• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Ketimpangan, Jumlah Penduduk Miskin, Investasi Dan Ipm Terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Jawa Barat Tahun 2011-2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Pengaruh Ketimpangan, Jumlah Penduduk Miskin, Investasi Dan Ipm Terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Jawa Barat Tahun 2011-2017"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH KETIMPANGAN, JUMLAH PENDUDUK

MISKIN, INVESTASI DAN IPM TERHADAP BELANJA DAERAH

KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT TAHUN 2011-2017

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi dan Bisnis

Oleh :

BAYU DWI UTOMO B 300 150 174

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

1

ANALISIS PENGARUH KETIMPANGAN, JUMLAH PENDUDUK MISKIN, INVESTASI DAN IPM TERHADAP BELANJA DAERAH KABUPATEN/KOTA DI

JAWA BARAT TAHUN 2011-2017 Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketimpangan (GR), jumlah penduduk miskin (JPM), investasi (I), dan IPM (IPM) terhadap belanja daerah (BD) kabupaten/kota di Jawa Barat 2011-2017 dengan menggunakan metode regresi data panel. Data panel yaitu gabungan antara data cross section dan data time series. Adapun model yang paling tepat dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Fixed Effect Model (FEM) setelah melakukan uji chow, uji hausman dan Uji Lagrange Multiplier. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel ketimpangan, jumlah penduduk miskin, investasi dan IPM berpengaruh positi dan signifikan terhadap belanja daerah kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2011-2017.

Kata Kunci : Ketimpangan, IPM, Jumlah Penduduk Miskin, Investasi, Fixed Effect Model, Belanja Daerah.

Abstract

This research was conducted to determine the effect of inequality (GR), the number of poor people (JPM), investment (I), and HDI (HDI) on regional expenditure (BD) districts / cities in West Java 2011-2017 by using panel data regression method. Panel data is a combination of cross section data and time series data. The most appropriate model in this study is to use the Fixed Effect Model (FEM) method after conducting the chow test, the hausman test and the Lagrange Multiplier test. The results of this study indicate that the inequality variable, the number of poor population, investment and HDI have a positive and significant influence on district / city regional expenditure in West Java in 2011-2017.

Keywords: Inequality, HDI, Number of Poor Population, Investment, Fixed Effect Model, Regional Expenditures.

1. PENDAHULUAN

Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah secara langsung dirasakan oleh pemerintah daerah (Kabupaten/Kota). Setiap daerah di tuntut untuk dapat mencari sumber pembiayaan bagi pembangunan daerahnya. Salah satu sumber pembiayaan untuk pembangunan daerahnya yaitu dengan adanya sumber- sumber penerimaan daerah yang meliputi pendapatan asli daerah dan dana perimbangan.

Provinsi Jawa Barat terdiri dari 18 Kabupaten dan 9 Kota dalam menjalankan otonomi daerah dan desentralisasi dituntut untuk mampu mengelola keuangannya sendiri. Pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dari keuangan di masing masing daerah Kab/Kota. Sesuai dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 dan dilengkapi dengan

(6)

2

Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 dan disempurnakan sehingga penerimaan pemerintah daerah dapat disimak dalam UU Nomor 32 dan 33 tahun 2004. Disebutkan dalam peraturan tersebut bahwa sumber penerimaan daerah terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan. (Muluk, Khairul M.R, 2005: 146).

Belanja Pemerintah baik pusat maupun daerah sama-sama berperan dalam menanggulangi masalah pengangguran dan kemiskinan. Dalam hal pengangguran, peran pusat dan daerah kurang lebih terlihat seimbang. Sedangkan dalam hal kemiskinan, tampak bahwa peran pusat lebih besar dari daerah. Hal ini berarti bahwa anggaran program penanggulangan kemiskinan secara skala lebih besar di tingkat Pemerintah Pusat dibanding Pemerintah Daerah. Kemungkinan lainnya, program penanggulangan kemiskinan di daerah belum memiliki tingkat efektivitas seperti program yang dilakukan di tingkat Pemerintah Pusat. Secara kumulatif, belanja pemerintah baik pusat maupun daerah terlihat lebih berpengaruh terhadap kemiskinan daripada pengangguran. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan fokus Pemerintah secara keseluruhan yang memprioritaskan penanggulangan kemiskinan dibanding pengangguran.

Hakikat Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang disusun oleh pemerintah daerah adalah harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya, sehingga setiap belanja dalam program dan kegiatan yang direncanakan dalam APBD harus bertumpu pada hal tersebut. Belanja Daerah merupakan bagian utama dalam APBD yang berkaitan dengan peran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam peraturan menteri dalam negeri nomor 13 tahun 2006 tentang pengelolaan keuangan daerah pengeluaran pemerintah daerah (belanja) di kelompokan menjadi dua yaitu belanja langsung dan belanja tidak langsung. Pengeluaran pemerintah daerah melalui belanja langsung maupun belanja tidak langsung merupakan alat intervensi pemerintah terhadap perekonomian yang dianggap paling efektif. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan pemerintah daerah melalui alokasi belanjanya. Alokasi belanja yang baik tentunya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah daerah Jawa Barat dalam menjalankan kebijakan anggarannya tentunya tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada tentang pengelolaan keuangan daerah. Baik mulai dari proses perencanaan program dan kegiatan bahkan sampai pelaksanaan program kegiatan tetap berpedoman pada ketentuan yang ada serta berdasarkan juga potensi yang ada di Jawa Barat.

