ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG
DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN
SKRIPSI
Oleh :
Muhammad Syifaul Ansori
NIM. C72213150
Prodi Hukum Ekonomi Syariah
Jurusan Hukum Perdata Islam
Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
SURABAYA
v ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Penahanan Sawah sebagai Jaminan pada Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
Data penelitian ini dihimpun dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, dokumentasi dan wawancara. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis yaitu dengan menjelaskan data-data yang diperoleh. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pola pikir induktif yaitu dimulai dari hal-hal yang bersifat khusus kemudian ditarik ke hal-hal umum sehingga memperoleh kesimpulan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan ini dilakukan murtahin ketika ra>hin tidak mampu membayar hutangnya sebesar Rp. 6.000.000,- selama dua tahun maka barang jaminan milik ra>hin akan ditahan dan kemudian disewakan kepada pihak lain senilai Rp. 5.000.000,- dengan jangka waktu tiga tahun. Menurut analisa rahn, secara teori penahanan sawah saat ra>hintidak mampu melunasi hutangnya ketika jatuh tempo tidak diperbolehkan, namun praktik penahanan sawah yang terjadi di Desa Kebalan Pelang itu merupakan suatu kebiasaan yang telah terjadi sejak lama dan juga kedua belah pihak saling rela dalam hal hanya melakukan penahanan sehingga praktik seperti itu diperbolehkan. Sedangkan dilihat dari analisa ija>rah, maka hukum penyewaan barang jaminan itu sah karena telah sesuai dengan ketentuan ija>rah dan pembolehan itu dikarenakan Bapak Sidik (murtahin) memiliki hak milik na>qis (pemanfaatan) terhadap barang jaminan tersebut..
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 16
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16
G. Definisi Operasional ... 17
H. Metode Penelitian ... 18
I. Sistematika Penulisan ... 25
BAB II RAHN,IJA<RA H,DAN HAK MILIK DALAM ISLAM A.Rahn 1. PengertianRahn ...27
2. Dasar HukumRahn ... 29
3. Rukun dan Syarat Rahn ...31
4. Berakhirnya AkadRahn ...35
ix
6. PenyelesaianRahn ...39
B.Ija>rah 1. PengertianIja>rah ...40
2. Dasar HukumIja>rah ...43
3. Rukun dan Syarat Ija>rah ...45
4. Ketentuan PadaIja>rah ...53
C. Hak Milik 1. Pengertian Hak ... 56
2. Pengertian Milik ... 57
3. Macam-Macam Hak Milik ... 58
4. Sebab-Sebab Kepemilikan dalam Islam ... 60
BAB III PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN A. Gambaran Umum Desa Kebelan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan 1. Keadaan Geografis ... 61
2. Keadaan Demografis ... 62
B. Praktik Penahanan Sawah sebagai Jaminana pada Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan 1. Faktor Mencuatnya Hutang Piutang dengan Jaminan di Desa Kebalan Pelang ... 64
2. Masyarakat yang Melakukan Akad Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang ... 66
3. Proses Terjadinya Transaksi Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang ... 66
4. Praktik Penahanan Sawah di Desa Kebalan Pelang ... 68
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Penahanan Sawah sebagai Jaminan pada Hutang Piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan ... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 88
B. Saran ... 89
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk
sosial, yakni makhluk yang ditakdirkan untuk hidup dalam masyarakat yang
mana manusia pasti memerlukan manusia lainnya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Interaksi sosial antara satu manusia dengan manusia
lainnya ini disebut dengan muamalah.1 Dalam hal ini Islam telah mengatur
banyak hal dalam bidang muamalah, yakni bidang yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya dalam masyarakat mengenai kebendaan
dan hak-hak serta penyelesaian persengketaan-persengketaan yang mungkin
terjadi dalam pelaksanaan muamalah tersebut, salah satunya yang berkaitan
dengan pelaksanaan praktik hutang piutang dengan memberikan suatu
jaminan atau yang disebut juga dengan akadar-rahn.2
Dalam dunia modern saat ini, banyak sekali masyarakat kita yang
telah melakukan praktik hutang piutang dengan memberikan suatu jaminan.
Praktik seperti ini pada lingkup masyarakat sendiri dianggap sebagai suatu
transaksi yang bisa dilakukan dengan cepat tanpa harus takut kehilangan
barang yang telah di jaminkan. Karena jika seseorang bisa melunasi
hutangnya maka barang jaminan tersebut akan kembali kepadanya.
1
Ahmad Azhar Basyir, A sas-asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam), edisi revisi,
(Yogyakarta: UII Press, 2000), 11.
2
2
Dengan model transaksi yang seperti inilah akadrahn merupakan salah satu
akad yang dianggap menguntungkan bagi para pihak yang melaksanakan
akad tersebut.
Praktik hutang piutang dengan memberikan suatu jaminan ini
kembali mencuat setelah banyaknya masyarakat sekitar kita yang telah
melakukan akad tersebut untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi.
Banyak sekali hal atau alasan yang melatar belakangi terjadinya praktik
hutang piutang dengan memberikan suatu jaminan diantaranya adalah
prosesnya yang bisa dibilang cepat dan sederhana sehingga mereka (orang
yang berhutang) bisa mendapatkan uang yang mereka butuhkan dengan
cepat hanya dengan menjaminkan barang yang mereka miliki. Alasan lain
yang melatar belakangi terjadinya praktik hutang piutang tersebut adalah
karena dalam akad rahn, orang yang menjaminkan barangnya masih
dianggap sebagai pemilik barang tersebut meskipun barang itu telah
dijadikan jaminan, sehingga orang yang menjaminkan barangnya tidak
begitu khawatir akan kehilangan barang tersebut karena ketika dia bisa
melunasi hutangnya, maka barang tersebut akan kembali kepadanya.
Pada dasarnya kegiatan hutang piutang dengan menggunakan
jaminan ini dalam Islam biasa disebut dengan rahn. Secara bahasa, rahn
berarti
“as-Thubu>t wa ad-Dawa>m”yang diartikan tetap dan
3
H{absu wa al-luzu>m” yang artinya pengekangan dan keharusan.3 Adapun
secara istilah para ulamafiqhmendefinisikan akadrahnsebagai berikut :
Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.4
Menurut Syafi’i Antonio rahn adalah suatu akad dimana seseorang
menahan salah satu benda atau harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya.5 Maksudnya adalah bahwa dalam hal ini orang
yang meminjam (ra>hin) harus memberikan atau menyediakan barang yang
dimilikinya untuk dijadikan jaminan atas hutangnya kepada orang yang
memberi pinjaman (murtahin). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, rahn adalah penguasaan barang milik peminjam oleh
pemberi pinjaman sebagai jaminan.6
Sebagaimana telah dikemukakan beberapa pengertian ar-rahn
menurut pendapat para ulama fiqh, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
ar-rahnadalah transaksi hutang piutang dimana pihak yang berhutang (ra>hin)
harus bersedia menyerahkan barang miliknya sebagai jaminan kepada orang
yang memberinya pinjaman (murtahin) dan barang tersebut bisa kembali
kepada penggadai dengan cara menebusnya. Bahwa sudah jelas barang yang
diserahkan kepada penerima gadai hanyalah sebatas jaminan.
