1053
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
PELAKSANAAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
(Studi Kasus Terhadap Penetapan di Wilayah Pengadilan Negeri Surakarta)
Budi SantosoFakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta 95budisantoso@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan tentang anak yang berhadapan dengan hukum di dalam hukum pidana positif, mekanisme diversi dengan pendekatan restorative justice dan pertimbangan hukum oleh aparat penegak hukum dari sisi normative.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normative dengen metode pendekatan kasus dan jenis data bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data studi kepustakaan dari buku mengenai anak yang berhadadapan dengan hukum, masalah mengenai anak dan menganalisa Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 01/Pen.Pid.Diversi/2016/PN.skt dan Nomor: 08/Pen.Pid. Diversi/ 2016/ PN.skt.. dan ditarik menjadi kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pengaturan diversi anak yang berhadapan dengan hukum terdapat di dalam Undang-undang Dasar 1945, Undan-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2015. Dalam mekanisme diversi dalam pelaksanaanya model victim-offender dan informal mediation dan dalam pertimbangan aparat penegak hukum ada pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis.
Kata Kunci : anak yang berhadapan dengan hukum, diversi, restoratif justice
1. PENDAHULUAN
Undang-undang Dasar 1945 setiap anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlan-gsungan hidup sebuah Bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini, bahwa Negara menjam-in setiap anak berhak atas tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan di Undang-unda-ng nomor 35 tahun 2014 tentaUndang-unda-ng Perubahan atas Undang-undang No-mor 23 tahun 2002 Perlindungan Anak mengatakan: “setiap anak dapat hidup, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Sehingga anak di dalam keadaan apapun harus tetap tumbuh dan berkembang sebagaim-ana seharusnya dan bagi anak yang berhadapan dengan hukum harus mendapat keadilan secara
filosofis termasuk menggeser pendekatan hu-kum retributif kearah restoratif.
Diversi di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak merupakan proses penye-lesaian perkara anak yang berha-dapan dengan hukum, dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana, dengan musya-warah yang melibatkan anak, orang tua anak, pembimbing kemasya-rakatan, dengan tujuan menghindari anak dari perampasan
kemerdekaan dimaksudkan untuk
menjauhkan anak dari proses peradilan pidana, sehingga dapat menghindari stigma-tisasi terhadap anak yang berhad-apan dengan hukum dan kembali ke lingkungan sosial.
Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia dinilai belum berpihak kepada anak pelaku kejahatan atau anak yang berhadapan dengan hukum, produk hukum pidana yang ada saat ini dinilai
1054
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
berakar dari struktur sosial masyarakat yang ada dalam hal ini produk hukum
pidana tentang anak-anak hanya
mengatur korban kejahatan pidana.
Sementara pelaku kejahatan dari
kalangan anak-anak nyaris belum
mendapat-kan perlakukan hukum secara adil dan rata-rata anak yang terjerat kasus pidana dijebloskan ke penjara parahnya lagi, banyak penjara yang mencampur adukkan antara napi dewasa dengan napi anak-anak. Alasan pemenjaraan, para
hakim lebih sering menggunakan
kebijakan yudisial dan diskresi,
ketimbang pertimbangan sosiologis, tidak hanya itu banyak hakim yang meng-abaikan penelitian masyarakat, Padahal tak sedikit struktur masya-rakat di Indonesia yang mengalami patologi
sosial dan majelis hakim yang
mengabaikan penelitian masy-arakat dari BAPAS. (Solo Pos, 2016)
Anak yang masih dibawah umur masih memiliki sifat yang labil dan mudah tidak terkontrol oleh keadaan dari dalam diri sendiri dan lingkungan sekitar, kasus faktanya BRH di BBM oleh temen-nya bernama KENCIR yang intitemen-nya ingin mengajak jalan-jalan ketika di tengah jalan KENCIR menunjukkan sebuah motor yang kunci motornya di tinggal
oleh pemiliknya, hasilnya BRH
mengambil sepeda motor untuk sebagai transportasi berangkat sekolah. (Balai Pemasayarakatan (BAPAS) Surakarta, 2016) Dalam kasus fakta ini BRH masih
kurang memiliki kemampuan
pengendalian diri terhadap pengaruh lingkungan pergaulan di luar rumah yang sifatnya negatif, kurangnya penga-wasan kedua orang tua sehingga terpengaruh oleh temen di lingkungan sekitar, dalam
melaku-kan tindakan BRH masih
tergolong labil, sehingga dalam
tindakannya tidak memikirkan akibat yang akan terjadi. Jikalau dilakukan pembalas-an sesuai dengan kesalahan tidaklah efektif perbuatan anak yang dilakuk-annya hanya terpangaruh oleh lingkungan sekitar.
Anak yang masih tumbuh menjadi dewasa kurang memiliki kemampuan pengendalian diri, apabila melakukan hal di luar pengendalian diri di lakukan
dengan pembalasan sesuai dengan
kesalahan tidaklah efektif perbuatan anak yang dilakukannya hanya terpangaruh oleh lingkungan sekitar. Selain itu di penjara atau di lakukan pembinaan merupakan sekolah terbaik bagi penjahat, siapa pun percaya akan hal ini, karena berbagai penelitian lebih dari 70% anak-anak yang di penjara akan menjadi residivis, (K, 2015) sehingga penjara atau pembinaan tidak akan membuat anak menjadi jera atau tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.