(7)

3

Tabel 1. Nilai Belanja Daerah Provinsi di Pulau Jawa tahun 2016-2017 (Miliar rupiah)

PROVINSI BELANJA DAERAH RATA-RATA

2016 2017 Jawa Timur 23.859.953.926.118 28.878.134.635.609 19% Jawa Tengah 19.354.374.825.983 22.884.713.018.754 15% Jawa Barat 27.621.964.467.242 32.706.749.485.377 21% DKI Jakarta 47.128.810.245.854 51.066.081.379.887 35% Banten 8.925.813.442.214 9.512.813.119.364 7% DI Yogyakarta 3.847.962.965.847 4.920.626.776.619 3% TOTAL 130.738.879.873.258 149.969.118.415.610 100% Sumber : BPS Jabar, Kementrian Keuangan, dan data diolah

Berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa belanja daerah masing-masing provinsi di pulau jawa selama tahun 2016-2017 terus meningkat. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah belanja daerah terbesar kedua setelah Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan provinsi dengan jumlah belanja daerah terendah yaitu DI Yogyakarta. Begitu juga dilihat berdasarkan distribusinya terhadap total belanja daerah masing-masing Provinsi di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Barat masih tetap menjadi yang terbesar kedua setelah provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 21 persen dan yang terendah DI Yogyakarta sebesar 3 persen. Melihat hal tersebut tentunya sangatlah wajar, karena Provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan DKI Jakarta

Dengan posisi Jawa Barat yang memiliki jumlah belanja daerah terbesar kedua setelah DKI Jakarta di Pulau Jawa maka seharusnya dibarengi dengan jumlah penduduk miskin yang terus berkurang, hal ini menunjukan bahwa alokasi belanja daerah di Jawa Barat memang bagi kesejahteraan rakyat. Dari data realisasi APBD 2011-2017 menunjukan bahwa pada sub-sub belanja pegawai dan belanja bantuan sosial dimana sub bantuan sosial masih berada dibawah sub belanja pegawai. Hal ini dapat dilihat bahwa kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap kemiskinan, walaupun pada dasarnya pemerintah sudah ada upaya perbaikan dalam menuntaskan kemiskinan di daerahnya namun apabila kita bandingkan dengan jumlah pendapatan yang diperoleh dan alokasi belanja yang lain maka hal ini belumlah cukup sebagai realisasi program pengentasan kemiskinan karena berdasarkan data yang penulis telusuri bahwa masih ditemukannya jumlah belanja pegawai yang lebih besar daripada jumlah belanja untuk sektor bantuan sosial, hal ini menunjukan adanya ketimpangan dan gemuknya birokrasi yang perlu diurus. Adanya ketimpangan dari sejumlah daerah yang masih meningkat, hal ini

(8)

4

dalam kasus di Cianjur, Garut, dan Cirebon pada tahun 2016 secara berturut-turut mengalami kenaikan sebesar 0,8, 0,4, dan 0,3. Secara jelas bahwa pada setiap daerah mengalami pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda, pada daerah Bekasi, Bogor dan Karawang yang menjadi daerah penyokong ibukota yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang dinamis dan berkembang dinbanding dengan daerah lain. Inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah daerah sebagai pemecah solusi agar pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dengan alokasi belanja daerah yang merata sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Peningkatan kebijakan alokasi belanja daerah dengan melihat pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia sehingga kesejahteraan masyarakat kan lebih baik.

Berdasarkan uraian dari latar belakang dimuka, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Investasi, Ketimpangan, IPM dan Jumlah

Penduduk Miskin terhadap Alokasi Belanja Daerah Kabupaten/kota di Jawa Barat Tahun 2011-2017”.

2. METODE

Untuk menganalisis pengaruh ketimpangan, jumlah penduduk miskin, investasi, dan IPM terhadap belanja daerah kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2011-2017 maka penelitian ini menggunakan analisis data panel.

Metode - metode yang ditawarkan menganalisis data panel antara lain:

2.1Common Effect Model (Pooled Least Square/PLS)

Metode common effect adalah pendekatan paling sederhana untuk mengestimasi data panel dimana hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. Metode pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu. Diasumsikan bahwa perilaku data antar daerah sama dalam berbagai kurun waktu (Widarjono, 2009). Model ini hanya menggabungkan kedua data tersebut tanpa melihat perbedaan antar waktu dan individu sehingga dapat dikatakan bahwa model ini sama halnya dengan metode OLS (ordinary least square) karena menggunakan kuadrat kecil biasa. Model ini biasanya digunakan sebagai pembanding dari kedua pemilihan model lainnya.

