STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DESA NELAYAN
Karang Agung; Budaya Jawa dan Abangan
Penduduk Karang Agung termasuk dalam etnis Jawa. Apabila mengacu pada tipologi masyarakat Jawa oleh Geertz, maka penduduk Karang Agung termasuk dalam masyarakat Jawa abangan. Pengaruh nilai Islam tidak begitu kental di Karang Agung. Budaya Jawa pesisir lebih banyak mendominasi kehidupan masyarakat Karang Agung. Karakter masyarakat Karang Agung cenderung keras dan terbuka.
Pelapisan Sosial
Pada masyarakat perdesaan pelapisan sosial seringkali muncul berdasarkan kepemilikan aset produksi. Namun pada komunitas nelayan tradisional justru tidak tampak adanya pelapisan sosial berdasarkan kepemilikan aset produksi. Hal ini disebabkan oleh tipisnya perbedaan strata ekonomi antara pemilik perahu dan nelayan biasa. Masyarakat Karang Agung seperti halnya nelayan tradisional lainnya cenderung egaliter. Hal ini berbeda dengan nelayan modern yang terlihat jelas pelapisan sosial diantara nelayan sendiri. Modernisasi perikanan membawa dampak pada perubahan formasi sosial pada komunitas nelayan. Pemilik alat produksi berada pada lapisan sosial atas, sedangkan buruh nelayan hanya berada pada lapisan bawah. Pola hubungan produksi menimbulkan terjadinya gejala patronase yang kuat antara pemilik alat produksi dengan buruh nelayan. hal ini justru tidak terjadi pada nelayan tradisional. Pada masyarakat Karang Agung
dapat dikatakan bahwa nelayan baik pemilik perahu maupun bukan sama-sama menempati lapisan paling bawah dalam stratifikasi masyarakat.
Pelapisan sosial yang terjadi pada masyarakat Karang Agung lebih didasarkan pada aspek kekuasaan. Lapisan atas ditempati oleh kalangan pegawai pemerintahan seperti aparat desa, guru dan pegawai negeri sipil lainnya. Lapisan ini dicirikan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan penduduk lain pada umumnya, rumah yang lebih bagus serta kepemilikan barang-barang elektronik maupun kendaraan bermotor. Lapisan atas ini biasanya dipercaya oleh masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan sehingga seringkali posisi ketua RT maupun RW dijabat dari kalangan atas ini. Lapisan atas ini biasanya dipanggil sesuai dengan pekerjaan atau jabatan yang dipangkunya. Tidak mengherankan apabila sering terdengar panggilan pak/bu guru, pak/bu dokter, pak inggi (petinggi atau kepala desa), pak carik (sekretaris desa) dan lain sebagainya. Lapisan atas tidak serta merta menguasai alat produksi bahkan secara ekonomi mungkin masih lebih rendah dibandingkan lapisan yang ada di bawahnya.
Lapisan menengah diisi oleh kalangan pekerja swasta, pedagang, petani dan petambak. Lapisan ini secara ekonomi terkadang mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan lapisan atas, namun status kekuasaan dipandang lebih rendah dibandingkan dengan lapisan atas. Masyarakat Karang Agung lebih menghargai status sosial berbasis kekuasaan dibandingkan ekonomi.
Nelayan, buruh tani dan buruh bangunan biasanya menempati lapisan paling bawah. Secara kuantitas lapisan bawah paling banyak jumlahnya. Ciri yang paling mudah diamati adalah kondisi rumah tinggal yang kurang layak huni.
Lapisan bawah dapat dipastikan mempunyai status ekonomi yang rendah dikarenakan pendapatan yang rendah dan tidak menentu. Walaupun dapat ditemukan adanya pelapisan dalam masyarakat Karang Agung, namun pelapisan ini tidak berlaku secara ketat dan bersifat terbuka.
Apabila ditinjau dari bentuk pelapisannya maka pelapisan yang terjadi di Karang Agung bersifat terbuka karena memungkinkan terjadinya perpindahan antar lapisan. Sangat memungkinkan terjadinya peningkatan status sosial dari lapisan bawah menjadi lapisan atas. Peningkatan status sosial ini biasanya terjadi ketika salah satu anggota rumah tangga mendapatkan pekerjaan yang menjadi ciri lapisan diatasnya.
