• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konsep Nyeri Pada Artritis Reumatoid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Konsep Nyeri Pada Artritis Reumatoid"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

6

A. Konsep Nyeri Pada Artritis Reumatoid 1. Nyeri pada artritis reumatoid

Nyeri pada penderita artritis reumatoid adalah gejala yang sering terjadi pada lansia. Nyeri pada penyakit artritis reumatoid terutama disebabkan oleh adanya inflamsi yang mengakibatkan dilepasnya mediator-mediator kimiawi, kinin dan mediator kimiawi lainya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh suatu rangsangan stimulus (Smeltzer & Bare, 2002)

Pada artritis reumatoid nyeri dan inflamasi disebabkan oleh terjadinya proses imunologik pada sinovia yang mengakibatkan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus yang akhirnya menyebabkan kerusakan sendi. Pada artritis gout adanya deposit kristal asam urat pada sinovial/rongga sendi akan mengakibatkan terjadinya inflamasi. (Nugroho, 2009).

Nyeri pada artritis reumatoid bersifat persisten yaitu rasa nyeri yang hilang timbul. Rasa nyeri akan menambahkan keluhan mudah lelah karena memerlukan energi fisik dan emosional yang ekstra untuk mengatasi nyeri tersebut. Nyeri pada artritis reumatoid bersifat persisten yaitu rasa nyeri yang hilang timbul. Rasa nyeri akan

(2)

menambahkan keluhan mudah lelah karena memerlukan energi fisik dan emosional yang ekstra untuk mengatasi nyeri tersebut. Nyeri juga dapat menyebabkan pasien menggunakan energi yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-tugas dengan cara yang begitu banyak menimbulkan nyeri. Serangan nyeri juga dapat menganggu tidur pasien sehingga mempengaruhi tingkat keadaan mudah lelah (Brunner & Suddart, 2002)

Nyeri artritis reumatoid ini akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur membaik pada siang hari dan lebih berat pada malam hari. Nyeri ini akan bertambah berat seiring dengan beratnya penyakit dan ambang nyeri dari penderita. Makin bertambah berat penyakitnya maka akan semakin bertambah pula rasa nyerinya. Bila perjalanan penyakitnya dihentikan pada reumatoid artritis maka rasa nyeri akan berkurang. Nyeri pada pasien artritis reumatoid tergolong nyeri chronic non malignant yaitu nyeri yang tidak begitu responsif terhadap metode-metode pembebasan nyeri (Prasetyo & Jannah, 2006).

2. Penyebab nyeri

Penyebab rasa nyeri menurut (Asmadi, 2008) antara lain:

a. Fisik: Trauma (trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah.

Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun luka. Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf

(3)

reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri.

Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan, atau metastase. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan.

b. Psikis: Trauma Psikologis

Nyeri yang disebabkan faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. 3. Faktor yang mempengaruhi nyeri

Faktor yang mempengaruhi nyeri (Potter & Perry, 2006) adalah: a. Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri. Kemampuan klien lansia untuk menginterpretasikan nyeri dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan berbagai penyakit disertai gejala samar-samar yang mungkin mengenai bagian tubuh yang sama.

(4)

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama.

c. Kebudayaan

Kebudayaan, keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri.

d. Ansietas

Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak mendapat perhatian maka rasa cemas dapat menimbulkan suatu masalah penatalaksanaan nyeri yang serius. Nyeri yang tidak cepat hilang akan menyebabkan psikosis dan gangguan kepribadian.

e. Pengalaman sebelumnya

Pengalaman sebelumnya, pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Keletihan dapat

(5)

meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari yang melelahkan.

f. Kelelahan

Keletihan dapat meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari yang melelahkan.

4. Pengkajian nyeri

Pengkajian nyeri menurut (Hidayat, 2008) antara lain meliputi: P (Pemacu), faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri, Q (Quality), kualitas nyeri dikatakan seperti apa yang dirasakan pasien misalnya, seperti diiris-iris pisau, dipukul-pukul, disayat,

R (Region), daerah perjalanan nyeri,

S (Severity), keparahan atau intensitas nyeri,

T (Time), lama/ waktu serangan atau frekuensi nyeri

Intensitas nyeri (skala nyeri) adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasaka individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama

(6)

dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2006).

Adapun skala intensitas nyeri menurut Potter&Perry (2005) sebagai berikut:

Gambar 2.1 Skala intensitas nyeri deskritif

Gambar 2.2 Skala nyeri numeric

(7)

Gambar 2.4 Skala nyeri analog visual

Gambar 2.4 Skala nyeri menurut Bourbanis

Keterangan: 0 : Tidak nyeri

1-3 (Nyeri ringan) : Hilang tanpa pengobatan, tidak mengganggu aktivitas sehari- hari.

4-6 (Nyeri sedang) : Nyeri yang menyebar ke perut bagian bawah, mengganggu aktivitas sehari- hari, membutuhkan obat untuk mengurangi nyerinya.

