• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipe & Size (, 752K)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tipe & Size (, 752K)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENATAAN RUANG DAN PENGENTASAN KEMISKINAN DAERAH

DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh: Dr. Ir. Sujana Royat, DEA

1

Sejak otonomi daerah digulirkan pada tahun 1999, muncul harapan baru dalam pembangunan di daerah. Harapan tersebut tidak hanya dalam bidang politik, dimana masyarakat berpartisipasi dalam memilih kepala daerah, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Melalui otonomi daerah, diharapkan Pemerintah Daerah dan masyarakat lebih banyak memainkan peran strategis dalam penyusunan perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan di daerah.

Walaupun demikian, selama kurang lebih 10 tahun penerapan otonomi daerah, masih banyak kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk menuju kesejahteraan yang dicita-citakan. Salah satu aspek penting dalam kaitannya antara otonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah aspek perencanaan pengembangan wilayah. Kewenangan yang dimiliki dalam otonomi, Pemerintah Daerah dapat mendayagunakan potensi daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga tidak terjeremus pada kemiskinan. Namun dalam realitasnya, pengembangan potensi wilayah bukannya memberikan manfaat bagi masyarakat malah seringkali menimbulkan konflik antara Pemerintah Daerah, swasta, serta masyarakat.

Kemiskinan hingga kini masih menjadi problem utama berbagai pemerintah. Persoalannya, penanggulangan kemiskinan setiap daerah berbeda. Karakteristik kemiskinan masyarakat perkotaan dan perdesaan memiliki perbedaan. Kemiskinan di perdesaan lebih banyak disebabkan persoalan kurangnya infrastruktur pelayanan dasar, keterbatasan akses, serta keterjangkauan dan kemampuan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, serta sanitasi dasar. Sedangkan kemiskinan di perkotaan lebih didominasi oleh kesenjangan penghasilan, terbatasnya lapangan pekerjaan, serta kemampuan masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan dasar yang sesuai dan bermartabat.

Bicara karakteristik kemiskinan tentu berhubungan pada pemetaan dan tata ruang, agar menjadi jelas arah penanganannya. Dalam regulasi, definisi ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan penataan ruang dipahami sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Dari pengertian itu, jelaslah bahwa ruang tidak didefinisikan dalam arti fisik dan material semata, tetapi ruang merupakan suatu wadah interaksi sosial manusia dan mahkluk hidup lainnya dalam menyelenggarakan aktivitas yang terkait dengan kelangsungan hidupnya. Untuk menhindari konflik dalam pemanfaatan ruang, maka pengelolaan dan pemanfataan ruang harus direncanakan dan dikendalikan.

Sehubungan dengan ini, terdapat 3 permasalahan besar di Indonesia terkait dengan penataan ruang, yakni; 1) Konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang; 2) Penurunan daya dukung atau degradasi

lingkungan; serta 3) inkonsistensi dalam pengembangan kebijakan penataan ruang. Karena itulah muncul regulasi tentang pentingnya penataan ruang dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

(2)

Setidaknya ada argumentasi yang mendasari pentingnya pengaturan ruang dalam kehidupan manusia. Pertama, keterbatasan ruang yang dimiliki sehingga diperlukan perencanaan dalam pemanfaatan ruang. Kedua, posisi geografis Indonesia yang terletak pada ring of fire serta rawan bencana alam. Ketiga, perkembangan jumlah penduduk membutuhkan ketersediaan ruang yang cukup untuk mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Terkait argumentasi tersebut, maka diperlukan perencanaan tata ruang pada tingkat nasional, propinsi, serta kabupaten/kota yang harus saling terkait dan terkoordinasi. Dalam regulasi penataan ruang disebutkan bahwa penyusunan perencanaan tata ruang suatu wilayah baik pada tingkat nasional, propinsi, serta kabupaten/kota setidaknya memperhatikan beberapa aspek, diantaranya perkembangan permasalahan global, pemerataan pembangunan, pertumbuhan, serta stabilitas ekonomi.