Ketidak percayaan kepada penjara atau pembinaan terhadap anak tidak efektif, penulis men-yimpulkan bahwa anak yang berhadapan hukum perlu adanya di lakukan dengan diversi di semua tingkat agar anak tersebut yang masih memiliki masa depan yang panjang dan masih perlu bimbingan kedua orang tua, apabila tidak dilakukan diversi maka banyak anak yang masuk ke penjara atau pem-binaan dan hak-hak anak yang di jamin undang-undang tentang Perli-ndungan Anak banyak yang
tidak terpenuhi, sehingga akan
menyebabkan anak secara sikis terganggu dan menjadikan anak menjadi bodoh dan mudah dijajah oleh orang lain dan akan
berpengaruh besar terhadap
pertu-mbuhan anak ketika dewasa bisa jadi anak tersebut ketika dewasa menjadi pelaku residivis.
Menghadapi kenyataan yang sangat
memprihatinkan anak yang masih
tumbuh dan berkembang menjadi bagian generasi sebuah Negara dan bangsa harus terbebas dari stigmatisasi sebagai
anak kriminal, ketika anak yang
berhadapan dengan hukum tidak
dilakukan diversi dan justru akan memenjarankan anak adalah perbu-atan yang sangat fatal, terkadang di dalam pelaksanaan diversi terdapat hambatan
dari keluarga korban yang ingin
1055
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
alternatif yang sangat efektif yaitu diversi dengan pendek-atan restoratife justice lebih ampuh di bandingkan dengan memberikan pembalasan kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
2. KAJIAN LINTERATUR
Diversi
merupakan
sebuah
penyelesai
perkara
anak
yang
berhadapan dengan hukum yang
diatur dalam UU Sistem Peradilan
Anak, meskipun mas-alah ini masih
menjadi topik hangat, namun sudah
banyak penelitian yang dilakukan
antara lain oleh Mayasari dalam
skripsinya
tentang
Implementasi
Diversi Pelaku Tindak Pidana Anak
(Studi Kasus di Kejaksaan Negri
Sleman)
(http://digilib.uin-
suka.ac.id/16985/2/11340180_bab-i_iv-atau-v_daftar-pustaka.pdf, 2015).
Hasil penelitian menun-jukkan bahwa
diversi
dilakukan
pada
tahap
penuntutan
karena
dilakukan
di
kejaksaan penelitian kami ini di tahap
penyidikan
berati
di
kepolisian.
Kedua, penelitian yang dilakukan
oleh Yutirsa Yunus tentang Analisis
Konsep Restorative Justice Melalui
Sistem
Diversi
Dalam
Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia,
dalam jurnal Recthsvinding (Yunus,
2013). Penelitian ini merupakan
penelitian normatif yang beorien-tasi
pada Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan
Anak. Hasil penelitian menjelaskan
bahwa ada dengan diterapkannya
pendekatan
resto-rative
justice,
sehingga ini menjadi kewajiban aparat
peneg-ak
hukum
untuk
selalu
mengeda-pankan dan mengupayakan
mak-simal mungkin penyelasaian
de-ngan cara tersebut. Penelitian kami
tidk pendekatan normatif tetapi pada
cases approach dan akan mengkaji
dari perspektif erapkan model nir
litigasi yang diterapkan di tingkat
penyidikan. Sehubungan dengan itu
perlu dipaparkan konsep dan bentuk –
bentuk mediasi penal
Mediasi
penal
merupakan
intrumen penanganan perkara pidana
bahwa
mediasi
penal
dapat
mengurangi perasaan balas dendam
korban dengan pelaku tindak pidana
dan
prosedurnya
lebih
fleksibel
karena tidak ada keharusan untuk
mengikuti proses yang ditentukan
dalam
sistem
peradilan
pidana,
dengan membahas mediasi penal
sering
dipertanyakan
hubungan
dengan teori keadilan restorative
dengan mediasi penal, karena dialog
yang dibangun antara para pihak yang
bermasalah
merupakan
langkah
positif. Dengan konsep ini muncul
istilah alternative dispute resolution
(ADR) yang dalam hal tertentu lebih
memenuhi tuntutan keadilan dan
relative efisien. ADR merupakan
bagian dari konsep restorative justice
yang menempatkan peradilan pada
posisi mediator. (Sudira, tt)
Dalam berbagai berbagai istilah
mediasi penal diartikan: “mediation
in criminal cases” atau “mediation in
penal
matters”,
mediasi
penal
merupa-kan
salah
satu
bentuk
alternatif penyelesaian sengketa di
luar peradilan (yang dikenal dengan
istilah ADR) ADR pada umumnya
digunakan di lingk-ungan kasus-kasus
perdata, tidak untuk kasus-kasus
pidana. Nam-un berdasarkan
undang-undang yang berlaku saat ini pada
prinsipnya kasus pidana tidak dapat
diselesaikan
di
luar
peradil-an,
walaupun
dalam
hal
tertetu
dimungkinkan adanya penyelesa-ian
kasus pidana diluar pengadi-lan.
