• Tidak ada hasil yang ditemukan

Roland Barthes, Tokoh Cultural Studies Prancis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Roland Barthes, Tokoh Cultural Studies Prancis."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

M akalah dalam Sem inar Int ernasional “ Cult ural St udies dalam Kajian Sastra” , Rumpun Sast ra, Fakult as Bahasa dan Seni, UNY pada t anggal 14-15 Septem ber 2005.

Tokoh Cult ural St udies Prancis: Roland Bart hes

Oleh :

Dian Sw andayani, M .Hum St af Pengajar Bahasa Perancis, FBS, UNY

dianswandayani_uny@yahoo.co.id

A. Pendahuluan

Berbicara t entang Cult ural Studies at au yang kit a kenal sebagai st udi kajian budaya,

perhatian kita t idak dapat dilepaskan dari The Birm ingham Cent er for Cont em porary Cultural

St udies yang dipelopori oleh Richard Hoggart dan Raymond W illiam s. Intit usi yang didirikan

pada 1963 ini m em ang tidak dapat dipisahkan dari kedua nam a pendirinya tersebut.

Hoggart dan W illiam s adalah pengajar sastra pada program -program ekst ram ural, yang

m em buat kajian tent ang bent uk-bent uk dan ekspresi budaya yang m encakup budaya t inggi

m aupun rendah, dan m engem ukakan sejum lah teori tentang kait an ant ara keduanya

sebagai form asi sosial hist oris (Budiant a, 2002).

Cult ural Studies itu sendiri m em punyai beberapa definisi sebagaim ana dinyat akan

oleh Barker (via St orey, 2003), antara lain yait u sebagai kajian yang mem iliki perhat ian pada

beberapa hal, diant aranya adalah : 1) hubungan atau relasi ant ara kebudayaan dan

kekuasaan; 2) seluruh prakt ik, instit usi dan sist em klasifikasi yang t ert anam dalam nilai-nilai

part ikular, kepercayaan, kompet ensi, kebiasaan hidup, dan bent uk-bentuk perilaku yang

biasa dari sebuah populasi; 3) berbagai kaitan ant ara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras,

kelas, kolonialism e dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir t ent ang

kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh agen-agen dalam m engejar

perubahan; dan 4) berbagai kaitan w acana di luar dunia akadem is dengan gerakan-gerakan

(2)

St orey dalam bukunya yang berjudul, Teori Budaya dan Budaya Pop (An Introduct ory

Guide t o Cult ural Theory and Popular St udies, 1993) t elah mem etakan budaya pop dalam

lanskap Cultural St udies. Dalam bukunya yang lebih bersifat sebagai pengenalan ini, Storey

lebih m emfokuskan kajiannya pada im plikasi teoretis, im plikasi m et odologis, dan

percabangan yang terjadi pada saat-saat t er tent u dalam sejarah kajian budaya pop. Storey

cenderung lebih m emperlakukan teori budaya atau budaya popular sebagai sebuah proses

pembentukan w acana (discursive form at ion).

B. Roland Barthes dalam Konstelasi Cultural Studies

Dengan m embicarakan dan m engkaji budaya pop, St orey sekaligus m elakukan

pem etaan lanskap konsept ual Cult ural St udies secara umum meski diakuinya sendiri apa

yang dit ulisnya ini hanyalah sekedar pengant ar atau sem acam pendahuluan untuk

m em aham i kajian budaya yang lebih m enyeluruh dan m endalam . Sejum lah teori, ist ilah

khusus, beberapa cont oh analisis, t okoh-t okoh, dan hal-hal yang berkaitan dengan cult ural

st udies dipaparkan secara ringkas.

Teori-teori sem acam strukt uralism e, m arxism e, fem inisme, poststrukt uralism e,

fem inism e, posmodernism e, poskolonialism e, kult uralism e, ideologi budaya m assa, dan

sejum lah teori kontem porer lainnya disajikan dalam bukunya. Juga ada sejumlah t eoretikus

kont em porer yang dibicarakan, m ulai dari Ferdinand de Saussure, M at t hew Arnold, Richard

Hoggart , Raymond W illiam s, E.P.Thompson, St uart Hall, Claude Levi-St rauss, Karl M arx,

Antonio Gram sci, Theodor Adorno, Louis Alt husser, Laura M ulvey, Janice Radw ay, Ien Ang,

Janice W inship, Roland Bart hes, Jacques Derrida, Jacques Lacan, M ichel Foucault , Edw ard

Said, Jean-Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Fredric Jam eson, Pierre Bourdieu dan sejum lah

t okoh lainnya.

