• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sadd al Dhari'ah dan hukum positif di Indonesia terhadap jual beli produk kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sadd al Dhari'ah dan hukum positif di Indonesia terhadap jual beli produk kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

Iffah Nailiy Rohmah NIM. C02213031

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari‘ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syari‘ah (Muamalah)

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

viii ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian studi pustaka (library research) dengan judul ‚Analisis Sadd al-Dhari>‘ah dan Hukum Positif di Indonesia terhadap Jual Beli Produk Kecantikan yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang dalam Bahasa Indonesia‛. Penelitian ini bertujuan menjawab dua pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana analisis Sadd al-Dhari>‘ah terhadap Jual Beli Produk Kecantikan

yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang dalam Bahasa Indonesia. 2. Bagaimana analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap Jual Beli Produk Kecantikan yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang dalam Bahasa Indonesia

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, sedang pengumpulan data dihimpun melalui studi kepustakaan berupa buku-buku; artikel; dan publikasi. Hasil wawancara digunakan sebagai data pendukung yang didapat dari Balai Badan Pengawas Obat dan Makanan; konsumen serta karyawati Larissa Aesthetic Center. Data yang dihimpun, selanjutnya dianalisis dengan teknik

deskriptif-deduktif yaitu bermula dengan jual beli dalam Islam; teori sadd

al-dhari>‘ah serta peraturan perundang-undangan mengenai larangan bagi produsen

yang tidak mencantumkan informasi berbahasa Indonesia kemudian muncul fenomena timbulnya kerugian, sehingga ditemukan suatu kesimpulan khusus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kosmetik impor menjadi salah satu daya tarik bagi kaum perempuan. Padahal tidak semua kosmetik impor mencantumkan informasi penggunaan barang pada label dengan bahasa Indonesia, sehingga banyak kemungkinan produk kosmetik berbahaya bagi

kesehatan. Dari data tersebut, ketika dianalisis menggunakan Sadd al-Dhari>‘ah

jelas bahwa jual beli adalah boleh namun ketika barang tidak disertai informasi

yang benar dan lengkap menjadi dilarang sebab dikhawatirkan adanya madha>rat

yang timbul. Dan analisis Hukum Positif bahwa tidak mencantumkan informasi penggunaan barang berbahasa Indonesia merupakan perbuatan yang dilarang bagi produsen. Terdapat sanksi bagi pelaku usaha berupa yaitu produk ditarik dan ditahan dari pemasaran.

(7)

xi DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TRANSLITERASI ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II TEORI MENGENAI SADD AL- DHARI>‘AH; TEORI JUAL BELI DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA ... 20

A. Sadd al-Dhari>‘ah ... 20

1. Pengertian sadd al-dhari>‘ah ... 20

2. Dasar hukum sadd al-dhari>‘ah ... 21

(8)

xii

4. Kedudukan sadd al-dhari>‘ah sebagai hujjah ... 24

B. Teori Jual Beli... 26

1. Pengertian jual beli dalam hukum Islam ... 26

2. Pengertian jual beli dalam hukum perdata ... 27

3. Dasar hukum jual beli ... 28

4. Rukun dan syarat jual beli ... 31

5. Khiya>r dalam jual beli ... 36

6. Landasan hukum khiya>r ... 38

7. Syarat-syarat khiya>r ... 40

C. Hukum Positif di Indonesia ... 42

1. Pengertian jual beli ... 42

2. Dasar hukum jual beli ... 42

BAB III INFORMASI PENGGUNAAN BARANG PADA PRODUK KECANTIKAN ... 44

A. Gambaran umum produk kecantikan yang masuk di Indonesia ... 44

B. Informasi penggunaan barang pada produk kecantikan dari berbagai negara ... 45

C. Peran BPOM dalam seleksi produk impor ... 47

D. Manfaat informasi pada produk kecantikan ... 48

E. Resiko tidak adanya informasi penggunaan barang pada produk kecantikan ... 49

F. Pendapat konsumen tentang produk yang tidak ada informasi penggunaan barang ... 52

G. Resiko penggunaan produk tanpa penjelasan dan cara penggunaan ... 56

BAB IV ANALISIS SADD AL DHARI>‘AH DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA TERHADAP JUAL BELI PRODUK KECANTIKAN YANG TIDAK ADA INFORMASI PENGGUNAAN BARANG DALAM BAHASA INDONESIA ... 60

(9)

xiii

B. Analisis hukum positif di indonesia terhadap jual beli

produk kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia ... 64

BAB V PENUTUP ... 67

A. Simpulan ... 67

B. Saran-saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama fitrah dan rah{matan lil ‘a>lami>n memberikan solusi

terbaik untuk mengatasi setiap permasalahan masyarakat. Islam menawarkan

konsep bisnis yang bersih dari berbagai perbuatan curang dan tercela yang

jauh dari keadilan dan memelihara akhlak. Informasi adalah sekumpulan

data/ fakta yang diolah dengan cara tertentu sehingga mempunyai arti bagi

penerima. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi informasi yaitu

pemberitahuan; kabar atau berita tentang sesuatu.1 Informasi juga dapat

dikatakan sebuah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman atau

instruksi.

Informasi/ petunjuk sebuah produk dimaksudkan agar orang yang akan

menggunakan barang tersebut mengerti langkah-langkah dan cara

penggunaan barang. Selain mencantumkan langkah-langkah dan cara

penggunaan barang, suatu produk juga harus mencantumkan komposisi; efek

samping penggunaan; tanggal produksi; dan tanggal kadaluwarsa. Informasi

penggunaan barang ini sangat penting. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan

dengan baik penulisan petunjuk/ cara penggunaan barang supaya tidak

menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Tujuan dicantumkannya

petunjuk penggunaan barang adalah agar para pemakai tidak salah saat akan

menggunakan barang.

1http://kbbi.web.id/informasi. Diakses pada tanggal 26 September 2016

(11)

Idealnya, informasi yang disampaikan oleh pelaku usaha tersebut bukan

hanya menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh produk, tetapi

perlu pula diimbangi informasi yang memuat kekurangan-kekurangan yang

dimiliki oleh produk bersangkutan.2 Terutama mengenai hal-hal yang

menyangkut keamanan dan kenyamanan konsumen.3 Kebutuhan konsumen

akan informasi produk ini sangat penting artinya, karena dengan

ketersediaan informasi konsumen atau pengguna dapat berhati-hati saat

pra-transaksi sehingga bisa memberikan manfaat yang optimal kepada

konsumen.4

Saat ini kemajuan informasi dan teknologi semakin canggih dan

berkembang pesat, terlebih di bidang informasi. Sehingga masyarakat

dengan cepat dan tak terbatas dapat mengakses apa yang hendak diketahui

dan mungkin bahasa bukan menjadi kendala. Sebagai contoh yakni pasar

bebas Asia atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), kegiatan ekspor/ impor

menjadi hal lazim yang harus dihadapi masyarakat negara Asia khususnya

Indonesia. Produk impor telah mendominasi sebagian besar penjualan di

pasar tradisional atau yang modern; supermarket; bahkan yang

diperjualbelikan dengan online shop. Barang kebutuhan tersebut mulai dari

perabot rumah; makanan ringan; produk kosmetika hingga bumbu dapur.

2 Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Iklan Yang Menyesatkan

(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 5.

3 Ibid., 5

4 Ujang Sumarwan, Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran (Bogor: Ghalia

(12)

Realitanya, tidak semua barang impor yang diperdagangkan di pabean

mencantumkan bahasa Indonesia, seperti produk kecantikan/ kosmetika. Hal

ini akan menyulitkan konsumen untuk mengetahui informasi yang memuat

petunjuk penggunaan barang, petunjuk pemeliharaan barang dan spesifikasi

produk. Konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam

mengumpulkan dan mengolah informasi tentang kosmetika yang

digunakannya,5 sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai

produk yang dapat mengakibatkan risiko bagi kesehatan konsumen.