Mediasi
merupakan
perkem-bangan wacana yang dikaji dari
pembaharuan hukum pidana. Dikaji
dari dimensi praktik maka mediai
1056
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
penal
akan
berkorelasi
dengan
percapaian dunia peradilan. Seiring
berjalan-nya waktu dimana semakin
lama terjadilah peningkatan jumlah
volume perkara dengan segala bentuk
maupun
variasi
yang
masuk
kepengadilan,
sehingga
akan
berakibat
menjadi
beban
bagi
pengadilan dalam memeri-ksa dan
memutus
perkara
sesuai
asas
peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan tanpa harus mengorbankan
pencapaian tujuan peradilan yaitu
kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan. (Arief, 2016 ,Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana ,
2002))
Mediasi penal di Indonesia yang
dikembangkan dan pada saat ini
bertolak dari ide dan prinsip kerja di
mulai
dari
Penanganan
konflik
merupakan tugas mediator membuat
para pihak melupakan kerangka
hukum dan proses mendorong mereka
terlibat dalam proses komunikasi.
Berorientasi pada proses, mediasi
penal lebih berorintasi pada kualitas
proses
daripada
hasil
yaitu
menyadarkan
pelaku
akan
kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan
konflik
terpecahkan,
ketenangan
korban dari rasa takut. Ada partisipasi
aktif dan otonom para pihak, Para
pihak antara pelaku dan korban tidak
dilihat sebagai objek dari prosedur
pidana, tetapi lebih sebagai subyek
yang
mempunyai
tanggungjawab
pribadi
dan
kemampuan
untuk
berbuat, diharapkan berbuat atas
kehendaknya sendiri.
Berdasarkan
implementtasi
mediasi penal diatas, Barda Nawawi
mengelompok mediasi Pidana dengan
beberapa
model-model
dalam
pelaksanaan mediasi penal yaitu:
(Arief, 2016)
1. informal mediation, dilaksa-nakan
oleh personil peradi-lan pidana
dilakukan
oleh
JPU
(Jaksa
Penuntut
Umum)
dengan
mengundang para pihak untuk
melakukan
penyelesaian
informal, den-gan tujuan utama
tidak mela-njutkan penuntutan
apabila
tercapai
kesepakatan
antara korban dan pelaku.
2. victim-offender
mediation,
Mediasi antara korban dan pelaku
merupakan
sering
digunakan
orang
dalam
menyelesaikan
konflik,
hal
ini
melibatkan
berbagai pihak yang bertemu
dengan dihadiri oleh mediator
yang ditunjuk. Banyak variasi
dari model ini. Mediatornya
dapat berasal dari pejabat formal,
mediator
independen
atau
kombinasi. Mediasi ini dapat
dilakukan pada setiap tahapan
proses,
baik
pada
tahap
kebijaksanaan
polisi,
tahap
penuntutan,
dan
tahap
pemidanaan.
3. Reparation
negotiation
programmes, Model ini
semata-mata untuk menilai kompensasi
yang harus dibayar oleh pelaku
tindak pidana kepada korban,
biasanya pada saat peme-riksaan
pengadilan. Program ini tidak
berhubungan deng-an rekonsiliasi
antara para pihak, tetapi hanya
berkaitan dengan perencanaan
materil, pelaku tindak pidana
dapat dikenakan program kerja
agar dapat menyimpang uang
untuk membayar ganti rugi.
4. Community panels or courts
Merupakan
program
untuk
membelokkan kasus pidana dari
penuntutan atau peradilan pada
prosedur masyarakat yang lebih
feksibel dan informal dan sering
1057
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
melibatkan unsur mediasi dan
negoisasi.
Penyelesaian
perkara
anak
menurut
Undang-undang
yang
berlaku dapat dilakukan dengan Nir
Litigasi yang dalam Undang-undang
nomor 11 tahun 2012 tentang sistem
peradilan
pidana
anak
disebut
sebagai penyelesaian secara diversi
dengan pendekatan restoratif justice,
pada diversi ini dapat ditempuh di
semua tahap pemeriksaan mulai dari
penyidikan,
penuntutan
dan
pemeriksaan di Pengadilan Negeri.
Hal ini dapat ditunjukan penyelesaian
perkara
anak
yang
berhadapan
dengan hukum dalam penetapan
pengadilan
Nomor:
01/Pen.Pid
.Diversi/2016/PN.skt
diselesaikan
dengan diversi dengan pendekatan
restoratif justice di tahap Penyidikan,
proses penyelesaian dengan cara
diversi ini apabila dilihat dari teori
jenis penyelesaian Nir Litigasi masuk
dalam
kategori
mediasi
victim-offender media-tion, Mediasi yang
dilak-ukan antara korban dan pelaku
merupakan sering digunakan orang
dalam menyelesaikan anak yang
berhadapan dengan hukum, hal ini
melibatkan berbagai pihak yang
bertemu
dengan
dihadiri
oleh
mediator yang ditunjuk. Mediatornya
dapat berasal dari pejabat formal,
mediator independen atau kombinasi.
Mediasi ini dapat dilakukan pada
setiap tahapan proses, baik pada
tahap kebijaksanaan polisi, tahap
penuntutan, dan tahap pemi-danaan.
Karena dalam penye-lesaian perkara
anak yang berhadapan dengan hukum
dengan mediasi model ini akan
berakibat menguntungkan anak yang
masih
berstatus
sebagai
pelajar
tersebut dan masih perlu bimbingan
dari orang tuanya.