Objek-objek dan prakt ik-praktik budaya pop yang ditam pilkan dalam buku ini pun

beragam mulai dari seni lukis karya Andi Warhol, budaya liburan ke pant ai, film serial TV

sepert i Dallas, film -f ilm Hollyw ood seperti Dance w it h Wolves m aupun Rambo, m ajalah

(3)

novel-novel sepert i Heart of Darkness dan Apocalypse Now , dan sejum lah objek sert a

praktik budaya pop lainnya.

Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut , St orey m enempatkan Roland

Bart hes dalam subt opik “ St rukturalism e dan Pascastrukturalism e” . Sebuah predikat yang

t idak m udah untuk dikenakan pada t okoh-tokoh sem acam Bart hes, Foucault, Derrida

at aupun, Baudrillard, m engingat luasnya kajian yang m ereka bicarakan dalam sejum lah

t ulisan-t ulisan m ereka. Apa yang dilakukan St orey juga m irip dengan sejum lah t eoret isi

kajian budaya lainnya yang bukunya t elah diterjem ahkan dalam bahasa Indonesia, sebut

(4)

C. Roland Barthes di M ata Pembaca Indonesia

Di Indonesia, Roland Bart hes seringkali dikut ip pendapat nya t ent ang sem iotika

(sem iologi) terut am a t ent ang konsep pemaknaan konot at if at au yang lebih dikenal ist ilah

second order sem iot ic syst em . Juga pernyat aan Barthes tent ang kem at ian pengarang, atau

t he dead of t he aut hor, seringkali dikut ip dengan berbagai ket idakjelasan. Dalam hal ini,

kata “ aut hor” tidak lagi m em punyai otoritas dalam m em berikan interpretasi terhadap

karyanya. Pem bacalah yang kem udian m emberikan interpret asi sesuai dengan horison

harapannya.

nam anya dibicarakan dalam sejum lah kritik at au resensi dalam sebuah m edia cetak. Dalam

kont eks ini, Barthes m em bedakan pengert ian kata aut hor dengan w riter secara jelas.

Bart hes t idak hanya sering disalahpaham i konsep-konsepnya, t et api juga seringkali

dikategorikan sebagai seorang tokoh st rukt uralism e at au poststrukturalism e dan ahli

sem iotika. Buku-buku yang m em bicarakan Bart hes t erutam a dalam bahasa Indonesia,

seringkali terbatas dalam kategori-kategori t ersebut . Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa

Indonesia yang khusus berbicara t ent ang pem ikir Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg,

Prancis ini, tidak lebih dari hit ungan jari. Sebut saja m isalnya: Sem iologi Roland Barthes oleh

Kurniaw an (2001), Barthes, Seri Pengant ar Singkat edisi t erjem ahan t ulisan Jonathan Culler

(2003), dan Sem iot ika Negat iva karya St. Sunardi (2004).

Dalam edisi bahasa Indonesia, karya-karya Bart hes atau pembicaraan m engenai

Bart hes t idak lebih banyak dibandingkan pem ikir Prancis lain yang m erupakan sahabat

sekaligus rival int elektualit asnya, yakni M ichel Foucault . Buku Bart hes yang berjudul

M itologi (t erjem ahan dari M ythology yang dit erbitkan Kreasi W acana, 2005) m uncul

belakangan set elah sejumlah karya Foucault ter lebih dahulu dikenal pembaca Indonesia.

(5)

sering dikategorikan sebagai em pat pem ikir ut am a kontemporer asal Prancis yang tidak

hanya t erkenal di negerinya sendiri t et api telah m enjadi trend pem ikiran dunia. Pada akhir

1960-an, m ereka seringkali dicit rakan sebagai fashion strukturalis, bahkan m ereka

dikarikaturkan oleh M aurice Henry t engah berdiskusi di rerum putan dengan m engenakan

baju rum put.

Dari buku-buku di at as, hanya dua judul yang t erakhir yang m engupas karya-karya

Bart hes secara m enyeluruh. Buku Kurniaw an lebih mengupas t eori-t eori Bart hes dalam

kajian sem iot ika. Dalam buku Culler dan St. Sunardi, t am paklah bahw a Bart hes seorang

pem ikir yang kaya w arna, tokoh pent ing abad XX dari Prancis. Culler bahkan m enyebut

Bart hes sebagai m anusia yang t erbagi karena dia m em iliki sejum lah keahlian dalam berbagai

bidang, ia adalah sejaraw an sast ra, m it olog, ahli sem iot ika, strukturalis, seorang hedonis,

penulis, dan m anusia huruf.

