• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anopheles sebagai vektor malaria Klasifikasi nyamuk Anopheles balabacensis Vektor Malaria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anopheles sebagai vektor malaria Klasifikasi nyamuk Anopheles balabacensis Vektor Malaria"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1 Klasifikasi nyamuk Anopheles balabacensis

Dalam susunan taksonomi, nyamuk Anopheles di klasifikasikan sebagai berikut seperti yang disampaikan oleh (Bruce-Chwatt 1985):

Kingdom : Animal Filum : Artropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Subordo : Nematocera Famili : Culicidae Subfamili : Anophelinae Genus : Anopheles

Sub genus : Cellia

Species : Anopheles balabacensis

2.1.2 Vektor Malaria

Bionomik vektor malaria sangat beragam. Bionomik vektor yang sangat beragam ini ikut menentukan cara penanggulangannya. Idealnya, intervensi pengendalain vektor harus mengarah kepada vektor sasarannya tanpa menimbulkan efek negatif bagi manusia atau lingkungan sekitarnya. Cara ini disebut dengan ’species sanitation’ yang dikembangkan pada tahun 1920an, sayangnya hanya diaplikasikan pada daerah-daerah tertentu saja. Meskipun beberapa vektor sesuai dengan ’spesies sanitation’ lokal, biaya untuk studi bionomik dan modifikasi lingkungan yang diperlukan seringkali menjadi penghalang (Najera dan Zaim 2003).

Pengetahuan tentang bionomik vektor sangat diperlukan dalam perencanaan pengendaliannya. Bionomik adalah bagian dari ilmu biologi yang menerangkan hubungan antara organisme dengan lingkungannya (WHO 1975).

Di seluruh dunia telah diketahui terdapat kurang lebih 4500 spesies nyamuk dalam 34 genus dari famili Culicidae. Hanya spesies dari genus

Anopheles yang berperan sebagai vektor malaria manusia. Jumlah Anopheles spp.

(2)

di antaranya diketahui sebagai vektor malaria. Jumlah spesies Anopheles yang telah dilaporkan di Indonesia sebanyak 80, dan 22 di antaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria (Sukowati 2009). Nyamuk penular malaria adalah berbagai jenis Anopheles. Jenis nyamuk ini antara lain A. maculatus, A. sundaicus, A.

aconitus, A. barbirostris, A. vagus, A. balabacensis. Habitatnya bervariasi

tergantung spesies, mulai dari lingkungan pegunungan sampai pantai (Sigit dan Hadi 2006).

Nyamuk Anopheles yang telah dikonfirmasi sebagai vektor di Indonesia adalah A. sundaicus sebagai vektor di daerah pantai, terdapat di wilayah Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Sumatra Utara, Lampung, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan. Nyamuk A. aconitus sebagai vektor di daerah pertanian padi dengan sawah bertingkat, terdapat di Provinsi Lampung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan NTB. Nyamuk A. subpictus sebagai vektor di daerah pantai, terdapat di wilayah Provinsi Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB, NTT, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Nyamuk A. balabacensis sebagai vektor di daerah hutan atau daerah pedalaman, terdapat di wilayah Provinsi NAD, DI Yogyakarta, NTB, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Nyamuk A. barbirostris sebagai vektor di daerah sawah dan irigasi, terdapat di wilayah Provinsi NTT, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Nyamuk A. letifer sebagai vektor di daerah pinggir pantai, terdapat di wilayah Provinsi Sumatra Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Nyamuk A. farauti sebagai vektor di daerah rawa-rawa dan saluran air, terdapat di wilayah Provinsi Papua Barat. Nyamuk A. bancrofti sebagai vektor di wilayah Provinsi Papua Barat. Nyamuk A. maculatus sebagai vektor di daerah pegunungan atau berbukit, terdapat di wilayah Propinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan NTB. Nyamuk A. minimus sebagai vektor di wilayah Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi tengah. Nyamuk A. nigerrimus sebagai vektor di daerah rawa dengan tanaman air, terdapat di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Nyamuk A. flavirostris sebagai vektor di daerah sungai yang tepinya berumput, terdapat di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Nyamuk A. punctulatus sebagai vektor daerah tepian sungai, terdapat di Provinsi Papua Barat. Nyamuk A.

(3)

sinensis sebagai vektor di daerah rawa dengan tanaman air, terdapat di wilayah

Propinsi Jawa Timur. Nyamuk A. tessellatus sebagai vektor di Sumatra Utara. Nyamuk A. koliensis sebagai vektor di daerah rawa-rawa yang tertutup, terdapat di wilayah Provinsi Papua Barat. Nyamuk A. kochi sebagai vektor di wilayah Propinsi Sumatra Utara. Nyamuk A. ludlowae sebagai vektor di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan (Depkes RI 2007d).