Masuknya produk kosmetika di Indonesia salah satunya dengan cara

impor, yaitu kegiatan mendatangkan/ membeli barang atau jasa dari luar

negeri. Barang adalah benda-benda berwujud yang biasa dimanfaatkan

masyarakat. Dilihat dari definisi barang, maka kosmetika tergolong obat dan

makanan.6 Pengertian kosmetika berdasarkan Peraturan BPOM No. 12 tahun

2015 Pasal 1 angka 11,

‚Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk

digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.‛

Kosmetika yang dapat dimasukkan ke wilayah Indonesia untuk

diedarkan adalah kosmetika yang memiliki izin edar.7 Produk kecantikan/

5 Ibid., 406

6 Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No

12 tahun 2015 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke Wilayah Indonesia

7 Rancangan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor .. Tahun 2015

tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia Bab III

(13)

kosmetik termasuk salah satu barang yang wajib berbahasa Indonesia yang

wajib dicantumkan oleh produsen.

Pencantuman bahasa Indonesia untuk penggunaan barang pada produk

kecantikan/ kosmetika memberikan arti penting secara menyeluruh/

universal, dengan memperhatikan keamanan dan kesehatan konsumen.

Namun tidak hanya masyarakat umum, akan tetapi mayoritas konsumen di

Indonesia yang beragama muslim pun menginginkan informasi yang terbuka

dan jelas,8 terutama mengenai kehalalan produk. Dengan kata lain konsumen

mempunyai hak untuk meperoleh informasi sejelas-jelasnya (the right to be

informed). Walaupun Islam pada masa Rasulullah belum menjelaskan

perlindungan konsumen secara empiris seperti saat ini, namun pengaturan

perlindungan konsumen yang diajarkan Rasulullah sangat mendasar,

sehingga pengaturan tersebut menjadi cikal bakal produk hukum

perlindungan konsumen modern. Etika jual beli menurut Rasulullah salah

satunya yakni berkata jujur atau tidak menyembuyikan informasi agar tidak

menimbulkan kerugian atau kerusakan. Sesuai dengan firman Allah QS as

Syu’ara {26}: 181-183:

ََنيِرَِْخُمْلاََنِمَاوُنوُكَتَاَوََلْيَكْلاَاوُفْوَأ

۞

َ

َِميِقَتَُْمْلاَ ِساَطَِْقْلاِبَاوُنِزَو

۞

َ

ََسا نلاَاوََُخْبَ تَاَو

اْوَ ثْعَ تَاَوَْمَُءاَيْشَأ

َ

ََنيِدَِْسُمَِضْرأاَ ِِ

۞

Artinya : Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan (182) dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. (182) Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya

8 Ujang Sumarwan, Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran (Bogor: Ghalia

(14)

dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan

(183).9

Islam menghendaki adanya unsur keadilan, kejujuran, dan transparasi

yang dilandasi nilai keimanan dalam praktik perdagangan.10 Terkait dengan

hak-hak konsumen, Islam memberikan ruang bagi konsumen dan produsen

untuk mempertahankan hak-haknya yang dikenal dengan istilah khiya>r.

Khiy>ar adalah hak penjual atau pembeli untuk tetap melanjutkan akad jual

beli atau membatalkannya.11 Suatu produk mengalami cacat dapat dibedakan

atas tiga kemungkinan, yaitu: kesalahan produksi, cacat desain, dan

informasi yang tidak memadai.12 Dalam konteksnya, suatu produk yang

disertai informasi tidak memadai, maka digolongkan cacat produk sebab

pelaku usaha menyembunyikan informasi mengenai barang produksinya. Di

dalam ajaran fikih muamalah menjelaskan bahwa pelaku usaha dianjurkan

berkata benar tentang kondisi barangnya.

َِلٌَلُجرََرَكَذَ َلاَقَاَمُهنَعَُه للاََيِضََرََرَمُعَنباَنَعَو

َِلوُسَر

َ

َِهّللا

َ

َِعوُيُ بلاَىَُعَدَُُُْه ناَم.ص

َ: َلاَقَ ف

هيلعَقسّتمَ.ََةيَاِخََاَلُقَ فََتعياَبَاذإ

Artinya: dan diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a: telah datang seorang pada Rasulullah saw saya telah ditipu dalam jual beli. Maka Nabi bersabda ‚ketika jual beli katakanlah, jangan tipu menipu‛13

9 Departemen Agama RI,al Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), 526, Q.S asy Syu’araa (26): 181-183.

10 Zulham, HukumPerlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 58. 11 Marzuqi Yahya, Panduan Fiqh Imam Syafi’i, cet ke-1(Jakarta Timur: al-Mahgfirah, 2012), 89. 12 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia (Jakarta:

Grafindo Persada, 2011), 26.

13Al Imam Hafidz Ahmad bin ‘Aliy, Bulughul Maram min Adzillatu al Ahkam (Beirut: Dar

(15)

Khiya>r ‘aib artinya hak konsumen/ pembeli untuk melanjutkan atau

tidak akad jual beli apabila terdapat cacat barang. Dalam hal ini sangat

penting adanya perundang-undangan yang melindungi hak-hak produsen

maupun konsumen agar tidak sampai menimbulkan kerusakan maupun

kerugian. Sadd al-dhari>‘ah menjadi salah satu cara istinbat para mujtahid

untuk membuat keputusan hukum. Sadd al-dhari>‘ah adalah mencegah

kerusakan atau hal bersifat terlarang. Dalam istilah ushul fikih sad

al-dha>ri’ah adalah (menutup jalan) mencegah suatu perbuatan agar tidak

sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan)14. Perbuatan

menyembunyikan informasi pada produk tersebut terlarang, karena dapat

menimbulkan kemafsadahan bagi konsumen baik terhadap kesehatan juga

keamanannya.

Pasal 8 ayat 1 huruf (j) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang

memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak

mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam

bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Banyaknya importir yang tidak mencantumkan informasi penggunaan

barang berbahasa Indonesia menjadi kecemasan bagi konsumen akan dampak

keamanan dan kesehatannya. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti

dan juga akan membahas pada bab selanjutnya, dalam sebuah karya ilmiah

berupa skripsi dengan judul Analisis Sadd Al-Dhari>‘ah dan Hukum Positif

(16)

di Indonesia terhadap Jual Beli Produk Kecantikan yang Tidak Ada

Informasi Penggunaan Barang dalam Bahasa Indonesia.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis

mengidentifikasi dan memberi batasan masalah sebagai berikut:

1. Pentingnya pengaturan informasi/ petunjuk penggunaan barang.

2. Perkembangan informasi dan teknologi yang canggih dan tak terbatas.

3. Pemasukan produk kecantikan di Indonesia melalui kegiatan impor.

4. Kegiatan ekspor/ impor di era pasar bebas Asia atau Masyarakat

Ekonomi Asean (MEA).

5. Produk kosmetika digolongkan sebagai barang

6. Melindungi hak konsumen secara universal utamanya masyarakat

muslim.

7. Perlindungan hak-hak konsumen dalam hukum Islam dikenal dengan

istilah khiya>r.

8. Menyembunyikan informasi produk bisa dikatakan sebagai cacat

produk.

9. Analisis Sadd al-Dha>ri‘ah terhadap jual beli produk kecantikan yang

tidak ada informasi penggunaan barang dalam bahasa Indonesia.