Model regresi PLS ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

𝑩𝑫 = 𝜷𝟎+ 𝜷𝟏𝑮𝑹 − 𝜷𝟐𝑱𝑷𝑴 + 𝜷𝟑𝑰 + 𝜷𝟒𝑰𝑷𝑴 + 𝒆𝒊𝒕 (1)

Dimana :

BD : Belanja Daerah

(9)

5

β1, β2, β3, β4: Koefisien regresi

GR : Gini Ratio

JPM : Jumlah penduduk miskin

I : Investasi

IPM : Indeks pembangunan manusia

e : error temp

2.2Fixed Effect Model

Pendekatan model ini menggunakan variabel dummy yang dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect) atau Least Square Dummy Variabel (LDSV). Pada metode ini, estimasi dapat dilakukan dengan tanpa pembobot (no weighted) atau Least Square Dummy Variabel (LDSV) dan dengan pembobot (cross section weight) atau General Least Square (GLS). Tujuan dilakukan pembobotan adalah mengurangi heterogenitas antar unit cross section (Gujarati, 2004). Pemilihan model antara common effect dengan fixed effect dapat dilakukan dengan pengujian Likelihood Test Rasio dengan ketentuan apabila nilai probabilitas yang dihasilkan signifikan dengan alpha maka dapat diambil keputusan menggunakan model fixed effect.

Adapun model regresi FEM dapat diformulasikan sebagai berikut :

𝑩𝑫 = 𝜷𝟎+ 𝜷𝟏𝑮𝑹 − 𝜷𝟐𝑱𝑷𝑴 + 𝜷𝟑𝑰 + 𝜷𝟒𝑰𝑷𝑴 + 𝜷𝟓𝒅𝟏𝒊+ 𝜷𝟔𝒅𝟐𝒊+ 𝜷𝟕𝒅𝟑𝒊+ 𝜷𝟖𝒅𝟒𝒊+ 𝒖𝒊𝒕 (2) Dimana : BD : Belanja Daerah β0 : Konstanta β1, β2, β3, β4 : Koefisien regresi GR : Gini Ratio

JPM : Jumlah penduduk miskin

I : Investasi

IPM : Indeks pembangunan manusia

e : error temp

d : Variabel semu

Menurut Gujarati fixed effect memiliki bebrapa kelemahan antara lain : a. Kekurangan derajat kebebasan sebagai akibat jumlah sampel yang terbatas. b. Banyaknya variabel dummy sehingga menyebabkan multikolinieritas.

c. Memiliki keterbatasan kemampuan estimasi, terutama jika terdapat variabel yang bersifat tidak berubah berdasarkan waktu.

(10)

6

2.3Random Effect Model

Memasukkan dummy dalam model fixed effect bertujuan untuk mewakili ketidaktahuan kita tentang model yang sebenarnya. Namun membawa konsekuensi berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) sehingga pada akhirnya mengurangi efisiensi parameter. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan variabel gangguan (error term) yang dikenal dengan random effect. Keputusan penggunaan model fixed effect ataupun random effect

ditentukan dengan menggunakan Uji Hausman dengan ketentuan apabila probabilitas yang dihasilkan signifikan dengan alpha maka dapat digunakan metode fixed effect. namun, apabila sebaliknya maka dapat memilih salah satu yang terbaik antara model fixed effect dengan

random effect.

Adapun model efek random dapat dirumuskan sebagai berikut : 𝑩𝑫 = 𝜷𝟎+ 𝜷𝟏𝑮𝑹 − 𝜷𝟐𝑱𝑷𝑴 + 𝜷𝟑𝑰 + 𝜷𝟒𝑰𝑷𝑴 + 𝝎𝒊𝒕 (3) Dimana : BD : Belanja Daerah β0 : Konstanta β1, β2, β3, β4 : Koefisien regresi GR : Gini Ratio

JPM : Jumlah penduduk miskin

I : Investasi

IPM : Indeks pembangunan manusia

e : error temp

ω : ei + uit, gabungan 2 komponen, yaitu ei (cross section) dan uit (gabungan error time series dan cross section)

Metode yang di tawarkan oleh regresi data panel dapat dipilih dengan beberapa uji untuk menentukan manakah model REM,FEM atau PLS yang paling tepat untuk digunakan.uji yang dapat digunakan yaitu diantaranya :

2.3.1 Uji Chow.

Hipotesis dalam uji chow-test/likehood ratio test, yaitu : H0 : model mengikuti Common/Pooled.

HA : model mengikuti Fixed Effect.

2.3.2 Uji Hausman.

(11)

7

H0 : model mengikuti Random Effect.

HA : model mengikuti Fixed Effect.

2.3.3 Uji Lagrange Multiplier

Pengujian uji Lagrange Multiplier dilakukan dengan hipotesis berikut: H0 : model Polled Least Square / PLS

Ha : model Random Effect Model / REM

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan merupakan data panel (gabungan data deret waktu/ time series dengan cross section) yang di peroleh dari beberapa sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Badan perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA), Publikasi beberapa penelitian terdahulu, dinas-dinas terkait, buku-buku, media internet dan jurnal-jurnal.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1Hasil Estimasi

Dalam penelitian ini, untuk mengetahui pengaruh ketimpangan, jumlah penduduk miskin, investasi dan indeks pembangunan manusia terhadap belanja daerah digunakan alat analisis regresi data panel dengan model ekonometrik sebagai berikut :