D. Profesor M odis

Dari sekian kepakaran Bart hes, dia juga seorang t okoh cult ural st udies yang pada

aw al 1950-an, ketika kajian ini belum m apan dan seringkali dianggap rem eh atau dipandang

sebelah m ata, telah m em bahas praktik-praktik budaya m assa. Apa yang dilakukan Bart hes

dalam m embicarakan prakt ik budaya kontem porer sepert i yang terdapat dalam bukunya

M yt hologies pada 1957, Systèm e de la M ode atau The Fashion System pada 1967, dan La

Cham bre Claire at au Cam era Lucida pada1980, seringkali dianggap sebelah m at a oleh

kalangan intelekt ual lain. Hal ini juga dilakukan pula oleh Foucault.

Konon, dalam proses seleksi kandidat profesor pada t ahun 1975, beredar rumor sinis

t ent ang diri Bart hes di kalangan sejum lah profesor. M enurut St . Sunardi (2004:2-3), rum or

t ersebut m enyangkut kepant asan seorang Bart hes unt uk m enduduki kursi profesor penuh

w ibaw a di Collège de France, karena Bart hes dikenal sebagai seorang akadem isi yang t erlalu

fashionable atau m odis. Im age ini m em ang m elekat pada Bart hes karena tulisan-t ulisannya

hanya berupa esai bukan buku-buku yang t ebal dan tem a yang diangkatnya pun kebanyakan

(6)

M enghadapi rumor t ersebut , orang yang berada dalam posisi paling sulit yait u

Foucault. Karena posisinya di Collège de France t ersebut , Foucault harus m ew aw ancarai

Bart hes dan m emberikan penilaian pada dew an profesor. Barthes adalah sahabat lam a yang

t elah dikenal Foucault pada 1950-an. Dalam perjalanan w akt u, persahabat an ini “ retak” ,

berubah m enjadi perang dingin. Yang t ersisa adalah persaingan int elektual yang muncul

dalam berbagai polem ik. M asyarakat akadem ik pun m enget ahui persaingan it u. Pada saat

itu m ereka “ harus” bertem u, Bart hes dat ang sebagai seorang pelam ar kandidat profesor

baru. Foucault rupanya panik. Secara psikologis ia t idak m empunyai keberanian yang cukup

untuk bertem u dan m elakukan w aw ancara dengan “ pesaing int elekt ualnya” .

Unt uk jaga-jaga, supaya tidak terjadi suasana yang kaku, Foucault t erpaksa m engajak

seorang t em an, w alaupun setelah sepuluh m enit “ pengawal” Foucault ini keluar. Di luar

dugaan banyak orang, Foucault ternyat a m endukung lam aran Bart hes dan m em uluskan

jalan Barthes untuk mem baw akan Leçon di hadapan para profesor Collège de France,

t erm asuk Foucault .

E. M itos M asa Kini

Apa yang dilakukan Bart hes dalam analisisnya t erhadap sejum lah fenomena budaya

pop seperti dalam M yt hologies, The Fashion Syst em , ataupun Cam era Lucida, m em ang tidak

t erkait dengan apa yang dilakukan oleh Hoggart m aupun W illiam s di Inggris. Bahkan Bart hes

m enulis kajian terhadap budaya m assa lebih aw al, yakni pada t ahun 1954-1956 yang secara

reguler dia t ulis unt uk sejum lah m edia yang kem udian diterbit kan m enjadi buku dengan

judul M ythologies; dibandingkan t ulisan-t ulisan Hoggart m aupun W illiam s untuk The

Birmingham Center for Contem porary Cultural St udies. Tulisan Hoggart yang berjudul The

Uses of Literacy (t ent ang kegelisahan anak-anak muda terutam a kelom pok “ the juke-box

boys” ), yang dianggap sebagai t onggak school of thought kajian budaya di Inggris,

dit erbit kan pada 1957. Oleh karena it u, Bart hes dapat digolongkan sebagai salah satu t okoh

cult ural st udies dari kutub pem ikir Prancis selain dari Inggris yang seringkali dikutip sebagai

(7)