10.Analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap jual beli produk

kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan barang dalam bahasa

(17)

Dari identifikasi masalah tersebut. Maka penulis akan membatasi

masalah yang akan dikaji sebagai berikut:

1. Analisis Sadd al-Dha>ri‘ah terhadap jual beli produk kecantikan yang

tidak ada informasi penggunaan dalam bahasa Indonesia.

2. Analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap jual beli produk

kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan dalam bahasa

Indonesia.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, maka masalah yang akan peneliti

bahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana analisis Sadd al-Dha>ri‘ah terhadap jual beli produk

kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan dalam bahasa

Indonesia?

2. Bagaimana analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap jual beli

produk kecantikan yang tidak ada informasi penggunaan dalam bahasa

Indonesia?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang sudah ada.15

15 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis

(18)

Berawal dari kajian yang ditulis oleh Iis Rana Abdi S (skripsi 2014) dengan

judul ‚Perlindungan Konsumen terhadap Barang Elektronik Import yang

Tidak Menyertakan Buku Petunjuk Berbahasa Indonesia pada Kemasannya

Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen‛. Menjelaskan bentuk perlindungan hukum pada konsumen atas

pembelian barang elektronik tanpa ketersediaan buku petunjuk penggunaan

berbahasa Indonesia oleh pelaku usaha berdasarkan Undang-undang No.8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah dengan adanya suatu

pengawasan. Serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen

apabila mengalami kerugian atas pembelian barang eletronik tanpa

ketersediaan buku petunjuk, konsumen dapat melalui jalur di luar pengadilan

(non litigasi) dan melalui jalur pengadilan (litigasi) sesuai kesepakatan para

pihak yang bersengketa.16

Kedua, Muhammad Irfan (Skripsi 2015) dengan judul ‚Perlindungan

Konsumen Obat Tradisional yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa

Indonesia pada Kemasannya (Suatu Penelitian di Banda Aceh)‛. Menyatakan

bahwa penandaan yang tercantum pada pembungkus harus berisi informasi

harus ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin. Tanggung jawab

pelaku usaha atas beredarnya produk obat tradisional tanpa label berbahasa

Indonesia yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, yakni ganti

kerugian berupa pembayaran uang untuk biaya pengobatan dan biaya

16 Iis Rana Abdi S, ‚Perlindungan Konsumen Terhadap Barang Elektronik Import yang Tidak

(19)

akomodasi bagi konsumen. Upaya hukum dari konsumen pada kasus

beredarnya produk obat tradisional tanpa label bahasa Indonesia adalah

penyelesaian sengketa secara mediasi oleh YaPKA (Yayasan Perlindungan

Konsumen Aceh) dengan memutuskan permasalahan atas komplain

konsumen yang dirugikan.17

Ketiga, Mey Minanda (Skripsi 2016) dengan judul ‚Perlindungan

Konsumen terhadap Produk Pangan Industri Rumah Tangga Tanpa Tanggal

Kadaluwarsa Berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif‛. Menyatakan

bahwa peredaran pangan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa

pada kemasannya merupakan salah satu tindak pelanggaran yang dilakukan

pelaku usaha berkaitan dengan keterbukaan informasi. Dalam hukum Islam

produk pangan yang aman merupakan pangan yang hala>lan thayyiba, yang

memberikan manfaat dari segi keamanan, proposional, dan sehat serta harus

memberikan kemaslahatan terhadap lima pokok tujuan hukum Islam maqa>sid

al-shari’ah tingkat daruriyyat. Sehingga pencantumannya bersifat wajib

(fard) sebab menyangkut kepastian hukum.18

Dengan adanya kajian pustaka di atas, penulis melakukan penelitian ini

dengan variabel yang berbeda. Penelitian dengan judul ‚Analisis Sadd

al-Dhari>‘ah dan Hukum Positif di Indonesia Terhadap Jual Beli Produk

Kecantikan yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang dalam Bahasa

17 Muhammad Irfan, ‚Perlindungan Konsumen Obat Tradisional yang Tidak Mencantumkan

Label Berbahasa Indonesia pada Kemasannya (Suatu Penelitian di Banda Aceh)‛ (Skripsi- Universitas Syiah Kuala, 2015)

18 Mey Minanda, ‚Perlindungan Konsumen terhadap Produk Pangan Industri Rumah Tangga

(20)

Indonesia‛ ini lebih memfokuskan pada tidak adanya pencantuman informasi

berbahasa Indonesia pada produk kecantikan berdasar analisa Sadd

al-Dhari>‘ah dan Hukum Positif di Indonesia.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui analisis Sadd al-Dhari>‘ah terhadap Jual Beli Produk

Kecantikan yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang dalam

Bahasa Indonesia

2. Untuk mengetahui analisis Hukum Positif di Indonesia terhadap Jual

Beli Produk Kecantikan yang Tidak Ada Informasi Penggunaan Barang

dalam Bahasa Indonesia

F. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian di atas, maka

diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi

pembaca maupun penulis sendiri, baik secara teoritis maupun secara praktis.

Secara umum, kegunaan penelitian yang dilakukan ini dapat ditinjau dari dua

aspek, yaitu:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan atau

menambah pengetahuan dalam pengembangan hukum Islam, khususnya

dalam bidang muamalah yang berkaitan dengan kegiatan bisnis

berhubungan dengan perlindungan konsumen. Bahwa perlindungan bagi

(21)

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan

pemahaman masyarakat tentang Hukum Positif di Indonesia serta hukum

Islam dalam penggunaan barang, serta memberikan kemudahan bagi

masyarakat dalam memilih produk kecantikan oleh pelaku usaha importir

yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari munculnya salah pengertian terhadap judul

penelitian skripsi ini, yaitu ‚Analisis Sadd al-Dhari>‘ah dan Hukum Positif di

Indonesia terhadap Jual Beli Produk Kecantikan yang Tidak Ada Informasi

Penggunaan Barang dalam Bahasa Indonesia‛. Maka perlu dijelaskan

beberapa istilah yang berkenaan dengan judul di atas.

Sadd al-Dhari>‘ah : Mencegah (menutup jalan) sesuatu

perbuatan agar tidak sampai menimbulkan

kerusakan atau kemaksiatan.19

Hukum Positif : Perintah penguasa20. Singkatnya, hukum

positif adalah hukum yang berlaku di suatu

negara.

Informasi Penggunaan Barang : Sebuah informasi mengenai langkah-langkah

dan cara penggunaan barang meliputi

komposisi; efek samping penggunaan; tanggal

produksi; dan tanggal kadaluwarsa.

19 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), 236.

(22)

Kosmetika : Bahan yang dimaksudkan untuk digunakan

pada bagian luar tubuh manusia (epidermis,

rambut, kuku, bibir atau gigi untuk

membersihkan, mewangikan, mengubah

penampilan dan atau memelihara tubuh.

H. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan beberapa metode

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (literature

research) yaitu dengan menelusuri literature yang ada serta menelaahnya

secara tekun. Dengan mengadakan suatu survei terhadap data yang telah

ada, kemudian penulis menggali teori-teori yang telah berkembang

dalam bidang ilmu yang berkepentingan dan mencari metode-metode

serta teknik penelitian.21 Data yang diperlukan sudah tertulis atau diolah

oleh orang lain atau suatu lembaga.