3
Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah,(Bandung: Pustaka Setia, 2004), 159.
4 Ibid. 5
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia
Institute, 1999), 182. 6
4
Dasar hukum tentang dibolehkannya transaksi rahn ini dijelaskan
dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 283 yaitu :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS al-Baqarah : 283)7
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa suatu transakti hutang piutang
dengan memberikan suatu jaminan itu diperbolehkan dalam Islam. Apabila
antara dua orang yang melakukan transaksi (ra>hindanmurtahin) tidak saling
percaya, maka murtahin boleh meminta suatu barang dari ra>hin untuk
dijadikan jaminan.
Rahnsendiri bukan merupakan suatu akad atau transakti yang baru di
kalangan masyarakat. Bahkan pada zaman dahulu Rasulullah Saw pernah
melakukan transaksi tersebut dengan menggadaikan baju besinya kepada
seorang yahudi. Sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam satu riwayat
5
“Dari Aisyah ra berkata, bahwa seseungguhnya Nabi SAW. membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.”8
Pada praktiknya, sering terjadi perbuatan atau tindakan dari
masing-masing pihak yang belum sesuai dengan ketentuan hukum Islam, seperti
halnya penahanan terhadap barang jaminan tersebut. Berkaitan dengan
penahanan terhadap barang jaminan pada ra>hin yang tidak bisa membayar
hutangnya saat jatuh tempo. Obyek gadai atau barang jaminan yang
harusnya dijual untuk melunasi hutang rahin>, tetapi masih banyak sekali
orang yang ketika ra>hin tidak bisa membayar hutangnya saat jatuh tempo,
barang jaminan tersebut akan terus ditahan olehmurtahin.
Adapun berkaitan dengan ra>hin yang tidak mampu membayar atau
melunasi hutangnya saat jatuh tempo maka murtahin diperbolehkan
memberikan jangka waktu lagi untuk ra>hin agar melunasi hutangnya. Jika
memang dalam jangka waktu yang telah diberikan oleh murtahin tenyata
ra>hinmampu melunasi hutangnya maka tidak ada masalah lagi, dalam artian
hutang ra>hintelah lunas danmurtahin harus mengembalikan barang jaminan
kepada pemiliknya yaitura>hin.
Akan tetapi jika dalam jangka waktu yang telah diberikan oleh
murtahin ternyata ra>hin tidak mampu melunasi hutangnya sebagaimana
ketentuan dalam hukum Islam, maka barang jaminan tersebut haruslah dijual
untuk dijadikan pelunasan hutang. Jika dalam penjualan barang jaminan
tersebut terdapat kelebihan dari jumlah hutangnya maka harus dikembalikan
8
Imam Zainudin Achmad bin Al-Lathif Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari,Penerjemah:
6
kepada ra>hin. Adapun jika dari hasil penjualan barang jaminan tersebut
masih kurang untuk menutupi hutang dari ra>hin maka murtahin berhak
meminta kekurangannya kepadara>hin.9
Berkaitan dengan penjualan barang jaminan terhadap ra>hin yang
tidak mampu melunasi hutangnya saat jatuh tempo para ‘ulama sepakat
bahwa penjualanmarhun(barang jaminan) ini bisa dilakukan dengan 2 (dua)
cara berikut : Pertama, Jika ra>hin bersedia menjual barang jaminan itu
sendiri dan marhun (barang jaminan) berada pada ra>hin maka penjualannya
dilakukan oleh ra>hin sendiri. Akan tetapi jika marhun telah dikuasai atau
ditahan oleh murtahin,maka sebelum menjual barang jaminan tersebut ra>hin
harus meminta izin kepada murtahin untuk melakukan penjualan terhadap
barang jaminan tersebut. Kedua, Jika ra>hin tidak mampu membayar
hutangnya saat jatuh tempo dan dia tidak mau menjual barang jaminannya
maka hakim berhak atau bahkan diharuskan memaksa ra>hin untuk menjual
barang jaminannya sebagai pelunasan hutang.10
Adapun praktik hutang piutang dengan menggunakan sawah sebagai
jaminan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
yaitu ketika seseorang membutuhkan dana cepat maka ia akan
meminjam/berhutang kepada orang yang dianggap mampu pada desa
tersebut dengan cara ra>hin (orang yang menjaminkan sawahnya) datang
9
Wahbah az-Zuhaili,Fiqih Islam W a A dillatuhu, Jilid 6, Penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, cet 1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 262
7
kepada murtahin (yang memberi pinjaman) untuk meminjam sejumlah uang
dengan menjadikan sawahnya sebagai jaminan.11
Ketika murtahin dan ra>hin melakukan transaksi hutang piutang
tersebut hanya disaksikan oleh beberapa orang dari keluarga murtahin tanpa
adanya bukti tertulis yang menyatakan bahwa ra>hin telah meminjam
sejumlah uang kepada murtahindan menjadikan sawahnya sebagai jaminan.
Kemudian setelah transaksi hutang piutang dilakukan oleh kedua belah pihak
danra>hinmenjaminkan sawahnya kepadamurtahin, maka jangka waktu akan
dimulai pada hari itu juga.
Berkaitan dengan jangka waktu pelunasan hutang pada hutang
piutang dengan menjadikan sawah sebagai jaminan di Desa Kebalan Pelang
Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan, murtahin sebagai orang yang
menerima barang jaminan dan ra>hin sebagai orang yang berhutang sepakat
dengan jangkan waktu 2 tahun untuk melakukan pelunasan. Apabila setelah
jatun tempo ra>hin mampu membayar hutangnya maka barang jaminan
berupa sawah akan dikembalikan langsung kepadara>hin. Namun, jika setelah
jatuh tempo ternyatara>hintidak mampu membayar atau melunasi hutangnya
maka barang jaminan tersebut ditahan oleh murtahin sampai dengan ra>hin
melunasi hutangnya.
