Pasal 3 Ayat (4) huruf a, sebagaimana dirumuskan bahwa: "PrajuritTNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.'13

Dengan dirumuskannya Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, maka dirumuskan pula mengenai penundukan Prajurit TNI ke dalam suatu lingkungan peradilan, sebagaimana yang tertera di dalam Pasal 65 Ayat (2) :

"Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.''

"Sisipan" rumusan inilah yang oleh sebagian ahli hukum dikatakan sebagai rumusan yang "salah kamar". Dikatakan demikian karena rumusan mengenai peradilan atau penundukan yustisiabel atau or­ ang-orang/subjek/kelompok masyarakat tertentu ke dalam suatu peradilan tertentu harus didasarkan pada ketentuan induknya di

dalam Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman, yaitu Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945; sedangkan kita mengetahui bahwa Undang-undang TNI didasarkan pada Pasal 30 Undang-undang Dasar 1945. Tidak pada "tempat yang semestinya", merumuskan mengenai penundukan golongan masyarakat tertentu ke dalam suatu peradilan yang tidak menunjuk pada sumber rujukan Konstitusi yaitu Pasal 24 Undang-undang Dasar

1945. Sehingga ada kesan rumusan Pasal 65 Ayat (2) pada Undang­

undang TNI memang dipaksakan untuk melaksanakan ketetapan MPR

RI Nomor VII/MPR/2000. Undang-undang TNI merupakan undang­

undang organik penjabaran dari Pasal 30 Undang-undang Dasar 1945, sehingga "rejim hukumnya" adalah untuk menjabarkan tentang

3 MPR RI, Putusan MPR RI Sidang Tahunan MPR RI 7-18 Agustus 2000. "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan

peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. •

(8)

l"1Jlikasi terhadap Kitab Undang-undarg HU<um Pidana Milite" Penuroukan PrajuritiNI pada Peradilan Umum 508

pertahanan negara; sedangkan penundukan ke suatu lingkungan peradilan termasuk pada "rejim hukum" tentang kekuasaan kehakiman.

Terlepas dari tepat tidaknya hal itu dirumuskan dalam Undang­ undang Nomor 34 Tahun 2004, secara faktual rumusan itu telah ada. Penundukan Prajurit TNI ke dalam peradilan umum tidak hanya berimplikasi kepada hukum acara dan mengenai kekuasaan peradilan militer saja, namun akan memiliki implikasi terhadap hukum pidana militer substantif, yaitu KUH PM.

B. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer di Indonesia

1. Hukum pidana militer adalah bagian dari hukum militer Hukum pidana militer merupakan bagian dari hukum militer, sedangkan hukum militer merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Hukum militer merupakan kumpulan norma-norma baik dari hukum privat maupun hukum publik yang obyeknya mengenai kehidupan militer dan angkatan perang.4 Norma-norma itu dihimpun menjadi satu dengan maksud supaya lebih mudah mempelajarinya. Jadi, hukum militer terdiri dari norma-norma yang berasal dari berbagai bidang hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara, hukum internasional, dan objeknya adalah kehidupan militer.

S.R.Sianturi merumuskan pengertian Hukum Pidana Militer (dalam arti material dan formal) sebagai-berikut:5

"Bagian dari hukum positif, yang berlaku bagi yustisiabel peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan serta terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana, yang menentukan dalam hal apa dan bilamana pelanggar dapat dipertanggu ngjawabkan atas ti ndakannya dan yang menentukan j uga cara penu ntuta n, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya keadilan dan ketertiban hukum."

• A.S.S.Tambunan, Hukum Militer Indonesia, Suatu Pengantar, Jakarta: PSHM STHM, 2005, him. 44.

