• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Struktur Utang Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Struktur Utang Nasional"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Struktur

Utang Nasional

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia

2008

Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc, Ph.D

(2)

Kata Pengantar... i

Problem Overview... 1

Policy Question... 1

BAB I PENDAHULUAN... 2

I.I Latar Belakang Masalah... 2

1.2 Tujuan ... 5

1.3 Manfaat ... 5

BAB II KAJIAN AKADEMIK ... 6

2.I Pembiayaan Sektor Kesehatan ... 6

2.2 Kondisi Perkembangan Utang Indonesia Terhadap Negara Maju... 8

2.3 Indikator Beban Utang... 13

2.4 Utang Luar Negeri Swasta... 14

2.5 Pemanfaatan Utang Luar Negeri ... 16

2.6 Efektifitas Utang Luar Negeri ... 17

2.7 Masalah Daya Serap... 18

2.8 Pasar Obligasi Internasional ... 20

2.9 Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter... 21

BAB III PEMBAHASAN... 22

3.1 Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis ... 22

3.2 Pengaruh Perkembangan Global... 22

3.3 Pengaruh Perkembangan Regional ... 22

KESIMPULAN... 28

SARAN ... 29

(3)

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan memudahkan proses belajar mengajar di Universitas Indonesia, khususnya untuk Topik Kebijakan Kesehatan, penulis membuat Seri Studi Kasus tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan. Studi kasus ini dikembangkan dari kegiatan belajar mengajar berbagai Mata Ajaran di tingkat Pascasarjana dan Sarjana tentang Kebijakan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Sebagai penanggung jawab Mata ajaran tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan di lingkungan FKM UI, penulis merasa perlu untuk menyusun Studi Kasus ini agar dapat merangsang kreativitas dan memberikan perspektif yang komprehensif dan luas sambil mengasah daya nalar yang kritis dari setiap mahasiswa dalam mempelajari berbagai aspek dalam pembuatan kebijakan publik di sektor kesehatan.

Seluruh topik dan format, serta sebagian isi yang ada pada Seri Studi Kasus ini penulis susun sebagai penugasan pada mahasiswa untuk selanjutnya dielaborasi menjadi sebuah makalah ilmiah. Hasil dari penyusunan makalah ilmiah ini penulis sempurnakan menjadi Studi Kasus untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran topik Pembuatan Kebijakan Kesehatan terutama di lingkungan Universitas Indonesia. Adanya kelengkapan struktur Studi Kasus yang meliputi: Naskah Akademik & Draft Pasal Peraturan Perundangan yang diusulkan. Naskah Akademik memuat substansi: Pendahuluan, Tinjauan Masalah, Landasan Hukum, Materi Muatan, Penutup, Daftar Pustaka. Struktur ini diharapkan dapat membantu mahasiswa menyusun sebuah kebijakan berdasarkan masalah kesehatan masyarakat (Public Health problem-based) yang dilengkapi dengan sintesis & analisis, dikemas berdasarkan teori dan perspektif ilmiah dalam sebuah Naskah Akademik, dan kemudian diuraikan dalam konstruksi sebuah Draft Peraturan Perundangan.

Kepustakaan utama yang digunakan dalam penyusunan Studi Kasus ini adalah Sistem Kesehatan, Wiku Adisasmito (2007), Making Health Policy, Kent Buse, et al (2006), The Health Care Policy Process, Carol Barker (1996), Health Policy, An Introduction to Process and Power, Gill Walt (1994), dan UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Dengan demikian diharapkan studi kasus ini dapat memberikan materi komplit yang diperlukan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Sdr Nurbaiti, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKM UI Angkatan 2006/2007 yang telah membantu menyusun makalah yang kemudian makalah tersebut dimodivikasi oleh penulis sebagai studi kasus. Mohon maaf apabila ada kekurangan / kesalahan dalam penyusunan materi Studi Kasus ini. Kritik dan saran akan membantu penulis dalam upaya meningkatkan kualitas Studi Kasus ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan ridlo Illahi dalam menuntut ilmu agar bermanfaat. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Depok, 27 Februari 2008

Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD

Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

(4)

Analisis Struktur Utang Nasional

Oleh: Wiku Adisasmito dan Nurbaiti

Problem Overview

:

Untuk ukuran negara berkembang, jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia tergolong tinggi, sampai akhir tahun 2003 jumlah pinjaman dari IMF telah mencapai US$ 14,6 milliar. Utang luar negeri yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian ternyata telah menyandera bangsa, membuat kita mendekati ajal, membuat kita beranggapan bahwa membayar utang sebagai rutinitis, tanpa pertanyaan mengapa hal itu harus dilakukan. Apa yang diperoleh negara dari keringat rakyat seolah hanya untuk membayar dan menambah utang. Untuk membangun dan menyejahterakan bangsa, hanya diperoleh dari sisa-sisa pembayaran utang.

Policy Question

:

1. Bagaimana kebijakan Pemerintah terkait dengan masalah utang di Indonesia? 2. Bagaimana content kebijakan tersebut dianalisis?

3. Apakah kebijakan tersebut sudah memenuhi aspek-aspek lingkungan strategis (IPOLEKSOSBUDHANKAM)?

(5)

BAB I PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Sejak masa orde lama hingga saat ini Pemerintah Indonesia telah menggunakan pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan. Pada pertengahan tahun 1960-an, Pemerintah Orde lama mewariskan utang luar negeri sejumlah US$ 2.2211,8 juta (per Juni 1966). Orde baru di awal pemerintahannya pernah menikmati kebijakan pemotongan utang luar negeri dari para kreditor karena pada saat itu belum memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk membayar utang. Pemerintah melakukan proses penjadwalan utang melalui Paris Club dan normalisasi hubungan yang sempat terputus dengan berbagai lembaga multilateral, terutama IMF (International Monetery Fund) dan Bank Dunia. Dengan kondisi keuangan negara yang hampir bangkrut, pinjaman luar negeri merupakan alternatif terbaik untuk meningkatkan perekonomian.

Secara global kegiatan pembangunannya Indonesia mengandalkan utang. Untuk ukuran negara berkembang, jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia tergolong tinggi. Krisis moneter dan ekonomi yang menimpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 memaksa Indonesia bekerja sama dengan badan ekonomi dunia IMF untuk secara bersama-sama memperbaiki perekonomian. Kerja bersama-sama tersebut dalam bentuk pinjaman yang hanya bisa ditempatkan dalam cadangan devisa Bank Indonesia, bukan untuk menutupi kekurangan pembiayaan APBN. Pinjaman IMF ini dimaksudkan agar tercipta kepercayaan yang lebih besar kepada kemampuan negara untuk menghadapi berbagai kewajiban pembayaran ke luar negeri, termasuk untuk impor, dengan memunculkan angka yang lebih baik pada cadangan devisa negara peminjamnya. Pinjaman pertama IMF dikucurkan pada tanggal 5 November 1997 sekitar US$ 3 milliar. Sampai akhir tahun 2003, jumlah pinjaman dari IMF telah mencapai US$ 14,6 milliar (lihat tabel 1.1).

Tabel 1.1.

Perkembangan Jumlah Pinjaman Pemerintah Indonesia Kepada IMF Jumlah Pencairan Jumlah Kumulatif No Tanggal

Pencairan Jenis Pinja man Baru/Review (Jt SDR) (Jt. USD) (Jt SDR) (Jt. USD) 1. 05-11-1997 Stan d-by Arran geme nt Pinjaman baru Sebesar 7.338,00 miliar SDR (sekitar US$10,14 miliar) 2.200,00 3.040,00 2.200,00 3.040,00 2. 04-05-1998 Review pertama 733,80 989,40 2.933,80 4.029,40 3. 15-07-1998 Review kedua Menaikan plafond pinjaman menjadi 8,30 miliar SDR (sekitar US$ 11.000,00 734,00 1.000,00 3.667,80 5.029,40

(6)

miliar) 4. 25-08-1998 Exten ded Fund Faci lity Pinjaman baru Mengganti kan SBA sebesar 4,7 miliar SDR(US$ 6,2 Miliar) 734,00 1.000,00 4.401,80 6.029,40 5. 25-09-1998 Review pertama 684,30 940,00 5.086,10 6.969,40 6. 06-11-1998 Review kedua 684,30 960,00 5.770,40 7.929,40 7. 15-12-1998 Review ketiga 684,30 957,00 6.454,70 8.886,40 8. 25-03-1999 Review keempat 337,00 460,00 6.791,70 9.346,40 9. 07-06-1999 Review kelima 337,00 450,00 7.128,70 9.796,40 10. 03-08-1999 Review keenam 337,00 460,00 7.465,70 10.256,4 0 11. 04-02-2000 Exten ded Fund Faci lity Pinjaman baru Sebesar 3,638 miliar SDR(sekitar US$ 5 miliar) Mengganti kan sisa pinjaman lama 260,00 349,00 7.725,70 10.605,4 0 12. 02-06-2000 Review pertama 282,00 372,00 8.007,70 10.977,4 0 13. 14-09-2000 Review kedua 309,65 398,94 8.317,35 11.376,3 4 14. 10-09-2001 Review ketiga 309,65 395,00 8.627,00 11.771,3 4 15. 29-01-2002 Review keempat 275,24 341,00 8.902,24 12.112,3 4 16. 26-04-2002 Review kelima 275,24 347,00 9.177,48 12.459,3 4 17. 21-06-2002 Review keenam 275,24 358,00 9.452,72 12.817,3 4 18. 05-12-2002 Review ketujuh 275,24 365,00 9.727,96 13.182,3 4 19. 28-03-2003 Review kedelapan 344,00 469,00 10.071,96 13.651,34 20. 25-06-2003 Review kesembilan 344,00 486,00 10.415,96 14.137,34 21. 19-12-2003 Review kesepuluh (final) 344,00 505,00 10.759,96 14.642,3 4

Sumber: Bappenas, data diolah dari New Brief dan Press Relelease IMF November 1997- Desember 2003

(7)

Ada beberapa catatan penting mengenai kerjasama dengan IMF yang berlangsung selama lebih dari 6 (enam) tahun:

 Pinjaman dari IMF baru dapat digunakan jika cadangan devisa telah habis. Dalam kenyataannya cadangan devisa Indonesia terus mengalami peningkatan sehingga sampai saat ini pinjaman dari IMF sama sekali tidak pernah digunakan.