Setelah murtahin menahan barang jaminan milik ra>hin karena tidak
bisa melunasi hutangnya, maka murtahin akan menyewakan barang jaminan
tersebut kepada pihak lain. Penyewaan barang jaminan ini dilakukan sampai
11
8
ra>hin mampu membayar hutangnya secara lunas, namun apabila ra>hin
mampu membayar hutangnya sedangkan sawahnya masih disewakan kepada
pihak lain, maka pelunasan hutang dan pengembalian barang jaminan akan
dilakukan setelah masa sewa selesai.12
Berdasarkan latar belakang di atas maka jelas bahwa dalam Hukum
Islam ketika ra>hin tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh tempo
maka barang jaminan dalam hal ini adalah sawah seharusnya dijual untuk
dijadikan pelunasan terhadap hutang dari ra>hin. Sedangkan praktik hutang
piutang dengan memberikan jaminan berupa sawah di Desa Kebalan Pelang
ini berbeda dengan teori rahn, hal inilah yang melatar belakangi penulis
untuk mengangkat transaksi seperti ini menjadi sebuah judul. Karena
transaksi rahn di desa tersebut telah dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat yang membutuhkan dana cepat dan bahkan seseorang bisa
melakukan transaksi ini beberapa kali, serta transaksi model seperti ini sudah
sekian lama dilakukan oleh masyarakat desa tersebut. Maka dari itu penulis
melakukan penulisan dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap
Penahanan Sawah sebagai Jaminan pada Hutang Piutang di Desa Kebalan
Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan”.
9
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah menginfentaris persoalan atau
masalah-masalah yang terdapat dalam penelitian ini.13
Berdasarkan penjelasan sebagaimana pada latar belakang di atas
maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang berkaitan dengan judul
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa
Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
b. Tata cara pengambilan jaminan di di Desa Kebalan Pelang Kecamatan
Babat Kabupaten Lamongan.
c. Proses terjadinya akad hutang piutang di Desa Kebalan Pelang
Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
d. Pemberian jangka waktu untuk pelunasan hutang di Desa Kebalan
Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
e. Penyewaan barang jaminan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat
Kabupaten Lamongan
f. Fungsi jaminan bagi masyaratak Desa Kebalan Pelang
g. Faktor masyarakat memilih hutang piutang dengan menjaminkan
sawah di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten
Lamongan
13
10
h. Analisis hukum Islam terhadap penahanan sawah sebagai jaminan pada
hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten
Lamongan
2. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, maka penulis
membatasi pada permasalahan sebagai berikut :
a. Praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa
Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
b. Analisis hukum Islam terhadap penahanan sawah sebagai jaminan pada
hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten
Lamongan
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini
terdapat dua rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang
piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap penahanan sawah sebagai
jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat
11
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak
merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah
ada.14Penelitian mengedai gadai atau rahn ini memang bukan pertama kali,
namun penulis belum menemukan penelitian yang secara spesifik membahas
tentang penyalahgunaan sawah gadai dalam bentuk penahanan sawah gadai
terhadapra>hinyang tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh tempo.
Adapun beberapa penelitian yang memiliki relevansi dengan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. “Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Gadai Sawah di Desa Morbatoh
Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang”. Skripsi yang ditulis oleh
Siti Holifah pada tahun 2015 ini membahas tentang tradisi gadai yang
dilakukan oleh masyarakat sekitar yang mana ketika kedua pihak
melakukan transaksi gadai maka sawah gadai tersebut akan langsung
dimanfaatkan oleh pemegang gadai (murtahin). Pemanfaatan terhadap
sawah gadai tersebut juga tanpa adanya jangka waktu, jadi selama ra>hin
belum mampu membayar hutangnya maka sawah gadai tersebut akan
terus dimanfaatkan olehmurtahin.
Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa tradisi gadai sawah di
Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang belum sesuai
14
Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis
12
dengan hukum Islam. Sebab pemanfaatan dari sawah gadai tersebut
menurut hukum Islam tidak diperbolehkan karena sawah tersebut hanya
dipandang sebagai amanah dari ra>hin kepadamurtahin atas pinjaman dan
murtahintidak harus mengganti kerusakan kecuali karena tindakannya.15
2. “Analisis Hukum Islam Terhadap Tindakan Murtahin di Desa
Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik”. Skripsi yang
ditulis oleh Rizky Ardiansyah pada tahun 2015 ini membahas tentang
ra>hinyang tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh tempo kemudian
dilakukan penjualan terhadap sawah yang digadaikan olehnya. Namun,
hasil penjualan sawah tersebut melebihi jumlah hutang dari ra>hin dan
kelebihannya tidak dikembalikan olehmurtahinkepadara>hin.
Dalam kesimpulannya, penulis menjelaskan bahwa praktik
pengambilan sisa penjualan barang jaminan di Desa Karangankidul
Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik tidak dibolehkan dalam Islam
karena kelebihan tersebut termasuk tambahan dari hutang dan setiap
hutang yang menarik tambahan merupakanriba’.16
3. “Analisis Hukum Islam Terhadap Pemanfaatan Tanah Sawah Gadai
Untuk Penanaman Tembakau di Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten
Pamekasan”. Skripsi yang ditulis oleh Arfan Santoso pada tahun 2014 ini
membahas tentang kebiasaan para petani tembakau menggadaikan
15
Siti Holifah, “Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Gadai Sawah di Desa Morbatoh Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015) 16
Rizky Ardiansyah, “Analisis Hukum Islam Terhadap Tindakan Murtahin di Desa
13
sawahnya untuk modal penanaman berikutnya kepada orang kaya yang
merantau ke luar negeri. Kemudian murtahin akan memanfaatkan sawah
tersebut sampaira>hinmelunasi hutangnya.
Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa praktik gadai sawah di
Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan telah terpenuhi
rukun dan syaratnya. Adapun terhadap pemanfaatan sawah gadai oleh
murtahin diperbolehkan karena jika dilihat dari segi maslah{ah dan
mafsadah-nya ternyata lebih tinggi maslah{ah-nya. Jika tidak ditanami
maka sawah tersebut tidak subur lagi.17
4. “Perspektif Hukum Islam Terhadap Gadai Tanpa Batas Waktu dan
Dampaknya Dalam Masyarakat Desa Kertagena Daya Kecamatan Kadur
Kabupaten Pamekasan”. Skripsi yang di tulis oleh Miftahul Jannah S pada
tahun 2009 ini membahas tentang kebiasaan masyarakat sekitar
menjaminkan atau menggadaikan sawahnya, kemudian secara otomatis
sawah tersebut akan dimanfaatkan oleh murtahin tanpa adanya jangka
waktu.
Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa akad gadai tersebut
sangat bertentangan dengan Hukum Islam. Hal ini karena di dalamnya ada
unsur kedhaliman yang terjadi pada salah satu pihak, yaitu murtahin
menguasai penuh terhadap pengelolaan dan pengambilan manfaat dari
tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Hal ini jelas dilarang, karena
17
14
bolehnya murtahinmengambil manfaat dari tanah tersebut hanya sekedar
untuk biaya perawatan.18
5. “Pemanfaatan Tanah Pertanian Sebagai Barang Gadai Oleh Penerima
Gadai Di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban
(Analisis Hukum Islam)”. Skripsi yang di tulis oleh Dwi Novi Kustiya
Ningsih pada tahun 2016 ini membahas tentang pengambilan manfaat
oleh murtahin pada sawah yang dijadikan jaminan. Jika pada saat jatuh
tempo ra>hin mau melunasi hutangnya namun tanah tersebut masih ada
tanamannya, maka pelunasan dan pengembalian barang jaminan
menunggu musim panen terlebih dahulu.
Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa menurut analisis hukum
Islam pemanfaatan tanah pertanian oleh murtahin adalah bertentangan
dengan hukum Islam. Sebab pertama, murtahin menutup akses ra>hin
untuk menggarap tanah miliknya sendiri dan memanfaatkan tanah
pertanian tersebut sepenuhnya. Kedua murtahin memanfaatkan tanah
pertanian tersebut sehingga memperoleh sejumlah keuntungan.19
6. “Analisis ‘Urf Terhadap Tradisi Hutang Dengan Sistem “Bologadai” Di
Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan”. Skripsi yang
ditulis oleh Miftahul Jannah pada tahun 2016 ini membahas tentang
pemanfaatan sawah jaminan tanpa adanya jangka waktu, selama ra>hin
18
Miftahul Jannah S, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Gadai Tanpa Batas Waktu dan Dampaknya Dalam Masyarakat Desa Kertagena Daya Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009).
19
15
belum mampu melunasi hutangnya maka sawah tersebut akan terus
dimanfaatkan oleh murtahin bahkan sampai turun temurun kepada
anaknya. Jikara>hinmampu melunasi saat sawah tersebut masih ditanami
oleh murtahin, maka pengembalian sawah harus menunggu musim panen
terlebih dahulu.
Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa tradisi hutang dengan
sistem bologadai di Desa Jotosanur Kecamatan Tikung Kabupaten
Lamongan termasuk ‘urf yang tidak bisa dijadikan sebagai pertimbangan
dalam menetapkan hukum syara’. Karena transaksi ini termasuk‘urf fa>sid
yang tidak diakui kehujjahannya karena bertentangan dengan dalil syara’
dan kurang memenuhi persyaratan dari rukunrahn.20
Berdasarkan dari bebrapa kajian yang telah diuraikan di atas maka
jelas bahwa memiliki kesamaan dengan penelitian yang sedang penulis
lakukan. Persamaan yang dimaksud adalah bahwa penelitian terdahulu
dengan penelitian dari penulis membahas tentang rahn atau hutang piutang
dengan memberikan suatu jaminan, dan yang lebih spesifik adalah ra>hin
memberikan barang jaminan berupa sawah. Sedangkan perbedaannya adalah
pada beberapa kajian pustaka di atas membahas tentang pemanfaatan sawah
gadai oleh murtahin, gadai tanpa adanya jangka waktu, dan juga membahas
tentang pengambilan sisa uang penjualan barang jaminan. Sedangkan dalam
penelitian ini penulis akan membahas penahahan sawah sebagai jaminan
20
Miftahul Jannah, “Analisis‘UrfTerhadap Tradisi Hutang Dengan Sistem “Bologadai” Di Desa
16
hutang piutang, jaminan yang harusnya dijual karena ra>hin tidak mampu
melunasi hutangnya ini akan ditahan dan kemudian disewakan olehmurtahin
kepada pihak lain.
E. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui praktik penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang
piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
2. Untuk mengetahui bagaimana analisis hukum Islam terhadap penahanan
sawah sebagai jaminan pada hutang piutang di Desa Kebalan Pelang
Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Kegunaan teoretis, dengan adanya peneitian ini diharapkan berguna bagi
perkembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan praktik
penahanan sawah sebagai jaminan pada hutang piutang yang terjadi di
Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Serta
menjadi acuan bagi penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan
17
2. Kegunaan praktis, dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa menjadi
acuan bagi masyarakat terhadap praktik rahn,khususnya bagi masyarakat
Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan yang
terlibat serta dapat menjadi pedoman bagi masyarakat umum lainnya.
G. Definisi Operasional
Beikut adalah beberapa istilah kunci yang ada dalam judul skripsi ini,
untuk memperjelas dan memperoleh gambaran kongkrit tentang arah dan
tujuan yang terkandung dalam konsep penelitian ini :
Analisis Hukum Islam : Menganalisa sesuatu menggunakan
teori-teori yang berkaitan dengan
Rahn, Ija>rah,dan Hak Milik.
Penahanan Sawah Sebagai Jaminan : Perbuatanmurtahinyang menahan
sawah milikra>hinketika tidak bisa
melunasi hutangnya saat jatuh
tempo kemudian disewakan.
Hutang Piutang : Transaksi yang biasa dilakukan oleh
masyarakat Desa Kebalan Pelang
Kecamatan Babat Kabupaten
Lamongan ketika seseorang
18
memberikan suatu jaminan berupa
sawah.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu konsep tentang metode
penelitian, yaitu metode ilmiah yang tersusun secara sistematis yang
diharapkan dapat menjelaskan dan menjawab suatu masalah yang dihadapi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini menggunakan penelitian lapangan (field
research) yakni penelitian yang dilakukan dalam kehidupan sebenarnya
terhadap praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di
Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
menguraikan atau menjabarkan kata-kata yang diperoleh dari data di
lapangan.
3. Obyek Penelitian
Obyek penelitian menjelaskan tentang apa dan/atau siapa yang menjadi
19
ditambahkan hal-hal lain yang dianggap perlu.21Penelitian ini dilakukan di Desa
Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
4. Data yang dikumpulkan
Adapun data yang dapat penulis kumpulkan dalam penelitian ini
meliputi :
a. Data primer
1) Berkaitan dengan gambaran umum Desa Kebalan Pelang
Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan yang berisi letak
geografis, luas wilayah, keadaan sosial ekonomi, agama dan
pendidikan
2) Faktor mencuatnya praktik hutang piutang dengan memberikan
jaminan di masyarakat Kebalan Pelang Kecamatan Babat
Kabupaten Lamongan
3) Jumlah masyarakat yang melakukan akad hutang piutang dengan
memberikan jaminan
4) Praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang serta
penyewaan barang jaminan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan
Babat Kabupaten Lamongan.
b. Data sekunder
Data yang penulis dapatkan dari literaturl-iteratur kepustakaan
yang bisa berupa buku-buku, kitab atau artikel yang berkaitan dengan
penelitian ini antara lain :
21
20
1) Konsep umum tentang rahn yang meliputi pengertian rahn, dasar
hukum rahn, rukun dan syarat rahn, berakhirnya akad rahn,
pemanfaatan barang jaminan, dan penyelesaianrahn.
2) TentangIja>rahyang meliputi pengertian ija>rah, dasar hukum ija>rah,
\rukun dan syarat ija>rah, dan ketentuan padaija>rah.
3) Konsep Hak Milik dalam Islam.