Pada
penetapan
nomor:
08/Pen.Pid.Diversi/2016/PN.skt,
diselesaikan dengan cara diversi
dengan pendekatan restoratif justice
pada tahap Penuntutan, karena dalam
proses diversi dengan model
victim-offender mediation yang dilakukan
oleh penyidik tidak berhasil dan
keluarga korban menuntut agar kasus
anak
yang
berhadapan
dengan
tersebut diselesaikan dengan proses
peradilan pidana, akan tetapi dalam
tahap penun-tutan jaksa penuntut
umum memiliki pertimbangan bahwa
anak yang sedang berhapadan dengan
hukum perlu adanya diversi lagi,
walaupun dalam tahap sebelumnya
sudah
dilaku-kan
diversi
oleh
penyidik,
dalam
penetapan
itu
menggunakan model mediasi model
informal mediation, dilaksanakan
oleh
personil
peradilan
pidana
dilakukan
oleh
Jaksa
Penuntut
Umum dengan mengundang para
pihak untuk melakukan penyelesaian
informal, dengan tujuan utama tidak
melanjutkan
penuntutan
apabila
tercapai kesepakatan antara korban
dan pelaku.
Anak yang berhadapan dengan
hukum biasa disebut sebagai anak
bekonflik dengan hukum, anak yang
menjadi korban tindak pidana, dan
anak yang menjadi saksi tindak
pidama, untuk keadilan bagi anak
yang berhadapan dengan hukum
adalah dipastikan semua anak untuk
memperoleh
layanan
dan
perlindungan secara optimal dari
sistem peradilan dan proses hukum.
Targetnya
adalah
norm-a-norma,
prinsip, dan standar hak-hak anak
secara penuh diaplikasikan untuk
semua anak tanpa kecuali, baik anak
yang berhadapan dengan hukum
maupun anak yang berkonflik dengan
hukum. Anak berhad-apan dengan
1058
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
hukum berarti anak dalam posisi
sebagai korban atau saksi, sedangkan
anak berkonflik dengan hukum
berarti anak dalam posisi sebagai
tersangka atau terdakwa pelaku
tindak pidana.
Anak korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang mengalami suatu tindak
pidana. Dalam hal ini peran aktif dari
aparat
penegak
hukum
dalam
menang-gulangi kejahatan terhadap
anak sangat diperlukan sebagai suatu
usaha yang rasional dari masy-arakat,
selanjutnya diatur lebih jelas dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sitem peradilan anak,
Pasal 90 ayat (1) menjelaskan bahwa
anak korban dan anak saksi berhak
atas upaya rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial, baik di dalam
lembaga maupun di luar lembaga.
Rehabilitasi medis merupakan proses
kegiatan pengobatan secara terpadu
dengan memulihkan kondisi fisik
anak, anak korban dan atau anak
saksi.
Saksi merupakan orang yang
dapat memberikan keter-angan guna
kepentingan
penyeli-dikan,
penuntutan dan peradilan, saksi yang
di
maksud
dalam
skripsi
ini
merupakan saksi anak sebagai saksi
dalam peradilan pidana, sehingga
perlindungan terhadap saksi anak
dalam menyelesaikan perkara sangat
diperlukan sebagai jaminan akan
perlindungan hak asasi anak dan
pemenuhan akan hak-haknya, dalam
memberikan
informasi
yang
diberikan
oleh
anak
guna
kepentingan penyidikan, penun-tutan,
dan pengadilan tentang suatu perkara
yang terjadi, anak yang menjadi saksi
suatu tindak pidana bisa mengalami
trauma
yang
begitu
mendalam
sehingga
dalam
memberikan
kesaksian sering mengalami kendala.
(Wahyudi, 2015)
Dengan
demikian,
dapat
disimpulkan anak yang berha-dapan
dengan hukum adalah suatu tindakan
atau perbuatan pelanggaran norma,
baik norma hukum maupun norma
sosial yang dilakukan oleh anak-anak
usia muda hai ini cenderung untuk
dikatakan sebagai kenakalan anak
dari pada kejahatan anak, terlalu
ekstrim rasanya seorang anak yang
melakukan tindak pidana dikatakan
sebagai penjahat.
Sistem peradilan pidana anak
terdapat aktivitas pemeriksaan dan
pemutusan perkara untuk melindungi
kepentingan anak sesuai dengan
undang-undang nomor 35 Tahun
2014 tentang perubahan atas
undang-undang nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak yang
dilakukan oleh semua pihak aparat
penegak hukum mulai dari polisi,
jaksa,
hakim
lembaga
permsyarakatan dan pejabat lain yang
terlibat di dalamnya yang di dasarkan
ada kesejahteraan anak yang akan
datang.
Polisi selaku penyidik dalam
proses pengadilan anak dalam model
keadilan restributif, peran polisi
sangat dominan. Masyarakat yang
mendapati pelaku pelanggaran hukum
akan melaporkannya kepada polisi.
Tiga tugas polisi sebagai pelayanan
masyarakat, pelindung masyarakat,
dan penegakan hukum dimanfaatkan
secara optimal oleh masyarakat.
Proses
pengadilan
anak
baik-buruknya
diserahkan
sepenuhnya
kepada polisi, dan masyarakat tahu
jadi, tanpa ikut terlibat dalam proses.
Pada model keadilan restorative yang
terjadi
adalah
kebalikannya,
masyarakat mayor, polisi minor.