5 S.R. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1 985, halaman 1 8 .

(9)

509 Jmplikasi terhadap Kitab Undang-undal"t,l Hukum Pidana MHiter PelJndukan Prajurit lNI pada Peradilan Umum

2. Hukum Pidana Militer dikodifikasi tersendiri di luar KUHP Sebagai negara yang karena proses historisnya mewarisi hukum pidana produk kolonial, maka tak terkecuali dalam Hukum Pidana Militer, juga mewarisi sistem hukum yang dibawa oleh pemerintahan kolonial Belanda, kemudian diberlakukan di Hindia Belanda dan terus dipertahankan berlaku sampai sekarang.

Hukum Pidana Militer yang saat ini berlaku adalah terjemahan dari Wetboek van Militair Stratrecht(Stbl. 1934 Nr. 167) yang kemudian diberlakukan dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1947, yang dalam Pasal 1 dirumuskan: ayat (1): "Nama Wetboek van Militair Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Stbl 1934 Nr 167) diubah menjadi

Wetboek van Militair Stratrecht "dan ayat (2): "Kitab ini dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara."

Jadi, hukum pidana militer ini merupakan kitab undang-undang yang dikodifikasi tersendiri di luar KUHP. Mengenai kodifikasi KUHPM yang tersendiri dan terpisah dari KUHP, mengakibatkan munculnya dua pandangan. Yang pertama, adalah golongan yang menghendaki agar KUHPM disatukan dengan KUHP. Yang kedua, golongan yang menghendaki agar KUH PM tetap dipisahkan dari KUHP dan merupakan satu kitab kodifikasi tersendiri.

Pandangan yang menghendaki KUHPM disatukan saja dengan KUHP mengedepankan beberapa alasan, yakni:6

a. Bahwa hukum pidana umum berlaku juga bagi militer. Andaikata sanksi yang ditentukan dalam KUHP dirasakan kurang berat, maka sanksi tersebut dapat diperberat dengan menggunakan ketentuan dalam Pasal 52 KUHP.

b. Mengenai lindak Pidana Militer Murni dapat diadakan tersendiri dalam satu bab tersendiri pada Buku II seperti "Kejahatan Jabatan"

c. Mengenai tindakan-tindakan yang lebih merupakan pelanggaran tata kehidupan militer dapat dimasukkan dalam Hukum Disiplin Militer.

1 Ibid., him. 53-54.

(10)

Irnplikasi terhadap Kitab �ng Htium Pklim Milite" Perurdlkan Prajlrit lNI !Bia Peradilan Ulll.lm 510

Pandangan yang menghendaki KUHPM tetap dikodifikasi tersendiri di luar KUHP, mengemukakan beberapa alasan, yaitu :7

a. Anggota Angkatan Perang tergabung dalam suatu organisasi; dirawat dan dipelihara secara khusus karena diperuntukkan bagi tugas berat yang memerlukan kesatuan berfikir, bertindak, sehingga perlu ketentuan hukum pidana tersendiri.

b. Sebagai akibat penggemblengan dan pengalaman militer yang wajib dipupuk. rasa setiakawan, jiwa korsa, semangat yang menyala-nyala, sehingga harus dibina dengan peraturan hukum tersendiri.

c. Ancaman pidana dalam KUHP dirasakan kurang berat/kurang memadai sekalipun sudah diperberat dengan ketentuan Pasal

52 KUHP.

d. Jika KUHPM disatukan dengan KUH P akan lebih mengacaukan sistematika KUHP.

e. Jika pelanggaran tata kehidupan militer yang termasuk pidana dimasukkan ke dalam Hukum Disiplin Militer, hal itu akan memperluas kewenangan Komandan.

3. Hubungan Hukum Pidana Umum (KUHP) dengan Hukum Pidana Militer (KUHPM).

Meskipun KUHPM dikodifikasikan tersendiri di luar KUHP, namun tidak berarti bahwa sistem hukum pidana militer terpisah atau tersendiri di luar sistem hukum pidana umum. Hal ini disebabkan karena berdasarkan sistem h ukum pidana yang berlaku, terdapat satu buku hukum pidana yang mengatur mengenai ketentuan umum hukum pidana, yaitu Buku I KUHP. Dalam Buku I KUHP ini, khususnya

dalam Pasal 103, dirumuskan bahwa :8

7 Ibid.

"Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini j uga berlaku bagi perbuata n-perbuata n ya ng oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain."

