• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kampus IPB Darmaga merupakan salah satu dari lima kampus milik Institut Pertanian Bogor (IPB). Luas keseluruhan Kampus IPB Darmaga adalah 270 Ha, di dalamnya telah berdiri antara lain gedung rektorat, gedung-gedung fakultas (Pertanian, Kedokteran Hewan, Perikanan dan Ilmu Kelautan, Peternakan, Kehutanan, Teknologi Pertanian, MIPA, Ekonomi dan Manajemen, Ekologi Manusia) dan gedung-gedung pusat penelitian-pengembangan dan pusat kegiatan belajar-mengajar untuk Strata-1, 2 dan 3. Di kampus ini tersedia pula sejumlah fasilitas sosial dan fasilitas umum, seperti klinik kesehatan, rumah sakit hewan, wisma tamu, pusat kegiatan mahasiswa, asrama mahasiswa, gedung olah raga, plaza akademik, bank, ATM, dan kantor pos mobile.

Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari Kampus IPB Darmaga melakukan pengolahan sendiri air sungai menjadi air bersih untuk keperluan kebersihan dan juga dipakai untuk memasak. Pengolahan air dilakukan di water

treatment plant (WTP) Cihideung. Air sungai yang diolah berasal dari Sungai

Cihideung yang melintasi kampus yang juga merupakan salah satu sungai yang mengalir sepanjang Kabupaten Bogor. Hulu sungai ini terletak di kaki Gunung Salak dan bermuara di Sungai Cisadane. Sungai Cihideung saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai keperluan seperti sumber air minum, sumber air baku bagi tempat pengolahan air di Kampus IPB Darmaga, MCK, irigasi, perikanan, media pembuangan limbah rumah tangga, industri rumah tangga, perladangan dan persawahan.

Air merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk dikonsumsi maupun digunakan untuk kepentingan lain. Namun, air bersih semakin sedikit persediaannya karena banyak sumber daya air yang tercemar. Pencemaran air terjadi karena manusia yang melakukan aktivitas produksi dan konsumsi sering membuang limbah secara sembarangan ke dalam

(2)

24

saluran air. Kemudian air tercemar mengalir ke parit, sungai dan akhirnya mencapai laut sebagai tempat pembuangan akhir.

Pengolahan air sungai yang telah tercemar berbagai limbah menjadi air bersih sangat diperlukan dalam menentukan kualitas air. Menurut Sittig (1974)

dalam Indriani (2002), proses penanganan limbah cair terdiri dari empat tahap

yaitu tahap pendahuluan (pre treatment), tahap penanganan primer (primary

treatment), tahap penanganan sekunder (secondary treatment), dan tahap

penanganan tersier (tertiary treatment). Tahap pendahuluan (pre treatment) bertujuan untuk menghilangkan padatan terapung, padatan anorganik, dan minyak. Tahap penanganan primer (primary treatment) bertujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi yang mencakup proses separasi, equalisasi, netralisasi, sedimentasi, koagulasi dan flokulasi, serta penambahan nutrien. Tahap penanganan sekunder (secondary treatment) bertujuan untuk menghilangkan padatan organik dengan menggunakan lumpur aktif, kolam aerasi (aerated lagoons), dan oksidasi kimia. Tahap penanganan tersier (tertiary

treatment) bertujuan untuk memperbaiki kualitas efluen hingga memenuhi syarat

ambang batas yang mencakup proses presipitasi kimia, adsorpsi karbon, pertukaran ion, dan osmosis balik.

4.2 Proses Pengolahan Air di WTP Cihideung

Di dalam air baku terkandung bahan pencemar, kandungan mineral, bahan-bahan penyebab kekeruhan dan mikroba. Hal ini akan membahayakan kesehatan manusia, oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan secara lengkap untuk mengurangi atau menghilangkan bahan-bahan pencemar yaitu dengan melakukan koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi dan desinfeksi. Kegiatan pengolahan air baku di Kampus IPB Darmaga dapat dilihat pada skema proses pengolahan air bersih yang disajikan pada Gambar 4 di bawah ini:

(3)

25

Gambar 4 Skema proses pengolahan air baku di WTP Cihideung Proses pengolahan air baku di WTP IPB Cihideung meliputi : 1. Penyaringan awal (intake)

Bak intake merupakan suatu unit bangunan persegi yang berfungsi untuk

menampung air dari sumber air Sungai Cihideung. Bak intake yang terdapat di WTP IPB Cihideung terdiri dari dua buah bak dengan ukuran 3 x 3 x 3 m3. Setelah penampungan dilakukan penyaringan pada air baku. Tujuan penyaringan adalah untuk :

a. Menahan benda-benda kasar seperti potongan kayu, sampah, plastik dan benda-benda lainnya.

b. Menghilangkan kotoran yang terapung seperti alga.

c. Mengurangi kadar kandungan lumpur dan pasir yang berukuran halus. d. Mencegah penyumbatan pada pipa dan perusakan pompa.

Bak intake dilengkapi dengan saringan kasar ukuran 10 x 10 cm, saringan

halus dengan ukuran 5 x 5 cm, saringan sangat halus 1 x 1 cm. Saringan kasar berfungsi untuk menyaring benda-benda kasar, sedangkan saringan halus berfungsi untuk menyaring benda-benda yang lolos setelah melewati saringan kasar.

(4)

26

2. Koagulasi, flokulasi dan sedimentasi

Proses koagulasi dilakukan dengan menyuntikkan bahan koagulan ke dalam aliran air baku. Pengadukan cepat dimungkinkan karena adanya sistem pengaduk statis yang ditempatkan persis setelah titik injeksi koagulan. Pengadukan lambat terjadi di sepanjang pipa menuju unit koagulasi/flokulasi dan di sebagian tangki unit tersebut. Selanjutnya flok yang terbentuk dipisahkan dalam bagian sedimentasi yang dilengkapi dengan lamella. Air yang bebas dari flok mengalir melalui mekanisme overflow menuju ke bagian penampungan air sebelum dipompa ke unit filtrasi. Lumpur yang terbentuk diaduk dengan menggunakan efek hidrodinamis dari aliran air masuk. Kelebihan lumpur dibuang secara periodik melalui kran pembuangan lumpur.

Koagulan yang dipakai sekarang ini untuk WTP Cihideung adalah poly

aluminium chloride (PAC) sebanyak 14 kg per hari yang dilarutkan terlebih

dahulu dengan 200 l air. Sedangkan alum (tawas) sebanyak 25-35 kg per 3 hari dipakai untuk WTP Ciapus koagulan ini juga dilarutkan terlebih dahulu dengan 200 l air dalam tangki koagulan.

3. Filtrasi

Penghilangan partikel yang tidak dapat dipisahkan melalui proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi, yaitu partikel yang berukuran sangat kecil dilakukan dengan filtrasi. Unit filtrasi dirancang sesuai dengan sistem filtrasi bertekanan, dimana air dari tahapan proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi dipompa secara kontinyu melewati lapisan filter.

Masing-masing modul instalasi WTP Cihideung dilengkapi dengan 3 unit filtrasi dengan diameter 1,5 m, tinggi filter 1,3 m dan luas permukaan 1,77 m2/unit atau 5,3 m2/modul. Sebagai bahan filter adalah pasir kuarsa, pasir dan kerikil. Masing-masing unit filter memiliki kapasitas operasi rata-rata 10 m3/jam atau setara dengan laju filtrasi sebesar 1,6 l/det. Pembersihan filter dilakukan dengan pencucian balik (back washing) sekali sehari selama 2 jam. Pencucian dilakukan dengan laju sebesar 4,7 l/det, sehingga untuk keperluan sekali pencucian filter diperlukan air bersih sebanyak 60 m3/modul atau 240 m3/hari.

(5)

27

Kualitas hasil filtrasi sangat dipengaruhi oleh kualitas proses sebelumnya, terutama proses sedimentasi. Semakin rendah kualitas hasil sedimentasi, semakin cepat terbentuknya resistensi dalam filter. Keterlambatan untuk meningkatkan tekanan pada unit filtrasi, menyebabkan meningkatnya kehilangan air melalui

overflow pada unit sedimentasi.

4. Desinfeksi

Desinfeksi bertujuan untuk mendestruksi mikroorganisme patogen (mikroorganisme penyebab penyakit). Desinfektan yang digunakan adalah kaporit. Kebutuhan kaporit saat ini adalah 1 kg/hari per modul. Desinfeksi dilakukan dengan menginjeksikan larutan kaporit (4 kg/200 l) ke dalam aliran air hasil olahan.

