• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Air Bersih Di Hulu DAS Latuppa Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Air Bersih Di Hulu DAS Latuppa Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

JIBRIA RATNA YASIR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

ANALISIS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR BERSIH

DI HULU DAS LATUPPA KOTA PALOPO

(2)
(3)
(4)
(5)

RINGKASAN

JIBRIA RATNA YASIR. Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Air Bersih Di Hulu DAS Latuppa Kota Palopo. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan METI EKAYANI

Meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi menyebabakan ketersediaan dan pemanfaatan air besih (fresh water) untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan peningkatan kinerja ekonomi, mengalami perubahan dan cenderung menimbulkan kelangkaan akan air bersih. UNEP (2002) melaporkan, setiap tahun air yang digunakan untuk segala macam keperluan aktivitas manusia diseluruh dunia adalah 12.500-14.000 Km3. Proporsi ini akan semakin meningkat sejalan dengan tuntutan akan peningkatan kualitas hidup manusia.

Peningkatan degradasi daerah aliran sungai (DAS) yang merupakan ekosistem tempat dimana air itu mengalir mendorong tumbuhnya kesadaran untuk mengenali kegiatan pelayanan lingkungan yang dapat dilakukan untuk menjaga fungsi DAS tersebut. Seperti halnya DAS Latuppa Kota Palopo yang memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar, salah satunya sebagai sumber air baku bagi PDAM Kota Palopo dan irigasi bagi lahan pertanian masyarakat. Kini DAS tersebut tengah menghadapi permasalahan yang cukup serius, ditandai oleh adanya perubahan pada kondisi biofisiknya akibat pemanfaatan yang terus-menerus oleh penduduk, baik untuk kayu bakar, pemukiman, maupun untuk budidaya tanaman palawija dan sayuran, akibatnya dalam satu dekade kerap terjadi berbagai kasus seperti banjir dimusim hujan serta kekeringan dimusim kemarau.

Masalah ini merupakan salah satu kondisi yang dialami oleh pemanfaat jasa air bersih dari kawasan hulu DAS Latuppa yang juga merupakan sumber intake bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Palopo. Fluktuasi dan penurunan debit yang terjadi di sungai Latuppa mengakibatkan terganggunya distribusi air bersih kepada pengguna jasa air bersih oleh PDAM, karena pada saat musim hujan pasokan air melimpah, namun disertai dengan tingkat kekeruhan yang tinggi, sedangkan pada saat musim kemarau jumlah pasokan air tidak mampu mencukupi kapasitas intake dari PDAM. Oleh karena itu perlindungan sistem tata air pada daerah aliran sungai (DAS) Latuppa hulu dengan penetapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PES), dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan water catchment area agar kontiunitas pasokan air bersih oleh PDAM tetap terjaga.

(6)

Penelitian ini dilakukan di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Mungkajang dan Kecamatan Sendana yang merupakan Kecamatan yang berada di Hulu DAS Latuppa Kota Palopo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan analisis spearmen (skala likert) dengan rataan skor untuk mengetahui persepsi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi di hulu DAS Latuppa. Perhitungan nilai sisa dalam produksi (Residual Imputation Approach) untuk mengestimasi kontribusi nilai ekonomi air baku bagi PDAM Kota Palopo. Conversion Value untuk mengkaji kesanggupan PDAM membayar untuk menjaga water cathment area di hulu. Serta analisis para pihak (stakeholders) untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat serta membangun kelembagaan pembayaran jasa lingkungan di hulu DAS Latuppa.

Masyarakat hulu DAS Latuppa di Kecamatan Mungkajang dan Sendana yang merupakan penyedia jasa lingkungan khususnya kelompok tani To’buangin

dan kelompok tani Se’pon bersedia merehabilitasi lahan dan air di hulu DAS

Latuppa dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Total kontribusi nilai ekonomi air (Water Rent) PDAM Kota Palopo pada tahun 2013 adalah sebesar Rp 5.876.247.800. PDAM Kota Palopo bersedia memberikan 5% dari total keuntungan bersih tahun berjalan kepada masyarakat hulu DAS Latuppa

khususnya kelompok tani To’buangin dan kelompok tani Se’pon dalam upaya

mereka merehabilitasi lahan dan air di hulu. PDAM Kota Palopo dan kelompok

tani To’buangin dan Se’pon merupakan pihak primer sedangkan Wallacea Palopo,

Forum DAS Paremang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo, Dinas Pertanian Kota Palopo, BPDAS Saddang, BLH Kota Palopo, dan PSDA Kota Palopo merupakan pihak sekunder dan merupakan pihak-pihak yang akan terlibat dalam kelembagaan pembayaran jasa lingkungan air bersih di Kota Palopo.

Kata Kunci: Water Cathment area, Pembayaran Jasa Lingkungan,

(7)

SUMMARY

JIBRIA RATNA YASIR. Analysis of Payment for Ecosystem Services of Fresh Water in Latuppa Water catchment Area at Palopo City, South Sulawesi. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and METI EKAYANI

The increasing number of population and economic growth lead to the increasing of water demand. Furthermore, it will also affect the availability of fresh water to meet the needs of human activities. UNEP (2002) reported that the total of water consumption in the world reach 12.500-14.00 km3 per year. This number is believed will continuously increase as the increasing needs of a better life.

The rise of watershed degradation (DAS) in supporting human activities leads to the increasing of people awareness to keep it sustainable. One way is to conduct an environmental policy that can control the use of resources (water resource) in a watershed area. One of watershed area in Sulawesi that serve fresh water for many people is Latuppa watershed in Palopo City. The watershed has big potential to support human life, such as a source of fresh water for water supply corporation (PDAM) of Palopo and for agriculture irrigation. But, the Latuppa watershed is now facing a serious problem, characterized by its biophysical changes due to the continuous unsustainable use by the community, either timber exploitation and firewood, housing, as well as the agricultural activities. As a consequence, flood is happened in rainy season and drought in dry season occurred in the last decade.

Those problems faced by the upstream and downstream Latuppa watershed user including PDAM Palopo City, which is the water form Latuppa watershed is a source of intake for their corporation. Fluctuation of water volume in Latuppa river lead to disruption of the distribution of fresh water distribution to consumers of PDAM due to over capacity of water in rainy season with high contaminated and scarcity in dry season that could not fulfill the intake capacity of water production in PDAM Palopo. Therefore, the protection of water use system in the watershed area (DAS) of Latuppa upstream using payment mechanism for ecosystem services was initiated to minimize degradation of water catchment area that was purposed to maintain the continuity of fresh water produced by PDAM.

The general objective of this study is to estimate the amount (price) of compensation for the upstream community keep the watershed sustain and provided appropriate organization to handle payment of environmental service to fresh water in Latuppa upstream area. The specific purposes of this study are: (1) to study local community’ perceptions and behavior for rehabilitating land and water in the upstream of Latuppa watershed, (2) to estimate the contribution of the economic value of raw water for the PDAM of Palopo, (3) to assess the ability of PDAM to pay for keeping the water catchment area in the upstream in order to remain sustainable supply of raw water, (4) analyze the institutional mechanisms for the implementation of payment for ecosystem services of fresh water in Latuppa watersheds.