Perencanaan tata ruang tidak hanya memperhatikan kondisi sosial-ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut, tetapi juga memperhatikan rencana strategis penataan ruang secara terintegrasi pada tingkat nasional maupun tingkat propinsi. Selain itu, juga perlu memperhatikan perencanaan tata ruang yang dibuat oleh daerah yang berbatasan dengan wilayahnya. Oleh sebab itu diperlukan koordinasi perencanaan ruang antar wilayah, sehingga tidak menimbulkan konflik pemanfaatan ruang antar wilayah.

Pengembangan Wilayah

Ilmu ekonomi wilayah merupakan suatu cabang ilmu ekonomi, yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi wilayah satu dengan wilayah lainnya. Ilmu ekonomi regional tidak membahas kegiatan-kegiatan ekonomi secara individual melainkan menganalisis suatu wilayah secara keseluruhan atau melihat berbagai potensi wilayah yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.

Ilmu ini tidak mungkin dilepas dari induknya (makroekonomi dan ekonomi pembangunan). Karena itu, dalam pembahasan ekonomi regional, materi-materi ilmu ekonomi umum perlu dikembangkan sehingga sesuai dengan karakteristiknya. Misalnya dalam makroekonomi menyatakan bahwa tujuan utama kebijakan ekonomi adalah: 1) full-employment; 2) economic growth; dan 3) price stability. Ketiga kebijakan ekonomi ini tidak mungkin seluruhnya dimasukkan ke dalam kajian ekonomi regional, apabila kajian tersebut berkaitan dengan wilayah di dalam suatu negara tertentu.

Dalam hal ini, yang dapat dimasukkan ke dalam kajian ekonomi regional hanyalah full-employment

dan economic growth, sedangkan price stability di luar jangkauan pemerintah daerah, mengingat instrumen kebijakan price stability ada pada pemerintah pusat.

Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis. Dengan kata lain, konsep ini merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang dan telah diujiterapkan untuk dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan sesuai kondisi dan kebutuhan pembangunan.

(3)

Pada dekade tahun 50-an, muncul teori yang menyatakan pentingnya peranan pusat-pusat pertumbuhan, seperti: (1) teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) oleh Franςois Perrox, 2 teori kutub pembangunan yang terlokalisasi (localized development theory) oleh Boudeville, dan (3) teori titik pertumbuhan (growth point theory) oleh Albert Hirschman. Menurut Perrox (Adisasmita, 2005), terdapat elemen yang menentukan pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Perrox menganggap bahwa industri pendorong sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan selanjutnya. Pertumbuhan regional intinya menggunakan konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja titik tekanan analisis diletakkan pada perpindahan faktor (movements factor). Arus modal dan tenaga kerja yang mengalir dari satu daerah ke daerah lain membuka peluang bagi perbedaan tingkat pertumbuhan antar daerah. Dalam analisis dinamik, tingkat pertumbuhan dapat jauh lebih tinggi daripada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional ataupun sebaliknya. Dalam kaitan perpindahan faktor antar wilayah, model pertumbuhan Harrod-Domar dapat digunakan untuk analisis pertumbuhan regional.

Pertumbuhan dan Pemerataan

Hubungan pertumbuhan dan pemerataan hingga kini masih menjadi kontroversi. Di satu pihak, ada pendapat pertumbuhan dan pemerataan saling bertentangan, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya. Kelompok terakhir ini di dunia internasional tergolong minoritas, sebab jumlah negara yang berhasil memadukan pertumbuhan dan pemerataan tidak banyak.

Dalam literatur, paling sedikit ada tiga konsep distribusi pendapatan, yakni: (1) distribusi fungsional, (2) distribusi fungsional yang diperluas, dan (3) distribusi personal. Menurut Ismail (1995) teori neo-keynesien dan juga teori distribusi pendapatan yang lainnya, lebih menitikberatkan pada masalah distribusi fungsional.

