• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana (Studi Erupsi Gunung Merapi) T2 942012005 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana (Studi Erupsi Gunung Merapi) T2 942012005 BAB II"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab II dijelaskan tentang Kajian Pustaka yang berisi sub bahasan Erupsi Merapi, Strategi Manajemen Sekolah, Bencana, Kerangka Pikir dan Produk yang akan di hasilkan.

2.1. Erupsi Merapi

2.1.1. Risiko Tinggi Erupsi Merapi

Erupsi atau bahasa lokal masyarakat menyebutnya meletus (Sukandarrumidi, 2010) adalah merupakan proses aktivitas vulkanik (Nurjanah, et.al, 2012) gunung api aktif yang ditandai dengan perubahan fisik, geologi dan kimia yang menyertai naiknya magma ke permukaan bumi (Affeltranger, et al. 2006). Gunung Merapi (2.968 mdpl) merupakan salah satu gunung api teraktif di dunia. Tingkat risiko bencana tinggi karena Merapi dikelilingi oleh pemukiman padat penduduk yang tersebar di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah. Saat ini beberapa pemukiman penduduk ada yang berjarak hanya 4 kilometer dari puncak Merapi.

(2)

Dekade selain lima belas gunung api dunia lainnya (United State Geological Survey, 1998).

2.1.2. Sejarah Erupsi Merapi

Sejarah erupsi besar Merapi adalah tahun 1006, 1786, 1822, 1872,1930, 1994, 2006 dan 2010 (Badan Geologi, 2009). Masing-masing letusan Merapi menyimpan cerita luar biasa. Beberapa letusan besar telah mengubah secara langsung kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi masyarakat Jawa yang tinggal di sekitar kawasan ini. Oleh karena itu, letusan Merapi dalam mitologi Jawa dikaitkan dengan berbagai tanda perubahan jaman, situasi politik atau pertanda munculnya bencana lain yang lebih besar. Letusan Merapi memicu perubahan peradaban karena letak Merapi tepat di jantung peradaban pulau Jawa yang padat penduduk. Rangkuman pendek tentang situasi letusan Merapi adalah sebagaimana dicatat oleh Profesor dari Utrecht University Belanda Reinout Willem van Bemmelen yang menduga letusan besar Merapi tahun 1006 mengakibatkan Kerajaan Medang atau Mataram Kuno harus pindah ke Jawa Timur (Bemmelen, 1949). Letusan 15-20 April 1872 dianggap sebagai letusan terkuat dalam catatan geologi modern.

Menurut catatan Kemmerling (1921) dan Hartmann (1934) yang menjadi rujukan penelitian B Voight dkk (2000) dalam Historical Eruptions of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia, 1768-1998 yang dikutip oleh Kompas.com (2012).

Letusan mendadak dengan lava kental, tekanan gas sedang dan dapur magma yang dangkal digambarkan

(3)

Kepulauan Antilles Kecil, Karibia. Meski letusan hanya berlangsung lima hari, suara letusan terdengar sampai Kerawang, Madura dan Bawean. Awan panas mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada

di puncak Merapi yaitu Apu, Trising, Senowo,

Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol.

Meski tidak tercatat jumlah pasti korban jiwa akibat letusan tersebut, tetapi dampak dari awan panas dan material letusan menghancurkan desa-desa di atas elevasi 1000 mdpl. Letusan besar lainnya tercatat tahun 1930, menghancurkan 13 desa, merusak 23 desa lainnya dan menewaskan setidaknya 1.369 jiwa penduduk di kawasan ini (Badan Geologi, 2009). Secara khusus, dalam catatan hasil wawancara dengan sesepuh Desa Keningar, letusan Merapi tahun 1930 mengakibatkan hilangnya tiga dusun, yaitu Dusun Sisir I, Sisir II dan Dusun Terus, keseluruhan warga tiga dusun tersebut dipindah ke Desa Sumber Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. Sementara akibat letusan Merapi tahun 1960-an, sebagian penduduk Keningar diberangkatkan transmigrasi ke Sumatra Selatan (wawancara dengan Tarmuji, Kepala Desa Keningar). Letusan November 1994 mengakibatkan 60 orang meninggal dan puluhan ribu mengungsi. Sementara letusan Merapi tahun 2006 mengakibatkan dua sukarelawan meninggal dunia karena awan panas.