(8)

involved in providing organization that would handle payment of environmental service in water stream of Latuppa area, analysis of stakeholders was used.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR BERSIH

DI HULU DAS LATUPPA KOTA PALOPO

PROVINSI SULAWESI SELATAN

JIBRIA RATNA YASIR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai Agustus 2014 ini adalah jasa lingkungan, dengan judul Analisis pembayaran jasa lingkungan air bersih di hulu DAS Latuppa Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat dan Ibu Dr Meti Ekayani selaku pembimbing yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan, serta Bapak Prof Dr Ir Akhmad Fauzi yang telah banyak memberi pelajaran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir Asrul dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo, Ibu Yumna M Si Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Andi Djemma, Bapak Sukrimin dan Bapak Masse Ketua Kelompok Tani To’Buangin dan Kelompok

Tani Se’pon serta Bapak Yasir MM beserta staff dan pegawai bagian keuangan,

produksi, dan tekhnik Perusahaan Daerah Air Minum Kota Palopo, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Teh Sofi yang bersedia menjadi sahabat dan membantu penulis selama menempuh pendidikan. Teman-teman pada program studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan atas dukungan dan motivasinya. Terakhir ucapan terimakasih kepada kedua orang tua tercinta Bapak Yasir dan Mama Hamida, serta seluruh keluarga, untuk kasih sayang dan doa selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015

(16)
(17)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 5

1.4 Manfaat Penelitian 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan 6 2.1.1 Kelembagaan Jasa Lingkungan dan Peraturan Perundangan Terkait

Jasa Lingkungan 9

2.2 Instrumen Ekonomi 9

2.2.1 Fungsi Instrumen Ekonomi 10

2.2.2 Tipologi Instrumen Ekonomi 10

2.3 Kawasan DAS 11

2.4 Studi Terdahulu 13

3 KERANGKA PEMIKIRAN 15

4 METODE PENELITIAN 17

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 17

4.2 Jenis Dan Sumber Data 17

4.3 Metode Pengambilan Sampel 17

4.4 Metode Analisis Data 18

4.4.1 Analisis persepsi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan konservasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa 19 4.4.2 Estimasi nilai ekonomi air baku bagi PDAM. 20

4.4.3 Mengkaji kesanggupan PDAM membayar . 20

4.4.4 Analisis Kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran

jasa lingkungan air bersih 21

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 24

5.1 Peran Penting dan Permasalahan yang Terjadi di DAS Latuppa 24

5.2 Kondisi Fisik Daerah 25

(18)

5.2.2 Iklim 26

5.2.3 Topografi 26

5.2.4 Hidrologi 27

5.2.5 Penggunaan Lahan 27

5.2.6 Status Kawasan Hutan 28

5.3 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk 29

5.3.1 Kependudukan 29

5.3.2 Mata pencaharian 29

5.3.3 Karateristik Sosial dan Ekonomi Responden di Lokasi Penelitian 29

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 32

6.1 Persepsi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi lahan

dan air di hulu DAS Latuppa 32

6.2 Estimasi nilai ekonomi air baku bagi PDAM 33

6.3 Mengkaji kesanggupan PDAM membayar 34

6.4 Analisis Kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa

lingkungan air bersih 37

6.4.1 Para Pihak Yang Terlibat Dalam Mekanisme Pembayaran Jasa

Lingkungan di DAS Latuppa 39

6.4.2 Indentifikasi para pihak 39

6.4.3 Peranan Para Pihak 40

6.4.4 Kepentingan, tingkat kepentingan, dan pengaruh para pihak 42

6.4.5 Hak dan kewajiban para pihak 45

6.5 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Latuppa 48

6.5.1 Jenis-jenis tanaman yang disepakati 53

6.5.2 Monitoring 53

6.5.3 Outcome 54

7 KESIMPULAN DAN SARAN 56

7.1 Kesimpulan 56

6.2 Saran 56

(19)

iii

DAFTAR TABEL

1 Pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan penelitian. 18

2 Tingkat penilaian kelompok persepsi 19

3 Rentang skala interpretasi hasil jawaban kuesioner 20

4 Kepentingan (interest) masing-masing pihak 22

5 Debit Sungai DAS Latuppa 5 Tahun Terakhir 27

6 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di DAS Latuppa 28

7 Status dan Luas Kawasan Hutan di DAS Latuppa 28

8 Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, Kepadatan dan Rata-rata anggota Rumah

Tangga, 2011 29

9 Karateristik Responden di Lokasi Penelitian berdasarkan Usia, Pendidikan

Terakhir, Tingkat Pendapatan, Luas Lahan, dan Jumlah Tanggungan 30 10 Persepsi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi 32 11 Nilai water rent dalam proses produksi air bersih PDAM Kota Palopo tahun

2013 34

12 Perhitungan penggunaan laba PDAM Kota Palopo setelah pajak penghasilan 35 13 Perbandingan Nilai Water Rent, Laba PDAM Kota Palopo Dan Nilai

Kompensasi 37

14 Peranan para pihak yang terkait secara langsung dalam mekanisme

pembayaran jasa lingkungan air bersih di DAS Latuppa hulu 41 15 Hak dan kewajiban para pihak yang disepakati pada saat FGD 46 16 Hak dan Kewajiban para pihak berdasarkan wawancara 47 17 Program dan jenis kegiatan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa

lingkungan 52

18 Outcome yang diharapakan dari proyek pembayaran jasa lingkungan di hulu

(20)

DAFTAR GAMBAR

1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (Sumber: Pagiola et al. 2005) 6

2 Kerangka Pemikiran 16

3 Diagram matriks kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dari

masing-masing pihak 22

4 Perbandingan Luas DAS Latuppa berdasarkan wilayah administrasi 25

5 Klasifikasi pihak-pihak yang terlibat 40

6 Matriks pengaruh dan tingkat kepentingan para pihak dalam program

pembayaran jasa lingkungan air bersih 44

7 Skema Pembayaran Jasa Ligkungan Air Bersih di Kota Palopo 49 8 Kelembagaan Dewan Pengelola Jasa Lingkungan Air Bersih Kota Palopo 50

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel skala likert persepsi kelompok tani terhadap keinginan untuk

merehabilitasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa Kota Palopo 63

2 Tabel perhitungan Residual Imputation Aproach 64

3 Laba PDAM Kota Palopo Tahun 2013 66

4 Naskah Kesepahaman Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air Bersih Di

Kota Palopo 68

5 Tabel kepentingan para pihak 71

6 Skoring Pengaruh dan Kepentingan Para Pihak 73

7 Surat persetujuan pemberian kompensasi jasa lingkungan dari pihak PDAM

Kota Palopo 75

8 Peraturan Daerah Kota Palopo No.8 Tahun 2005 Tentang Pendirian Perusahaan

Daerah Air Minum Kota Palopo 76

(21)

1PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber daya air di masa lalu terutama di daerah-daerah yang berlimpah, seakan tersedia secara tidak terbatas; sumberdaya air sebenarnya tersedia secara terbatas, hal ini dapat terjadi karena adanya penurunan kualitas lingkungan. Serageldin (1995), Wakil Presiden Bank Dunia, pernah meramalkan bahwa perang dimasa akan datang bukan lagi dipicu oleh kelangkaan sumber daya minyak, tetapi oleh kelangkaan sumber daya air. Kekhawatiran ini lebih ditegaskan oleh para pakar dunia dalam rangkaian pertemuannya mulai dari pertemuan di Roma, Stockholm, Dublin, Rio de Jeneiro dan terakhir di Paris pada

bulan juni 1998 dalam “International Conference on World Water in the 21 th Century”.

Meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi menyebabkan ketersediaan dan pemanfaatan air bersih (Fresh water) untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan peningkatan kinerja ekonomi, mengalami perubahan dan cenderung menimbulkan kelangkaan akan air bersih. Data dari UNEP (2002) menyebutkan bahwa air bersih yang dibutuhkan penduduk dunia pada tahun 2000 kira-kira 6 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang telah digunakan penduduk dunia satu abad yang lalu (tahun 1900). Hal ini berarti bahwa setiap orang pada saat ini membutuhkan air 2 kali lebih banyak dibandingkan dengan 1 abad yang lalu. Setiap tahun air yang digunakan untuk segala macam keperluan aktivitas manusia diseluruh dunia adalah 12.500-14.000 km3 proporsi ini akan semakin meningkat sejalan dengan tuntutan akan peningkatan kualitas hidup manusia.

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan ekosistem tempat dimana air itu mengalir dari bagian hulu kemudian mengarah ke hilir kini mengalami degradasi fungsi. Di Indonesia saat ini terdapat sedikitnya 5.590 sungai utama dan 65.017 anak sungai, yang panjang totalnya mencapai 94.573 km dengan luas daerah aliran sungai mencapai 1.512.466 km2 (Ditjen RRL 1999).

(22)

Masifnya tingkat kerusakan DAS, umumnya dipicu oleh laju kerusakan

hutan yang relatif tinggi, sebagai turunan dari “perilaku menyimpang” masyarakat

seperti : illegal logging dan alih fungsi lahan hutan menjadi areal pertanian tanaman semusim. Dephut (2009) melaporkan sepanjang tahun 2000-2005, hutan Indonesia telah mengalami kerusakan seluas 5,4 juta Ha, dengan laju kerusakan rata-rata sebesar 1,09 juta Ha/tahun. Sementara untuk kasus Sulawesi selatan, laju kerusakan hutannya sepanjang tahun 2008 mencapai 30,6 % dari total area hutan seluas 2,1 juta Ha1.