5. Sumber Data
Sumber data adalah subyek darimana data itu diperoleh atau
darimana sumber itu didapatkan. Sumber data yang penulis gunakan
untuk dijadikan pedoman dalam literatur ini agar bisa mendapatkan data
yang akurat terkait praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang
piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
Meliputi data primer dan sekunder yaitu:
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah data yang langsung diambil dari
sumbernya. Dalam penelitian ini sumber data utamanya adalah
beberapa orang yang terkait dalam praktik penahanan sawah sebagai
jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat
Kabupaten Lamongan yaitu :
1. Bapak Sidik, sebagaimurtahin dan orang yang menyewakan barang
jaminan berupa sawah.
2. Ibu Maryam sebagaira>hin
21
4. Masyarakat Desa Kebalan Pelang yang terkait dengan penelitian ini,
meliputi : Bapak Muslamet, Bapak Musrikan, Ibu Supinah, Bapak
Musripan, Bapak Abdullah, Bapak Makin, Bapak Mustholeh, Bapak Jafar.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang mendukung terhadap
data primer. Data tersebut sebagian besar merupakan literatur yang
terkait dengan konsep hukum Islam dan data ini bersumber dari
buku-buku dan catatan atau dokumen tentang apa saja yang berhubungan
dengan masalah dalam penelitian. Beberapa diantaranya adalah :
1. Wahbah az-Zuhaili,Fiqh Islam W a A dillatuhu
2. Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah
3. Rahmat Syafe’i,Fiqih Muamalah
4. Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah
5. Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik
6. Ahmad Wardi Muslich,Fiqih Mu’amalah
6. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang valid penulis menggunakan
beberapa teknik di antaranya:
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
22
merasakan secara langsung)22. Penggunaan teknik ini dilakukan untuk
melihat langsung proses terjadinya akad, praktik penahanan sawah
sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan
Babat Kabupaten Lamongan, serta melihat secara langsung penyewaan
barang jaminan olehmurtahin.
b. Wawancara
Metode interview atau wawancara adalah suatu percakapan
yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses
tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan
secara fisik.23 Adapun data yang penulis peroleh dari hasil wawancara
kepada para pihak yang terkait dalam penelitian ini seperti orang yang
berhutang, orang yang memberi pinjaman, penyewa, para saksi dan
lainnya.
c. Dokumentasi
Metode dokumenter, yakni teknik mencari data berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda
dan sebagainya. Adapun dalam skripsi ini penulis mencari data yang
berkaitan dengan penelitian seperti foto saat terjadinya transaksi, saat
terjadinya proses penahanan sawah, dsb.
7. Teknik Pengolahan Data
22
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cet. 12, (Bandung:
Alfabeta, 2012), 145.
23
Setelah mendapatkan beberapa data yang dibutuhkan, maka untuk
mensistematisasikan data dan mempermudah penulis dalam melakukan
analisa data, maka penulis mengolah data tersebut melalui beberapa
teknik, sebagaimana berikut:
a. Editing
Editing adalah pengecekan atau pengkoreksian data yang
dikumpulkan.24 Adapun metode ini digunakan untuk memeriksa,
meneliti serta mendeskripsikan data yang relevan dengan penelitian
terhadap penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa
Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
b. Organizing
Organizing adalah metode atau langkah menyusun secara
sistematis terhadap data yang telah dikumpulkan sehingga dapat
digunakan untuk pembuatan skripsi seperti apa yang diinginkan oleh
penulis yang terkait dengan praktik penahanan sawah sebagai jaminan
hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten
Lamongan.
c. A nalizing
A nalizing merupakan langkah selanjutnya terhadap teknik
sebelumnya yaitu dengan menganalisa data yang terkait dengan
praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa
24
24
Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan sehingga
memunculkan suatu kesimpulan.
8. Teknik Analisis Data
Analisis data, yaitu proses penyederhanaan data ke bentuk yang
lebih mudah dibaca dan interpretasikan25. Berkaitan dengan skripsi ini
penulis menganalisa sebuah data menggunakan teknik atau metode
deskriptif analisis yaitu dengan cara menguraikan, menjabarkan, serta
menjelaskan data yang telah dikumpulkan terkait dengan praktik
penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa Kebalan Pelang
Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Setelah itu penulis akan
melakukan analisa terhadap semua data yang dikumpulkan untuk bisa
mendapatkan suatu kesimpulan.
Penulis juga menggunakan metode pola pikir untuk menganalisa
suatu data yaitu pola pikir induktif dengan cara menguraikan beberapa
fakta yang terkait dengan praktik penahanan sawah sebagai jaminan
hutang piutang di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten
Lamongan yang kemudian akan di fahami, di analisa, serta di ambil
kesimpulan
.
25
I. Sistematika Pembahasan
Tujuan dari penyusunan sistematika pembahasan ini adalah untuk
mempermudah dalam memahami penelitian ini dan agar penelitian ini lebih
terarah sesuai dengan bidang kajian. Adapun sistematika pembahasan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab pertama, berisi pendahuluan yang memuat : latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, berisi landasan teori dan memuat sesuatu yang bekaitan
dengan penelitian ini, yaitu konsep umum tentang rahn yang meliputi
pengertian rahn, dasar hukumrahn, rukun dan syarat rahn, berakhirnya akad
rahn, serta pemanfaatan barang jaminan, dan juga penyelesaian rahn. Serta
membahas tentang ija>rah yang meliputi pengertian ija>rah, dasar hukum
ija>rah, \rukun dan syarat ija>rah, dan ketentuan padaija>rah. Dan juga tentang
teori hak milik meliputi pengertian hak dan milik, macam-macam hak milik,
dan sebab terjadinya hak milik.
Bab ketiga, berisi tentang hasil penelitian atau data yang diperoleh
penulis di lapangan meliputi gambaran umum yang berisi letak geografis
yang meliputi luas wilayah, kemudian keadaan demografis yang meliputi
keadaan agama dan pendidikan, keadaan sosial budaya, keadaan ekonomi,
sarana dan prasarana, dan juga berkaitan dengan masalah yang diteliti
26
jaminan di masyarakat, masyarakat yang melakukan akad hutang piutang
dengan memberikan jaminan, proses terjadinya transaksi, serta praktik
penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang serta penyewaan barang
jaminan di Desa Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
Bab keempat, berisi tentang analisis yang dilakukan oleh penulis
terhadap praktik penahanan sawah sebagai jaminan hutang piutang di Desa
Kebalan Pelang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
27 BAB II
RA HN,IJA <RA HDAN HAK MILIK DALAM ISLAM
A. Rahn
1. PengertianRahn
Secara bahasa, rahn berarti
“as-Thubu>t wa
ad-Dawa>m” yang diartikan tetap dan kekal.1 Ada juga yang mengartikan
bahwa rahn sebagai
“al-H{absu wa al-luzu>m”yang artinya
pengekangan dan keharusan.2Allah Swt Berfirman :
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. (Q.S Al-Muddatsir : 38).3
Adapun secara istilahrahndiartikan sebagai berikut :
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”4
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 5, Terj. Abu Syauqina, (t.tp.: Tinta Abadi Gemilang, 2013), 125.