7-9 (Nyeri berat) : Nyeri disertai pusing, sakit kepala berat, muntah, diare, sangat mengganggu aktifitas sehari- hari.

10 (Nyeri tidak tertahankan) : Menangis, meringis, gelisah, menghindari percakapan dan kontak sosial, sesak nafas, immobilisasi, menggigit bibir, penurunan rentan kesadaran.

(8)

B. Lansia

1. Definisis lanjut usia

Usia lanjut dikatakn sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah menciptakan usia lebih dari 60 tahun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, jubaedi, & Batubara, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, 2008).

Lanjur usia adalah periode penutup dalam hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur 60 tahun sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya perubahan bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain (Nugroho, 2000).

Berdasarkan definis secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kempampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi & Makhfudli, 2009).

(9)

2. Batas – batas Lanjut Usia.

Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda – beda, umunya berkisar antara 60 – 65 tahun. Menurut beberapa pendapa para ahli dalam (Kushariyadi, 2010) tentang batasan usia adalah sebagai berikut:

a. Menurut WHO dalam bukunya (Kushariyadi, 2010), ada empat tahapan yaitu:

1) Usia pertengahan (middle age) usia 45 – 59 tahun 2) Lanjut usia (elderly) usia 60 – 74 tahun

3) Lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun 4) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun

b. Menurut Sumiati dalam bukunya (Kushariyadi, 2010), periodisasi biologis perkembangan manusia dibagi menjadi:

1) Masa bayi (usia 0 – 1 tahun) 2) Masa prasekolah (usia 1 – 6 tahun) 3) Masa sekolah (usia 6 – 10 tahun) 4) Masa pubertas (usia 10 – 20 tahun)

5) Masa setengah umur, prasenium (usia 40 – 65 tahun) 6) Masa lanjut usia, senium (usia > 65 tahun)

c. Menurut Jos Masdani dalam bukunya (Kushariyadi, 2010), psikolog dari Universitas Indonesia, kedewasaan dibagi empat bagian:

(10)

2) Fase verilitas (usia 40 – 50 tahun) 3) Fase prasenium (usia 55 – 65 tahun)

4) Fase senium (usia 65 tahun hingga tutup usia)

d. Menurut Koesoemanto Setyonegroho dalam bukunya (Kushariyadi, 2010), batasan usia dewasa sampai lanjut usia dikelompokkan menjadi:

1) Usia dewasa muda (ederly adulthood) usia 18/20 – 25 tahun 2) Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas usia 25 –

60/65 tahun

3) Lanjut usia (geriatric age) usia >65/75 tahun, terbagi atas: a) Young old (usia 70 – 75 tahun)

b) Old (usia 75 – 80 tahun) c) Very old (usia >80 tahun) 3. Klasifikasi lansia

Klasifikasi berikut ini adalah klasifikasi pada lansia berdasarkan Depkes RI (2003) dalam (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, 2008) yang terdiri dari: pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45 – 59 tahun, lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan, lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa,

(11)

lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain

4. Karakteristik lansia

Lansia memiliki katrakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahu (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptasi hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatanya, 2008).

5. Tipe lansia

Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya berdasarkan (Nugroho, 2000) dalam (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut:

a. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahab zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

(12)

b. Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

c. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.

d. Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.

e. Tipe bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, menangiskan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen (kebergantungan), tipe defensif (bertahap), tipe militan dan serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus asa ) benci pada diri sendiri). Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannya yang dinilai berdasrkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (indeks kemandirian Katz), para lansia dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu lansia mandiri sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung keluarganya, lansia mandiri dengan

(13)

bantuan secara tidak langsung, lansia dengan bantuan badan sosial, lansia dibanti wreda, lansia yang dirawat di rumah sakit, dan lansia dengan gangguan mental.

6. Perubahan sistem tubuh lansia

Perubahan Sistem Tubuh Lansia (Nugroho, 2000) dalam (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, 2008) sebagai berikut:

a. Perubahan fisik 1) Sel

Pada lansia, jumlah selnya akan lebih sedikit dan ukurannya akan lebih besar. Cairan tubuh dan cairan intraseluler akan berkurang, proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati juga ikut berkurang. Jumlah sel otak akan menurun, mekanisme perbaikan sel akan terganggu, dan otak menjadi atrofil.

2) Sistem persarafan

Rata-rata berkurangnya saraf neocartical sebesar 1 per detik (Pakkenberg dkk, 2003), hubungan persarafan cepat menurun, lambat dalam merespons baik dari gerakan maupun jarak waktu, khsusnya dengan stes, mengecilnya saraf pancaindra, serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan.

3) Sistem pendengaran

Gangguan pada pendengaran (presbiakusis), membran timpani mengalami atrofi, terjadi penggumpalan, dan pengerasan

(14)

serumen karena peningkatan keratin, pendengaran menurun pada lansia usia yang mengalami ketergantungan jiwa atau stres.