𝑩𝑫 = 𝜷𝟎+ 𝜷𝟏𝑮𝑹 − 𝜷𝟐𝑱𝑷𝑴 + 𝜷𝟑𝑰 + 𝜷𝟒𝑰𝑷𝑴 + 𝒆𝒊𝒕 (4)

Dimana :

BD : Belanja Daerah (Rupiah)

β0 : Konstanta

β1, β2, β3, β4 : Koefisien regresi

GR : Gini Ratio (Rasio)

JPM : Jumlah penduduk miskin (Ribu Jiwa)

I : Investasi (Rupiah)

IPM : Indeks pembangunan manusia (persen)

E : error temp

Hasil regresi data panel dengan pendekatan Pooled Ordinary Least Square Model

atau Common Effect Model, Fixed Effect Model dan Random Effect Model dapat dilihat pada tabel IV-6 :

(12)

8

Tabel 2. Hasil Regresi Data Panel

Variabel Koefisien Model

PLS FEM REM

C -1.97E+12 7.22E+11 -5.59E+11

GR 5.26E+11 2.07E+12 1.44E+12

JPM 6.89E+09 -4.12E+09 3.84E+09

I 0.023907 0.019078 0.022854

IPM 4.20E+10 2.10E+10 2.38E+10

R2 0.552360 0.814972 0.283363

Adj R2 0.542628 0.779840 0.267784

F-Statistik 56.76110 23.19744 18.18870

Prob F-Statistik 0.000000 0.000000 0.000000

Sumber : Olah data panel menggunakan E-Views8

3.2Pemilihan Model Estimasi Terbaik 3.2.1 Uji Chow (Likehood Test Ratio)

Uji Chow adalah pengujian yang digunakan untuk melihat apakah model FEM lebih baik dibandingkan dengan model CEM/PLS. Hasil dari pengolahan uji chow adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Estimasi Data Panel Dengan Uji Chow

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 8.625012 (26,158) 0.0000

Cross-section Chi-square

166.977839 26 0.0000

Sumber : Hasil output regresi data panel menggunakan E-Views8 3.2.1.1Formula hipotesis

H0 : Model menggunakan Common Effect Model

H1 : Model menggunakan Fixed Effect Model

3.2.1.2Menentukan tingkat signifikansi Signifikansi (α) = 0,1

3.2.1.3Kriteria pengujian H0 diterima jika p-value > 0,1 H1 ditolak jika p-value ≤ 0,1 3.2.1.4Kesimpulan

Nilai p-value atau probabilitas F sebesar 0,0000 < 0,1 dan Chi-square sebesar 0,0000 < 0,1. Maka H0 ditolak dan H1 di terima sehingga model yang digunakan Fixed Effect Model

(13)

9

3.2.2 Uji Hausman

Uji Hausman adalah pengujian yang digunakan untuk melihat apakah model FEM lebih baik daripada model REM. Hasil pengolahan uji hausman adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Hasil Estimasi Data Panel Uji Hausman

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 42.393887 4 0.0000

Sumber : Hasil output regresi data panel menggunakan E-Views8 3.2.2.1Formula hipotesis

H0 : Model menggunakan Random Effect Model

H1 : Model menggunakan Fixed Effect Model

3.2.2.2Menentukan tingkat signifikansi (α) Signifikansi (α) = 0,1

3.2.2.3Kriteria pengujian H0 diterima jika p-value > 0,1 H1 diterima jika p-value ≤ 0,1 3.2.2.4Kesimpulan

Nilai p-value atau probabilitas dari Chi-square atau Cross-section random sebesar 0,0000 < 0,1, maka H0 ditolak dan H1 di terima sehingga model yang digunakan Fixed Effect Model

(FEM).

Berdasarkan hasil estimasi data panel untuk memilih model yang terbaik dengan melakukan uji chow dan uji hausman, maka terpilih model yang terbaik yaitu Fixed Effect Model (FEM), yang hasil estimasi lengkapnya terlihat pada tabel IV-9 dan tabel IV-10 berikut :

Tabel 5. Hasil Regresi Dengan Metode Fixed Effect Model (FEM)

R2 = 0.814972; DW-Stat = 0.549242; F-stat = 23.19744; Prob(F-stat) = 0.000000

Sumber: Hasil output regresi data panel menggunakan E-views8

Keterangan : * signifikan pada α = 0,01 ** signifikan pada α = 0,05 *** signifikan pada α = 0,1 Y = (7.22E + 11) (2.10E+10)IPMit (0.0150)** (2.07E+12)GRit (0.0909)* + (-4.12E+09)JPMit (0.0099)*** + (0,019078)Iit (0.0000)*** + −

(14)

10

3.3Uji Kebaikan Model Terpilih

3.3.1 Uji Statistik F

Uji F digunakan untuk menguji eksistensi suatu model. Secara teoritis langkah-langkah dalam Uji F adalah sebagai berikut :

3.3.1.1Formula hipotesis

H0 : β1 = β2 = ... = βn = 0, model yang digunakan tidak eksis H1 : β1 ≠ β2 ≠ ... = βn ≠ 0, model digunakan eksis

3.3.1.2Menentukan tingkat signifikansi (α) Signifikansi α = 0,1

3.3.1.3Kriteria pengujian

H0 diterima jika signifikansi F > α H1 diterima jika signifikansi F ≤ α 3.3.1.4Kesimpulan

Dari hasil estimasi, nilai probabilitas signifikansi statistik F sebesar 0,000000 < 0,1 maka H0 ditolak dan H1 diterima sehingga model yang dipakai eksis.