Salah satu contoh adalah pada rumah tangga Pak Prw (58 tahun). Pak Prw adalah seorang nelayan yang tidak mempunyai perahu. Untuk melaut Pak Prw bekerja sama dengan Pak Wnd, sang pemilik perahu dan dibantu oleh Msn, anak Pak Wnd. Pak Prw sendiri mempunyai tiga orang anak laki-laki. Rumah tangga Pak Prw dapat dikategorikan sebagai lapisan bawah karena secara ekonomi rumah tangga Pak Prw tergolong miskin dan tidak mempunyai pengaruh kekuasaan pada masyarakat sekitarnya. Pak Prw termasuk orang yang sadar akan arti penting pendidikan, oleh karenanya semua anaknya disekolahkan hingga lulus SMA. Salah satu anaknya, Ags setelah lulus SMA bekerja sebagai tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tuban. Sejak saat itu Pak Prw merasa bangga dan “lebih dihormati” oleh orang-orang di sekitarnya. Suatu kebanggaan tersendiri apabila mempunyai anak yang bekerja di kantor pemerintahan walaupun sebatas tenaga honorer. Paling tidak setiap pagi anaknya berangkat kerja dengan
menggunakan pakaian seragam. Bagi warga Karang Agung, seragam (baju hijau linmas, khaki dan korpri) merupakan salah satu simbol status sosial. Lambat laun, status sosial rumah tangga Pak Prw meningkat seiring pula dengan peningkatan status ekonomi mereka. Beberapa barang elektronik dan motor kini melengkapi rumah Pak Prw. Sebagai tenaga honorer, Ags mendapatkan kemudahan untuk membeli barang-barang tersebut secara kredit.
“Sejak anak saya menjadi pegawai Pemda, keluarga saya menjadi lebih dihargai oleh para tetangga. Walaupun gaji Ags tidak seberapa, tapi lumayanlah. Kini Ags juga sudah punya motor walaupun kreditan”
Pelapisan sosial yang terjadi di Karang Agung dapat dijelaskan dengan menggunakan pandangan Weber. Weber tidak menolak adanya posisi ekonomi sebagai dasar kelas, hanya saja ia menambahkan dua elemen lagi yaitu kehormatan kelompok status dan kekuasaan politik. Artinya bahwa uang (ekonomi) saja, tidak cukup menjadi dasar penerimaan di kalangan kelompok status berprestise tinggi. Latar belakang keluarga dan sejarah juga penting. Ketiga dimensi ini bisa tumpang tindih dengan salah satu atau keduanya dengan banyak situasi, namun secara analitis berbeda dan bisa berdiri sendiri. Marx yang hanya memandang kelas sebagai perwujudan ekonomi yaitu penguasaan aset produksi, tidak mampu menjelaskan proses pelapisan sosial yang terjadi di Karang Agung.
Relasi Sosial
Sistem kekerabatan masyarakat Karang Agung tidak berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Jawa pada umumnya. Masyarakat Jawa pada umumnya menganut pola kekerabatan bilateral atau parental yang berarti
hubungan kekerabatan ditelusuri dari garis keturunan Ayah (laki-laki atau patrilineal) dan garis keturunan ibu (perempuan atau matrilineal).
Struktur keluarga dikenal dengan istilah dulur parek (keluarga dekat) dan dulur adoh (keluarga jauh). Keluarga dekat adalah keluarga yang apabila ditelusuri mempunyai pertalian darah cukup dekat. Biasanya keluarga dekat diukur dari kakek nenek. Artinya keluarga dekat adalah keluarga yang berasal dari satu kakek nenek. Sedangkan keluarga jauh adalah keluarga yang berasal dari garis keturunan yang berbeda kakek nenek. Walaupun tingkatan kekerabatan dalam masyarakat Jawa bisa mencapai tujuh turunan, namun pada kenyataan di lapang kekerabatan ini hanya bertahan hingga jenjang tiga generasi saja.