(4)

2010) dan puluhan ribu penduduk harus mengungsi di atas radius 20 kilometer dari puncak Merapi sampai setidaknya 48 hari (wawancara dengan Giya dan Tarmuji Kepala Desa Keningar). Tanda-tanda letusan Merapi tahun 2010, telah muncul sejak 21 Oktober 2010, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menetapkan status “Siaga Merapi”. Pukul 06.00 WIB di tanggal 25 Oktober 2013 status dinaikan menjadi "Awas Merapi" dan Merapi meletus sehari kemudian di tanggal 26 Oktober 2013 (BPPTK, 2010). Itu artinya semua penghuni di radius 10 km dari puncak Merapi harus dievakuasi. Letusan tahun 2010 memuntahkan material hujan kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian utara, sedangkan hujan abu vulkanik pekat melanda hingga mencapai Purwokerto dan Cilacap atau lima puluh kilometer dari pusat letusan. Beberapa hari kemudian debu vulkanik juga mencapai Tasikmalaya, Bandung dan Bogor Jawa Barat (Ismail, 2010).

(5)

lahar dingin ini, tetapi merunut luas area paparan banjir, kerugian yang ditimbulkan pasti cukup tinggi. 2.1.3. Membangun Mekanisme Adaptasi Melalui

Analisis Risiko Bencana

Sejarah letusan Merapi dari tahun ke tahun mengakibatkan ribuan jiwa melayang dan tidak terhitung kerugian material lainnya. Situasi bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat dikawasan Merapi secara umum dari gambaran korban dan intensitas paparan risiko bencana, dapat dikategorikan cukup tinggi. Sementara kapasitas (capacity) masyarakat tentang bahaya dan paparan risiko, termasuk ketersediaan alat-alat (tools) mitigasi dan kesiapsiagaan bencana erupsi Merapi sebagai kunci mengurangi tingkat risiko bencana bagi korban perlu selalu diekplorasi dan dikembangkan.

Merapi memiliki karakter letusan yang dapat prediksi gejala-gejala dan scup paparan area bahayanya. Karakter ini membedakan penanganan korban erupsi Merapi dengan ancaman bencana alam seperti gempa bumi, typhoon, kekeringan dan tsunami maupun ancaman bencana karena faktor kombinasi alam dan manusia seperti kebakaran, land slide

maupun konflik sosial (Heijmans, 2012). Kejelasan scup

(6)

sekolah menjadi kebutuhan mendasar. Peta risiko bencana akan menuntun pada kebutuhan manajemen yang diperlukan seluruh civitas akademik dilingkungan pendidikan di wilayah rentan didalam merespon bencana Merapi.

2.2. Strategi Manajemen Sekolah

2.2.1. Mengembalikan Makna Strategi Manajemen Sekolah

Menurut pengertiannya, strategi adalah suatu tindakan penyesuaian untuk mengadakan reaksi terhadap situasi lingkungan tertentu (baru dan khas) yang dapat dianggap penting, di mana tindakan penyesuaian tersebut dilakukan secara sadar berdasarkan pertimbangan wajar (Triyana, 1987). Sementara menurut Jauch dan Glueck (1989) menyatakan bahwa strategi merupakan perencanaan mengikat, komprehensif dan terpadu yang menghubungkan keuntungan strategis organisasi terhadap tantangan lingkungan. Strategi di desain untuk memastikan bahwa tujuan organisasi dapat dicapai melalui tindakan yang tepat. Dalam kontek pendidikan Stanley J Spanbauer dalam Sallis (2009), para pendidik harus belajar dalam menggunakan dan menafsirkan strategi dasar yang sering digunakan untuk peningkatan mutu.