3.3.2 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi daya ramal dari model statistik terpilih. Hasil estimasi menunjukan nilai R2 sebesar 0.814972 yang dapat diartikan 81,49%, artinya adalah 81,49% variasi belanja daerah dapat dijelaskan oleh variabel independen, dan sisanya 18,51% variasi belanja daerah dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

3.4Uji Validitas Pengaruh Variabel Independen Model Terpilih

Uji validitas pengaruh (uji t) dilakukan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh variabel-variabel independen yang berada dalam model.

Langkah-langkah uji t adalah sebagai berikut : 3.4.1 Formula hipotesis

H0 : β1 = β2 = ... = β4 = 0, tidak memiliki pengaruh signifikan H1 : β1 ≠ β2 ≠ ... = β4 ≠ 0, memiliki pengaruh signifikan 3.4.2 Menentukan tingkat sinifikansi (α)

Signifikansi α = 0,1 3.4.3 Kriteria pengujian

H0 diterima jika signifikansi statistik t > α H1 diterima jika signifikansi statistik t ≤ α 3.4.4 Kesimpulan

(15)

11

a. Prob. tGR sebesar 0,0909 ≤ 0,1. H1 diterima, maka variabel GR memiliki pengaruh signifikan.

b. Prob. tJPM sebesar 0,0099 ≤ 0,01. H1 diterima, maka variabel JPM memiliki pengaruh signifikan.

c. Prob. tI sebesar 0,0000 ≤ 0,01. H1 diterima, maka variabel I memiliki pengaruh signifikan.

d. Prob. tIPM sebesar 0,0150 ≤ 0,05. H1 diterima, maka variabel JPM memiliki pengaruh signifikan.

3.5Interpretasi Pengaruh Variabel Independen Model Terpilih

Berdasarkan hasil uji validitas, empat variable independen memiliki pengaruh signifikan yaitu variabel gini rasio, jumlah penduduk miskin, variabel investasi, dan variabel IPM yang masing-masing memiliki koefisien sebesar 0,0099; 0,0000; dan 0,0150.

3.5.1 Variabel gini rasio memiliki koefisien regresi sebesar 2.07E+12 . Apabila gini rasio naik satu persen, maka belanja daerah akan naik sebesar Rp. 2.070.000.000.000. Sebaliknya, apabila gini rasio turun satu persen, maka belanja daerah akan turun sebesar Rp. 2.070.000.000.000.

3.5.2 Variabel jumlah penduduk miskin memiliki koefisien regresi sebesar 4.12E+09 . Apabila Jumlah penduduk miskin naik seribu, maka belanja daerah akan naik sebesar Rp. 4.120.000.000. Sebaliknya, apabila jumlah penduduk miskin seribu, maka belanja daerah akan turun sebesar Rp. 4.120.000.000.

3.5.3 Variabel investasi memiliki koefisien regresi sebesar 0,019078 . Apabila investasi naik satu triliun, maka belanja daerah akan naik sebesar Rp. 0.019078. Sebaliknya, apabila investasi turun satu triliun, maka belanja daerah akan turun Rp. 0.019078.

3.5.4 Variabel IPM memiliki koefisien regresi sebesar 2.10E+10 . Apabila IPM naik satu persen, maka belanja daerah akan naik sebesar Rp. 21.000.000.000. Sebaliknya, apabila IPM turun satu persen, maka belanja daerah akan turun sebesar Rp. 21.000.000.000. Dari Tabel IV-10 dapat diketahui hasil estimasi persamaan regresi dalam kurun waktu yang diteliti yakni selama 2011 – 2017. Nilai konstanta terbesar adalah Kabupaten Cirebon sebesar 7,E+13/73922000000000, sedangkan nilai konstanta terendah adalah Kabupaten Banjar dengan nilai sebesar -1,E+12/-1498000000000. Dari nilai konstanta tersebut dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Cirebon memiliki tingkat belanja daerah yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain dan Kabupaten Banjar memiliki tingkat belanja daerah lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat.

(16)