2
Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah...,159.
3
Kementerian Agama Republik Indonesia, A l-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al-Fattah, 2013), 576.
4
28
Menurut Syafi’i Antoniorahnadalah suatu akad dimana seseorang
menahan salah satu benda atau harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya.5Maksudnya adalah bahwa dalam hal ini
orang yang meminjam (ra>hin) harus memberikan atau menyediakan
barang yang dimilikinya untuk dijadikan jaminan atas hutangnya kepada
orang yang memberi pinjaman (murtahin). Ada juga yang mengatakan
bahwarahnadalah penetapan sebuah barang yang memiliki nilai finansial
dalam pandangan syariat sebagai jaminan bagi hutang dimana hutang
tersebut atau sebagian darinya dapat dibayar dengannya.6
Sedangkan menurut para ulama’ yang dimaksud dengan rahn
adalah :
a. Menurut ulama’ Syafi‘iyyah
“Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”.7
b. Menurut ulama’ Hanabilah
“Suatu jaminan berupa benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.”8
c. Menurut ulama’ Malikiyyah
5
Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum...,182.
6
Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah...,125.
7
Muhammad asy-Syarbini,Mughni al-Muhtaj,Juz II, (Beirut: Darul Ma’rifat, 1997), 121.
29
“Suatu benda yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).”9
Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh setiap ulama’ dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka (para ulama’) memiliki maksud
yang sama dalam mendefiniskan rahn sebagai suatu akad hutang piutang
dengan memberikan suatu barang jaminan yang dengannya bisa
digunakan untuk melakukan pelunasan jikalau ra>hin tidak mampu
melunasi hutangnya.
2. Dasar HukumRahn
Dasar hukum terkait kebolehan melakukan akad rahn dijelaskan
dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan juga ijma’ para ulama’ sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
Kebolehan rahn dijelaskan pada al-Qur’an Surah al-Baqarah
ayat 283 yaitu :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
9
30
barang tanggungan yang dipegang10 (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Baqarah : 283)11
Sebagaimana dijelaskan pada ayat di atas dapat difahami
bahwa seseorang diperbolehkan untuk melakukan suatu transaksi
bermuamalah dalam hal ini adalah rahn. Hal lain yang dapat diambil
pada ayat tersebut bahwa dalam transaksi hutang piutang
diperbolehkan untuk meminta jaminan yang dimaksudkan untuk
menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan misalnya ra>hin tidak
membayar hutangnya kemudian kabur dsb.
b. As-Sunnah
Sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang
menjelaskan bahwa Rasulullah Saw juga pernah melakukan praktik
rahnadalah sebagai berikut :
:
:
)
(
“Telah diriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim al-Hanz}aliy dan Ali bin H{asyram berkata : keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yu>nus bin ‘Amsyi dari Ibrahim dari Aswad dari A’isyah berkata :
10
Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
31
bahwasanya Rasullullah saw, membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya”. (HR. Muslim)12
c. Ijma’
Para ulama’ bersepakat terhadap kebolehan gadai atau rahn.
Tidak seorangpun dari mereka memperselisihkan pembolehan atau
pensyariatannya, meskipun mereka berselisih pendapat tentang
pensyariatannya di tempat kediaman (tidak dalam perjalanan). Jumhur
ulama’ berpendapat bahwa disyariatkannya gadai di tempat kediaman,
sebagaimana disyariatkan dalam perjalanan karena Rasulullah Saw
pernah melakukannya ketika tinggal di Madinah.
Dibatasinnya gadai dalam perjalanan pada ayat di atas adalah
untuk mengungkapkan sesuatu yang sering terjadi karena gadai
seringkali terjadi dalam perjalanan. Sementara Mujahid, Dhahhak, dan
para ulama’ Zahiriah berpendapat bahwa pengadaian tidak
disyariatkan kecuali dalam perjalanan, dengan bersandar kepada ayat
di atas. Kemudian setelah itu pendapat mereka dibantah dengan
menggunakan hadits Nabi Saw di atas.13
3. Rukun dan Syarat Rahn
a. RukunRahn
12
Husain Muslim bin Hajjaj Al Kusyairy An Naisaburi, S{ah}i>h }Muslim, juz 2, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1993),51.
13
32
Rukun merupakan suatu unsur yang harus ada dalam setiap
akad, tanpa terpenuhinya suatu rukun akad maka akan mempengaruhi
hasil akad tersebut, seperti tidak sahnya akad. Menurut jumhurulama’
terdapat empat rukunrahnyaitu :
1) Para pihak yang berakad, yakni orang yang menggadaikan (ra>hin)
dan orang yang menerima gadai (murtahin).
2) Shighat(ija>bdanqabu>l)
3) Barang yang di gadaikan/jaminan (marhu>n)
4) Hutang (marhu>n bih)14.
b. Syarat-syarat Rahn
Syarat-syarat rahn ialah yang berkaitan dengan setiap rukun
rahn itu sendiri, para ulama’ mengemukakan beberapa syarat rahn
sebagai berikut :
1) Syarat bagi pihak yang berakad
Syarat yang terkait dengan orang yang berakad yaitu ahli
tasharruf yakni orang yang mampu membelanjakan hartanya.15
Menurut ulama’ syafi’iyyah disyaratkan pula bagi para pihak yang
berakad adalah seorang ahliyyah yaitu orang yang telah sah
melakukan transaksi yakni berakal danmumayyiz,akan tetapi tidak
disyaratkan harus orang yang baligh. Maka dari itu seorang anak
14
Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 107.
33
kecil yang sudah mumayyiz, dan orang bodoh yang mendapatkan
izin dari walinya itu diperbolehkan melakukan akad.16
Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyyah, ahliyyah dalam
rahn seperti ahliyah dalam jual beli dan derma. Rahn tidak boleh
dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang
belum baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan
barang orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan
mudha>rat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat
dipercaya.17
2) Syarats}i>ghat
Pernyatan ija>b qabu>l yang terdapat pada rahn tidak boleh
digantungkan (mu’allaq) dengan syarat tertentu yang bertentangan
dengan hakikat rahn.18Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwas}i>ghat
dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan
sesuatu. Hal ini karena rahn sama dengan jual beli, jika memakai
syarat tertentu, syarat tersebut batal danrahntetap sah.19
3) Syaratmarhu>n
Marhu>n adalah barang yang dijadikan jaminan oleh ra>hin.
Para Ulama’ Fiqih sepakat mensyaratkan marhu>n sebagaimana
persyaratan barang dalam jual beli, sehingga barang tersebut dapat
16
Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah...,162.
17
Ibid.
18
Burhanuddin S,Fiqih Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, (Yogyakarta: The Syariah
Institute, 2009), 173.