Peran polisi sebatas sebagai mediator,
1059
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
fasilitator atau pengawasan. Polisi
sebagai penyidik anak menunjukkan
pasal-pasal
atau
dalil
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
peradilan anak, lalu aktor masyarakat
dipersilakan mencari jalan keluar
terbaik agar terjadi proses perbaikan,
pemulihan dan hubungan reintegrasi
antara korban dan pelaku, keluarga
korban dan keluarga pelaku.
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah normative, penelitian hukum normative
sama dengan penelitian doktrinal.
(Ibrahim, 2006) Karena penelitian ini
berupaya untuk menelaah tentang
peraturan yang berkaitan dengan anak
yang berhadap hukum dan juga
penetapan pengadilan yang merupakan putusan diversi. Metode Pendekatan
penelitian yang digunakan penulis
merupakan pendekatan kasus (case
approach). (Marzuki, 2011)i Dalam hal ini penelitian melakukan kajian terhadap putusan berupa penetapan Pengadilan
Negeri Surakarta nomor:
01/Pen.Pid.Diversi /2016/PN.skt dan
nomor: 08/Pen.Pid.iversi/2016/PN. skt Sifat penelitian deskriptif, sumber data yaitu data sekunder bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode pengum-pulan data kepustakaan. Metode analisis dengan kualitatif.
4. HASIL PEMBAHASAN
a. Pengaturan penyelesaian diversi terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum pada hukum
pidana positif di Indonesia.
Pertama, Undang-unda-ng Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) untuk
mendapatkan manfaat, mencapai
persamaan dan keadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum perlu adanya salah satu alternatif
yang harus dilakukan oleh berbagai
pihak antara lain keluarga,
masyarakat, pemerintah dan aparat
penegak hukum mulai dari
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan
di Pengadilan Negeri adalah
melaksanakan diversi menggunakan
pendek-atan restorative justice,
dengan adanya alternatif ini maka akan berdampak bagi anak yang
berhadapan dengan hukum
mendapatkan keadilan dan
persamaan dihadapan hukum
sehingga dijauhkan dari stigmatisasi sebagai anak kriminal dilingkungan sekitar.
Kedua, Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak,
Perlindungan terhadap anak
merupakan hal yang harus dilakukan untuk setiap orang, dalam prespektif perlindungan anak, anak harus dilihat oleh semua orang sebagai manusia belum dewasa, sehingga anak yang berhadapan dengan hukum harus di berikan perlindungan dari keluarga, masyarakat, pemerintah dan ketika anak berhadapan dengan hukum
maka dilakukan perlindungan
semenjak tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan dengan baik, khususnya ketika di dalam penyidikan, karena
dalam penyidikan merupakan
pertama kali di lakukan penanganan kasus, sehingga anak yang sedang berhadapan dengan hukum maka berbeda hak anak dengan hak orang dewasa berbeda.
Ketiga, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak,
Sistem peradilan pidana anak pada Undang-undang nomor 11 tahun 2012 merupakan pemba-haruan dari undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, dalam
undang-undang ini memberikan
1060
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
hukum yaitu Penyidik, Jaksa dan Hakim yang menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum harus dilakukan diversi dengan pendekatan restorative justice dalam pertimbangannya aparat peneg-ak
hukum haruslah melihat dari
penelitian lembaga Permasyara-katan (BAPAS). Diversi merupakan salah satu alternatif penyelesaian kasus anak yang berhadapan merupakan sebagai langkah maju hukum pidana
untuk melindungi anak dari
perampasan kemerdekaan dan
pemidanaan sebagai upaya terakhir
Keempat, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2015 tentang
pedoman pelaksanaan Peraturan
pemerintah ini merupakan hal yang baru, karena baru muncul ketika undang-undang nomor 11 tahun 2012 telah di undangkan terlebih dahulu, baru pada tahun 2015 telah di sahkan peraturan pemerintah ini merupakan dasar pelaksanaan dari undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang berisi mengenai pelaksanaan diversi anak yang berhadapan dengan hukum dan penangan anak yang belum berumur 12 dengan pasal 15 dan pasal 21 ayat (1) akan diserahkan kembali kepada orang tua atau wali
dan mengikut sertakan dalam
program pendidikan terhadap anak
guna pembinaan terhadap anak
tersebut. Peraturan pemerintah
mengenai pedoman pelaksanaan ini memuat penjelasan tata cara secara menyeluruh mengenai diversi anak yang berhadapan dengan hukum.
b. Penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum
melalui diversi di wilayah Pengadilan Negeri Surakarta dalam prespektif undang-undang sistem peradilan pidana anak. Diskripsi kasus
Pertama, kasus pencurian sepeda motor di proyek bangunan yang mana pelaku mendapatkan BBM dari temennya kencir dan diajak ke sebuah tempat proyek bangunan Kampung Gebang, RT 08,
RW 25, Kel. Kadipiro, Kec.
Banjarsari, Surakarta, pelaku yang melihat kunci masih tergantung di jok motor membawa sepeda motor tersebut dengan menuntun hingga jauh lalu baru dinyalakan, pelaku agar tidak ketahuan pemiliknya mengganti plat nomor untuk dibawa sekolah.