4) Sistem penglihatan

Timbul sklerosis pada sfingter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih suram (keruh) dapat menyebabkan katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar dan daya adaptasi terhadap kegelapan menjadi lebih lambat dan sulit untuk melihat dalam keadaan gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunya lapang pandang, dan menurunya daya untuk membedakan antara warna biru dengan hijau pada skala pemeriksaan.

5) Sistem kardiovaskuler

Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, sering terjadi postural hipotensi, tekanan darah meningkat diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer.

(15)

6) Sistem pengaturan suhu tubuh

Suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ± 35˚C, hal ini diakibatkan oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan refleks menggigil, dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.

7) Sistem pernapasan

Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimal menurun, dan kedalaman bernapas menurun. Ukuran alveoli melebar dari normal dan jumlahnya berkurang, oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, kemampuan untuk batuk berkurang, dan penurunan kekuatan otot penapasan.

8) Sistem gastrointestinal

Kehilangan gigi, indrah pengecapan mengalami penurunan, esofagus melebar, sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asam lambung dan waktu pengosongan lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun, hati (liver) semakin mngecil dan menurunya tempat penyimpanan, serta berkurangnya suplai aliran darah.

(16)

9) Sistem genitourinaria

Ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun hingga 50%, fungsi tubulus berkurang (berakibat pada penurunan kemampuan ginjal untuk mengonsentrasikan urine, berat jenis urine menurun, proteinuria biazanya +1), blood urea nitrgen (BUN) meningkat hingga 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. Otot-otot kandung kemih (vesica urinaria) melemah, kapasitasnya menurun hingga 200 ml dan menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan sehingga meningkatkan retensi urine. Pria dengan usia 65 tahun ke atas sebagian besar mengalami pembesaran prostat hingga ±75% dari normalnya.

10) Sistem endokrin

Menurunya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid, basal metabolic rate (BMR), daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta sekresi hormon kelamin seperti progesteron, esterogen, dan testosteron.

11) Sistem integumen

Kulit menjdi keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik, menurunnya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna kelebu, rambut dalam hidung dan

(17)

telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk, kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya, kuku menjadi pudar dan kurang bercahaya.

12) Sistem muskuloskeletal

Tulang kehilangan kepadatannya (density) dan semakin rapuh, kifosis, persensian membran dan menjadi kaku, tendon mengkerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot-otot kram dan menjadi tremor.

b. Perubahan mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan, tingkat kecerdasan (intellegence quotienta – I.Q), dan kenangan (memory). Kenangan dibagi menjadi dua, yaitu kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu) mencakup beberapa perubahan dan kenangan jangka pendek atau sekitar (0 – 10 menit) biasanya dapat berupa kenangan buruk.

(18)

c. Perubahan psikososial

Perubahan psikososial terjadi terutama setelah seseorang mengalami pensiun. Berikut ini adalah hal-hal yang akan tejadi pada masa pensiun.

1) Kehilangan sumber finansial atau pemasukan (income) berkurang

2) Kehilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya.

3) Kehilangan teman atau relasi 4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan

5) Merasakan atau kesadaran akan kematian (sense of awareness of mortality)

C. Teknik Relaksai Nafas Dalam 1. Pengertian

Teknik relaksasi napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenisasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).

(19)

Menurut penelitian (Dewi, Setyoadi, & Widastra, 2009) tentang “Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Persepsi Nyeri Pada Lansia Dengan Artritis Reumatoid” berpendapat bahwa ada pengaruh teknik relaksasi terhadap respon adaptasi nyeri. Pendapat tersebut dapat membuktikan bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan nyeri pada lansia dengan artritis reumatoid. Ada tiga hal yang utama yang diperlukan dalam relaksasi yaitu posisi yang tepat, pikiran beristirahat, lingkungan yang tenang. Posisi pasien diatur senyaman mungkin dengan semua bagian tubuh disokong (misal bantal menyokong leher), persendian fleksi, dan otot-otot tidak tertarik (misal tangan dan kaki tidak disilangkan). Untuk menenangkan pikiran pasien dianjurkan pelan-pelan memandang sekeliling ruangan. Untuk melestarikan muka, pasien dianjurkan sedikit tersenyum atau membiarkan geraham bawah kendor (Priharjo, 2002)

2. Tujuan teknik relaksasi nafas dalam

Adapun tujuan teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.