(7)

menggunakan kegiatan orang lain (2005). Menurut tokoh-tokoh besar manajemen, seperti Chester I. Bernard, Henry Fayol dan Alvin Brown, manajemen merupakan seni dan ilmu (Manulang, 2005). Dalam perspektif pendidikan, penulis sependapat dengan Gaffar dalam Mulyasa (2012), manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang sistematik, sistemik, dan komprehesif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Atau segala sesuatu berkenaan dengan proses pengelolaan pendidikan untuk mencapai tujuan (2012: 20).

Sementara jika ditinjau dari fungsi manajemen, menurut Louis A. Allen sebagaimana dikutip oleh Suryasubrata (2004), manajemen berfungsi untuk:

leading, planning, organizing, controling. Sementara menurut Prajudi Atmodirdjo, manajemen berfungsi:

Planning, organizing, directing atau actuating, controlling.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa strategi manajemen sekolah adalah suatu tindakan kegiatan mengikat, komprehensif dan terpadu organisasi sekolah terhadap tantangan lingkungan sekolah yang prosesnya merupakan gabungan antara ilmu dan seni untuk mencapai tujuan tertentu bersama orang lain melalui kegiatan perencanaan (planning), pelaksanaan (implementing, directing & actuating), pengawasan (controlling), dan pembinaan (leading).

2.2.2. Praktek Manajemen Sekolah di Indonesia

(8)

pertama, kegiatan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function

atau input-output analysis yang dilaksanakan secara tidak konsisten (Rivai et.al, 2009). Pusat pendidikan sebagai pusat produksi apabila di dipenuhi input, maka lembaga akan menghasilkan output yang dikehendaki. Mutu pendidikan tetap tidak naik karena terlalu focus kepada input bukan proses pendidikan. Sementara relevansi pendidikan dan tuntutan masyarakat juga dipertanyakan (Mulyasa, 2012).

Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik dan sub-ordinasi birokrasi diatasnya (Rivai et.al, 2009). Menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan yang sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang memiliki jalur yang panjang. Terkadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Menutur Tilaar, sekolah kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas, inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu. Pengaturan birokratik hanya akan memasung kreatifitas guru dan sekolah (Tilaar, 2006) (Rivai et.al, 2009).

(9)

lebih baik terhadap informasi setempat (Mulyasa, 2012) (Rivai et.al, 2009).

Ketiga tantangan tersebut diatas pada kontek pengembangan model sekolah di wilayah tertentu atau pada situasi khusus (bencana) menjadi penghambat utama (Badawi, 2013). Orientasi pada output, kehilangan keluwesan, partisipasi dan suara dari kebutuhan civitas sekolah bukan sesuatu yang penting untuk di kembangkan. Dalam perspektif manajemen pendidikan, profil pendidikan Indonesia menurut Tilaar (2006:78-81) terdiri dari tiga komponen besar dalam menentukan standar pendidikan, pertama, komponen standar kurikulum atau standar isi. Meliputi pengaturan mata pelajaran, jenjang pendidikan dan alokasi jam. Kurikulum disusun berorientasi kepada mata pelajaran (subject matter curriculum), berorientasi kepada kebutuhan anak (child centered curriculum) dan berorientasi kepada kehidupan nyata (life-skill curriculum). Focus utamanya adalah pengembangan kemampuan intelegensi anak tidaklah satu arah tetapi

multi intelegence seperti yang di sampaikan oleh Howard Gardner dalam Multiple Intelegence (Gardner, 2011). Kedua, standarisasi performance (unjuk kerja). Tingkat penguasaan anak didik menentukan standar proses pendidikan. Kemampuan siswa tidak hanya tampak dari proses di kelas dan sekolah. Performance

(10)

2.2.3. Ruang lingkup dan Prinsip Manajemen Sekolah

Ruang lingkup manajemen sekolah semua ahli sepakat bahwa ruang lingkup manajemen sekolah adalah pada planning, organizing, directing, coordinating, controlling dan evalution (Pidarta,2011) (Mulyasa,2012), (Zaenuddin, 2008) (Danim & Suparno, 2009) (Amtu, 2011). Keseluruhan proses tersebut meliputi (1). Input kesiswaan (2). Kurikulum (3). Tenaga Kependidikan (4). Sarana dan Prasarana (5). Dana (6) Lingkungan (hubungan Sekolah dengan masyarakat) dan (7) Kegiatan Belajar Mengajar (Danim & Suparno, 2009) (Mulyasa, 2012).