5. Penampungan air di reservoir

Reservoir merupakan tempat penyimpanan air bersih sebelum

didistribusikan ke konsumen. Adapun suatu reservoir mempunyai fungsi sebagai tempat penyimpanan untuk melayani kebutuhan fluktuasi per jam karena pemakaian air tidak sama antara 1 jam pertama dengan jam lainnya dan pemerataan air dan tekanannya akibat variasi pemakaian daerah distribusi.

Bangunan reservoir di WTP IPB Cihideung masing-masing berkapasitas

450 m3 (reservoir plant) serta 300 m3 dan 500 m3 (ground reservoir). Bangunan

reservoir ini berbentuk persegi panjang. Air bersih yang telah ditampung dalam reservoir akan didistribusikan ke menara-menara air, yaitu menara air Fapet

dengan kapasitas 450 m3 dan menara air Fahutan dengan kapasitas 850 m3. Selanjutnya air bersih tersebut akan dialirkan ke para pengguna air seperti yang tersaji pada Gambar 5.

(6)

28

Gambar 5 Skema sistem transmisi air bersih dari WTP Cihideung

4.3 Kualitas Air Sungai Cihideung

Hasil analisis kualitas air di perairan Sungai Cihideung menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Cihideung telah tercemar secara kimia dan biologi. Namun demikian parameter-parameter fisika yang diteliti disini memperlihatkan nilai yang berada dibawah baku mutu yang ditetapkan dalam PP No. 82 Tahun 2001 untuk semua kelas. Tercemarnya perairan Sungai Cihideung tersebut diduga ada kaitannya dengan berbagai macam aktivitas kegiatan manusia yang dilakukan di sepanjang Sungai Cihideung seperti adanya kegiatan pertanian, perikanan, industri, perbengkelan, dan rumah tangga.

Berdasarkan hasil analisis terhadap rata-rata kualitas air (Tabel 5) terlihat bahwa parameter kualitas air yang telah melampaui baku mutu untuk semua kelas adalah BOD dan COD. Nilai BOD berkisar antara 20 – 28 mg/l dengan nilai rata-ratanya 24 mg/l, dengan nilai tertinggi berada pada stasiun 5. Paling tingginya nilai BOD di stasiun 5 diduga karena banyaknya buangan limbah dari

(7)

29

permukiman penduduk, limbah perikanan dan buangan yang terbawa arus dari stasiun sebelumnya. Hal ini diperkuat dari hasil pengamatan penulis yang memperlihatkan terdapatnya kegiatan perikanan dan relatif padatnya permukiman di stasiun 5. Nilai COD yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 59 - 69,3 mg/l dengan nilai rata-ratanya 64,4 mg/l. Nilai COD tertinggi terdapat pada stasiun 2, hal ini diduga karena di lokasi ini terdapat banyak kegiatan yang menyumbang limbah ke Sungai Cihideung, antara lain terdapat pondok pesantren, kegiatan perikanan, dan kegiatan peternakan ayam yang membuang limbahnya langsung ke Sungai Cihideung. Tercemarnya kondisi perairan di stasiun 2 ini juga terlihat secara kasat mata dari perairannya yang agak keruh.

Konsentrasi parameter lain yang telah melebihi baku mutu untuk semua kelas adalah unsur besi yang nilainya berkisar 0,295 – 0,625 mg/l dengan nilai konsentrasi rata-rata adalah 0,518 mg/l. Konsentrasi tertinggi terjadi pada stasiun 3. Hal ini diduga karena di lokasi tersebut terdapat pabrik kecap yang banyak menghasilkan limbah dan limbah tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung membuangnya ke Sungai Cihideung. Tingginya unsur besi yang terjadi di stasiun 5 diduga berasal dari sisa buangan bengkel besi yang terbawa dari stasiun 4.

Hasil analisis untuk parameter biologi yakni fecal coliform, menunjukkan bahwa di seluruh stasiun telah menunjukkan nilai yang sudah melampaui baku mutu untuk kelas I dan II, dengan nilai berkisar 66,66 – 1800 jml/100 ml dengan rata-rata 673,26 jml/100 ml. Nilai fecal coliform tertinggi berada pada stasiun 2, hal ini disebabkan di lokasi tersebut terdapat banyak permukiman penduduk dan terdapat pondok pesantren. Nilai fecal coliform terkecil terjadi pada stasiun 1 yang secara kasat mata memperlihatkan bahwa kondisi sungai di stasiun ini masih jernih. Hal ini terjadi karena kondisi stasiun 1 yang relatif jauh dari rumah penduduk.

Berdasarkan nilai-nilai yang telah disebutkan diatas, secara umum memperlihatkan bahwa hasil analisis kualitas air di Sungai Cihideung masih layak dipergunakan sebagai bahan baku pengolahan air di Kampus IPB karena

(8)

30

air bersih hasil pengolahan air dari WTP Cihideung memperlihatkan nilai yang masih berada dibawah Kepmenkes No. 907 Tahun 2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air (Tabel 10). Untuk nilai fecal coliform yang masih berada di atas kepmenkes, diduga karena pemakaian desinfektan dari penjernihan air yang kurang mencukupi.

Konsentrasi polutan tertinggi umumnya terjadi di stasiun 2 yaitu di Desa Cihideung Udik. Hal ini terjadi karena sampel diambil tepat di belakang pondok pesantren. Selain hal tersebut di lokasi ini juga terdapat peternakan ayam dan perikanan, serta terdapat banyak perumahan penduduk (permukiman) yang membuang limbahnya ke Sungai Cihideung. Untuk lebih jelasnya konsentrasi polutan di semua stasiun penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil analisis rata-rata kualitas air Sungai Cihideung Bogor No. Parameter Satuan Baku Mutu Lokasi Pengambilan Sampel

Kelas

I Kelas II Kelas III Kelas IV Sta 1 Sta 2 Sta 3 Sta 4 Sta 5 Rata-rata

A Fisika

1. Suhu oC dev 3 dev 3 dev 3 dev 5 26,6 27,3 28 28 28 27,58

2. Kekeruhan (NTU) - - - - 3,3 6,6 5,3 4,3 8,6 5,62 3. Warna PtCo - - - - 17,3 26 25 22 45 27,06 4. Padatan tersuspensi (TSS) mg/l 50 50 400 400 10,6 17,3 10,6 15,3 12 13,16 B Kimia 5. pH - 6-9 6-9 6-9 5-9 6,3 6,3 6,2 6,3 6,4 6,3 6 BOD mg/l 2 3 6 12 23 24,3 20 24,7 28 24 7. COD mg/l 10 25 50 100 59 69,3 62 64 67,7 64,4 8. Nitrat mg/l 10 10 20 20 4,5 6,7 9,3 11,5 10,7 8,54 9. Nitrit mg/l 0.06 0.06 0.06 0.06 0.015 0,016 0,06 0,059 0,032 0,033 10. Amoniak mg/l 0.5 (-) (-) (-) 0,166 0,222 0,333 0,288 0,277 0,257 11. Timbal mg/l 0.03 0.03 0.03 1 0,033 0,03 0,031 0,03 0,03 0,031 12. Besi mg/l 0.3 (-) (-) (-) 0,295 0,460 0,629 0,581 0,625 0,518 C Biologi 13 Fecal Coliform (E.coli) Jml/100 ml 100 1000 2000 2000 66,66 1800 300 733 466,66 673,26 4.3.1 Parameter Fisika 4.3.1.1 Suhu Air

Hasil pengukuran suhu yang dilakukan pada lima stasiun pengamatan dengan tiga kali ulangan nilai suhu air rata-ratanya dapat dilihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat bahwa rata-rata suhu stasiun 1, 2, 3, 4 dan 5 memperlihatkan simpangan baku yang bervariasi pada setiap stasiun. Simpangan paling tinggi terjadi pada stasiun 3, 4 dan 5. Tingginya simpangan baku di ketiga

(9)

31

stasiun tersebut terjadi karena di stasiun 3 terdapat pabrik kecap yang membuang limbahnya ke Sungai Cihideung, di stasiun 4 terdapat bengkel dan pengolahan besi serta di stasiun 5 terdapat permukiman. Kegiatan tersebut membuang limbahnya ke Sungai Cihideung. Dari hasil wawancara dengan karyawan di pabrik kecap, di bengkel, dan pengolahan besi serta penduduk yang ada di permukiman, memperlihatkan bahwa seluruh kegiatan tersebut tidak membuang limbahnya pada waktu yang rutin, padahal limbah tersebut harus diuraikan. Pada saat terjadi penguraian terdapat panas yang dikeluarkan ke lingkungan, dari hasil penguraian tersebut akan dihasilkan panas. Namun demikian dengan adanya pengeluaran limbah yang tidak rutin, menyebabkan adanya variasi suhu.

