• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep perawat jiwa - Pengalaman Perawat Jiwa dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Klien dengan Perilaku Kekerasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep perawat jiwa - Pengalaman Perawat Jiwa dalam Memberikan Asuhan Keperawatan Klien dengan Perilaku Kekerasan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep perawat jiwa

Konsep perawat jiwa meliputi definisi perawat kesehatan jiwa, peran perawat

jiwa, fungsi perawat jiwa.

2.1.1 Definisi perawat kesehatan Jiwa

Keperawatan kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik

keperawatan yang menerepkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan

penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya atau instrumennya.

Keperawatan jiwa merupakan sebagian dari penerapan ilmu tentang

perilaku manusia, psikososial, bio-psik dan teori-teori kepribadian, dimana

penggunaan diri perawat itu sendiri secara terapeutik sebagai alat atau instrumen

yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan (Erlinafsiah, 2010)

Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan profesional yang didasarkan

pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus

kehidupan dengan respon psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh

gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi

keperawatan jiwa melalui proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah,

mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa individu, keluarga dan

(2)

2.1.2 Peran perawat jiwa

Peran perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan spesifik

(Dalami, 2010). Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan kolaborasi

diantaranya adalah yang pertama yaitu sebagai pelaksana asuhan keperawatan,

yaitu perawat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada

individu, keluarga dan komunitas. Dalam menjalankan perannya, perawat

menggunakan konsep perilaku manusia, perkembangan kepribadian dan konsep

kesehatan jiwa serta gangguan jiwa dalam melaksanakan asuhan keperawatan

kepada individu, keluarga dan komunitas. Perawat melaksanakan asuhan

keperawatan secara komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan jiwa,

yaitu pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, perencanaan tindakan

keperawatan, dan melaksanakan tindakan keperawatan serta evaluasi terhadap

tindakan tersebut.

Peran perawat yang kedua yaitu sebagai pelaksana pendidikan keperawatan

yaitu perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga dan

komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota keluarga

dan anggota masyarakat lain. Pada akhirnya diharapkan setiap anggota

masyarakat bertanggung jawab terhadap kesehatan jiwa. Peran yang ketiga yaitu

sebagai pengelola keperawatan adalah perawat harus menunjukkan sikap

kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam mengelola asuhan keperawatan

jiwa. Dalam melaksanakan perannya ini perawat diminta menerapkan teori

(3)

diperlukan, berperan serta dalam aktifitas pengelolaan kasus dan mengorganisasi

pelaksanaan berbagai terapi modalitas keperawatan.

Peran perawat yang kekempat yaitu sebagai pelaksana penelitian yaitu

perawat mengidentifikasi masalah dalam bidang keperawatan jiwa dan

menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi untuk

meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.

2.1.3 Fungsi perawat jiwa

Fungsi perawat jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan secara langsung

dan asuhan keperawatan secara tidak langsung (Erlinafsiah, 2010). Fungsi tersebut

dapat dicapai melalui aktifitas perawat jiwa, yaitu: pertama, memberikan

lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang ditata sedemikian rupa sehingga

dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik fisik, mental,dan sosial sehingga

dapat membantu penyembuhan pasien. Kedua, bekerja untuk mengatasi masalah

klien “here and now” yaitu dalam membantu mengatasi segera dan tidak ditunda

sehingga tidak terjadi penumpukkan masalah. Ketiga, sebagai model peran yaitu

perawat dalam memberikan bantuan kepada pasien menggunakan diri sendiri

sebagai alat melalui contoh perilaku yang ditampilkan oleh perawat.

Fungsi perawat yang keempat yaitu memperhatikan aspek fisik dari masalah

kesehatan klien merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal ini perawat perlu

memasukkan pengkajian biologis secra menyeluruh dalam evaluasi pasien jiwa

untuk mengidentifikasi adanya penyakit fisik sedini mungkin sehingga dapat

(4)

ditujukan kepada pasien, kleuarga dan komunitas yang mencakup pendidikan

kesehatan jiwa, gangguan jiwa, ciri sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa,

ciri-ciri gangguan jiwa, fungsi dan tugas keluarga, dan upaya perawatan pasien

ganggua jiwa. Keenam, sebagai perantara sosial yaitu perawat dapat menjadi

perantara dari pihak pasien, keluarga dan masyarakat dalam memfasilitasi

pemecahan masalah pasien.