12

3.6Interpretasi Ekonomi

3.6.1 Gini Rasio dengan Belanja Daerah

Berdasarkan hasil estimasi data panel, menunjukan bahwa variabel gini rasio berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja daerah di Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2011 – 2017.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sri Danawati, I.K.G Bendesa, Made Suyana Utama (2016) dengan judul “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Dan Investasi Terhadap Kesempatan Kerja, Pertumbuhan Ekonomi Serta Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali” yang menunjukan adanya hubungan positif antara Ketimpangan pendapatan dengan Pengeluaran Pemerintah dalam hal ini adalah belanja daerah. Semakin besar ketimpangan pendapatan maka pengeluaran pemerintah juga semakin tinggi. Kesenjangan pembangunan antarwilayah merupakan suatu hal yang umum terjadi dalam pembangunan ekonomi suatu daerah. Kesenjangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografis pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Todaro (2000) mengatakan bahwa untuk megurangi ketimpangan pendapatan, baik antar wilayah dan juga antar kelompok masyarakat merupakan upaya pemerintah pada berbagai tingkatan secara langsung berupa pembayaran transfer dan secara tidak langsung melalui penciptaan lapangan kerja, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan dan lain sebagainya. Terjadinya kesenjangan/disparitas antarwilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antarwilayah. Alesina dan Rodric (dalam Patta, 2012) mengemukakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemudian kesejahteraan masyarakat suatu wilayah pun akan mengalami penurunan. Hal ini berarti ketimpangan yang semakin naik akan menyebabkan kenaikan belanja daerah untuk meningkatkan alokasi-alokasi kegiatan efektif sehingga terjadi ekspansi dan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat akan naik.

3.6.2 Jumlah Penduduk Miskin dengan Belanja Daerah

Berdasarkan hasil estimasi data panel, menunjukan bahwa variabel jumlah penduduk miskin berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja daerah di Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2011 – 2017.

Menurut World Bank dalam laporan Era Baru, dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia (2006), bahwa disamping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka

(17)

13

menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non pendapatan) dengan beberapa hal. Dalam penelitian ini semakin bertambahnya jumlah penduduk miskin akan meningkatkan pengeluaran pemerintah dalam hal ini adalah belanja daerah. Hal ini sesuai dengan kaidah ekonomi dimana pemerintah akan mengurangi atau mengentaskan kemiskinan dengan menambah alokasi anggaran pada belanja daerah yang digunakan untuk kegiatan ekonomi sehingga pada akhirnya jumlah penduduk miskin yang meningkat akan menaikkan belanja daerah secara signifikan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan.

3.6.3 Investasi dengan Belanja Daerah

Berdasarkan hasil estimasi data panel, menunjukan bahwa variabel investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja daerah di Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2011 – 2017.

Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh karena itu, memperbaiki iklim investasi merupakan suatu tugas yang penting bagi setiap pemerintah, terutama negara-negara yang memiliki daya saing investasi yang rendah seperti Indonesia (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, 2005). Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan investasi di Indonesia adaalah dengan mengambil kebijkan fiskal ekspansif yang ditandai dengan peningkatan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal ekspansif dinilai dapat mendorong investasi melalui peningkatan Agregat Demand (permintaan agregat), untuk meningkatkan investasi dan selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi (Keynes,1936). Hal yang terjadi adalah ketika investasi meningkat maka produktivitas tinggi dan lebih banyak input ke dalam proses produksi, iklim investasi yang baik ini mendorong pemerintah untuk meningkatkan belanja daerah untuk kegiatan yang efektif dan efisien sehingga dampak luasnya dapat dirasakan oleh banyak masyarakat dan tercipta kesejahteraan.

3.6.4 IPM dengan Belanja Daerah

Berdasarkan hasil estimasi data panel, menunjukan bahwa variabel Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja daerah di Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2011 – 2017.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nur Isa Pratowo (2013) dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Jawa Tengah 2002-2009” yang menunjukan adanya hubungan positif antara Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengeluaran Pemerintah dalam hal ini adalah

(18)

14

belanja daerah. Ini berarti bahwa semakin tinggi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka semakin tinggi pula Belanja Daerah yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi berarti daerah tersebut sebenarnya telah tergolong daerah yang sudah maju. Daerah maju dengan fasilitas-fasilitas dan infrastruktur yang baikmemicu peningkatan pendapatan daerah. Dengan bertambahnya pendapatan pada daerah tersebut, pemerintah dapat menganggarkan belanja daerahnya lebih banyak. Sebagai pihak agen yang bertanggung jawab kepada masyarakat, kebijakan dan kegiatan pemerintah daerah harus dilaksanakan untuk kepentingan publik seperti pembangunan daerah. Di Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah sehingga mempengaruhi keputusan pemerintah daerah dalam menggunakan belanja modalnya.

4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan untuk mengkaji pengaruh variabel-variabel independen yaitu gini rasio, jumlah penduduk miskin, investasi dan IPM terhadap variabel dependen belanja daerah di Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2011 – 2017, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Model yang dipilih dalam penelitian ini adalah Fixed Effect.

b. Gini rasio berpengaruh positif terhadap belanja daerah. Artinya jika terjadi kenaikan ketimpangan pendapatan maka akan dikuti dengan kenaikan belanja daerah.

c. Jumlah penduduk miskin berpengaruh positif terhadap belanja daerah. Artinya jika terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin maka akan diikuti dengan kenaikan belanja daerah. d. Investasi berpengaruh positif terhadap belanja daerah. Artinya jika terjadi kenaikan

investasi maka akan diikuti dengan kenaikan belanja daerah.

e. IPM berpengaruh positif terhadap belanja daerah. Artinya jika terjadi kenaikan IPM maka akan diikuti dengan kenaikan belanja daerah.

f. Hasil estimasi menunjukan nilai R2 sebesar 0.814972 yang dapat diartikan 81,49%, artinya adalah 81,49% variasi belanja daerah dapat dijelaskan oleh variabel independen, dan sisanya 18,51% variasi belanja daerah dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