Didalam proses manajemen sekolah, dikenal beberapa prinsip umum dalam manajemen sekolah.

Pertama, manajemen sekolah bersifat praktis dan fleksibel dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan situasi nyata di sekolah. Kedua, Manajemen Sekolah berfungsi sebagai sumber informasi bagi peningkatan pengelolaan pendidikan dan keigatan belajar mengajar.

Ketiga, Manajemen sekolah dilaksanakan dengan suatu sistem mekanisme kerja yang menunjang realisasi pelaksanaan kurikulum. (Pidarta, 2011). (Zaenuddin, 2008) (Tilaar, 2012)

2.2.4. Posisi Kepala Sekolah dalam Manajemen Sekolah

(11)

pertama, Kepala sekolah sebagai Manager dalam proses

planning, organizing, directing, coordinating, controlling dan evalution sekolah. Kedua, Kepala Sekolah sebagai administrator, yaitu administrator pendidikan dan pengajaran, kesiswaan, kepegawaian, keuangan, hubungan dengan masyarakat dan prasarana dan sarana. Ketiga, kepala sekolah sebagai motor hubungan sekolah dengan masyarakat. Kepala sekolah harus tampil didepan dalam memajukan kerjasama sekolah dengan masyarakat. Mulai dari belajar budaya masyarakat setempat, kondisi sosial ekonomi, keyakinan dan kepercayaan masyarakat dan kesemua itu dijadikan media integrasi sekolah dan masyarakat.

Oleh sebab itu, dalam manajemen sekolah ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dimiliki oleh seorang manajer pendidikan (Kepala Sekolah). Yaitu

Pertama, memiliki pengetahuan dasar tentang pendidikan dan sekolah yang meliputi ruang lingkup manajemen sekolah. Kedua, memilili ketrampilan dalam siklus manajemen sekolah (Pidarta, 2011) (Tilaar, 2012) serta ketiga, Memiliki sikap memahami, melaksanakan, menghargai, berfikir rasional, demokratis, kreatif, terbuka dan mempercayai atas kebijakan, aturan dan relasi dengan atasan serta bawahan.

2.3. Integrasi

Manajemen

Sekolah

dalam

Pengurangan Risiko Bencana

(12)

pertama, Kepala Sekolah adalah tokoh kunci untuk menjamin berjalannya model manajemen sekolah yang terintegrasi dengan kebutuhan lingkungan, masyarakat, guru, siswa dan orang tua siswa. Keahlian kepala sekolah dalam kontek ini dapat merupakan re

-organizing, kebutuhan dan pengalaman manajemen bencana yang telah mereka miliki menjadi kebijakan sekolah (Badawi, 2013).

Kedua, Kepala Sekolah menggunakan kekuatan otonomi pengelolaan sekolah sebagai basis utama (Amtu, 2011). Kebijakan Manajemen Sekolah Membuka otonomi luas sekolah untuk mengembangan model-model sekolah yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan (Tilaar, 2011) (Mulyasa, 2012), (Zaenuddin, 2008). Ketiga, memfokuskan pada kebutuhan pembelajaran dan psikologi siswa, guru dan tenaga kependidikan yang merupakan korban dalam kontek bencana. Pemahaman secara psikologis atas korban (Powell, 2005) menjadi krusial bagi sekolah dan pengajaran (Santrock, 2008).

(13)

pengetahuan bagi semua fihak. Karakteristik inilah yang perlu ditonjolkan sebagai sekolah diwilayah risiko tinggi bencan erupsi Merapi.