Kedua, pada hari sabtu Pada hari Sabtu tanggal 14 Nopember 2015 sekira Pukul 23.00 pelaku dan temen-temannya pergi ke HIK yang berada di deat SMEA Saraswati Solo Baru, singkatnya pelaku setelah dari HIK berniat untuk jalan-jalan malam tetapi pada saat melewati garansi Bus
RAYA ada sekelompok “SH
TERATAI” datang secara
berkelompok melihat hal itu pelaku sembunyi di kamar mandi dan pintu garansi dikunci, di situ pelaku
melihat temennya melihat ada
temennya (Hafit dan Feri) yang dikeroyok kemudian SH teratai di bubarkan oleh warga Kampung dan pergi tetapi ada tertinggal satu dan lari ke utara kampung kemudian yang lari tersebut dikejar pelaku bersama temen-temennya dan korban lari menuju ke gang buntu. Selanjutnya pelaku mengambil pengki (ikrak) dan dipukulkan ke bagian kepala korban sekali, kemudian RAKA mengambil batu bata dan dipukulkan ke bagian kepala, saat itu saya pergi dan Klien melihat Nur Prasetyo mengambil kayu balok untuk memukul korban, bata dan dipukulkan ke bagian kepala, saat itu saya pergi dan Klien melihat Nur Prasetyo mengambil kayu balok untuk memukul korban,
Berdasarkan kasus pencurian tersebut Perbuatan pelaku Bagas Risky Hartanto merupakan suatu
1061
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
tindak pidana pencurian dalam hal ini
pelaku telah melanggar hukum
pidana meteril yaitu : Pasal 362 KUHP:
Barang siapa menga-mbil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan ma-ksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencur-ian, dengan ringan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
Pelaku mempunyai niat
mengambil sepeda motor dibawa
korban selama beberapa hari
kemudian pelaku dan KENCIR juga mengganti plat sepeda motornya
supaya tidak ketahuan oleh
pemiliknya tidak hanya itu pelaku
sudah mengecat ulang motor
tersebut. Perbuatan pelaku telah meme-nuhi unsur yang diatur di dalam Pasal 362 KUHP.
Bagas Risky Hartanto, yang masih berumur 15, dan masih berstatus Pelajar SMK Kristen 2 Surakarta kelas X, dalam praktiknya di dalam hukum positif di Indonesia
dengan adanya aturan umum
ditentukan lain dalam aturan khusus
diatur seperti hanya sistem
pemidanaan anak yang terdapat di luar KUHP maka tidak berlaku, sehingga sesuai dengan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak Pasal 7 ayat (1) dan peraturan pemerintah Republik Indoensia nomor 65 tahun 2015 bahwa anak yang berhadapan dengan hukum harus dilakukan
proses diversi anak dengan
pendekatan restorative justice pada
berbagai tingkatan mulai dari
Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan
Perka-ra di Pengadilan Negeri,
apabila dalam tingkatan tersebut
tidak dilakukan diversi maka
merupakan pelanggaran hak dan pelanggaran perlindungan anak dari proses hukum pidana yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum,
sebenarnya di dalam hukum pidana positif tidak mengenal perdamaian dalam tindak pidana, karena dalam
melakukan tindak pidana yang
dilakukan oleh anak maka dari itu
memiliki pertimbangan untuk
kepentingan anak untuk masa depan
sehingga untuk menghentikan
penyidikan di lakukan dengan cara
mediasi, negoisasi dengan
pendekatan restorative justice, dalam
proses mediasi aparat penegak
hukum sebagai mediator untuk
mendapatkan kesepatakan yang
bulat.
Pada proses penyidikan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai saksi,
korban maupun pelaku dalam
prosesnya anak tidak boleh disebut sebagai tersangka akan tetapi disebut sebagai “Anak” dengan huruf A besar merupakan sudah disebut sebagai tersangka dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang
sistem peradilan pidana anak,
sehingga dalam proses penyidikan terhadap anak sangat mementingkan kepenti-ngan anak tersebut bahkan ketika anak sedang berstatus sebagai pelajar, maka dalam penyidikan haruslah dilakukan setelah anak itu pulang sekolah barulah dilakukan penyidikan untuk mengungkap tindak pidana tersebut.
Mekanisme diversi deng-an pendekatan restorative justice, pada kasus pertama menurut Penulis diversi yang dilakukan oleh penyidik polresta Surakarta terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum dengan pelaku yang masih berstatus Pelajar SMK Kristen 2 Surakarta kelas X dan korban Budi Raharjo, apabila dikaitkan dengan model mediasi dapat dikategorikan sebagai mediasi victim-offender mediation,
1062
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
mediasi antara korban dan pelaku merupakan sering digunakan orang dalam meny-elesaikan konflik, hal ini melibatkan berbagai pihak yang
bertemu dengan dihadiri oleh
mediator yang ditunjuk banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi. Mediasi ini dapat dilakukan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, dan tahap pemidanaan.
