• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON PERTUMBUHAN DOMBA PADA BERBAGAI TARAF PROTEIN DALAM RANSUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON PERTUMBUHAN DOMBA PADA BERBAGAI TARAF PROTEIN DALAM RANSUM"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON PERTUMBUHAN DOMBA PADA BERBAGAI

TARAF PROTEIN DALAM RANSUM

WISRI PUASTUTI

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRAK

Upaya untuk mendapatkan ternak dengan potensi genetik unggul melalui pemuliabiakan tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan. Potensi genetik seekor ternak akan muncul dengan optimal bila didukung dengan faktor lingkungan yang sesuai, salah satunya adalah faktor pakan. Penelitian pemberian ransum dengan kadar protein mulai taraf rendah hingga tinggi (PK = 12 – 18%) pada domba yang ada di Indonesia, baik dari bangsa lokal maupun persilangannya menghasilkan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) yang beragam. Faktor-faktor yang mempengaruhi PBHH domba antara lain perbedaan bangsa dan kualitas ransum. Secara umum domba lokal memiliki pertumbuhan relatif lebih lambat dibandingkan dengan domba persilangan. Apabila dilihat dari taraf protein dalam ransum, maka dengan taraf protein yang semakin tinggi dihasilkan PBHH domba yang semakin besar. Jika hanya memperhitungkan kadar protein dalam ransum tanpa melibatkan unsur nutrien lain dengan asumsi semua dianggap sama, dapat diprediksi besarnya PBHH domba. Terdapat hubungan yang erat antara kadar protein dalam ransum (x) dengan PBHH (y) domba yakni mengikuti pesamaan y = – 0,367x3 + 17,108x2 – 255,87x + 1317,9 dengan R2 = 0,8826. Peningkatan PBHH tampak nyata pada taraf protein 14% hingga 18%. Adapun peningkatan kadar protein ransum yang paling efisien untuk mendukung PBHH yaitu sebesar PK 15 – 16% dengan PBHH sebesar 90 – 100 g/e. Berdasarkankan persamaan tersebut dapat diprediksi bobot hidup domba umur setahun yang diberi ransum dengan kadar protein 15 – 16% adalah 34,5 – 38,2 kg.

Kata kunci: Domba, protein, ransum, pertumbuhan

PENDAHULUAN

Perbaikan mutu genetik domba terus dilakukan untuk mendapatkan domba dengan tampilan produksi yang baik dan memiliki efisiensi ekonomi yang tinggi. Seperti yang dilakukan SUBANDRIYO et al. (2005) dengan menyilangkan tiga bangsa domba yaitu Sumatera, Barbados Blackbally dan St. Croix untuk mendapatkan domba Komposit Sumatera dengan komposisi genotipe 50% domba Sumatera, 25% St. Croix dan 25% B Blackbally. Sementara INOUNU et al., (2005) menyilangkan tiga bangsa yaitu Garut, St Croix dan Moulton Charollais untuk mendapatkan domba Komposit Garut dengan komposisi darah 50% domba Garut, 25% St. Croix dan 25% M Charollais. Keduanya berusaha menghasilkan bangsa domba dengan performan yang baik dan memiliki daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan.

Upaya untuk mendapatkan ternak dengan potensi genetik unggul melalui pemuliabiakan

Hal ini menunjukkan bahwa potensi genetik seekor ternak akan muncul dengan optimal bila didukung dengan faktor lingkungan yang sesuai, salah satunya adalah faktor pakan. Pakan yang sesuai kebutuhan dan status fisiologis merupakan faktor lingkungan yang sangat berperan dan harus diperhatikan, disamping harus memperhatikan aspek ekonomi agar dapat diaplikasikan secara luas.

