• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL. Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL. Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

4.1. Karakteristik Daerah/Wilayah

Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan untuk mengetahui program pembangunan yang tepat dalam memajukan suatu daerah. Karakteristik yang perlu dilihat lebih lanjut adalah kondisi aksesibilitas, sumber daya alam (baik masih potensi maupun yang sudah dikembangkan), sumber daya manusia (kuantitas maupun kualitasnya), dan perkembangan sarana prasarana.

4.1.1. Aksesibilitas

Aksesibilitas sebuah daerah berperan penting dalam menyalurkan sumber daya input produksi sekaligus sebagai jalur pemasaran/pendistribusian hasil produksi tersebut. Kemudahan akses untuk keluar masuk barang jasa dalam suatu daerah mampu mempercepat kinerja perekonomian. Mobilitas perpindahan sumber daya akan mengalir ke tempat sumber daya tersebut lebih dibutuhkan. Sulitnya akses dari dan menuju suatu wilayah menyebabkan harga barang dan jasa menjadi relatif lebih mahal dikarenakan adanya tambahan biaya transport.

Kondisi geografis dari sebagian besar 22 kabupaten tertinggal terletak di kepulauan dan pegunungan/perbukitan yang sulit diakses, daerah pesisir dan daerah yang rawan bencana. Pada umumnya kabupaten tertinggal merupakan daerah yang relatif sulit dijangkau. Untuk daerah yang sulit diakses dikarenakan

(2)

kepulauan antara lain Kabupaten Simeuleu, Nias Selatan, dan Nias. Untuk kesulitan akses dengan kondisi perbukitan atau belum terbukanya akses jalan di sebagian besar wilayah desanya adalah Kabupaten Simeuleu, Aceh Jaya, Pakpak Bharat, Nias Selatan, Padang Pariaman, dan Way Kanan.

Sebagian besar daerah mempunyai kondisi rawan bencana (banjir, gempa, tsunami, dan longsor) terutama yang terletak di wilayah Pantai Barat Sumatra antara lain Kabupaten Simeuleu, Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nias, Nias Selatan, Padang Pariaman, Pasaman Barat, dan Mukomuko. Kondisi daerah yang rawan bencana bukan hanya dapat menyebabkan pembangunan terhambat, bahkan merusakkan pembangunan yang sudah terlaksana. Kerusakan fasilitas, terutama jalan sebagai jalur transportasi, dapat menyebabkan sebuah daerah terisolir.

Sumber: BPS, Podes 2008 (diolah)

Gambar 4.1. Persentase Desa dengan Jalan yang Dapat Dilalui Mobil dan Desa dengan Jalan yang Sudah Diaspal Tahun 2008

0 20 40 60 80 100 Si m e u le u Ac e h B e sa r Ac e h S e la ta n Ac e h B ar at D ay a Ac eh Ja ya N ia s T ap an u li Te n ga h P ak p ak B h ar at N ia s Se la ta n P ad an g P ar ia m an Sol ok Sol ok S e la ta n P as am an B ar at La h at B an yu as in O ga n Il ir K au r M u kom u ko Le b on g La m p u n g B ar at La m p u n g U ta ra W ay K an an p er se n ta se d e sa Kabupaten

(3)

Kondisi jalan sebagai jalur transportasi di 22 kabupaten tertinggal masih cukup memprihatinkan. Walaupun sebagian besar desa sudah dapat dilalui oleh kendaraan roda empat (mobil), akan tetapi, hanya sekitar 61 persen yang sudah diaspal, lebih banyak jalan yang kondisinya terbatas. Kondisi jalan yang diaspal masih banyak yang berada di bawah rata-rata desa secara nasional (64 persen). Kabupaten Aceh Jaya, Banyuasin, dan Way Kanan merupakan daerah yang mempunyai persentase desa dengan jalan aspal yang paling rendah.

4.1.2. Sumber Daya Alam

Sumber daya alam merupakan salah satu faktor dalam pembangunan ekonomi. Daerah tertinggal diindikasikan memiliki sumber daya alam yang terbatas maupun berpotensi namun belum dikembangkan/dikelola dengan baik. Potensi sumber daya alam kabupaten tertinggal biasanya bergantung pada sektor primer. Beberapa daerah bahkan tidak memiliki potensi sumber daya alam, yang sangat menggantungkan pembangunan daerahnya dari pajak dan dana perimbangan, seperti Kabupaten Solok Selatan dan Lebong.