 Dari pengalaman semasa krisis dapat ditarik pelajaran bahwa ”confidence” investor tidak hanya terkait dengan cadangan devisa, nilai tukar dan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) tetap berfluktuasi walaupun cadangan devisa meningkat.

 IMF dinilai beberapa kalangan telah melakukan “kesalahan fatal” dalam menangani krisis di Indonesia yang justru mengakibatkan semakin parahnya keadaan, khususnya yang terkait dengan penutupan 16 bank pada tahun 1997.

 Persyaratan yang tertuang dalam LOI (Letter of Intent) terlalu banyak, tidak fokus dan tidak berkaitan dengan penyebab krisis. Selama 6(enam) tahun, Indonesia harus menyelesaikan tidak kurang 1200 conditionality.

Bila dilihat dari berbagai indikator, hingga tahun 2003 jumlah utang luar negeri Indonesia belum mencapai taraf yang aman. Rasio pembayaran pinjaman terhadap ekspor (Debt Service Ratio/DSR), rasio stok utang terhadap PDB, dan rasio stok utang terhadap ekspor masih menunjukkan beban yang tinggi dan ketergantungan terhadap utang luar negeri yang besar.

Selain indikator-indikator tersebut di atas, beban pemerintah juga semakin berat dalam hal pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri. Pembayaran tersebut sangat mempengaruhi komposisi APBN sehingga sebagian besar penerimaan pemerintah digunakan untuk pembayaran bunga dan pokok pinjaman.

Untuk mengurangi beban APBN dalam pembayaran pinjaman, pemerintahan telah melaksanakan berbagai langkah restrukturisasi utang luar negeri, termasuk mengajukan penjadwalan kembali utang luar negeri melalui forum Paris Club. Pada Paris Club I, restrukturisasi senilai US$ 4,67 miliar telah ditandatangani yang terdiri dari US$ 3,38 miliar yang merupakan kewajiban kepada 17 negara kreditor anggota Paris Club, dan senilai US$ 285,7 juta kewajiban kepada 3 (tiga) negara bukan anggota dan kewajiban pinjaman komersial. Pada Paris Club II, telah ditandatangani perjanjian restrukturisasi kewajiban luar negeri senilai US$ 5,8 miliar pokok utang. Paris Club III juga telah ditandatangani

reschedulling senilai US$ 5,4 miliar pokok dan bunga utang.

Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir tahun 2003 sudah mencapai US$ 80,91 milyar dan jika digabungkan dengan utang swasta, maka total utang luar negeri mencapai 55% dari PDB atau 222% dari total ekspor. Angka rasio utang ini masih relatif diatas ambang batas aman bagi negara berkembang, dimana debt sevice ratio pun masih tergolong relatif tinggi, yaitu 31% dari total ekspor Pemerintah Indonesia tahun 2003. Sumber Kompas tanggal 21 Februari 2006 menyatakan bahwa hingga Mei 2005, utang luar negeri Indonesia digabungkan dengan utang swasta dan pemerintah mencapai 137,518 miliar dollar AS, terdiri 78,841 miliar dolar AS utang fasilitas kredit ekspor, bank, dan non-bank.

Pengalaman pada masa yang lalu, terutama pada masa krisis telah memberikan pelajaran yang sangat berharga, yakni:

1. Sesuai dengan amanat rakyat, pemerintah perlu secara terencana mengurangi dan mengakhiri ketergantungan pada utang luar negeri dengan jalan mengoptimalkan pemerintah melalui pajak.

2. Dari sisi APBN, memperbesar primary balance surplus melalui berbagai upaya meningkatkan pendapatan negara dan penghematan belanja negara sehingga surplus tersebut dapat digunakan untuk mengurangi pokok utang pemerintah.

(8)

3. Meningkatkan dan melakukan perbaikan pengelolaan dan pemanfaatan pinjaman dan hibah luar negeri baik dari aspek kebijakan, kelembagaan, dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatannya.

4. Mengadakan pengendalian terhadap utang luar negeri swasta agar pengelolaan neraca pembayaran dan stabilitas ekonomi makro lebih terkendali.

Setelah Indonesia mengakhiri kontrak kerja sama dengan IMF pada akhir tahun 2003, praktis tidak ada lagi forum penjadwalan utang (Paris Club) sehingga pemerintah harus secara mandiri menjaga tingkat utang secara berkesinambungan. Upaya untuk menjaga kesinambungan ini di masa depan akan menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan seperti:

1. Beban pembayaran utang luar negeri masih cukup tinggi; 2. Lambatnya pemulihan ekonomi;

3. Pengelolaan utang luar negeri yang belum terintegrasi; 4. Rendahnya kemampuan menggali penerimaan negara; 5. Belanja negara yang kurang optimal;

6. Belum berkembangnya pasar obligasi dalam negeri;

7. Adanya kebutuhan pemerintah terhadap pinjaman luar negeri.

Dari berbagai tantangan tersebut, diperlukan pengelolaan utang luar negeri secara lebih komprehensif, terukur, efektif dan efisien, baik dalam lingkup operasional maupun strategis.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan gambaran tentang struktur utang nasional.

2. Memberikan gambaran tentang utang nasional terkait dengan program kesehatan.

3. Memberikan gambaran bagaimana pentingnya utang-utang negara berkembang khususnya Indonesia terhadap utang luar negeri secara bertahap dapat dikurangi.

1.3 Manfaat

1. Sebagai sumbangan dan kontribusi pemikiran kepada pengambil keputusan dan institusi yang berwenang di dalam merencanakan dan merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan penyelesaian utang luar negeri Indonesia guna mendorong perkembangan ekonomi dalam rangka pembangunan nasional.

2. Bagi penulis akan menambah pengalaman dan pemahaman tentang kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan pinjaman dan dana luar negeri yang terkait dengan bidang kesehatan.

(9)

BAB II KAJIAN AKADEMIK

2.I Pembiayaan Sektor Kesehatan

Undang-undang No.23 tahun 1992 menyatakan bahwa setiap masyarakat berhak atas kesehatan sekaligus berkewajiban memelihara kesehatan diri, masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, di masa datang diharapkan penduduk Indonesia hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara terus menerus, dalam tiga dekade terakhir ini telah cukup berhasil meningkatkan derajat kesehatan. Namun demikian derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah terbatasnya sumber pembiayaan kesehatan dan belum optimalnya alokasi pembiayaan kesehatan. (Depkes, 2005)

Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya rata-rata 2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau rata-rata antara US$ 12-18 per kapita per tahun. Persentase ini masih jauh dari anjuran organisasi Kesehatan Sedunia, yakni paling sedikit 5% dari PDB pertahun.Tiga puluh persen dari pembiayaan tersebut bersumber dari pemerintah dan sisanya sebesar 70% bersumber dari masyarakat termasuk swasta, yang sebagian besar masih digunakan untuk pelayanan kuratif.

Pengalokasian dana bersumber pemerintah yang dikelola oleh sektor kesehatan sampai saat ini belum begitu efektif. Dana pemerintah lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratif dan sementara itu besarnya dana yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif sangat terbatas. Pembelanjaan dana pemerintah belum cukup adil untuk mengedepankan upaya kesehatan masyarakat dan bantuan untuk keluarga miskin. Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu masih tinggi, yakni masing-masing 39/1000 kelahiran hidup (Susenas 2002) dan 373/100.000 kelahiran hidup (SKRT 1995), sedangkan umur harapan hidup masih rendah yakni rata-rata 68,7 tahun (Susenas 2002). Kondisi ini berakibat pada masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia yang mendukung urutan ke 112 dari 175 negara. (UNDP, 2003)

Sementara itu, menurut sumber Biro Perencanaan Depkes distribusi anggaran belanja tahun 2006 dari alokasi anggaran sebesar Rp13.523.551.445.000 lebih besar digunakan untuk pelayanan kesehatan yang bersifat preventif, yaitu sebesar 61,23%, pelayanan penunjang 29,18%, sisanya sebesar 19,69% digunakan untuk pelayanan kuratif. (lihat tabel 2.1)

Tabel 2.1.

Distribusi Anggaran Belanja Departemen Kesehatan Menurut Program dan Jenis Pelayanan Kesehatan Tahun 2006

No Program Kuratif (Dalam Ribuan Rp) Preventif (Dalam Ribuan Rp) Penunjang (Dalam Ribuan Rp) Jumlah (Dalam Ribuan Rp) 1. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat 131.643.187 131.643.187 2. Lingkungan Sehat 433.068.942 433.068.942 3. Upaya Kesehatan

(10)

Masyarakat 4. Upaya kesehatan Perorangan 2.649.328.936 1.696.643.429 4.345.972.366 5. Pencegahan dan pemberantasan penyakit 1.619.727.667 1.619.727.667 6. Perbaikan gizi masyarakat 582.379.595 582.379.595 7. Sumber daya kesehatan 905.889.207 905.889.207 8. Obat dan perbekalan kesehatan 628.190.854 628.190.854 9. Kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan 1.126.470.514 1.126.470.514 10. Penelitian dan pengembangan kesehatan 174.247.916 174.247.916 11. Peningkatan pengawasan akuntabilitas aparatur negara 43.367.832 43.367.832 12. Pengelolaan sumber daya manusia aparatur 26.576.750 26.576.750 13. Penyelenggara pimp kenegaraan dan kepemerintahan’) 1.026.183.542 1.026.183.542 14. Pendidikan kedinasan 15.000.000 15.000.000 Jumlah 2.649.328.936 6.928.295.895 3.945.926.614 13.523.551.445 Prosentasi 19,59 51,23 29,18 100,00

Sumber: Biro Perencanaan Depkes Tahun 2006.