Upaya memunculkan produktivitas sesuai potensi genetik ternak domba telah dilakukan melalui perbaikan kualitas protein ransum. Penelitian pemberian protein dalam ransum mulai taraf rendah hingga tinggi (PK = 12 – 18%) pada domba yang ada Indonesia, baik dari bangsa lokal maupun persilangannya memberikan hasil yang beragam (Tabel 1). Pemberian protein ransum diikuti dengan kadar energi yang berbeda-beda pula. Berbagai sumber protein ransum seperti bungkil kedelai, hidrolisat bulu ayam, ampas tahu, ampas tebu fermentasi maupun berbagai taraf pemberian konsentrat telah diberikan pada ternak domba

(2)

baik. Dalam makalah ini disajikan rangkuman beberapa hasil penelitian pemberian protein ransum dengan taraf yang berbeda-beda dan prediksi taraf yang paling optimal untuk pertumbuhan domba.

PENGGUNAAN PROTEIN RANSUM PADA DOMBA

Seperti halnya ternak ruminansia lainnya, domba memperoleh pasokan protein dari ransum dan mikroba rumen. Protein ransum yang dikonsumsi sebagian besar didegradasi di dalam rumen dan sebagian lainnya lolos dari pencernaan mikroba rumen. Banyaknya protein yang dapat didegradasi di dalam rumen bergantung pada karakteristik dari protein ransum yang diberikan. Protein dengan tingkat degradasi tinggi bersifat mudah larut atau memiliki fermentabilitas tinggi dapat mendukung sintesis protein mikroba rumen, sebaliknya protein tahan degradasi dalam rumen memiliki fermentabilitas rendah atau sering disebut dengan protein bypass rumen. Protein mikroba dan protein ransum yang lolos degradasi rumen selanjutnya akan dicerna oleh enzim pencernaan pascarumen kemudian memasok protein ke usus untuk memenuhi kebutuhan hewan induk semang.

Dalam memformulasi ransum, sudah selayaknya kita memperhatikan proporsi protein yang mudah didegradasi dan yang tahan degradasi guna memaksimalkan pasokan protein mikroba dan protein bypass. Terhadap protein yang berkualitas namun memiliki fermentabilitas tinggi perlu dilakukan perlindungan guna mengurangi perombakan protein dalam rumen. Perlindungan protein bungkil kedelai telah dilakukan dengan formalin (KANJANAPRUTHIPONG et al., 2002) dan tanin yang berasal dari batang pisang (PUASTUTI et al., 2006).

Penelitian dengan bermacam-macam tingkat degradasi protein ransum terus dilakukan pula guna memaksimalkan pasokan protein ke dalam tubuh. PUASTUTI et al., (2006) melaporkan bahwa meningkatnya kadar protein tahan degradasi dengan substitusi sebesar 50% bungkil kedelai terproteksi memberikan respon pertumbuhan domba yang

lebih baik dibanding kontrolnya (120,9 vs 138,1 g/e). Perbedaan sumber protein dalam ransum menghasilkan perbedaan kadar amonia dalam rumen. Hal ini menggambarkan tingkat degradasi protein ransum yang berbeda-beda (KANJANAPRUTIPONG et al., 2002; PUASTUTI, 2005). Sebaliknya pemberian ransum dengan sumber protein bypass tinggi memerlukan tambahan urea sebagai sumber nitrogen mudah tersedia untuk sintesis protein mikroba. Domba yang diberi ransum mengandung urea menghasilkan amonia rumen yang lebih tinggi (PUASTUTI, 2005) dan konsentrasi amonia rumen meningkat dengan semakin meningkatnya penambahan urea (KOZLOSKI et

al., 2000). Kadar amonia yang mendukung

pertumbuhan mikroba rumen berkisar antara 4 – 12 mM (SUTARDI, 1994).

Untuk mengoptimalkan pemberian protein pada domba, beberapa hal perlu dipertimbangkan: 1). Ketersediaan protein bypass rumen sepertiga dari total protein, 2). Sumber protein hewani dan nabati dapat saling melengkapi, 3). Tidak disarankan memberikan protein dalam jumlah berlebihan, karena akan mempertinggi kadar urea darah yang mempengaruhi fertilitas, disamping itu akan dibuang lewat feses dan urin (WAND, 2007).