Su h u   oC 24,50 25,00 25,50 26,00 26,50 27,00 27,50 28,00 28,50 29,00 29,50 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 6 Hasil analisis simpangan baku suhu air Sungai Cihideung Hasil pengamatan terhadap suhu pada ulangan 1, 2 dan 3 pada setiap stasiun memperlihatkan nilai yang bervariasi. Panas terendah terjadi pada stasiun 1 (Ulangan 1) yaitu di Desa Situ Daun yang merupakan hulu Sungai Cihideung sebesar 26oC, sedangkan suhu tertinggi ada pada stasiun 3, stasiun 4, dan stasiun 5 (Ulangan 3) sebesar 29oC. Suhu tertinggi pada ulangan 3 karena pengambilan sampel dilakukan pada saat menjelang siang hari. Sedangkan pada ulangan 1 diambil pada waktu sore hari. Selain itu topografinya juga akan mempengaruhi suhu sungai, suhu di daerah hulu yang topografinya lebih tinggi umumnya lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di daerah bagian hilir (Nybakken, 1992). Gambar 7 menunjukkan hasil pengukuran suhu air (oC) Sungai Cihideung Bogor.

(10)

32

Gambar 7 Hasil pengukuran suhu air (oC) Sungai Cihideung Bogor

Tingginya suhu di lokasi penelitian ada kaitannya dengan cahaya matahari. Dalam hal ini cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan. Di perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangbiakan organisme perairan (Odum, 1993), sehingga dilihat dari suhunya perairan Sungai Cihideung sangat mendukung kehidupan yang ada didalamnya.

Kisaran suhu ini sesuai dengan keadaan yang terdapat di perairan Sungai Cihideung yaitu pada bulan Juni hingga Agustus merupakan musim kemarau dengan minimnya curah hujan dan intensitas penyinaran matahari masih tinggi yang diperlihatkan dari Tabel 6 tentang data curah hujan tahun 2009 dan curah hujan rata-rata 10 tahun terakhir. Suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3 dan NH3N terhadap hewan akuatik. Sumber utamanya berasal dari sampah dan limbah yang mengandung bahan organik protein.

24 25 26 27 28 29 30

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 stasiun  Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 S u hu ( o C) Stasiun Pengamatan

(11)

33

Tabel 6 Data curah hujan tahun 2009 dan rata-rata tahun 1999-2008 untuk wilayah Cihideung

Bulan Curah hujan (mm)

Tahun 2009 Curah hujan (mm) rata-rata Tahun 1999-2008

Januari 278,0 331,2 Februari 302,0 333,3 Maret 199,0 215,7 April 246,0 302,3 Mei 230,0 253,8 Juni 238,0 177,7 Juli 203,0 161,4 Agustus 41,0 147,3 September 298,0 198,7 Oktober 365,0 252,4 November 528,0 366,4 Desember 428,0 269,5 Sumber : BMG Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor, 2010

4.3.1.2 Warna dan Kekeruhan

Hasil pengukuran warna yang dilakukan pada lima stasiun pengamatan dengan tiga kali ulangan, nilai rata-ratanya dapat dilihat pada Gambar 8. Pada gambar tersebut terlihat bahwa simpangan baku yang terbesar terdapat pada stasiun 2 dan 5. Hal ini terjadi karena pada stasiun 2 dan stasiun 5 terdapat kegiatan perikanan, peternakan dan permukiman yang membuang limbahnya ke Sungai Cihideung, sehingga akan menyumbang limbah organik yang berasal dari sisa pakan ikan dan ternak serta dari limbah rumah tangga yang cukup tinggi. Pembuangan limbah dari kegiatan-kegiatan tersebut tidak dilakukan dalam waktu yang rutin, sehingga menyebabkan adanya variasi warna.

(12)

34 War na  (P tC o ) ‐10,00 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 8 Hasil pengukuran simpangan baku warna (PtCo) air Sungai Cihideung Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap warna menunjukkan bahwa pada ulangan 1 warna berkisar 18 – 59 PtCo, pada ulangan 2 warna berkisar pada 10 – 89 PtCo, dan pada ulangan 3 warna berkisar pada 0 – 21 PtCo. Nilai warna tertinggi terdapat pada stasiun 5 ulangan 2. Hal ini erat kaitannya dengan keberadaan stasiun tersebut, yakni di lokasi yang banyak kegiatan menunjukkan nilai warna yang tinggi. Pengambilan sampel ulangan ke-2 dilakukan pada waktu sore hari setelah adanya aktivitas di pagi hari. Hal ini sejalan dengan pernyataan Alaert dan Santika (1984) yang menyatakan bahwa warna dalam air disebabkan oleh adanya ion-ion metal alam (besi dan mangan), humus, plankton, tanaman air dan buangan industri. Warna air biasanya dihilangkan terutama sekali untuk penggunaan air industri dan air minum. Kualitas air bersih yang diperoleh dari WTP Cihideung (Tabel 10) menunjukkan bahwa nilai warna adalah 0. Hasil pengukuran warna selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 9. Warna juga berkaitan dengan kekeruhan yang gambar grafiknya dapat dilihat pada Gambar 11.

(13)

35 0 20 40 60 80 100

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

Gambar 9 Hasil analisis warna (PtCo) air Sungai Cihideung Bogor

Hasil pengukuran kekeruhan yang dilakukan pada lima stasiun pengamatan dengan tiga kali ulangan nilai rata-ratanya dapat dilihat pada Gambar 10. Pada Gambar 10 terlihat bahwa simpangan baku yang terbesar terjadi pada stasiun 2 dan 5, sama seperti simpangan baku warna. Kondisi ini terjadi karena adanya ketidakrutinan pembuangan limbah.

Ke ke ruha n  (N TU ) ‐5,00 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00

1

2

3

4

5

Stasiun

Gambar10 Hasil simpangan baku nilai kekeruhan (NTU) air Sungai Cihideung

Warna (PtCo)

(14)

36 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

Hasil analisis yang dilakukan terhadap kekeruhan menunjukkan ulangan 1 kekeruhan berkisar 3 – 16 NTU, ulangan 2 kekeruhan berkisar pada 2 – 16 NTU, dan ulangan 3 kekeruhan berkisar pada 0 – 5 NTU. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 2 ulangan 1 dan stasiun 5 ulangan 2, yang dapat dilihat pada Gambar 11. Hal ini disebabkan pada stasiun 2 terdapat perikanan dan peternakan ayam, dan karena saat pengambilan sampel dilakukan pada siang hari, diduga akan lebih banyak masukan limbah rumah tangga dari pondok pesantren dan buangan perternakan ayam karena kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada siang hari. Demikian juga dengan stasiun 5 limbahnya diduga berasal dari limbah buangan rumah tangga, sedangkan pada stasiun 4 diduga berasal dari sisa-sisa buangan bengkel. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wardoyo (1975) yang menyatakan bahwa kekeruhan merupakan ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel dan suspensi dari suatu bahan pencemar, antara lain berupa bahan organik dan anorganik dari buangan industri, rumah tangga, peternakan, serta sebagainya yang terkandung dalam perairan.

Gambar 11 Hasil analisis kekeruhan (NTU) air Sungai Cihideung Bogor

Stasiun Pengamatan

Kekeruha

n (N

(15)

37

4.3.1.3 Padatan Tersuspensi Total (TSS)

Nilai rata-rata padatan tersuspensi total (TSS) dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 12. Hasil pengukuran ini memperlihatkan tingginya simpangan baku untuk TSS terutama stasiun 5, 2, dan 4. Hal ini terjadi karena di stasiun 5 terdapat banyak permukiman penduduk yang membuang limbah organik, pada stasiun 2 terdapat pembuangan limbah dari peternakan dan perikanan yang terdiri dari sisa pakan, dan pada stasiun 4 limbah domestik dari permukiman penduduk yang ada di sekitar Sungai Cihideung. Pembuangan limbah ini tidak terjadi pada waktu yang rutin, sehingga simpangan baku di ketiga stasiun tersebut tinggi.

TS (m g/ l) 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 12 Hasil pengukuran simpangan baku TSS (mg/l) air Sungai Cihideung Berdasarkan hasil analisis TSS air Sungai Cihideung menunjukkan bahwa nilai TSS pada ulangan 1 berkisar 14 – 24 mg/l, ulangan 2 berkisar 8 – 12 mg/l, dan ulangan 3 berkisar 6 -16 mg/l. (Gambar 13). Hasil analisis TSS air Sungai Cihideung tertinggi terdapat pada stasiun 2 ulangan 1 sebesar 24 mg/l. Hasil tersebut masih dibawah batas ambang baku mutu air Kelas I yang telah ditetapkan melalui PP No. 82 Tahun 2001. Kondisi ini terjadi dan diduga karena banyaknya limbah penyumbang TSS di lokasi penelitian yang didominasi dari limbah yang berasal dari kegiatan budidaya perikanan dan peternakan ayam.