2.4. Bencana

2.4.1. Pengertian dan Jenis Bencana

Pengertian umum yang dipakai oleh komunitas internasional adalah merujuk pengertian bencana dalam dokumen United Nation - International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) (Nurjanah, 2012), Bencana adalah:

A serious disruption of the functioning of a community or a society causing widespread human, material, economic or environmental losses which exeed the ability of the affected community/society to cope using its own resources

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24, 2007) disebutkan pengertian bencana adalah

Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan dan penghidupan

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

(14)

rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Ketiga, Bencana Sosial: Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Dalam kontek pengertian dan jenis bencana tersebut dapat di simpulkan bagian-bagian penting yang membentuk pengertian batasan bencana yaitu (1). ada Peristiwa (2). Terjadi karena faktor alam, faktor manusia maupun faktor kombinasi alam dan manusia (3). Terjadi tiba-tiba (sudden) maupun secara perlahan (slow) (4). Menimbulkan korban jiwa, harta benda, kerugian sosial-ekonomi-budaya dan kerusakan lingkungan. (5). Berada diluar kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya.

(15)

regional, densitas populasi, dan bagian wilayah alam. Sementara berdasarkan ruang lingkup pengurangan dan kesiapsiagaan dapat di analisis dalam level organisasi terkecil meliputi (1). Rumah tangga (household) (2). Organisasi/institusi (3). Komunitas (4). Pemerintah (5). Antar organisasi lintas sektoral (Susanto, et. al, 2011).

2.2.3. Analisis Risiko Bencana

Didalam memahami dan menganalisis bencana, faktor utama yang harus dikaji dalam dua aras, yaitu pemahaman bencana dan konsep pengurangan risiko bencana. Pertama, Pemahaman Komprehensif Risiko Bencana (disaster risk). Pemahaman risiko bencana akan membantu semua fihak mengenali dan menyusun strategi pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction). Pengertian risiko bencana secara sederhana difahami sebagai the probability of meeting danger or suffering/harm atau berbagai kemungkinan pertemuan bahaya atau penderitaan dan kerugian.

(16)

IIDR, 2007, Affeltranger, 2008). Secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Kedua, Konsep Pengurangan Risiko Bencana (disaster risk reduction). Adalah a frame work and tool that determines the degree of risk and describes measures to increase capacities and reduce hazard impact on the elements at risk so that disaster will be avoided. (IIRR, 2007). Formula komprehensif tentang pengurangan risiko bencana adalah dengan mengelola

hazard, menurunkan kerentanan (vulnerability) dan meningkatkan kapasitas & ketahanan korban (capacity & resilience). (Heijmens, 2012. Nurjanah, 2012. IIDR, 2007, Affeltranger, 2008).

a. Ancaman Bahaya, Kerentanan, Kapasitas dan Ketahanan

Pengertian ancaman bahaya (hazard) adalah a potential event that could couse loss of life or damage to property or the environment (IIRR, 2007) atau adalah keadaan atau fenomena alam yang dapat berpotensi menyebabkan korban jiwa, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan (Nurjanah, 2012). Sementara secara lugas UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan pengertian ancaman bencana adalah sesuatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana. Bentuk

Risiko Bencana Bahaya (Hazard) X Kerentanan (Vulnerability) (Disaster Risk):

(17)

nyata dari ancaman (hazard) adalah erupsi, banjir, tanah longsor, kekeringan, angin Topan, gempa bumi maupun tsunami.

Sementara kerentanan adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. Kerentanan masyarakat merupakan kondisi masyarakat yang tidak dapat menyesuaiakan dengan perubahan ekosistem yang disebabkan oleh suatu ancaman tertentu (Fussel, 2007). Yaitu suatu kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat meningkatkan risiko terhadap dampak bahaya (Herawaty dan Santosa, 2007). Pengertian yang bervariatif tentang kerentanan memang menjadi salah satu kekayaan dalam analisis kerentanan itu sendiri. Kerentanan merupakan terminologi yang komplek dan tidak pasti sehingga masih terdapat pengertian tentang kerentanan tergantung pada lingkup penelitian (Olmos, 2001, Fussel, 2007).

(18)

menurut Cutter (2003) para ahli sosial mensepakati beberapa faktor utama yang berpengaruh terhadap kerentanan sosial, diantaranya kurang akses terhadap sumber daya (informasi, pengetahuan dan teknologi) terbatasnya akses terhadap kekuatan dan keterwakilan politik, modal sosial, koneksi dan jejaring sosial, adat kebiasaan dan nilai budaya (Cutter et al 2003).