Kondisi tersebut telah menimbulkan kekhawatiran dan permasalahannya menuntut adanya pola pengelolaan DAS yang baik dan tepat. Hal ini dilakukan guna menjaga kelestarian hutan yang memiliki peran penting sebagai daerah tangkapan air, mengontrol aliran air, menjaga wilayah hilir dari banjir serta fungsi lainya (CI Indonesia). Puspaningsih (1999) menyebutkan pula bahwa daerah hulu memiliki fugsi lindung, fungsi hidrologis, dan merupakan daerah tangkapan air untuk konsumsi daerah hilir. Selanjutnya Tejowulan dan Suwardji (2008), menyatakan bahwa perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS, karena hal itu akan menentukan keuntungan yang dapat diperoleh atau kesempatan yang terbuka dalam pengelolaan DAS hilir. Adanya siklus saling ketergantungan antara pemanfaat air bersih di hilir dengan penyedia jasa lingkungan air bersih di hulu menciptakan adanya suatu ide

reward atau penghargaan yang diberikan kepada masyarakat hulu terhadap berbagai upaya kegiatan yang dilakukan dalam rangka merehabilitasi kawasan yang selanjutnya diwujudkan dalam kerangka pembayaran jasa lingkungan (PJL) atau payment for environmental services (PES), Fauzi dan Anna (2013). Konsep pembayaran jasa lingkungan (Payment for environmental services) timbul dari diskusi ekonomi tentang bagaimana menginternalkan eksternalitas dalam proses produksi. Menggunakan instrumen ekonomi untuk mengurangi eksternalitas negatif seperti kontaminasi melalui internalisasi biaya. Pada tahun 1990an dimulai eksplorasi atas penggunaan instrument ekonomi untuk mempertahankan dan mengembangkan aliran eksternalitas positif, seperti jasa lingkungan, dengan menginternalkan manfaat melalui pembayaran langsung kepada pihak yang bertanggung jawab mempertahankan penggunaan lahan tertentu, atau melalui pengembangan pasar dan penciptaan jasa lingkungan (USAID 2007).

Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) merupakan kompensasi yang diberikan oleh pengguna (users) jasa lingkungan kepada penyedia (provider) jasa lingkungan sebagai penghargaan atas upaya pengelolaan lingkungan. Dalam konteks tersebut, perlu adanya pemikiran tentang insentif untuk penyedia jasa lingkungan air dari pemanfaat jasa air bersih (beneficires) yang harganya disesuaikan dengan nilai pembayaran jasa lingkungan sebagai biaya rehabilitasi di hulu (INDEF, 2006; Ekayani et al. 2014; Fauzi & Anna 2013). Penelitian ini menguraikan pentingnya analisis terhadap pembayaran jasa lingkungan dan kelembagaan yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, serta partisipasi dan pola perilaku masyarakat hulu dalam melakukan rehabilitasi di hulu sebagai upaya mempertahankan sumberdaya air secara berkelanjutan.

1 http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/1553/profil-antara, diakses pada tanggal 1

(23)

Perumusan Masalah

DAS Latuppa dengan luas area 6.843,02 ha serta panjang aliran sungai mencapai 59.472 meter memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar, salah satunya sebagai sumber air baku bagi PDAM Kota Palopo dan irigasi bagi lahan pertanian masyarakat. Kini DAS tersebut tengah menghadapi permasalahan yang cukup serius, ditandai oleh adanya perubahan pada kondisi bio-fisiknya, akibat dari sebagian kawasan hutannya yang terdiri dari hutan produksi dan hutan lindung telah kehilangan fungsinya sebagai penyedia jasa yang semestinya diberikan oleh ekosistem seperti pencegahan bencana, pengendalian erosi, dan pengaturan tata air. Hal tersebut, umumnya dipicu oleh pemanfaatan yang terus menerus oleh penduduk, baik untuk kayu bakar, pemukiman maupun untuk budidaya tanaman palawija dan sayuran, akibatnya dalam satu dekade terakhir kerap terjadi berbagai kasus seperti banjir dan longsor pada musim hujan serta kekeringan pada musim kemarau (Kemenhut 2012).

Lebih lanjut Kemenhut (2012), melaporkan bahwa sebagian besar lahan pada zona hulu yang mencakup hutan negara dan lahan milik masyarakat dengan slope > 40% dan berada pada ketinggian > 500 mdpl sudah dalam kondisi kritis karena tidak lagi menunjang aspek konservasi lahan dan air. Tercatat total lahan yang termasuk dalam kategori kritis di DAS Latuppa 1.839,43 ha dan sangat kritis 687,61 ha, dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsi kawasan sebesar 4.212,70 ha atau sekitar 61,56%, hal ini menyebabkan fungsinya sebagai kawasan lindung daerah hilir dan kawasan resapan air tidak lagi optimal.

Dampak yang paling signifikan dari rusaknya water catchment area di hulu, adalah kejadian banjir yang terus menerus terjadi dengan intensitas yang cenderung meningkat (Kemenhut 2012). Frekuensi kejadian banjir di DAS Latuppa jika dihubungkan dengan kriteria penilaian banjir (Kepmenhut Nomor: SK. 346/Menhut-V/2005), maka DAS Latuppa merupakan kategori sangat rusak, dimana tercatat dalam enam tahun terakhir terjadi banjir, bahkan lebih dari dua kali banjir dalam satu tahun. Menurut Arsyad (2010) banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau yang melanda Kota Palopo menyebabkan fluktuasi debit sungai yang sangat besar.

(24)

Penebangan hutan (deforestasi) dan alih fungsi lahan hutan menjadi areal pertanian dan pemukiman juga merupakan penyebab tingginya tingkat erosi dan sedimentasi di sungai, karena meningkatnya limpasan permukaan dan menurunnya aliran cepat tanah (soil quick flow), hal ini mengakibatkan kapasitas penyangga DAS menurun, (Subagio 1999). Selain erosi, sedimentasi yang merupakan proses pengendapan material produk dari proses erosi ini juga berdampak negatif terhadap DAS, karena selain mempengaruhi kualitas air, yang membuat air jadi berlumpur dengan tingkat kekeruhan yang sangat tinggi sehingga menyulitkan pengelolaannya dan meningkatkan biaya pemurnian air oleh PDAM, juga mengganggu secara fisik karena proses penyempitan dari material yang mengendap PDAM (2014).2

Dari data diatas terlihat bahwa air permukaan memberikan manfaat hidrologis yang salah satunya digunakan sebagai sumber air baku oleh PDAM. Namun, terjadinya degradasi lingkungan di hulu berdampak pada penurunan kualitas dan kuantitas pasokan air bersih oleh PDAM kepada pelanggan. Hal ini menjadi masalah dalam menjaga kontiunitas produksi oleh PDAM Kota Palopo.

Menyadari akan hal ini PDAM Kota Palopo serta Dinas kehutanan dan perkebunan Kota Palopo telah mengupayakan pelestarian kawasan hulu DAS Latuppa sebagai upaya pelestarian daerah tangkapan air, dengan melakukan penghijauan. Lahan yang sebagian besar milik masyarakat telah diusahakan secara intensif untuk budidaya pertanian tadah hujan, dan teknologi konservasi tradisional sebetulnya telah dilakukan seperti terasering. Akan tetapi, karena kurangnya pengetahuan masyarakat hulu tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan memanfaatkan lahan mereka dengan membudidayakan tanaman-tanaman agroforestry, sehingga masyarakat tetap melakukan perambahan hutan untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan jenis tanaman musiman.

Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan, diketahui keberadaan air bersih di dataran rendah atau dihilir sangat bergantung pada kelestarian hutan yang ada dikawasan hulu Arsyad (2010). Oleh sebab itu, sebuah harga yang adil ditetapkan sebagai nilai yang harus di bayar oleh pemanfaat jasa air bersih di hilir dalam hal ini PDAM Kota Palopo sebagai kompensasi kepada masyarakat di hulu yang diwujudkan dalam kerangka pembayaran jasa lingkungan untuk tujuan perbaikan dan pemeliharaan kawasan resapan air dengan melakukan rehabilitasi di kawasan hulu daerah aliran sungai. Perlindungan sistem tata air pada daerah aliran sungai (DAS) Latuppa hulu dengan penetapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan water catchment area agar kontiunitas pasokan air bersih oleh PDAM tetap terjaga. Dari uraian permasalahan di atas maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1) Bagaimana partisipasi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi di DAS Latuppa hulu?