(16)

38 0 5 10 15 20 25 30

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

Gambar 13 Hasil analisis TSS (mg/l) air Sungai Cihideung Bogor

Kegiatan peternakan merupakan penghasil limbah organik berupa kotoran hewan dan sisa pakan yang masuk ke badan air sungai. Walaupun sebagian besar limbahnya tergolong limbah padat, tetapi saluran drainase dari kegiatan peternakan akan membawa limbah cair organik dengan kandungan zat tersuspensi yang tinggi. Di samping itu, limbah ternak dapat merupakan sumber nitrogen dan fosfor yang dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi pada badan air. Keadaan ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan ekologis dan bahkan dapat menyebabkan kematian biota perairan serta merusak estetika perairan. Hal ini sesuai dengan Sastrawijaya (2000) bahwa TSS dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan serta limbah industri. Erosi tanah akibat hujan lebat dapat mengakibatkan naiknya nilai TSS secara mendadak bentuk padatan terlarut. Dalam hal ini aliran sungai pada saat dilakukan pengambilan sampel di stasiun 2 ulangan 1 juga memperlihatkan adanya nilai kekeruhan yang tinggi (Gambar 11).

Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 μm. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TSS adalah

T S

S (

mg/l

)

(17)

39

bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh air buangan sering mengandung molekul sabun, deterjen dan surfaktan yang larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian.

4.3.2 Parameter Kimia 4.3.2.1 pH

Nilai rata-rata pH dari kelima stasiun dapat dilihat pada Gambar 14. Simpangan baku untuk pH (Gambar 14) memperlihatkan stasiun 2 dan stasiun 3 memiliki nilai yang tinggi. Hal ini diduga ada kaitannya dengan jenis kegiatan yang ada pada stasiun tersebut yang membuang limbah organik dalam jumlah banyak sehingga mengakibatkan penguraiannya tinggi. Hasil penguraian tersebut adalah CO2, yang akan mengakibatkan pH perairan menurun secara drastis.

pH 5,00 5,20 5,40 5,60 5,80 6,00 6,20 6,40 6,60 6,80 7,00 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 14 Hasil pengukuran simpangan baku pH air sungai Cihideung Hasil pengukuran pH air Sungai Cihideung menunjukkan nilai pH air terendah seperti yang disajikan dalam Gambar 15 terdapat pada stasiun 2 ulangan 3 sebesar 5,7 dan tertinggi pada ulangan 2 untuk semua stasiun kecuali stasiun 1 sebesar 6,7. Pada ulangan 1 didapat nilai pH berkisar 5,9 – 6,5, ulangan 2 didapat nilai pH berkisar 6,5 – 6,7 dan ulangan 3 nilai pH berkisar 5,7 – 6,4. pH terendah diakibatkan dari buangan rumah tangga termasuk MCK yang terdapat pada stasiun 2, sisa buangan ini diduga membawa bahan organik yang nantinya akan didekomposisi oleh mikroorganisme akuatik. Proses ini mengambil oksigen yang berada di perairan dan mengeluarkan karbondioksida.

(18)

40 5,20 5,40 5,60 5,80 6,00 6,20 6,40 6,60 6,80

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

Ambang batas pH untuk baku mutu air menurut PP No. 82 Tahun 2001 adalah 6 – 9. Jika dibandingkan dengan baku mutu ini maka rata-rata keadaan perairan saat penelitian berada dalam keadaan baik, dalam arti masih dalam batas toleransi kehidupan organisme air.

Gambar 15 Hasil pengukuran pH air Sungai Cihideung Bogor

Nilai pH air sungai mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Dari aktivitas biologi dihasilkan gas CO2 yang merupakan hasil respirasi, gas CO2 inilah yang membentuk ion buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod, 1973).

Peningkatan keasaman air (pH rendah) umumnya disebabkan limbah yang mengandung asam-asam mineral bebas dan asam karbonat. Keasaman tinggi (pH rendah) juga dapat disebabkan adanya FeS2 dalam air, yang jika bereaksi dengan udara dan air akan membentuk H2SO4 dan ion Fe2+ (larut dalam air). Air bersifat katalis (pH tinggi) disebabkan adanya karbonat, bikarbonat, dan atau hidroksida. Apabila nilai pH air kurang dari 5.0 atau lebih besar dari 9.0 maka perairan itu sudah tercemar berat sehingga kehidupan biota air akan terganggu dan tidak layak digunakan untuk keperluan rumah tangga (Manik, 2007).

pH

(19)

41

4.3.2.2 Biochemical Oxygen Demmand (BOD)

Rata-rata nilai BOD kelima stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai simpangan baku BOD juga menunjukkan variasi paling tinggi pada stasiun 1 yang di dalamnya terdapat kegiatan pertanian. Diduga pembuangan limbah pertanian tinggi sekali terutama pada saat menyiangi tanaman, pemberian pupuk, dan pada saat panen. Namun kegiatan tersebut tidak rutin dilakukan, sehingga simpangan baku di stasiun 1 tinggi.

BO D  (m g/ l) 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 16 Hasil pengukuran simpangan baku BOD (mg/l) air Sungai Cihideung Parameter BOD secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke hilir (muara). Hasil penelitian seperti disajikan dalam Gambar 17 menunjukkan bahwa pada stasiun 1 sampai stasiun 5 nilai BOD Sungai Cihideung mengalami fluktuasi. Nilai tertinggi BOD terdapat pada stasiun 5 ulangan 2 sebesar 35 mg/l, dan nilai terendah BOD terdapat pada stasiun 1 ulangan 3 sebesar 14 mg/l. Nilai BOD tertinggi disebabkan oleh karena menumpuknya limbah organik terutama yang berasal dari limbah domestik dan juga limbah bengkel motor yang terdapat pada stasiun 4. Nilai BOD terendah diduga sebagai implikasi dari relatif baiknya proses dekomposisi bahan organik yang dioksidasi oleh mikroba.

Pada musim kemarau nilai BOD cenderung lebih tinggi dibandingkan pada musim penghujan. Kondisi ini disebabkan oleh karena adanya pengaruh

(20)

42 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

pengenceran pada musim penghujan yang ditunjukkan dengan debit aliran air yang relatif besar. Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz, 1992). Jika dibandingkan dengan PP Nomor 82 Tahun 2001 analisis BOD air Sungai Cihideung telah melewati ambang batas baku mutu air yang telah ditetapkan, baik kriteria kualitas air Kelas I, Kelas II, Kelas III dan Kelas IV.

Gambar 17 Hasil analisis BOD (mg/l) air Sungai Cihideung Bogor

4.3.2.3 Chemical Oxygen Demmand (COD)

Nilai rata-rata COD pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 18, dengan nilai simpangan baku yang relatif sama untuk semua stasiun.

CO D  (m g/ l) 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 18 Hasil pengukuran simpangan baku COD (mg/l) air Sungai Cihideung

Stasiun Pengamatan

BOD

(mg/

l)

(21)

43 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

Kebutuhan oksigen kimia (COD) adalah ukuran banyaknya oksigen total dalam satuan milligram per liter yang diperlukan dalam proses oksidasi kimia bahan organik dalam limbah. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan oksigen kimia (COD) air Sungai Cihideung Bogor diketahui bahwa nilai COD pada ulangan 1 berkisar 60-78 mg/l, ulangan 2 berkisar 60 – 78 mg/l, dan ulangan 3 berkisar 49-68 mg/l. Nilai konsentrasi COD tertinggi dari semua ulangan terdapat pada stasiun 2 ulangan 1 dan stasiun 5 ulangan 2 (Gambar 19). Besarnya nilai COD disebabkan karena aktivitas kegiatan perikanan dan peternakan dan rumah tangga yang menghasilkan limbah cair bahan organik yang dibuang ke perairan Sungai Cihideung yang relatif sulit diuraikan secara biologi sehingga harus diuraikan secara kimia, sedangkan daerah hulu relatif lebih kecil pembuangan bahan organik.

Berdasarkan hasil pengukuran diketahui pula bahwa nilai COD perairan Sungai Cihideung lebih besar dibandingkan nilai BOD. Hal ini berarti bahwa jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan dengan oksidasi secara biologi (Saeni, 1989). Fardiaz (1992) juga menyatakan bahwa uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen lebih tinggi daripada uji BOD, karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.