4.2 Saran

a. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan agar mengalokasikan belanja daerah kepada sektor-sektor yang efektif untuk kesejahteraan masyarakat, dengan semakin banyaknya

(19)

15

peningkatan anggaran belanja daerah pada sektor-sektor yang dirasa membutuhkan perhatian khusus maka akan secara langsung mengurangi ketimpangan dan kemiskinan. b. Dana transfer dialokasikan lebih banyak kepada daerah-daerah yang memiliki kondisi

demografis yang kurang sehingga daerah-daerah tersebut memiliki lebih banyak pendapatan untuk dialokasikan sebagai belanja daerah demi terciptanya kegiatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi bagi instansi terkait agar dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan-kebijakan alokasi anggaran belanja yang berperan dalam upaya pertumbuhan ekonomi.

d. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan lebih lanjut apa saja faktor yang berpengaruh terhadap belanja daerah khususnya di Jawa Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Adelman, Irma dan Cynthia T. Morris. 1973. Economic Growth dan Social Equity in Developing Countries. California: Stanford University Press.

Amalia, Rahmah, Madris, dan Abd.Rahman Razak. 2015. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Kemiskinan di Provinsi Sulawesi Barat. Jurnal Analisis,Vol.4 No.2 Desember 2015.

Anshari, Muhammad., dkk. 2018. Analisis Pengaruh Pendidikan, Upah Minimum Provinsi Dan Belanja Modal Terhadap Ketimpangan Pendapatan Di Seluruh Provinsi Di Indonesia. EcoGen, Volume 1, Nomor 3, 5 September 2018.

Arsyad, Azhar. 2016. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Arsyad, Lincolin. 1997. Ekonomi Pembangunan. Penerbit STIE YKPN. Yogyakarta. Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. Yogyakarta: STIE YKPN. Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Badan Pusat Statistik. 2011. Jawa Barat Dalam Angka 2011. Semarang: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Barat Dalam Angka 2012. Semarang: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2013. Jawa Barat Dalam Angka 2013. Semarang: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2014. Jawa Barat Dalam Angka 2014. Semarang: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2015. Jawa Barat Dalam Angka 2015. Semarang: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2016. Jawa Barat Dalam Angka 2016. Semarang: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2017. Jawa Barat Dalam Angka 2017. Semarang: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2018. Jawa Barat Dalam Angka 2018. Semarang: Badan Pusat Statistik. Baldwin, Robert E. 1986; Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi, terjemahan St.Dianjung,

(20)

16

Barika. 2013. Effect of Economic Growth, Goverment Spending, Unemployment and Inflation On The Level og Poverty In Sumatra Province. Jurnal Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan Vol.05,No.01. Universitas Bengkulu.

Danawati, Sri. Bandesa, I K.G, dan Utama, Made Suyana. 2016. “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Investasi Terhadap Kesempatan Kerja, Pertumbuhan Ekonomi Serta Ketimpangan Pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”. E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Universitas Udayana, Vol.5, No.7.

Dewi, Made Yustiari,. Sujana, I Ketut. 2014. Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas Pada Praktik Perataan Laba Dengan Jenis Industri Sebagai Variabel Pemoderasi di BEI.

ISSN 2302-8556. E-journal Akuntansi Universitas Udayana. 170-184. Bali.

Dornbursh, R, S. Fisher, and R.Startz. 2008. Macroeconomics, ten edition. Tokyo: Mc Graw-Hill Book Company.

Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: 1996.

Eni Setyowati dan Siti Fatimah. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Dalam Negeri di Jawa Tengah 1980-2002. Jurnal Ekonomi Pembangunan.

Erlina, 2008. Metodologi Peneltian Bisnis: Untuk Akuntansi dan Manajemen, Edisi kedua, Cetakan Pertama, USU Press, Medan.

Estomihi Hutabarat & D. Sriyono. (2014). Pengaruh Desentralisasi Fiskal, Pengeluaan Pemerintah, dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan 67 (Studi Kasus Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2002- 2013).

Fithri, Naylal., Kaluge, David. (2017). Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Kemiskinan di Jawa Timur. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 15(2):129-136.

Gujarati, Damodar N. 2004. Basic Econometrics, Fourth edition. Singapore: McGraw-Hill Inc. Gujarati, Damodar N. 2012. Dasar-dasar Ekonometrika, Terjemahan Mangunsong, R.C.,

Salemba Empat, buku 2, edisi 5, Jakarta.

Gujarati, Damodar. 2003. Ekonometrika Dasar. Terjemah Sumarno Zein. Jakarta: Erlangga. I Gusti Ayu Putri Wahyuni, Made Sukarsa, Nyoman Yuliarmi. 2014. Pengaruh Pengeluaran

Pemerintah Dan Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kesenjangan Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis. Universitas Udayana.

Jhingan, M.L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Jakarata.

Keynes, John M. 1936. The General Theory of Employment. Interest and Money. London : Macmillan.

Kuncoro, M. 1997. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.

Kuncoro, M. 2006. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Salemba Empat.

(21)

17

Kuznets, Simon. 1955. “Economic Growth And Income Inequality*”. The American Economic

Review, Volume XIV March, 1955 Number One.