Di Jawa Bali, vektor sekunder yang penting adalah A. balabacensis, A.

flavirostris dan A. sinensis. Selama survei di Sumatera dengan menggunakan

koleksi umpan, di dapatkan A. aconitus, A. annularis, A. barbirostris, A.

maculatus, A. nigerrimus, A. sundaicus dan A.vagus (Wernsdorfer dan McGregor

1988 dalam Riyanti 2002 ).

Di Sulawesi yang dinyatakan sebagai vektor malaria adalah A. aconitus,

A. barbirostris, A. flavirostris, A. nigerrimus, A. subpictus, A. tesselatus dan A. vagus (Lien et al. 1977). Di Pulau Timor 14 spesies Anopheles sudah

diidentifikasi, diantaranya yang dapat berperan sebagai vektor malaria di Pulau Timor adalah A. annularis, A. barbirostris, A. flavirostris, A. subpictus dan A.

sundaicus (Lien et al. 1975 dalam Riyanti 2002). Selain itu yang berperan sebagai

vektor malaria di Papua Barat dan Maluku, yaitu dari punctulatus grup (A.

punculatus, A. koliensis, A. bancrofti dan A. farauti) (Depkes RI 2007d).

Menurut laporan Dinas Kesehatan Propinsi NTB jenis nyamuk Anopheles yang ditemukan di NTB sebanyak 9 spesies yaitu A. sundaicus, A. subpictus, A.

balabacensis, A. maculatus, A. aconitus, A. annularis, A. barbirostris, A. indifinitus dan A. vagus sedangkan nyamuk Anopheles yang sudah di konfirmasi

menjadi vektor utama di wilayah provinsi NTB ada 5 spesies yaitu : A. sundaicus,

A. subpictus, A. balabacensis, A. maculatus dan A. aconitus (Dinkes NTB 2008).

2.1.3 Perilaku Nyamuk Anopheles

Pergerakan populasi nyamuk pada berbagai bagian habitatnya diatur oleh beberapa faktor seperti, suhu, kelembaban, daya tarik hospes, daya tarik terhadap tempat berkembang biak dan istirahat. Suhu dan kelembaban yang tidak sesuai serta tidak tersedianya sumber darah menyebabkan nyamuk berpindah tempat

(4)

untuk mencari tempat yang cocok sebagai tempat berkembang biak. Daerah yang disenangi nyamuk adalah daerah yang memiliki tempat untuk beristirahat dan berkembang biak serta adanya hospes yang disukai .

Nyamuk yang aktif menggigit adalah nyamuk betina, hal ini dikarenakan darah diperlukan untuk pertumbuhan telurnya. Bila nyamuk sedang aktif mencari darah maka nyamuk akan terbang berkeliling sampai adanya rangsangan dari hospes yang cocok. Sifat nyamuk berupa kesukaan mencari darah hewan sebagai bahan pertumbuhan telurnya sukar ditentukan secara mutlak, mengingat beberapa spesies dari nyamuk tersebut juga menyukai darah manusia. Penempatan ternak kerbau dan sapi yang terlalu dekat dengan rumah penduduk dapat mengundang nyamuk berdatangan ke sekitar permukiman yang mengakibatkan nyamuk tidak hanya menghisap darah kerbau dan sapi tetapi juga dapat menghisap darah orang pada malam hari maupun beristirahat di dalam rumah pada pagi hari (Boewono 1986).

Pertumbuhan dan perkembangan populasi nyamuk pada habitatnya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber makanan dan darah serta lingkungannya seperti suhu udara, kelembaban udara, hospes, tempat berkembang biak, tempat pemenuhan kebutuhan fisiologis dan tempat istirahat.

Nyamuk A. aconitus, A. subpictus, A. balabacensis, A. maculatus, A.

letifer dan A. nigerimus lebih suka darah binatang seperti darah kera, sapi dan

kerbau namun sering juga ditemukan menghisap darah manusia. Nyamuk

Anopheles betina sangat membutuhkan darah untuk pematangan telur dan

kelangsungan hidupnya dan hal itu dapat terpenuhi dengan menghisap darah manusia dan binatang (Hardey et al. 2000).