2) Berapa kontribusi nilai ekonomi air baku bagi PDAM Kota Palopo?

3) Berapa kesanggupan membayar PDAM untuk menjaga water catchment area di hulu, agar air baku tetap berkelanjutan?

4) Bagaimana kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air yang optimal, sebagai implikasi dari penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan?

2

(25)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah: mengestimasi besaran nilai kompensasi untuk masyarakat hulu dan membangun kelembagaan yang sesuai untuk penerapan pembayaran jasa lingkungan air (minum) bersih di Daerah Aliran Sungai (DAS) Latuppa hulu. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:

1) Mengkaji persepsi dan perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa

2) Mengestimasi konstribusi nilai ekonomi air baku bagi PDAM Kota Palopo.

3) Mengkaji kesanggupan PDAM membayar untuk menjaga water catchment area di hulu agar pasokan air baku tetap berkelanjutan.

4) Menganalisis kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air bersih di DAS latuppa hulu, sebagai implikasi dari penelitian.

Manfaat Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan air bersih serta penerapannya di DAS Latuppa. Bagi para pihak terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan acuan bagi proses perumusan kebijakan dan peraturan perundangan terkait mekanisme pembayaran jasa lingkungan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan suatu bentuk penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air bersih, dengan batasan wilayah hulu DAS Latuppa. Kelompok tani To’buangin dan kelompok tani

Se’pon di Kecamatan Mungkajang dan Sendana sebagai penyedia jasa lingkungan dengan pihak pembeli jasa lingkungan, yaitu PDAM Kota Palopo. Objek dari penelitian ini adalah pihak-pihak yang masuk dalam kategori penyedia jasa, yaitu

(26)

2TINJAUAN PUSTAKA

Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan

(ESCAP 2009) mendefenisikan jasa lingkungan sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami. Misalnya hutan sebagai ekosistem alami selain menyediakan berbagai macam produk kayu juga menyediakan produk non kayu sekaligus juga menjadi reservoir yang dapat menampung air hujan, menyaring air yang kemudian melepasnya secara gradual,

sehingga air tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia. Soenarno (2012) menyatakan bahwa dengan adanya penebangan pohon yang tidak terkendali pada sistem hutan alami dapat menimbulkan gangguan, terutama dalam siklus air dimana dengan adanya pembabatan hutan dapat menyebabkan banjir pada saat musim hujan dan menurunnya kualitas air, demikian pula saat musim kemarau terjadi kekurangan air yang otomatis berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas air yang dapat menimbulkan kerentanan masyarakat hilir dalam kebutuhan dan ketersediaan air bersih yang berakibat pada kualitas hidup terancam dan kesejahteraan masyarakat menjadi menurun. Jasa hidrologis hutan tersebut akan terancam seiring dengan meningkatnya laju degradasi; untuk itu diperlukan adanya hubungan hulu-hilir dalam bentuk penyediaan biaya atau dana kompensasi dari pengguna jasa lingkungan di wilayah hilir.

Pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services) merupakan kompensasi yang diberikan oleh pengguna (users) jasa lingkungan kepada penyedia (provider) jasa lingkungan sebagai penghargaan atas upaya pengelolaan lingkungan (Pagiola et al. 2005). Wunder (2005) mendefenisikan pembayaran jasa lingkungan (PJL) adalah sebuah transaksi sukarela dengan kerangka kerja yang telah dinegosiasikan. Dalam pembayaran jasa lingkungan tersebut terdapat jasa lingkungan yang dapat terukur, di samping itu terdapat minimal satu pembeli jasa lingkungan dan satu penyedia jasa lingkungan yang memelihara keberlangsungan jasa lingkungan yang diperjual belikan tersebut sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan saat negosiasi. Berikut adalah ilustrasi pembayaran jasa lingkungan (Gambar 1).

Gambar 1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (Sumber: Pagiola et al. 2005)

Pemanfaat Jasa

Jasa Lingkungan Penyedia

Jasa

Mekanisme Pembiayaan

(27)

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Pagiola et al. (2005), suatu kegiatan pembayaran jasa lingkungan memerlukan mekanisme untuk mengatur berjalannya kegiatan tersebut. Mekanisme pembayaran jasa multifungsi DAS yang tergolong dalam pembayaran jasa lingkungan dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk (Cahyono & Purwanto 2006), yaitu:

1) Kesepakatan yang diatur sendiri.

Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjaanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan pemilik lahan yang bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi DAS. 2) Skema pembayaran publik

Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi pelanggannya. 3) Skema pasar terbuka

Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di Negara yang sudah maju. Pemerintah dapat mendefenisikan barang atau jasa apa saja dari multifungsi DAS yang dapat diperjualbelikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum, transparansi, penghitungan secara ilmiah yang akurat dan sistem verifikasi yang terjamin.

Landell-Mills & Porras (2002), menyatakan, terdapat delapan kategori mekanisme pembayaran jasa DAS, mekanisme-mekanisme tersebut antara lain:

1) Direct negotiation between buyers and sellers. Mekanisme ini melibatkan rician kontrak untuk membangun praktek manajemen terbaik yang dapat meningkatkan manfaat DAS atau perjanjian pembelian tanah berdasarkan negosiasi antara pembeli dan penjual

2) Intermediary-based transaction. Perantara digunakan untuk mengontrol biaya transaksi dan resiko, dan paling sering dibangun dan dijalankan oleh LSM, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah. Pada beberapa kasus dibuat perwakilan dana independen.

3) Pooled transactions. Transaksi terpusat mengontrol biaya transaksi dengan menyebar resiko pada beberapa pembeli. Mereka juga dipekerjakan untuk membagi biaya dari transaksi besar seperti yang dibutuhkan pasar DAS. 4) Internal trading. Transaksi dalam suatu organisasi, misalnya pembayaran

dalam intra pemerintahan.

(28)

penggunaan. Tingkatan ini biasanya tidak dinegosiasikan dan dikenakan pada semua penerima.

6) Clearing-house transaction. Sebuah perantara yang lebih rumit menawarkan inti bentuk dasar perdagangan kepada pembeli dan penjual berupa penerimaan cek-cek antar bank. Mekanisme ini tergantung pada keberadaan dari standar pra pengemasan komoditas. Seperti : kredit salinitas, ganti rugi kualitas air.

7) Auctions. Seringkali diasosiasikan dengan mekanisme clearing-house dan perdagangan over-the counter,pelelangan mencoba untuk melangkah lebih dekat dengan pasar persaingan untuk jasa DAS. Pelelangan ditujukan untuk menentukan penawaran jasa DAS serta untuk mengalokasikan kebijakan untuk membayar.

8) Retail-based trades. Dimana pembayaran jasa untuk perlindungan DAS yang melekat pada pembayaran dari konsumen. Contohnya: produksi pertanian yang aman. Biasanya diasosiasikan dengan sertifikasi dan skema pelabelan yang menghasilkan pengakuan konsumen dan kemauan membayar.

Dari delapan kategori mekanisme untuk pembayaran jasa DAS yang dikemukakan oleh Landell Mills & Porras, penerapan mekanisme PES untuk pembayaran jasa air bersih di DAS Latuppa akan menerapkan konsep

intermediary based transaction dengan pihak perantara sebagai pengontrol biaya transaksi dan resiko. Hal ini dilakukan demi memudahkan transparansi dalam pengelolaan dana kompensasi.

Pudyastuti (2007) menjelaskan bahwa dalam pembayaran jasa lingkungan membutuhkan beberapa elemen, khususnya:

 Valuasi nilai jasa lingkungan dari titik yang menguntungkan satu atau beberapa kelompok stakeholder hilir

 Organisasi sosial yang cukup efektif yang dinegosiasikan antara kelompok hulu dan hilir untuk mendorong kesepakatan pembayaran secara langsung.

 kesepakatan dengan tujuan yang jelas dan teruji serta berhubungan dengan kesepakatan implementasi dan monitoring.

