• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak tanggal 1 Januari 2014, pemerintah mulai menerapkan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) melalui program jaminan kesehatan nasional (JKN). Program JKN ini dilaksanakan oleh badan yang ditunjuk khusus oleh pemerintah, yaitu badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan (BPJS Kesehatan). Keberadaan program JKN ini membuat volume kunjungan pasien di rumah sakit meningkat. Peningkatan volume kunjungan pasien juga diikuti meningkatnya rujukan pasien dengan kasus spesialistik dari fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer. Pasien-pasien dengan kasus spesialistik tersebut akan dirujuk baik ke rumah sakit sekunder maupun tersier. Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa kunjungan pasien peserta BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) sampai dengan 30 Juni 2014 adalah sebanyak 26.877.974 kunjungan. Dari total jumlah kunjungan tersebut, terdapat jumlah rujukan ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) sebanyak 3.227.499 rujukan (sekitar 12%). Tingginya angka kunjungan tersebut diakui oleh pihak BPJS Kesehatan karena sistem rujukan berjenjang belum berjalan dengan baik. Berdasarkan data terbaru BPJS Kesehatan per triwulan I tahun 2015, tercatat hanya terdapat 2.236.379 rujukan FKTP ke rumah sakit, atau sekitar 15,30% dari total angka kunjungan peserta BPJS Kesehatan ke FKTP sebanyak 14.619.528 kunjugan. Volume kunjungan pasien rujukan memang terlihat berkurang, namun persentase kasus rujukan meningkat dari 12% pada bulan Juni 2014 menjadi 15% pada triwulan I 2015. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan persentase kasus rujukan dari FKTP ke FKRTL dari segi besarannya.

Banyaknya jumlah kasus spesialistik ini membuat rumah sakit rujukan, baik yang memiliki tenaga dokter spesialis yang cukup maupun tidak, menjadi kewalahan. Hal ini paling dirasakan di rumah sakit perifer yang memiliki dokter spesialis yang terbatas atau bahkan sama sekali tidak memiliki dokter spesialis.

(2)

Sehubungan dengan program JKN tersebut, kebutuhan akan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan yang terstandarisasi dan merata semakin meningkat. Salah satu aspek penting keberhasilan program JKN dalam mencapai universal coverage dalam pelayanan kesehatan adalah ketersediaan dokter spesialis, yang di Indonesia saat ini masih menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai. Jumlah dokter spesialis di Indonesia tidak cukup untuk memberikan pelayanan medis kepada pasien baik yang merupakan peserta BPJS maupun non-BPJS. Hal ini disebabkan oleh tidak meratanya distribusi dokter spesialis di Indonesia. Berdasarkan data dari badan pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia (PPSDM) kesehatan dari kementerian kesehatan, dokter spesialis cenderung menumpuk di Pulau Jawa. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat mendominasi jumlah dokter spesialis dengan angka mencapai lebih dari 4.500 (Gambar 1). Meningkatnya jumlah kasus spesialistik dan terbatasnya jumlah serta kurang meratanya distribusi dokter spesialis membuat peran tenaga residen semakin dibutuhkan untuk membantu mengurangi kesenjangan akan kebutuhan dokter spesialis pada era JKN ini.

Gambar 1. Distribusi dokter spesialis di Indonesia tahun 2013 (Sumber: Badan PPSDM Kesehatan, 2015)

(3)

Polemik keberadaan residen di rumah sakit pendidikan saat ini masih menjadi perdebatan, berstatus sebagai peserta didik yang diwajibkan membayar biaya pendidikan atau sebagai tenaga kerja yang harus dibayar atas pelayanan medis yang dilakukan. Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Fernandes (2015) yang menyebutkan bahwa status residen masih belum jelas, karena sistem pendidikan di Indonesia menganut gabungan dari sistem university-based dan hospital-based. Sistem pendidikan residen di beberapa negara berorientasi pada hospital-based, misalnya di Amerika Serikat. Residen dianggap sebagai staf rumah sakit yang profesional dan akan memperoleh insentif atau bayaran. Program medicare yang dijalankan oleh Amerika Serikat akan melakukan pembayaran kepada rumah sakit pendidikan. Rumah sakit pendidikan selanjutnya akan memberikan gaji atau insentif kepada residen.