Anggaran Belanja Depkes di tahun 2006 masih bersumber pada rupiah murni, Pinjaman Luar Negeri (PLN), dan hibah. Sebesar Rp13.523.551.445.000 yang dialokasikan 88,44% bersumber dari rupiah murni; 7,64% dari PLN; dan sisanya dari hibah 3,92%. (lihat tabel 2.2)

Tabel 2.2.

Distribusi Anggaran Belanja Departemen Kesehatan Menurut Program dan Sumber Pembiayaan Tahun 2006 No Program Rupiah Murni

(Dalam Ribuan Rp) (Dalam Ribuan PLN Rp) Hibah (Dalam Ribuan Rp) Jumlah (Dalam Ribuan Rp) 1. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat 131.643.187 131.643.187 2. Lingkungan Sehat 103.438.906 242.411.121 87.218.915 433.068.942 3. Upaya Kesehatan Masyarakat 2.345.062.055 4.788.840 114.982.180 4. Upaya kesehatan 4.214.268.830 120.235.535 11.468.000 4.345.972.366

(11)

5. Pencegahan dan pemberantasan penyakit 1.277.226.753 33.459.117 309.041.797 1.619.727.667 6. Perbaikan gizi masyarakat 578.616.010 3.763.585 582.379.595 7. Sumber daya kesehatan 862.305.871 43.583.336 905.889.207 8. Obat dan perbekalan

kesehatan 628.190.854 628.190.854 9. Kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan 537.823.040 585.647.474 3.000.000 1.126.470.514 10. Penelitian dan pengembangan kesehatan 174.247.915 174.247.916 11. Peningkatan pengawasan akuntabilitas aparatur negara 39.867.832 3.500.000 43.367.832 12. Pengelolaan sumber daya manusia aparatur 26.376.750 200.000 26.576.750 13. Penyelenggara pimp kenegaraan dan kepemerintahan’) 1.026.183.542 1.026.183.542 14. Pendidikan kedinasan 15.000.000 15.000.000 Jumlah 11.960.251.545 1.033.825.423 529.474.477 13.523.551.445 Prosentasi 88,4 7,64 3,92 100,00

Sumber: Biro Perencanaan Depkes Tahun 2006.

2.2 Kondisi Perkembangan Utang Indonesia Terhadap Negara Maju.

Defisit anggaran pemerintah timbul karena pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Defisit biasanya dibiayai melalui tiga cara, yaitu: (i) pencetakan uang; (ii) mengadakan utang; (iii) penjualan aset negara.

Pada masa orde lama, pembiayaan devisit anggaran pemerintah dilakukan dengan pencetakan uang, yang mengakibatkan hyper inflation. Pengalaman ini kemudian menempatkan pinjaman luar negeri sebagai instrument pembiayaan defisit anggaran pemerintah.

Hubungan linear antara defisit dan penarikan utang luar negeri terlihat jelas ploting penarikan utang luar negeri pemerintah terhadap defisit anggaran tahun 1970 – 2003. Setidaknya ada empat alasan membiayai defisit dengan utang luar negeri pertama, pasar obligasi domestik belum berkembang. Kedua, pembiayaan melalui utang domestik dapat menyebabkan crowding out. Ketiga, utang luar negeri bersifat concessionary sehingga murah. Keempat, pembiayaan melalui utang luar negeri bersifat non-inflationary.

Perkembangan posisi utang luar negeri pemerintah sebelum krisis terus mengalami peningkatan dari US$ 2.015 juta pada tahun 1966 hingga menjadi US$ 53.865 juta pada tahun 1997, dengan peningkatan rata-rata selama 32 tahun sebesar 1,20% dan posisi utang rata-rata sebesar US$ 23.555 juta per tahun. (lihat tabel 2.3) Pada pertengahan tahun 1970-an, posisi utang luar negeri pemerintah mengalami lonjakan yang cukup signifk1970-an, yaitu sebesar 36,28% karena adanya kenaikan ekspor migas sehingga meningkatkan’credit worthiness’ Indonesia, dan peningkatan pinjaman yang dilakukan pertamina. (Harinowo,2002)

(12)

Kondisi tersebut kembali pada pertengahan tahun 1986 dan 1987 yang pada masing-masing periode utang luar negeri pemerintah meningkat sebesar 24,49% dan 21,88%.

Pada periode ini, lonjakan utang luar negeri didorong oleh faktor-faktor eksternal berupa penguatan mata uang Yen Jepang terhadap Dollar Amerika Serikat dan jatuhnya harga minyak di pasar dunia. Jatuhnya harga minyak di pasar dunia mengakibatkan pemerintahan harus menarik utang luar negeri yang lebih besar termasuk diantaranya utang dari IMF dalam bentuk “compensatory financing facility’ disamping pinjaman Bank Dunia, ADB, dan pemerintah Jepang dalam bentuk”fast disbursing loans’’. (Harinowo, 2002)

Tabel 2.3.

Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah, Nilai Ekspor dan Nilai Tukar Tahun Posisi Utang Luar Negeri

Pemerintah (Juta US$) Ekspor (Juta US$) Kurs Rata-Rata (Rp/US$)

1966 2.015,00 679,00 116,31 1967 2.076,00 665,00 149,58 1968 2.174,00 731,00 296,29 1969 2.437,00 854,00 326,00 1970 2.778,00 1.108,00 362,83 1971 3.225,00 1.234,00 391,88 1972 3.617,00 1.777,00 415,00 1973 4.426,00 3.211,00 415,00 1974 4.851,00 7.426,00 415,00 1975 6.611,00 7.102,00 415,00 1976 8.295,00 8.547 415,00 1977 9.654,00 10.853 415,00 1978 11.330,00 11.643 442,05 1979 11.775,00 15.591 623,06 1980 12.994,00 21.909 626,99 1981 13.945,00 25.164,50 631,76 1982 16.767,00 22.328,30 661,42 1983 19.953,00 21.145,90 909,27 1984 21.589,00 21.887,80 1.025,94 1985 25.321,00 18.586,70 1.110,58 1986 31.521,00 14.805,00 1.282,56 1987 38.417,00 17.135,60 1.643,85 1988 38.983,00 19.218,50 1.685,70 1989 39.577,00 22.159,50 1.770,06 1990 45.100,00 25.675,20 1.842,81 1991 45.725,00 29.142,00 1.950,32 1992 48.769,00 33.966,90 2.029,92 1993 52.462,00 36.823,00 2.087,10 1994 58.616,00 40.055,00 2.160,75 1995 59.588,00 45.417,00 2.248,61 1996 55.303,00 49.814,00 2.342,30 1997 53.865,00 53.443,10 2.909,38 1998 67.315,00 48.847,60 10.013,60 1999 75.720,00 48.665,50 7.855,15 2000 74.891,00 62.124,00 8.421,77

(13)

2001 69.403,00 56.446,70 10.260,80

2002 74.497,00 58.119,80 9.311,19

2003 80.909,00 62.631,00 8.577,13

Sumber: Bappenas Tahun 2003

Di awal tahun 1990-an, utang luar negeri Pemerintah Indonesia terus meningkat (hingga tahun 1994) dengan pertumbuhan sebesar 11,73% dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian tahun 1995, pertumbuhan utang luar negeri pemerintah dapat ditekan hingga 1,66% dan bahkan pada tahun 1996 dan 1997, utang luar negeri Pemerintah Indonesia mengalami penurunan, yaitu masing-masing sebesar 7,19% dan 2,90%. Namun sejak krisis nilai tukar mulai menghantam Indonesia pada pertengahan 1997, posisi utang luar negeri pemerintah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 24,97% pada tahun 1998.

Kemudian pada tahun 1999, utang luar negeri pemerintah kembali mengalami peningkatan, yaitu dari US$ 67.315 juta pada tahun 1998 meningkat menjadi US$ 75.720 juta pada tahun 1999 atau meningkat sebesar 12,49%. Tahun 2002 dan 2003, utang luar negeri pemerintah kembali meningkat masing-masing menjadi sebesar US$ 74,5 milliar dan US$ 85,8 miliar. Namun, pada tahun 2004 Indonesia memasuki babak baru dengan menghentikan pinjaman dari IMF sebagai langkah untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri.

Ditinjau dari masa sebelum dan sesudah krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997, perkembangan posisi utang luar negeri pemerintah adalah sebagai berikut:

Pertama, utang bilateral. Posisi utang luar negeri bilateral pemerintah sebelum krisis hingga saat ini sebagian besar berasal dari Jepang, dengan porsi di atas 50% dari total pinjaman bilateral. (lihat tabel 2.4)

Tabel 2.4.

Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Bilateral Pemerintah (Per 31 Desember, dalam Persesn)

No Negara 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 1. Amerika Serikat 6,71 6,96 7,48 6,42 5,68 6,27 6,81 6,07 5,37 5,45 2. Austria 0,00 0,00 1,08 1,22 2,92 3,26 3,50 3,31 3,39 3,29 3. Belanda 4,52 4,30 3,79 3,33 2,62 2,88 2,90 3,03 3,20 3,06 4. Belgia 0,48 0,49 0,41 0,54 0,41 0,40 0,41 0,43 0,45 0,45 5. Brunei Darussala m 0,41 0,43 0,45 0,39 0,33 0,33 0,36 0,30 0,25 0,24 6. Denmark 0,10 0,10 0,09 0,08 0,06 0,06 0,06 0,06 0,07 0,06 7. Finlandia 0,65 0,06 0,77 - - 0,02 0,03 0,03 0,03 0,03 8. Inggris - - - 1,57 1,39 1,38 1,50 1,37 1,23 1,25 9. Italia 0,77 0,85 0,90 0,78 0,65 0,68 0,73 0,66 0,61 0,59 10. Jepang 67,61 68,20 68,35 70,46 4,36 73,62 71,61 2,49, 72,44 72,83 11. Jerman 5,67 5,56 5,13 4,86 3,56 3,49 4,01 4,16, 4,63 4,55 12. Kanada 0,74 0,78 0,79 0,63 0,57 0,58 0,60 0,53 0,56 0,55 13. Korea Selatan - - - 0,08 0,19 0,21 0,28 0,29 0,38 0,40 14. Kuwait 0,24 0,23 0,21 0,18 0,16 0,17 0,18 0,17 0,14 0,14 15. Prancis 8,45 8,61 7,95 7,38 5,60 4,98 5,03, 5,28 5,54 5,37

(14)

Selandia Baru 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 - - - -Saudi Arabia 0,25 0,22 0,20 0,23 0,17 0,18 0,20 0,18 0,16 0,16 Spanyol 0,84 1,01 1,34 1,26 1,13 1,27 1,62 1,46 1,40 1,43 Swiss 0,15 0,14 0,14 0,13 0,10 0,10 0,11 0,14 0,14 0,14 Taiwan 0- 0,01 0,02 0,03 0,02 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 Lain-lain 2,41 2,06 0,92 0,44 0,10 0,06 0,03 - - -Jumlah 100,0 0 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 *) per 30 Juni

Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2004.