Sehingga model mediasi ini
dilakukan oleh penyidik, jaksa dan hakim yang mempunyai hak diskresi dalam penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan hukum memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Penyidik dalam mengambil keputusan untuk kebaikan pelaku atas dasar pengakuan dari pelaku dan penelitian BAPAS, dalam kasus ini dilakukan diversi dengan pendekatan restoratif justice antara pihak pelaku, keluarga pelaku, korban, BAPAS Kota Surakarta dan ketua RT pelaku, dalam prosesnya berhasil di lakukan
diversi oleh penyidik dengan
kesepakatan keluarga pelaku
meminta maaf kepada korban agar
tindak pidana tersebut tidak
dilakukan proses ke peradilan pidana, dalam model penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum
ini merupakan Victim-offender
mediation, hal ini keluarga pelaku bersedia untuk memperbaiki sepeda motor yang telah di cat ulang oleh pelaku tersebut. Untuk mendapatkan
kekuatan hukum tetap maka
kesepakatan diversi, berita acara kesepakatan diversi dan penelitian BAPAS di alihkan ke Pengadilan Negeri Surakarta untuk dilakukan Penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri, dalam penetapan ini Ketua Pengadilan kegiatan keagaman pada pelaku setiap hari harus Sholat Magrib di dekat rumah pelaku.
Pada penyelesaian kasus
kedua, Menurut Penulis diversi yang dilakukan oleh Aparat penegak hukum baik penyidik dan jaksa penuntut umum terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum dengan pelaku yang masih dibawah umur dan perlu bimbingan orang tua dengan korban Alvian Denis Irawan, apabila dikaitkan dengan model mediasi dapat dikategorikan sebagai Mediasi model informal mediation, dilaksanakan oleh personil peradilan pidana dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal, dengan tujuan utama tidak
melanjutkan penuntutan apabila
tercapai kesepakatan antara korban dan pelaku, karena dalam pelaks-anaan model victim-offender yang
dilakukan oleh penyidik Polres
Surakarta tidak berhasil maka jaksa penuntut umum mempunyai diskresi untuk menyelesaikan kasus agar tidak dilanjutkan ke pengadilan sesuai dengan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang mana termuat dalam pasal 7 ayat (1).
Proses diversi di tingkat
penuntutan di kejaksaan Negeri Surakarta membuahkan hasil dengan model informal mediation bahwa pelaku, kelua-rga pelaku, korban dan
keluarga korban telah terdapat
kesepa-katan yang mana pelaku akan mengganti biaya pengobatan sebesar Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah), Hasil kesepakatan yang
dilakukan diversi di tingkat
Penuntutan tersebut dibuatkan berita acara diversi, oleh Jaksa penuntut umum untuk dilakukan penet-apan diversi kepada ketua Pengadilan Negeri Surakarta, agar mendapatkan kekuatan hukum tetap.
Menurut penulis dapat
disimpulkan sesuai bahwa dal-am
proses diversi di tingkat dari
1063
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
Pemeriksaan di Pengadilan Neg-eri, merupakan proses peralihan dari peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana, terk-adang dalam proses diversi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak terjadi kesepakan antara para pihak terutama
pihak korban menuntut ganti
kerugian yang sangat banyak hal ini sangat memberatkan pihak kelu-rga pelaku, misalnya orang tua pelaku yang hanya bekerja sebagai buruh cuci pakaian dengan gaji sedikit,
untuk mengganti biaya korban
dengan rupiah begitu besar apakah mampu? padahal dalam melak-ukan tindak pidana yang dilakukannya hanya karena pengaruh lingkungan, solidaritas antar teman, dalam hal ini pada proses tingkat penuntutan
me-rupakan proses yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh
Penuntut Umum, karena pen-untut umum tidak melanjutkan proses penuntutan akan tetapi melakukan diversi untuk kepe-ntingan anak dan perlindungan anak yang berha-dapan dengan hukum, sesuai dengan Pasal 14 huruf I KUHAP yang mana penuntut umum wajib mela-kukan penghentian penunt-utan sah menurut hukum untuk kepentingan umum.
c. Dasar pertimbangan untuk menyelesaikan perkara anak yang
berhadapan dengan hukum
dengan diversi.
Pertama, pertimbangan yuridis sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28
ayat (2) setiap anak berhak
kelangsungan hidup, tumbuh serta
berhak atas perlidungan dan
diskriminasi, sosiologis bahwa dalam
pertim-bangan selanjutnya anak
terse-but masih sekolah di SMK Kristen 2 Surakarta, saat ini masih duduk di kelas X dalam mengikuti pendidikan anak ters-ebut belajar
disekolah dengan baik, selalu
mengerjakan PR, hormat dan taat kepada guru serta tidak pernah
bermasalah dengan siswa lainya dan dalam melakukan tindak pidana pencurian ini baru pertama kali dilakukan olehnya lantaran tidak memiliki transportasi ke sekolah dengan sepeda motor, sebelu-mya belum pernah menghadapi perkara lain selain perkara ini dan yang terakhir pertimbangan filosofis anak
dijauhkan dari penjara dan
stigmatisasi krmin-inal di
lingkungannya. Dapat di lihat
pertimbangan perban-dingan diversi atau dilakukan proses pidana oleh penyidik polres Surakarta.