Daerah yang mempunyai potensi dari subsektor petanian pangan dan palawija (berupa produk padi, jagung, cabai, dan singkong) adalah Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Besar, Pakpak Bharat, Padang Pariaman, Lahat, Banyuasin, dan Lampung Utara. Di antara daerah tersebut, yang dapat dikatakan lebih mampu mengelola potensinya adalah Lahat. Dengan program pertanian yang terpadu dengan dinas pertanian terkait diharapkan mampu memacu perkembangan produk

(4)

pertanian. Hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembentukan daerah penyangga (dari OKU Timur) dalam kerangka ketahanan pangan nasional.

Sebagian besar daerah yang berpotensi pada produk perikanan masih belum bisa mengelola sumberdaya perikanannya dengan baik (masih perikanan tangkap, bukan budidaya). Daerah dengan produk perikanan seperti Nias dan Nias Selatan sangat tergantung musim dan perairan. Daerah yang sudah mulai mengembangkan pola budidaya dengan keramba dan tambak adalah Lampung Barat. Dengan pengembangan budidaya maka akan relatif dapat memastikan pasokan produk ke pasaran.

Adapun daerah yang memproduksi tanaman perkebunan seperti kopi dan kelapa sawit belum bisa mengembangkan produksinya dengan maksimal dikarenakan belum adanya industri lanjutan. Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Barat Daya merupakan penghasil Kopi Aceh (Kopi Gayo) yang terkenal, meskipun produksinya belum massive. Kabupaten lain yang juga sebagai produsen kopi antara lain Solok dan Lampung Barat. Kabupaten yang sedang mengembangkan perkebunan kelapa sawit adalah Kaur dan Mukomuko.

4.1.3. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia juga perlu diperhatikan, selain sumber daya alam, sebagai faktor pembangunan. Hal itu dikarenakan sumber daya manusia merupakan motor penggerak sekaligus sebagai objek pembangunan itu sendiri. Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia daerah tertinggal mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi, dengan peningkatan tersebut masih

(5)

relatif kecil dibandingkan angka nasional. Sehingga dapat disimpulkan percepatan pembangunan sumber daya manusia masih kurang progesif.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 4.2. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal Tahun 2007

Perkembangan kuantitas dan pembangunan kualitas sumber daya manusia tahun 2007-2009 dapat dilihat dari Gambar 4.2 dan 4.3. Seluruh kabupaten mengalami peningkatan IPM pada 2009 dibandingkan dengan tahun 2007. Akan tetapi, peningkatan kualitas 21 kabupaten masih berada di bawah IPM nasional (2007 sebesar 70,59 dan pada 2009 menjadi sebesar 71,67), hanya Kabupaten Aceh Besar yang berada di atas nilai IPM nasional. Kabupaten Nias Selatan memiliki nilai IPM yang jauh tertinggal dibandingkan kabupaten lain.

Sebagian besar kabupaten juga mengalami peningkatan jumlah angkatan kerja sejalan penambahan jumlah penduduk. Kabupaten yang memiliki Tingkat

20 30 40 50 60 70 80 90 64 66 68 70 72 74 TP A K ipm Simeuleu Aceh Besar Aceh Selatan Aceh Barat Daya Aceh Jaya Nias Tapanuli Tengah Pakpak Bharat Nias Selatan Padang Pariaman Solok Solok Selatan Pasaman Barat Lahat Banyuasin Ogan Ilir Kaur Mukomuko Lebong Lampung Barat Lampung Utara Way Kanan

(6)

Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) lebih tinggi dari nasional antara lain Aceh Selatan, Lebong, Lahat, Ogan Ilir, dan Kaur. TPAK nasional tahun 2007 sebesar 66,99 persen dan meningkat di tahun 2009 menjadi 67,23 persen.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 4.3. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal Tahun 2009

4.1.4. Sarana dan Prasarana

Pembangunan sarana dan prasarana ekonomi maupun sosial suatu daerah merupakan investasi masa depan bagi daerah itu sendiri. Ketersediaan fasilitas fisik yang memadai dan berkualitas mendorong pengembangan sumber daya dengan efektif yang pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat. Begitu halnya dengan ketersediaan infrastruktur energi (listrik) sangat perlu diperhatikan. Pengembangan kegiatan ekonomi daerah berbasis industri kurang dapat menyebar ke daerah tertinggal jika kapasitas produksi masih belum mencukupi kebutuhan.