Teori tak selamanya relevan sebagai landasan untuk merumuskan kebijakan distribusi pendapatan di negara berkembang. Hal itu disebabkan karena, pertama penggolongan penerima pendapatan dalam teori distribusi fungsional terlalu sederhana, yaitu terbatas pada buruh dan pemilik modal, dan umumnya hanya meliputi mereka yang tergabung dalam sektor formal. Pembagian ini mengabaikan aspek penting dari problem kemiskinan dan ketimpangan di negara berkembang. Umumnya kelompok miskin di negara berkembang bekerja pada sektor tradisonal dan informal, dan kegiatan mereka tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan nasional. Karena itu didasarkan pada teori distribusi fungsional hanya menyentuh lapisan menengah dan lapisan atas dari kelompok pendapatan.

Kedua, teori distribusi fungsional tidak banyak membahas konflik sosial-politik-ekonomi. Biasanya konflik semacam ini menonjol berkaitan dengan startegi pembangunan yang dipilih. Distribusi fungsional dapat mengungkap kepentingan politik jika konflik itu bersumber dari pemilik faktor produksi. Ketidakmampuan teori ini karena konflik sosial-ekonomi di negara berkembang tidak pada konflik antara upah dan modal. Misalnya antara desa dan kota, antara industri dan pertanian, antara sektor yang dilindungi dan sektor yang tidak dilindungi, antara industri substitusi impor dan industri untuk ekspor. Karena itu, teori ini mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan proses dan fenomena jangka panjang dari ketimpangan pendapatan di negara berkembang.

(4)

distribusi personal dengan pertumbuhan. Landasan ini dikenal dengan hipotesis U (U hypothesis) yang dikemukakan pertama kali oleh Simon Kuznets pada tahun 1955.

Hipotesis ini mengatakan pembangunan ekonomi diawali oleh semakin buruknya pembagian pendapatan, hingga pada titik tertentu pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Beberapa ekonom berusaha membuktikan keabsahan hipotesis U. Umumnya mereka menggunakan model ekonometrik yang menghubungkan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh 40 persen penduduk pendapatan rendah (sebagai variabel yang dijelaskan) dengan pendapatan per kapita dan variabel struktural lainnya (sebagai variabel penjelas). Hasilnya, umumnya membuktikan kebenaran hipotesis U dalam pembangunan.

Pertumbuhan utamanya berasal dari sektor moderen, dimana tingkat pertumbuhannya lebih cepat daripada sektor tradisional. Tetapi ada hambatan bagi orang masyarakat miskin untuk memperoleh manfaat pertumbuhan. Hambatan itu berupa rendahnya tingkat pendidikan, sempitnya lahan yang dimiliki, rendahnya modal, dan beberapa kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) yang melemahkan posisi mereka.

Indikator kemiskinan relatif yang lain adalah ukuran Bank Dunia. Dalam kaitan ini mereka membagi penduduk suatu wilayah ke dalam tiga kelompok, yaitu: 40 persen penduduk berpendapatan rendah; 40 persen penduduk berpendapatan menengah; dan 20 persen penduduk berpendapatan tinggi. Bila 40 persen penduduk berpendapatan rendah menerima kurang dari 12 persen dari total pendapatan berarti ketidakmerataan pendapatan adalah tinggi; 12 persen sampai dengan 17 persen ketidakmerataan pendapatan adalah sedang; dan menerima lebih dari 17 persen berarti ketidakmerataan pendapatannya rendah.

Hal ini terjadi karena rumah tangga miskin adalah kelompok masyarakat dengan kepemilikan modal terbatas, hal itu menyebabkan mereka menjadi kurang mampu menangkap hasil-hasil pembangunan ekonomi. Mereka kalah bersaing dengan pengusaha yang memiliki banyak modal, akibat keadaan ini membuat sebagian besar ekonomi rakyat menjadi tergusur, dan sebagian besar hak-hak rumah tangga menjadi hilang.