• Moeljatno, KUHP, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1 990.

(11)

Pasal 103 KUHP inilah yang menjembatani berlakunya ketentuan umum hukum pidana Buku I KUHP terhadap Undang-undang/ Perundangan-undangan pidana di luar KUHP, termasuk terhadap KUHPM .

Selain rumusan Pasal 103 KUHP, di dalam KUHPM juga dipertegas

dengan rumusan yang terdapat pada Pasal 1, yang berbunyi:9

"Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk Bab kesembilan dari Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang."

Jadi, Pasal 103 KUHP dan Pasal 1 KUH PM merupakan dasar yang menghubungkan atau menjembatani antara Buku I KUHP dengan KUHPM.

Tidak hanya ketentuan umum Buku I KUHP yang berlaku dalam penerapan KUHPM, tetapi juga tindak pidana yang diatur di KUHP juga berlaku bagi Militer/TNI sepanjang tidak diatur tersendiri dalam

KUHPM. Hal ini secara tegas diatur di dalam Pasal 2 KUHPM : 10 "Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam Kitab Undang­ undang ini, yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang­ undang."

Secara doktrinal, selama ini dikenal dua bentuk tindak pidana militer, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh S.R.Sianturi:11

a. Tindak pidana militer murni, adalah tindakan-tindakan terlarang/ diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer karena keadaannya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana.

b. Tindak pidana militer campuran, yaitu tindakan-tindakan terlarang/ diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan • S.R. Sianturi. op. cit .. him. 57.

10 Ibid. , him. 58. " Ibid .. him. 19.

(12)

Jmplikasi terhadap Kitab l.)ldang-uooang HU<um Pidana Milite" Perurdukan PrajuritTNI pada Peradilan Umum 512 dalam perundang-undangan lainnya, diatur lagi dalam KUHPM karena adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau karena adanya suatu sifat yang lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat dari pemberatan yang diatur dalam Pasal 52 KUHP.

Jadi, dalam KUHPM dirumuskan bentuk tindak pidana militer murni dan tindak pidana militer campuran tersebut. Tetapi harus dipahami bahwa KUHPM sendiri juga merumuskan tindak pidana yang tidak diatur di dalam KUHPM yang dapat diberlakukan bagi ora n g -ora n g yang tu nduk pada kekuasa a n Pera d i l a n M i liter, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 KUHPM yang telah dijelaskan di atas.

C. Implikasi terhadap KUHPM-Penundukan Prajurit TNI pada Peradilan Umum

Rumusan Pasal 65 ayat (2) Undang-undang Nomor 34 tahun

2004 secara umum akan membawa implikasi pada sistem hukum militer dan hukum pidana militer pada khususnya . H ukum pidana militer sebagai satu sistem hukum, tentu tidak hanya menyangkut perangkat peru ndang-undangan nya saja, teta pi juga mel iputi kelembagaan/institusi dan budaya hukumnya .

Lawrence M. Friedman, mengemukakan bahwa terdapat em pat

unsur dari suatu sistem hukum, yaitu (1) Struktur, (2) Substansi, (3)

Budaya H ukum, dan (4) Dampak. Yang dimaksud dengan struktur a d a l a h kera n g ka nya, ya itu aspek-aspek yan g a g a k l a nggeng ( pe r m a n e n ) s i fa tnya seperti bad a n - b a d a n p e ra d i l a n , pengorganisasian, yurisdiksi, dan prosedur kerja, dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan substansi adalah norma-norma hukum dan pola-pola perilaku masyarakat dalam sistem itu . Adapun pengertian budaya hukum adalah bagian dari kebudayaan yang menyangkut sistem hukum . Sedangkan yang dimaksud dengan dampak adalah akibat-akibat yang ditimbulkan oleh putusan-putusan hukum dari para penyelenggara negara seperti putusan pengadilan.12

" Lawrence M. Friedman, The Republic of Choice, Law. Authority and Culture, Cambridge Mass, Harvard University Press, 1 990, him. 5-8 dalam A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Popuris Publishers, 2002, him. 34.