2. Data yang Dikumpulkan

Berdasarkan rumusan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka

data yang akan dikumpulkan sebagai berikut:

a. Data tentang informasi seputar produk

(23)

b. Data tentang legalitas suatu produk kecantikan/ kosmetik

c. Data tentang informasi penggunaan barang tidak berbahasa

Indonesia berdasar Hukum Positif di Indonesia

d. Data tentang informasi penggunaan barang tidak berbahasa

Indonesia berdasar analisis Sadd al-Dhari>‘ah

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini

sebagai berikut:

a. Sumber Primer merupakan sumber data yang langsung memberikan

data kepada pengumpul data. Sumber data yang akan diperoleh

dalam penelitian ini antara lain:

1) Sumber data yang diperoleh dari konsumen tentang pentingnya

informasi penggunaan barang

2) Sumber data yang didapatkan peneliti dari Badan Pengawas Obat

dan Makanan (BPOM) tentang seleksi barang yang masuk di

Indonesia

b. Sumber Sekunder, informasi yang telah dikumpulkan pihak lain.22

Dalam penelitian ini, merupakan sumber data dari buku-buku;

catatan-catatan; publikasi atau dokumen tentang apa saja yang

berhubungan dengan suatu produk yang tidak mencantumkan

informasi berbahasa Indonesia berdasar Hukum Positif di Indonesia

dan analisis Sadd al-Dhari‘ah:

22 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian-Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT.

(24)

1) Masnur Muslich, Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi:

kedudukan, fungsi, pembinaan dan pengembangan, Jakarta: 2007.

2) Sarah Jervis & Tim Dokter Wanita Kelas Dunia. Ensiklopedia

Kesehatan Wanita, t.tp: 2011.

3) Ana Fitria, Panduan Lengkap Kesehatan Wanita, Yogyakarta:

2007.

4) Anggota IKAPI, Hak Konsumen dan Ekolabel, Yogyakarta:

2007.

5) Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen

Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya,

Jakarta: 2008.

c. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan

data sebagai berikut:

1) Pada tahap awal, disamping penulis melakukan studi

kepustakaan, dengan cara menginventarisir peraturan

perundang-undangan, buku-buku dan literatur lain sebagai sumber data

sekunder, penulis juga akan melakukan observasi.23 Cara ini

dilakukan untuk memperoleh gambaran yang bersifat umum dan

relatif menyeluruh tentang obyek permasalahan yang akan

diteliti.

23

(25)

2) Pada tahap terfokus, akan dilakukan wawancara. Wawancara

adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya

dengan si penjawab dengan menggunakan alat yang dinamakan

interview guide (panduan wawancara).24 Dalam penelitian ini

penulis melakukan wawancara sebagai data pendukung.

3) Studi dokumen, sebagai pelengkap dalam pengumpulan data

maka penulis menggunakan data dari sumber-sumber yang

memberikan informasi terkait dengan permasalahan yang dikaji.

d. Teknik Pengolahan Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penggalian terhadap

sumber-sumber data akan diolah melalui tahapan-tahapan berikut:

1) Editing, yaitu memeriksa kembali lengkap atau tidaknya

data-data yang diperoleh dan memperbaiki bila terdapat data-data yang

kurang jelas atau meragukan.25 Teknik ini betul-betul menuntut

kejujuran intelektual (intelectual honestly) dari penulis agar

nantinya hasil data konsisten dengan rencana penelitian.

2) Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sumber

dokumentasi sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh

gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah, serta

mengelompokkan data yang diperoleh.26 Dengan teknik ini

24 Ibid., 193

25 Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 125.

(26)

diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran tentang produk

kecantikan yang tidak mencantumkan informasi penggunaan

barang berbahasa Indonesia.

3) Analyzing, yaitu upaya mencari dan menyusun secara sistemasis

hasil wawancara juga dokumentasi yang disusun secara

sistematis dan dianalisis secara kualitatif untuk memberikan

kejelasan pada masalah yang dibahas dalam skripsi ini.27

e. Teknik Analisis Data

Hasil dari pengumpulan data tersebut akan dibahas dan

kemudian dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang yang dapat diamati dengan metode yang telah

ditemukan.

1) Analisis Deskriptif, yaitu mengurai dan mengolah data mengenai

informasi penggunaan barang pada produk kecantikan; manfaat

serta resikonya menjadi data yang dapat ditafsirkan dan

dipahami secara lebih spesifik. Metode ini digunakan untuk

mengetahui gambaran produk kecantikan yang tidak

mencantumkan informasi penggunaan barang berbahasa

Indonesia.

2) Pola Pikir Deduktif, dalam penelitian ini penulis menggunakan

pola pikir deduktif yang berarti pola pikir yang bermula dengan

27 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif Telaah Positivistik, Rasionalistik,

(27)

peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen tentang

perbuatan yang dilarang bagi produsen yaitu tidak

mencantumkan informasi penggunaan barang berbahasa

Indonesia kemudian fakta; fenomena terhadap produk kecantikan

yang berdampak bahaya bagi kesehatan kemudian dianalisis

menggunakan Sadd al-Dhari>‘ah dan Hukum Positif di Indonesia

sehingga ditemukan suatu pengetahuan yang secara umum diakui

kebenarannya.

I. Sistematika Pembahasan

Agar dalam penyusunan skripsi dapat terarah dan sesuai dengan apa

yang direncanakan atau diharapkan oleh penulis, maka disusunlah

sistematika pembahasan sebagai berikut:

Laporan penelitian ini dimulai dengan bab pertama yaitu pendahuluan.

Dalam bab ini, penulis cantumkan beberapa sub bab yaitu: latar belakang

masalah; identifikasi dan batasan masalah; rumusan masalah; kajian pustaka;

tujuan penelitian; kegunaan hasil penelitian; definisi operasional; metode

penelitian; dan sistematika pembahasan.

Bab kedua menjelaskan tentang Sadd al-Dhari>‘ah; teori mengenai jual

beli dan Hukum Positif di Indonesia.

Bab tiga, informasi penggunaan barang produk kecantikan yang

menjelaskan tentang gambaran umum produk kecantikan yang masuk di

Indonesia; informasi penggunaan barang pada produk kecantikan dari

(28)

seleksi produk impor; manfaat informasi pada produk kecantikan; pendapat

konsumen tentang produk yang tidak ada informasi penggunaan barang; dan

resiko penggunaan produk tanpa penjelasan dan cara penggunaan.

Bab keempat, peneliti akan membahas tentang analisis Sadd al-Dhari>‘ah

dan Hukum Positif di Indonesia terhadap jual beli produk kecantikan yang

tidak ada informasi penggunaan barang dalam bahasa Indonesia.

Skripsi ini diakhiri dengan bab lima, yaitu penutup dari pembahasan

skripsi ini yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan selanjutnya

(29)

20 BAB II

TEORI MENGENAI SADD AL-DHARI<‘AH ; TEORI JUAL BELI; DAN

HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Sadd al-Dhari>‘ah

1. Pengertian sadd al-dhari>‘ah

Sadd al-Dhari>‘ah diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan

larangan terhadap satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah.

Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan

lain yang dilarang. Tampaknya metode ini lebih bersifat preventif.1

Artinya, segala sesuatu yang mubah tetapi akan membawa kepada

perbuatan yang haram maka hukumnya menjadi haram.

Sadd al-Dhari>‘ah yaitu masalah yang dhahirnya dibolehkan oleh

agama dan dihubungkan dengan perbuatan yang terlarang.2 Dalam

pendapat lain, ulama fikih Abu Zahrah mendefinisikan

َ ذلا

َ,َةَليِسَولاَاَهَ نعَمَُةَعْ يِر

َُه نإَفَ,َلِلَُُوَأَمِرحمِلَاًقْ يِرَطَُنوُكَيَاَمََِِيعر شلاٍَةَغُلَىَعِئاَر ذلاَو

َهبااَب ِجاولاَىِدَؤُ يَاَاموٌَحاَبُمَِحاَبُاَىاَُقيِرَطلاوٌَماَرَحَِماَرَ اَىاَُقيِرَطلاَفَُهُمكُحَُدُخأَي

َُهف

ب ِجاولاَو

3

َ

Dhari>‘ah menurut istilah ahli hukum Islam ialah sesuatu yang

menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.

Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dhari>‘ah selalu

1 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah. 2011), 142.

2 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 61.

3

(30)

mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi

sasarannya. Artinya perbuatan yang membawa pada mubah ialah mubah,

perbuatan yang membawa pada haram ialah haram, perbuatan yang

membawa pada wajib ialah wajib.4

Kata sadd (دس) menurut bahasa berarti ‚menutup‛, dan kata al

dhari>‘ah (ةعيرّذلا) berarti ‚wasilah‛ atau ‚jalan ke suatu tujuan‛. Maka,

sadd aldhari>‘ah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan.

Secara istilah Ushul Fikih yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan5 sadd

al-dhari>‘ah yaitu:

ََأ

َُهّنَ

َِم

َْنَ

َِباب

َََم

َِعن

ََْلا

ََو

َِئاس

َِلَ

ََؤ ا

َِدََي

ََىإَة

َِداََسلاَ

َ

Artinya: Menutup jalan yang membawa pada kebinasaan atau kejahatan.

Dengan demikian Sadd al-Dhari>‘ah secara bahasa berarti menutup

jalan atau menghambat jalan. Maksudnya menutup jalan pada hal-hal

yang bisa membawa kerusakan atau kefasidan.

2. Dasar hukum sadd al-dhari>‘ah

Dasar hukum dari Sadd al-Dhari>‘ah menurut ulama fikih adalah

a. al Quran

 َ   َ   َ   َ  َ   َ   َ   َ   َ  َ   َ   َ  َ   َ  َ   َ   َ   َ   َ   َ  َ   َ  َ  َ   َ   َ 6



4 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh; (Jakarta; PT Pustaka Firdaus, 2010), 467. 5 Satria Effendi, Ushul Fiqh; (Jakarta: Kencana, 2005), 172.

(31)

Artinya: dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah

dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.7

Mencaci maki berhala pada hakekatnya tidak dilarang oleh Allah,

tetapi ayat ini melarang kaum muslim mencaci dan menghina berhala,

karena larangan ini dapat menutup jalan ke arah tindakan orang musyrik

mencaci Allah secara melampaui batas.

b. Hadits

Dalam hadits Rasulullah bersabda

َلاقامهنعَهاَيضرَىٍرمعَنْبَهادبعَنع

ََِبكأَنمَّنإَم.صَهاَلوسرَلاق

َِرِئابكلا

َُلجّرلاََنعْليَنأ

َ

ََفيكوَهاَلوسرَايَليقَِهيدلاو

َُلُجّرلاَُبَُيََلاقَِهيدِلاوَُلجّرلاَُنعْلي

َُهُمأَُبَيوابَأَُبَُيفَِلُج رلاَابأَُلجّرلاابَأ

َ

Artinya: dari Abdullah bin Amr r.a, ia berkata Rasulullah bersabda: ‚Termasuk diantara dosa besar orang lelaki melaknat orang tuanya.‛ Beliau kemudian ditanya, ‚Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?‛ Beliau kemudian menjawab, ‚Seorang lelaki mecaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki

tersebut.8

c. Kaidah fikih

َىدأَاَم

ٌَماَرحَوهفَماَر اَىِإ

َ

Artinya: Apa yang membawa kepada yang haram maka hal tersebut juga haram hukumnya.

َِحِلاص

َ

اَ ِبْلجََىلعٌَم دقمَِدساَس اَُعْفد

َ

7 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya; (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

2002), 190, Q.S al An’am (6): 108.

8

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al Bukha>ri al Ja’fi, al Jami>’ ash Shahih al Mukhtashar;

(32)

Artinya: meolak segala kerusakan lebih didahulukan daripada

mengambil kemaslahatan.9

Dari kaidah di atas bahwa melarang segala perbuatan maupun

perkatan yang dilakukan mukallaf menjadi wasilah kepada kerusakan/

kemadharatan.

3. Macam-macam sadd al-dhari>‘ah

Para ahli ushul fikih membagi al-dhari>‘ah menjadi 4 (empat) kategori.

Pembagian ini mempunyai signifikan jika dihubungkan dengan

kemungkinan membawa dampak negatif (mafsadah) dan membantu

tindakan yang telah diharamkan. Adapun pembagian itu adalah sebagai

berikut10:

a. Dhari>‘ah yang secara pasti dan meyakinkan akan membawa kepada

mafsadah.

b. Dhari>‘ah yang berdasarkan dengan kuat akan membawa kepada

mafsadah.

c. Dhari>‘ah yang jarang/ kecil kemungkinan membawa kepada

mafsadah.

d. Dhari>‘ah yang berdasarkan asumsi biasa (bukan dengan kuat) akan

membawa kepada mafsadah.

Terlepas dari kategori mana dhari>‘ah yang harus dilarang/

diharamkan, yang jelas dapat dipahami ialah dalil Sadd al-dhari>‘ah

9

Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh; (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 134.

(33)

berhubungan dengan memelihara kemaslahatan dan sekaligus

menghindari mafsadah.

4. Kedudukan sadd al-dhari>‘ah sebagai hujjah

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih mengenai Sadd

al-dhari>‘ah dapat dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak. Imam Malik bin

Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal menerima Sadd al-dhari>‘ah sebagai

hujjah syar’iyyah,sedangkan Imam Al Syafi’i dan Abu Hanifah menerima

Sadd al-dhari>‘ah sebagai hujjah syar’iyyah untuk kasus-kasus tertentu dan

menolaknya untuk kasus-kasus lain. Golongan ulama Zahiriy terutama

Ibnu Hazm, menolak sama sekali (secara mutlak) sadd al-dhari>‘ah artinya

bukanlah sebagai hujjah syar’iyyah.

Secara global, sikap pandang para ulama terhadap posisi Sadd

al-dhari>‘ah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kubu, yaitu kubu penerima

(pro) dan kubu penolak (kontra). Adapun kubu pro mengemukakan

argumentasi sebagai berikut11:

a. Dalam surah Al Baqarah [2]: 104

 َ   َ   َ   َ   َ  َ   َ  َ   َ  َ   َ   َ   َََ َ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.

Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa orang mukmin dilarang

mengatakan ra’ina yaitu suatu ucapan yang biasa digunakan orang Yahudi

11

(34)

untuk mencela atau mengejek Nabi. Larangan ini berdasar pada keyakinan

bahwa perkataan ra’ina dapat membawa kepada keburukan, yaitu mencela

atau mengejek Nabi. Pesan ayat ini mengisyaratkan adanya Sadd

al-dhari>‘ah.

Sedangkan kubu penolak (kontra) mengemukakan argumentasi

sebagai berikut

a. Aplikasi Sadd al-dhari>‘ah sebagai dalil penetapan hukum

ijtihadiyah yang mana merupakan bentuk ijtihad bi al-ra’yi

yang tercela.

b. Penetapan hukum kehalalan atau keharaman sesuatu harus

didasarkan atas dalil qat’i dan tidak bisa dengan dalil zanniy

sedangkan penetapan hukum sadd al-dhari>‘ah merupakan suatu

bentuk penetapan hukum berdasarkan dalil zanniy.