 Kerangka kerja yang legal dan institusional

 Ketentuan untuk resolusi konflik.

Menurut USAID (2007), karena konsep PES relatif baru, maka tidak semua skema kontrak PES yang berkembang telah memiliki kesempurnaan dan siap diperbanyak untuk daerah lain. Dalam Kongres Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Negara-negara Amerika Latin 2003, Forum on Payment Schemes for Environmental Sevices in Watershed mengidentifikasi pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman pengembangan skema PES di Amerika Latin, yaitu bahwa:

(29)

b) Penerapan skema PES di Negara-negara Amerika Latin tergolong sudah maju di antara negara-negara berkembang lainnya, namun belum semua penerapan skema PES tersebut terinventarisasi secara baik dan masih memerlukan kajian-kajian sosial ekonomi dan kaitannya terhadap lingkungan.

c) Masih adanya ketidakpastian hubungan sebab akibat yang signifikan antara penggunaan lahan dan jasa-jasa yang dihasilkan.

d) Pada banyak kejadian, penyedia jasa tertarik dengan skema PES dalam kerangka pengelolaan DAS masih sangat bervariasi.

e) Di beberapa kasus, institusi publik yang terlibat kebanyakan adalah institusi lokal dibandingkan dengan institusi yang berskala nasional.

f) Penerapan skema PES yang berkembang secara potensial dapat direplikasi ke berbagai lokasi.

Kelembagaan Jasa Lingkungan dan Peraturan Perundangan Terkait Jasa Lingkungan

Menurut Alikodra (1998) kelembagaan merupakan perilaku baik formal maupun informal termasuk konversi sosial dalam berbagai bentuk organisasi yang berpengaruh terhadap perilaku manusia dan kehidupannya. Kelembagaan diartikan pula sebagai sistem organisasi dan kontrol terhadap keberadaan sumberdaya alam yang didalamnya mengatur pula hubungan antara seseorang dengan yang lainnya, dimana dalam implementasinya memiliki aturan-aturan (rules) dan kearifan (lokal) yang hidup dalam masyarakat dan yang tertulis dalam peraturan perundangan formal guna memudahkan hubungan kerjasama dalam memperoleh harapannya masing-masing sehingga mengurangi ketidakadilan dalam distribusi sumberdaya.

Kelembagaan yang fleksibel dan sederhana adalah sebuah organisasi dengan ciri equality, diversity dan efektif; selain itu diperlukan adanya kemauan dari anggota dalam organisasi tersebut dimana orang-orangnya harus mau belajar secara terus menerus pada semua tingkatan agar menghasilkan kelembagaan yang dapat tumbuh dan berkembang serta maju di masa mendatang (Senge 1995). Sedangkan menurut Alikodra (1998) terkait dengan organisasi atau kelembagaan Pemerintah atau semi Pemerintah di bidang lingkungan harus mampu menerapkan konsep good environmental governance dicirikan dengan transparan, partisipatif, akuntabilitas, mampu melakukan penegakan hukum, efektif, efisien, dan berkeadilan. Untuk itu diperlukan penyamaan visi dan misi dari semua

stakeholders untuk membangun kelembagaan jasa lingkungan dalam konsep

capacity development in payment of environmental services atau pembangunan kapasitas kelembagaan pembayaran jasa lingkungan.

Instrumen Ekonomi

(30)

Lebih lanjut definisi instrumen ekonomi ini dikembangkan menjadi instrumen yang berorientasi kearah peningkatan alokasi ekonomi yang merupakan efisiensi ekonomi dari sumberdaya alam dengan modifikasi perilaku agen ekonomi dengan cara memberikan insentif kepada mereka untuk menginternalisasikan eksternalitas yang mungkin timbul dari aktivitas mereka. Instrumen ekonomi ini didesain untuk mempengaruhi keputusan-keputusan produksi baik melalui mekanisme harga atau dengan merubah atraksi dari aktivitas tertentu.

Fungsi Instrumen Ekonomi

Panayotou (1994) menyebutkan paling tidak ada empat hal utama menyangkut fungsi instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan, yaitu:

1. Menginternalisasikan eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan pasar melalui mekanisme full cost pricing dimana biaya subsidi, biaya lingkungan dan biaya eksternalitas diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

2. Mampu mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika dilakukan secara tepat dapat menjadikan pembangunan ekonomi sebagai wahana untuk perlindungan lingkungan dan sebaliknya.

3. Instrumen ekonomi berfungsi untuk menganjurkan efisiensi dalam penggunaan barang dan jasa dari sumberdaya alam sehingga tidak menimbulkan kelebihan konsumsi karena pasar, melalui instrumen ekonomi akan memberikan sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang tidak efisien.

4. Instrumen ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue generating).

Tipologi Instrumen Ekonomi

Menurut Fauzi (2007), instrumen ekonomi dapat dibagi berdasarkan tiga kategori umum menurut dampaknya terhadap keuangan pemerintah, yaitu:

1) Instrumen peningkatan revenue, seperti pajak dan biaya perizinan yang dapat meningkatkan biaya relatif dari teknologi intensif dan produk emisi. Instrument ini menciptakan insentif yang terus menerus pada inovasi untuk meningkatkan efisiensi emisi atau sabagai pengganti emisi yang lebih rendah, serta memberikan penerimaan bagi pemerintah.

2) Instrumen Budget-neutral, yang meningkatkan biaya relatif emisi atau teknologi intensif energi dan produk, namun tidak meningkatkan penerimaan bagi pemerintah. Kategori ini meliputi peraturan yang bersifat

market-based, yang mengharuskan perusahaan memenuhi standar baku mutu tetapi memperbolehkan mereka untuk memperjual belikannya dengan pihak lain untuk memenuhi komitmen standar ini. Instrumen

budget-neutral ini dapat dikhususkan pada teknologi (misalnya: renewable portfolio standard atau emisi kendaraan bermotor), atau dapat juga dikhususkan pada kinerja (misalnya: domestic emission trading program). 3) Instrumen expenditure, seperti subsidi dan insentif lainnya yang

(31)

biaya kompetitif jangka panjang melalui pembiayaan atau penelitian, pengembangan dan komersialisasi teknologi baru. Dengan membiayai subsidi ini, pemerintah layaknya harus meningkatkan pajak lainnya atau menurunkan expenditure.

Kawasan DAS

Daerah aliran sungai (DAS) secara umum adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas didarat merupakan pemisah topografis dan batas dilaut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan. Selanjutnya Sub DAS disebut sebagai bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama (Departemen Kehutanan, 2009).

Secara topografi, DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan hilir yang saling terkait. Aktivitas yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap daerah hilir. Sebagai salah satu sumber daya alam, maka sumber daya yang ada pada suatu wilayah DAS dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Lahan di kawasan DAS dipergunakan untuk pembangunan pertanian baik yang berada di kawasan hulu maupun hilir.

Pada daerah hulu umumnya merupakan lahan kering seperti tegalan dan kebun. Adapun daerah hilir umumnya dipergunakan sebagai daerah persawahan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, ada keterkaitan yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, dimana hulu sebagai daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang dilakukan di hilir. Sementara hilir berperan sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu (dampak baik atau buruk). Namun, tidak selalu daerah hulu menerima dampak dari kegiatan atau aktivitas ekonomi di hilir. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumber daya di dalam DAS secara terpadu untuk dapat mengakomodir semua kepentingan (Cahyono dan Purwanto 2006).

Berdasarkan topografi, dimana DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan hilir dan memiliki keterkaitan yang erat, maka Gill (1979), memandang DAS sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, dalam pembangunannya harus diperlakukan sebagai suatu sistem sehingga sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik yaitu:

1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan harus memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung kehidupan yang layak bagi petani yang mengusahakannya. Produktivitas yang tinggi dapat diperoleh apabila lahan tersebut digunakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk itu harus dipilih komoditas pertanian yang cocok dengan faktor biofisik setempat dan dikelola dengan agroteknologi yang memenuhi persyaratan, sehingga produktivitas tetap tinggi dan kualitas lahan terjaga secara lestari;

(32)

mendukung kehidupan yang layak. Apabila keadaan seperti ini terwujud maka DAS tersebut akan bersifat lentur, sehingga walaupun ada kegagalan produksi disalah satu bagian DAS akibat bencana alam, maka bagian lain DAS akan dapat membantu bagian yang terkena bencana; dan

3. Dapat menjamin kelestarian sumber daya air. Salah satu faktor penting yang harus diwujudkan dalam setiap sistem pengelolaan DAS adalah menjaga fungsi DAS sebagai pengatur tata air yang baik. Oleh sebab itu, fungsi hidrologis DAS harus dapat terjaga secara lestari yang dicirikan oleh ketersediaan sumber daya air yang meliputi kuantitas, kualitas dan distribusi yang baik sepanjang tahun di seluruh DAS.