(13)

513 l mplikasi � Kltab � Hlium Pidim Milite" Perurdlkal PrajJritTNI pada Peradilan Umum

Sebagai suatu sistem hukum, hukum pidana militer memiliki substansi undang-undang/perundang-undangan, yaitu hukum pidana militer materiel atau hukum pidana militer substantif, dalam hal ini adalah KUH PM, dan hukum pidana militer formil, dan juga hukum kepenjaraan militer. Selain itu, sebagai satu sistem hukum, maka hukum pidana militer juga memiliki struktur kelembagaan dalam proses penegakan hukumnya, yaitu Peradilan Militer, Keodituratan Militer, Palisi Militer, dan lembaga Kepaperaan dan Keankuman. Selain aspek substansi perundang-undangan dan struktur kelembagaan, masyarakat militer juga memiliki sistem nilai atau budaya hukum tersendiri yang ada dan dipelihara dalam tata kehidupan keprajuritan. Implikasi yuridis yang utama dari penundukan Prajurit TNI ke Peradilan Umum adalah berkaitan dengan subtansi hukum/Undang­ undang Peradilan Militer yang saat ini diatur dalam Undang-undang Nemer 3 1 tahun 1997. Pihak pemerintah dan juga DPR berpendapat bahwa undang-undang Peradilan Militer ini perlu diadakan perubahan agar penundukan Prajurit TNI ke dalam Peradilan Umum yang telah dirumuskan dalam undang-undang Nemer 34 tahun 2004 dapat dilaksanakan. Maka, pemerintah telah menyusun Rancangan undang­ undang (RUU) Perubahan Undang-undang Peradilan Militer, demikian juga DPR telah mengajukan RUU Usul inisiatif DPR RI tentang

Perubahan atas Undang-undang Nemer 3 1 Tahun 1997 tentang

Peradilan Militer.13

Berkaitan dengan konsep RUU tersebut, Pembahasan/Rapat Dengar Pendapat Umum telah berulang kali di lakukan DPR. Dari beberapa permasalahan penting yang muncul dalam pembahasan RUU Perubahan atas Undang-undang Nemer 3 1 tentang Peradilan Militer ini, khususnya mengenai penundukan Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum yang akan ditundukkan ke Pengadilan Umum, maka dari pandangan-pandangan yang berkembang sampai saat ini, apabila dikelompokkan akan terdapat tiga kelompok pandangan, yaitu:

1 . Sebagian berpendapat agar Peradilan Militer tidak berubah dan tetap seperti sekarang.

1 3 Surat Sekjen DPR-RI Nomor: RU.0213830/DPR-Rl/2005 tanggal 15 Juni 2005 tentang Penyampaian 2 RUU Usul lnlslatif, salah satunya Rancangan Undang-udang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1 997 tentang Peradilan Militer.

(14)

IJT1)likasi l8fliKlap Kilab U1dillginlang IUtJm Pidana Mill!r � Pra;.tt lNI pada Peradilan Urrum 514

2. Sebagian berpendapat agar Peradilan Militer sesuai dengan Tap MPR Nomor VII/2000 dan Undang-undang No 34 Th 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