Sehubungan dengan ini Allah berfirman dalam surah al Najm [53]: 28

 َ  َ  َ   َ   َ  َ  َ   َ   َ   َ  َ   َ   َ   َ  َ   َ   َ  َ  َََ َ

(35)

B. Teori Jual Beli

1. Pengertian jual beli dalam hukum Islam

Jual beli dalam istilah fikih disebut al bai‘ yang menurut etimologi

berarti menjual atau mengganti. Wahbah Zuhaily mengartikan secara

bahasa dengan ‚menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain‛. Kata al bai‘

dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu

al-syira’ (beli).12 Dengan demikian, kata al-bai‘ berarti jual tetapi

sekaligus juga berarti beli.

Secara terminologi, para fuqaha mengemukakan beberapa definisi

jual beli, sekalipun substansi masing-masing definisi sama. Sayyid

Sabiq13 mendefinisikan dengan

يِضاَر تلاَِليِبَسَىَلَعَ ٍلاََِِ ٍلاَمَُةَلَداَبُم

,

ََ

وَا

َِهيِفَِنوُذْأَاَِهَجَوْلاَىَلَعٍَضَوِعِبٍَكلِمَُلْقَ ن

.

Artinya: jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.

Dalam definisi tersebut terdapat kata ‚harta‛, ‚milik‛, ‚dengan

ganti‛, dan ‚dapat dibenarkan‛ (al ma’dzu>nu fih). Yang dimaksud harta

adalah segala yang dimiliki dan bermanfaat maka dikecualikan yang

bukan milik dan tidak bermanfaat; yang dimaksud milik agar dapat

dibedakan dengan bukan milik; yang dimaksud dengan ganti agar berbeda

dengan pemberian (hibah) sehingga harus ada nilai tukar; dan makna

(36)

dapat dibenarkan (al ma’dzu>nu fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli

yang dilarang.

Definisi lain dikemukakan oleh ulama Hanafi yang dikutip dari

Wahbah Zuhaily, jual beli adalah:

َُةَلَداَبُم

َ

ٍَد يَقُمٍَهْجَوَىَلَعَ ِلثَِِِِهيِفَ ٍبْوُغْرَمَ ٍئَشَُةَلَداَبُمَوَأَ,ٍصْوُصٍَََْهْجَوَىَلَعَ ٍلاٍََِ ٍلاَم

. ٍصْوُصََ

14

َ

Saling tukar harta denga harta melalui cara tertentu. Atau, tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.

Definisi lain dikemukakan Ibnu Qudamah (salah seorang ulama

Maliki) dikutip oleh Abdul Rahman Ghazaly, beliau berpendapat jual beli

adalah

اًكُلََََوَاًكيِلَََْ ِلاَاِبَِلاَاَُةَلَداَبُم

15

َ

Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.

Dalam definisi di atas ditekankan kata ‚milik‛ dan ‚kepemilikan‛,

karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki

seperti sewa- menyewa (al ijarah).

2. Pengertian jual beli dalam hukum perdata

Berdasakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud

jual beli adalah suatu perjanjian untuk saling mengikatkan diri dalam

pemenuhan hak dan kewajiban, dengan mana pihak yang satu

(37)

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain

untuk membayar harga yang telah dijanjikan.16

Bahwa inti dari jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar

benda atau barang dengan kesepakatan di antara kedua belah pihak,

yang satu menerima benda dan pihak lain menerima harga sesuai

dengan perjanjian dan dengan ketentuan yang telah dibenarkan syara’.

3. Dasar hukum jual beli

Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama umat

manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Quran dan sunah

Rasulullah saw. Aturan jual beli bersumber baik dari al-Quran; hadits;

ijma’; dan kaidah fikih sebagai berikut:

a. al Quran

QS. al Baqarah [2] :275

ََأ

َّرَحَوََعْيَ بلاَُه للاََلَح

َََمَ

اَبِرلا

....

َ

Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

QS. an Nisaa’ [4]: 29

 َ   َ   َ   َ   َ  َ  َ   َ   َ  َ   َ   َ  َ   َ   َ  َ َ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.17

16

(38)

QS. al Baqarah [2]: 168  َ   َ   َ  َ  َ   َ   َ  َ   َ   َ   َ   َ  َ  َ   َ   َ   َ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata

bagimu.18

QS. al Maaidah [5]: 88

  َ  َ   َ   َ   َ  َ  َ   َ   َ   َ  َ  َ   َ  َََ

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu

beriman kepada-Nya.19

QS. an Nahl [16]: 114

  َ  َ   َ   َ   َ  َ   َ   َ   َ  َ   َ   َ   َ  َََ َ

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu

hanya kepada-Nya saja menyembah.20

17

Departemen Agama RI,al Qur’an dan Terjemahannya; (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), 107.

18 Ibid., 32.

19

Ibid., 162.

(39)

Q.S al Baqarah [2]: 205  َ   َ   َ  َ   َ   َ  َ   َ   َ   َ  َ   َ   َ   َ   ََ َ

Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan

binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.21

b. Hadis

HR. Bukhori Muslim

َ:َ َفُسوُيَُنْبَهاُدبَعَاَنث دَح

َ ْنعَ ٌكلامَانَبخَأ

َِدبع

َِدبعَ ْنعَ,ٍَراَنيدَِنبَها

َِنبَها

َ:َ ِعوُيُ بلاََُِعَدَُُُه نأَمّلسوَهبلعَهاَّلصَِينللَركَذًَاُجرَ نَأَ:َامُهنعَُهاََيِضَرَرَمع

(َ:لاقف

ةَبَاِخَاَ:َلُقفََتعيَابَاَذإ(

))

22

ََ

َ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abdullah bin Dinaar, dari Abdullah bin Umar r.a : bahwa seorang laik-laki berkata kepada Rasulullah saw sesugguhnya dia selalu ditipu dalam jual beli: maka

Nabi bersabda : Ketika jual beli katakanlah Laa Khilabah (tidak ada

tipuan).

Dari penggalan ayat-ayat al Quran dan sabda Rasulullah di atas, para

ulama fikih sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah (boleh). Akan tetapi,

pada situasi tertentu menurut Imam al-Syathibi hukum mubah jual beli bisa

menjadi wajib seperti contoh apabila terjadi ihtikar (penimbunan barang

sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik), maka menurutnya

pihak pemerintah boleh memaksa penjual untuk menjual barang sesuai harga

sebelum terjadinya pelonjakan harga.

21 Ibid., 40.

22 Jami‘u Haququ Tobi‘i, Da>rus Sala>mi Linnashri wa-Attauzi>‘i, cetakan ke empat no. 2117

(40)

c. Ijma’

Ulama sepakat bahwa jual beli dan penerapannya sudah berlaku

sejak zaman Rasulullah saw hingga saat ini. Dan umat Islam sendiri

juga sepakat bahwa jual beli itu hukumnya ja’iz (boleh) dan terdapat

hikmah di dalamnya. Sebab, manusia bergantung pada barang yang

berada pada orang lain dan tentu orang tersebut tidak akan

memberinya tanpa ada imbal balik. Oleh karena itu, dengan

diperbolehkannya jual beli maka dapat membantu terpenuhinya

kebutuhan setiap orang dan membayar atas kebutuhannya itu. Manusia

itu sendiri adalah makhluk sosial, sehingga tidak bisa hidup tanpa

adanya kerjasama dengan yang lain.23

d. Kaidah fikih

َُلصأا

َ

ى

َ

دوُقُعلا

ََ

ُ

اََع

ََما

ا

َِةَ

ََحَةحِصلا

َّتَ

ََ يَُق

ٌَليلَدََمو

َََعََل

ى

َ

ََوَِنَاْطُبلا

َ تلا

َِرح

َِي

.

24

Asal hukum semua kegiatan muamalah ialah sah (boleh) sampai ada dalil tertentu yang datang membatalkan atau mengharamkannya.