Kedua, utang multilateral. Posisi utang luar negeri multilateral pemerintah pada periode sebelum krisis sebagian besar dari IBRD (World Bank) dan ADB yang jumlahnya lebih dari 50%. Namun pada saat krisis tahun 1997, porsi utang luar negeri dari IMF bertambah sebesar 15,95%. (lihat tabel 2.5)

Tabel 2.5.

Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Multilateral Pemerintah (Per 31 Desember, Dalam Persen)

No Lembag a 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 1. ADB 31,57 26,94 24,44 21,86 24,81 45,63 24,73 28,54 28,63 29,74 2. IBRD 64,12 68,35 55,28 39,27 37,94 26,71 39,88 37,11 32,61 31,87 3. IDA 3,81 4,23 3,86 2,70 2,25 1,63 2,50 2,71 2,95 3,19 4. IFAD 0,39 0,38 0,31 0,32 0,24 0,15 0,20 0,22 0,26 0,27 5. EIB - - 0,02 0,03 0,03 0,02 0,03 0,02 0,37 0,38 6. IDB 0,11 0,10 0,15 0,12 0,17 0,49 0,63 0,47 0,51 0,54 7. MIGA - - - 0,03 0,01 - -8. NIB - - - 0,83 0,71 0,45 0,64 0,58 0,52 0,51 9. IMF - - 15,95 34,87 33,85 24,92 31,37 30,33 34,15 33,50 Jumlah tanpa IMF 100 100 84,05 65,13 66,15 75,08 68,63 69,67 65,85 66,50 Jumlah dengan IMF 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 *) per 30 Juni

Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2004.

Catatan: Pinjaman IMF ditempatkan dalam cadangan devisa Bank Indonesia, bukan untuk menutupi kekurangan pembiayaan APBN.

Ketiga, utang luar negeri pemerintah berdasarkan valuta asing. Pada periode sebelum krisis, utang luar negeri dalam Dollar AS dan Yen Jepang mendominasi utang luar negeri Pemerintah Indonesia. Sepanjang tahun 1991-1997, utang luar negeri pemerintah dalam Dolar AS mendominasi sekitar 40% dari total pinjaman sedangkan Yen Jepang mendominasi sekitar 30% total utang luar negeri pemerintah.

Sementara itu utang luar negeri pemerintah pada periode krisis masih didominasi oleh Dollar AS dan Yen Jepang dengan porsi masing-masing berkisar 30-40% terhadap total uang luar negeri pemerintah. (lihat tabel 2.6)

(15)

Tabel 2.6

Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah Menurut Jenis Valuta Asing (Per 31 Desember, dalam Persen)

No Lembaga 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 1. Swiss Franc 1,31 1,05 0,90 0,78 0,59 0,64 0,60 0,69 0,68 0,67 2. European Cur. Unit - - - - 0,89 2,03 10,1 2 11,58 13,05 12,49 3. French Franc 3,99 4,01 3,43 3,04 2,31 1,74 - - - -4. UK Poundsterli ng 0,91 1,30 1,90 1,56 1,59 1,54 1,67 1,76 1,79 1,77 5. Japanese Yen 40,33 - 34,50 33,50 36,22 36,22 31,9 3 33,53 34,96 38,19 6. Netherland Guilder 3,25 3,13 2,82 2,37 1,83 1,64 - - - -7. Special Drawing Right 0,34 0,16 5,67 13,65 13,67 14,87 13,3 8 12,22 13,17 12,41 8. US Dolar 41,41 43,52 42,82 37,63 37,54 39,40 41,7 3 39,66 35,72 33,76 9. Lainnya 8,46 8,68 7,97 7,48 5,35 4,71 0,57 0,56 0,63 0,72 *) per 30 Juni

Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2004.

Dengan besarnya porsi utang luar negeri yang didominasi dalam Dollar AS dan Yen Jepang, perkembangan nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS dan Yen Jepang akan sangat berpengaruh terhadap posisi utang luar negeri pemerintah maupun beban pembayaran cicilan pokok berikut bunganya.

Keempat, utang luar negeri pemerintah berdasarkan persyaratannya. Hingga akhir tahun 2003, utang luar negeri Indonesia masih didominasi oleh pinjaman ODA (Official

Development Assistance) dengan persyaratan yang tergolong lunak dengan rata-rata

porsinya terhadap total utang luar negeri pemerintah antara tahun 1995 hingga 2003 sebesar 62,61%. Kemudian berikutnya adalah pinjaman non-ODA dengan persyaratan relatif setengah lunak porsi rata-ratanya terhadap total utang luar negeri pemerintah sepanjang 1995-2003 sebesar 24,03%. Sedangkan utang luar negeri pemerintah yang berupa pinjaman komersial relatif lebih kecil dibandingkan pinjaman-pinjaman yang lain menurut persyaratan yang dengan rata-rata porsinya terhadap total utang luar negeri pemerintah sepanjang tahun 1995-2003 sebesar 2,21%. (lihat tabel 2.7.)

Tabel 2.7

Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah Menurut Persyaratan (dalam Persen) Skema/Sumb er 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 * Multilateral

(di luar IMF) a. Multilateral IGGI/CGI 33,55 33,51 31,70 31,66 29,10 29,05 25,20 24,83 26,46 26,11 27,41 26,85 28,71 28,16 27,23 26,81 24,40 23,78 24,40 24,40

(16)

(ODA) b. Multilateral Non IGGI/CGI (Non ODA) 0,04 0,03 0,05 0,37 0,35 0,55 0,54 0,42 0,17 -Bilateral a. Bilateral IGGI/CGI (ODA) b. Bilateral Non IGGI/CGI (Non ODA) 39,18 37,63 1,55 38,62 37,46 1,16 36,23 35,31 0,93 33,24 32,79 0,45 34,55 33,64 0,91 32,91 32,03 0,87 32,73 32,38 0,36 35,00 34,66 0,34 36,93 36,83 0,10 36,83 36,74 0,10 Kredit ekspor (Non ODA) a. Supplier’s credit b. Buyer’s credit 23,50 1,34 22,16 25,83 1,55 24,28 25,79 1,36 24,43 23,24 1,06 22,18 21,27 0,91 20,36 21,02 0,69 20,33 21,45 0,56 20,89 22,29 -22,74 -22,01 -Komersial 1,82 1,17 0,91 2,93 2,59 2,63 2,78 2,60 2,41 2,45 Leasing 1,95 1,96 1,71 1,30 1,02 0,80 0,63 0,49 0,37 0,33 Bond - 0,72 0,74 0,59 0,56 0,57 0,58 0,54 0,49 1,68 IMF/BoP Support - - 5,52 13,49 13,54 14,66 13,12 11,85 12,65 12,30 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 ODA 71,14 69,12 64,35 57,62 59,76 58,88 60,54 61,47 60,61 61,14 Non ODA 25,09 27,02 26,77 24,06 22,53 22,45 22,35 23,04 23,01 22,11 *) per 30 Juni

Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2004.

2.3 Indikator Beban Utang

Akumulasi utang publik menimbulkan beban yang harus dibayar pada masa yang akan datang. Jika tanpa disertai dengan penciptaan pertumbuhan, utang merupakan transfer dari generasi yang akan datang kepada generasi sekarang. Sumber daya finansial yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang ditarik lebih dahulu oleh generasi sekarang. Sebagai kompensasinya, utang seharusnya digunakan seefektif mungkin sehingga mampu menciptakan kapasitas perekonomian dalam skala yang lebih besar.

Adakalanya, akumulasi utang berada di atas kemampuan bayaran suatu pemerintahan. Dalam situasi seperti ini beban pembayaran bisa berpengaruh negatif terhadap perumbuhan ekonomi. Pengukuran beban utang biasanya dilakukan melalui indikator-indikator stok dan arus (flow) pembayaran. Ada dua indikator-indikator stok yang digunakan, yaitu rasio utang terhadap PDB (Debt to GDP ratio, DTO) dan rasio utang terhadap ekspor (Debt to

export ratio, DTX). Indikator arus (flow) yang digunakan adalah Net Resources Flow (NRF), Debt Service to export ratio (DSR) dan Debt service to Government Expenditure ratio (DSGE).

Analisis stok berkaitan dengan isu solvency, sedangkan analisis arus berhubungan dengan masalah kemampuan bayaran jangka pendek (liquidity).

(17)

DTO atau rasio stok utang terhadap PDB menunjukan berapa persen PDB yang harus disisihkan untuk melunasi utang. Sebetulnya rasio ini lebih mencerminkan tingkat “indebtedness”sebuah negara, ketimbang beban utang. Semakin rendah suku bunga dan semakin panjang masa jatuh tempo, maka semakin kecil beban walaupun nilai DTO-nya sama. Artinya rasio ini hanya relevan jika tidak ada perubahan yang fundamental dari struktur utang. Pada tahun 1994-1996 sebetulnya DTO indonesia sudah mengalami penurunan dan masih berada dalam ambang yang aman. Tetapi akibat terjadinya krisis, rasio ini meningkat tajam sampai diatas 100%. Selain akibat adanya peningkatan penarikan pinjaman, peningkatan dalam rasio ini lebih banyak disebabkan oleh depresiasi nilai tukar. Setelah tahun 2001, rasio tersebut mengalami penurunan yang cukup signifikan. Ada dua faktor yang mengakibatkan penurunan tersebut, yaitu penguatan nilai tukar dan inflasi.