19
34
dijual untuk memenuhi hak murtahin. Ulama’ Hanafiyah
mensyaratkan marhu>n, antara lain: dapat diperjual belikan,
bermanfaat, jelas, milikra>hin, bisa diserahkan, tidak bersatu dengan
harta lain, dipegang (dikuasai) oleh ra>hin, harta yang tetap atau
dapat dipindahkan.20
4) Syaratmarhu>n bih
Marhu>n bihadalah hak yang diberikan kepada ra>hin.Ulama’
Hanafiyyah memberikan beberapa syarat, yaitu
a) Marhu>n bih hendaklah barang yang wajib diserahkan. Menurut
ulama’ selain Hanafiyah, marhu>n bih hendaklah berupa utang
yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang,
baik berupa uang ataupun berbentuk benda.
b) Marhu>n bih memungkinkan untuk dibayarkan. Jika marhu>n bih
tidak dapat dibayarkan, rahnmenjadi tidak sah, sebab menyalahi
maksud dan tujuan disyari‘atkannyarahn.
c) Hak atas marhu>n bih harus jelas. Dengan demikian, tidak boleh
memberikan dua marhu>n bih tanpa dijelaskan utang mana
menjadirahn.
Ulama’ Hanabilah dan Syafi‘iyyah memberikan tiga syarat
bagimarhu>n bih:
a) Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
b) Utang harus lazim pada waktu akad.
35
c) Utang harus jelas dan diketahui olehra>hindanmurtahin.21
4. Berakhirnya AkadRahn
Rahn dipandang atau dianggap habis dengan beberapa keadaan
sebagai berikut:
a. Marhu>ndiserahkan kepada pemiliknya.
Jumhur ulama’ selain Syafi‘iyyah memandang habis rahn jika
murtahin menyerahkan marhu>n kepada pemiliknya (ra>hin) sebab
marhu>nmerupakan jaminan hutang. Jika marhu>ndiserahkan, tidak ada
lagi jaminan. Selain itu dipandang habis pula rahn jika murtahin
meminjamkan marhu>n kepada rahi>n atau kepada orang lain atas izin
ra>hin.
b. Dipaksa menjualmarhu>n
Rahn habis jika hakim memaksa ra>hin untuk menjual marhu>n,
atau hakim menjualnya jikara>hinmenolak.
c. Ra>hinmelunasi semua utang.
Ketika ra>hin dapat melunasi hutangnya, maka rahn dianggap
telah berakhir danmarhu>nharus dikembalikan kepadara>hin.
d. Pembebasan hutang
Pembebasan utang dalam bentuk apa saja menandakan habisnya
rahnmeskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.
21
36
e. Pembatalanrahndari pihakmurtahin
Rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn
meskipun tanpa seizin ra>hin. Sebaliknya, dipandang tidak batal jika
ra>hinyang membatalkannya.
f. Ra>hinmeninggal
Menurut ulama’ Malikiyyah, rahn habis jika ra>hin meninggal
sebelum menyerahkan borg kepadamurtahin.Juga dipandang batal jika
murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg kepadara>hin.
g. Marhu>nrusak
h. Tas}arruf
Rahn dipandang habis apabila borg di-tas}arruf-kan seperti
dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seizin pemiliknya.22
5. Pemanfaatan Barang Jaminan
Ada perbedaan pendapat para Ulama’ mengenai pengambilan
manfaat atas barang yang digadaikan, yaitu:
a. Pendapat Malikiyah
Mereka berpendapat bahwa buah dan manfaat apapun yang
dihasilkan dari barang gadai menjadi hak penggadai (ra>hin), selama
penerima gadai (murtahin) tidak mensyaratkan itu. Bila mensyaratkan
demikian, maka menjadi miliknya dengan tiga syarat:
37
1) Utang itu karena jual-beli barang, bukan karena pinjaman.
2) Penerima gadai mensyaratkan manfaat barang gadai itu untuk
dirinya. Jika penggadai secara suka rela menyerahkan manfaat
barang gadainya, maka tidak boleh diambil.
3) Masa manfaatnya ditentukan dengan jelas. Jika tidak ditentukan
maka tidak sah.
Bila ketiga syarat diatas terpenuhi oleh penerima gadai
(murtahin), maka penerima boleh mengambil manfaat atas barang
gadai tersebut. Tetapi jika utang itu karena pinjaman (bukan jual
beli), maka tidak boleh mengambil manfaat apapun, baik
disyaratkan atau tidak, dibolehkan oleh penggadai atau tidak.
b. Pendapat Syafi’iyah
Mereka berpendapat bahwa penggadai (ra>hin) berhak atas
manfaat barang gadainya, namun demikian barang gadai harus tetap di
tangan penerima gadai. Penggadai (ra>hin) tidak boleh mengambil alih
atas barang gadai kecuali untuk tujuan mengambil manfaatnya.
Penggadai (ra>hin) boleh mengambil manfaat barang gadainya selama
tidak menyebabkan berkurangnya (harga) barang, seperti menempati
rumah gadainya dan menunggangi binatang gadainya tanpa izin
penerima gadai (yaitu jika penggadai menanggung biayanya).
Sedangkan memanfaatkan barang gadai yang dapat mengurangi harga,
tidak sah, kecuali atas izin penerima gadai (murtahin).
38
Mereka berpendapat bahwa penggadai (ra>hin) tidak boleh
memanfaatkan barang gadai dengan cara apapun kecuali atas izin
penerima gadai (murtahin). Namun demikian, manfaat dan hasil yang
didapat dari barang gadai itu tetap menjadi hak penggadai (ra>hin),
seperti anaknya, susunya, buahnya, dan lain sebagainya. Bila itu tetap
berada ditanganmurtahinhingga jatuh tempo pembayaran utang, maka
dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pelunasan utang. Tetapi
seandainya rusak sebelum jatuh tempo pembayaran, maka tidak dapat
diperhitungkan, melainkan dianggap seolah-olah tidak ada.
d. Pendapat Hanabilah
Mereka berpendapat bahwa barang gadai itu boleh jadi berupa
hewan tunggang atau hewan perah, atau selain hewan. Bila berupa
hewan perah atau hewan tunggang, maka penerima gadai boleh
menunggang atau memerahnya tanpa seizin penggadai (ra>hin) sebagai
kompensasi atas nafkah yang diberikan, tetapi harus tetap
memperhatikan keadilan. Bila bukan berupa hewan, maka penerima
gadai (murtahin) boleh mengambil manfaat secara cuma-cuma
mengambil manfaat dari barang itu setelah diizinkan oleh penggadai
(ra>hin). Penggadai (ra>hin) boleh mengizinkan penrima gadai menjual
barang gadainya dalam tiga hal:
1) Mengizinkannya menjual sebelum jatuh tempo dengan syarat
harganya dijadikan sebagai pengganti hutangnya.