3. Prosedur pelaksanaan

Menurut (Priharjo, 2002) teknik relaksasi napas dalam yaitu bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma selama

(20)

inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi. Adapun langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam Menurut (Priharjo, 2002) adala sebagai berikut:

a. Ciptakan lingkungan yang tenang b. Usahakan tetap rileks dan tenang

c. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui hitungan 1,2,3

d. Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstremitas atas dan bawah rileks

e. Anjurkan bernapas dengan irama normal 3 kali

f. Menarik napas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara perlahan-lahan

g. Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks

h. Usahakan agar tetap konsentrasi/mata sambil terpejam i. Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri

j. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurangi

k. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali. l. Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernapas secara dangkal

(21)

4. Efek relaksasi

Menurut (Potter & Perry, 2006) efek relaksasi antara lain:

Penurunan nadi, tekanan darah, dan pernapasan, penurunan konsumsi oksigen, penurunan ketegangan otot, peningkatan kesadaran global, kurang perhatian terhadapa stimulus lingkungan, tidak ada perubahan posisi yang volunteter, perasaan damai dan sejahtera, periode kewaspadaan yang santai, terjaga, dan dalam.

5. Manfaat teknik relaksasi nafas dalam

Menurut (Smeltzer & Bare, 2002) teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu: a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemik

b. Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin

c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat

Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu.

(22)

D. Pengkajian

1. Pengkajian menurut (Lukman & Ningsih, 2009) meliputi: a. Aktivitas/istirahat

Gejala: nyeri sendi karena pergeseran, nyeri tekan, yang memburuk dengan stres pada sendi; kekakuan sendi pada pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan simetris. Keterbatasan fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, aktivitas, istirahat, dan pekerjaan. Gejala lain adalah keletihan dan kelelahan yang hebat.

Tanda: malaise, keterbatasan rentang gerak; atrofil otot, kulit; kontraktur/kelainan pada sendi dan otot.

b. Kardiovaskuler

Gejala: fenomena Raynaud jari tangan/kaki, misal pucat intermitten, sianotik, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal.

c. Integritas Ego

Gejala: faktor-faktor stres akut/kronis, misal finansial, pekerjaan, keidakmampuan, faktor-faktor hubungan sosial. Keputusasaan dan ketidakberdayaan. Ancaman pada konsep diri, citra tubh, identitas diri misal ketergantungan pada orang lain, dan perubahan bentuk anggota tubuh.

(23)

d. Makanan/cairan

Gejala: ketidakmampuan untuk menghasilkan/mengonsumsi makan/cairan adekuat; mual, anoreksia, dan kesulitan untuk mengunyah.

Tanda: penurunan berat badan, dan membran mukosa kering. e. Hygiene

Gejala: berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara mandiri. Ketergantungan pada oarang lain. f. Neurosensori

Gejala: kebas/kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.

Tanda: pembengkakan sendi simetris. g. Nyeri/kenyamanan

Gejala: fase akut dari nyeri (disertai/tidak disertai pembengkakan jaringan lunak pada sendi). Rasa nyeri kronis dan kekakuan (terutama pada pagi hari).

h. Keamanan

Gejala: kulit mengkilat, tegang; nodus subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki, kesulitan dalam menangani tugas/pemelihataan rumah tangga. Demam ringan menetap, kekeringan pada mata, dan membran mukosa.

(24)

i. Intergitas sosial

Gejala: kerusakan integritas dengan keluarga/orang lain, perubahan peran, isolasi.

2. Pengkajian keperawatan lanjut usia

Pengkajian keperawatan lanjut usia menurut (Kushariyadi, 2010) dalam bukunya meliputi:

a. Pengkajian Multidimensional

Pengkajian multidimensional meliputi kesehatan mental dan fisik, fungsi tubuh dan situasi sosial. Pada pengkajian fisiologis kita perlu mengkaji adanya penyakit serebral primer:

1) Faktor nonstruktural dibagi menjadi insufisiensi vaskular (serangan iskemik sementara, cedera serebro vaskular trombosis) dan infeksi sistem saraf pusat (meningitis akut dan kronis, neurosifilis, abses otak)

2) Faktor struktural: adanya trauma (hematoma struktural, gegar otak, kontusio, hemoragi intrakranial), tumor dan hidrosefalus tekanan normal.

Selain penyakit serebral primer, kita juga perlu mengkaji adanya penyakit ekstrakranial yaitu seperti abnormalitas kardiovaskular, abnormal pulmoner, proses infeksi sistemik akut dan kronis, gangguan metabolik, gangguan endokrin, defisiensi nutrisi, stress fisiologi (nyeri) dan perubahan regulasi suhu. Pada pengkajian psikologis kita perlu mengkaji adanya stress emosional berat (kondisi pasca operasi,

(25)

perawatan di rumah sakit), depresi, ansietas, kelelahan, berduka, defisit sensori persepsi, mania, paranoid dan gangguan situasional. Sedangkan pada pengkajian lingkungan perlu mengkaji adanya deprivasi sensori atau lingkungan yang membosankan, sensori yang berlebihan, imobilisasi, dan deprivasi tidur.

b. Pengkajian Gangguan Neurologis

Dalam pengkajian ini kita perlu mengkaji tentang riwayat kesehatan keluarga tentang penyakit neurologis, pengkajian fisik (tingkat kesadaran, status mental, bicara dan bahasa, saraf kranial, cara jalan (keseimbangan, koordinasi, tremor), reflek-reflek dan sistem sensori.

c. Penkajian Status Fungsional, Kognitif / Afektif dan Sosial 1) Pengkajian status fungsional

Merupakan pengukuran kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri. Penentuan kemandirian fungsional dilakukan untuk mengidentifikasi kemampuan dan keterbatasan klien serta menciptakan pemilihan intervensi yang tepat.