Gambar 3. Sistem kekerabatan masyarakat Karang Agung
Grepak senthe Gantung siwur Udheg-udheg Canggah Buyut Anak Embah Wareng Bapak/ibu Bapak/ibu Anak Puthu Canggah Wareng Grepak senthe Udheg-udheg Buyut Gantung siwur Tingkat kekerabatan yang masih dikenal oleh
masyarakat
Tingkat kekerabatan yang masih dikenal oleh
Prinsip yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa adalah nglumpukne balung pisah (mengumpulkan tulang yang berserakan) yang berarti berusaha menjaga tali silaturahmi bahkan hingga keluarga jauh. Sebagaimana daerah pedesaan Jawa lainnya, apabila ditelusuri hampir banyak penduduk Karang Agung yang masih bertalian darah dan termasuk dalam keluarga jauh. Pola permukiman antar kerabat biasanya masih berdekatan. Seiring kemajuan jaman, generasi muda sudah tidak menghiraukan lagi nilai-nilai kekerabatan yang ada. Kini antar kerabat jauh sudah jarang berinteraksi sehingga hubungan kekerabatan semakin renggang. Bahkan seringkali sudah tidak saling mengenal satu dengan yang lain.
Perbedaan dalam bertata krama maupun bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkatan umur. Sudah selayaknya orang yang lebih tua akan dihormati, hal ini tampak dalam penggunaan bahasa jawa halus (basa krama, bahasa Jawa yang lebih sopan) apabila berbicara dengan orang yang lebih tua. Bahasa Jawa halus ini juga digunakan apabila berbicara dengan orang yang belum begitu dekat atau baru saja kenal. Sudah menjadi hal yang biasa apabila orang yang sudah kenal dekat akan menggunakan bahasa Jawa kasar walaupun status sosial mereka berbeda.
Relasi sosial antara laki-laki dan perempuan sering disebut sebagai relasi gender. Relasi gender di Karang Agung berlangsung secara harmonis. Walaupun dalam nilai masyarakat Jawa, perempuan sering diartikan sebagai kanca wingking (teman di belakang) pada kenyataannya peran perempuan dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat semakin menonjol. Keterlibatan perempuan dalam
pencarian nafkah dapat diartikan sebagai bentuk keadilan dalam relasi gender. Perempuan tidak lagi hanya mendominasi pada kegiatan domestik namun telah mengarah pula pada kegiatan produktif. Sebagian besar perempuan usia muda baik yang sudah atau belum berkeluarga terlibat dalam kegiatan ekonomi produkstif. Sebagaian besar bekerja sebagai buruh di pabrik rokok, bekerja sebagai pedagang ikan maupun membuka warung di rumah.
Peran perempuan dalam ranah produktif yang semakin meningkat ternyata tidak diimbangi dengan menurunnya peran domestik perempuan. Perempuan masih mempunyai tanggung jawab yang tidak bisa dialihkan kepada pihak laki-laki dalam melaksankan kegiatan domestiknya. Sudah menjadi hal yang wajar apabila perempuan justru mendapatkan beban ganda, baik dalam ranah produktif maupun domestik. Hal ini juga berlaku pada anak perempuan yang selalu mendapatkan beban kerja pada ranah domestik yang lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Anak perempuan mempunyai tanggung jawab membantu ibunya dalam kegiatan memasak, membersihkan rumah hingga mengasuh adik. Sedangkan pada anak laki-laki tanggung jawab tersebut hampir tidak ada. Akses pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan pada saat ini tidak lagi menjadi persoalan. Keduanya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi.
Untuk kegiatan sosial kemasyarakatan antara laki-laki dan perempuan juga tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya dapat berperan serta dengan baik dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Pada pemilihan kepala desa periode sebelumnya, salah seorang calon adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat Karang Agung dapat menerima peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Relasi sosial dapat pula dilihat dari hubungan produksi antara pemilik alat produksi dan pekerja. Nelayan Karang Agung yang mempunyai alat produksi berupa perahu dan alat tangkap hampir semua terlibat dalam kegiatan melaut. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya perbedaan stratifikasi antara keduanya. Relasi diantara keduanya dapat digambarkan sebagai bentuk kerjasama yang saling menguntungkan. Kedua belah pihak menyadari bahwa pekerjaan nelayan bukanlah jenis pekerjaan individu namun berupa pekerjaan secara berkelompok. Ikatan kerja antara buruh nelayan dan pemilik sangat longgar sehingga memungkinkan seseorang untuk beralih kerja dengan orang lain. Namun demikian sangat jarang terjadi perpindahan kerja tersebut. Ikatan diantara mereka sangatlah kuat namun tidak dapat diartikan sebagai bentuk ikatan patronase. Nelayan bekerja didasarkan oleh rasa saling mempercayai dan berlangsung turun temurun.