Secara garis besar kerentanan merupakan kondisi dimana system tidak dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan (Olmos, 2001) (Fussle, 2007). Kerentanan individu, organisasi, wilayah maupun komunitas akan berbeda-beda secara temporal dan spasial (Olmos, 2001. IPCC, 2001). Kerentanan merupakan tiga komponen yaitu: exposure (paparan),

sensitivity (kepekaan) dan adaptive capacity

(kemampuan adaptasi) (IPCC, 2001), (Olmos, 2001) (Fussel, 2007). Analisis kerentanan digunakan sebagai (1). Alat diagnostik untuk memahami masalah-masalah dan faktor-faktor penyebab kerentanan (2). Alat perencanaan sebagai dasar penetapan prioritas kegiatan serta urutan kegiatan yang direncanakan (3). Alat pengukur risiko untuk menilai risiko secara spesifik (4) alat untuk pemberdayaan dan mobilisasi kelompok masyarakat yang rentan (Benson et al, 20017) (Djuraidah, 2009).

Kapasitas menurut International Institute for Rural Recontruction (IIRR, 2007) adalah:

(19)

includes prevention, mitigation surviviality of the individual and readiness of the community.

Kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan, keluarga dan masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap-siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan bencana. Secara operasional, pengertian kapasitas adalah penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan yang dimiliki masyarakat yang memungkinkan mereka mempersiapkan diri, mencegah, menjinakkan, menanggulangi, mempertahankan diri serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana (Paripurno, 2011) (Heijmans, 2012).

b. Analisis Gender dalam Pengurangan Risiko Bencana

Pemahaman kerentanan masyarakat korban, selalu jamak dipahami sebagai deskripsi besaran secara umum tentang situasi jiwa, harta benda dan infrastruktur sosial ekonomi dan budaya tanpa terpilah secara gender dan seolah-olah semua korban adalah normal. Analisis kerentanan secara lebih “mendalam” belum dipakai sebagai analisis dan respon bencana. Padahal dengan data terpilah gender, dapat menuntun kita pada deskripsi situasi kerentanan korban secara tepat. Situasi kerentanan korban memiliki tingkat yang berbeda-beda tergantung pada lokasi hazard (ancaman bahaya) dan kapasitas yang dimiliki oleh korban. Kerentanan korban termasuk di dalamnya adalah faktor jenis kelamin (gender), kelompok umur dan

(20)

Setiap identitas gender –dalam konteks ini termasuk kelompok umur (anak-anak, manula),

different ability—merujuk pada problem situasi yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, akses yang berbeda serta partisipasi yang berbeda pula meski pada kondisi paparan risiko bencana yang sama. Terpilah secara gender maknanya adalah memisahkan jenis kelamin, umur dan different ability (diffable)dalam analisis risiko bencana. Pemahaman dan data terpilah akan merujuk pada ketepatan cara dan kebutuhan merespon korban baik pada tingkatan emergency, mitigasi ataupun kesiapsiagaan (preparedness).

Lemahnya kesadaran gender telah

(21)

Dalam penelitian Elaina Enarson et.al. bahkan dijelaskan bagaimana hilangnya perspektif gender dalam penanganan dan tanggap bencana telah mengubah hidup anak-anak perempuan (2007). Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan dan anak-anak perempuan sering diabaikan dalam krisis lingkungan dan krisis pasca bencana. Menurut Enarson, di beberapa negara, kawasan dan daerah, mereka justru menjadi korban perkosaan di barak-barak pengungsian. Bantuan-bantuan yang bersifat khusus untuk perempuan bahkan tidak ada, misalnya pembalut, alat bantuan melahirkan, dan bantuan gizi untuk ibu hamil dan menyusui.