2) Pengkajian status kognitif/fektif (status mental)

Pemeriksaan status mental memberikan sampel perilaku dan kemampuan mental dalam fungsi intelektual. Pemeriksaan status mental lengkap mengarahkan pengkajian yang dilakukan pada tingkat kesadaran, perhatian, keterampilan berbahasa,

(26)

ingatan interpretasi peribahasa, kemampuan mengidentifikasi kemiripan, keterampilan menghitung dan menulis, serta kemampuan konstruksional.

3) Pengkajian Fungsi Sosial

Hubungan lansia dengan keluarga sebagai peran sentral pada seluruh tingkat kesehatan dan kesejahteraan. Pengkajian sistem sosial dapat menghasilkan informasi tentang jaringan pendukung. Keluarga berperan besar terhadap anggota lainnya, sehingga tingkat keterlibatan dan dukungan keluarga tidak dapat diabaikan pada saat pengumpulan data. Sebagian besar perawata jangka panjang terhadap lansia berasal dari keluarga karena membutuhkan dukungan fisik dan emosional.

E. Diagnosa

Diagnosa yang muncul menurut (Kushariyadi, 2010)

1. Nyeri (akut) brhubungan dengan agen pencedera: distensi jaringan oleh akumulasi cairan atau proses inflamasi destruksi sendi.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan deformitas skeletal, nyeri ketidak nyamanan, intoleransi terhadap aktivitas, penurunan kekuatan otot.

3. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perseptual kognitif, psikososial, perubahan kemampuan untuk melakukan tugas umum, peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbanagan mobilitas.

(27)

4. Kurang perawatan diri (uraikan) berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal, penurunan kekuatan, daya tahan, dan nyeri pada waktu bergerak, depresi, pembatasan aktivitas.

5. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajaman/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.

F. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri (akut) brhubungan dengan agen pencedera: distensi jaringan oleh akumulasi cairan atau proses inflamasi destruksi sendi.

Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri teratasi dengan kriteria hasil: klien mengatakan nyeri hilang /terkontrol, terlihat rileks, dapat tidur atau beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan (Kushariyadi, 2010).

Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan secara mandiri yaitu:

a. kaji keluha nyeri, lokasi, intensitas (skala 0 – 10), dan waktu. Catat faktor yang mempercepat dan tanda rasa sakit nonverbal.

Rasional: membatu menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan keefektifan progam.

b. Berikan matras/kasur lembut dan bantal kecil tinggikan line tempat tidur sesuai kebutuhan.

(28)

Rasioanal: matras lembut dan bantal kecil mencegah pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, mengistirahatakan sendi yang sakit. Peninggian line tempat tidur menurunkan tekanan sendi yang terinflamasi/nyeri.

c. Berikan posisi nyaman waktu tidur/duduk dikursi. Tingkatkan istirahat di tempat tidur sesuai indikasi

Rasional: penyakit berat/eksaserbasi, tirah baring diperlukan untuk membatasi nyeri atau cedera sendi.

d. Pantau penggunaan bantal, karung pasir, bebat, dan brace

Rasional: mengistirahatkan sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral. Catatan penggunaan brace menurunkan nyeri dan mengurangi kerusakan sendi.

e. Anjurkan sering mengubah posisi, bantu bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan di bawah, serta hindari gerakan menyentak.

Rasional: mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi, menstabilkan sendi secara mengurangi gerakan dan rasa sakit pada sendi.

f. Anjurkan mandi air hangat/pancuran pada waku bangun, sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi yang sakit beberapa kali sehari.

(29)

Rasional: panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan kekuatan di pagi hari, sensitivitas pada panas dapat hilang dan luka dermal dapat sembuh.

g. Berikan masase yang lembut.

Rasional: meningkatkan relaksasi atau mengurangi ketegangan otot.

h. Gunakan teknik manajemen stres, misal relaksasi nafas dalam atau pengendalian napas.

Rasional: meningkatkan relaksasi, memberikan rasa kontrol, dan meningkatkan kemampuan koping.

i. Libatkan dalam aktivitas hiburan yang sesuai situasi individu. Rasional: memfokuskan kembali perhatian, memberikan stimulasi, meningkatkan percaya diri dan perasaan sehat.

Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan secara kolaborasi yaitu:

a. Berkan obat sesuai petunjuk: asetilsalisiat (aspirin)

Rasional: ASA bekerja antiinflamasi dan efek analgesik ringan megurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas, riset mengindikasikan bahwa ASA memiliki “indikasi toksisitas” yang paling rendah dari NSAID lain.