Hasil diskusi terakhir tentang reformasi pendidikan residen pada tanggal 31 Oktober 2015 yang diselenggarakan di Malang telah membahas tentang perlu dilakukannya reformasi pendidikan spesialis dan sub-spesialis terutama di era JKN saat ini. Selain itu, residen dan fellow juga diharapkan menjadi tenaga kerja untuk memberi pelayanan kesehatan dalam era JKN yang membutuhkan tenaga spesialis dan sub-spesialis. Kompetensi residen dan fellow menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam pemberian hak (termasuk insentif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran) dan kewajiban sebagai pekerja yang masih harus belajar. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengintegrasikan sistem pendidikan kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan sebagai penentu perkembangan produksi dan distribusi dokter spesialis di Indonesia.

Mengingat besarnya peran residen dalam pelayanan kesehatan selama ini, khususnya di rumah sakit pendidikan, maka residen perlu dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut, terutama residen tingkat mandiri yang sudah dapat memberikan pelayanan kesehatan secara mandiri tanpa adanya supervisi dari dokter spesialis konsultan. Residen tingkat mandiri ini dapat dikontrak oleh rumah sakit pendidikan sebagai staf medis rumah sakit dengan kewenangan klinisnya agar memiliki hak untuk mendapatkan

(4)

remunerasi atau insentif atas jasa pelayanan medis yang dilakukan sesuai kompetensinya. Hal ini didukung kuat oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran yang menyebutkan bahwa residen berhak untuk mendapatkan insentif di rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran. Insentif yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah imbalan dalam bentuk materi yang diberikan oleh rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran atas jasa pelayanan medis yang dilakukan sesuai kompetensinya. Selain telah diatur oleh undang-undang, landasan etis bahwa manusia yang sudah bekerja harus mendapatkan kewajiban dan hak termasuk bayaran menjadi alasan lain residen harus dibayar.

Secara de-facto residen telah bekerja meskipun masih banyak dianggap sebagai mahasiswa. Sebagai ilustrasi di rumah sakit pendidikan, operasi yang membutuhkan tenaga dokter spesialis anestesi, sering kali dikerjakan oleh residen anestesi tanpa kehadiran supervisor di ruang operasi. Pekerjaan yang dilakukan oleh residen secara administratif diakui sebagai pekerjaan supervisor. Demikian halnya juga banyak rumah sakit bahkan menempatkan residen sebagai pelaku utama pelayanan, khususnya di rumah sakit-rumah sakit perifer yang tidak atau belum memiliki tenaga dokter spesialis. Hal ini menjadi beberapa pertimbangan perlunya residen mendapatkan remunerasi. Dampak yang dapat ditimbulkan jika remunerasi tidak diberikan kepada residen adalah adanya perpindahan beban kerja dari residen ke supervisor. Peralihan beban kerja tersebut membuat tanggung jawab supervisor menjadi semakin berat atau overload. Hal ini dapat membuat kinerja supervisor dalam memberikan pelayanan medis menjadi menurun karena keterbatasan sumber daya supervisor yang ada dibanding dengan volume pasien.

Posisi residen yang memiliki peran besar dalam pelayanan kesehatan dan status yang masih dianggap sebagai tenaga didik ini perlu ditelaah lebih lanjut. RSUD Dr. Moewardi Surakarta sebagai rumah sakit tersier pendidikan kelas A dengan total sekitar 713 residen menjadi salah satu objek yang menarik untuk dikaji. Studi pendahuluan sempat dilakukan di rumah sakit tersebut pada tanggal 26 Juni – 3 Juli 2015 dengan melakukan beberapa pengumpulan informasi dari bagian diklit untuk kepentingan penyusunan proposal penelitian. Dari hasil

(5)

wawancara non formal, didapatkan informasi bahwa residen yang sedang aktif atau bertugas di lingkungan RSUD Dr. Moewardi Surakarta akan memperoleh insentif setiap bulannya. Hal ini menjadi latar belakang penelitian ini.