(22)

Dalam International Journal of Sociology and Social Policy Vatsa menulis bagaimana risiko kebencanaan tidak bisa dilepaskan dari bagaimana perempuan rentan terhadap bencana dan bagaimana perempuan mengatasi risiko kebencanaan (2004:7). Rumah tangga dan sekolah merupakan rumah pertama bagi perempuan dan anak-anak perempuan, dimana, mereka mendapatkan bencana kali pertama. Risiko kebencanaan yang mereka alami adalah longsoran tanah, banjir (Heijmans, 2012) dan air pasang laut, gempa bumi, erupsi gunung berapi dan hujan abu. Masing-masing perempuan mengalaminya di rumah. Dan anak-anak perempuan mengalaminya di sekolahan. Maka ketahanan rumah dan sekolah dalam menangani kebencanaan dengan mengintegrasikan perspektif gender merupakan alat penting untuk mengurangi risiko kebencanaan yang selama ini lebih banyak merenggut korban perempuan.

Berdasarkan penjelasan di atas, pada konteks penyelenggaraan sekolah, kesadaran gender bagi kepala sekolah dan guru dalam situasi emergency/darurat menjadi sangat penting. Partisipasi gender harus terjamin di dalam proses pratisipasi perserta didik di dalam dunianya (Tilaar, 2012).

2.5. Kerangka Pikir

(23)

jelas paparan risiko bencana bagi sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2, meliputi analisis bahaya, kerentanan, kapasitas/ketahanan sekolah secara terpilah dalam perspektif gender. Dokumen-dokumen penelitian tentang peta risiko bencana yang dapat digunakan untuk mendorong perubahan pendekatan sekolah yang terintegrasi dengan kebutuhan masyarakat, menjadi krusial. Apalagi dalam catatan peneliti, ketersediaan dokumen peta risiko bencana di sekolah di kawasan Merapi belum memadai. Khususnya untuk mengembangkan konsep integrasi peta risiko bencana erupsi Merapi dalam manajemen sekolah.

Kedua, Pemahaman dan ketersedian peta risiko bencana akan menjadi rujukan yang tepat bagi sekolah untuk menyusun konsep, strategi dan program manajemen sekolah. Strategi utama di dalam manajemen risiko bencana adalah dengan mengelola

hazard, menurunkan kerentanan (vulnerability) dan meningkatkan kapasitas & ketahanan korban (capacity & resilience). Strategi pengurangan risiko bencana tersebut diintegrasikan dalam berbagai ruang lingkup manajemen sekolah, meliputi kurikulum dan materi belajar, pengelolaan sumber daya manusia, metode kegiatan belajar mengajar, administrasi sekolah dan kebijakan keuangan.

(24)

dalam pengurangan risiko bencana. Khususnya di dalam menjamin rasa aman, nyaman dan pencapaian tujuan sekolah sesuai dengan kontek kebutuhan lokal.

2.6. Produk Yang Akan dihasilkan

Dalam penelitian ini produk yang dihasilkan adalah pertama, Peta Risiko Bencana Erupsi Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Produk ini meliputi paparan (1). Latar belakang (2) Landasan teoritis dan kebijakan (3). Profil SD Negeri Keningar 1 dan Keningar 2. (4). Peta dan Analisis Risiko Bencana SD Keningar 1 dan 2 yang terdiri dari (a). Peta Hazards Sekolah, (b). Peta Kerentanan Sekolah (c). Peta Kapasitas/Ketahanan Sekolah. (5). Analisis Kebutuhan program dan Prioritas Strategi Manajemen SD Negeri Keningar 1 dan 2. (6). Penutup. Penyajian produk dikemas secara menarik gabungan antara matrik, gambar, peta, narasi pendek yang mudah difahami oleh civitas sekolah.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam dua lafadz di atas jelas bahwa jumlah bacaan takbir pada permulaan lafadz adalah dua kali.. Tentang tambahan bacaan kabiran wal hamdu lillahi katsiran dan

[r]

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 2013, seperti tersebut dibawah

gaya melintang, momen dan bidang momen); Konstruksi balok sederhana (Oenan terpusat, beban merata, beban kombinasi terpusat-merata, beban.. segitiga simitri, beban

(b) jika terjadi kesalahan hasil pengalian antara volume dengan harga satuan pekerjaan maka dilakukan pembetulan, dengan ketentuan volume pekerjaan sesuai dengan

Sikap konsumen terhadap suatu inovasi produk yang dilakukan oleh perusahaan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan oleh sebuah perusahaan dalam menciptakan loyalitas merek dari