3. Sebagian lainnya berpendapat supaya ada masa transisi dalam

rangka perubahan dari sistem yang lama ke sistem yang baru. Apabila dicermati dari konsep RUU tersebut, maka yang

menyangkut materi ''Penundukan Prajurit TN! pada kekuasaan

Peradilan Umum dalam ha/ me/akukan pelanggaran hukum pidana umum " diwujudkan dengan rumusan yang membatasi kompetensi/ kewenangan peradilan militer yang hanya akan mengadili perkara tindak pidana militer saja. Maka, perubahan paling mendasar dari

konsep RUU adalah Rumusan Konsep Pasal 9:

"Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer berwenang :

( 1 ) Mengadili tindak pidana militer, yang dilakukan oleh seseorang

yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah :

a . Prajurit;

b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit.

c. A nggota suatu golongan, jawata n , badan ata u ya ng dipersamakan, atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan Undang-undang.

d . Seseorang yang tidak termasuk golongan pada huruf a , huruf b, dan huruf c, tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer."

Perubahan mendasar dari Pasal 9 Undang-undang No 3 1 Tahun

1991 dengan Pasal 9 RUU adalah terletak pada rumusan "Mengadili

Tindak Pidana Militer'� yang sem ula dirumuskan dengan redaksional "Mengadili Tindak Pidand'.

Dengan demikian, kekuasaan Peradilan Militer hanya akan diarahkan untuk mengadili tindak pidana militer, yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah Prajurit. Sehingga dengan demikian, Peradilan Militer tidak memiliki kewenangan untuk Mengadili Tlndak Pidana Umum yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah Prajurit.

(15)

515 �kasi IEJlalap K"dab � IUllll P'dlla Mib!r Plrul:k.lkan PrajlritTNI piKla Peradilan Urrum

Konsep RUU yang secara substansial mengatur lembaga peradilan militer dengan kompetensi serta hukum acara pidananya, pada hakekatnya tidak bisa dipisahkan dari hukum pidana materielnya, atau hukum pidana militer substantifnya, yaitu KUHPM. Keterkaitan antara hukum pidana militer substantif dengan penundukan Prajurit TNI ke dalam Peradilan Umum, adalah dalam hal penentuan kualifikasi perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam tindak pidana militer dan perbuatan apa saja yang termasuk tindak pidana umum.

Dengan substansi perundang-undangan pidana yang saat ini

berlaku, maka ketentuan Pasal 65 ayat (2) Undang-undang Nomor

34 tahun 2004, khususnya mengenai rumusan penundukan Prajurit

TNI ke dalam Peradilan Umum dalam hat melakukan tindak pidana umum, sesungguhnya tidak dapat dilaksanakan, karena, tidak ada kejelasan tentang subjek Prajurit TNI yang melanggar hukum pidana umum. Artinya, selain hukum pidana militer (KUHPM), maka tidak ada ketentuan undang-undang yang merumuskan subyek tindak pidana Prajurit TNI. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, 14 bahwa KUHP (Wetboek van Strafrecht)

hanya mengatur subjek orang (warga negara) pada umumnya, dan tidak mengatur subjek militer (PrajuritTNI). Jadi, belum ada undang­ undang (hukum pidana) yang secara khusus mengatur tentang Prajurit TNI yang melanggar hukum pidana umum sebagaimana dimaksud pada rumusan Pasal 65 Ayat (2) Undang-undang Nomor 34 Tahun

2004.

Artinya, norma hukum pidana materiel/ hukum pidana substantif yang saat ini berlaku bagi subjek Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum, atau aspek substantif (hukum pidana materiel) tentang pelanggaran hukum pidana umum oleh Prajurit TNI selama ini justru diatur dalam ketentuan KUHPM, yaitu pada Pasal 2 KUHPM, yang rumusannya adalah sebagai berikut:

"Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam Kitab Undang­ undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada

•• Barda Nawawi Arief, "Menuju Sistem Peradilan Militer yang Sesuai dengan Reformasi Hukum Nasional dan Reformasi Hukum TNI," Makalah dalam Diskusi Panel Meneropong Kompetensi/Jurisdiksi Peradilan Militer di Indonesia dalam Perspektif Pernbaharuan Sistem Hukum, diselenggarakan FRR Law Office

bekerjasama dengan Embassy of The Federal Republic of Gennany Jakarta, Bogor 27-29 Maret 2006,

him. 8.