Penelitian ini akan mengkaji lebih lanjut tentang sejauh mana Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran diimplementasikan di rumah sakit pendidikan dalam konteks hak residen untuk memperoleh remunerasi atau insentif atas jasa pelayanan medis yang dilakukannya. Selain itu, penelitian juga akan mendeskripsikan pola pemberian remunerasi atau insentif residen yang melakukan pelayanan medis di RSUD Dr. Moewardi Surakarta sesuai dengan jenis spesialisasi dan tingkatan kompetensinya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan utama, yaitu bagaimana pola pemberian remunerasi atau insentif residen yang melakukan pelayanan medis di RSUD Dr. Moewardi Surakarta berdasarkan tingkat kompetensi dan jenis spesialisasinya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran berkaitan dengan pola pemberian remunerasi atau insentif bagi residen yang berlaku di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

2. Mendeskripsikan pola pemberian remunerasi atau insentif residen pada bagian besar operasi dan non operasi serta bagian kecil operasi dan non operasi yang memberikan pelayanan medis di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

3. Mengeksplorasi variasi pemberian remunerasi atau insentif residen berdasarkan tingkatan kompetensinya dan formulasi pembagiannya.

(6)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Pemerintah pusat melalui kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi sebagai pengambil kebijakan tingkat pusat, dapat mengambil kebijakan strategis berupa peraturan menteri yang mengatur tentang hak residen dalam memperoleh remunerasi atau insentif sesuai pelayanan medis yang dilakukan di rumah sakit pendidikan.

2. Pihak manajemen RSUD Dr. Moewardi Surakarta dapat memanfaatkan hasil kajian sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan manajerial yang mengatur sistem pemberian remunerasi atau insentif yang ideal bagi residen yang memberikan pelayanan medis sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran.

3. Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret dapat mengevaluasi sistem pendidikan residen terutama yang berkaitan dengan remunerasi atau insentif yang diterima oleh residen yang memberikan pelayanan medis di rumah sakit pendidikan.

4. Residen yang memberikan pelayanan medis dapat mengetahui adanya remunerasi atau insentif yang dapat diperoleh selama mengikuti program pendidikan dokter spesialis.

5. BPJS Kesehatan dapat mempertimbangkan untuk mengikutsertakan residen sebagai bagian dari sistem pelayanan medis bagi pasien-pasien BPJS di rumah sakit pendidikan.

6. Peneliti lain dapat menjadikan hasil kajian sebagai tambahan referensi dalam melakukan penelitian yang lebih lanjut.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang sudah dilakukan adalah sebagai berikut:

(7)

Tabel 1. Keaslian penelitian

No. Judul

penelitian Perbedaan

1.

Pendidikan Dokter Spesialis dan Remunerasi Residen dalam Konteks Hubungan Rumah Sakit Pendidikan dengan Fakultas Kedokteran (Fernandes, 2015)

Penelitian tersebut lebih melihat kepada status residen di Indonesia yang

menganut sistem university based dan hospital based, sehingga belum

mendapat remunerasi yang ideal sesuai dengan UU pendidikan kedokteran. Subjek penelitian ini adalah RS pendidikan utama di Provinsi DI Yogyakarta. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam jumlah responden.

2.

Does salary affect the choice of residency in non-university teaching hospitals? A panel analysis of Japan Residency Matching Programme data (Enari dan Hashimoto, 2013)

Penelitian tersebut mencoba melihat dapat tidaknya faktor remunerasi berupa gaji menarik minat residen dalam menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikan residen di rumah sakit pendidikan non universitas.

3.

The Shift of Residents from University to Non-University Hospitals in Japan: A Survey Study (Nomura dkk., 2008)

Penelitian tersebut mencoba

mengeksplorasi alasan perpindahan residen dari rumah sakit pendidikan universitas ke rumah sakit pendidikan non-universitas, dan salah satu

alasannya adalah pendapatan yang lebih tinggi yang dapat diperoleh residen.

Gambar

Gambar 1. Distribusi dokter spesialis di Indonesia tahun 2013   (Sumber: Badan PPSDM Kesehatan, 2015)
Tabel 1. Keaslian penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau diberikan

[r]

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Emisi surat utang korporasi di pasar domestik selama Januari 2018 mencapai Rp7,67 triliun atau naik 2,84 kali dibandingkan dengan Januari 2018, berdasarkan data oleh

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

respondents who were able to make monthly payment in. terms of the amount of their monthly income and