Perilaku Anopheles dalam menghisap darah berbeda pada beberapa daerah seperti A. sundaicus di daerah pantai Pangandaran Jawa Barat lebih senang menghisap darah di luar rumah dari pada di dalam rumah dan puncak kepadatan menghisap darah manusia pada pukul 02.00- 03.00 (Situmeang 1991). Di daerah persawahan desa Kasimbar Sulawesi tengah yang berada di dataran rendah ditemukan A. barbirostris menghisap darah orang di dalam rumah tetapi lebih

(5)

dominan di luar rumah dan kepadatan tertinggi pada jam 23.00-24.00 (Jastal et al. 2001).

Nyamuk A. vagus di Kecamatan Padang Cermin Lampung Selatan bersifat eksofagik (Idram et al. 1993 dalam Aprianto 2002). Lestari et al. (1999) melaporkan A. vagus di Tanah Laut Kalimantan Selatan aktif menggigit orang antara pukul 21.00 sampai dengan 02.00 malam.

Di desa Tongoa Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, perilaku nyamuk A. barbirostris, A. nigerrimus, A. barbumbrosus dalam mencari darah lebih bersifat eksofagik dan antropofilik, sedangkan nyamuk A. tesselatus,

A. vagus, A. punctulatus, A. kochi lebih bersifat eksofagik dan zoofagik (Jastal

2005).

Penyebaran A. balabacensis meliputi wilayah India, Bangladesh, Birma, Thailand, Indonesia, Malaysia, Kamboja, China, Taiwan dan Filipina (Rao 1981). Untuk wilayah Indonesia meliputi Propinsi Nangro Aceh Darussalam, DI Yogyakarta, NTB, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Jawa Tengah (Depkes 2007c). Habitat A. balabacensis berupa daerah hutan yang cukup basah yang memiliki genangan air tawar dalam hutan yang permanen ataupun yang sementara, tetapi tidak ditemukan pada habitat yang terkena matahari langsung (Khin-Maung-Kyi 1971 dalam Rao 1981).

Nyamuk A. balabacensis adalah nyamuk yang bersifat eksofagik (Mahmud 2002) dan banyak ditemukan di kandang ternak sekitar pukul 01.00-03.00 (Boewono dan Ristiyanto 2004). Demikian pula menurut Suwasono et al. (2005) di Kabupaten Banjar Negara Provinsi Jawa Tengah, fluktuasi padat populasi A.

balabacensis lebih banyak di luar rumah dibandingkan didalam rumah. Menurut

Lestari et al. (1999) di Muara Bungo Jambi A. balabacensis aktif menggigit orang pukul 22.00 sampai 03.00, tetapi di Tanah Laut Kalimantan Selatan, nyamuk ini aktif menggigit orang pukul 19.00-24.00. Di perkampungan Palao-u Thailand A.

balabacensis aktif menggigit orang malam hari antara pukul 18.00-23.00

(Rattanarithikul et al.1996).

Nyamuk A. balabacensis dan A. maculatus di desa Hargotirto Kecamatan Kokap kabupaten Kulon Progo DI Yogyakarta lebih menyukai inang orang,

(6)

sedangkan A. vagus lebih menyukai inang sapi. Nyamuk A. balabacensis, A.

maculatus dan A. vagus mendatangi inang orang di dalam maupun di luar rumah

yang berlangsung sepanjang malam dengan puncak aktivitas menggigitnya pada tengah malam antara pukul 22.00 – 24.00 (Aprianto 2002). Nyamuk A .maculatus banyak di temukan di dapur dan A. balabacensis ditemukan di seluruh bagian rumah (Mahmud 2002), A. balabacensis paling dominan tertangkap melalui umpan orang (Effendi 2002).

2.2 Penyebab Malaria

Genus Plasmodium termasuk ke dalam famili Plasmodiidae dari ordo

Coccidiida dan subordo Haemosporidiidea. Plasmodium diklasifikasikan ke

dalam beberapa subgenus, sedangkan pada manusia ada empat spesies yaitu P.

falciparum (Welch, 1897), P. malariae (Laveran 1881), P. vivax (Grassi dan

Feletti, 1890) dan P. ovale (Stephens, 1922) semuanya termasuk dalam subgenus

Plasmodium (Bruce-Chwatt 1980, Eldridge dan Edman 2004). P. falcifarum

penyebab penyakit malaria tropika sering menyebabkan malaria berat, selebral malaria / malaria otak yang fatal, gejala serangannya timbul berselang setiap dua hari (48 jam). P. vivax penyebab penyakit malaria tertiana gejala serangannya timbul berselang setiap tiga hari. P. malariae penyebab penyakit malaria kuartana gejala serangannya timbul berselang setiap empat hari. P. ovale, jenis ini umumnya banyak di Afrika dan Pasifik Barat (BPVRP 2006). P. falcifarum dan

P. vivax adalah dua parasit yang paling banyak menginfeksi manusia di seluruh

dunia. Distribusi P. vivax umumnya tersebar luas dan terdapat di wilayah beriklim tropis dan sedang (Eldridge dan Edman 2004).