(30)

- NSAID lainya, misal, ibuprofen (motrin), naproksen (napro-syn), sulindak (clinoril), piroksikan (feldene), fenoprofen (nalfon).

Rasioanal: digunakan bila tidak ada respon pada aspirin atau meningkatkan efek aspirin. Catatan: obat diberikan dengan urutan yang meningkat menurut keparahan relatif dari efek samping.

- D-penisilamin (cuprimine).

Rasioanal: mengontrol efek sistemik rematoid artritis jika terapi lainnya tidak berhasil, efek samping (misal, trombositopenia, leukopenia, anemia aplastik). Catatan: obat diberikan di antara waktu makan karena absorpsi obat menjadi tidak seimbang karena makanan, antasida, dan besi.

- Antasida

Rasional: diberikan dengan agen NSAID untuk meminimalkan iritasi atau ketidaknyamanan lambung.

- Produk kodin

Rasional: narkotik umumnya kontraindikasi karena efek kronis dari kondisi, penggunaan jangka pendek diperlukan selama periode eksaserbasi akut untuk mengontrol nyeri berat.

(31)

b. Bantu dengan terapi fisik, misal, sarung tangan parafin.

Rasioanal: memberi dukungan panas untuk sendi yang sakit. Catatan: panas merupakan kontraindikasi adanya sendi yang panas dan bengkak.

c. Siapkan intervensi operasi (sinovektomi)

Rasional: pengangkatan sinovium yang meradang mengurangi nyeri dan membatasi progresif perubahan degeneratif.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan deformitas skeletal, nyeri ketidak nyamanan, intoleransi terhadap aktivitas, penurunan kekuatan otot.

Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien tidak mengalami kerusakan mobilitas fisik dengan kriteria hasil: mempertahankan fungsi posisi dengan pembatasan kontraktur, mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/atau kompensasi bagian tubuh, mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas.

Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan secara mandiri yaitu:

a. Evaluasi pemantauan tingkat inflamasi/rasa sakit pada sendi

Rasional: tingkat aktivitas atau latihan tergantung dari perkembangan proses inflamsi.

(32)

b. Pertahankan tirah baring/duduk. Jadwal aktivitas untuk memberikan periode istirahat terus-menerus dan tidur malam hari. Rasional: istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh fase penyakit untuk mencegah kelelahan, mempertahankan kekuatan.

c. Bantu rentang gerak aktif/pasif, latihan relaktif dan isometrik. Rasional: meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot, dan stamina. Catatan: latihan inadekuat menimbulkan kekuatan sendi, aktivitas berlebihan merusak sendi.

d. Ubah posisi dengan sering. Demonstrasikan atau bantu teknik pemindahan dan penggunaan bantuan mobilitas.

Rasional: menghilangkan tekanan jaringan dan meningkatkan sirkulasi. Mempermudah perawatan diri dan kemandirian. Teknik pemindahan yang tepat mencegah robekan abrasi kulit.

e. Posisikan dengan bantal, kantung pasir, bebat, dan brace.

Rasional: meningkatkan stabilitas jaringan (mengurangi resiko cedera), mempertahankan posisi sendi yang diperlukan dan kesejajaran tubuh, mengurangi kontraktur.

f. Gunakan bantal kecil/tipis di bawah leher. Rasional: mencegah fleksi leher.

g. Dorong klien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi, berdiri, serta berjalan.

(33)

Rasional: memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.

h. Berikan lingkungan aman, misal, menaikan kursi, menggunakan pegangan tangan pada bak/pancuran dan toilet, penggunaan alat bantu mobilitas atau kursi roda.

Rasional: menghindari cedera akibat kecelakaan/jatuh.

Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan secara kolaborasi yaitu:

a. Konsul dengan ahli terapi fisik atau okupasi dan spesialis vokasinal.

Rasional: memformulasi progam latihan berdasarkan kebutuhan individual dan mengidentifikasikan bantuan mobilitas.

b. Berikan matras busa atau pengubah tekanan

Rasional: memformulasi progam latihan berdasarkan kebutuhan individual dan mengidenifikasi bantuan mobilitas.

c. Berikan obat sesuai indikasi:

- Agen antireumatik, sesuai, misal, emas, natrium tiomaleat (myochrysin) atau auranofin (ridaura).

Rasional: krisoterapi (garam emas) menghasilkan remisi terus-menerus, tetapi mengakibatkan inflamasi rebound bila terjadi penghentian/efek samping, misal, pusing, penglihatan kabur, syok anafilaktik.

(34)

- Steroid

Menekan inflamasi sistemik.

3. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perceptual kognotif, psikososial, perubahan kemampuan untuk melakukan tugas umum, peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbanagan mobilitas.

Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien tidak mengalami gangguan gambaran diri dengan kriteria hasil: klien mampu mengungkapkan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit, perubahan gaya hidup, dan kemungkinan keterbatasan, menerima perubahan tubuh dan mengintegrasikan ke dalam konsep diri, mengembangkan keterampilan perawatan diri agar dapat berfungsi dalam masyarakat.

Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan secara mandiri yaitu:

a. Dorong pengungkapan mengenai proses penyakit dan harapan masa depan

Rasional: berikan kesempatan mengidentifikasikan rasa takut/kesalahan konsep dan menghadapi secara langsung.

b. Diskusikan arti kehilangan/perubahan pada klien. Memastikan bagaimana pandangan pribadi klien dalam memfungsikan gaya hidup sehari-hari.

(35)

Rasional: mengidentifikasi bagaimana penyakit memengaruhi persepsi diri dan interaksi dengan orang lain, menentukan kebutuhan akan intervensi atau konseling lanjut.

c. Diskusikan persepsi klien mengenai bagaimana keluarga menerima keterbatasan.

Rasional: isyarat verbal atau non verbal keluarga berpengaruh pada bagaimana klien memandang dirinya.

d. Bantu klien mengekspresikan perasaan kehilangan.

Rasional: untuk mendapatkan dukungan proses berkabung yang adaptif.

e. Akui dan terima perasaan berduka, bermusuhan, dan ketergantungan.

Rasional: nyeri konstan akan melelahkan, dan menimbulkan perasaan marah serta permusuhan.

f. Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal/terlalu memperhatikan tubuh.

Rasional: menunjukkan emosional/metode koping maladaptif sehingga membutuhkan intervensi lebih lanjut/dukungan psikologi. g. Bantu klien mengidentifikasi perilaku positif yang membantu

koping.

Rasional: membantu mempertahankan kontrol diri dan meningkatkan harga diri.

(36)

h. Ikuti klien dalam merencanakan perawatan dan membuat jadwal aktivitas.

Rasional: meningkatkan perasaan kompetisi atau harga diri, mendorong kemandirian, dan partisipasi terapi.

i. Bantu dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan

Rasional: mempertahankan penampilan yang meningkatkan citra diri.

j. Berikan bantuan positif

Rasional: memungkinkan klien merasa senang terhadap dirinya; menguatkan perilaku positif; serta meningkatkan percaya diri. k. Berkan penguatan positif terhadap pemecahan masalah yang

konstruktif.

Rasional: memberikan penekana pada perilaku adaptif.

Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan secara kolaborasi yaitu:

a. Rujuk pada konseling psikiatri (misal, perawat spisialis psikiatri, psikolog, pekerjaan sosial).

Rasional: klien/keluarga membutuhkan dukungan selama berhadapan dengan proses jangka panjang.

b. Berikan obat sesuai indikasi (misal, antiansietas).

Rasional: dibutuhkan saat munculnya depresi hebat sampai klien dapat menggunakankemampuan koping efektif.

(37)

4. Kurang perawatan diri (uraikan) berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal, penurunankekuatan, daya tahan, dan nyeri pada waktu bergerak, depresi, pembatasan aktivitas.

Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat melakukan perawatan diri dengan kriteria hasil: melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan kemampuan individual, mendemostrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri, mengidentifikasi sumber pribadi atau komunitas yang dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri.

Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan secara mandiri yaitu:

a. Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4) sebelum timbul penyakit. Rasional: melanjutkan aktivitas dengan beradaptasi pada keterbatasan saat ini.

b. Kaji respon emosional klien terhadap kemampuan merawat diri yang menurun dan beri dukungan emosional.

Rasional: perubahan kemampuan merawat diri dapat membangkitkan perasaan cemas dan frustasi, di mana dapat mengganggu kemampuan lebih lanjut.

c. Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeridan progam latihan. Rasional: mendukung kemandirian fisik atau emosional.

(38)

d. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi modifikasi lingkungan.

Rasional: meningkatkan kemandirian yang akan meningkatkan harga diri.

e. Beri dorongan agar berpartisipasi dalam merawat diri. Aktivitas yang terjadwal memungkinkan waktu untuk merawat diri.

Rasional: partisipasi klien dalam merawat diri meningkatkan harga diri dan menurunkan perasaan ketergantungan.

f. Berikan klien mengontrol lingkungan sebanyak mungkin, bantu klien hanya jika diminta.

Rasional: memberi kesempatan mengontrol dapat meningkatkan harga diri dan perawatan diri klien.

g. Jelaskan berapa lama kemampuan merawat diri yang menurun diharapkan untuk bertahan, jika diketahui.

Rasional: dapat mengurangi ketakutan akan ketergantungan jangka panjang atau permanen.

Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan secara mandiri yaitu:

a. Konsultasi dengan ahli terapi okupasi

(39)

5. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajaman/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.

Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan klien bertambah dengan kriteria hasil: menunjukkan pemahaman tentang kondisi/prognosis dan perawatan, mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi gaya hidup yang konsisten dengan mobilisasi atau pembatasan aktivitas.

Intervensi atau rencana tindakan yang akan dilakukan secara mandiri yaitu:

a. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan.