1) M ythologies

Buku Barthes yang berjudul M ythologies t erdiri at as dua subbab, yakni: (1)

“ M ythologies”, dan (2) “ M yt h Today” . Jangan berharap kalau dalam buku ini Bart hes

m em bicarakan dan m engulas t okoh-tokoh m itologi Yunani at au Rom aw i sepert i Zeus dan

dew a-dew a Olym pus lainnya, Hercules dan hero-hero lainnya, ataupun rent et an Perang

Troya sebagaimana dikisahkan dalam Iliad dan Odiseus yang sangat dikenal tidak hanya oleh

m asyarakat Eropa tetapi juga di belahan bum i lainnya t ermasuk di Indonesia. Bart hes sam a

sekali t idak m enyinggung perist iw a m aupun t okoh mistis dan legendaris tersebut.

Pada bagian pert am a buku M yt hologies, Bart hes m engungkapkan topik-topik

kont em porer sem acam dunia gulat , rom ant ism e dalam film , anggur dan susu, irisan steak,

w ajah Garbo, otak Einst ein, m anusia Jet, m asakan ornam ental, novel dan anak-anak,

m ainan (toys), m obil Cit roën, plast ik, fotografi, tarian st ript ease, dan topik-topik pop

lainnya. Sebagaim ana dinyat akan dalam pengant arnya pada cet akan pert am a (1957),

Bart hes m enyatakan bahw a tulisan-tulisannya dalam buku ini m erupakan sejum lah esai

t ent ang t opik-t opik m asa itu yang dia tulis setiap bulan untuk sejum lah m edia m assa.

Topik-topik yang m enarik perhatiannya ini, t idak lain m erupakan refleksi at as m it

os-m itos baru os-m asyarakat Prancis konteos-mporer. Lewat berbagai analisisnya tent ang peristiw

a-perist iw a yang dit em uinya dalam art ikel surat kabar, fot ografi dalam m ajalah m ingguan,

film , pertunjukan, at aupun pam eran, Bart hes m engungkapkan sejum lah m it os-m itos

m odern yang t ersembunyi di balik sem ua hal it u. M it os inilah yang oleh Barthes disebut

sebagai second order sem iot ic syst em , yang harus diungkap signifikansinya. M itos

m erupakan salah sat u t ype of speech. Jabarannya m engenai konsep m itos-m it os m asa kini

sebagai kajian sist em t anda dibicarakan pada subbab yang kedua yang berjudul “ M yt h

Today” .

2) Fashion

Dalam buku The Fashion System , Bart hes m embicarakan panjang lebar m engenai

(8)

dan struktur sign at au signifikansinya. M em ang kajian m ode at au fashion Barthes tidak

t erlepas dari bidang sem iotika yang selam a ini dikembangkannya. Pada salah sat u

kesim pulannya mengenai tata busana ini, Bart hes m enyat akan sebagai berikut .

“ ... in t he W est , fashion tends t o becom e a mass phenom enon, precisely insofar as it is consum ed by m eans of a mass-circulat ion press (w hence the im portance and, as it w ere, t he aut onomy of w rit t en fashion), the m aturity of the syst em is t hus adopted by m ass society according t o a com prom ise. Fashion m ust project the aristocratic m odel, t he source of it s prest ige: this is pure fashion, but at t he sam e tim e it m ust represent , in a euphoric manner, the w orld of its consum ers by t ransform ing int ra-w orldly funct ions into signs (w ork, sport , vacat ions, seasons, cerem onies): t his is nat uralized fashion, w hose signifieds are nam ed. Whence it s am biguous st ast us: it signifies t he w orld and signifies itself, it const ruct s it self here as a program of behavior, and the as a luxurious spectacle (Bart hes, 1983a:292-293).”

Dunia m ode m erupakan proyek model kaum arist okrat sebagai salah sat u bentuk

at au w ujud pret ise. Pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang juga harus

disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda, yang m embedakan antara pakaian untuk

kant oran, olah raga, liburan, berburu, upacaraupacara tert entu, bahkan unt uk musim

-m usi-m tert entu seperti pakaian -m usi-m dingin, -m usi-m se-m i, -m usi-m panas ataupun -musi-m

gugur. M anusia pengguna pakaian yang m engikuti t rend akan mengejar apa yang tengah

m enjadi sim bol st at us kelas m enengah at as. Yang tidak m engikuti arus dunia mode akan

dikatakan m anusia yang tidak fashionable alias ket inggalan m ode.

Tata busana tidak lagi m enjadi sekedar pakaian t et api juga telah m enjadi m ode,

m enjadi peragaan busana, m enjadi sebuah tontonan yang m emiliki prestisenya t ersendiri,

m enjadi sim bol status kehidupan. Hal ini t idak hanya terjadi di dunia Barat saja, tetapi juga

t engah m elanda Indonesia. Barthes t idak salah mem bidik salah satu aspek ini, yakni mode,

sebagai salah sat u kajiannya, m engingat Paris m er upakan kiblat m ode dunia.

Begitulah, salah satu t opik pem bicaraan Bart hes tentang aspek kebudayaan m assa

yakni tentang dunia mode. Dunia yang kini penuh dengan kem ew ahan para model yang

m em peragakannya di sejum lah cat w alk pusat -pusat peragaan busana di berbagai kot a

(9)

rancangan siapa pakaian yang dikenakannya. Padahal kalau dit elusuri, dunia m ode adalah

salah satu pelegit im asi ideologi gender yang selam a ini sering dikonter oleh para fem inis.

3) Camera

Selain bicara tentang mode, Barthes juga berbicara tentang fot o, khususnya t ent ang

foto-fot o dalam m edia m assa dan iklan. Hal ini diungkapkannya dalam dua art ikelnya, “ The

Phot ographic M essage” pada 1961 dan “ Ret horic of t he Im age” juga pada 1961. Lew at dua

art ikelnya ini, Bart hes m enguraikan m akna-m akna konot at if yang terdapat dalam sejum lah

foto dalam m edia m assa dan iklan. Fot o sebagai salah sat u sarana yang sanggup

m enghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi) dapat m eyakinkan

seseorang (pembaca berit a atau iklan) bahwa perist iw a t ersebut sudah dilihat oleh

seseorang, yakni fot ografer. Akan t et api, di balik peristiw a tersebut, t ernyata fot o juga

m engandung pesan simbolik (coded-iconic m essage) yang m enuntut pem bacanya untuk

m enghubungkannya dengan “ penget ahuan” yang telah dim iliki sebelum nya.

Di sejum lah m edia m assa Indonesia pada tahun 1998, ketika Presiden Soehart o

m enandatangani LoI dengan IM F, t am pak Camdesus t engah m emperhatikan Soehart o yang

t engah m embubuhkan t anda tangan. W akil IM F it u berdiri m engaw asi dengan posisi tangan

bersedekap. Sebagai analogon atau makna denotasi, fot o ini hanya m enyatakan t elah t erjadi

penandat angan nota perset ujuan ant ara RI yang diw akili Soehart o dengan IM F yang diw akili

Cam desus. Akan tetapi, posisi t angan Camdesus dan caranya m em andang Soehart o

m em bubuhkan t anda tangan secara konot at if m em aknakan dia telah m enaklukkan seorang

pem im pin yang t elah 32 tahun berkuasa.

Contoh-contoh analisis sem acam inilah yang dikem ukakan Bart hes dalam analisisnya

t ent ang sejum lah fot o. Salah satunya tentang seorang t entara berkulit hit am yang

m engenakan seragam m ilit er Prancis yang tengah m emberikan penghorm at an m iliter,

m at anya terpancang pada bendera nasional. Fot o ini m enjadi sampul dari m ajalah

Paris-M at ch. Dalam analisisnya, Bart hes m enyatakan bahw a foto itu ingin m enyat akan Prancis

(10)

penuh setia, m elayani bangsa di baw ah kibaran benderanya. Foto itu m erupakan kont er

at as para pencela kolonialism e (Culler, 2003:52).

Seorang fotografer dalam m emotret m eringkali m em perhatikan pose, objek yang

dipilihnya, logo-t eknik, dan juga sejum lah m anipulasi dem i t ercapainya apa yang hendak

“ dit ulisnya” . Hal ini seringkali dit em ukan dalam sejum lah m edia cet ak, terlebih lagi pada

iklan yang lebih m enekankan kekuatan fot o pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana

persuasif yang seringkali m em anfaatkan tema-t em a keintim an, seks, kekhaw at iran, dan

idola (St . Sunardi, 2004:157-158).

Hanya dalam buku Camera Lucida, Bart hes t idak m em fokuskan pada fot o-foto dalam

m edia m assa dan iklan tet api m em fokuskan kajiannya pada koleksi fot o-foto pribadinya.