4. Rukun dan Syarat Jual Beli

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga

jual beli itu dapat dikatan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun dan

syarat jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafi dengan jumhur

ulama.

23 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, Abdul Hayyie Al-Kattani dkk, (Jakarta:

Gema Insani, 2011), 27.

24

(41)

Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli hanya ada satu yaitu ijab

(ucapan membeli dari pembeli) dan qobul (ungkapan menjual dari

penjual). Akan tetapi jumhur ulama menyatakan rukun jual beli ada empat

yaitu25:

a. Ada orang yang berakad atau al muta’aqidain (penjual dan pembeli);

b. Ada sighat (lafal ijab dan qobul);

c. Ada barang yang dibeli (ma’qud ‘alaih); dan

d. Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut ulama Hanafi, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan

nilai tukar barang termasuk syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang

dikemukakan jumhur ulama di atas sebagai berikut:

1) Syarat-syarat orang yang berakal

Para ulama fikih sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual

beli itu harus memenuhi syarat:

a) Berakal dan mumayyiz. Oleh karena itu, jual beli yang dilakukan

anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.

b) Minimal dilakukan oleh dua orang, yaitu pihak yang menjual dan

membeli.

2) Syarat-syarat terkait ijab dan qabul

Para ulama fikih sepakat bahwa unsur utama dari jual beli yaitu

kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat dilihat

25

(42)

dari ijab dan qabul yang dilangsungkan. Untuk itu, para ulama fikih

mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu sebagai berikut:

a) Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal

b) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.

3) Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaih)

Syarat-syarat terkait barang yang diperjualbelikan sebagai

berikut:

a) Hendaknya barang yang akan dijual ada. Dengan demikian, jual

beli barang yang tidak ada tidak sah, juga semua barang yang

dikhawatirkan tidak ada.26

b) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu

bangkai, khamr, dan darah tidak sah menjadi obyek jual beli sebab

menurut syara’ barang tersebut tidak bermanfaat bagi orang

muslim.

c) Milik orang yang melakukan akad (penjual).27 Barang yang

sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan.

d) Barang tersebut boleh diserahkan terimakan oleh pihak yang

melakukan akad pada saat akad berlangsung.

Madzab Syafi’i juga menyebutkan syarat terkait ma’qud ‘alaih

(barang)28 sebagai berikut:

(43)

a) Suci, maka tidak sah memperjualbelikan barang yang tidak suci/

najis

b) Bermanfaat, dapat bermanfaat dan dimanfaatkan oleh manusia.

Oleh karena itu, bangkai, khamr dan darah tidak sah sebab

menurut pandangan syara’ benda ini tidak memberi manfaat bagi

muslim.

c) Dapat diserahkan, boleh diserahkan saat akad berlangsung atau

pada waktu yang disepakati bersama.

d) Barang milik sendiri atau barang yang diwakilkan kepada orang

lain. Maka tidak sah menjual barang bukan milik sendiri atau

milik umum seperti ikan di laut.

e) Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad.

Barang tersebut ada dan jelas, atau apabila tidak ada di tempat

tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk

mengadakan barang itu.29

4) Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)

Termasuk unsur penting dalam jual beli adalah nilai tukar barang

yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang). Adapun

syarat-syarat al tsaman menurut para ulama fikih antara lain:

a) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

b) Boleh diserahkan pada waktu akad.

29

(44)

Selain syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli di

atas, para ulama fikih mengemukakan syarat lain seperti berikut:

a) Syarat sah jual beli. Suatu transaksi jual beli baru dianggap sah

apabila (a) jual beli itu terhindar dari cacat, seperti kriteria

barang yang diperjualbelikan itu tidak diketahui, jual beli yang

mengandung paksaan, unsur tipuan, unsur madharat (b) apabila

benda yang diperjualbelikan itu benda bergerak, maka barang

boleh dikuasai oleh pembeli dan harga boleh dikuasai oleh

penjual.30

b) Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli. Bagi orang

yang berakad, barang itu milik sendiri dan bukan milik orang lain

atau hak orang lain terkait barang tersebut.

c) Syarat yang terkait dengan kekuataan hukum akad jual beli. Para

ulama fikih sepakat menyatakan bahwa suatu jual beli bersifat

mengikat jika jual beli tersebut terbebas dari segala macam

khiya>r . Apabila jual beli tersebut masih mempunyai hak khiya>r,

maka jual beli itu belum mengikat dan masih boleh dibatalkan.31

Dalam jual beli terdapat hak khiya>r (hak opsi) bagi pihak penjual

dan pembeli untuk menemukan suatu kesepakatan bersama. Hak

khiya>r yaitu hak bagi keduanya untuk meneruskan atau membatalkan

jual beli. Adanya hak khiya>r cenderung memberikan ketidakpastian

30 Ibid., 77.

(45)

akad sebab masih dapat dibatalkan ataupun dilanjutkan, namun

adanya khiya>r ini memberi sebuah kesempatan akan kepuasan pihak

pembeli.

5. Khiya>r dalam jual beli

a. Pengertian

Kata al khiya>r dalam bahasa Arab berarti pilihan. Para ulama

fikih mengemukakan pembahasan khiya>r dalam permasalahan yang

menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi

ekonomi.َSecara terminologi, Sayyid Sabiq32 telah mendefinisikan al

khiya>r sebagai berikut:

َُبَلَطََوَُُرَايٍ ا

َ

َِرْمَأاََِْْ ا

َِءاَغْلِإاِوَأَِءاَضْمِإاََنِم

Khiya>r ialah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau membatalkan (jual beli).

Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang

melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi

yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam

suatu transaksi bisa dicapai dengan sebaik-baiknya. Tujuan diadakan

khiya>r menurut syara’ yakni agar kedua belah pihak dapat

memikirkan lebih jauh kemaslahatan masing-masing dalam akad jual

beli yang dilaksakan, supaya tidak ada yang dirugikan atau merasa

tertipu.

(46)

b. Macam-macam Khiya>r

Khiya>r itu ada yang bersumber dari syara’ seperti khiya>r majlis,

‘aib dan ru’yah ada juga yang bersumber dari kedua pihak seperti

khiya>r syarat dan ta’yin. Berikut dikemukakan pengertian

masing-masing:

1) Khiya>r al Majlis

Khiya>r al-majlis yaitu hak pilih untuk membatalkan atau

meneruskan bagi kedua belah pihak yang berakad untuk

membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam satu

majelis akad (tempat untuk melaksanakan akad).

2) Khiya>r at Ta’yin

Khiya>r at-ta’yin yaitu hak pilih untuk membatalkan atau

meneruskan bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda

kualitas dalam jual beli. Khiya>r ini menurut ulama Hanafiyah

dibolehkan, dengan alasan banyak barang yang sejenis dengan

kualitas berbeda sehingga ia memerlukan bantuan seseorang pakar

agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang dicari sesuai

dengan kebutuhannya.

3) Khiya>r as Syarth

Khiya>r as syarth yaitu hak pilih yang ditetapkan bagi salah

satu pihak atau keduanya untuk membatalkan atau meneruskan

(47)

4) Khiya>r Ru’yah

Khiya>r ru’yah yaitu hak pilh bagi pembeli untuk menyatakan

berlaku atau batal terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika

akad sedang berlangsung. Jumhur ulama fikih yang terdiri dari

ulama Hanafiyah, Hanabilah, Zahiriyah sepakat khiya>r ru’yah

disyari’atkan dalam Islam.