Gambar 19 Hasil analisis COD (mg/l) air Sungai Cihideung Bogor

Stasiun Pengamatan

COD (mg

/l

(22)

44

4.3.2.4 Nitrat (NO3-N)

Nitrat adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan sebuah senyawa stabil dan merupakan nutrien yang sangat diperlukan bagi organisme nabati perairan. Namun demikian apabila konsentrasinya sangat tinggi dapat menyebabkan eutrofikasi dan merangsang pertumbuhan biomassa ganggang

(algae) tertentu yang tidak terkendali (blooming).

Nilai rata-rata nitrat dapat dilihat pada Gambar 20 dengan simpangan baku menunjukkan nilai yang bervariasi untuk stasiun 2 dan stasiun 5. Variasinya nilai nitrat ini diduga berkaitan dengan jenis kegiatan yang ada pada stasiun 2 dan stasiun 5 yaitu peternakan, perikanan dan permukiman penduduk yang membuang limbahnya secara tidak rutin.

Ni tr a (m g /l) ‐2,00 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 20 Hasil pengukuran simpangan baku nitrat air Sungai Cihideung Konsentrasi nitrat pada ulangan 1 berkisar 0,035 mg/l – 10,05 mg/l, ulangan 2 berkisar 3,51 mg/l – 9 mg/l, dan ulangan 3 berkisar 8,77 mg/l – 16,85 mg/l (Gambar 21). Bila dibandingkan dengan PP No. 82 Tahun 2001 semua stasiun pemantauan ada yang memenuhi baku mutu yaitu dibawah 10 mg/l. Konsentrasi nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 5 dan stasiun 4 ulangan 3, hal ini disebabkan karena bahan organik yang masuk dari stasiun 2 kemudian diuraikan menjadi bahan anorganik yang menyebabkan konsentrasi nitrat di stasiun 4 dan stasiun 5 lebih tinggi. Konsentrasi tertinggi terjadi pada ulangan 3,

(23)

45 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 dan sebaran nilai nitrat yang tidak jauh berbeda pada setiap stasiun diduga karena terlalu banyak akumulasi limbah yang berasal dari manusia seperti pertanian, sisa metabolisme dari kegiatan budidaya dan kegiatan mandi, cuci, kakus (MCK).

Gambar 21 Hasil analisis nitrat (mg/l) pada Sungai Cihideung Bogor

4.3.2.5 Nitrit (NO2-N)

Nilai rata-rata nitrit dapat dilihat pada Gambar 22 dengan nilai simpangan baku di stasiun 1 yang sangat besar.

Ni tr it  (m g/ l) ‐0,10 ‐0,05 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 22 Hasil pengukuran simpangan baku nitrit air Sungai Cihideung

N itr at ( m g/l ) Stasiun Pengamatan

(24)

46 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Hasil analisis (Gambar 23) menunjukkan kisaran nitrit untuk ulangan 1 adalah 0,001 sampai 0,094 mg/l, ulangan 2 menunjukkan kisaran 0,012 sampai 0,048 mg/l, dan ulangan 3 menunjukkan kisaran 0,008 sampai 0,050 mg/l. Nilai nitrit tertinggi ada pada stasiun 4 ulangan 1, diduga karena adanya limbah pabrik kecap yang terdapat di sekitar stasiun 3 yang limbahnya didominasi limbah dari golongan protein dengan didominasi oleh nitrogen dan limbah bengkel motor. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sastrawijaya (2000) yang menyatakan bahwa, amonia diubah menjadi nitrat oleh bakteri maka terdapat nitrit dalam air khususnya di bagian dasar. Jumlah nitrit tidak akan banyak apalagi berada di permukaan air. Pencemaran karena industri akan ditunjukkan jika nitrit cukup banyak jumlahnya, karena nitrit digunakan dalam air ketel untuk mencegah korosi, maka buangan air ketel dapat menimbulkan pencemaran nitrit.

Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/l dan di perairan kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/l (Effendi, 2003). Konsentrasi nitrit di Sungai Cihideung masih aman untuk kehidupan organisme karena kandungannya tidak melebihi 1 mg/l.

Gambar 23 Hasil analisis nitrit (mg/l) pada Sungai Cihideung Bogor

4.3.2.6 Amonia (NH3 - N)

Amonia merupakan hasil tambahan penguraian protein tanaman, hewan atau kotorannya. Jika ada amonia dalam air, diduga pada perairan air tersebut tercemar oleh bahan organik. Dalam hal ini limbah tersebut antara lain adalah

Stasiun Pengamatan

N

(25)

47

kotoran hewan, selain hal tersebut amonia juga dapat terbentuk jika urea dan asam urat serta limbah yang mengandung protein dalam urine mengurai dalam kondisi anaerob. Jika manusia membuang kotoran ke dalam air sungai, maka amonia dalam air akan meningkat, sehingga tingginya kadar amonia dalam air dapat memberikan petunjuk terjadinya pencemaran limbah (Sastrawijaya, 2000). Nilai simpangan baku untuk amonia (Gambar 24) menunjukkan nilai yang bervariasi untuk stasiun 3, 4 dan 5. Hal ini diduga ada kaitan dengan kegiatan yang ada pada ketiga stasiun tersebut yang menghasilkan banyak limbah bahan organik dari pabrik kecap dan juga pertanian. Selain hal tersebut diduga kandungan oksigen yang ada di perairan yang tidak mencukupi, sehingga dari penguraian tersebut dihasilkan amonia.

Am o n ia  (m g/ l) 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 24 Hasil pengukuran simpangan baku amonia (mg/l) air Sungai Cihideung

Berdasarkan hasil analisis amonia air Sungai Cihideung pada ulangan 1 kandungan amonia berkisar <0,166 mg/l, ulangan 2 kandungan amonia berkisar 0,166 – 0,667 mg/l, dan ulangan 3 kandungan amonia berkisar <0,166 mg/l (Gambar 25). Kandungan amonia tertinggi terdapat pada stasiun 3 ulangan 2. Kandungan amonia yang tinggi diduga berkaitan dengan masukan bahan organik berupa limbah dari pabrik kecap yang didominasi oleh bahan yang berasal dari protein dan pertanian yang diduga berasal dari pupuk pertanian yang ada di sekitar stasiun 3, buangan kotoran manusia dan buangan sampah terjadi pada stasiun 4 dan stasiun 5.

(26)

48 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

Amonia merupakan hasil tambahan penguraian (pembusukan) protein tanaman atau hewan atau kotoran manusia. Jadi jika ada amonia dalam air, maka diduga air tersebut tercemar oleh kotoran manusia dan hewan dan limbah organik yang mengandung protein lainnya. Amonia merupakan bentuk utama N di ekosistem akuatik yang tersedia untuk bakteri, jamur dan tumbuhan. Nitrogen ini diserap oleh organisme nabati untuk kemudian diolah menjadi protein yang selanjutnya menjadi bahan makanan organisme akuatik lainnya.

Gambar 25 Hasil analisis amonia (mg/l) air Sungai Cihideung Bogor

4.3.3 Logam Berat 4.3.3.1 Timbal (Pb)

Nilai rata-rata timbal dapat dilihat pada Gambar 26 dengan nilai simpangan baku stasiun 4 yang sangat tinggi. Kegiatan yang ada pada stasiun 4 yaitu bengkel motor dan pabrik pengolahan besi, memberikan buangan limbahnya berupa sisa-sisa bahan bakar motor, dan minyak oli yang dibuang secara tidak rutin sehingga variasi nilainya sangat tinggi.

Stasiun Pengamatan Amo n ia (mg/ l)

(27)

49 0,00 0,01 0,01 0,02 0,02 0,03 0,03 0,04 0,04

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ti m b al  (m g/ l) ‐0,05 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 26 Hasil pengukuran simpangan baku amonia Sungai Cihideung Konsentrasi Pb pada ulangan 1 menunjukkan nilai berkisar 0,03 – 0,038 mg/l, konsentrasi Pb pada ulangan 2 menunjukkan nilai berkisar 0,03 mg/l dan ulangan 3 nilai konsentrasi berkisar 0,029 – 0,03 mg/l (Gambar 27). Hasil analisis stasiun 1 ulangan 1 dan stasiun 3 ulangan 1 yang melewati ambang batasan maksimun konsentrasi timbal di perairan yaitu sebesar 0.03 mg/l. Nilai Pb tertinggi terdapat pada stasiun 1 diduga dari pemakaian pupuk fosfat yang dipakai oleh petani disekitar stasiun 1, hal ini sejalan dengan hasil analisis yang telah dilakukan oleh Setyorini, 1999 dalam Charlena, 2004, bahwa pupuk fosfat mengandung logam berat Pb antara 5 – 156 ppm.