Sistem bagi hasil yang berlaku di Karang Agung memberikan satu bagian dari penjualan hasil tangkapan setelah dikurangi biaya perbekalan kepada pemilik perahu. Sisanya kemudian dibagi rata kepada nelayan ikut yang melaut masing-masing sebanyak satu bagian. Hampir semua pemilik perahu terlibat dalam kegiatan penangkapan. Sehingga pemilik perahu akan mendapatkan satu bagian sebagai bentuk imbalan atas investasinya berupa perahu, motor tempel dan alat tangkap ditambah satu bagian lagi sebagai imbalan atas tenaga yang dikeluarkan saat melaut. Pemilik perahu berkewajiban untuk menyediakan perbekalan melaut khususnya bahan bakar. Selain itu beberapa pemilik perahu juga menyediakan
rokok kepada para nelayan yang ikut melaut. Pemilik perahu bertanggung jawab penuh terhadap aset yang dimilikinya mulai dari pemeliharaan dan perbaikan. Di Karang Agung tidak mengenal stratifikasi dalam kegiatan melaut. Semua awak perahu mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama. Pemilik perahu sudah sewajarnya menerima bagian yang lebih besar karena resiko ekonomi yang ditanggungnya lebih besar dibandingkan buruh nelayan.
Tata nilai dan norma
Nuansa Islam memang tidak terlalu kental di masyarakat Karang Agung. Kehidupan sosial masyarakat Karang Agung masih identik sebagai masyarakat Jawa pesisir sehingga tradisi selamatan, sedekah laut, kesenian tayub masih hidup di masyarakat. Tidak mengherankan apabila setiap sore hingga malam hari sering dijumpai tradisi minum toak di warung-warung pinggir jalan. Kesenian tayub merupakan salah satu kesenian yang sering dipentaskan pada saat acara sedekah laut maupun hajatan semacam perkawinan atau khitanan. Pada saat tayub berlangsung biasanya dihidangkan minuman keras tradisional semacam toak atau arak.
Hampir setiap hari di warung-warung pinggir jalan menyediakan toak dan aneka makanan ringan untuk disantap ketika minum toak. Sudah menjadi kebiasaan di saat sore atau malam hari, penduduk laki-laki Karang Agung saling berinteraksi di warung toak tersebut. Warung toak dapat dianggap sebagai sarana menjalin relasi sosial antar warga Karang Agung.
Perkawinan berlangsung sesuai dengan tradisi Jawa dengan menggunakan hukum Islam. Tradisi Jawa masih mengenal beberapa nilai yang sampai kini masih dipegang teguh. Sebelum perkawainan berlangsung biasanya pihak keluarga saling berunding dan mencocokan hitungan berdasarkan primbon. Ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar karena diyakini akan berakibat buruk bagi pasangan mempelai maupun keluarga. Tidak jarang mereka melakukan konsultasi terlebih dahulu pada orang yang lebih tua dan dianggap lebih memahami perhitungan Jawa ini. Apabila hasil perhitungan menunjukkan ketidakcocokan maka perkawinan dapat dibatalkan. Ini semua untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Namun demikian kepercayaan terhadap primbon Jawa saat ini sudah mulai luntur. Walaupun masyarakat Karang Agung masih melakukan perhitungan primbon Jawa, namun mereka sudah tidak lagi secara ketat mengikutinya. Sering ketika perhitungan tidak cocok, perkawinan tetap dilangsungkan. Biasanya perkawinan yang seperti ini didahului dengan acara selamatan yang tidak seperti perkawinan biasanya.