Pelayanan Masyarakat

Untuk stabilitas ekonomi dan politik selama ini pemerintah memegang kendali yang lebih besar terhadap sumber-sumber penerimaan dan berbagai kebijaksanaan pelayanan masyarakat. Hal ini dilakukan mengingat kebutuhan dasar masih sangat kurang, resiko investasi masih sangat besar, dan tingkat pendidikan rata-rata manusia di daerah masih rendah.

Dengan meningkatnya kemampuan kelembagaan dan kualitas aparat di daerah, saatnya untuk memperbesar kewenangan daerah dalam menata pembangunan di daerah. Keterlibatan swasta sebagai mitra kerja perlu diperbesar. Sejalan dengan kewenangan daerah yang semakin besar maka pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.

Ada tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah. Indikator pertama adalah produktivitas, yang dapat di ukur dari perkembangan kinerja suatu institusi beserta aparatnya. Kedua adalah efisiensi, yang terkait dengan meningkatnya kemampuan teknologi/sistem dan kualitas SDM dalam pelaksanaan pembangunan. Terakhir adalah partisipasi masyarakat, yang dapat menjamin kesinambungan pelaksanaan suatu program di suatu wilayah.

(5)

komitmen aparat dan masyarakat, dan tingkat kemampuan/pendidikan aparat dan masyarakat. Sehingga keberhasilan itu bergantung pada kemampuan berkoordinasi, mengakomodasikan dan memfasilitasi semua kepentingan, serta kreativitas yang inovatif.

Dari pemahaman dan pengalaman, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah berupa rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI.

Pengembangan Wilayah dan Kualitas Hidup

Perkembangan kawasan perkotaan sangat pesat, jika dilihat dari pertumbuhan penduduk perkotaan yang mencapai 2,8 % per tahun, maka pada tahun 2025 diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 68,3 % dari total penduduk Indonesia. Selain permasalahan kependudukan, permasalahan lain meliputi permasalahan sosial, ekonomi, penataan kota, serta kualitas hidup masyarakat. Karena itula diperlukan basis data yang akurat dalam perencanaan kawasan perkotaan.

Daerah perkotaan memiliki daya tarik tersendiri bagi penduduk di perdesaan. Daya tarik ini bukan hanya karena faktor pekerjaan yang lebih baik , tetapi juga karena kemudahan sarana dan prasarana yang ada di kota. Seperti diketahui perkembangan penyedian fasilitas dasar dari pedesaan masih minim. Aspek itulah yang menjadi alasan utama gelombang urbanisasi, yang setiap tahunnya meningkat.

Peningkatan penduduk kota tentu mempengaruhi berbagai aspek. Seperti penyediaan ruang yang cukup untuk permukiman, peningkatan sarana dan prasarana, dan kompleksitas permasalahan sosial dan ekonomi. Permasalahan ini tentu memiliki keterkaitan dan membutuhkan penyelesaian secara komprehensif dan terintegrasi. Jika ruang hidup tidak tersedia maka akan menimbulkan permasalahan sosial, begitu juga penduduk urban yang tidak memiliki keterampilan kerja akan menimbulkan pengangguran, kriminalitas, dan permasalahan sosial lainnya.

Bahkan meningkatnya penduduk urban di kota dapat memberikan dampak peningkatan jumlah penduduk miskin. Struktur pekerjaan yang berbasis pada jasa di perkotaan menuntut sejumlah kualifikasi dalam pendidikan dan pengalaman yang seringkali sulit dipenuhi oleh penduduk yang berasal dari perdesaan yang struktur pekerjaannya berbasis pada pertanian.