Mangkoesoebroto, Guritno. 1999. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

McCann, P. 2001. Urban and Regional Economics. New York: Oxford University Press Inc. Pratowo, Nur Isa. (2013). Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Indeks

Pembangunan Manusia. Jurnal Studi Ekonomi Indonesia. Universitas Sebelas Maret. Vol.1, No.2. Surakarta.

Ratih, Gusti Ayu Putu Ambara., dkk. (2017). Pengaruh Investasi, Pengeluaran Pemerintah, Tenaga Kerja Terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Tingkat Kemiskinan Pada Wilayah Sarbagita di Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 6(1):29-54.

Ritonga, Hamonangan. (2003). Perhitungan Penduduk Miskin. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Romer, D. 2001. Advanced Macroeconomics, second edition. Singapore: McGraw-Hill Book

Company Co.

Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D. 2004. Ilmi Makro Ekonomi. Jakarta: PT. Media Edukasi.

Saputra, Wisnu Adhi. 2011. Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB, IPM, Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Naskah Publikasi Universitas Diponegoro.

Septiatin, A, et al. 2016. Pengaruh Inflasi dan Tingkat Pengangguran Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Jurnal I-Economic Vol.2(1).

Simon Kuznets, 1955. Economic Growth and Income Inequality, The American Economic Review, Volume XLV.

Sjafrizal. 2012. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Jakarta: Jurnal Buletin Prisma.

Sukirno, Sadono. 2000. Makroekonomi Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sukirno, Sadono. 2007. Makro Ekonomi Modern; Perkembangan Pemikiran dari Klasik hingga Keynesian baru. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sukirno, Sadono. 2010. Makroekonomi Teori Pengantar Edisi ketiga. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sukirno, Sadono. 2013. Makroekonomi : Teori Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sukirno, Sadono. 2014. Ekonomi Pembangunan: Proses, masalah, dan dasar Kebijakan edisi

kedua. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Sukirno, Sandono. 2006. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Jakarta: Prenada Media Group.

Sunariyah. 2003. Pengantar Pengetahuan Pasar Modal. Yogyakarta. (UPP) AMP YKPN. Suparlan, Parsudi. 2004. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor.

(22)

18

Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting Dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian: Penjelasan tentang konsep, istilah, teori dan indikator serta variabel. Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga(jilid 1). Jakarta: Erlangga Todaro, Michael P. Dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi (edisi kesembilan,

jilid I). Jakarta: Erlangga.

Triariani, Endah Ernany., dkk. (2016). Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Pengangguran dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Berau. Jurnal Ekonomi Fakultas Ekonomi. Universitas Mulawarman: 1-28. Samarinda.

UNDP. 1993. Human Development Report. New York: United Nations Development Program. UNDP. 1995. Human Development Report. New York: United Nations Development Program. Widarjono, Agus. 2009. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya, edisi ketiga. Yogyakarta:

EKONISIA.

Widarjono, Agus. 2013. Ekonometrika: Pengantar dan Aplikasinya disertai Panduan Eviews. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Widiagma, Aditya Putra. 2015. Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia dan Jumlah Penduduk Terhadap Belanja Modal pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur. Universitas Jember.

Widodo, Tri. 2006. Perencanaan Pembangunan. Aplikasi Komputer (Era Otonomi Daerah).

UUP STIM YKPN. Yogyakarta.

Wiranata, S. 2004. Pengembangan Investasi di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi Pembangunan, XII (1) 2004.

World Bank. 2000. Global Poverty Report.

World Bank. 2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.

World Bank. 2007. Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah: Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007.

Gambar

Tabel 1. Nilai Belanja Daerah Provinsi di Pulau Jawa tahun 2016-2017 (Miliar rupiah)
Tabel 3. Hasil Estimasi Data Panel Dengan Uji Chow

Referensi

Dokumen terkait

Pabrik Anilin ini direncanakan didirikan di daerah Cilegon, Banten dan menghasilkan produk sebanyak 3.000 Ton/Tahun, Proses yang digunakan dalam prarancangan pabrik Anilin ini

Pada sistem pengupahan kedokan , rataan curahan tenaga kerja per ha terbanyak adalah pada kegiatan penyiangan, dengan jumlah total rataan tenaga kerja (luar dan

Simalungun dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2017 seperti nomor induk kependudukan (NIK), nama penduduk, nomor kartu keluarga, alamat penduduk, jenis pekerjaan, tanggal

Pada penelitian ini, partisipasi masyarakat dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu partisipasi secara langsung dan partisipasi secara tidak langsung.Partisipasi secara

Pentium II Xeon yang hadir pada tahun 1998 mengandung inovasi teknis yang dirancang khusus untuk mengakomodasi kebutuhan komputer server, disamping untuk menjalankan

Kualitas udara dan tingkat kebisingan yang terukur di Gedung AHN IPB memiliki kondisi yang sangat baik, karena hasil pengukurannya menunjukkan nilai yang masih berada

Dengan demikian jika seseorang terkena musibah dan dirinya merasa frustasi maka seseorang agar berserah diri pada Allah dan berdoa agar terhindar dari yang

Flowchart sistem ini menggambarkan hubungan antara sistem aplikasi dan sensor curah hujan, dimana sistem akan mengambil informasi data pada curah hujan