Kelembagaan
Kelembagaan tradisional yang masih hidup di Karang Agung adalah sambatan, anjeng atau buwuhan dan mendarat. Sambatan adalah kegiatan saling tukar menukar tenaga kerja pada saat pembangunan atau perbaikan rumah. Sambatan juga dilaksanakan pada saat hajatan pada saat mempersiapkan pesta. Kegiatan sambatan dilakukan oleh laki-laki dewasa dan dilakukan antar tetangga
maupun kerabat dekat. Untuk perempuan dikenal istilah mendarat, yaitu tukar menukar tenaga kerja untuk keperluan memasak pada saat hajatan. Anjeng merupakan kegiatan tukar menukar uang atau barang pada saat hajatan. Ketika hajatan, tetangga atau kerabat laki-laki yang diundang akan memberikan uang, sedangkan undangan perempuan biasanya membawa beras atau gula pasir. Kegiatan ini akan terus berputar pada setiap orang yang melangsungkan hajatan.
Kwanyar; Budaya Madura dan Kentalnya Nilai Islam
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik lain (Alwi, 2001). Penduduk Madura mayoritas memeluk agama Islam. Kenyataan ini kemudian menempatkan tokoh agama (kiai) pada posisi yang sangat penting dan sentral di tengah masyarakat.
Pelapisan Sosial
Pelapisan yang terjadi pada masyarakat Kwanyar Barat yang kental dalam nilai religius menempatkan kiai dan keluarganya pada lapisan sosial yang paling atas. Kiai adalah sebutan bagi seseorang yang memimpin sebuah pondok pesantren. Jadi, walaupun ada seseorang yang memiliki ilmu agama sangat tinggi namun tidak memimpin pesantren tidak dapat disebut sebagai kiai. Gelar kiai sendiri bersifat turun temurun yang didasarkan pada pewarisan kepemimpinan sebuah pesantren. Pewarisan tersebut didasarkan pada pola kekerabatan. Pondok
pesantren di Madura tersebar hingga di pelosok pedesaan. Hampir seluruh kiai di Madura adalah kiai NU yang berpegang pada ahlus sunnah wal jama’ah.
Kiai menempati struktur sosial paling atas, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tokoh elit yang menjadi panutan utama oleh masyarakat Madura adalah kiai. Pepatah yang dipegang orang Madura adalah “bapak-bebuk, guru, rato” (ayah-ibu, guru, dan ratu). Maksudnya untuk Pepatah tersebut menerangkan urutan pihak yang dijunjung tinggi warga Madura. Urutan pertama ditempati bapak-bebuk yaitu ayah dan ibu. Kemudian disusul guru persisnya ulama atau kiai. Sedangkan rato atau pemerintah menempati urutan terakhir.
Kalau diusut sedikit lebih ke dalam, maka tempat paling strategis ditempati ulama atau kiai. Meski menempati urutan ke dua setelah orang tua, tapi masing-masing orang tua tersebut dipastikan patuh dan menjunjung tinggi kiai. Jadi seluruh pribadi Madura mempunyai ketaatan amat tinggi pada kiai. Masing-masing keluarga Madura biasanya punya kiai panutan, yang selalu dijadikan rujukan dalam mengambil sikap. Kepada kiai pula, warga Madura mengadukan persoalan pribadi maupun meminta restu.
Lapisan berikutnya adalah kelompok yang bukan berasal dari kerabat kiai namun telah menunaikan ibadah haji. Ibadah haji selain sebagai salah satu kewajiban bagi umat Islam juga berfungsi sebagai simbol status sosial seseorang. Lapisan ini biasanya ditempati oleh penduduk yang bekerja sebagai pedagang atau pengusaha lokal. Secara ekonomi, lapisan ini cukup menempati posisi yang strategis. Hal ini dapat dimaklumi mengingat biaya untuk menunaikan ibadah haji
sangatlah besar, belum lagi biaya hajatan sebelum dan sesudah menunaikan ibadah haji.
Lapisan paling bawah ditempati oleh masyarakat biasa. Lapisan ini jumlahnya paling banyak karena terdiri dari berbagai tingkatan ekonomi. Jenjang pada lapisan ini cukup tinggi, mulai dari rumah tangga miskin hingga sejahtera. Seseorang yang cukup kaya namun belum menunaikan ibadah haji dipandang masih berada pada lapisan paling bawah. Sekali lagi dasar pelapisan adalah pada pemahaman dan simbol-simbol agama. Mobilitas sosial dapat terjadi terutama pada lapisan bawah menuju lapisan menengah. Seseorang yang berada pada lapisan bawah kemudian berangkat haji, status sosialnya akan naik. Namun demikian sangat sulit untuk naik menuju lapisan paling atas. Hal ini disebabkan karena lapisan atas cenderung bersifat tertutup karena berdasarkan kekerabatan. Perkawinan pada lapisan atas biasanya terjadi antar kerabat atau antar keluarga kiai. Pada komunitas nelayan dikenal ada dua lapisan, yaitu pemilik perahu yang disebut dengan juragan dan buruh nelayan atau mondhu. Sebagaimana nelayan tradisional lainnya, pemilik perahu terlibat langsung dalam kegiatan melaut sehingga pelapisan yang terjadi tidak terlalu tampak diantara keduanya.
Pelapisan sosial di Kwanyar Barat yang lebih didasarkan pada aspek agama membuktikan pendapatan Weber, yang melihat masyarakat dari tiga aspek, ekonomi, sosial dan politik. Ketiga aspek ini saling berkaitan dimana, kedudukan sosial yang tinggi dapat memberikan pengaruh pada aspek ekonomi maupun politik. Lapisan atas yang ditempati oleh Kiai beserta keluarganya secara ekonomi
mempunyai jaringan bisnis yang cukup luas. Akses secara politik juga sangat terbuka, terlebih setelah kejatuhan rezim orde baru. Banyak kiai yang terlibat dalam politik praktis, paling tidak sebagai sarana peraih suara (vote getter).
Pelapisan yang cenderung tertutup utamanya pada lapisan atas lebih disebabkan pada pewarisan status yang bersifat turun-temurun. Kepemimpinan pondok pesantren akan diwariskan kepada anak ataupun keluarga terdekat yang ditunjuk. Perkawinan pada lapisan atas biasanya lebih terbatas antar lapisan atas saja. Hal inilah yang menyebabkan lapisan atas cenderung tertutup dan tidak memungkinkan lapisan yang ada dibawah untuk memasukinya.
Pelapisan berdasarkan aspek agama ini ternyata tidak membawa dampak terhadap kesejahteraan masyarakat lapisan bawah. Walaupun dibandingkan dengan Karang Agung, potensi dana sosial keagamaan di Kwanyar Barat justru lebih banyak. Zakat, sedekah dan infak merupakan bentuk-bentuk dana sosial keagamaan yang ada di Kwanyar Barat. Dana sosial keagamaan ini sangat sedikit yang menyentuh langsung pada lapisan masyarakat bawah. Hanya zakat fitrah, daging kurban dan sebagian kecil sedekah yang bisa diakses oleh lapisan bawah. Sebagian besar dana sosial ini digunakan untuk aktivitas pembangunan masjid. Tidak mengherankan apabila di Kwanyar Barat banyak dijumpai bangunan masjid yang berdiri megah.
Relasi Sosial
Kekerabatan pada masyarakat Kwanyar Barat terbentuk melalui garis keturunan, baik berdasarkan garis ayah maupun garis ibu. Pada umumnya, ikatan kekerabatan antarsesama anggota keluarga lebih erat dari garis keturunan ayah. Sistem kekerabatan masyarakat Kwanyar Barat mengenal tiga kategori atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat inti), taretan semma’ (kerabat dekat), dan taretan jau (kerabat jauh). Kerabat inti merupakan kerabat yang berasal dari satu tingkat garis keturunan keatas maupun kebawah. Sedangkan kerabat dekat adalah perluasan dari kerabat inti secara menyamping. Kerabat jauh adalah seseorang yang masih ada pertalian darah dan tidak termasuk dalam kerabat inti maupun kerabat dekat.
Relasi sosial antar rumah tangga tercermin dari eratnya jaringan pertetanggaan dan pertemanan. Selain kerabat, bagi masyarakat Kwanyar Barat, tetangga dianggap sebagai saudara yang terdekat. Walaupun tidak mempunyai hubungan kerabat sama sekali, peran tetangga sangat besar karena tetangga merupakan pihak yang akan datang pertama kali ketika kita kesusahan. Secara umum relasi sosial etnik Madura dikenal sangat erat, hal inilah yang kemudian akan membantu dalam strategi nafkah rumah tangga miskin.
Hubungan produksi pada komunitas nelayan dapat berjalan dengan baik. Ikatan kerja didasarkan pada saling mempercayai dan saling membutuhkan. Tidak ada hubungan kerja yang mengikat antara pemilik perahu dan buruh nelayan, keduanya merasa perlu bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar hubungan kerja berasal dari ikatan kekerabatan. Pemilik perahu biasanya
akan mengajak kerabatnya untuk bersama-sama melaut. Kondisi ini mengyebabkan tidak pernah dijumpai adanya perpindahan tenaga kerja dari satu perahu ke perahu yang lain.
Pola bagi hasil yang berlaku di Kwanyar Barat memberi kesempatan bagi pemilik perahu untuk mendapatkan pengembalian atas biaya investasi yang ditanamkannya. Pemilik perahu bertanggung jawab atas pengeluaran bahan bakar yang diperlukan untuk melaut. Pengeluaran ini nantinya akan diganti dari hasil penjualan tangkapan. Setelah dikurangi biaya bahan bakar, hasil penjualan kemudian dibagi menurut perbandingan sebagai berikut; pemilik perahu 40 persen dan sisanya sebanyak 60 persen merupakan bagian awak perahu. Jumlah awak perahu sebanyak tiga orang sehingga masing-masing mendapatkan 20 persen. Pemilik perahu karena ikut melaut maka akan mendapatkan bagian sebanyak 60 persen dari penjualan hasil tangkapan.
Tata nilai dan norma
Karakter sosial budaya masyarakat Kwanyar Barat sangat berbeda dengan masyarakat Karang Agung. Pengaruh Islam yang sangat kuat menyebabkan segala bidang kehidupan didasarkan pada nilai Islam. Pada hari Jum’at nelayan memilih untuk melaut pada siang hari selepas sholat Jum’at. Malam Jum’at, desa Kwanyar Barat selalu diramaikan dengan kegiatan pengajian dan pembacaan tahlil yang dilakukan di masjid atau dari rumah-rumah warga.
Kegiatan melaut juga sangat disesuaikan dengan waktu sholat. Nelayan berusaha untuk menunaikan sholat di daratan. Karenanya baru selepas subuh
nelayan berangkat melaut dan kembali sebelum waktu dhuhur habis. Apabila melaut pada malam hari, nelayan akan memilih berangkat selepas shalat isya’ dan kembali sebelum fajar.
Kelembagaan
Sistem kelembagaan tradisional yang masih berlangsung di Kwanyar Barat adalah tradisi menyumbang pada saat pesta atau hajatan. Undangan mempunyai kewajiban untuk menyumbangkan sejumlah uang kepada tuan rumah. Sumbangan ini kemudia dicatat dan kelak akan dikembalikan pada saat sang penyumbang mengadakan hajatan. Hal ini tidak berlaku bagi lapisan sosial atas. Pada saat hajatan yang dilakukan oleh lapisan atas justru tuan rumah yang memberikan uang saku bagi undangan.
Pada masyarakat Bangkalan terdapat budaya tan pentan sebagai bagian dalam perkawinan. Budaya ini berupa kewajiban bagi pihak laki-laki untuk memberikan berbagai kebutuhan perempuan seperti baju, perhiasan, kosmetik hingga perabot rumah tangga semacam meja rias, tempat tidur hingga lemari. Pihak laki-laki membawa barang-barang ini bersamaan pada saat akad nikah. Sebenarnya tidak ada kewajiban untuk melakukan tan-pentan namun masalah gengsi menjadi salah satu penyebab masih bertahannya tradisi ini.
Menurut beberapa tokoh masyarakat, tan pentan sebenarnya mempunyai makna positif bagi pihak yang melakukan perkawinan. Pada dasarnya tan pentan tidak mensyaratkan barang-barang yang mewah dan mahal, hanya seiring perkembangan jaman tan pentan seolah dijadikan ajang untuk menunjukkan status
sosial seseorang, bahkan untuk sekedar menjaga gengsi. Tan pentan merupakan perwujudan kesiapan pihak laki-laki dalam menempuh hidup baru dan menanggung semua kebutuhan hidup pihak perempuan. Nilai moral tradisi ini adalah, perkawinan membutuhkan persiapan yang cukup, baik secara psikis juga finansial. Tentu semua pihak berharap keluarga baru tersebut dapat hidup dengan sejahtera tanpa kekurangan.
Ikhtisar
Kedua desa kasus berbeda dalam karakteristik sosial budaya. Nuansa islam sangat mendominasi Kwanyar Barat, sangat berbeda dengan Karang Agung yang lebih mengarah pada bentuk masyarakat Jawa pesisir. Pelapisan sosial di kedua desa sangat berbeda, Karang Agung mendasari pelapisan sosialnya berdasarkan pengaruh akan kekuasaan sedangkan Kwanyar Barat menggunakan agama. Lapisan atas di Karang Agung diisi oleh aparat pemerintahan dan pegawai negeri. Status pegawai negeri menjadi salah satu simbol status yang sangat bergengsi di Karang Agung. Lapisan atas di Kwanyar Barat diisi oleh kiai dan keluarganya. Penghormatan terhadap sosok kiai sangat terasa di Madura, bahkan terdapat nilai bapak-bebuk, guru, rato yang hingga kini dipegang teguh oleh masyarakat Madura.
Lapisan menengah di Karang Agung diisi oleh para pekerja swasta, petani dan pedagang. Sedangkan di Kwanyar Barat lapisan ini ditempati oleh keluarga yang telah menunaikan ibadah haji. Gelar haji merupakan simbol status sosial
yang cukup disegani di Kwanyar Barat. Lapisan paling bawah di Karang Agung ditempati oleh buruh tani, nelayan dan
Gambar 4. Pelapisan sosial di kedua desa kasus
Pelapisan sosial di kedua desa kasus dapat dijelaskan menggunakan konsep pelapisan sosial Weber, dimana basis pelapisan didasarkan pada aspek ekonomi, sosial dan politik. Ketiga aspek ini seringkali saling berkaitan dan tumpang tindih. Pelapisan sosial di Karang Agung lebih terbuka dibandingkan pelapisan sosial di Kwanyar Barat. Lapisan atas di Kwanyar Barat yang ditempati oleh kiai dan keluarganya cenderung tertutup. Sarana untuk mengakses lapisan atas tersebut hanyalah melalui proses perkawinan.
Sistem kekerabatan di kedua desa mempunyai persamaan yaitu berdasarkan atas garis keturunan ibu dan ayah. Struktur keluarga juga mengenal adanya keluarga dekat dan keluarga jauh. Sistem kekerabatan masyarakat Kwanyar Barat mengenal tiga kategori atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat
Lapisan Atas
Lapisan Menengah
Lapisan Bawah Desa Karang Agung ;
Pegawai pemerintahan dan aparat desa
Pekerja swasta, pedagang, petani
Buruh bangunan, buruh tani, nelayan
Desa Kwanyar Barat ; Kiai beserta
keluarganya
Keluarga Haji
masyarakat Karang Agung mengenal dulur parek (kerabat dekat) dan dulur adoh (kerabat jauh).
Hubungan produksi antara pemilik perahu dan buruh nelayan berlangsung secara longgar sehingga ikatan patronase diantara keduanya tidak begitu kuat. Bagi hasil dilakukan setelah hasil penjualan dikurangi dengan biaya perbekalan. Sistem bagi hasil yang berlaku di Karang Agung memberikan satu bagian kepada pemilik perahu. Sisanya kemudian dibagi rata kepada nelayan ikut yang melaut masing-masing sebanyak satu bagian. Sedangkan bagi hasil di Kwanyar Barat memberikan bagian kepada pemilik perahu sebesar 40 persen dan sisanya sebanyak 60 persen merupakan hak awak perahu.