Tingginya angka kemiskinan menekan ruang, dan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi kota. Sumber konflik Pemerintah Kota dengan penduduk miskin adalah perebutan ruang. Telah jadi pandangan harian kalau masyarakat miskin seringkali melakukan okupasi terhadap ruang terbuka. Bahkan kerap dilakukan pada daerah bahaya seperti bantaran sungai. Munculnya tempat tinggal diwilayah ini tentu membahayakan, dan menyebabkan penyempitan badan sungai yang mengakibatkan banjir.

(6)

Kebijakan Pemerintah Daerah untuk menata kawasan pun hampir sama. Umumnya Pemda akan merelokasi peduduk, penggusuran, dan penataan kawasan kumuh. Meski kebijakan hampir sama tapi pendekatan kebijakan tersebut berbeda. Seperti Walikota Solo yang melakukan pendekatan persuasif. Hasilnya PKL dapat diatur karena adanya kesepakatan diantara mereka.

Penataan ruang ekonomi diperlukan agar terjadi keseimbangan para pelaku ekonomi pada skala besar maupun kecil. Selama ini, kebijakan Pemerintah Kota ramah terhadap pelaku ekonomi skala besar, tetapi brtindak sebaliknya bagi pelaku ekonomi kecil. Padahal penduduk miskin diperkotaan banyak bekerja di sektor informal, seperti menjadi buruh, pedagang kaki lima, juru parkir, pengemudi becak, serta berbagai usaha ekonomi kreatif lainnya. Dimana dalam menjalankan aktivitasnya mereka banyak menggunaan daerah yang dilarang atau tidak berijin.

Kemudian permasalahan juga muncul dari aspek sosial budaya masyarakat. Masyarakat kota terfragmentasi secara sosial budaya dalam penguasaan ruang. Munculnya perumahan mewah, diubahnya lahan-lahan startegis untuk perdagangan, semakin menguatkan fragmentasi sosial budaya. Fragmentasi ruang secara sosial budaya seringkali menimbulkan diskriminasi pelayanan publik pada masyarakat miskin.

Dari data Tabel 1, terlihat bahwa persentase pengeluaran masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok (makanan) rata-rata berada di atas 60 %. Artinya hampir 60 % penghasilannya dibelanjakan buat memenuhi kebutuhan makanan. Sisanya 40 % baru dapat digunakan oleh rumah tangga miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti pendidikan, kesehatan. Secara rinci terdapat pada table 2.

Kondisi itu menggambarkan masyarakat miskin sulit membenahi lingkungan disekitarnya. Seperti penyediaan air bersih, jamban keluarga, serta rumah yang layak huni. Untuk membenahi ini Pemda banyak menyelenggarakan program rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Misalnya program bedah rumah, serta penyediaan jamban keluarga.

Program ini seringkali bersifat dilematis dalam penataan ruang atau kawasan. Jika menunggu kesadaran tentang jamban tentu dalam waktu yang panjang. Sementara penataan ruang memerlukan waktu cepat untuk meminimalisir dampak negatif yang muncul. Misalnya jika pembangunan jamban keluarga tidak segera dilakukan, maka feces rumah tangga mengakibatkan pencemaran lingkungan yang berujung pada timbulnya endemik penyakit.

Berdasarkan hasil analisis kehidupan masyarakat miskin dalam perencanaan tata ruang dan pengembangan kawasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. pertama, perencanaan tata ruang dan pengembangan kawasan di daerah masih berorientasi pada pembangunan aspek fisik semata, dan belum mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan kondisi sosial-budaya.