Gambar 27 Hasil analisis timbal (mg/l) air Sungai Cihideung Bogor

Stasiun Pengamatan

Timbal

(mg/l

)

(28)

50

Logam ini dapat bersifat racun dan mengakibatkan anemia, sakit ginjal, kerusakan sistem saraf serta merusak kehidupan binatang. Logam ini berada dalam darah dapat bereaksi dengan reaktif terhadap oksigen dan membentuk senyawa PbO yang sangat tidak dibutuhkan oleh hemoglobin darah.

4.3.3.2 Besi (Fe)

Besi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besi terlarut baik dalam bentuk Fe2+ dan Fe3+. Dalam kondisi oksida normal, Ferri (Fe3+) jauh lebih besar dibanding dengan Ferro (Fe2+). Hal ini disebabkan air sungai berhubungan langsung dengan oksigen di atmosfir, begitu mengalami oksidasi dari atmosfer ion ferro akan berubah menjadi ion ferri (Goldman dan Horne, 1993 dalam Zubayr, 2009). Nilai rata-rata besi dapat dilihat pada Gambar 28 dengan nilai simpangan baku yang sama untuk semua stasiun.

Be si  (m g/ l) ‐0, 50 0, 00 0, 50 1, 00 1, 50 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 28 Hasil pengukuran simpangan baku besi (mg/l) Sungai Cihideung Setelah diadakan analisis kandungan besi pada semua stasiun pengamatan, ditemukan kandungan unsur besi yang berada untuk ulangan 1 pada kisaran 0,633 mg/l – 1,23 mg/l, ulangan 2 pada kisaran 0,211 mg/l – 0,552 mg/l dan ulangan 3 pada kisaran 0,042 mg/l – 0,381 mg/l. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada stasiun 4 ulangan 1 dan konsentrasi terendah ditemukan pada stasiun 1 ulangan 3 seperti ditampilkan pada Gambar 29. Konsentrasi tertinggi pada ulangan 1 diduga ada pembuangan karat besi dan juga limbah dari pabrik kecap. Jika dibandingkan dengan baku mutu PP No. 82 Tahun 2001, semua

(29)

51 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 stasiun pemantauan telah melewati ambang batas yang diperbolehkan sebesar 0,03 mg/l.

Gambar 29 Hasil analisis besi (mg/l) air Sungai Cihideung Bogor

4.3.4 Parameter mikrobiologi fecal coliform (E. coli)

Hampir di semua badan air terdapat bakteri-bakteri yang jenisnya tertentu. Ada ribuan jenis bakteri dan setiap jenis mempunyai sifat-sifat tersendiri. Sebagian besar dari jenis bakteri tersebut tidak berbahaya bagi manusia dan ada juga yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan hidup (Alaert dan Santika, 1984). Pada penelitian ini perhatian dilakukan terhadap bakteri yang dapat menunjukkan adannya pencemaran (indicator

organism) yaitu bakteri jenis Escherichia coli (E.coli) merupakan petunjuk yang

efisien karena bakteri tersebut terdapat dalam feses.

Nilai rata-rata fecal coliform dapat dilihat pada Gambar 30 dengan nilai

simpangan baku yang bervariasi dan simpangan baku tertinggi terdapat pada stasiun 4 dan stasiun 3. Kondisi ini diduga ada kaitan dengan pembuangan feses di sepanjang aliran sungai di sekitar stasiun ini yang tidak rutin.

Stasiun Pengamatan

Bes

i (m

(30)

52 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Fe ca l co lif o rm  ( Jm l/100  ml ) ‐10.000,00 ‐8.000,00 ‐6.000,00 ‐4.000,00 ‐2.000,00 0,00 2.000,00 4.000,00 6.000,00 8.000,00 10.000,00 12.000,00 1 2 3 4 5 Stasiun

Gambar 30 Hasil pengukuran simpangan baku fecal coliform air Sungai Cihideung

Hasil analisis fecal coliform yang dilakukan pada lima stasiun

pengamatan dengan tiga kali ulangan menunjukkan bahwa kandungan fecal

coliform pada ulangan 1 adalah 100 - 1300 jml/100 ml, ulangan 2 adalah 0 -

15000 jml/100 ml, ulangan 3 adalah 0 - 400 jml/100 ml (Gambar 31). Pada stasiun 2 terdapat peternakan ayam, perikanan dan pondok pesantren, stasiun 3 terdapat permukiman padat penduduk. Pada stasiun 4 diduga ada pembuangan feses oleh penduduk di sekitar sungai pada saat pengambilan sampel di waktu sore hari.

Gambar 31 Hasil analisis fecal coliform (jml/100ml) air Sungai Cihideung Bogor

Stasiun Pengamatan E. c o li (j m l/ 1 0 0 m l)

(31)

53

Standar air minum WHO semua sampel tidak boleh mengandung

Escherichia coli dan sebaiknya juga bebas dari coliform. Menurut standar WHO:

dalam setiap tahun, 95% dari sampel-sampel tidak boleh mengandung coliform dalam 100 ml, dan tidak ada sampel yang mengandung Escherichia coli dalam 100 ml (AOAC, 2000 dalam Suriaman dan Juwita, 2008).

4.4 Status Mutu Air Sungai Cihideung

Pengukuran status mutu air Sungai Cihideung dilakukan dengan menggunakan metode STORET (storage and retrieval). Dengan metode STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metode STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.

Lampiran 3 menunjukkan bahwa penentuan Status Mutu IKA-STORET (indeks kualitas air-storage and retrieval) air Sungai Cihideung dilakukan pada lima stasiun pengamatan yaitu stasiun 1 Desa Situ Daun RT 5 RW 2, stasiun 2, Desa Cihideung Udik RT 1 RW 2, stasiun 3, Desa Cihideung Ilir RT 04/RW 03 stasiun 4, di bawah jembatan Jl Raya Darmaga Cibanteng Proyek, stasiun 5 sebelum masuk penjernihan air. Hasilnya dibandingkan dengan standar baku mutu yang digunakan sebagai acuan dalam perhitungan indeks ini adalah baku mutu air kelas I berdasarkan PP RI No. 82 Tahun 2001 yaitu air yang peruntukannya sebagai bahan baku untuk air minum. Adapun parameter yang digunakan dalam perhitungan IKA-STORET dalam penelitian ini adalah berjumlah 13 parameter, yaitu : suhu, kekeruhan, warna, TSS, pH, BOD, COD, nitrat, nitrit, amonia, timbal, besi, dan fecal coliform (E. coli). Hasil status mutu air dari penelitian ini ditampilkan pada Tabel 7.

(32)

54

Tabel 7 Rekapitulasi skor indeks STORET dan status mutu air No Stasiun Skor Status mutu air 1 Desa Situ Daun RT 5 RW 2 - 30 tercemar sedang 2 Desa Cihideung Udik RT 1 RW 2 - 47 tercemar berat 3 Desa Cihideung Ilir RT 04/RW 03 - 52 tercemar berat 4 Jl. Raya Darmaga Cibanteng Proyek (bawah jembatan) - 55 tercemar berat 5 Sebelum penjernihan air IPB - 48 tercemar berat

4.5 Debit Aliran Sungai

Pengukuran debit air Sungai Cihideung pada saat penelitian di lima titik pengambilan sampel air Sungai Cihideung diketahui bahwa debit air yang nilainya tertinggi sebesar 8,576 m3/det pada stasiun 5 dan debit terendah 0,559 m3/det pada stasiun 1. Data lengkap debit air disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Debit air Sungai Cihideung

Stasiun Pengamatan Kecepatan (m/det) Kedalaman (m) Lebar Sungai (m) Debit Sungai (m3/det) Ulangan 1 1 0,492 0,236 10,65 1,238 2 0,809 0,16 12,93 1,675 3 0,791 0,24 10 1,897 4 0,597 0,257 8,15 1,251 5 0,376 0,463 15,95 2,774 Ulangan 2 1 0,314 0,17 10,48 0,559 2 0,816 0,117 12,5 1,193 3 1,296 0,213 9,33 2,574 4 0,587 0,28 7,82 1,284 5 0,481 0,463 15,5 3,453 Ulangan 3 1 0,844 0,16 10,6 1,432 2 1,506 0,09 12,5 1,695 3 1,561 0,283 10,19 4,500 4 1,385 0,3 8,12 3,373 5 1,084 0,49 16,15 8,576

(33)

55

Berdasarkan nilai yang diperoleh, debit air pada stasiun 1 lebih kecil dibandingkan stasiun lainnya, hal ini karena pada stasiun 1 masih terdapat batu-batuan besar yang ada di tengah-tengah aliran sungai. Sedangkan tingginya debit air pada stasiun 5 diduga karena banyak terdapat saluran air sisa aktivitas perikanan dan permukiman yang ada di sekitar aliran sungai.