Kapasitas suatu negara dalam melunasi utang luar negeri sangat begantung pada kemampuannya menghasilkan devisa. Sejak tahun 1986, rasio DTX sebenarnya sudah berada dalam ambang yang membahayakan(di atas 200%). Pada tahun 1998-1999 menembus angka 300% yang diakibatkan oleh melemahnya kinerja ekspor dan bertambahnya stok utang. Sampai sekarang, walaupun sudah terjadi penurunan, DTX masih dalam ambang yang membahayakan.

NRF merupakan selisih antara pembayaran pokok dan bunga utang dangan jumlah penarikan utang baru. Bila angka ini negatif, utang memberikan efek kontraktif terhadap perekonomian. Sejak awal dekade 1990-an sampai sekarang, nilai NRF cenderung negatif kecuali pada tahun 1998. hal ini mengindikasikan bahwa akumulasi utang telah menimbulkan beban fiskal di masa sekarang dan yang akan datang.

Beban fiskal yang akan ditimbulkan oleh utang bisa diukur dengan DSGE (debt

service to goverment expenditure). DSGE menunjukkan opportunity cost pembayaran utang,

yakni berapa besar anggaran harus dikorbankan agar pemerintah mampu membayar utang. Rasio ini meningkat sangat drastis pada periode krisis. Hal ini merupakan sebuah ironi karena pada saat krisis justru anggaran pemerintah harus dijadikan stimulus bagi perekonomian uang sedang lesu. Beban pembayaran utang yang terlalu besar telah menyebabkan kemampuan pemerintah dalam mempercepat pemulihan ekonomi berkurang. Ini mungkin salah satu penyebab mengapa pemulihan ekonomi di indonesia berjalan relatif lebih lambat dibandingkan negara-negara lainnya.

Selain itu beban utang terhadap neraca transaksi berjalan tercermin dalam DSR. Sejak jauh sebelum krisis, DSR telah melebihi batas ”aman”. Pada saat krisis rasio ini meningkat tajam akibat menurunnya kinerja ekspor dan mencapai puncaknya pada tahun 1999, yaitu sebesar 75%. Krisis ”capital account” yang ditandai oleh capital flight menjadi semakin sulit untuk diatas manakala neraca pembayaran juga dibebani oleh pembayaran utang.

Rasio-rasio beban utang di atas menunjukan bahwa masalah utang telah mengakibatkan manajemen ekonomi makro menjadi bertambah sulit ketika negara dilanda krisis. Karenanya, di masa yang akan datang harus dilakukan upaya-upaya yang diarahkan untuk mengurangi stok dan memparbaiki struktur utang.

2.4 Utang Luar Negeri Swasta

Perkembangan utang luar negeri swasta juga tidak dapat dipisahkan terhadap utang luar negeri pemerintah. Dalam penulisan ini, tidak akan dibahas lebih jauh mengenai utang swasta untuk lebih memfokuskan kepada struktur utang nasional. Namun dengan mengulas perkembangan utang luar negeri swasta menjadi masalah tersendiri bagi perekonomian dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen.

(18)

Sejak tahun 1996, posisi utang luar negeri mulai mengalami peningkatan sehingga nilainya mendekati posisi utang luar negeri pemerintah, yaitu sebesar US$ 54.868 juta. Tahun-tahun berikutnya posisi utang luar negeri swasta terus mengalami peningkatan hingga tahun 1999. sejak tahun 1999, posisi utang luar negeri swasta mulai menunjukan kecenderungan menurun. Perkembangan posisi utang luar negeri swasta mulai menunjukkan kecenderungan menurun. Perkembangan posisi utang negeri swasta ini menjadi gambaran bahwa peningkatan utang luar negeri indonesia pada periode 1996-1999 tidak saja disebabkan oleh peningkatan utang luar negeri pemerintah tetapi juga utang luar negeri swasta. Peningkatan posisi utang luar negeri tidak terlepas dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sejak pertengahan tahun 1997. Selain itu, peningkatan utang luar negeri swasta disebabkan oleh tidak adanya pengendalian atau kontrol pemerintahan terhadap perkembang utang luar negeri swasta (Bank Indonesia,2001)

Peningkatan utang luar negeri swasta juga tidak terlepas dari tersedianya sejumlah instrumen pinjaman jangka pendek di pasar keuangan. Sementara itu, perbedaan suku bunga dalam negeri dan luar negeri juga menjadi faktor pendorong sektor swasta untuk memanfaatkan dana luar negeri. Tersedianya instrumen dana luar negeri dengan tingat bunga lebih rendah dari pada tingkat bunga dalam negeri ini menyebabkan sektor swasta kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan dana luar negeri. Hal ini tercermin dari:

1. pengunaan utang jangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang (maturity gap)

2. penggunaan utang untuk proyek yang tidak menghasilkan devisa (currency mistmach). 3. tidak dilakukannya lindung nilai(hedging) terhadap utang luar negeri.

Peningkatan utang luar negeri swasta ini pada gilirannya mendorong peningkatan kewajiban pembayaran kembali. Sejalan dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, kewajiban pembayaran kembali utang luar negeri swasta juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1996 kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah sebesar US$ 9.777,57 juta, sedangkan kewajiban pembayaran utang luar negeri swasta mencapai US$ 11.681,43 juta. (lihat tabel 2.8)

Tabel 2.8

Perkembangan Pembayaran Kembali Utang Luar Negeri dan Debt Service Ratio

Pembayaran Utang Luar Negeri DSR (%) Pemerintah Swasta

Tahu n

(Juta

US$) % (Juta US$) %

Total (Juta US$)

Ekspo r (Juta

US $) Pemerintah Swasta Total 1984 2.676,28 56,3 9 2.069,72 43,61 4.746,00 22.164 12,07 9,34 21,41 1985 2.974,21 49,7 9 2.998,79 50,21 5.973,00 20.139 14,77 14,89 29.66 1986 3.943,75 65,8 9 2.041,25 34,11 5.985,00 15.972 24,69 12,78 37,47 1987 4.962,37 70,8 5 2.041,63 29,15 7.004,00 18.832 26,35 10,84 37,19 1988 6.502,88 69,7 7 2.817,12 30,23 9.320,00 21.370 30,43 13,18 43,61 1989 6.652,66 67,6 6 3.180,34 32,34 9.833,00 22.160 30,02 14,35 44,37 1990 6.824,96 68,4 7 3.143,04 31,53 9.968,00 25.674 26,58 12,24 38,83 1991 6.459,45 56,2 1 5.032,55 43,79 11.492,00 29.543 21,86 17,03 38,90

(19)

5 5 0 9 1993 8.165,54 57,9 6 5.923,46 42,04 14.089,00 36.823 22,14 16,09 38,26 1994 8.468,54 59,3 6 5.798,46 40,64 14.267,00 40.054 21,14 14,48 35,62 1995 9.111,85 55,5 1 7.304,15 44,49 16.416,00 45.417 20,06 16,08 36,15 1996 9.777,57 45,5 6 11.681,43 54,44 21.459,00 49.815 19,63 23,45 43,08 1997 10.134,3 2 42,44 13.743,68 57,56 23.878,00 53.444 18,96 25,72 44,68 1998 6.282,56 24,4 6 19.403,44 75,54 25.686,00 48.848 12,86 39,72 52,58 1999 8.011,50 21,8 1 28.719,50 78,19 36.731,00 48.666 16,46 59,01 75,48 2000 6.850,20 23,4 8 22.323,80 76,52 29.174,00 62.124 11,03 35,93 46,96 2001 10.040,8 3 44,42 12.565,17 55,58 22.606,00 56.321 17,83 22,31 40,14 2002 11.232,1 2 53,53 9.749,88 46,47 20.982,00 57.159 19,65 17,06 36,71 2003 11.570,1 9 61,72 7.175,81 38,28 18.746,00 61.020 18,96 11,76 30,72 Sumber: Bappenas Tahun 2003.

Peningkatan kewajiban pembayaran kembali utang luar negeri swasta ini kemudian semakin memberikan tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia. Dengan rasio DSR mencapai 59,01% ditahun 1999 saja, tampak bahwa kewajiban pembayaran kembali utang luar negeri swasta menjadi beban tersendiri bagi neraca pembayaran khususnya maupun perekonomian umumnya.

Dari uraian di atas dapat dikatakan pengendalian utang luar negeri swasta merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam manajemen utang luar negeri. Pelajaran dari krisis menunjukkan bahwa tidak adanya pengendalian utang swasta menyebabkan membengkaknya utang luar negeri Indonesia. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah utang luar negeri swasta dan melakukan koordinasi agar pinjaman yang ada tidak melebihi kapasitas perekonomian.

Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dibentuk pemerintah sebagai tindak lanjut

kesepakatan pemerintah dalam pertemuan di Frankfurt dengan para kreditor utang luar negeri swasta hendaknya tetap menjadi suatu bagian yang terintegrasi dalam manajemen utang nasional.

2.5 Pemanfaatan Utang Luar Negeri

Sebagian besar utang luar negeri pemerintah adalah berupa pinjaman proyek bahkan sejak tahun 1993 hingga 1997 tidak ada pembiayaan anggaran pemerintah berupa pinjaman program. Dari perkembang penarikan pembiyaan anggaran pemerintah sebelum krisis, dapat dikatakan bahwa utang luar negeri pemerintah banyak dimanfaatkan untuk belanja barang dan jasa atau pembiayaan proyek-proyek seperti jembatan, jalan, sekolah, dan lainnya. Sementara itu sejak tahun 1998, penarikan pinjaman program mengalami peningkatan. Peruntukkan pinjaman program ditentukan oleh pemerintah sendiri namun dalam pencairannya kreditor mensyaratkan berbagai program reformasi.