Kedua, pertimbangan yu-ridis pertimbangan yuridis sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (2) setiap anak berhak kelangsungan hidup, tumbuh serta berhak atas perlidungan
dan diskriminasi, pertimbangan
sosiologis pada tingkat penyi-dikan dilakukan diversi dengan model victim-offender mediation akan tetapi tidak berhasil, sela-njutnya tingkat
penuntutan dilakukan diversi
informal medi-ation pertimb-angan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum hampir sama dengan di tingkat penyidikan bahwa anak tersebut baru melakukan tindak pidana pertam kali ini, pelaku masih dapat dibimbing oleh orang tua atau wali, pelaku melakukan tindak pidana karena adanya rasa solidaritas antar teman, pelaku melakukan tindak pidana dalam keadaan labil dan emosi, pelaku masih memiliki kehidupan di luar yang panjang dan yang terakhir apabila dalam hal ini tidak dilakukan diversi dan dilakukan penuntutan di
Pengadilan Negeri, maka akan
menimbulkan masalah yang besar bagi anak tersebut yaitu beban
mental, dianggap sebagai anak
kriminal, beban fiskis dan masih
banyak lagi. Pada tingkat ini
pertimbangan diversi yang dilakukan oleh Jaksa penuntut umum berhasil diterima dan mendapatkan kesepakan kedua dan selanjutnya pertimbangan
1064
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
filosofis, bahwa dalam pertimbangan anak yang dilakukan penyidik dan penuntut umum sangat memikirkan jangka panjang apabila anak tersebut tidak dilakukan diversi dan dilakukan proses peradilan pidana maka anak
tersebut dalam penjara akan
mendapatkan pelajaran tindak pidana yang lebih besar sehingga akan menimbulkan bahaya ketika anak tersebut keluar dari penjara sehingga anak harus dijauhkan dari penjara untuk tidak mendap-atkan stigma
negatif sebagai kriminal
dilingkungannya. Dap-at dilihat
Perbandingan diversi anak yang berhadapann dengan hukum yang dilakukan oleh penyidik dan jaksa penuntut umum.
5. KESIMPULAN
Pertama,pengaturan penye-lesaian diversi anak yang berha-dapan dengan hukum di dalam hukum pidana positif di Indonesia di dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia, UUPA, UU sistem peradilan pidana anak Nomor 11 tahun 2012 dan PP Nomor 65 Tahun
2015 telah mengatur mengenai
perlindungan anak yang berhadapan
dengan hukum untuk mendapatkan
kepastian hukum dan tidak ada
diskriminasi bagi anak tersebut, bahwa anak berbeda dengan orang dewasa sehingga orientasinya di dalam undang-undang itu diatur bahwa anak yang berhadapan dengan hukum dilaku-kan diversi dengan pendekatan restorative justice kalau di dalam istilah perdata mediasi, negoisasi.
Kedua, penyelesaian perka-ra anak yang berhadapan dengan hukum melalui diversi dapat dilakukan oleh pihak mulai dari penyidikan, penuntutan dan penga-dilan sesuai dengan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2012 Sistem peradilan pidana anak, dalam diversi aparat penegak hukum sebagai mediator. Kasus anak yang berhad-apan dengan hukum dalam skripsi ini menggunakan model
mediasi victim-offender mediation,
merupak-an model mediasi dilakukan dalam penyidikan, penuntutan dan peme-riksaan pengadilan dan model informal mediation, yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendapatkan kesepakatan yang bulat antara para pihak yang menguntungkan anak demi masa depan anak yang berhadapan dengan hukum.
Ketiga, pertimbangan aparat penegak hukum menyelesaikan per-kara anak yang berhadapan dengan hukum dengan diversi, menurut penulis dalam
pelaksa-naannya ada pertimbangan
yuridis sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (2), sosiologis bahwa anak masih diba-wah umur dan masih berstatus seb-agai pelajar dan filosofis anak dijauhkan dari penjara dan stig-matisasi krmininal di lingkun-gannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, B. N. (2002). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana . Bandung: Citra Aditya Bakti.
Arief, B. N. (2016). Mediasi penal
Penyelesaian Perkara Pidana di Luar pengadilan. Semarang: Pustaka Magister.
Balai Pemasayarakatan (BAPAS) Surakarta. (2016). Penelitian tentang Anak. Solo: BAPAS dengan No. Register Litmas 13/B/II/2016.
harahap, y. (2009 ). acara pidana . jakarta : indonesia .
http://digilib.uin- suka.ac.id/16985/2/11340180_bab-i_iv-atau-v_daftar-pustaka.pdf. (2015, Juni 4). Retrieved from http://www.uin,suka.ac.id:
http://www.uin.suka.ac.id
Ibrahim, J. (2006). Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishing.
K, M. G. (2015). Durhaka Kepada Anak Refleksi Mengenai Hak dan
1065
THE 5TH URECOL ISBN 978-979-3812-42-7
perlindungan Anak . Yogyakarta: Pustka Baru Press.
Marzuki, P. M. (2011). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Solo Pos. (2016, September 7).
http://www.solopos.com2016052090- anak-berhadapa-hukumberakhir-di-penjara721069. Retrieved from http://www.solopos.com:
http://www.solopos.com
Sudira, I. K. (tt ). MediasPerkara
Penelantara Rumah Tanggai Penal . Yogyakarta: UII Press.
Wahyudi, D. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berhadapan dengan hukum mel-alui pendekatan Restorative Jus-tice. Jurnal Ilmu Hukum , 151 - 156.
Yunus, Y. (2013). Konsep Restorative Justice
Melalui Sistem Diversi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Rehtsvinding, Volume 2 No 2, 231 - 245.
i)
Case approach menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian dengan pendekatan kasus yaitu penelahaan terhadap kasus yang dipilih untuk kajian dalam penelitiaan