39
3) Mengizinkannya menjual sebelum ada pembayaran utang.23
6. PenyelesaianRahn
Dalam akad rahn tidak diperkenankan untuk mengadakan
persyaratan-persyaratan untuk masa yang akan datang. Hal ini digunakan
agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan ketika melakukan akad,
misalnya salah satu pihak mengatakan bahwa apabila ra>hin tidak mampu
melunasi hutangnya hingga jatuh tempo, maka barang jaminan menjadi
milikmurtahinuntuk pembayaran hutang.24
Apabila saat jatuh tempo ternyata ra>hin tidak mampu melunasi
hutangnya, maka murtahin berhak untuk menjual barang jaminan
tersebut. Apabila dari hasil penjualan barang jaminan ternyata hasilnya
lebih besar dari jumlah hutangnya maka sisanya dikembalikan kepada
ra>hin, namun apabila hasil penjualan lebih kecil dari jumlah hutangnya
maka kekurangannya dimintakan kepadara>hin.25
Berkaitan dengan penjualan barang jaminan terhadap ra>hin yang
tidak mampu melunasi hutangnya saat jatuh tempo para ‘ulama’ sepakat
bahwa penjualan marhun (barang jaminan) ini bisa dilakukan dengan 2
(dua) cara berikut :
23
Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), 277.
24
Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah...,110.
25
40
Pertama, Jika ra>hin bersedia menjual barang jaminan itu sendiri
dan marhun (barang jaminan) berada pada ra>hin maka penjualannya
dilakukan oleh ra>hin sendiri.Akan tetapi jika marhun telah dikuasai atau
ditahan oleh murtahin, maka sebelum menjual barang jaminan tersebut
ra>hin harus meminta izin kepada murtahin untuk melakukan penjualan
terhadap barang jaminan tersebut.
Kedua, Jika ra>hin tidak mampu membayar hutangnya saat jatuh
tempo dan dia tidak mau menjual barang jaminannya maka hakim berhak
atau bahkan diharuskan memaksara>hin untuk menjual barang jaminannya
sebagai pelunasan hutang.26
B. Ija>rah
1. PengertianIja>rah
Menurut etimologi, ija>rah berasal dari kata al-ajruyang berarti
al-‘iwadhartinya ialah penggantian dan upah.27
Sedangkan menurut terminologi, ija>rah merupakan pemindahan
hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak
kepemilikan atas barang.28
26
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam W a A dillatuhu, Jilid 6, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk...,256.
27
Ibid, 114.
41
Adapun beberapa definisi ija>rah menurut pendapat beberapa
ulama’fiqihialah sebagai berikut :
a. Ulama’ Hanafiyah:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”29
b. Ulama’ Syafi’iyah:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”30
c. Ulama’ Malikiyah31dan Hanabilah32:
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
d. Menurut Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah
“Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.”33
e. Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib
29
Rachmat Syafe’i,Fiqih Muamalah...,121.
30
Ibid.
31
Ibid, 122.
32
Muhammad asy-Syarbini,Mughni al-Muhtaj, juz II...,398.
33
42
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”34
f. Menurut Sayyid Sabiq
Ija>rah merupakan suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian.
g. Menurut Hasbi ash-Shiddiqie
“Akad yang objeknya ialah berupa penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, atau sama juga dengan menjual manfaat.”35
Ada pula yang menterjemahkan ija>rahsebagai jual beli jasa
(upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia. Namun ada pula
yang menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari
barang. Jadi ija>rahdapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ija>rahatas jasa
danija>rahatas benda.
Jumhur ulama’ fiqih berpendapat bahwa ija>rah adalah menjual
manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.
Jadi, dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan
perkataan lain terjadinya ija>rah ini yang berpindah hanyalah manfaat
obyek yang disewakan. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan
pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur
34
Ibid.
43
untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya,
tetapi bendanya. Namun sebagian ulama’ memperbolehkan mengambil
upah mengajar al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan
dengan agama, sekedar untuk memenuhi kaperluan hidup, karena
mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka
gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.36
Sewa-menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, adalah
merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, perjanjian ini mempunyai
kekuatan hukum yaitu pada saat sewa-menyewa berlangsung, dan apabila
akad sudah berlangsung, maka pihak yang menyewakan berkewajiban
untuk menyewakan barang kepada pihak penyewa, dan dengan
diserahkannya manfaat barang/benda maka pihak penyewa berkewajiban
pula untuk menyerahkan uang sewanya.37
2. Dasar HukumIja>rah
Hukum asal ija>rah menurut jumhur ulama’ adalah mubah atau
boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh syara’ berdasarkan al-Quran, Hadits, dan ketetapan ijma’ ulama’.
Dasar hukum tentang kebolehanija>rahadalah sebagai berikut :
a. Dasar hukum al-Quran
36
Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994),
304.
37
44
Kebolehan melakukan ija>rah dijelaskan dalam al-Quran surah
al-Baqarah ayat 233, yaitu :
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah : 233)38
Dijelaskan pula dalam surah at-Thalaq ayat 6 yaitu :
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (Q.S. at-Thalaq : 6)39
Dari kedua ayat diatas dijelaskan bahwa diperbolehkan untuk
menyewa (jasa) seseorang untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu
sesuai dengan keinginan penyewa seperti halnya menyusukan
anak-anak kepada orang lain, namun setelah itu penyewa haruslah
memberikan upah kepada seseorang yang telah engkau sewa (jasanya)
dengan patut.
b. Dasar hukum al-Hadits
Dasar kebolehan ija>rah juga dijelaskan pada Hadits Nabi Saw
sebagai berikut :
38
45
) .
(
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (H.R. Ibnu Majah)40
“Berbekamlah kamu, dan berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)41
c. Dasar hukum ijma’
Semua umat bersepakat bahwa tidak ada seorang ulama’ pun
yang membantah tentang kebolehan ija>rah, sekalipun ada beberapa
orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak
perlu diperhitungkan.42
3. Rukun dan Syarat Ija>rah
a. RukunIja>rah
Menurut ulama’ Hanafiyah, rukun ija>rah adalah ija>b dan
qabu>l, antara lain dengan menggunakan kalimat : al-ija>rah, al-isti’ja>r,
al-iktira>’,danal-ikra>.43
Adapun menurut Jumhur ulama’, rukun-rukun ija>rah adalah
sebagai berikut :
40
Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah...,147.
41
Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah...,116.
42
Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah...,147.
43
46
1) Orang yang berakad (mu’jir yaitu orang yang memberikan upah
dan yang menyewakan dan musta’jir yaitu orang yang menerima
upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu).
2) S{ighat (ija>b qabu>l)
3) Ujrah(upah)
4) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah
mengupah.44
b. Syarat-syarat Ija>rah
1) Syarat mu’jirdanmusta’jir
Disyaratkan seorang yang baligh, berakal