(20)

Perkembangan–perkembangan stok utang luar negeri pemerintah menurut sektor dapat disimpulkan beberapa hal utamanya untuk menganalisis apakah alokasi sektoral utang luar negeri pemerintah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengadaan utang luar negeri pemerintah. Kesimpulan dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut. (lihat tabel 2.9)

Tabel 2.9.

Perkembangan Proporsi Stok Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia Berdasarkan Sektor (dalam Persen)

No Sektor 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 1. Pertanian dan Kehutanan 4,53 4,13 3,73 2,95 2,69 2,59 2,45 2,34 2,08 2,15 2. Pertambangan dan Industri 9,47 8,32 7,53 6,24 5,70 5,02 4,82 4,56 4,39 4,30 3. Prasarana 42,43 43,24 40,79 35,05 33,16 29,95 28,67 27,48 25,60 25,13 4. Perdagangan dan Jasa 20,66 20,66 25,41 32,68 33,90 33,80 31,58 29,63 28,88 28,13 5. Administrasi negara dan pertahanan 1,72 2,19 2,73 2,23 2,17 1,41 1,20 0,99 0,83 0,82 6. Pelayanan Sosial 7,76 8,28 8,27 7,50 9,03 10,78 11,71 11,67 11,57 11,71 7. Pendidikan dan Kebudayaan - 0,15 0,19 0,48 0,64 0,86 1,22 1,19 1,34 -8. Lain-lain 13,43 13,18 11,55 13,35 13,35 16,45 19,56 23,34 26,58 27,75 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber: Bappenas Tahun 2004

Pertama, alokasi utang luar negeri pemerintah pada sektor-sektor padat karya seperti sektor pertanian-kehutanan dan sektor pertambangan-industri relatif kecil dibandingkan alokasi pada sektor-sektor lainnya. Dari tahun 1995-2003, rata-rata stok utang pada kedua sektor masing-masing sebesar 3,05% dan 6,23%. Padahal kedua sektor ini merupakan sektor-sektor yang memiliki penyerapan tenaga kerja cukup besar.

Kedua, alokasi utang pada sub sektor pendidikan dan kebudayaan walaupun secara umum mengalami peningkatan tiap tahunnya, dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya alokasinya dapat dikatakan rendah. Sepanjang tahun 1995 hingga 2003, alokasi utang luar negeri pemerintah rata-rata pada sub sektor pendidikan dan kebudayaan adalah 0,67%.

Ketiga, walaupun demikian alokasi utang luar negeri pemerintah pada sektor-sektor yang utama seperti sektor prasarana dan sektor perdagangan-jasa dapat dikatakan memenuhi keseuaian terutama dalam rangka menggerakkan perekonomian. Sepanjang tahun 1995-2003 rata-rata stok utang luar negeri pemerintah pada kedua sector tersebut masing-masing sebesar 34,04% dan 28,58%.

2.6 Efektifitas Utang Luar Negeri

Secara teoritis utang luar negeri seharusnya digunakan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas kapasitas pertumbuhan yang normal. Namun, hasil studi di berbagai negara tidak ada kesimpulan yang jelas mengenai pengaruh utang terhadap pertumbuhan ekonomi. Boone (1994 dan 1996) menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi

(21)

antara utang dan pertumbuhan. Di lain pihak, Burnside dan Dolar (1997) menunjukkan bahwa utang hanya efektif di negara-negara yang menerapkan kebijakan ekonomi yang baik.

Untuk kasus Indonesia, Chowdury dan Sugema (2001) menyimpulkan bahwa sangat sulit untuk memetakan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan utang. Pertama, utang luar negeri memiliki sifat dan kegunaan yang berbeda-beda pada masa-masa tertentu. Dalam keadaan normal, utang digunakan untuk memberikan stimulus melalui belanja investasi publik. Dalam masa sulit atau krisis, pinjaman program merupakan merupakan kantung penyelamat bagi anggaran terutama bila penerimaan dalam negeri menurun. Dalam kasus sepert ini, peningkatan penarikan pinjaman tidak ditujukan untuk menciptakan pertumbuhan.

Kedua, efektifitas utang sangat tergantung pada perilaku fiskal pemerintah. Karena utang bersifat fungible, kenaikan pinjaman tidak selamanya digunakan untuk investasi publik. Sugema (2003) menunjukkan bahwa kenaikan dalam pinjaman proyek maupun program ternyata lebih banyak digunakan untuk anggaran rutin. Selain itu, ketersediaan dana yang bersumber dari utang justru cenderung mengurangi ”effort” pemerintah dalam menggali sumber penerimaan domestik. Dengan demikian pemerintah telah mengalami ketergantungan yang berlebihan terhadap utamg luar negeri.

Ketiga, hubungan antara utang dan pertumbuhan bisa jadi mengikuti kurva ”laffer”. (Rivera-Batiz dan Rivera-Batiz,1996) Pada level tertentu, penambahan jumlah utang justru dapat mengurangi pertumbuhan. Terdapat beberapa studi terkait jumlah utang terhadap pertumbuhan ekonomi. Hernatasa (2004) menemukan bahwa utang dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan jika rasio utang terhadap PDB melebihi 55% dan rasio utang terhadap ekspor di atas 162%. Pattillo, Poirson, dan Ricci (2001) yang meneliti 93 negara berkembang menemukan bahwa utang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jika rasio utang terhadap PDB melebihi 35-40% dan rasio utang terhadap ekspor di atas 160-170%. Sementara itu Feldstein (2004) menyimpulkan bahwa di India dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 60%, PDB hanya tumbuh sebesar 3%. Feldstein (2004) membandingkan kondisi di India dengan Amerika Serikat dimana dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 40%, pertumbuhan PDB menurun 2% per tahun.

Inti dari argumen di atas setidaknya mensyaratkan dua hal agar penggunaan utang bisa efektif, yaitu: (i) penggunaan utang harus diarahkan untuk membiayai investasi publik dan (ii) stok utang tidak boleh melebihi batas maksimum tetentu. Efektifitas penggunaan utang bisa juga dibahas secara mikro yang banyak tergantung pada kemampuan pelaksanaan proyek dalam mencapai sasarannya.

2.7 Masalah Daya Serap

Dalam beberapa tahun terakhir ini, daya serap (absorption capacity) menjadi masalah besar dalam pengelolaan utang. Rendahnya daya serap, secara ekonomi sangat merugikan karena:

 Menyebabkan kenaikan dalam commitmen fee yang harus dibayar berdasarkan presentase atas pinjaman yang belum dicairkan.

 Meningkatkan biaya penyelenggaraan proyek secara keseluruhan.

 Penundaan proyek dapat mengakibatkan rendahnya kualitas pekerjaan dan bahkan proyek tersebut kemungkinan gagal diselesaikan.

 Kemungkinan manfaat sosial dari proyek menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali.

Berdasarkan perkembangan pencairan pinjaman pemerintah, masalah daya serap terutama dihadapi dalam pencairan pinjaman program. Bahkan pada tahun 2003, realisasi pencairan pinjaman program hanya 1,5% dari target sebesar US$ 450 juta. Ini merupakan rekor terendah dalam pencairan pinjaman. Sementara itu, daya serap pinjaman proyek

(22)

cenderung lebih tinggi dan stabil pada kisaran 60-80%. Walaupun demikian, angka daya serap ini masih terlalu rendah dan mengindikasikan rendahnya delivery dalam pelaksanaan proyek.

Rendahnya realisasi pencairan pinjaman program mencerminkan beberapa kendala dan masalah yang dihadapi, yaitu:

 Pinjaman program sering dijadikan kantung pengaman APBN tanpa mempertimbangkan kemampuan institusi yang harus men-deliver syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian utang.

 Persyaratan atau conditionality dalam program loan pada umumnya terlalu banyak dan terlalu berat untuk dipenuhi. Bisa jadi hal ini mencerminkan lemahnya kemampuan menegosiasikan persyaratan.

 Rendahnya ownership dari instansi yang harus memenuhi persyaratan tersebut sementara manfaat langsung bagi instansi tersebut mungkin tidak ada.

 Lemahnya koordinasi antar instansi.

 Persetujuan DPR atas suatu undang-undang (yang sering menjadi persyaratan) berada di luar kendali pemerintah.

Masalah rendahnya realisasi pencairan pinjaman proyek dapat disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan sampai komplikasi dalam administrasi. Masalah yang sering dihadapi sebagai berikut:

a. Pada tahap persiapan seringkali eksekusi pinjaman terjadi pada saat proyek belum dipersiapkan secara matang (low quality of entry), terutama menyangkut:

 Kelengkapan dokumen proyek;  Terhambatnya pembebasan tanah;

 Pengadaan barang dan jasa pada tahun pertama pelaksanaan proyek sering terhambat;

 Pembentukan pengelola proyek belum dilakukan secara matang;  Dana pendamping rupiah sering tidak tersedia;

 Lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah dan antar sektor/departemen yang terlibat.

2. Pada tahap pelaksanaan sering terhambat terutama oleh masalah berikut ini:

 Karena rumitnya administrasi anggaran. Masa efektif pengerjaan proyek hanya sekitar 7-8 bulan saja dan bukan 12 bulan dalam setahun;

 Tidak ada jaminan yang penuh bahwa dana pendamping rupiah akan cair;  Lambannya penunjukan pimpinan dan panitia proyek;

 Terjadinya back-log akibat kesulitan pencairan;  Terjadinya mis-procurement;

 Kekurangpahaman pengelola proyek terhadap persyaratan yang ditetapkan oleh kreditor;

 Administrasi dan prosedur pencairan berbeda-beda antar kreditor (tidak standar). Untuk mengatasi masalah-masalah di atas perlu dilakukan langkah-langkah berikut:  Pinjaman hanya dilakukan apabila persiapan telah dilakukan secara matang dan

memenuhi berbagai persyaratan;

 Harus ada komitmen yang tinggi dari para pelaksana proyek;  Pengelola proyek harus sudah ditetapkan;

 Komitmen penyediaan dana pendamping rupiah harus betul-betul terjaga;  Manual pelaksanaan proyek harus disiapkan sebelum implementasi;  Rencana pembebasan lahan harus sudah ada.