4.6 Beban Pencemaran

Beban pencemaran dihitung berdasarkan perkalian antara debit air sungai dengan konsentrasi parameter kualitas air yang diteliti. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, besarnya beban pencemar yang masuk ke Sungai Cihideung sebagai bahan baku pengolahan air di Kampus IPB Darmaga ditampilkan pada Tabel 9.

Tabel 9 Beban pencemaran air Sungai Cihideung

No Parameter Satuan Beban Pencemaran (ton/bulan) Total BP (ton/bln) 1 2 3 4 5 1 TSS mg/l 295,6 681,6 821,5 780,86 1.535 4.114 2 BOD mg/l 641,5 957,4 1.550 1.260 3.581 7.989 3 COD mg/l 1.812 2.730 4.805 3.266 8.659 21.272 4 Nitrat mg/l 125,5 263,9 720,7 586,92 1.368 3.065 5 Nitrit mg/l 2,51 0,63 4,65 3,01 4,09 14,89 6 Amonia mg/l 4,63 8,75 25,80 14,69 35,43 89,3 7 Timbal mg/l 0,92 1,18 2,40 1,53 3,84 9,87 8 Besi mg/l 8,23 18,12 48,75 29,65 79,95 184,7

Berdasarkan Tabel 9, bahan organik merupakan pencemar tertinggi yang dicerminkan dari nilai COD yang masuk ke perairan yang mencapai 21.272 ton/bulan. Kontribusi tertinggi terdapat pada stasiun 5. Hal ini diduga karena banyak terdapat perumahan di pinggir sungai yang membuang limbah domestik, kontribusi tertinggi kedua terdapat pada stasiun 3 dimana terdapat pabrik kecap, dan pertanian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Metcalf dan Eddy, 1978 dalam Udaya, 1997, bahwa kelompok terpenting bahan organik yang ada pada air

(34)

56

buangan adalah protein (40-60%), karbohidrat (25-50%), lemak dan minyak (10%). Urea yang merupakan unsur dominan air seni merupakan senyawa organik penting lainnya yang terdapat dalam air buangan. Selain itu air buangan terkadang mengandung molekul sintesis seperti surfaktan, fenol dan pestisida.

Kontribusi terbesar kedua dalam memberikan beban pencemaran adalah BOD sebesar 7.989 ton/bulan. Parameter ini menggambarkan jumlah bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba untuk mendekomposisi bahan organik. Pada parameter ini, stasiun 5 memberikan kontribusi yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan stasiun yang lain yaitu sebesar 3.581 ton/bulan. Hal ini diduga disebabkan oleh banyaknya kandungan bahan organik berupa minyak/oli mesin yang terbawa bersama air. Hasil penentuan BOD dapat memberikan gambaran keberadaan/kandungan pencemar dari golongan bahan organik.

Beban limbah yang berasal dari golongan nutrient yaitu nitrat sebesar 3.065 ton/bulan dan amoniak sebesar 89,3 ton/bulan. Kontribusi terbesar berasal dari stasiun 5. Hal ini diduga sebagai akibat akumulasi kandungan minyak yang berasal dari sisa bengkel motor yang membuang oli ke sungai. Selain itu, juga diduga sebagai akibat masuknya limbah-limbah domestik yaitu karbohidrat, lemak dan protein yang berasal dari rumah tangga. Penguraian nutrisi lemak dan protein akan menghasilkan amoniak dan nitrat. Parameter logam berat yang memberikan kontribusi paling besar terhadap beban pecemaran adalah besi sebesar 184,7 ton/bulan. Kontribusi tertinggi pencemaran berasal dari stasiun 5, terdapat buangan bengkel besi yang mengalirkan limbahnya ke sungai dan terakumulasi.

4.7 Kualitas Air Bersih

Kualitas air hasil olahan disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas hasil WTP IPB Cihideung dari parameter-parameter yang dianalisis dapat memenuhi persyaratan KEPMENKES No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, sedangkan untuk parameter biologi masih berada diatas yang disyaratkan

(35)

57

oleh kepmenkes tersebut. Pada dasarnya kualitas hasil olahan sangat dipengaruhi oleh kualitas air baku, untuk itu maka pada air baku perlu dilakukan berbagai perlakuan seperti penambahan/injeksi PAC. Namun demikian penambahan PAC ini harus dilakukan secara tepat mengingat dosis PAC yang tidak tepat dapat menghasilkan output atau hasil olahan yang kualitasnya kurang baik. Oleh karena itu pengaturan dosis koagulan dilakukan dengan tepat dan perlakuan tersebut harus dilakukan secara cepat mengingat hasil olahan yang baik dapat dicapai hanya jika proses koagulasi dan flokulasi berjalan secara optimum.

Tabel 10 Hasil analisis air bersih dari WTP Cihideung IPB

No. Parameter Satuan Baku Mutu Air

Kepmenkes No. 907 Tahun 2002

Hasil Sampel

A Fisika

1. Suhu oC Suhu udara ± 1-3

oC 26 2. Kekeruhan (NTU) 5 0 3. Warna PtCo 15 0 4. Padatan tersuspensi (TSS) mg/l - 14 B Kimia 5. pH - 6,5-8,5 7.02 6 BOD mg/l - 23 7. COD mg/l - 60 8. Nitrat mg/l 50 8.04 9. Nitrit mg/l 3,0 0.001 10. Amoniak mg/l - <0.166 11. Timbal mg/l - <0.030 12. Besi mg/l 0,3 0.071 C Biologi

13 Fecal Coliform (E.coli) Jml/100 ml 0 200

Koagulasi/flokulasi merupakan tahapan kritis dan menentukan kualitas proses secara keseluruhan. Oleh karena itu, optimasi harus dilakukan pada tahapan proses ini. Optimasi dilakukan dengan melakukan kajian laboratorium (jar test) untuk menentukan jenis dan dosis koagulan, serta kondisi optimum proses. Pada saat ini ada dua macam koagulan yang banyak digunakan yaitu koagulan organik dan koagulan anorganik. Aluminium sulfat [Al2(SO4)3.14H2O] dan poly aluminium chloride (PAC) merupakan koagulan anorganik dengan produksi terbanyak (Wenbin et al., 1999 dalam Indriani, 2002). Hasil optimasi

(36)

58

laboratorium kemudian diimplementasikan di lapangan. Optimasi laboratorium juga dilakukan untuk menentukan dosis optimum pemberian desinfektan (kaporit).

Hasil penelitian laboratorium yang telah dilakukan oleh Romli (2001) menunjukan bahwa alum memiliki kelemahan yaitu menurunkan pH dan sempitnya selang dosis untuk menyebabkan pengaruh sebaliknya. Pada penelitian ini juga teramati bahwa dosis > 30 mg/l menyebabkan peningkatan kekeruhan air hasil olahan. PAC tidak terlalu mempengaruhi pH air hasil olahan dan tidak ditemukan adanya efek balik pada tingkat pemakaian yang wajar. PAC tidak menurunkan alkalinitas air secara ekstensif, sehingga tidak diperlukan koreksi pH air setelah pengolahan. Selain hal tersebut PAC cepat membentuk flok sehingga pengendapan dapat berlangsung dengan cepat (waktu tinggal rendah).

4.8 Penggunaan Air di Kampus IPB Darmaga

Untuk mengetahui penggunaan air di Kampus IPB Darmaga telah dilakukan survey melalui kuesioner yang disebarkan kepada teknisi dan laboran yang mewakili fakultas yang ada di IPB Darmaga sebanyak 30 orang responden. Karakteristik responden dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Karakteristik responden tentang kebutuhan air di Kampus IPB Darmaga

No. Karakteristik Responden (N=30 orang) Jumlah Prosentase (%) 1 Umur

Kurang dari 30 tahun 5 16.66

Antara 31 - 40 tahun 17 56,67 Antara 41 - 50 tahun 8 26,67 2 Jenis Kelamin Pria 25 83.33 Wanita 5 16.67 3 Jabatan Laboran 12 40 Teknisi 18 60 4 Pendidikan SLTA/Sederajat 7 23.33 Diploma 15 50 Sarjana 8 26,67

(37)

59 40% 47% 13% Kebersihan Laboratorium Lainnya

Berdasarkan tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa umur responden masih sangat produktif, sekitar 27 - 50 tahun; tingkat pendidikannya cukup, terbanyak adalah diploma. Berikut ini disarikan hasil kuesioner untuk kebutuhan pengguna air di Kampus IPB.

Air yang digunakan untuk keperluan laboratorium sebagai pendingin alat (destilasi aqudest) seperti yang ditampilkan dalam (Gambar 32) mencapai 47%, digunakan sebagai keperluan kebersihan 40% dan lain-lain seperti penyiraman tanaman 13%.