Sementara Tejowulan dan Suwardji (2008) lebih menitik beratkan pengelolaan DAS pada bagian hulu. Mereka menyatakan bahwa perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS, karena hal itu akan menentukan keuntungan yang dapat diperoleh atau kesempatan yang terbuka dalam pengelolaan DAS hilir. Sementara pengelolaan DAS hilir menurut mereka, menentukan seberapa besar keuntungan yang secara potensial dapat diperoleh karena pengelolaan DAS hulu benar-benar terwujudkan. Dengan kata lain, pengelolaan DAS hilir berujuan meningkatkan daya tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS hulu. Menurut pandangan ekologi, maka daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang bahan dan energi, atau boleh juga disebut sebagai conditioning environment. Sementara itu, daerah hilir merupakan daerah penerima bahan dan energi, atau lingkungan konsumsi

commanded environment. Dengan demikian, pengelolaan DAS harus bersifat menyeluruh dan dapat memadukan bagian hulu dan hilir menjadi satu sistem.

Disamping konsep pengelolaan DAS terpadu oleh Tejowulan dan Suwardji (2008) dan Easter et al. (1986), Dharmawan et al. (2004) juga menyatakan bahwa dalam pengelolaan DAS ada tiga model dalam Co-Manajemen pengelolaan DAS yaitu :

1) Model nested Ostrom

Dalam model ini semua kategori sumber daya alam termasuk yang bersifat common dimasukkan kedalam sistem kepemilikan. Ini berarti sumber daya alam yang sebelumnya menjadi hak ulayat masyarakat, akan terkooptasi pada regime kepemilikan jenis ini. Akibatnya, hak ulayat lenyap dan hal ini bisa menjadi penyebab semakin terancamnya tingkat pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan;

2) Model Vertical Harvard Pansacs/watershead Center Program

Dalam model ini hak kepemilikan atas sumber daya alam dibagi mengikuti hirarki administrasi pemerintahan sedemikian rupa sehingga bisa saja terjadi bahwa sumber daya alam yang bersifat common pool, yang secara ekologik perlu di bawah satu ketatalaksanaan terbagi-bagi kedalam berbagai yuridiksi. Dan ini lebih lanjut akan mengakibatkan tidak singkronnya pola tata laksana atasnya. Ini juga bukanlah tawaran yang memberi solusi, karena bisa menjadi kontraproduktif; dan

3) Model Co-Existence

(33)

syarat-syarat ekologi, dan dengan demikian mampu menjamin tingkat pemanfaatan yang berkelanjutan.

Menurut Kartodihardjo et al. (2004), terlepas dari beberapa konsep pengelolaan DAS sebagaimana yang dimaksudkan Dharmawan et al. (2004) dalam beberapa kasus, pengelolaan DAS masih terbilang lemah dan intesitas konflik antar aktor masih tinggi. Hal ini terlihat, misalnya pada kasus pengelolaan DAS di Sembilan sungai yang tersebar di empat benua dan lintas Negara. Kesembilan sungai tersebut yaitu: Mekong, Ganges-Brahmaputra,Niger, Danube, Indus, Senegal, Elbe, Colorado dan Rio Grande. Lemahnya pengelolaan DAS pada kesembilan sungai tersebut, karena masih menggunakan model ideal yang biasanya disebut sebagai kelembagaan dengan tujuan ganda yaitu berupaya memperlakukan seluruh wilayah DAS menjadi satu kesatuan, dan seluruh wilayah itu dapat mencapai keseimbangan hubungan yang adil. Pembelajaran yang bisa diambil dari kasus pengelolaan DAS di Sembilan sungai tersebut, adalah:

pertama, institusi yang dibentuk dengan kewenangan yang sangat luas dengan yurisdiksi mencakup seluruh wilayah DAS tidak selalu berhasil, misalnya di Niger. Sebaliknya, institusi yang tidak mempunyai kewenangan terhadap seluruh kawasan DAS, seperti di Mekong, justru cukup efektif dalam menjalankan pengelolaan DAS dan dalam kasus Mekong, faktor penentu keberhasilan adalah tingginya spirit kerjasama; dan kedua, pentingnya pembedaan antara struktur formal dari kerangka institusi yang dibangun dengan fungsi mereka secara de facto.

Belajar dari sistem pengelolaan yang telah berjalan di Sembilan sungai tersebut, maka model pengelolaan Co-Existence adalah model yang akan dipilih untuk penerapan pengelolaan di DAS Latuppa Kota Palopo.

Studi Terdahulu

Penelitian mengenai Pembayaran Jasa Lingkungan khususnya mengenai Pembayaran Jasa Lingkungan terhadap sumberdaya Daerah Aliran Sungai sudah mulai diterapkan dibeberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini merujuk dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan pedoman dalam melakukan penelitian.

Adapun hasil penelitian yang menjadi rujukan adalah sebagai berikut: Budhi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai konsep dan implementasi dari program PES di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa implementasi PES di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan pengguna pupuk dan pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir.

(34)

Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada pertanian mereka.

Implementasi PES telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan dan kondisi ekonomi petani yang penting untuk keberlanjutan implementasi PES. Namun ditemui beberapa hambatan dimana konsep PES masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru, karena adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Implementasi yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek pembelajaran dimana hak dan kewajiban tiap pihak dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, implementasi PES dapat di uji coba pada skala nasional.

Nurfitriani dan Nugroho (2007) melakukan penelitian jasa lingkungan di DAS Citarum. Penelitian tersebut menghitung nilai ekonomi manfaat hidrologis hutan lindung di hulu DAS Citarum yang memiliki nilai pasar sebagai dasar perhitungan nilai distribusi biaya dan manfaat di antara para penerima dan penyedia manfaat. Dari hasil penelitian ini diperoleh biaya penuh (full cost) pengadaan air yang telah memasukkan nilai lingkungan di Sub DAS Citarum Hulu sebesar Rp 25,33 milyar/tahun. Dari nilai tersebut diperoleh nilai tarif normal Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air untuk pemanfaatan PDAM dan industri sebesar Rp 273,38/m3 dan Rp 297,18/m3 dengan nilai lingkungan sebesar Rp 15,87 milyar/tahun dan Rp 5,265 milyar/tahun. Nilai tersebut menggambarkan nilai yang perlu dialokasikan kembali ke pengelola kawasan hutan di hulu DAS sebagai bentuk pembagian keuntungan dan biaya (benefit cost sharing) di antara penyedia dan penerima manfaat hidrologis hutan lindung.

(35)

3KERANGKA PEMIKIRAN

Kawasan hulu DAS Latuppa yang menjadi sumber air permukaan, sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Salah satunya dijadikan sebagai sumber

intake bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Palopo, dengan beragam pelanggan, meliputi kelompok pelanggan: Sosial, Rumah Tangga, Niaga, Industri, Instansi Pemerintah, dan satu pipa khusus. Terlihat bahwa air permukaan memberikan manfaat hidrologis yang salah satunya digunakan sebagai air bersih atau air minum yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Terkait keberadaan hubungan antara sumber air permukaan di hulu dengan para pengguna jasa lingkungan di hilir tersebut maka diperlukan adanya pendekatan penilaian pilihan kebijakan yang sebaiknya dapat diterapkan secara lokal (specific location) dengan menggunakan analisis Deskriptif dan analisis para pihak untuk mengetahui peran dan fungsi dari masing-masing pihak, sementara nilai untuk melakukan usaha rehabilitasi di daerah hulu akan didekati dengan mengestimasi nilai ekonomi air baku bagi PDAM sebagai pemanfaat jasa air. Informasi mengenai besaran nilai air tersebut akan digunakan untuk membiayai usaha rehabilitasi di hulu melalui kesanggupan membayar bagi PDAM. Untuk

masyarakat di hulu (khususnya kelompok tani To’ Buangin dan Se’pon), melalui

negosiasi akan ditawarkan untuk melakukan rehabilitasi diwilayah hulu dengan konsep kelembagaan yang mengatur tentang bagaimana mekanisme PJL ini dijalankan, siapa saja aktor yang terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air bersih.