(23)

2.8 Pasar Obligasi Internasional

Salah satu alternatif untuk mendapatkan dana selain melalui utang luar negeri juga dapat melalui penerbitan obligasi internacional (sovereign bond). Saat ini, Pemerintah Indonesia mulai mencari alternatif pinjaman selain melalui utang luar negeri lewat forum

Consultative Group for Indonesia (CGI) dan utang dalam negeri. Untuk itu, obligasi

internasional menjadi pilihan pengganti utang luar negeri. Pemerintah telah menerbitkan surat utang internasional dalam denominasi Dolar senilai US$ 1 miliar (dengan kurs APBN US$ 1 = Rp 8.600) senilai Rp32,5 triliun berjangka waktu 10 tahun dengan imbal hasil (yield) sebesar 6,85% dengan kupon 6,75%, yang terdaftar dalam emerging Market Bond index (EMBI) di New York. Sehingga pada tahun ini pemerintah telah mendapatkan dana penerbitan obligasi dalam negeri pada Febuari 2004 sebesar Rp2,5 triliun dan obligasi internasional yang baru saja diterbitkan, yakni sedikit di bawah Rp8,6 triliun. Sebagaimana direncanakan, sisanya, yakni Rp21,4 triliun, akan diperoleh dari penerbitan secara reguler obligasi dalam negeri.

Dibandingkan dengan utang kepada anggota CGI, penerbitan obligasi internasional mempunyai kelebihan, yakni tidak terikat oleh aturan pembeli atau pembeli obligasi, dan penerbit (issuer) memiliki posisi tawar yang cukup kuat. Metode yang dilakukan dalam rangka penerbitan bisa bervariasi. Kelemahan obligasi internasional dibandingkan dengan utang dari CGI adalah secara finansial bunganya mahal. Pinjaman luar negeri dalam bentuk Official

Development Assistance (ODA) bisa diperoleh dengan bunga sekitar 3%. Namun dalam

penggunaannya terdapat ikatan dengan kegiatan proyek tertentu, persyaratan pinjaman, dan jika tak ditarik sesuai jadwal terkena commitment fee. Jumlah penerbitan obligasi internasional biasanya tak terlalu besar dan karena diterbitkan dalam mata uang asing akan terpengaruh terhadap volatilitas kurs mata uang.

Investor dalam pasar obligasi di emerging market menghadapi setidaknya 3 (tiga) risiko. Pertama, risiko tingkat bunga terutama dalam obligasi jangka panjang. Kedua, risiko mata uang negara yang menerbitkan obligasi tersebut sehingga sangat dibutuhkan manajemen risiko mata uang yang baik. Ketiga, risiko negara tersebut (country risk), setiap negara mempunyai country risk yang berbeda-beda tergantung dari situasi dan kondisi negara tersebut. Untuk itu stabilitas ekonomi dan keamanan sangat perlu dipelihara supaya country

risk menjadi berkurang.

Salah satu index yang paling sering digunakan adalah J.P Morgan Emerging Market

Bond Index Global (EMBI Global) yang pada saat ini telah mencakup dua puluh tujuh pasar

obligasi di negara emerging market. Dalam EMBI Global, digunakan denominasi Dolar Amerika dengan batas minimal penerbitan US$ 500 juta dan jangka waktu jatuh tempo minimal 2,5 tahun.

Ada beberapa kriteria supaya negara bisa termasuk dalam EMBI Global. Pertama, negara tersebut termasuk dalam kategori emerging market. Syaratnya, negara tersebut termasuk dalam klasifikasi pendapatan perkapita yang rendah atau menengah (di bawah US$ 9.635 per kapita) yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Kedua, negara tersebut sudah merestrukturisasi utang dalam negerinya dalam 10 tahun terakhir. Berdasarkan kriteria tersebut didapatkan sekitar 150 negara, termasuk Indonesia yang bisa masuk ke dalam EMBI Global.

Kriteria-kriteria di atas merupakan kriteria umum, ada kriteria-kriteria khusus di dalam EMBI Global. Pertama, jenis klasifikasi penerbitan obligasi, di dalam EMBI Global hanya dalam bentuk obligasi internasional (sovereign bond) dan kuasi obligasi internasional

(quasi-sovereign bond). Penerbit diklasifikasikan sebagai kuasi obligasi internasional jika obligasi

internasional (sovereign bond) tersebut secara eksplisit dijamin oleh penerbit obligasi. Kedua, mata uang yang digunakan dalam denominasi Dolar AS, tetapi pada masa yang akan datang dipertimbangkan untuk juga menggunakan mata uang Euro. Ketiga, jumlah nominal obligasi yang diterbitkan minimal bernilai US$ 500 juta. Jika jumlah yang diterbitkan di bawah batas

(24)

minimum, maka penerbit akan keluar dari EMBI Global pada bulan mendatang. Keempat, jangka waktu jatuh tempo minimal 2,5 tahun. Kelima, metode penyelesaian (settlement

method), instrumen dalam EMBI Global harus diselesaikan secara internasional termasuk

euroclear atau institusi lain yang berdomisili di luar negeri penerbit. Keenam, menghitung

pengembalian aliran kas (cash flow return). Ketujuh, penetapan harta obligasi, penetapan harga jual dan harga beli ditetapkan setiap hari baik oleh interdealer broker maupun oleh J.P. Morgan.

Selain jenis EMBI Global juga terdapat EMBI Global Constraint yang penetapan kriteria umum dan kriteria khusus sama dengan EMBI Global. Perbedaannya, jika EMBI Global menggunakan total jumlah pinjaman untuk masing-masing penerbit obligasi tetapi untuk EMBI Global Constraint jumlah pinjaman ditentukan dalam jumlah porsi tertentu.

Adapun mekanisme untuk EMBI Global Constraint adalah: pertama, 100% pada jumlah stok utang yang memenuhi syarat sebesar US$ 5 juta. Kedua, 75% terhadap total utang yang memenuhi syarat melebihi US$ 5 juta tetapi tidak melebihi US$ 10 juta. Ketiga, 50% dari jumlah total stok utang yang memenuhi syarat yang melebihi US$ 10 juta tetapi tidak melebihi US$ 15 juta. Keempat, 25% dari stok utang yang memenuhi syarat melebihi US$ 15 juta, tetapi tidak melebihi US$ 25 juta. Kelima, 10% dari stok utang yang memenuhi syarat melebihi US$ 25 juta tetapi tidak melebihi US$ 35 juta.

2.9 Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter

Kebijakan fiskal dan moneter sangat berpengaruh pada pembangunan nasional. Melalui kebijakan fiskal maka anggaran pembangunan dapat ditentukan. Keluarnya anggaran pembangunan terkait dengan jumlah uang yang beredar di masyarakat melalui pertumbuhan uang primer dan pada akhirnya akan menentukan besaran inflasi. Sedangkan salah satu tugas kebijakan moneter adalah menjaga pertumbuhan uang primer sesuai target agar laju inflasi dapat ditekan dalam batas-batas yang wajar. Kebijakan moneter yang dikendalikan Bank indonesia memiliki kerangka kebijakan yang bertsifat independen, apalagi sejak dikeluarkannya Undang Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pokok kebijakan BI adalah penciptaan stabilitas moneter dan makroekonomi, seperti kurs, suku bunga SBI dan inflasi.

Kebijakan fiskal oleh pemerintah mempunyai otoritasnya sendiri, seperti pembayaran gaji pegawai, utang luar negeri yang jatuh tempo atau pencairan dana perimbangan. Namun demikian, kebijakan fiskal memiliki limitasi yang terutama berasal dari terdapatnya stok utang yang sangat besar. Kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif (dengan memperbesar defisit anggaran) akan meningkatkan beban pembayaran bunga dan pokok utang di masa mendatang.

Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter tidak lagi dalam aturan formal seperti dulu dengan adanya Dewan Moneter. Koordinasi saat ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan yang dilakukan secra berkala antara tim Ekonomi Kabinet dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia. Dengan pertemuan tersebut, bukan berarti independensi BI dilanggar, namun dapat memilih sesuatu yang bersifat intervensi, saran, maupun kritik. Misalnya, dalam penetapan suku bunga SBI, BI harus mendengarkan masukan dari pemerintah, asosiasi pengusaha, dan sebagainya.

(25)

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis.

Bangsa Indonesia sebagai bagian dari warga dunia tidak lepas dari sistem kehidupan setiap bangsa yang selalu berinteraksi, berkembang, dan beradaptasi dengan lingkungannya. Lingkungan yang mengandung nilai dan memberikan dampak strategik, baik positif maupun negatif terhadap usaha mewujudkan cita-cita mencapai tujuan dan menjamin kepentingan nasional suatu bangsa, disebut sebagai lingkungan strategik.

Bangsa Indonesia sedang berjuang mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya melalui Pembangunan Nasional, yang meliputi semua aspek kehidupan bangsa dan negara, tidak luput dari pengaruh lingkungan strategik ini yang pengaruh tersebut bisa datang dari lingkungan global, nasional, dan lokal. Dewasa ini hubungan antara lingkungan global, regional, nasional maupun lokal sudah semakin menyatu sebagai akibat dari semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi atau situasi global dapat berpengaruh langsung terhadap kondisi atau situasi regional dan nasional, bahkan lokal secara cepat yang akhirnya memberikan dampak bagi Pembangunan Nasional.