Di Indonesia sampai saat ini ada empat spesies parasit malaria yang yaitu

P. falciparum, P. malariae, P. vivax dan P. ovale. Seorang penderita dapat

dihinggapi lebih dari satu jenis Plasmodium yang disebut dengan infeksi

campuran (mixed infection), umumnya terdiri dari dua campuran, yaitu P.falciparum dan P. vivax atau P. malariae. Infeksi campuran biasanya terjadi di

(7)

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat infeksi campuran masih terjadi, infeksi oleh P. falciparum tertinggi pada tahun 2008 di temukan di Kabupaten Lombok Barat (77,44 %) di ikuti Kabupaten Lombok Timur (75,7 %), Kota Mataram (68,12%) dan terendah di Kabupaten Sumbawa Barat (14,12 %) dengan rata-rata Provinsi (23,11 %). Bila di bandingkan dengan tahun 2007 terjadi penurunan yaitu angka P. falciparum tahun 2007 adalah 25,43%. Hal ini perlu mendapat perhatian tersendiri karena tingginya angka cenderung mengarah kepada suatu kejadian luar biasa (KLB) malaria, terutama pada daerah-daerah yang memiliki angka infeksi P. falciparum diatas 50%, sehingga perlu dipantau secara seksama dengan meningkatkan surveilans puskesmas. KLB yang terjadi selama ini selalu diikuti sebelumnya oleh adanya angka P. falciparum yang dominan di samping indikator-indikator lainnya (Dinkes NTB 2008).

Plasmodium falciparum mempunyai masa infeksi dan inkubasi paling

pendek dengan derajat parasitemia tinggi dan gejala paling berat. Plasmodium

vivax dan Plasmodium ovale biasanya menghasilkan parasitermia yang rendah,

gejala yang lebih ringan dan masa inkubasi lebih lama (Harijanto, 2000).

2.3 Siklus Hidup Plasmodium

Siklus hidup Plasmodium sangat kompleks sesuai dengan fase pertumbuhan Plasmodium. Siklus malaria dimulai saat sporozoit masuk ke dalam tubuh manusia pada saat nyamuk menggigit manusia. Sporozit masuk ke dalam darah dan dalarn waktu 30 menit masuk ke dalam sel hati dan terjadilah fase eksoeritrositer

Fase eksoeritrositer. Sporozoit yang masuk ke dalam sistem sirkulasi dan menyerang sel hati membelah secara aseksual dalam proses yang disebut eksoeritrosit skizogoni. Bentuk merozoit menyerang sel hati tetapi tidak menyebabkan reaksi peradangan pada hati. Lama kelamaan sel yang terserang menjadi besar dan rusak serta melepaskan ribuan merozoit ke aliran darah.

Fase dorman atau hipnosoit. Infeksi karena P. falciparum dan P.

malariae mempunyai satu bentuk tunggal eksoeritrosit. Sebaliknya, P. vivax dan P. ovale mempunyai dua bentuk eksoeritrosit. Bentuk yang pertama berkembang,

(8)

menyebabkan rusaknya sel hati dan melepaskan merozoit sama seperti P.

falciparum dan P. malariae. Bentuk kedua, yang berkembang pada saat

bersamaan dikenal sebagai hipnosoit. Sporozoit yang masuk ke dalam sel hati berubah menjadi hipnosoit yang terus hidup dan bersembunyi selama berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Suatu saat, hipnosoit menjadi aktif dan menjadi eksoeritrosit skizogoni, membentuk merozoit yang menyebabkan kasus kambuh (NAMRU-2 2007). Khusus P. vivax dan P. ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (skizon jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit tetapi tertanam di jaringan hati disebut hipnosoit, bentuk hipnosoit inilah yang menyebabkan malaria kambuh (Bruce-Chwatt 1980 dalam Juliawati 2008).