(16)

kekuasaan badan-badan Peradilan Militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan yang ditetapkan dengan undang­ undang."

Maka, peradilan militerlah yang menerapkan ketentuan Pasal 2

KUHPM itu . Peradilan Militerlah yang mengadili dan memeriksa perkara pidana yang diatur dalam rumusan hukum materiel KUHPM. Tidak mungkin norma hukum pidana materiel untuk militer/Prajurit TNI yang ada dalam KUHPM diterapkan di dalam Peradilan Umum atau oleh Peradilan Umum.

Jika ditinjau lebih jauh lagi, pengertian tindak pidana militer dalam rumusan RUU Revisi Undang-undang Peradilan Militer sendiri tidak jelas. Dalam RUU Revisi Undang-undang Peradilan Militer istilah tindak pidana militer pada Penjelasan Pasal 9 RUU dinyatakan dengan : "Yang dimaksud dengan tindak pidana militer adalah tindak pidana yang secara khusus hanya ditujukan pelakunya berstatus militer.'' Berarti, tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh Militer. Norma hukum pidana materiel (substantif) yang mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh militer adalah:

1 . Tindak Pidana yang diatur d i dalam KUHPM

2. Tindak Pidana yang diatur di luar KUHPM yang dilakukan oleh

Militer. (Berdasarkan Pasal 2 KUHPM). Hal ini berarti secara yuridis menurut KUHPM, tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer juga merupakan tindak pidana militer.

Berarti, norma (substantif)-nya harus ada atau diatur terlebih dahulu dalam undang-undang Pidana Substantif, bukan pada RUU Peradilan Militer. Mengingat hukum pidana substantif yang berlaku

saat ini adalah KUHPM, maka norma khususnya adalah KUHPM.

Sedangkan KUHPM sendiri (Pasal 2 KUHPM) telah menunjuk bahwa Hukum Pidana Umum yang tidak diatur di dalam KUHPM yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada kekuasaan Peradilan Militer (Prajurit/Militer) diterapkan hukum pidana umum.

(17)

517 Ifl'4llikasi le11adap Kilab � IUum Mina Militer Pml!Wkan Pra;intTNI pada Peradilan Urrum

D. Perkembangan Peradilan Militer

Dalam perspektif historis, bahwa militer memiliki peradilan tersendiri memang telah ada sejak lama. Dalam tata hukum nasional, sejak Tahun 1946, Indonesia telah memiliki peradilan militer tersendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 tenta ng Peratura n Pengadaan Pengadilan Tenta ra di samping Pengadilan Biasa . Jauh sebelumnya, di Indonesia (Hindia Belanda) juga telah ada Peradilan Militer tersendiri, sebelum Perang Dunia II telah dikenal Peradilan Militer Belanda di Tanah Air kita, yang dikenal

dengan nama Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof yang berlaku

bagi Angkatan Darat Belanda di Indonesia/Hindia Belanda ( Bepalingen

betreffende de rechsmacht van de militaire rechter in Nederlandsch Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisione/e Instructie voor het Hoog Militaire Gerechtshof van Nederlands Indie/ S. 1922 No. 163); dan Hukum Acara Pengadilan Tentara Hindia Belanda (S. 1932 Nomor 78).

Sedangkan untuk Angkatran Lautnya terdapat Zee Krijgraad.15

Dalam tata hukum nasional, khususnya pada masa setelah In­ donesia merdeka, sistem peradilan militer terus mengalami perubahan peraturan perundang-undangannya seiring dengan perkembangan ketetanegaraan pada masa itu . Pada masa awal kemerdekaan, perkembangan Peradilan Militer memang agak berbeda dengan perkembangan Peradilan Umum dan Peradilan Agama di mana kedua peradilan ini mendasari Aturan Peralihan undang-undang Dasar 1945 Pasal II, yang menyatakan bahwa : "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini", sehingga Peradilan Umum dan Peradilan Agama yang ada pada masa pendudukan Jepang

tetap berja!an seperti keadaan sebelumnya. Untuk Peradilan Militer,

Pemerinta h RI pada 11vaktu ltu tldak m e n g a l i h ka n Pera d i l a n Ketentaraan dari jaman sebelumnya, tetapi baru kemudian dibentuk pada Tahun 1946 dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 pada tanggal 8 Juni 1946, tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan Tentara di Samping Pengadilan Biasa . Bersamaan dengan itu dikeluarkan pula Undang-undang Nomor 8 tahun 1946 tentang

15 Soegiri dkk., 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, Jakarta: CV

Indra Jaya, 1 976, him. 48-52.

(18)

� terhadap Kitab lkldan!rundang HUwm Pidim MHiter PerurdJkan Praj.Jrit TNI pada Peradilan Unklll1 518

Peraturan Hukum Acara Pidana guna Pengadilan tentara. Dua Undang­ undang inilah yang merupakan produk nasional pertama yang mengatur tentang peradilan militer.

Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tersebut berlaku hingga tahun 1948, dan diganti dengan Peraturan pemerintah Nomor 37 tahun 1948 mengenai Peraturan tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan peradilan Ketentaraan yang berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1948. Dalam bidang hukum acara pidana, Pemerinta h juga mengadaka n peru b a h a n dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1948 mengenai "Peraturan tentang Mengadakan Perubahan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1946 dari hal Hukum Acara Pidana."

Kinerja Pengadilan Tentara pada saat diberlakukannya Undang­ undang Nomor 7 tahun 1946, menunjukkan adanya kelemahan di bidang sumber daya manusia, yakni adanya kekurangan tenaga personel, sehingga personel pengadilan tentara pada saat itu diisi oleh personel dari Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung; di mana dalam menjalankan tugasnya pejabat peradilan umum ini diberi hak untuk menggunakan alat perlengkapan militer dan diberikan pangkat tituler, sebagai contoh:

1. Ketua Mahkamah Tentara Agung diberi pangkat Letnan Jenderal;

2. Jaksa Tentara Agung diberi pangkat serendah-rendahnya Jenderal

mayor;

3. Ketua Mahkamah Tentara diberi pangkat serendah-rendahnya Letnan Kolonel;

4. Jaksa Tentara diberi pangkat serendah-rendahnya Mayor.

Pada masa Negera Republik Indonesia Serikat Tahun 1949-1950, peradilan Militer diatur dalam Undang-undang Darurat Nomor 16 tahun 1950. Sedangkan pada masa berlakunya Undang-undang Dasar 1950, peradilan militer diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950. Kemudian, setelah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959, Peradilan Militer tetap berdasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, dengan hukum Acara Pidana Militer yang didasarkan pada Undang­ undang Nomor 6 Tahun 1950 dan perubahannya dalam Undang­ undang No. 1 Darurat Tahun 1958. Dengan melihat perkembangan

(19)

519 l�ikasi temadap Kitab Undang-undafYJ HltllTI Mm Milirer PmJOOukan Prajurit TNI pada Peradilan Umum

perubahan sistem peradilan militer yang cukup panjang tersebut, akhirnya sampailah kemudian pada terbentuknya Undang-undang Nomor 3 1 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pada perkembangan

terakhir di tah u n 2006 i ni, sedang disusun dan d i bahas RUU

Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

E. Penutup

Keputusan politik untuk menundukkan Prajurit TNI ke Peradilan Umum dalam hal melakukan pelanggaran hukum pidana umum yang

tertuang di dalam ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 yang

kemudian diatur di dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, membawa implikasi yuridis tidak saja pada substansi hukum yang mengatur mengenai peradilan dan hukum acaranya saja, tetapi juga pada hukum pidana substantifnya . Berkaitan dengan hukum pidana substantif atau hukum pidana materiel yang berlaku selama ini, maka pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh Prajurit TNI diatur dan dirumuskan di dalam KUHPM. Sedangkan KUHP (hukum pidana umum) tidak mengatur mengenai pelanggara n h u ku m pidana u m u m ya ng pelakunya adalah Prajurit TNI. Maka, sebelum revisi Undang-undang Peradilan Militer dilakukan, perlu diadakan perubahan terhadap hukum pidana militer substantif terlebih dahulu.