3.2 Pengaruh Perkembangan Global

Globalisasi merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh setiap negara baik negara berkembang maupun negara maju. Untuk menuju kearah globalisasi negara-negara di dunia melakukan kerja sama ekonomi, baik secara regional maupun secara global. Secara regional negara-negara ASEAN termasuk Indonesia menyepakati adanya perdagangan bebas melalui AFTA. Secara global munculnya WTO yang menggantikan GATT dan juga munculnya blok-blok ekonomi seperti APEC, AFTA juga menuju ke arah globalisasi. Untuk mencapai globalisasi masih membutuhkan proses yang panjang tetapi dengan mulai adanya kesepakatan perdagangan bebas merupakan arah menuju globalisasi. Dalam globalisasi ekonomi telah terjadi peningkatan aktifitas perdagangan. Perusahaan-perusahaan terus melakukan ekspansi kegiatan usahanya secara multinasional, bahkan melampaui batas wilayah negara tersebut. Perspektif ini dapat dilihat dari 3 tahap, yaitu: 1) Perusahaan nasional yang mempunyai aktifitas diluar batas negara tersebut dan meliputi kegiatan ekspor dan impor; 2) Perusahaan multinasional yaitu perusahaan yang menjalankan aktifitasnya diberbagai negara; 3) Perusahaan global yang memandang ekonomi dunia sebagai satu kesatuan.

Globalisasi mempunyai dampak positif maupun negatip, pro maupun kontra. Untuk mengatasi hal tersebut pemanfaatan globalisasi harus diikuti oleh upaya untuk mengatasi dampak negatif. Dalam kaitan ini diperkenalkan sustainable globalisation, yaitu globalisasi yang berkelanjutan. Artinya, globalisasi dapat terus berlanjut karena didukung oleh semua pihak dan merupakan agenda utama bagi masyarakat untuk mengambil bagian dalam globalisasi dengan berupaya untuk terus mengembangkan sumber daya manusia.

3.3 Pengaruh Perkembangan Regional

Kawasan regional utamanya wilayah Asia dan Pasifik di masa mendatang akan tumbuh sebagai pusat kegiatan perekonomian yang akan menggeser kawasan Samudera Atlantik Hal ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan industri negara Jepang, Korea Selatan, Cina, dan India serta Taiwan. Kecenderungan tersebut akan menjadikan peluang bagi negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik dalam mengembangkan

(26)

perekonomiannya, termasuk perluasan kesempatan kerja bagi penduduk di kawasan tersebut. Namun negara-negara yang tergabung dalam kelompok negara-negara industri baru tersebut akan dituntut untuk selalu meningkatkan kewaspadaannya akibat persaingan regional di bidang ekonomi dan politik, manakala negara-negara maju ikut dan campur tangan memberikan bantuan dana untuk kepentingannya.

Pada saat ini telah banyak barang-barang produksi Cina, Taiwan, dan Korea Selatan yang masuk ke negara-negara tersebut tentunya akan menjadi ancaman tersendiri bagi perekonomian Indonesai, tidak hanya di pasar regional, tetapi juga di pasar Internasional. Demikian juga dengan berubahnya sistem dan kebijaksanaan ekonomi Cina dan kebijaksanaan ekonomi negara vietnam yang telah membuka diri terhadap penanaman investasi asing, merupakan pesaing baru yang cukup signifikan bagi Indonesia dalam mendapatkan investasi dari luar negeri.

Keadaan ini telah membuka kesadaran pada masing-masing negara ASEAN akan ancaman kompetitor baru di bidang ekonomi sebagai akibat lahirnya ekonomi global, sehingga semakin kuatnya keinginan untuk lebih mengembangkan aliansi-aliansi strategis di bidang ekonomi, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Pada tingkat multilateral, ASEAN telah membentuk Asean Free Trade Area (AFTA) di mana untuk jenis komoditi yang disepakati akan memberlakukan pasar bebas dan rencananya akan dilakukan pada beberapa tahun ke depan. Kerjasama ASEAN selama ini telah mencapai banyak kemajuan dalam mengantisipasi pengaruh global dengan meningkatnya kerja sama di bidang ekonomi, perdagangan, industri, pariwisata, pertanian, sosial budaya dan lain-lain.

Di samping beberapa aliansi strategis di bidang ekonomi seperti tersebut di atas, pada beberapa tahun terakhir ini telah terjadi pula perubahan perkembangan lingkungan regional yang cukup menonjol dan menarik perhatian seperti:

a. Sengketa perbatasan atau perebutan wilayah seperti Kepulauan Spartly yang diperebutkan banyak negara (Malaysia, Philipina, Cina, dan Vietnam).

b. Sementara itu Australia dan Selandia Baru akan tetap mengendalikan situasi di wilayah Pasifik Selatan, baik secara politik, ekonomi maupun militer. Aktivitasnya yang sangat menonjol adalah campur tangannya cukup besar dalam masalah Timor-Timur, di mana keinginan dan kebijakan Australia yang ingin mendominasi regional ini, tentunya akan berdampak langsung pada kepentingan nasional Indonesia.

c. Papua New Guinea sebagai salah satu negara di kawasan Pasifik Selatan mempunyai kedekatan wilayah, etnis, agama dan budaya dengan Propinsi Papua. Perannya di dalam Melanesian Brotherhood Solidarity dapat berpengaruh terhadap integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia di Propinsi Papua tersebut. Para aktivis-aktivis Organisasi Papua Merdeka berjuang dan berlindung di negara Papua New Guinea, sementara Papua New Guinea adalah negara yang selalu dilindungi dan mendapat bantuan yang cukup besar dari Australia baik bantuan ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Semua perkembangan lingkungan regional tersebut di atas jelas akan memberikan mempengaruhi perkembangan lingkungan strategis bagi Indonesia baik dari segi politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.

3.4 Pengaruh Perkembangan Nasional

Pengaruh perkembangan lingkungan Nasional pada era reformasi diwarnai oleh utang luar negeri Indonesia yang tergolong tinggi, yaitu tahun 2004 sebesar US$ 78.248 juta, dengan pembayaran utangnya pada tahun 2004 sebesar Rp 69,25 triliun. Pemerintah berusaha mempercepat pembayaran utangnya melalui penciptaan surplus anggaran. Utang

(27)

luar negeri Indonesia tersebut sudah harus dibayarkan pada waktu jatuh tempo, sesuai ketentuan dan persyaratan yang ditentukan.

Peluang dan ancaman ini dapat dilihat dari aspek geografis, kependudukan, sumber kekayaan alam, Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, dan Pertahanan Keamanan.

a. Geografis

Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 17.499 buah, ada pulau yang berpenghuni dan ada pulau yang tidak berpenghuni. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berada pada posisi strategis dan sekaligus memiliki posisi yang mudah terancam dari berbagai aspek dan tempat.

Demikian juga dengan ribuan pulau yang tersebar dalam jarak yang berjauhan merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

b. Demografi

Penduduk Indonesia sudah hampir mencapai 213 juta jiwa, yang lebih kurang 60% berada di Pulau Jawa, sedangkan sisanya 40% di luar Pulau Jawa. Dengan penyebaran penduduk yang tidak merata, akan menjadi kendala dalam perkembangan ekonomi nasional terutama penyelesaian utang-utang luar negeri. Jumlah penduduk yang besar merupakan aset pembangunan, tetapi apabila penduduk yang besar tersebut tidak berkualitas akan merupakan beban pembangunan dan akan menjadi hambatan dalam meningkatkan kesejahteraan.

Penduduk yang berkualitas akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yang tentunya dapat meningkatkan menyelesaikan utang luar negeri secara bertahap.

C. Sumber Kekayaan Alam

Kekayaan alam dan keragaman Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia seharusnya dapat untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, bila dapat dikelola dengan baik dan memperhatikan keseimbangan lingkungan. Eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam belum diimbangi dengan manajemen yang memadai. Sehingga terjadi pengelolaan yang kurang baik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan pencurian terhadap sumber kekayaan alam.

Kekayaan sumber daya alam yang begitu besar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai penopang dalam meningkatkan kesejahteraan.

d. Ideologi

Pada sisi ideologi, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika Serikat, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebar luaskan neoliberal, berarti utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari seluruh penjuru dunia. (Erler, 1989)

Pancasila merupakan dasar negara, dan dipandang ideologi yang relevan bagi kepentingan berbangsa dan bernegara. Dengan menyelesaikan utang-utang negara maka akan tumbuh kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan pemerintah dalam mengelola negara menuju negara yang sejahtera adil dan makmur. Keyakinan masyarakat terhadap keseriusan negara dalam mengayomi masyarakat berdampak pada keyakinannya terhadap ideologi Pancasila. Keberhasilan ini pada gilirannya akan mampu mengajak masyarakat mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekwen dalam peran aktifnya untuk ikut menyelesaikan utang-utang negara dengan baik.

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilakukan pemeriksaan operasional pada aktivitas penjualan dan pengendalian persediaan PT Asturo Paper Indonesia, maka diharapkan dapat ditemukan kelemahan yang

Risiko ke'atuhan lampu #agi kar&a)an didalamn&a &ang dapat #eraki#at cidera (isik serius &ang memerlukan pera)atan medis. nstalasi ka#el listrik tidak rapi

Berdasarkan analisa variansi (ANOVA) menunjukkan bahwa ketiga macam pakan yang diberikan terdapat perbedaan nyata terhadap nilai kecernaan lemak kasar (p < 0,05),

Pada hasil praktikum dapat diketahui bahwa beberapa sampel minyak goreng Hemart yang telah digunakan untuk menggoreng tempe 1 kali, tahu 1 kali dan 2 kali memiliki angka peroksida

Tahap refleksi berdasarkan hasil observasi dalam pelaksanaan siklus I, yang dinilai oleh observer dalam merencanakan, melaksanakan dan hasil belajar siswa dengan penggunaan metode

1) Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan: suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering

Konsep yang dipilih dalam perancangan logo ini adalah emas dan biru langit perpaduan antara tujuan dari visi misi dan sekolah tinggi ilmu kesehatan budi luhur yang menciptakan

Berdasarkan kondisi permasalahan diatas dan betapa pentingnya peran auditor internal di sebuah organisasi guna menjaga keberlanjutan organisasi itu sendiri dalam