Fase eritrosit. Merozoit yang terlepas yang masuk ke dalam sel darah merah (eritrosit) kemudian berkembang menjadi bentuk ring (tropozoit muda). Setelah masa pertumbuhan, nukleus tropozoit membelah dan berkembang, membentuk skizon dengan 8-36 nukleus dalam setiap sel darah merah. Saat proses ini selesai, sel darah merah yang terinfeksi akan hancur dan melepaskan merozoit matang. Gejala malaria muncul pada saat ini. Merozoit kemudian menyerang eritrosit baru dan generasi parasit lainnya berkembangbiak dengan cara yang sama. Proses ini terjadi berulang-ulang selama masa infeksi dan disebut sebagai eritrosit skizogoni. Masa siklus berbeda-beda pada setiap Plasmodium. P.

falciparum, P. vivax dan P. ovale selama 24-30 jam, serta 72 jam pada P. malariae. Setelah generasi siklus aseksual, beberapa merozoit berubah menjadi

bentuk seksual yaitu betina disebut marogametosit dan jantan mikrogametosit kemudian berkembang di dalam sel darah merah yang diserang.

Fase vektor. Nyamuk Anopheles betina mendapat darah inang yang terinfeksi Plasmodium bentuk seksual yang berkembang di dalam sel darah merah. Makrogametosit dan mikrogametosit matang di dalam perut nyamuk, kemudian bereduksi menjadi makrogamet dan delapan mikrogamet (eksflagela). Makrogamet dan mikrogamet mengadakan perkawinan dan membentuk zigot yang menghasilkan ookinet. Ookinet akan menembus lambung nyamuk melalui sel-sel epitel dan menempel pada bagian luar nyamuk dan berubah menjadi

(9)

ookista. Ookista membesar saat nukleus membelah kemudian pecah dan melepaskan ribuan sporozoit. Sporozoit bergerak menuju kelenjar ludah nyamuk dan slap untuk ditularkan. Siklus hidup pada fase vektor disebut sporogoni yang membutuhkan waktu 8-35 hari tergantung pada jenis Plasmodium dan kondisi lingkungan (Bruce-Chwatt 1980 dalam Juliawati 2008).

2.4 Pengendalian Vektor

Timbulnya penyakit malaria erat kaitannya dengan nyamuk Anopheles. Berbagai upaya pengendalian terhadap penyakit malaria telah lama dilakukan, namun hingga tahun 2007 KLB selalu ada dan kasus meningkat dibeberapa daerah. Kejadian ini akan terus berlangsung apabila pengendalian vektor yang dilakukan hanya berdasarkan pada tingginya kasus klinis saja tanpa mengetahui perilaku vektor, kondisi lingkungan temasuk kebiasaan masyarakat.

Di Indonesia dikenal beberapa metode pengendalian vektor malaria yang dikelompokkan dalam lima kegiatan yaitu (1) pemakaian kelambu berinsektisida, (2) penyemprotan rumah, (3) pengendalian hayati, (4) Larvasidasi, dan (5) pengelolaan lingkungan (Depkes RI 2006).

2.4.1 Pemakaian Kelambu Berinsektisida

Kelambu berinsektisida (Insecticide-Treated Bed Nets/ ITNs) adalah perlindungan individu untuk menekan angka kesakitan dan kematian karena malaria di wilayah endemis. ITNs merupakan cara pengendalian vektor yang terbanyak dilakukan saat ini. Adanya insektisida pada kelambu dapat membunuh nyamuk dan serangga lainnya. Namun, insektisida yang digunakan toksisitasnya rendah terhadap mamalia, biasanya digunakan dari golongan Piretroid.

Sebelumnya, kelambu hanya bertahan selama 6-12 bulan tergantung frekuensi pencucian kelambu, karena itu sekarang ada kelambu yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama (Long-Lasting Insecticide-treated

Nets / LLINs). Konsentrasi insektisida yang digunakan dapat bertahan selama

lebih dari tiga tahun. WHO merekomendasikan lima jenis LLINs untuk pencegahan malaria, antara lain (a) Duranet (Clarke Mosquito Control), (b) Interceptor Net (BASF), (c) NetProtect (Intelligent Insect Control), (d) Olyset Net

(10)

(Sumitomo Chemical) dan (e) PermaNet (Vestergaard-Frandsen). Hadi (2001) melaporkan bahwa penggunaan kelambu dapat mengurangi kasus malaria, sedangkan penggunaan repelen mencegah terhadap infeksi malaria. Penggunaan kelambu berinsektisida di Papua New Guinea mampu memberikan perlindungan lebih dari 95% terhadap penggunanya dari malaria (Frances et al. 2003).