Bagan alir kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada (Gambar 2). Pemanfaatan air permukaan sebagai air bersih yang berasal dari kawasan hulu merupakan kawasan yang dari segi lingkungan perlu dipelihara dengan baik agar berkelanjutan, sehingga diperlukan: (1) adanya langkah-langkah kebijakan dalam pengelolaan kawasan sumber air permukaan, (2) bagaimana mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang terjadi antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan, (3) serta kelembagaan yang mengatur mekanisme transaksi antara pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan dan keterlibatan para aktor dalam mekanisme pembayaran jasa tersebut agar kontiunitas pasokan air bersih dan juga kualitasnya dapat terjaga dan berkelanjutan.

(36)

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

DAS Latuppa Hulu

(Manfaat Hidrologis)

Alih Fungsi Lahan Penebangan Hutan

(Deforestasi)

 Banjir

 Erosi

 Sedimentasi

Penurunan Kuantitas air baku ditandai dengan penurunan debit air sugai Latuppa

Penurunan kualitas air baku ditandai dengan banyaknya endapan lumpur.

Rehabilitasi Lahan dan air di hulu DAS

Latuppa

Nilai ekonomi air baku bagi PDAM Kota

Palopo

Kesanggupan PDAM membayar

Analisis Skala likert (Spearman)/Rataan Skor Rataan Skor

Residual Imputation Approach

CV & Analisis Deskriptif Kualitatif

Kelembagaan Penerapan Mekanisme PES di DAS

Latuppa hulu Kesediaan K.T Untuk

Rehabilitasi lahan & air

Nilai ekonomi air baku Besaran Kompensasi

Kelembagaan untuk penerapan mekanisme

PJL

Analisis Stakeholders dan Deskriptif

(37)

4METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Latuppa hulu sebagai penyedia jasa lingkungan yaitu di Kecamatan Mungkajang dan Sendana Kota Palopo untuk wilayah hilir yang merupakan pemanfaat jasa lingkungan yaitu perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Palopo, serta Dinas Kehutanan Kota Palopo, Dinas Pertanian dan perkebunan Kota Palopo, Wallacea Kota Palopo, dan Forum DAS Paremang sebagai fasilitator. Pemilihan lokasi tersebut, atas pertimbangan keduanya dianggap sudah representatif untuk mewakili penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan untuk air bersih. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juli- Agustus 2014.

Jenis Dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden melalui wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan terstruktur kepada masyarakat hulu

khususnya kelompok tani To’buangin dan Se’pon serta stakeholders yang terlibat dalam mekanisme PJL. Sementara data sekunder diperoleh dari studi literatur dan data statistik yang berasal dari instansi-instansi terkait seperti BPDAS Saddang, Badan Pusat Statistik, Bappeda Kota Palopo, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo, PSDA Kota Palopo, dan data akuntansi keuangan dari PDAM Kota Palopo.

Metode Pengambilan Sampel

Masyarakat hulu DAS Latuppa khususnya Kecamatan Mungkajang dan Kecamatan Sendana diwakili oleh kelompok tani dari masing-masing kecamatan. Penentuan kelompok tani dalam penelitian ini dilakukan dengan metode sensus, yaitu kelompok tani To’buangin yang berada di Kecamatan Mungkajang dan

kelompok tani Se’pon yang berada di Kecamatan Sendana yang lahannya dijadikan sebagai model pembayaran jasa lingkungan di DAS Latuppa. Selanjutnya, untuk mengetahui persepsi dan pola perilaku kelompok tani dalam melakukan rehabilitasi lahan dan air dilakukan dengan metode Purposive Sampling (responden dipilih berdasarkan jarak lahan milik mereka yang berada pada lokasi pembayaran jasa lingkungan). Jumlah populasi dari kelompok tani

(38)

Palopo, Pemerintah Daerah Kota Palopo, dan PDAM Kota Palopo, dilakukan dengan metode indepth interview.

Metode Analisis Data

Pengumpulan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan penelitian. No Tujuan Penelitian Jenis & Sumber Data Teknik

Pengumpulan Data

Metode Analisis

1 Mengkaji persepsi dan pola

perilaku masyarakat dalam

melakukan konservasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa

2 Mengestimasi kontribusi nilai

ekonomi air baku bagi PDAM

membayar untuk menjaga water

catcment area di hulu agar

4 Menganalisis kelembagaan untuk

penerapan mekanisme

(39)

Analisis persepsi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan konservasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa

Analisis persepsi petani dalam melakukan rehabilitasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh respon petani terhadap pentingnya usaha rehabilitasi di hulu untuk mempertahankan water catchmen area. Data responden terkait analisis persepsi ini meliputi persepsi terhadap peran penting DAS Latuppa hulu sebagai water catchmen area (PPDL), persepsi terhadap konsekuensi dari rusakya water catchmen area di hulu (PKRW), persepsi terhadap keinginan untuk melakukan upaya rehabilitasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa (PKMK), serta persepsi terhadap pembayaran jasa lingkungan (PPJS). Responden diminta untuk memilih satu dalam lima tingkat penilaian. Skala tingkat penilaian merupakan skala likert, yaitu jenis skala yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian (fenomena sosial spesifik), seperti sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekolompok orang. Terdapat lima tingkat skala yang dipilih responden, agar hasil persepsi yang didapat lebih spesifik. Tingkat pertama merupakan penilaian terendah dan tingkat ke lima merupakan penilaian tertiggi (Bubeck et al 2012). Tabel 2. akan menjelaskan tentang lima tingkat penilaian dari masing-masing kelompok persepsi.

Tabel 2 Tingkat penilaian kelompok persepsi Tingkat Persepsi terhadap peran penting DAS

Latuppa hulu sebagai water catchmen area (PPDL)

Persepsi terhadap konsekuensi dari rusaknya water catcmen area di hulu (PKRW)

1 Sangat tidak penting Tidak memiliki konsekuensi sama sekali

2 Tidak Penting Tidak mungkin memiliki konsekuensi

3 Mungkin Penting Kemungkinan memiliki konsekuensi

4 Penting Sangat mungkin memiliki konsekuensi

5 Sangat Penting Konsekuensi yang sangat tinggi

Tingkat Persepsi terhadap keinginan untuk melakukan upaya rehabilitasi di hulu DAS Latuppa (PKMK)

Persepsi terhadap pembayaran jasa lingkungan (PPJS)

1 Tidak sama sekali Tidak penting sama sekali

2 Mungkin Tidak Agak penting

3 Mungkin akan melakukan Kemungkinan Penting

4 Sangat mungkin melakukan Penting

5 Pasti melakukan Sangat Penting

Selanjutnya pembobotan yang telah ditetapkan antara 1 hingga 5 dibuat rentang skala. Rentang skala dapat dibuat dengan rumus:

� � � =��� �ℎ � X � �

� (1)

(40)

Tabel 3 Rentang skala interpretasi hasil jawaban kuesioner Rentang Skala Pernyataan Jawaban

1,00-1,80 Sangat Tidak Setuju/Sangat Buruk/Sangat Rendah

1,81-2,60 Tidak Setuju/Buruk/Rendah

2,61-3,40 Cukup Setuju/Mungkin Penting

3,41-4,20 Setuju/Baik/Tinggi

4,21-5,00 Sangat Setuju/Sangat Baik/Sangat Penting Estimasi nilai ekonomi air baku bagi PDAM.