Gambar 32 Fungsi pemakaian air di Kampus IPB Darmaga

Keperluan perhari rata-rata tiap laboratorium 500 liter, penggunaan saat jam kerja berlangsung.dari pagi sampai sore. Air dialirkan hanya pada saat jam kerja, setelah jam kerja berakhir air tidak dialirkan lagi. Kebutuhan air sehari-hari masih dirasakan kurang oleh pengguna air dapat dilihat dari (Gambar 33) 67% pengguna air mengatakan air tidak mencukupi dan 33% menyatakan air mencukupi. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh pipa-pipa yang bocor dan dengan semakin banyak penggunaan air membuat tidak mampu terpenuhi air pada menara Fahutan dan menara Fapet. Tempat penampung air sebelum dialirkan ke menara tidak mampu mengisi di waktu-waktu jam kerja karena ketidaksanggupan WTP Cihideung.

(38)

60 33% 67% Cukup Tidak Mecukupi

Gambar 33 Kecukupan kebutuhan air di Kampus IPB Darmaga

Ketidaksanggupan disebabkan oleh peralatan pengolahan yang semakin tua sehingga perlu ada penambahan WTP baru yang rencananya akan berproduksi di awal tahun 2010. WTP Cihideung yang penambahan baru ini akan berbeda dari segi pengolahan dengan memakai sistem membran seperti disajikan dalam Gambar 34.

(39)

61 90% 10% Tidak Mengalir Mengalir

Keunggulan sistem ini yaitu pemisahan dengan membran tidak membutuhkan zat kimia tambahan dan juga kebutuhan energinya sangat minimum. Membran dapat bertindak sebagai filter yang sangat spesifik. Hanya molekul-molekul dengan ukuran tertentu saja yang bisa melewati membran sedangkan sisanya akan tertahan di permukaan membran.

Pada bukan hari kerja ketersediaan air 10% hanya terdapat di beberapa unit kerja saja, 90 % air tidak mengalir seperti ditunjukkan pada Gambar 35. Air yang ada umumnya tidak dipakai untuk memasak, kalau dipakai untuk memasak disimpan terlebih dahulu di dalam tangki. Kualitas air yang tersedia menurut kasat mata dilihat masih belum baik, air masih berwarna keruh, sedikit yang mengatakan air terlihat cukup baik.

Gambar 35 Ketersediaan air pada hari libur di Kampus IPB Darmaga Beberapa laboratorium memerlukan air dengan perlakuan khusus seperti laboratorium embriologi Fakultas Kedokteran Hewan memfilter lagi air dengan 3 sistem yaitu alat sistem pemurnian air menggunakan riverse osmosis system (RIOS), tangki penampungan air (reservoir), dan sistem pemurni air Milli Q Academic. Air dengan perlakuan khusus digunakan oleh laboratorium apabila ada keperluan penelitian pada topik-topik tertentu.

Keluhan ketersediaan air di Kampus IPB Darmaga saat ini dirasakan pengguna air adalah air sering sekali tidak mengalir, dan diakui sudah semakin banyaknya pengguna air sehingga terkadang ada yang tidak mendapat air. Untuk kualitas air keluhan yang paling banyak adalah air sering terlihat keruh dan terlihat belum jernih.

(40)

62

Pengelolaan Air Bersih di Kampus IPB Darmaga

Penyelesaian masalah pencemaran terdiri dari langkah pencegahan dan pengendalian. Langkah pencegahan pada prinsipnya mengurangi pencemar dari sumbernya untuk mencegah dampak lingkungan yang lebih berat. Indikator kualitas lingkungan yang secara langsung mempengaruhi kinerja pelayanan air bersih adalah pencemaran air permukaan dan pencemaran air tanah serta penurunan muka air tanah. Pencemaran air permukaan dan air tanah merupakan konsekuensi dari industrialisasi, urbanisasi, tidak adanya sistem sanitasi yang memadai, serta kurangnya usaha penegakan hukum untuk mengendalikan lingkungan.

Air yang tidak terhitung menunjukkan kurang efektinya distribusi air, baik dari aspek teknik maupun administrasi. Kehilangan air yang disebabkan oleh kebocoran menunjukkan kurang efektifnya program pemeliharaan, sementara tidak ada pengisian kartu kendali atau monitoring menunjukkan kurang efektifnya administrasi pelayanan kepada pengguna air.

Pendekatan sistem dapat diimplementasikan dalam pengelolaan air bersih untuk jangka panjang. Pendekatan sistem adalah metode sederhana yang dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan manajemen yang umumnya komplek. Pendekatan ini dapat menolong untuk memahami kompleksitas permasalahan dengan mengidentifikasi variable kritis dan hubungan sejumlah variable. Hal tersebut dapat membantu untuk memahami permasalahan secara lebih luas dan menyeluruh (Biwas, 1976 dalam Pramono).

Pengelolaan air bersih dengan memandang permasalahan dari seluruh aspek yang terkait. Aspek tersebut adalah aspek lingkungan fisik, teknologi, kelembagaan, keuangan, tingkat pelayanan, dan efisiensi pengelolaan.

Pemecahan masalah secara komprehensif membutuhkan pemahaman secara baik tentang faktor-faktor yang menyebabkan masalah dan hubungan antar setiap elemen. Oleh karena itu analisis dan formulasi permasalahan menjadi sebuah tahap penting sebelum berfikir sebuah strategi secara menyeluruh dalam memecahkan masalah.

(41)

63

Pandangan menyeluruh dalam pengelolaan air bersih

1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik terdiri dari lingkungan alamiah yang meliputi (a) topografi yang mempengaruhi keputusan dimana instalasi pengolah air, pompa dan tangki distribusi harus diletakkan, yang akan mempengaruhi pengoperasian terhadap sistem tersebut, (b) kondisi hidrologi mempengaruhi jumlah dan kualitas air baku yang tersedia, (c) iklim, mempengaruhi pola kebutuhan air. 2. Aspek Teknologi

Akibat adanya kebutuhan yang sangat besar, teknologi dibutuhkan untuk mengembangkan pelayanan air bersih. Penerapan teknologi dihadapkan pada kendala-kendalan pemeliharaan yang tidak baik, ketergantungan teknologi, dan kurang terampilnya operator.

3. Efisiensi pengelolaan

Efisiensi pengelolaan adalah ukuran kelangsungan sistem manajemen dalam memberikan dan meningkatkan pelayanan. Hal tersebut diukur dengan empat indikator yaitu :

a. produktivitas adalah angka rata-rata dari jumlah pengguna air yang dilayani dibagi jumlah pegawai yang melayani.

b. efisiensi produksi adalah perbandingan antara air secara nyata diproduksi dan kapasitas pengolah air.

c. air tidak terhitung

d. program pengembangan adalah tanda bahwa unit penjernihan air bersih mengalami perkembangan atau setidaknya menjaga tingkat layanan dalam hal cakupan pelayanan atau dalam memenuhi tingkat konsumsi rata-rata atau keduanya berkembang secara bertahap.

Gambar

Gambar 4  Skema proses pengolahan air baku di WTP Cihideung
Gambar 5  Skema sistem transmisi air bersih dari WTP Cihideung
Tabel 5 Hasil analisis rata-rata kualitas air Sungai Cihideung Bogor
Gambar 6 Hasil analisis simpangan baku suhu air Sungai Cihideung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan temuan penelitian yang telah disajikan pada bagian sebelumnya, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut. 1) Hasil belajar IPS siswa yang mengikuti model

Dari hasil pembahasan masalah yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai berikut dengan adanya Sistem Informasi Akademik Berbasis Web Pada Pada SMK N 5

Prosedur penelitian yang akan diterapkan dalam menentukan solusi persamaan panas dengan menggunakan metode Dekomposisi Adomian Laplace adalah sebagai berikut :.. •

Guru dapat memilih cerita rakyat tersebut sebagai objek pembelajaran dalam penyampaian materi memahami cerita rakyat yang dituturkan, (2) hasil penelitian ini

Amplifikasi gen 18SrRNA menggunakan metode PCR, terhadap fusan yang berasal dari induk yang berbeda spesies membutuhkan desain primer yang dapat digunakan untuk

Melalui studi literatur yang dilakukan, belum ada penelitian yang melaporkan penggunaan spektroskopi FTIR yang dikombinasikan dengan kemometrika sebagai metode untuk

Dengan melihat rata-rata efektifitas pajak reklame di Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bandung Barat yang kurang dari 100% selama lima tahun terakhir, hal

Penelitian ini akan membuat model penyesuaian tranfer knowledge SECI dengan unsur budaya lokal masyarakat sekitar (local knowledge) mengingat karakteristik pengusaha kerupuk