Penggunaan kelambu di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2003 (8.775 kelambu), tahun 2004 ( 200 kelambu), tahun 2005 (800 kelambu), tahun 2006 (2133 kelambu) dan tahun 2007 (1600 kelambu) sedangkan pembagian kelambu tahun 2008 di tunda pelaksanaanya karena kelambu belum dikirim dari Jakarta, dan direncanakan seluruh Kabupaten/Kota se NTB akan didistribusikan kelambu sebanyak 72.000 kelambu dengan prioritas pada ibu hamil, bayi dan KK yang ada balitanya, serta penduduk yang telah mendapatkan imunisasi lengkap. Penggunaan kelambu di Kabupaten Lombok Barat pada tahun 2004 sebanyak 4000 kelambu difokuskan di Kecamatan Batulayar, tahun 2006 sebanyak 500 kelambu dan 2007 sebanyak 300 kelambu (Dinkes NTB 2008).

Hasil penelitian mengenai pengaruh pemakaian kelambu berinsektisida terhadap penurunan angka kesakitan malaria di dusun Kerandangan Desa Senggigi Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat, menunjukkan telah terjadi penurunan angka kesakitan malaria yang sangat signifikan di dusun tersebut (Wardana 2003).

2.4.2 Penyemprotan rumah (IRS / indoor residual spraying)

Perilaku vektor malaria kebanyakan adalah endofilik. Pengendalian vektor untuk perilaku ini adalah dengan metode penyemprotan rumah (Indoor Residual

Spraying/IRS). IRS merupakan pelindung terhadap nyamuk yang disemprotkan

pada dinding dan permukaan rumah dengan menggunakan insektisida. IRS tidak melindungi seseorang secara langsung terhadap gigitan nyamuk, namun lebih sebagai suatu upaya membunuh nyamuk yang beristirahat di dinding sebelum ataupun setelah menggigit manusia. Penyemprotan semua rumah dilakukan pada daerah permukiman baru (transmigran) dan pada daerah KLB.

(11)

Menurut laporan Dinkes Propinsi NTB kegiatan IRS dilakukan bila terjadi KLB sebagai pemutus mata rantai penularan. Pada tahun 2008 Puskesmas Alas, Desa Bungin Kabupaten Sumbawa Besar telah melakukan penyemprotan rumah sebanyak 300 rumah (Dinkes NTB 2008). Dinkes Kabupaten Lombok Barat tahun 2006 telah melaksanakan kegiatan penyemprotan rumah sebanyak 75 rumah di dusun Poan Desa Guntur Macan Kecamatan Batulayar, 265 rumah di dusun Selelos Desa Bentek Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Barat, kegiatan penyemprotan rumah dilaksanakan dalam rangka menurunkan kasus malaria di wilayah tersebut (Dinkes Lobar 2008).

Pada kasus apabila nyamuk banyak menggigit hewan sebagai alternatif pemutusan mata rantai penularan penyakit malaria terhadap hewan adalah hewan disemprot dengan insektisida. Perlakuan dengan pemaparan insektisida pada sapi dapat menjaga kestabilan populasi A. vagus yang telah mengalami penurunan (Hasan 2006).

2.4.3 Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati adalah dengan memanfaatkan musuh alami nyamuk. Musuh alami yang digunakan dalam pengendalian hayati adalah predator, patogen, parasit dan kompetitor. Pengendalian populasi vektor dengan menggunakan predator vertebrata seperti ikan pemakan larva (Gambusia affinis dan Poecilia reticulata), selain dapat menyediakan protein bagi masyarakat juga terbukti dapat menurunkan populasi larva nyamuk (Rozendaal 1997). Di laboratorium, setiap ekor ikan kepala timah (Aplocheilus panchax) mampu memangsa larva A. aconitus (instar tiga dan empat) rata-rata 119,4 ekor/hari (Winarno 1989) sedangkan ikan gapi (Poecilia reticulata) dalam waktu 24 jam rata-rata mampu memangsa 87,6 ekor larva A. aconitus (Arifin 1989). Sementara itu, ikan mujair (Oreochromis mossambicus) dalam waktu 24 jam dapat memangsa 480 larva A. aconitus (Mattimu 1989).

Jenis ikan pemakan jentik yang di tebar oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat dalam rangka pengendalian hayati jentik malaria adalah nila merah, tawes dan mujair, ikan tersebut diperoleh dari Dinas Perikanan sebagai

(12)

bentuk kerjasama/kemitraan dalam kegiatan Gebrak Malaria di tingkat Kabupaten (Dinkes NTB 2008).