Estimasi nilai ekonomi air baku dalam suatu proses produksi dapat digunakan residual imputation approach (RIA- metode perhitungan nilai sisa dalam produksi). Metode RIA didekati dengan menggunakan prinsip product exhaustion theorem yang dikembangkan oleh Philip Wicksteed pada akhir abad 19 (Young 2005). Perhitungan nilai air baku bagi PDAM juga dapat didasarkan pada penetapan harga input-output. Model penilaian yang diterapkan dalam studi tersebut mengandung arti bahwa nilai air tergantung pada produktivitasnya, harga dan jumlah faktor lain yang digunakan. Penaksiran water rent dalam konsep ini pada umumnya dilakukan dengan menghitung keuntungan akhir atau sisa untuk air baku. Untuk menghitung nilai ekonomi air baku bagi PDAM, dianalisis dengan rumus sebagai berikut:

WR = TR-TC (2)

WR = Y.Py - �=1Xi. PXi (3)

Keterangan:

WR = Water Rent (contribution of water) yang merupakan perbedaan antara nilai penerimaan dari hasil pemanfaatan air bersih dalam proses produksi PDAM dan total biaya produksinya kecuali penggunaan sumberdaya air (Rp/Tahun)

TR = Total Revenue meliputi nilai produksi yang di jual, produk yang dikonsumsi, dan produk yang disimpan (Rp/Tahun)

TC = Total Cost (total biaya produksi kecuali biaya untuk air baku) mencakup biaya langsung, dan biaya tidak langsung (Rp/Tahun)

Y = Jumlah output produksi air yang dihasilkan pada tahun yang diteliti (Rp/Tahun)

Py = Harga output produksi air yang dihasilkan pada tahun yang diteliti (Rp/m3)

Xi = Jumlah input Xi yang digunakan untuk proses produksi air bersih kecuali air baku

Pxi = Harga input Xi dari proses produksi air bersih kecuali air baku (Rp/Satuan)

Mengkaji kesanggupan PDAM membayar .

(41)

dengan alokasi keuntungan perusahaan dan pemasukan untuk pemerintah Kota (Pemkot) Palopo. Nilai yang diperoleh dari pengurangan tersebut kemudian dijadikan proksi sebagai maksimum biaya yang akan dibayarkan oleh PDAM

kepada kelompok tani To’buangin dan Se’pon untuk rehabilitasi di hulu. Secara umum metode ini dapat diformulasikan sebagai berikut:

�CV = PM XM– CV1 – CV2 (4)

Dimana:

�CV = Maksimum besaran nilai kompensasi untuk masyarakat hulu PM XM = Kontribusi nilai ekonomi air baku

CV1 = Keuntungan PDAM

CV2 = Retribusi untuk pemerintah Kota Palopo

Selanjutnya dilakukan negosiasi melalui indepth interview dengan pihak PDAM, nilai yang diperoleh dari conversion value dijadikan proksi harga yang

akan dibayarkan kepada kelompok tani To’buangin dan Se’pon, untuk rehabilitasi

lahan dan air di hulu DAS Latuppa.

Analisis Kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air bersih

Analisis kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air bersih, langkah pertama dilakukan dengan menggunakan analisis para pihak. Analisis terhadap keterlibatan para pihak dilakukan untuk mengetahui peran dan fungsi dari masing-masing pihak. Keterlibatan para pihak dianalisis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Groenendjik (2003). Proses identifikasi para pihak merupakan proses awal dalam metode ini. Selanjutnya, dilakukan pengklasifikasian para pihak menjadi pihak primer dan sekunder. Pembagian ini dilakukan berdasarkan tingkat keterkaitan para pihak dengan mekanisme yang ada.

Atribut kunci dari masing-masing pihak kemudian diidentifikasi dan dianalisis. Atribut kunci yang dimaksud adalah kepentingan (interest). Selain itu, dimasukkan pula atribut lainnya yaitu pengaruh (influence) dan tingkat kepentingan (importance). Masing-masing pihak memiliki atribut yang berbeda dan dianalisis tergantung pada situasi dan tujuan analisis.

Kepentingan (interest) terhadap tujuan mekanisme merupakan atribut yang penting untuk dianalisis dari para pihak. Kepentingan ini mendukung tujuan ( apakah para pihak juga mengiginkan apa yang coba dicapai oleh mekanisme PJL) atau kebalikannya. Pengaruh (influence) adalah kewenangan para pihak untuk mengontrol keputusan apa yang dibuat, untuk memfasilitasi penerapan mekanisme PJL atau untuk menggunakan tekanan yang mempengaruhi mekanisme secara negatif. Pengaruh mungkin saja diartikan sebagai tingkatan orang, kelompok, atau organisasi yang dapat membujuk atau memaksa pihak lain dalam membuat keputusan dan mengikuti beberapa tindakan.

(42)

kepentingan para pihak yang merupakan prioritas dari mekanisme. Kepentingan dari para pihak yang diindentifikasi tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Kepentingan (interest) masing-masing pihak Kepentingan kolom potensi dampak, sedangkan kolom tingkat kepentingan relatif diisi dengan skala 0-5 berdasarkan kebijakan dan tujuan mekanisme (Groenendjik 2003).

Keberhasilan suatu mekanisme juga tergantung pada kebenaran asumsi yang dibuat oleh masing-masing pihak serta resiko yang dihadapi oleh mekanisme tersebut. Resiko-resiko tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kombinasi pengaruh dan kepentingan masing-masing pihak akan menghasilkan identifikasi asumsi dan resiko masing-masing pihak. Kombinasi tersebut dibuat pada satu diagram matriks (Gambar 3). Posisi masing-masing pihak pada suatu kuadran tertentu akan mengindikasikan resiko relatif yang mungkin ditimbulkan. Selain itu, posisi tersebut juga dapat mengindikasikan peluang kerjasama antar pihak untuk mendukung mekanisme yang ada.

High

Gambar 3 Diagram matriks kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dari masing-masing pihak

Berdasarkan matriks tersebut, kotak A, B, dan C merupakan pihak kunci yang dapat mempengaruhi mekanisme secara signifikan. Implikasi dari masing-masing kotak adalah sebagai berikut:

(43)

A. Para pihak dengan tingkat kepentingan tinggi terhadap mekanisme tetapi memiliki pengaruh yang rendah. Hal tersebut mengimplikasikan pihak-pihak tersebut memerlukan inisiatif khusus untuk melindungi kepentingan mereka.

B. Para pihak dengan tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap keberhasilan mekanisme. Untuk membentuk kerjasama efektif dalam mendukung mekanisme , sebaiknya pihak yang terlibat langsung dengan mekanisme membangun hubungan kerja dengan pihak-pihak ini.

C. Para pihak yang memiliki pengaruh tinggi tetapi tidak memiliki kepentingan terhadap mekanisme. Pihak-pihak ini dapat menjadi sumber resiko yang signifikan. Selain itu, dibutuhkan monitoring dan manajemen dengan hati-hati. Pihak-pihak ini dapat menghentikan mekanisme dan perlu diperhatikan.

Gambar

Gambar 1  Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (Sumber: Pagiola et al. 2005)
Gambar 2  Kerangka Pemikiran
Tabel 1  Pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan penelitian.
Tabel 4  Kepentingan (interest) masing-masing pihak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pembekalan merupakan salah satu persiapan yang diselenggarakan oleh lembaga UNY. Kegiatan ini wajib diikuti oleh calon peserta PPL. Materi yang disampaikan

McMahill,C.(2001)Self-expression,gender,andcommunity=AJapanesefeminist Englishclass,APavlenko,et.Al(Eds,),M堀 観 伽g%α 傭 窺,sθoon4」 ㈱g瓢861gα 規 伽g,

c) Kamera: untuk memotret kalau peneliti sedang melakukan pembicaraan dengan informan/ sumber data. Dalam penelitian ini teknik wawancara dipergunakan untuk mengadakan

Persamaan diferensial adalaha persamaan matematika untuk sebuah fungsi yang tidak diketahui dengan satu atau beberapa variable yang berhubungan dengan fungsi

Apabila pada spesifikasi teknis ini disebutkan nama pabrik/merk dari satu jenis bahan/komponen material, maka kontraktor harus mengajukan bahan/material yang akan

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa: terdapat kontribusi kekuatan otot lengan terhadap kemampuan melakukan service flat pada atlet tenis lapangan club

Bagi Istri yang mempunyai suami gangguan jiwa : Memberikan Pengetahuan mengenai kebahagiaan serta faktor-faktor yang mempengaruhi, supaya mampu meraih kebahagiaan meski

[r]