Fungsi yang ketujuh adalah kolaborasi dengan tim lain adalah perawat

membantu pasien mengadakan kolaborasi dengan petugas kesehatan lain yaitu

dokter jiwa, perawat kesehatan masyarakat (perawat komunitas), pekerja sosial,

psikolog, dll. Kedelapan, memimpin dan membantu tenaga perawatan adalah

pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada manajemen

keperawatan kesehatan jiwa. Kesembilan, menggunakan sumber di masyarakat

sehubungan dengan kesehatan mental. Hal ini penting diketahui oleh perawat

bahwa sumber-sumber yang ada dimasyarakat perlu diidentifikasi untuk

digunakan sebagai faktor pendukung dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa

yang ada dimasyarakat.

2.2 Konsep klien dengan perilaku kekerasan

Konsep klien dengan perilaku kekerasan meliputi definisi klien dengan

perilaku kekerasan, perubahan-perubahan yang terjadi pada klien dengan perilaku

kekerasan, rentang respon marah pada klien dengan perilaku kekerasan, faktor

predisposisi dan faktor presipitasi, perilaku-perilaku yang berkaitan dengan

(5)

dengan perilaku kekerasan, serta prinsip-prinsip dalam pengelolaan klien dengan

perilaku kekerasan

2.2.1 Definisi klien dengan perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk

melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya

tingkah laku tersebut. Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari

gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari 1 % (Purba dkk, 2009).

Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Sujono

dan Teguh, 2009). Berdasarkan defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi

dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal dan fisik (Keltner et al, 1995 dalam

Sujono dan Teguh, 2009). Perilaku kekerasan seperti perilaku mencederai orang

lain dapat berupa acaman melukai diri sendiri; perilaku merusak lingkungan

seperti peraot rumah tangga, membangting pintu; ancaman verbal berupa

kata-kata kasar, nada suara yang tinggi dan bermusuhan (Morrisson, 1993 dalam Purba

dkk, 2009). Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih

menunjuk kepada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya

disebut dengan perasaan marah (Berkowitz, 1993). Kemarahan adalah perasaan

jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai

(6)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku

yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan

barang-barang (Maramis, 2005).

2.2.2 Perubahan yang terjadi pada klien dengan perilaku kekerasan

Menurut Stuart dan Laraia dalam Purba dkk (2009), klien dengan perilaku

kekerasan dapat memperlihatkan perubahan-perubahan baik secara fisik,

psikologis maupun spiritual. Perubahan secara fisik yang diperlihatkan oleh klien

dengan perilaku kekerasan yaitu dengan mencederai diri klien itu sendiri dan

peningkatan mobilitas tubuh. Perubahan secara psikologis yang terlihat dari klien

yaitu emosional, marah yang tidak dapat dikontrol, mudah tersinggung dan

menentang. Sementara perubahan secara spiritual yang klien perlihatkan yaitu

merasa dirinya yang paling berkuasa dan tidak bermoral.

2.2.3 Rentang respon marah pada klien dengan perilaku kekerasan

Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal

adaptif. Rentang respon kemarahan dapat dijelaskan sebagai berikut (Keliat, 1997,

dalam Sujono dan Teguh, 2009) :

1) Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan

orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.

2) Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau

keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.

(7)

3) Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan

perasaan yang dialami.

4) Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat

dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak

orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk

mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama

dari orang lain.

5) Mengamuk atau perilaku kekerasan adalah rasa marah dan bermusuhan

yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat

merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

2.2.4 Faktor predisposisi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan

menurut teori biologik, teori psikologi dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh

Townsend (1996) dalam Purba dkk (2009) hlm 118 :

1) Teori biologik

Teori ini terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap

perilaku:

a. Neurobiologik

Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:

sistem limbik, lobus frontal, dan hipothalamus. Neurotransmitter juga

mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls

(8)

perilaku dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan

meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya

gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat

keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.

Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi

memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlibat

dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara

konstan berinteraksi dengan pusat agresif (Goldstein dikutip dari Purba

dkk, 2009)

b. Biokimia

Goldstein (dikutip dari Purba dkk, 2009) menyatakan bahwa berbagai

neurotransmitter (epinefrine, noreepinefrine, dopamine, asetilkolin, dan

serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls

agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan

oleh Selye dalam teorinya tentang respon terhadap stres.

c. Genetik

Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku

(9)

d. Gangguan otak

Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif

dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem

limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan

serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya lobus

temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak

kekerasan.

2) Teori psikologik

a. Teori psikoanalitik

Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan

kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego

dan membuat konsep diri rendah. Agresif dan tindak kekerasan

memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan

memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku

kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa

ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

b. Teori pembelajaran

Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya

orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena

dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut

(10)

orang tua mereka selama tahap perkembangan awal, namun dengan

perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru,

teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak

atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan

hukuman fisik akan cendrung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa

(Owens & Straus dikutip dari Purba dkk, 2009).

3) Teori Sosiokultural

Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur

sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum

menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan

masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku kekerasan,

apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak

dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai dan lingkungan

yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan

sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

2.2.5 Faktor presipitasi

Stresor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat

unik. Stresor tersebut dapat disebabkan dari luar maupin dalam. Contoh stresor

yang berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian, dan

lain-lain. Sedangkan stresor yang berasal dari dalam adalah putus hubungan dengan

(11)

lain-lain. Selain itu lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah

pada penghinaan, tindakan kekerasan, dapat memicu perilaku kekerasan.

2.2.6 Perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan

Ada beberapa perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan

antara lain (Sujono dan Teguh, 2009), perilaku-perilaku tersebut antara lain : (1)

Menyerang atau menghindar (fight or flight) Pada keadaan ini respon fisiologis

timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin.

(2) Menyatakan secara asertif (assertiveness) Perilaku yang sering ditampilkan

individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif,

agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk

mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya

tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku

ini dapat juga untuk pengembangan diri klien. (3) Memberontak (acting out)

Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk

menarik perhatian orang lain. (4) Perilaku kekerasan Tindakan kekerasan atau

amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

2.2.7 Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menangani klien dengan perilaku kekerasan

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan seorang perawat jiwa pada

klien dengan perilaku kekerasan adalah : (1)Bina hubungan saling percaya. Dalam

(12)

dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat. Tindakan yang harus perawat

lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah: Mengucapkan

salam terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi, membuat kontrak

topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.

Tindakan yang selanjutnya, (2) Diskusikan bersama klien penyebab

perilakukekerasan saat ini dan yang lalu. (3) Diskusikan bersama klien jika terjadi

penyebab perilaku kekerasan. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan

baik secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan intelektual. (4) Diskusikan

bersama klien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah secara

sosial atau verbal, terhadap orang lain, terhadap diri sendiri, dan

terhadaplingkungan. (5) Diskusikan bersama klien akibat perilaku kekerasan yang

dilakukannya. (6) Diskusikan dengan klien cara mengontrol perilaku kekerasan

secara: fisik, obat, sosial atau verbal, dan spiritual.

Selanjutnya tindakan (7) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik

dengan latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal, olahraga, kemudian susun

jadwal latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal serta olahraga. (8) Latihan

mengontrol perilaku kekerasan secara sosial ataupun verbal dengan menolak

dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan persaan dengan baik.

Kemudian susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal. (9) Latihan

mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual dengan sholat atau berdoa sesuai

dengan keyakinan dan cara klien kemudian susun jadwal untuk berdoa. (10)

Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat secara teratur

(13)

2.2.8 Prinsip-prinsip dalam pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan

Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan pada saat melakukan

pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan (Sujono dan Teguh, 2009). Prinsip

yang perlu diperhatikan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Seluruh staf

sebaiknya diberi latihan khusus mengenai pencegahan dan pengelolaan klien

perilaku kekerasan termasuk bermain peran untuk memberikan intervensi

keperawatan. Perbandingan klien dengan perawat 1:1. (2) Pada pasien kehilangan

kendali secara akut, tangani segera dengan pengekangan fisik. Untuk memberikan

tindakan pengamanan staf, sebaiknya dilakukan secara kompak, tidak dibenarkan

menghadapi klien dengan perilaku kekerasan seorang diri. (3) Berikan informasi

atas tindakan yang akan dilakukan dan pemberian obat. (4) Staf sebaiknya harus

dapat melindungi bagian tubuh yang vital dari upaya perlukaan.