Berbeda dengan pendekatannya pada dua artikelnya pada 1961 yang lebih m em usat kan

analisisnya pada sem iot ik at as foto sebagai produk budaya, dalam Cam era Lucida, Bart hes

m enyebutnya dengan pendekatan fenom enologi sinis. Dalam mem andang sebuah fot o,

dibutuhkan sebuah pengalam an, t api bukan sem barang pengalaman, melainkan

pengalam an seseorang yang m empunyai kem ampuan unt uk m embahasakan secara indah.

M em adang fot o m erupakan ziarah m enuju jati dirinya yang m elew ati t ahap eksplorasi,

anim asi, dan afeksi. Pengalam an-pengalam an inilah yang m enjadi ukuran Bart hes untuk

m enilai kualit as foto, karena t idak set iap fot o mem buat kita t erpaku pada sat u t itik (St .

Sunardi, 2004:166).

F. Penutup

Beberapa cont oh kajian Barthes tentang aspek-aspek budaya m assa atau pop

sebagaim ana dibicarakannya dalam beberapa buku tersebut , dari sekian buku Bart hes yang

lain, t elah m em berikan gambaran yang jelas bahw a pem ikir Prancis ini t idak saja sebagai

t okoh sem iot ika yang selam a ini dipredikatkan kepadanya, tetapi juga sebagai seorang

t okoh pengkaji cultural studies. Kepakaran Bart hes dalam bidang sem iotika seolah-olah

m enenggelam kan ketert ar ikan Bart hes dalam bidang lainnya. Sebagaim ana dinyatakan oleh

(11)

Seringkali Barthes dikat egorikan sebagai seorang strukturalis sekaligus seorang

poststruk-t uralis; m em ang sebuah kapoststruk-t egori yang poststruk-t idak m udah unpoststruk-tuk m emberi predikapoststruk-t kepadanya.

Pem ikir Prancis yang m eninggal pada 1980 akibat diseruduk truk sehabis keluar dari

sebuah kafe di Paris ini, tidak diragukan lagi m erupakan t okoh kajian budaya Prancis, selain

t okoh-t okoh asal Inggris sem acam Hoggart m aupun W illiam s. Bart hes adalah penulis

sejum lah fenomena budaya populer khususnya di Prancis selain sebagai tokoh sem iotika

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Bart hes, Roland. 1983. M ythologies (translat ed by Annett e Lavers). New York: Hill and W ang.

---.1983a. The Fashion System (translated by M at thew W ard and Richard How ard). New York: Hill and W ang.

---. 1981. Elem ents of Sem iology (translated by Annet e Lavers and Colin Sm ith). New York: Hill and W ang.

Budiant a, M elani. 2002. “ Teori Sastra Sesudah St rukt uralism e,” Bahan Pelat ihan Teori dan

Krit ik Sastra. Jakart a: Pusat Penelit ian Kem asyarakat an dan Budaya Universitas Indonesia.

Culler, Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengant ar Singkat (t erjem ahan Ruslani). Yogyakart a: Jendela.

Kurniaw an. 2001. Sem iologi Roland Barthes. M agelang: Indonesiatera. M udhofir, Ali. 2001. Kam us Filsuf Barat . Yogyakart a: Pustaka Pelajar.

St orey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop, M em etakan Lanskap Konseptual Cult ural

St udies. Yogyakart a: Qalam .

Referensi

Dokumen terkait

Form kartu persediaan adalah form yang digunakan untuk menampilkan laporan kartu persediaan yang berasal dari master barang berupa kuantitas barang yang masuk dan

Banyumas 13030233010043 WAWAN HERMAWANTO SMK MUHAMMADIYAH 3 PURWOKERTO Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi (KKPI) 4 KKPI LULUS..

[r]

Jalan Batu Sisir - Bukit Arai Gedung F Tokong

Jumlah hasil yang terjadi dalam satu selang waktu atau daerah tertentu adalah independen terhadap hasil yang terjadi pada selang atau daerah lain. Proses Poisson dikatakan

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam peneltian ini adalah 1)Mengumpulkan data sekunder yang tersedia di PT. Kereta Api Medan dari Januari 2007 sampai Desember

Shalawat dan salam keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke alam yang berilmu pengetahuan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini yang berjudul

from this questionnaire the researcher wanted to observe students’ training on the use of dictionary (3 items), attitude towards dictionary used (5 items), dictionary