20 30 40 50 60 70 80 64 66 68 70 72 74 TP A K ipm Simeuleu Aceh Besar Aceh Selatan Aceh Barat Daya Aceh Jaya Nias Tapanuli Tengah Pakpak Bharat Nias Selatan Padang Pariaman Solok Solok Selatan Pasaman Barat Lahat Banyuasin Ogan Ilir Kaur Mukomuko Lebong Lampung Barat Lampung Utara Way Kanan

(7)

Pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa kabupaten tertinggal cukup memfokuskan pada pembangunan sarana sosial maupun ekonomi. Perkembangan jumlah sarana kesehatan dan pendidikan yang meningkat, serta penambahan daya listrik terpasang merupakan indikasi adanya pembangunan sarana yang krusial. Tabel 4.1. Perkembangan Ketersediaan Sarana dan Prasarana di antara 22

Kabupaten Tertinggal Tahun 2005 dan 2008 Kabupaten Tertinggal Rasio Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk Rasio SD dan SMP per 10.000 penduduk Persentase Keluarga Pengguna Listrik 2005 2008 2005 2008 2005 2008 Simeuleu 3,82 14,67 18,24 19,56 46,95 73,11 Aceh Besar 4,07 8,00 8,04 10,51 68,74 93,01 Aceh Selatan 5,05 4,71 12,68 13,28 65,40 75,37

Aceh Barat Daya 3,71 5,36 11,71 11,70 47,63 76,59

Aceh Jaya 5,94 7,28 13,30 19,05 42,91 65,79 Nias 2,64 3,79 11,70 12,85 26,69 47,95 Tapanuli Tengah 4,09 6,52 13,53 13,25 66,46 78,25 Pakpak Bharat 7,75 12,91 16,78 19,24 58,65 71,63 Nias Selatan 1,88 4,07 8,02 13,27 35,33 45,08 Padang Pariaman 3,72 4,24 11,47 12,37 80,71 82,80 Solok 3,50 6,07 11,18 11,78 68,96 78,79 Solok Selatan 3,61 5,38 10,28 13,40 58,13 73,87 Pasaman Barat 2,90 2,37 10,34 10,38 42,27 54,51 Lahat 5,35 6,17 17,77 12,36 48,53 71,41 Banyuasin 2,49 6,36 7,09 8,10 49,19 62,62 Ogan Ilir 1,83 9,91 9,96 10,57 46,85 73,40 Kaur 4,71 10,07 13,33 14,24 34,90 48,47 Muko-muko 5,12 11,40 11,40 11,33 35,39 65,24 Lebong 5,46 10,97 13,27 15,14 49,93 68,12 Lampung Barat 2,99 6,83 10,80 11,59 34,33 42,20 Lampung Utara 3,79 5,84 9,94 10,63 54,28 69,95 Way Kanan 3,64 6,74 11,58 12,36 24,19 50,44 Rata-rata Nasional 89,01 92,73

Sumber: BPS, Podes (2005 dan 2008)

Badan Standar Pendidikan Nasional (BSPN) mencanangkan bahwa satu SD terhadap maksimal menampung 200-300 anak usia 7-12 tahun atau maksimal

(8)

30 anak dalam satu kelas. Menurut Kementrian Kesehatan, sarana kesehatan yang dibangun seyogyanya mampu melayani 30.000 penduduk di sekitarnya atau dengan rasio sekitar 30. Kabupaten tertinggal memiliki rasio yang lebih rendah dibandingkan nasional berdasarkan Tabel 4.1. Hal ini menunjukkan kapasitas fasilitas kesehatan melebihi kapasitas ideal yang diharapkan.

4.2. Struktur Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal

Keterbatasan potensi dan PAD dari daerah tertinggal menyebabkan terbatasnya kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran yang ada. Anggaran sebagai instrumen fiskal dalam fungsi alokasi disesuaikan kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Keterpaduan alokasi yang tepat bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja daerah sehingga bermanfaat bagi perekonomian kabupaten.

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.4. Struktur Alokasi Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal Berdasarkan Fungsi Tahun 2009

0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 Sime u le u A ce h B es ar A ce h S ela ta n A ce h B ar at D ay a A ce h J ay a N ia s Ta p an u li Te n ga h P ak p ak B h ar at N ia s Se la ta n P ad an g … So lo k So lo k Se la ta n P as ama n B ar at La h at B an yu as in O ga n I lir K au r M u ko mu ko Le b o n g La mp u n g B ar at La mp u n g U ta ra W ay K an an p e rs e n te se a lo ka si Kabupaten lainnya pendidikan kesehatan ekonomi pelayanan umum

(9)

Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa struktur alokasi belanja pemerintah daerah tertinggal hampir sama. Alokasi belanja terbesar masih didominasi belanja fungsi pelayanan umum kemudian baru fungsi pendidikan. Alokasi belanja fungsi pelayanan umum berkisar antara 22-40 persen dari total belanja. Belanja fungsi kesehatan, ekonomi, dan lainnya relatif kecil, antara 5 persen sampai dengan 20 persen.

4.2.1. Belanja Fungsi Pelayanan Umum

Perkembangan belanja fungsi pelayanan umum dari tahun 2007-2009 bervariasi antardaerah, sebagian besar mengalami kenaikan. Kenaikan belanja fungsi ini sangat dipengaruhi oleh kenaikan gaji pegawai (baik dari segi nominal maupun jumlah pegawai). Rekrutmen pegawai baru juga semakin memberikan beban tersendiri karena semakin memperbesar pengalokasian.

Pada tahun 2009 Kabupaten Lahat mempunyai pengeluaran untuk fungsi belanja pelayanan umum terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya untuk kebutuhan yaitu sebesar 250.055,65 miliar rupiah atau 64,91 persen lebih tinggi dari rata-rata belanja pelayanan umum seluruh kabupaten yang ada yaitu 151.628,10 miliar rupiah. Belanja untuk kebutuhan pelayanan umum terkecil adalah Kabupaten Pakpak Bharat yang hanya 34.444,74 miliar rupiah atau 77,28 % lebih kecil dari rata-rata belanja pelayanan umum seluruh kabupaten.

Pada Gambar 4.5 memperlihatkan bahwa terdapat sepuluh kabupaten yang mengalokasikan belanja fungsi alokasi yang lebih besar dibandingkan rata-rata (32 persen). Sepuluh kabupaten tersebut adalah Simeuleu, Aceh Selatan, Aceh

(10)

Barat Daya, Pakpak Bharat, Nias Selatan, Solok, Kaur, Lampung Barat, Lampung Utara, dan Way Kanan.

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.5. Alokasi Belanja Fungsi Pelayanan Umum Tahun 2009

4.2.2. Belanja Fungsi Ekonomi

Kenaikan belanja fungsi ekonomi antara lain digunakan untuk pengembangan pelatihan kerja, peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat, dan promosi potensi wilayah. Kabupaten Lahat memiliki belanja fungsi ekonomi tertinggi dibandingkan daerah lain, dimana sedang memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian.

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 Si m eu le u Ac eh B es ar Ac e h S el at an Ac eh B ar at D ay a Ac eh Ja ya N ia s Ta p an u li Te n ga h P ak p ak B h ar at N ia s Se la ta n P ad an g P ar ia m an Sol ok Sol ok S e la ta n P as am an B ar at La h at B an yu as in O ga n Il ir K au r M u kom u ko Le b on g La m p u n g B ar at La m p u n g U ta ra W ay K an an al o ka si a n gg ar an Kabupaten

(11)

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.6. Alokasi Belanja Fungsi Ekonomi Menurut Kabupaten Tahun 2009

Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi ekonomi adalah sebesar 9,5 persen. Alokasi fungsi ini relatif kecil untuk pengembangan ekonomi masyarakat, dimana kebutuhan pembangunan infrastruktur/fasilitas umum membutuhkan dana yang besar. Alokasi fungsi ekonomi antarkabupaten cukup beragam, Nias Selatan merupakan kabupaten dengan alokasi terendah sebesar 6 persen, sedangkan Nias tertinggi sebesar 12 persen. Walaupun bersebelahan, alokasi fungsi ekonomi memang berbeda dimana Nias Selatan masih lebih berfokus kepada pemulihan terhadap kondisi setelah bencana.

0,0 5,0 10,0 15,0 Si m eu le u Ac eh B es ar Ac eh S el at an Ac eh B ar at D ay a Ac eh Ja ya N ia s Ta p an u li Te n ga h P ak p ak B h ar at N ia s Se la ta n P ad an g P ar ia m an Sol ok Sol ok S el at an P as am an B ar at La h at B an yu as in O ga n Il ir K au r M u kom u ko Le b on g La m p u n g B ar at La m p u n g U ta ra W ay K an an al o ka si a n gg ar an Kabupaten

(12)

4.2.3. Belanja Fungsi Kesehatan

Belanja fungsi kesehatan merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan dan produktivitas masyarakat. Contoh pembelanjaan fungsi ini antara lain seperti pembelian obat, fasilitas kesehatan (alat medis maupun penujang), dan gedung kesehatan.

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.7. Alokasi Belanja Fungsi Kesehatan Menurut Daerah Tahun 2009

Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi kesehatan adalah sebesar 9,9 persen. Alokasi fungsi kesehatan digunakan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat seperti peningkatan sarana prasarana kesehatan, alat-alat kesehatan, dan obat-obatan. Keragaman alokasi belanja fungsi kesehatan antardaerah cukup bervariasi. Kabupaten Simeuleu merupakan daerah dengan alokasi terendah sebesar 5 persen, sedangkan Kabupaten Pakpak Bharat tertinggi sebesar 11 persen. Pengalokasian belanja fungsi kesehatan secara efektif di Kabupaten Kaur terbukti dapat menurunkan angka kejadian penyakit menular dan endemik. 0,00 5,00 10,00 15,00 al o ka si a n gg ar an Kabupaten

(13)

4.2.4. Belanja Fungsi Pendidikan

Belanja fungsi pendidikan merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan seperti pembelian buku, fasilitas jaringan internet sekolah, maupun gedung sekolah. Alokasi belanja fungsi pendidikan secara nasional untuk daerah dicanangkan minimal 20 persen.

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.8. Alokasi Belanja Fungsi Pendidikan Menurut Kabupaten Tahun 2009

Pada Gambar 4.8 bahwa secara rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi pendidikan cukup besar, yaitu 27,02 persen. Alokasi fungsi pendidikan antarkabupaten cukup beragam, tapi dengan persentase yang lebih dibandingkan alokasi fungsi yang lain. Kabupaten yang paling sedikit mengalokasikan belanja pada fungsi pendidikan adalah Mukomuko (16,26 persen), sedangkan yang terbesar adalah Solok. Belanja fungsi pendidikan difokuskan kepada peningkatan prasarana sekaligus kualitas fasilitas pendidikan seperti buku, laboratorium,

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 al o ka si a n gg ar an Kabupaten

(14)

peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), dan kualitas pengajar. Perkembangan alokasi belanja fungsi pendidikan sedikit mengalami penurunan pada tahun 2009 jika dibandingkan dengan tahun 2007. Hal ini salah satunya dikarenakan semakin banyaknya program intervensi dari pemerintah pusat seperti peningkatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan beasiswa pendidikan.

4.2.5. Belanja Fungsi Lainnya

Merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka belanja fungsi lain yang belum tercakup seperti perlindungan sosial dan lingkungan hidup. Belanja perlindungan sosial digunakan untuk biaya penanggulangan bencana yang dianggarkan, jaminan sosial masyarakat, dan pendistribusian bantuan. Belanja lingkungan hidup lebih diarahkan dalam pemeliharaan dan pelestarian kondisi lingkungan terutama hutan.

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.9. Alokasi Belanja Fungsi Lainnya Menurut Kabupaten Tahun 2009 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 al o ka si a n gg ar an Kabupaten

(15)

Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi lainnya adalah sebesar 8,8 persen. Pada Gambar 4.9 terlihat bahwa alokasi fungsi ekonomi antardaerah sangat beragam. Lampung Utara merupakan daerah dengan alokasi terendah sebesar 2,8 persen, sedangkan Lebong tertinggi sebesar 20,3 persen. Belanja fungsi lainnya biasanya merupakan pengeluaran untuk perlindungan sosial dan lingkungan hidup. Kabupaten Lebong mempunyai alokasi yang cukup tinggi pada belanja ini, yang lebih menitikberatkan pada lingkungan hidup, dimana pengembalian fungsi hutan mangrove, kelestarian terumbu karang, dan reboisasi hutan sangat digalakkan oleh pemerintah daerahnya. Kabupaten Nias dan Nias Selatan juga memiliki alokasi yang belanja fungsi lainnya yang tinggi terkait fokusnya pada program revitalisasi pasca bencana.

4.3. Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan Tabel 4.2, pada tahun 2007 dari 22 kabupaten tertinggal tersebut yang memiliki pertumbuhan tertinggi adalah Aceh Besar (Provinsi Nangro Aceh Darusalam) sebesar 13,87 persen Tingginya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah kabupaten di Aceh pada tahun tersebut lebih disebabkan adanya pengembangan kawasan ekonomi terpadu Basajan (Banda Aceh, Sabang, dan Jantho) sebagai kawasan wisata dan berikat serta pembangunan jaringan telekomunikasi di sebagian besar wilayah NAD tersebut.

(16)

Tabel 4.2. Perbandingan PDRB ADHK dan Pertumbuhan Ekonomi pada 22 Kabupaten Tertinggal

Kabupaten Tertinggal

PDRB ADHK (Miliar Rp) Pertumbuhan Ekonomi (%)

2007 2008 2009 2007 2008 2009

Simeuleu 225 236 246,66 11,59 4,83 4,68

Aceh Besar 2.135 2.258 2.405 13,87 5,77 6,50

Aceh Selatan 1.181 1.244 1.317 6,14 5,34 5,85

Aceh Barat Daya 582 608 635 4,57 4,50 4,44

Aceh Jaya 243 252 264,91 2,95 3,73 5,14 Nias 1.739 1.855 1.980,33 6,64 6,70 6,75 Tapanuli Tengah 1.000 1.062 1122,91 6,23 6,18 5,70 Pakpak Bharat 138 14 6 154,42 5,95 5,87 5,83 Nias Selatan 1.085 1.137 1.182,9 4,27 4,77 4,08 Padang Pariaman 2.490 2.645 2.749,34 6,11 6,24 3,94 Solok 1.812 1.927 2.047,62 6,24 6,35 6,27 Solok Selatan 546 579 614,81 6,02 6,04 6,18 Pasaman Barat 2.251 2.395 2.544,86 6,41 6,40 6,26 Lahat 2.292 2.433 2.562,84 5,92 6,09 5,40 Banyuasin 4.033 4.251 4.484,12 6,12 5,43 5,41 Ogan Ilir 1.493 1.568 1.651,28 5,01 5,07 5,29 Kaur 214 226,9 234,81 4,65 5,45 3,98 Mukomuko 488 510 533,78 4,97 4,55 4,65 Lebong 446 468 489,66 5,11 4,99 4,58 Lampung Barat 1.286 1.352 1.427,75 5,88 5,09 5,64 Lampung Utara 2.855 3.014 3.194,21 6,27 5,71 5,84 Way Kanan 1.220 1.278 1.337,66 5,52 4,74 4,69 Nasional 6.28 6,43 4,74 Sumber: BPS, 2007-2009

Pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Kabupaten Aceh Jaya dan Nias Selatan yang hanya sebesar 2,95 dan 4,27 persen. Hal tersebut dikarenakan pemulihan kondisi pasca bencana terdahulu belum maksimal. Walaupun Kabupaten Aceh lainnya juga terkena dampak bencana, akan tetapi tidak separah dan proses restrukturisasi daerah lebih cepat

(17)

Sumber: BPS, 2007 (diolah)

Gambar 4.10. Plot PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal Tahun 2007

Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal walaupun turun tapi lebih besar daripada pertumbuhan nasional. Hanya Kabupaten Padang Pariaman dan Kaur yang jauh lebih kecil dengan pertumbuhan sebesar 3,94 persen dan 3,98 persen (nasional 4,74 persen). Hal tersebut salah satunya dikarenakan terkena dampak bencana gempa yang cukup parah. Pertumbuhan ekonomi yang tumbuh secara konsisten merupakan prasyarat agar kabupaten tertinggal mampu mempercepat pemerataan pembangunan. Hal tersebut

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 P e rt u m b u h an E ko n o m i

PDRB Perkapita (juta rupiah)

Simeuleu Aceh Besar Aceh Selatan Aceh Barat Daya Aceh Jaya Nias Tapanuli Tengah Nias Selatan Padang Pariaman Pakpak Bharat Solok Solok Selatan Pasaman Barat Lahat Banyuasin Ogan Ilir Kaur Mukomuko Lebong Lampung Barat Lampung Utara Way Kanan

(18)

berimplikasi menjadikan kabupaten tertinggal dapat menyejajarkan diri dengan daerah yang lebih maju.

Sumber: BPS, diolah

Gambar 4.11. Plot PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal Tahun 2009

Gambar 4.10 dan Gambar 4.11 menunjukkan perkembangan plot pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita ke-22 daerah tertinggal berdasarkan tipologi Klassen. Hasil analisis empat kuadran menunjukkan bahwa daerah tertinggal hanya tersebar pada kuadran tiga (merupakan kabupaten berkembang cepat) dan kuadran empat (merupakan kabupaten yang relatif tertinggal). Pada tahun 2007, hanya empat kabupaten yang termasuk kategori daerah berkembang

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 P e rt u m b u h an E ko n o m i

PDRB Perkapita (juta rupiah)

Simeuleu Aceh Besar Aceh Selatan Aceh Barat Daya Aceh Jaya Nias Tapanuli Tengah Pakpak Bharat Nias Selatan Padang Pariaman Solok Solok Selatan Pasaman Barat Lahat Banyuasin Ogan Ilir Kaur Mukomuko Lebong Lampung Barat Lampung Utara Way Kanan

(19)

cepat yaitu Kabupaten Aceh Besar, Pasaman Barat, Nias, dan Simeuleu. Delapan belas kabupaten lain termasuk kategori kabupaten relatif tertinggal.

Perkembangan kondisi perekonomian selama kurun dua tahun menjadikan sebagian besar kabupaten tertinggal naik peringkat pada tahun 2009. Tersisa delapan kabupaten yang masih terpuruk dalam kondisi ketertinggalan yaitu Kabupaten Kaur, Simeuleu, Way Kanan, Mukomuko, Nias Selatan, Lebong, Aceh Barat Daya, dan Padang Pariaman. Kabupaten Simeuleu mengalami penurunan kelas tipologi masuk menjadi dalam kuadran empat. Hal tersebut berarti pertumbuhan pada tahun 2007 tidak berkesinambungan dan hanya berupa shock pertumbuhan.

Gambar

Gambar 4.2. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal        Tahun 2007
Gambar 4.3. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal         Tahun 2009
Gambar 4.5. Alokasi Belanja Fungsi Pelayanan Umum Tahun 2009
Gambar 4.6. Alokasi Belanja Fungsi Ekonomi Menurut Kabupaten Tahun 2009
+5

Referensi

Dokumen terkait

tersebut berkata pada anda "Apa Yang engkau inginkan "  "Apa Yang engkau inginkan "  ,Janganlah di jawab ,Janganlah di jawab oleh anda maka khodam tersebut

Adapun tahapan pembinaan UMKM oleh BSN dari identifikasi awal proses sertifikasi dari LSPro sampai penerbitan sertifikat SNI dan pemeliharaannya, sebagai berikut: (1) Identifikasi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

Hubungan aktivitas peredaman radikal DPPH dari senyawa hasil isolasi dan senyawa standar ( -tokoferol, asam askorbat, BHA) pada berbagai variasi konsentrasi (200, 100, 50, 25, 12,5,

Oleh karena itu hubungan kerjasama dapat berjalan hingga saat ini dan menyebabkan kemudahan dalam pengembangan kerjasama.Selama tiga periode, kerjasama sister city

Bagi masyarakat di sekitar lokasi perkebunan, berpeluang untuk menjadi tenaga kerja untu kegiatan tersebut sehingga diprakirakan akan terjadi perbaikan kualitas lingkungan

FAKUTTAS IIUI(UilI UIIIYERSITAS SURABAYT

Struktur populasi monyet ekor panjang pada kawasan TWA Pangandaran adalah sebanyak 195 individu dengan komposisi 23 jantan dewasa, 57 betina dewasa, 19 jantan remaja, 16