Daftar Pustaka

Barda Nawawi Arief, "Menuju Sistem Peradilan Militer yang Sesuai dengan Reformasi Hukum Nasional dan Reformasi Hukum TNI," Makalah Diskusi Panel Meneropong Kompetensi/Jurisdiksi Peradilan Militer di Indone­ sia dalam Perspektif Pembaharuan Sistem Hukum. Jakarta: Dephan Rl-Kedutaan Besar Jerman, FRR Law Office, Hotel Salak Bogor, 27-29 Maret 2006.

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang :

Badan Penerbit Undip, 1997.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Putusan Maje/is Permusyawaratan rakyat

Repub/ik Indonesia Sidang 7ahunan 7-18 Agustus 2000, Jakarta: Setjen

MPR-RI, 2000.

(20)

Setjen Dephan RI, Buku Himpunan Perundang-undangan yang Terkait

dengan Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pertahanan, Jakarta: Biro

Hukum Setjen Dephan RI, 2004.

Soegiri dkk., 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara

Republik Indonesia, Jakarta, 0/ Indra Djaja, 1976.

S.R. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Jakarta: Alumni Ahaem­

Petehaem, 1992.

---� Pengena/an dan Pembangunan Hukum Militer Indonesia. Pidato

Dies Nata lis A H M- PTH M ke-32 ta nggal 2 Oktober 1 984, Jaka rta

Alumni Ahaem-Petehaem, 1985.

Tambunan, A.S.S. Hukum Militer Indonesia Suatu Pengantar, Jakarta: Pusat Studi Hukum Militer STHM, 2005.

____ Hukum Disiplin Militet; Suatu Kerangka Teori, Jakarta: Pusat

Studi Hukum Militer STHM, 2005.

____,Politik Hukum Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta:

Puporis Publishers, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Pada masa baru saja guru habis mengajar sesuatu kemahiran, mereka dapat mengingatinya dengan baik dan dapat juga menunjukkan prestasi yang bagus dalam latihan yang diberikan yang

72 berpendidikan akhir lebih tinggi (D3 &amp; S1) menonton acara RAbu KETawa terutama untuk informasi, pengawasan lingkungan, dan hiburan sedangkan motif

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji faktor penyebab terjadinya perbedaan pengaturan barang impor dalam keadaan baru sebagaimana adanya undang-undang dan

digunakan tetapi kondisinya kotor dan tidak terawat, sehingga pengunjung merasa tidak nyaman (Wawancara 18 Januari 2017). Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat

albicans (CC3) memiliki jumlah yang berbeda nyata (P&lt;0.05) dengan Kelompok Kontrol (CC0) dan Kelompok yang diberikan kortikosteroid (CC2) (minggu ke-2, ke-3, ke-4

Akhlaq merupakan aspek ajaran Islam yang berhubungan dengan tata perilaku manusia sebagai hamba Allah, anggotamasyarakat, dan bagian dari alam sekitarnya. Kata akhlaq

Kemudian setelah semua byte sudah selesai dibaca maka komputer akan membungkusnya menjadi sebuah file yang isinya sama persis dengan yang terdownload Proyek akhir

Tabel IX menunjukkan bahwa trafik pencarian tertinggi pada web site investasitanah.com adalah pada keyword investasi tanah sebesar 75,96 % sedangkan investasi cerdas