5) Khiya>r ‘Aib

Khiya>r ‘aib yaitu hak pilih untuk membatalkan atau

meneruskan bagi kedua pihak yang berakad, apabila terdapat cacat

pada obyek yang diperjualbelikan.

6. Landasan Hukum Khiya>r

Dalil yang menjadi landasan hukum khiya>r adalah beberapa hadis

di antaranya:

H.R Bukhori Muslim

ةَداَتقَْنعَُةَبعُشَاَنَ ث دحَ:َِ بَحُاَُنبَُلَدَبَاَنَ ث دح

َُثٍدََُُ ِليِل اَاَبأَُتعِمَ:َلاقَ,

َ

َْنع

َمّلسوَهيلعَُهاَّلصَِينلاَِنعَهنعََهاَيضرَِماَزِحَِنبَِميكحَنعَ, ِثِرا اَِنبَِهادبع

((َ:َلاَق

َاق رَستيَََامَراَيِ اِابَ ِناَعِ يبلا

َ

َاق رستيَ تحَ:َلاقْوَأ

َ

َ َكروُبَان يبوَاَقدصَنِإف

))اَمِهِعيبَُةَكَرَ بَتقَُُِابَذَكوَامتكَنِإوَ,اَمِهِعيبََِاَمُ

33

َ

Artinya: telah menceritakan kepada kami Badal bin Muhabbar : telah menceritakan kepada kami Syu’ba dari Qatadah, berkata: saya telah mendengar Aba al Kholil bercerita dari Abdullah bin H{aris, dari H{akin bin H{izam r.a dari Rasulullah saw bersabda : Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar selama keduanya belum

berpisah – atau beliau bersabda hingga keduanya berpisah – jika

keduanya jujur dan menjelaskan cacat dagangannya maka keduanya

33 Jami‘u Haququ Tobi‘i, Da>rus Sala>mi Linnashri wa-Attauzi>‘i, cetakan ke empat no. 2082

(48)

diberkahi dalam jual beli dan bila menyembunyikan cacatnya dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya.

Dan dalam riwayat lain,

H>.R Shahih Muslim

َاَنث دح

اَنَ ث دَحَ:ٍَديِعَسَُنْبَُةَبيَتُ ق

َ

َ رلاِدْبَعََنْباَ ِِْعَ يَُبوُقْعَ ي

, يِراَقلاَِن ْْ

َنَعَ,ٍليَهُسَنَع

َِراَيِ اِبَاَهيِفَوُهَ فًَةا رَصُمًَةاَشََعاَتْ باَِنم((َم.صَِهّللاََلوُسَرَ نَأَ:َةَريَرَُِيأَنَعَ,ِهيِبَأ

ََوَاَهَكََمَأََءاَشَنإَ,ٍما يأََةَثَاَث

ََمَ دَرَوَ,اَ دَرََءاَشَنِإ

.))ٍرَََْْنِمَاًعاَصاَهَع

َ

34

ََ

Maka dia memilih satu dari dua pertimbangan sampai tiga (hari).

Jika menghendaki, dia bisa mengambilnya dan jika tidak

menghendaki, dia bisa mengembalikannya, dan menambahnya dengan

satu sha’ kurma. Dua pertimbangan yang dimaksud yaitu bisa

mengambil atau mengembalikannya. Penyebutan bilangan tiga (hari)

bukan lah menjadi suatu ketentuan akan tetapi suatu kebiasaan atau

adat.35

Abu Shaf sepakat dengan pendapat jumhur ulama yang

menetapkan hak khiya>r bagi pembeli antara mengambil barang jika

menyetujui atau mengembalikaanya ditambah satu sha’ kurma kering

jika dia tidak menginginkannya. Sedangkan Abu Hanifah dan

Muhammad berpendapat bahwa pembeli mengembalikan barang yang

kurang saja.

34 Ibid no. 3832., 940.

(49)

7. Syarat-syarat khiya>r

a. Khiya>r Majlis

Para pakar hadis menyatakan kalimat ‚berpisah badan‛ pada hadis

Rasulullah adalah setelah melakukan akad jual beli barang diserahkan

kepada pembeli dan harga barang diserahkan kepada penjual.36 Imam

an Nawawi, muhadis, dan Imam Syafi’i mengatakan bahwa untuk

menyatakan penjual dan pembeli telah berpisah badan, seluruhnya

diserahkan kepada kebiasaan masyarakat setempat dimana akad

dilakukan.

b. Khiya>r Ta’yin

Khiya>r ta’yin menurut ulama Hanafiyah adalah boleh. Dengan alasan

bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak, yang

kualitas itu tidak diketahui pasti oleh pembeli. Maka syarat khiya>r

ta’yin yang dikemukakan ulama Hanafiyah yaitu (a) pilihan dilakukan

terhadap barang sejenis yang berbeda kualitas dan sifatnya; (b) barang

itu berbeda sifat dan nilainya; (c) tenggang waktu untuk khiya>r ta’yin

harus ditentukan yaitu tidak lebih dari tiga hari.

c. Khiya>r as Syarth

Ketentuan dalam pelaksanaan khiya>r ini adalah: (a) masa tenggang

untuk memutuskan pilihan, di antara ulama ada yang membatasi

sampai tiga hari ada juga yang lebih dari tiga hari sesuai kebutuhan;

(b) sah melakukan persyaratan minta tenggang waktu tertentu

(50)

walaupun lama; (c) waktu berlakunya khiya>r as syarath dimulai sejak

transaksi hingga selesai masa tenggang yang disepakati; (d) harus ada

pembatasan khiya>r as syarath dalam waktu yang baku dan pasti; (e)

tidak diperbolehkan memberikan persyaratan masa tenggang melebihi

masa kadaluwarsa karena akan merugikan salah satu pihak.37

d. Khiya>r Ru’yah

Jumhur ulama fikih mengemukakan beberapa syarat khiya>r ru’yah

yaitu:

1) Objek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.

2) Objek akad itu berupa materi, seperti tanah, rumah dan kendaraan.

3) Akad itu sendiri mempunyai alternatif untuk dibatalkan, seperti

jual beli dan sewa menyewa.

e. Khiya>r ‘Aib

Menurut para fuqaha, adapun syarat-syarat berlakunya khiya>r ‘aib

setelah diketahui ada cacat pada

Referensi

Dokumen terkait

Nilai t hitung yang didapatkan sebesar 11,360 dengan p value sebesar 0,000 (p &lt; 0,05), sehingga ada perbedaan penurunan kadar asam urat sebelum dan sesudah

Namun ada juga musisi genre pop yang lirik lagunya bertemakan kritik sosial pengalaman hidup para penyalahguna narkoba, yaitu Efek Rumah Kaca dengan judul lagu “Tubuhmu Membiru

Bertambahnya siswa yang mendaftarkan diri, maka pihak sekolah pun berusaha memberikan pelayanan yang lebih baik khususnya dalam proses penerimaan siswa baru,

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi hasil penelitian pemanfaatan media Kit IPA, disarankan: (a) Meningkatkan frekwensi pemanfaatan media Kit dalam pembelajaran IPA baik

Penelitian membuktikan bahwa pemakaian minuman beralkohol dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan pada organ otak, liver, alat pencernaan, pangkreas, otot

Alat parut sagu terbuat dari bahan besi dan sebagian Stainless Steel (gerigi/paku-paku) yang ditanam pada sumbu/as diameter 1” dengan fully 8” dan disambung ke motor

Meskipun kemampuan pustakawan dalam mengelola media dalam bentuk tercetak maupun elektronik mempengaruhi pelayanan di Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh hanya sebesar

Artinya, doa-doa atau mantra merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia terutama bagi pelaku magi pada saat melakukan upacara keagamaan, hal tersebut akan