Selanjutnya prinsip yang dilakukan adalah (5) Setelah situasi ditangani,

segera mungkin staf mendiskusikan insiden yang terjadi. (6) Setelah klien tenang

dan dapat mengontrol perilakunya, berikan kesempatan kepadanya untuk

mengekspresikan perasaannya. (7) Berikan penguatan positif apabila klien dapat

mengekspresikan perasaannya.

2.3 Riset Fenomenologi

Fenomenologi merupakan suatu ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan

fenomena, ataupun kejadian khusus, misalnya pengalaman hidup. Fokus utama

fenomenologi adalah pengalaman nyata. Hal ini yang dikaji adalah deskriptif

(14)

(Saryono dan Anggraeni, 2010). Penelitian fenomenologi berusaha untuk

memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi

(Dempsey dan Dempsey, 2002).

Tujuan penelitian fenomenologi adalah untuk mengembangkan makna

pengalaman hidup dari suatu fenomena dalam mencari kesatuan makna dengan

mengidentifikasi inti fenomena dan menggambarkan secara akurat dalam

pengalaman hidup sehari-hari (Steubert dan Carpenter, 2003). Terdapat dua

macam penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi

interpretif. Fenomenologi deskriptif berfokus pada penyelidikan fenomena,

kemudian pengalaman yang seperti apakah yang terlihat dalam fenomena

(fenomena deskriptif) dan bagaimana pengalaman mereka menafsirkan

pengalaman tersebut atau disebut fenomenologi interpretif.

Kehidupan seseorang adalah berharga dan menarik, karena kesadaran

seseorang tentang kehidupan tersebut. Dalam sebuah penelitian fenomenologi

sumber data utama adalah data percakapan yang mendalam, dengan peneliti dan

informan sebagai partisipan. Peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan

pengalaman hidup tanpa memimpin diskusi. Selanjutnya dalam percakapanyang

mendalam peneliti berusaha memahami kehidupan informan untuk mendapatkan

kemudahan untuk memaknai pengalaman hidup mereka (Polit, Beck, & Hungler,

2001).

Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data

divalidasi dengan beberapa kriteria yaitu credibility, transferbility, dependability,

(15)

untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan, (2)

transferabilitas, digunakan untuk memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian yang

dilakukan dalam konteks tertentu dapat di transfer ke subjek lain yang memiliki

tipologi yang sama. Dengan kata lain, apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan

pada situasi yang lain, (3) dependabilitas, digunakan untuk menilai kualitas dari

proses yang ditempuh oleh peneliti, (4) komfirmabilitas, yang dilakukan dengan

membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak

berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini menggunakan teknik yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (dalam Anonim, 2009: 25) yang meliputi tiga tahapan, yaitu reduksi data, sajian data,

 Inflasi yang terjadi di Provinsi Aceh disebabkan oleh peningkatan indeks harga konsumen Kelompok Bahan Makanan sebesar 0,99 persen, diikuti

Setelah diperoleh data dari kuesioner tertutup di atas maka perlu dilakukan penilaian peringkat ( ranking ) terhadap keempat produk Alat Bantu Multifungsi bagi Penderita

Pengangkatan anak biasa dilakukan antar warga negara Indonesia, akan tetapi karena kesempatan kepada orang asing lebih terbuka maka hal ini menimbulkan niat

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa aktivitas fisik tidak mempunyai hubungan dengan kelelahan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus di Yayasan Lupus

Kuliah Kerja Media dan Tugas Akhir dengan judul “ Standar Operasional Prosedur Humas dan Protokol Sekretariat DPRD Kota Surakarta ” disusun untuk memenuhi salah satu

Pendidikan anak merupakan kewajiban bagi orang tua dan merupakan hak dari setiap anak. Banyak dari orang tua yang tidak mengerti bagaimana cara mendidik anak. Melihat

Hal ini dapat ditempuh dengan menerapkan model pembelajaran CTL dimana model ini berupaya membawa pemikiran peserta didik untuk lebih memahami makna dari suatu