Rasional: memberikan pengetahuan di mana klien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.

b. Diskusikan kebiasaan klien dalam penatalaksanaan proses sakit melalui diet, obat, latihan, dan istirahat.

Rasional: tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi atau jaringan lain untuk mempertahankan fungsi sendi dan mencegah deformitas.

c. Bantu dalam merencanakan jadwal aktivitas terintegrasi yang realistis, istirahat, perawatan pribadi, pemberian obat, terapi fisik, dan manajemen stres.

(40)

Rasional: memberikan struktur dan mengurangi ansietas pada waktu menangani proses penyakit kronis kompleks.

d. Tekankan pentingnya melanjutkan manjemen farmakoterapi

Rasional: keuntungan dari terapi obat tergantung pada ketepatan dosis, misal, aspirin diberikan secara regular untuk mendukung kadar terapeutik darah 18-25 mg.

e. Rekomendasikan penggunaan aspirin bersalut atau salisilat nonasetil.

Rasional: preparat bersalut dicerna dengan makanan, meminimalkan iritasi gaster, mengurangi resiko perdarahan. Catatan: produk nonasetil sedikit dibutuhkan untuk mengurangi iritasi lambung.

f. Anjurkan mencerna obat dengan makanan, susu, atau antasida pada sebelum tidur.

Rasional: membatasi iritasi gaster. Pengurangan nyeri dapat meningkatkan tidur dan kadar darah serta mengurangi kekakuan pada pagi hari.

g. Identifikasi efek samping obat yang merugikan, misal, tinitus, lambung tidak toleran, perdarahan gastrointestinal.

Rasional: memperpanjang dan memaksimalkan dosis aspirin mengakibatkan keracunan. Tinitus mengindikasikan kadar terapeutik darah tinggi. Jika terjadi tinitus, dosis diturunkan menjadi 1 tablet setiap 2 atau 3 hari sampai berhenti.

(41)

h. Tekankan pentingnya membaca label produk dan mengurangi penggunaan obat yang dijual bebas.

Rasional: banyak produk yang mengandung salisilat yang dapat meningkatkan resiko keracunan atau efek samping yang berbahaya. i. Tinjau pentingnya diet yang seimbang dengan makanan yang

banyak mengandung vitamin, protein, dan zat besi.

Rasional: meningkatkan perasaan sehat dan perbaikan atau regenerasi jaringan.

j. Dorong klien obesitas untuk menurunkan berat badan dan berikan informasi penurunan berat badan sesuai kebutuhan.

Rasional: penurunan berat badan mengurangi tekanan pada sendi, terutama pinggul, lutul, pergelangan kaki, dan telapak kaki.

k. Berikan informasi mengenai alat bantu, misal, tongkat atau palang keamanan.

Rasional: mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan memungkinkan klien ikut serta secara lebih nyaman dalam aktivitas yang dibutuhkan.

l. Diskusikan teknik penghemat energi, misal, duduk, daripada berdiri untuk mempersiapkan makanan dan minuman.

Rasional: mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan diri, dan kemandirian.

(42)

m. Dorong mempertahankan posisi tubuh yang benar pada saat istirahat dan waktu melakukan aktivitas, misal, menjaga agar sendi tetap meregang, tidak refleksi.

Rasional: mekanika tubuh yang baik harus menjadi bagian dari gaya hidup klien untuk mengurangi tekanan sendi dan nyeri.

Gambar

Gambar 2.1 Skala intensitas nyeri deskritif
Gambar 2.4 Skala nyeri analog visual

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan RPJPD Kabupaten Minahasa Tenggara bertujuan untuk memfokuskan arah pembangunan jangka panjang terkait kondisi yang hendak diwujudkan atau visi daerah dan

: STRATEGI LEMBAGA AMIL ZAKAT (LAZ) DALAM MENINGKATKAN LOYALITAS DONATUR (STUDI KASUS LEMBAGA SOSIAL PESANTREN TEBUIRENG (LSPT) JOMBANG), Ekonomi Syari'ah, Syari'ah,

Kegiatan Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Balai PSDA Bengawan

Bab III akan menyajikan argumentasi yang lebih substansial atas keharusan verifikasi faktual partai politik calon peserta pemilu 2019 kepada semua partai politik

Pada akhirnya, BPPK yakin bahwa dengan komunikasi publik yang tepat dapat menjadi sebuah alat jitu untuk menciptakan citra positif sebuah organ- isasi, dan hal

Berdasarkan Gambar 2 konstruksi pohon filogeni ini didapatkan sekuen Tanaman Pala dari Tahuna menunjukan bahwa pala yang terdapat di Tahuna masih belum bisa

Upaya hukum yang dilakukan oleh aparat terhadap kejahatan pengedaran narkotika golongan I dilakukan dengan 3 cara yaitu, upaya preventif, upaya refresif,

Kriteria inklusi dalam peneliatan ini yaitu pasien dewasa di bangsal rawat inap penyakit dalam yang terdiagnosa infeksi saluran kemih akibat kateterisasi periode