(7)

Tabel 1

Proyeksi Jumlah dan Persentase Penduduk Indonesia berdasarkan Desa dan Kota

Tahun Kota Desa Total

(orang) (persen) (orang) (persen)

2000 86.406,6 42% 119.436,6 58% 205.843,2 2005 106.158,6 48% 113.739,7 52% 219.898,3 2010 126.855,5 54% 107.283,9 46% 234.139,4 2015 147.683,9 60% 100.496,1 40% 248.180,0 2020 167.932,3 64% 93.607,3 36% 261.539,6 2025 186.932,1 68% 86.719,3 32% 273.651,4 Sumber: BPS dan Bappenas,

Gambar 1

Proyeksi Jumlah dan Persentase Penduduk Indonesia menurut Desa dan Kota Tahun 2000-2025

Sumber: BPS dan Bappenas,

Tabel 2

Garis Kemiskinan berdasarkan Jenis Pengeluaran Makanan dan Non-Makanan Tahun 2005-2010

Tahun Makanan Bukan Makanan Total

Rp/Kapita/Bln % Rp/Kapita/Bln %

(8)

2009 147,339 74% 52,923 26% 200,262 2010 155,615 73% 56,111 27% 211,726 Sumber: BPS, dari berbagai tahun

Tabel 3

Daftar Komoditas Kebutuhan Dasar Bukan Makanan Tahun 2010

No, Jenis Komoditi Nilai

8 Perlengkapan mandi 2,122,04 5,24

9 Barang kecantikan 767,65 1,90

10 Perwatan kulit/muka 477,71 1,18

11 Sabun cuci 1,805,72 4,46

12 Pendidikan 1,906,08 4,71

13 Kesehatan 1,480,39 3,65

14 Bahan pemeliharaan pakaian 106,02 0,26

15 Pemeliharaan kesehatan 56,57 0,14

16 Bensin 1,541,79 3,81

17 Angkutan 2,408,36 5,95

18 Foto 51,81 0,13

19 Pakaian jadi laki-laki dewasa 1,543,13 3,81

20 Pakaian jadi perempuan dewasa 1,699,34 4,20

21 Pakaian jadi anak-anak 1,683,33 4,16

22 Keperluan menjahit 45,49 0,11

23 Alas kaki 1,021,43 2,52

24 Tutup kepala 217,83 0,54

25 Handuk/ikat pinggang 101,31 0,25

26 Perlengkapan perabot rumah tangga 87,97 0,22

27 Perkakas rumah tangga 188,57 0,47

33 Pajak kendaraan bermotor 443,81 1,10

34 Pungutan lain 158,66 0,39

35 Perayaan hari raya agama 128,91 0,32

36 Upacara agama 432,38 1,07

JUMLAH 40,503,16 100,00

(9)

Foto-foto proses realokasi kota solo

Konsultasi Publik Para Pedagang yg akan direalokasi dengan Kepala Daerah Kota Surakarta

(10)

Gambar

Gambar 1
Tabel 3 Daftar Komoditas Kebutuhan Dasar Bukan Makanan Tahun 2010

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

[r]

Sistem dapat mengetahui lokasi parkir yang kosong dan mampu melakukan reservasi untuk lokasi parkir kosong tersebut menggunakan telepon cerdas

Radio komersial yang berlokasi di daerah Setrasari kota Bandung ini memiliki sebuah program yang mengangkat musik dengan aliran sebagai fokus dari program yang diudarakan.. Radio

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara pengelolaan gulma berpengaruh tidak nyata pada Tongkol per plot dan Bobot kering 100 biji namun berpengaruh nyata terhadap, Tinggi

Berwujud Yang di maksud kualitas pelayanan waktu penyelesaian disini adalah tepat waktu dan janji, artinya secara utuh dan prima petugas pelayanan dalam menyampaikan

Tujuan penelitian ini berdasarkan perumusan masalah yang ada untuk mengetahui besarnya kontribusi dari parametar proses current, energi time (on time & off time) dan

Sedangkan Sistem Kontrol Lingkar Tertutup ( Closed Loop ) adalah sistem pengontrolan dimana besaran keluaran memberikan efek terhadap besaran masukan, sehingga

Tujuan utama penelitian ini adalah peningkatan mutu pendidikan dan memperdayakan sumber daya manusia, kepedulian warga sekolah dan masyarakat penyelenggara pendidikan