Hasil penelitian mengenai pengaruh penebaran ikan nila terhadap penurunan kepadan jentik Anopheles di laguna Kerandangan Desa Senggigi Kabupaten Lombok Barat menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara Penebaran ikan nila terhadap penurunan kepadatan jentik Anopheles (Royati 2005).

2.4.4 Larvasidasi

Pemberian larvasida golongan karbamat (BPMC) terhadap larva A.

aconitus dapat memperpanjang masa siklus larva dari instar satu (L1) sampai

instar empat (L4), mengganggu proses eklosi, kelainan telur dan menurunkan jumlah produksi telur serta memperpendek umur nyamuk bila sempat menjadi dewasa (Sujatmiko 2000).

Cara alamiah dan dianggap aman untuk anti larva adalah memanfaatkan tumbuhan sebagai insektisida nabati (biopestisida). Biopestisida merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan, mudah diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi musuh alami dan serangga menguntungkan lainnya. Insektisida ini merupakan satu sarana pengendalian hama alternatif yang lebih selektif dan aman, karena senyawa insektisida dari tumbuhan mudah terurai (terdegradasi) di alam sehingga tidak meninggalkan residu di tanah, air dan udara.

Amer & Mehlhorn (2006) menyatakan bahwa minyak tumbuhan yang berasal dari tanaman (camphor, thyme, amyris, lemon, cedarwood, fankincense,

dill, verbena dan sandalwood) memiliki bioaktivitas sebagai larvasida dengan

nilai LC50 sebesar 1-101,3 ppm untuk larva Aedes aegypti, sebesar 9,7-101,4 ppm untuk A. stephensi, dan sebesar 1-50,2 ppm untuk Culex quinquefasciatus.

Minyak yang diperoleh dari ekstrak Ipomoea cairica, pada konsentrasi 100 ppm telah berhasil membunuh 100% larva C. tritaeniorhynchus dengan nilai LC50 sebesar 14,8 ppm. Konsentrasi 120 ppm mampu membunuh larva Ae. aegypti dan

A. stephensi dengan nilai LC50 secara berturut-turut adalah 22,3 ppm dan 14,9 ppm (Thomas et al. 2004 dalam Juliawati 2008).

(13)

Pradono et al. (2007) melaporkan bahwa minyak biji kamandrah (Croton

tiglium) satu famili dengan jarak pagar (Jairopha curcas) yaitu Euphorbiaceae

mempunyai dosis efektif LC5O sebesar 769,52 ppm dan LC90 sebesar 2717,4 ppm terhadap kematian larva Ae. aegypti selama perlakuan 24 jam.

Kegiatan pengendalian larva di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat di lakukan dengan menyemprotkan Spora (Bacillus thuringiensis) di laguna-laguna yang potensial. Data Sub Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kabupaten Lombok Barat tahun 2008, yaitu ada empat lokasi yang dilakukan larvasidasi di wilayah Kecamatan Batulayar antara lain : laguna di desa Meninting, Batulayar dan Senggigi. Ketiga wilayah tersebut merupakan daerah endemis malaria di Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat.

Interaksi sinergi endotoksin antara Bacillus sphaericus dan B.

thuringiensis subp. israelensis sangat penting dalam membunuh larva (Wirth et al.

2004 dalam Juliawati 2008). Evaluasi di dalam laboratorium, menunjukkan bahwa kombinasi Bacillus sphaericus dan B. thuringiensis subp. israelensis menunjukkan toksisitas yang tinggi terhadap larva Culex dengan LC50 dan LC90 masing-masing 0,023 dan 0,064 ppm (Zahiri et al. 2004).

2.4.5 Pengelolaan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan berupa modifikasi dan manipulasi lingkungan merupakan satu cara pengendalian nyamuk. Modifikasi lingkungan adalah setiap kegiatan yang mengubah fisik lingkungan secara permanen agar tempat perindukan nyamuk hilang, seperti penimbunan, pengeringan dan pengaturan sistem pengairan. Manipulasi lingkungan adalah suatu bentuk kegiatan untuk menghasilkan suatu keadaan sementara yang tidak menguntungkan bagi nyamuk, seperti pengangkatan lumut dari laguna, pengubahan kadar garam dan sistem pengairan secara berkala di lahan pertanian.

Pengaliran air dan pembersihan genangan air dari tanaman yang mengapung dapat mengubah genangan tersebut menjadi tidak menguntungkan bagi perkembangan larva Anopheles. Pembersihan semak-semak sekitar di sekitar permukiman dapat menjauhkan tempat istirahat nyamuk A. balabacensis.