PERTAMBAHAN BOBOT HIDUP DOMBA PADA BERBAGAI TARAF

PROTEIN DALAM RANSUM

Penelitian terhadap bermacam-macam sumber protein dan taraf protein dalam ransum telah dilakukan, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot hidup harian (PBHH) domba antara lain bangsa dan kadar protein dalam ransum. Secara umum terlihat bahwa domba lokal memiliki pertumbuhan relatif lebih lambat dibandingkan dengan domba persilangan. Apabila dilihat kadar protein dalam ransum, maka dengan taraf protein yang semakin tinggi dihasilkan PBHH domba yang semakin besar. Peningkatan kadar protein ransum akan meningkatkan asupan protein ke dalam tubuh sehingga meningkatkan ketersediaan asam amino dalam tubuh, yang salah satunya digunakan untuk pertumbuhan.

(3)

Tabel 1. Respon pertumbuhan domba terhadap kadar protein ransum yang berbeda

No: Kadar PK (%) PBHH (g/e) Bangsa domba Pustaka

1. 12,7 104 Sumatera x St. Croix BATUBARA et al. (2002a)

108 Sumatera x Barbados Black Belly

100 Sumatera x Domba Ekor Gemuk

106 Sumatera

2. 15.8 98 Barbados x Sumatera BATUBARA et al. (2002b)

95 Sumatera x St. Croix

79 Sumatera

3. 14 85.96 Barbados Cross YULISTIANI et al. (2002)

81 Lokal

64.28 Barbados Cross

68.88 Lokal

4. 18 108 Garut HIDAYATI et al. (2002)

91,25

118,33

128

5. 15 90,91 Lokal PUASTUTI et al. (2004)

17,87 123,38

17,97 13,77

18,3 127,27

18,36 116,88

6. 15 113 Garut HANDIWIRAWAN et al. (2004)

8 50.1

7. 12 73,8 Domba Ekor Gemuk SUPRIYATI et al. (2004)

8. 14,19 82 Sumatera SIREGAR (2003)

16,94 79

16,94 108

16,94 119

14,19 107 Persilangan Sei Putih

16,94 132

16,94 152

16,94 167

9. 16,64 104 Lokal ZAIN (1999)

10. 11,97 69,6 Lokal PURBOWATI et al. (2004)

13,32 104,57

14,68 98,73

11. 11 25 Domba Ekor Tipis BUDIARSANA et al. (2005)

13 68

15 87

12. 13 90 Lokal MATHIUS et al. (1996)

13. 15,47 71,4 Priangan TARMIDI (2004) 14,59 67,6 13,70 66,5 13,04 62,4 11,92 49,6 15,01 60,94 15,36 96,95 18,11 69,4 17,93 80,5

(4)

y = -0,367x3 + 17,108x2 - 255,87x + 1317,9 R2 = 0,8826 50 60 70 80 90 100 110 120 130 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00 Kadar PK Ransum (%) PBHH ( g /e )

Gambar 1. Grafik hubungan antara kadar protein ransum dengan PBHH domba fase pertumbuhan Walaupun demikian PBHH tersebut tidak

mutlak akibat pemberian protein ransum. HABIB et al. (2000) menyatakan bahwa faktor yang mendukung PBHH ternak tidak hanya dari pasokan protein, tetapi melibatkan sumber energi, baik karbohidrat maupun lemak. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh korelasi antara PK terhadap PBHH bersifat nyata (P<0,01) dengan R2 = 0,5684.

Dengan hanya memperhitungkan kadar protein dalam ransum tanpa melibatkan unsur nutrien lain dengan asumsi semua dianggap sama, dapat diprediksi besarnya PBHH. Berdasarkan data-data hasil penelitian pada Tabel 1 dapat diprediksi besarnya PBHH yang optimal domba yang ada di Indonesia sesuai dengan kualitas ransum yang diberikan. Pada Gambar 1, ditunjukkan hubungan antara protein ransum dengan pertumbuhan mengikuti pola regresi kubik. Pola regresi kubik dipilih karena memiliki nilai R2 yang paling besar dibandingkan dengan regresi linier sederhana maupun kuadratik. Hubungan antara kadar protein dalam ransum (x) dengan PBHH (y) domba mengikuti pesamaan y = – 0,367x3 + 17,108x2 – 255,87x + 1317,9 dengan R2 = 0,8826. Regresi ini menggambarkan hubungan yang sangat erat (R2 = 0,8826) antara kadar protein ransum dengan PBHH. Pada taraf protein ransum 12%, peningkatan kadar protein

pada taraf protein 14% hingga 18%, dengan nilai PBHH tertinggi (114,88 g/e) pada taraf protein ransum 18%, sebaliknya peningkatan kadar protein ransum menjadi >18% mulai menunjukkan penurunan PBHH. Hal ini berarti peningkatan suplai protein akan diikuti dengan pembuangan protein yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Hasil ini mendukung pernyataan SANNES et al. (2002) bahwa konsumsi PK ransum akan meningkat seiring meningkatnya kadar PK dalam ransum. Besarnya konsumsi nitrogen, eksresi N feses dan urine meningkat sebagai akibat meningkatnya kadar protein ransum (PUASTUTI

et al., 2004). Ditambahkan oleh DEVAN et al. (2000) bahwa meningkatnya nitrogen dalam urin yang diekskresikan pada sapi dara yang mendapat ransum dengan kadar protein tinggi (17%) menunjukkan intake nitrogen dalam tubuh melebihi kebutuhan.

Pemberian ransum dengan kadar protein tinggi tanpa diikuti dengan peningkatan PBHH tidak menguntungkan. Peningkatan kadar protein ransum yang paling efisien untuk mendukung PBHH yaitu sebesar PK 15-16% dengan PBHH sebesar 90 – 100 g/e. Nilai ini mendukung pernyataan TILMAN et al. (1986) bahwa ternak domba saat pertumbuhan dengan rataan bobot hidup 21,55 kg membutuhkan protein kasar sebesar 15,58%. Nilai rataan

(5)

Barbados 2,15 kg dan domba Sumatera 1,68 (SUBANDRIYO et al., 1998) dan Komposit Garut dan Garut sebesar 2,4 kg/ekor (HANDIWIRAWAN et al., 2006). Menggunakan persamaan di atas dapat diprediksi bobot hidup domba umur setahun yang diberi ransum dengan kadar protein 15 – 16% adalah berkisar 34,5 – 38,2 kg. Nilai ini sebanding dengan bobot hidup domba Garut dan Komposit umur 360 hari yang dilaporkan HANDIWIRAWAN et

al. (2006) masing-masing sebesar 33,67 kg dan

34,45 kg.

KESIMPULAN

Taraf protein dalam ransum sangat berpengaruh terhadap PBHH domba. Terdapat hubungan yang erat antara kadar protein dalam ransum (x) dengan PBHH (y) domba mengikuti pesamaan y = – 0,367x3 + 17,108x2 – 255,87x + 1317,9 dengan R2 = 0,8826. Peningkatan PBHH tampak nyata pada taraf protein ransum sebesar 14% hingga 18%. Taraf protein ransum yang paling efisien untuk mendukung PBHH yaitu sebesar PK 15 – 16% dengan PBHH sebesar 90 – 100 g/ekor. Menggunakan persamaan tersebut dapat diprediksi bobot hidup domba umur setahun yang diberi ransum dengan kadar protein 15– 16% adalah 34,5 – 38,2 kg.

DAFTAR PUSTAKA

BATUBARA, L.P., J. SIANIPAR. P. HORNE dan K. POND. 2002a. Growth responses of ram lambs from four sheepbreed types to diets varying in energy content. Prosiding. Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 30 September – 1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm: 123 – 127.

BATUBARA, L.P., M. DOLOKSARIBU dan J. SIANIPAR.

2002b. Pengaruh tingkat energi dan

pemanfaatan bungkil inti sawit dalam ransom terhadap persentase karkas domba persilangan. Prosiding. Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 30 September – 1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm: 128 – 134.

BUDIARSANA, I-G. M., B. HARYANTO dan S.N. JARMANI. 2005. Nilai ekonomis penggemukan domba ekor tipis yang diberi pakan jerami padi terfermentasi. Prosiding. Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12–13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm: 445–454.

DEVANT M., A. FERRET, S. CALSAMIGLIA, R. CASALS and J. GASA. 2001. Effect of nitrogen source in high-concentrate, low-protein beef cattle diets on microbial fermentation studied in vivo and in vitro. J. Anim. Sci. 79:1944– 1953.

HABIB G., M.M. SIDDIQUI, F.H. MIAN, J. JABBAR

and F. KHAN. 2001. Effect of protein

supplements of varying degradability on growth rate, wool yield and wool quality in grazing lambs. Small Ruminant Res. 41:247– 256.

HANDIWIRAWAN, E., H. HASINAH, I-G.A.P MAHENDRI., A. PRIYANTI dan I. INOUNU. 2004. Produktivitas anak domba garut di dua agroekosistem yang berbeda. Prosiding. Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4–5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm: 335– 340.

HANDIWIRAWAN, E., I. INOUNU, B. SETIADI, SUBANDRIYO, N. HIDAYATI dan S.A. ASMARASARI. 2006. Pemantapan produktivitas dan seleksi domba komposit Garut. Laporan Kegiatan Penelitian APBN T.A. 2006. HIDAYATI, N., M. MARTAWIDJAJA dan I. INOUNU.

2002. Peningkatan energi ransum untuk pertumbuhan domba persilangan. Prosiding. Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 30 September – 1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm: 202–205.

INOUNU, I., B. SETIADI, N. HIDAYATI, E. HANDIWIRAWAN dan S.A. ASMARASARI. 2005. Pemantapan produktivitas dan seleksi domba Komposit Garut. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN. Tahun Angaran 2005. Buku

(6)

KANJANAPRUTHIPONG J., C.VAJRABUKKA and S. SINDHUVANICH. 2002. Effect of formalin treated soy bean as a source of rumen undegradable protein on rumen functions of non lactating dairy cows on concentrate based diets. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15:1439–1444. KOZLOSKI G.V., H.M.N. RIBEIRO and J.B.T. ROCHA.

2000. Effect of the substitution of urea for soybean meal on digestion in steer. Can. J. Anim. Sci. 80:713–719.

MATHIUS, I-W., M. MARTAWIDJAJA, A. WILSON dan T. MANURUNG. 1996. Studi strategi kebutuhan energi dan protein untuk domba lokal: I Fase Pertumbuhan. JITV. 2(2): 84–91.

PUASTUTI, W., D. YULISTIANI dan I–W. MATHIUS. 2004. Pengaruh substitusi protein by-pass hidrolisat bulu ayam terhadap ketersediaan nitrogen dan pertambahan bobot badan

domba. Prosiding. Seminar Nasional.

Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm: 292–297.

PUASTUTI, W. 2005. Tolok Ukur Mutu Protein Ransum dan Relevensinya dengan Retensi Nitrogen serta Pertumbuhan Domba. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

PUASTUTI, W., I–W. MATHIUS dan D. YULISTIANI. 2006. Bungkil kedelai terproteksi cairan batang pisang sebagai pakan imbuhan ternak domba: In sacco dan in vivo. JITV.11(2): 106– 115.

PURBOWATI, E., E. BILIARTI dan S.P.S. BUDHI. 2004. Feed cost per gain domba yang digemukkan secara feedlot dengan pakan dasar jerami padi dan level konsentrat berbeda. Prosiding. Sistem Integasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20–22 Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hlm: 169– 174.

SANNES, R.A., M.A. MESSMAN and D.B. VAGNONI. 2002. Form of rumen-undegradable carbohydrate and nitrogen on microbial protein synthesis and protein efficiency of dairy cows. J. Dairy Sci. 85:900–908.

SIREGAR Z. 2004. Peningkatan Kinerja Pertumbuhan Domba Persilangan dan Lokal Melalui Suplementasi Hidrolisat Tepung Bulu Ayam dan Mineral Esesnsial dalam Ransum Berbasis

Limbah Perkebunan. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. SUBANDRIYO, B. SETIADI, E. HANDIWIRAWAN, M. DOLOKSARIBU,E.ROMJALI dan K.DIWYANTO. 1998. Pre-weaning performance of crossbreeding between local Sumaera sheep and Hairsheep. Bulletin of Animal Science. Suplement Edition 1998. Faculty of Animal Science. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Pp. 63–69.

SUBANDRIYO, B. SETIADI, B. TIESNAMURTI, U. ADIATI, E. HANDIWIRAWAN, M SYAERI, S. AMINAH dan E. SOPIAN. 2005. Pemantapan produksi dan seleksi domba Komposit Sumatera. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN. Tahun Angaran 2005. Buku I Ruminansia. Balai Penelitian Ternak. Bogor. SUTARDI T. 1994. Peningkatan Produksi Ternak

Ruminansia melalui Amoniasi Pakan Serat Bermutu Rendah, Defaunasi dan Suplementasi Sumber Protein Tahan Degradasi dalam Rumen. Laporan Penelitian Hibah Bersaing 1993/1994. Institut Pertanian Bogor, Bogor. TARMIDI, A.R. 2004. Pengaruh pemberian ransum

yang mengandung ampas tebu hasil biokonservasi oleh jamur tiram putih (Pleurotus astreatus) terhadap performans domba Priangan. JITV. 9(3): 157–163.

TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPROJO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1986. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

WAND, C. 2007. Protein Content in Modern Sheep Ration. htth://www.omafra.gov.on.ca/english/ livestock/sheep/facts/03-019.ttm. 25/07/2007. YULISTIANI, D., I-W. MATHIUS, M. MARTAWIDJAJA,

W. PUASTUTI dan SUBANDRIYO. 2002. Uji genotipa terhadap pakan pada domba Komposit Sumatera dan Persilangan Barbados. Prosiding. Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 30 September – 1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm: 178– 181.

ZAIN M. 1999. Substitusi Rumput dengan Sabut Sawit dalam Ransum Pertumbuhan Domba: Pengaruh Amoniasi, Defaunasi dan Suplementasi Analog Hidroksi Metionin serta Asam Amino Bercabang. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(7)

Gambar

Gambar 1. Grafik hubungan antara kadar protein ransum dengan PBHH domba fase pertumbuhan

Referensi

Dokumen terkait

Bagi hutan yang berstatus sebagai Hutan Larangan Adat Rumbio yang memiliki potensi untuk ikut ambil bagian, namun saat ini Hutan Larangan Adat belum

rahoituskustannukset. Yhteisö 5, olemassa olevan lainakannan rahoituskustannukset. Yhteisö 6, olemassa olevan lainakannan rahoituskustannukset. Yhteisö 7, olemassa

dibedakan menjadi sampah yang mengandung senyawa organik yang berasal dari tanaman, hewan dan mikroba dan sampah anorganik yaitu garbage (bahan yang mudah membusuk)

Accordingly, none of P.T Danareksa Sekuritas and/or its affiliated companies and/or their respective employees and/or agents shall be liable for any direct, indirect or

dan tergolong bakteri gram negatif yang diduga merupakan bakteri  Acetobacter xylinum, sedangkan pada pengenceran 10 -6 didapat berbentuk basil dan tergolong bakteri gram

Berdasarkan hasil estimasi model terlihat bahwa nilai probabilitas dari variabel tarif impor negara tujuan ekspor lebih kecil dari taraf nyata sepuluh persen (0.06 &lt;

Sampel dalam penelitian ini yaitu 57 anak lulusan SMP/MTs tahun 2015 dan 2016 yang tidak melanjutkan SMA/SMK Sederajat di Kecamatan Kuripan Kabupaten Probolinggo

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLI-B3, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague, Czech