(14)

Pembuatan saluran penghubung air payau dengan air laut dapat menyebabkan air payau menjadi lebih asin mengakibatkan nyamuk tidak berkembangbiak di sana (Rozendaal 1997).

Kegiatan pembukaan laguna oleh masyarakat di desa Senggigi Kecamatan Batulayar dilaksanakan secara gotong royong apabila laguna tersebut telah tergenang lebih dari satu bulan. Pembersihan lumut yang dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Lombok Barat di laksanakan melalui pembiayaan dari dana Puskesmas setempat (Dinkes Lombok Barat 2008).

2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam pengendalian malaria

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknik berbasis komputer yang dapat mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, mengolah dan mengelola berbagai data spasial dari fenomena geografis agar kemudian dapat dianalisis dan hasilnya digunakan dalam penentuan berbagai kebijakan oleh para pengguna.

Analisis dan aplikasi SIG digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas manusia yang erat hubungannya dengan fenomena geografis terutama dalam analisa keruangan. Analisis tersebut diantaranya overlay, buffer, sebaran,

network dan tiga dimensi (digital terrain model) (Universitas Indonesia 2005).

Aplikasi SIG di bidang kesehatan untuk penyediaan data atribut dan spasial yang menggambarkan distribusi atau pola spasial penyebaran penderita suatu penyakit, pola atau model penyebaran penyakit, distribusi unit-unit (jumlah tenaga tenaga medis berikut fasilitas pendukungnya) pelayanan kesehatan (Prahasta 2005).

Malaria berkaitan dengan informasi tentang lingkungan, seperti topografi, temperatur, curah hujan, penggunaan tanah, pergerakan penduduk, semua hal tersebut mempunyai variasi tempat dan waktu yang besar, sehingga kemampuan SIG dengan alat bantunya dapat dengan mudah memperlihatkan besaran dan distribusinya. Petugas malaria akan lebih mudah mengenali wilayah menggunakan peta sebagai alat kesehariannya, termasuk untuk

(15)

mengkomunikasikan ide, menjelaskan faktor yang menentukan malaria dan strategi untuk kontrol (Bretas 1996 dalam Susana 2005).

Dalam suatu penelitian di Srilanka SIG antara lain digunakan untuk (1) pemetaan dari foto wilayah, kasus berdasarkan ketinggian, (2) monitoring dengan

passive dan active case detection, (3) peta rumah dengan kategori jenis bangunan

permanen dan tidak permanen, (4) lokasi terdekat dengan sumber air dan hutan terdekat, (5) menentukan kejadian malaria untuk setiap rumah, (6) jarak terhadap sumber air dan pinggir hutan berpengaruh terhadap jumlah kasus, dan (7) makin dekat sumber air dan makin buruk rumah makin berisiko untuk terkena malaria (Gunawardana 1996 dalam Susana 2005).

Penelitian faktor penentu lingkungan malaria terhambat oleh berbagai kesulitan dalam hal pengumpulan, pencarian serta analisis data tentang lingkungan. Penginderaan jauh (remote sensing) menggunakan Global

Positioning System (GPS) atau sistem penentu posisi global merupakan suatu alat

baru yang sangat penting dalam penelitian dan pengendalian penyakit malaria Diharapkan dengan kemampuan SIG dengan alat bantunya, dapat dengan mudah memperlihatkan besaran dan distribusi penyakit malaria (Bretas 1996 dalam Susana 2005). mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm

Referensi

Dokumen terkait

Hasil studi di Afrika misalnya mengungkapkan bahwa sistem pertanian semi organik ternyata mampu meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan,

Salah satu aspek yang urgen untuk diakomodir adalah nilai-nilai kearifan lokal yang sejalan dengan ideal moral Alquran atau weltanschauung Alquran, karena hal tersebut langsung

Setelah dilakukan proses jartest didapatkan bahwa dosis optimum untuk penyisihan COD dengan menggunakan koagulan kitosan keong sawah adalah pada dosis 250 mg/L dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di perpustakaan STIKES Mega Rezky Makassar peran pustakawan dalam memahami karakter pemustaka belum maksimal mereka hanya bisa

Oleh karena terdapatnya reaksi Fe 2+ yang ada dalam hemoglobin dengan oksigen yang terdapat di alam dan perbedaan tingkat suhu dan kelembaban, maka

2.3 Perkembangan Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abasiyah.. Masa Abbasiyah menjadi tonggak puncak peradaban Islam. Khalifah- khalifah Bani Abbasiyah secara

Pembinaan terhadap pelaku usaha dan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di di masyarakat tidak hanya ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen,