• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLITIK HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

POLITIK HUKUM

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

INDONESIA

Deni Bram, S.H.,M.H.

Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila

(3)

ii

Judul:

Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia

Penulis: Deni Bram, S.H.,M.H.

Editor: Endra Wijaya

Kolase pada kover: een

Hak cipta pada penulis.

Hak penerbit pada Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila

(PKIH FHUP).

Alamat PKIH FHUP:

Gedung Fakultas Hukum Universitas Pancasila, lantai 3, Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa. Jakarta Selatan, 12640.

Cetakan ke-1: Oktober 2011.

ISBN: 978 – 602 – 99279 – 7 – 9

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang untuk diperbanyak dalam bentuk atau dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali untuk keperluan pengutipan untuk membuat karya tulis ilmiah

(4)

iii

KATA SAMBUTAN MARDJONO REKSODIPUTRO

Buku ini terbit pada waktu yang tepat, di mana kita semua dirisaukan dengan berbagai peristiwa iklim dan cuaca yang sepertinya sudah berubah dibanding keadaan yang lalu. Belajar dari kekeliruan-kekeliruan di masa lalu, dunia sudah menyadari perlunya kita sebagai manusia lebih menghormati alam di sekitar kita dan berusaha untuk menjaga kelestariannya untuk anak-cucu kita.

Kenyataan tentang peristiwa bencana alam yang terjadi di Indonesia, tidak saja disebabkan oleh kejadian yang alamiah (seperti gempa bumi dan meletusnya gunung berapi), tetapi juga diawali oleh kekeliruan kita dalam mengelola lingkungan hidup di sekitar kita (seperti saluran air kotor di kota yang dibuat tidak sempurna dan kemudian dipenuhi sampah, penebangan pohon di bukit-bukit yang menimbulkan longsor tanah, pemotongan pohon dalam pembukaan tanah untuk perumahan). Kekeliruan ini sudah disadari sekarang ini, namun politik hukum yang mencoba mengubah perilaku manusia agar lebih ramah lingkungan masih merupakan “nato” (no action-talk

only).

Buku ini ditulis oleh seorang ilmuwan muda yang menyadari benar pentingnya slogan “let’s do it” – mari kita mulai sekarang juga: “lebih cepat, lebih baik!”. Tentu saja buku ini dan keinginan penulisnya tidak begitu saja akan terlaksana, pertarungan antara meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan secara optimal hasil alam lawan menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup kita akan terus berlanjut. Tetapi di sinilah tempatnya suatu

(5)

iv

pemerintahan yang benar-benar sadar akan pertarungan ini dan berusaha sekeras mungkin menghasilkan kebijakan/politik hukum lingkungan hidup yang akan merupakan suatu “win-win solution” untuk berbagai pihak yang mempunyai kepentingan-bertentangan. Perlu politik hukum lingkungan yang cerdas yang mementingkan nasib “rakyat kecil” dibanding kepentingan perusahaan besar, serta mementingkan tujuan jangka panjang ketimbang keuntungan politik ekonomi dan keuangan jangka pendek.

Bagi saya, buku ini merupakan sumbangan berharga ke arah penyadaran kita akan rumitnya permasalahan ini. Cara penyajian dan kerangka berpikir dalam buku ini juga memudahkan pemahaman bagi mereka yang belum begitu akrab dengan permasalahan perlindungan lingkungan hidup kita. Mudah-mudahan buku ini dibaca dan dipikirkan oleh kita semua yang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup kita, agar dapat merupakan warisan yang bermanfaat bagi generasi-generasi yang akan datang.

Jakarta, Maret 2012

Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila,

Mardjono Reksodiputro

(6)

v

KATA SAMBUTAN

SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO

Seperti yang telah disuratkan sebagai judul buku, Politik

Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia, buku yang tengah

anda pegang dan baca kali ini adalah buku tentang politik hukum. Mengartikan “politik” di sini sebagai “kebijakan”, yang di dalam bahasa Inggris diistilahi “policy”, tak salah lagi buku ini akan berisi bahasan yang kritis tentang langkah-langkah normatif apa yang seharusnya diambil untuk memperbaiki keadaan yang selama ini, berdasarkan hukum perundang-undangan yang ada, belum sepenuhnya memuaskan.

Sejauh ini belum cukup banyak buku yang ditulis tentang politik hukum semacam ini. Mungkin hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pendidikan hukum lebih tercurah kepada ajaran-ajaran tentang hukum positif yang tengah berlaku sehubungan dengan fungsinya sebagai rujukan guna memutusi suatu perkara. Pendidikan dan kajian seperti itu jelas lebih bergayung sambut dengan penyiapan pekerja-pekerja hukum yang akan berkhidmat di ruang-ruang pengadilan semata. Tradisi pendidikan hukum pada era kolonial – yang masih memperlihatkan pengaruhnya sampai saat ini – memang demikian itulah adanya.

Akan tetapi, di tengah kehidupan negara nasional yang merdeka, tatkala pembentukan dan pembuatan hukum nasional sudah menjadi bagian dari politik dan/atau kebijakan nasional, oleh sebab itu, kajian dan pendidikan hukum pada masa pasca-kemerdekaan mesti juga tak hanya berkonsentrasi pada perbincangan hukum yang

(7)

vi

relevan dengan persoalan pengadilan, akan tetapi juga dengan persoalan politik hukum yang relevan dengan persoalan legislasi.

Sesungguhnya politik hukum itu adalah bagian saja dari politik dalam maknanya yang luas sebagai “kebijakan publik”. Dean Kilpatrick dari Medical University of South Carolina pernah mengatakan bahwa kalaupun public policy ini berbicara ihwal alokasi sumber daya untuk berbagai kegiatan publik yang terpilih lewat suatu proses politik, namun, bagaimanapun juga aspek yang paling utama dalam persoalan ini adalah suatu proses legislasi yang cerdas, berikut produknya yang disebut undang-undang.

Kini, dalam kehidupan sebuah negara merdeka yang telah lepas dari kekuasaan kolonial, kebijakan publik dan kebijakan legislasi sudah sepatutnya merupakan urusan khalayak ramai bangsa sendiri, baik pada tahap awalnya tatkala publik mengungkapkan keinginan dan tuntutannya maupun pada tahap lanjutannya tatkala para pemuka membantu mengartikulasikan segenap keinginan dan tuntutan itu. Di sini, baik secara individual maupun secara berkelompok dan terorganisasi, setiap warga bangsa – tak pelak lagi juga mereka yang berkeahlian hukum – sudah selayaknya ikut berupaya mempengaruhi dan mengawal arah kebijakan publik itu. Ketidakmampuan khalayak ramai ikut berbicara mengenai persoalan publik – yang akan dibentuk sebagai kebijakan resmi lewat suatu proses politik dan proses legislasi – ini hanya akan menyebabkan kebijakan publik ini gagal mengedepankan kepentingan publik, melainkan akan lebih berarah ke kepentingan para elit.

Sempurna tak sempurna, buku yang tengah berada di tangan para pembaca ini adalah bagian dari upaya seseorang individu penulis yang amat berperhatian pada segenap upaya di negeri ini tentang

(8)

vii

pembentukan kebijakan publik – berikut realisasinya sebagai kebijakan hukum – yang berpihak pada soal penyelamatan dan pengelolaan lingkungan hidup dan eko-sistem bumi. Sesungguhnya buku ini tidak hanya hendak mengetengahkan paparan-paparan yang harus dikesan sebagai buku teks. Menyuratkan hal-ihwal reformasi hukum seruan-seruan untuk memperjuangan lestarinya lingkungan berdasarkan hukum dan kebijakan hukum yang memihak kepentingan mayoritas khalayak ramai.

Maka, buku ini tak hanya hendak memaparkan seperangkat preskripsi yang telah termuat sebagai hukum positif dalam undang-undang yang telah ada, ialah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, melainkan juga merupakan ajakan kepada kita untuk ikut berpikir kritis dan reformatif tentang kebijakan apa yang harus diambil demi masa depan pengelolaan lingkungan hidup. Semoga ajakan ini bergayung sambut dengan apa yang selama ini dirisaukan khalayak ramai mengenai merosotnya kualitas lingkungan hidup di negeri ini akhir-akhir ini, tak hanya lingkungan bio-fisikal melainkan juga yang berimbas secara semena-mena ke kehidupan sosial-budaya anak negeri di negeri ini.

Surabaya, 1 Maret 2012 Guru Besar Emeritus pada Universitas Airlangga,

(9)

viii

KATA PENGANTAR PENULIS

Kelsen dalam premisnya mengatakan bahwa hukum dimaknai sebagai suatu entitas yang murni dan dihasilkan dalam sebuah ruang yang bebas intervensi dari variabel lain. Namun, pemikiran Critical

Legal Studies justru berpijak pada sisi yang berseberangan, yaitu

bahwa sering kepentingan politik mempunyai misi tersendiri dalam penciptaan hukum. Memang hukum merupakan sesuatu yang multifaset dan bisa mempunyai berbagai persepsi makna.

Buku yang sampai pada sidang pembaca kali ini berawal dari tugas makalah akhir pada mata kuliah yang diasuh oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H. pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta. Kata bijak dari sang dosen pada saat itu ialah bahwa kita harus mencoba membuat suatu

masterpiece dalam hidup kita. Kata bijak itulah yang menjadi

penyemangat penulis dalam menyusun dan menyempurnakan naskah ini.

Tema lingkungan hidup yang penulis ketengahkan dalam tulisan ini selain tidak terlepas dari keinginan penulis untuk lebih meningkatkan pengetahuan dalam bidang Hukum Lingkungan, yang merupakan bagian dari profesi penulis sebagai asisten dosen pada Mata Kuliah Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP), juga ingin penulis maksudkan sebagai sumbangan pemikiran. Penulis percaya bahwa manusia ialah khalifah di muka bumi dan ia harus bisa memberikan yang terbaik untuk alam semesta ini.

(10)

ix

Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H. yang telah memberikan banyak pengetahuan dan motivasi yang menjadi trigger bagi penulis untuk menghasilkan karya yang jauh dari sempurna ini. Juga ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Prof. Mardjono Reksodiputro, dan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto yang telah berkenan memberikan tulisan kata sambutannya, serta kepada Endra Wijaya dan Pusat Kajian Ilmu

Hukum FHUP (PKIH FHUP) yang berbaik hati untuk

menyempurnakan naskah ini dalam semangat keilmuan di tengah-tengah penelitian yang penulis lakukan di Maastricht University, Belanda.

Tulisan ini penulis dedikasikan secara khusus kepada Almarhum Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H.,M.L. yang telah memberikan kesempatan penulis untuk ikut serta dalam Tim Pengajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan di FHUP, dan khususnya telah memperkenalkan penulis terhadap masalah keberlanjutan kondisi lingkungan hidup yang harus selalu dijaga.

Akhirul kalam, tak ada gading yang tak retak, oleh karena itu,

penulis mengharapkan saran dan kritik untuk kemajuan penulis.

Maastricht, Oktober 2011

(11)

x

“Hanya bila pohon terakhir telah tumbang ditebang; Hanya bila tetes air sungai terakhir telah teracuni;

Hanya bila ikan terakhir telah mati ditangkap; Barulah kita sadar;

bahwa uang di tangan tidak bisa dimakan…” (Indian Creed)

(12)

xi DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN MARDJONO REKSODIPUTRO ~ iii KATA SAMBUTAN SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO ~ v KATA PENGANTAR PENULIS ~ viii

DAFTAR ISI ~ xi

BAB I DASAR PEMIKIRAN POLITIK HUKUM ~ 1

A. Pengertian dan Cakupan Politik Hukum ~ 3 B. Politik Hukum Nasional ~ 10

BAB II ARAH KEBIJAKAN

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA ~ 15

A. Peran Manusia dalam Ekosistem Bumi ~ 18 B. Periode Green History:

Keunggulan Daerah Tropis ~ 21 C. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam

Semangat Kemerdekaan ~ 28

D. Pergeseran Persepsi Dunia Internasional terhadap Lingkungan Hidup ~ 30

E. Konferensi Tingkat Tinggi Stockholm dan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1982 ~ 32

F. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ~ 46

(13)

xii

BAB III REFORMASI PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP ~ 55

A. Rencana Strategis Pengelolaan Lingkungan Hidup ~ 55 B. Potret Kebijakan Lingkungan Hidup Indonesia ~ 68

1. Sifat Perangkat Peraturan

Perundang-Undangan Lingkungan Hidup ~ 69 2. Corak Kebijakan Peraturan

Perundang-Undangan Lingkungan Hidup ~ 75 C. Reformasi Undang-Undang mengenai

Lingkungan Hidup ~ 86

D. Arah Politik Hukum Lingkungan Hidup Indonesia: Menuju Sustainability Policy ~ 98

DAFTAR PUSTAKA ~ 101 BIODATA PENULIS ~ 103

(14)

- 1 -

BAB I

DASAR PEMIKIRAN POLITIK HUKUM

Indonesia adalah negara hukum, dan sebagaimana yang diterangkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), maka segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berlandaskan dan berdasarkan atas hukum. Hal itu juga sekaligus merupakan “barometer” untuk mengukur apakah suatu perbuatan atau tindakan telah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang telah disepakati.

Negara hukum adalah suatu negara yang di dalamnya terdapat alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah yang dalam tindakan-tindakannya, baik terhadap para warga negara maupun dalam hubungannya dengan institusi negara lain, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Begitu pun dengan para anggota masyarakat, dalam hubungan kemasyarakatan juga harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.1

Sehubungan dengan pernyataan tersebut, maka hukum dapat dipahami sebagai himpunan peraturan yang mengatur tatanan

1 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara Hukum dan Politik (Jakarta:

(15)

- 2 -

kehidupan, baik berbangsa maupun bernegara, yang dihasilkan melalui kesepakatan dari wakil-wakil rakyat yang ada di lembaga legislatif. Produk hukum itu dikeluarkan secara demokratis melalui lembaga yang terhormat, namun demikian muatannya jelas tidak dapat dilepaskan dari kekuatan politik yang ada di dalamnya.

Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya harus dirumuskan secara demokratis, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi dari masyarakat luas sehingga produk yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati nurani rakyat. Tetapi apabila sebaliknya, maka akan terlihat bahwa produk hukum yang dikeluarkan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi resah dan cenderung tidak mematuhi ketentuan hukum itu.

Pelaksanaan roda organisasi kenegaraan tidak dapat dilepaskan dari bingkai kekuasaan, karena di dalam negara terdapat pusat-pusat kekuasaan yang senantiasa memainkan peranannya sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Namun dalam pelaksanaannya sering berbenturan satu dengan yang lain, karena kekuasaan yang dijalankan itu berhubungan erat dengan unsur-unsur politik yang sedang berkuasa. Jadi, adanya negara, kekuasaan, hukum, dan politik merupakan satu-kesatuan yang sulit untuk dipisahkan, karena semua unsur tersebut senantiasa bermain dalam pelaksanaan roda kenegaraan dan pemerintahan.

Sebagai salah satu bagian dari bidang ilmu sosial, dalam disiplin ilmu hukum tidak ada sesuatu yang berlaku mutlak dan pasti. Hukum ialah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak

(16)

- 3 -

persepsi aspek, dimensi, dan fase.2 Apabila diibaratkan benda, maka hukum bagaikan sebuah permata yang tiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang memandangnya.

Sebagai akibat dari kompleksitas cara pandang dan persepsi yang timbul dari entitas hukum, hal itu kemudian mendorong lahirnya disiplin ilmu yang menggambarkan hubungan antara ilmu hukum dan bidang ilmu sosial lainnya, seperti filsafat hukum, teori hukum, sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, logika hukum, serta yang terakhir timbul, politik hukum. Kendali masing-masing disiplin ilmu yang disebutkan tadi berdiri sendiri-sendiri, namun demikian darinya dapat diperoleh pemahaman hukum yang maksimal apabila dilakukan secara mendalam dan utuh (whole).

A. Pengertian dan Cakupan Politik Hukum

Perbincangan politik hukum mulai timbul pada saat hukum sebagai suatu unsur dalam subsistem masyarakat tidak dapat berjalan murni dan netral, baik dalam proses pembentukan maupun pelaksanaannya. Dengan perkataan lain, politik hukum muncul sebagai suatu disiplin hukum alternatif di tengah kebuntuan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hukum dan entitas bukan hukum, yang dalam hal ini ialah politik.

Secara etimologis, istilah “politik hukum” merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda “rechtspolitiek,” yang merupakan gabungan dari 2 (dua) kata, yaitu

2 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah

Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 116.

(17)

- 4 -

“recht” dan “politiek.” Dalam bahasa Indonesia, recht diartikan sebagai hukum, yang berasal dari bahasa Arab “hukm” yang berarti putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan, kekuasaan, hukuman, dan lain-lain.3

Dalam perkembangannya, definisi hukum berkembang dan memiliki banyak pemaknaan, bahkan Achmad Ali dalam bukunya

Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, telah

berhasil mengumpulkan lebih dari 50 (lima puluh) definisi dan pengertian tentang hukum yang diberikan dari berbagai aliran pemikiran ilmu hukum dalam rentan waktu yang sangat panjang, mulai dari Aristoteles, Ibnu Khaldun, hingga Dworkin.4

Kata politiek dalam Kamus Bahasa Belanda yang ditulis van der Tas mengandung arti beleid.5 Dalam Kamus Umum

Belanda-Indonesia, beleid diartikan sebagai suatu kebijakan (policy), yang

mengandung makna rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak.6 Dengan perkataan lain, dapat disimpulkan secara etimologis, bahwa politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum.7

3

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mac-Donald and Evans Ltd., 1980), hlm. 196.

4 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis

(Jakarta: Gunung Agung, 2002), hlm. 17-36.

5

S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), hlm. 66.

6 Ibid.

7 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum

(18)

- 5 -

Dalam perspektif terminologis, banyak ahli hukum yang menyajikan definisi politik hukum yang selama ini concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini. Padmo Wahyono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasar atas Hukum mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.8 Karena dirasakan masih belum menyentuh tahap konkret, definisi ini kembali dipertegas dalam sebuah artikelnya yang mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakan hukum itu sendiri.9

Dari kedua definisi tersebut, dapat dilihat bahwa definisi dari Wahyono lebih berkaitan dengan hukum yang dicita-citakan di masa yang akan datang (ius constituendum).

Berbeda dengan perumusan Wahyono, Teuku Mohammad Radhie dalam tulisannya yang berjudul “Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.10 Definisi politik hukum dari Radhie itu tidak hanya menyentuh perumusan arah perkembangan hukum yang akan dibangun (ius constituendum), namun juga mengenai hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum) yang

8

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 160.

9 Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan,”

Forum Keadilan (No. 29, April 1991): 65.

10

(19)

- 6 -

tercermin dari pernyataan tentang “hukum yang berlaku di wilayahnya.”

Politik hukum menurut Satjipto Rahardjo, setelah mengutip perumusan politik hukum menurut Parson, adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu di masyarakat. Sebagai seseorang yang mendalami sosiologi hukum, tidak heran bahwa Rahardjo lebih menekankan pendekatan sosiologis dalam definisi politik hukumnya tersebut.

Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju

Suatu Sistem Hukum Nasional, walaupun tidak memberikan

penjelasan secara eksplisit, memberikan gambaran politik hukum sebagai suatu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk dapat menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.11

Definisi politik hukum berikutnya dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam sebuah makalahnya yang disampaikan saat Kerja Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), dia mengungkapkan bahwa politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu.12

11 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum

Nasional (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1.

12 Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional,” (Yayasan

(20)

- 7 -

Berdasarkan ragam definisi yang dikemukakan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.13

Rumusan politik hukum di atas pada perkembangan selanjutnya mulai disoroti secara mendalam oleh berbagai ahli hukum. Dengan mempertimbangkan bahwa arah politik hukum suatu negara terkadang berubah-ubah dari waktu ke waktu, Mahfud M.D. dan juga Benny K. Harman mencoba untuk melihat korelasi antara konfigurasi politik tertentu dengan karakter produk hukum dan karakter kekuasaan kehakiman.

Dari karya ilmiah keduanya, terlihat bahwa baik Mahfud14 maupun Harman15 mencoba untuk menghadirkan sebuah pendekatan yang berbeda terhadap masalah politik dan hukum. Kedua ahli hukum tersebut lebih menempatkan sistem politik sebagai suatu variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum.

Mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat berpengaruh terhadap produk hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang memiliki

13 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, op.cit., hlm. 32.

14 Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998). 15 Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di

(21)

- 8 -

konfigurasi politik demokratis, cenderung menghasilkan produk hukum yang responsif atau populistik. Sedangkan di negara dengan konfigurasi politik otoriter, produk hukum yang dihasilkan cenderung ortodoks atau konservatis atau elitis.16

Relasi politik dan karakter produk hukum menurut Mahfud M.D.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dirumuskan oleh Mahfud, Harman juga melihat adanya korelasi yang berarti antara konfigurasi politik dengan karakter kekuasaan kehakiman suatu negara. Dalam penelitiannya, Harman mengungkapkan bahwa penerapan konfigurasi politik yang demokratis di suatu negara akan

16

Moh. Mahfud M.D., op.cit. KONFIGURASI POLITIK KARAKTER PRODUK HUKUM Demokratis Otoriter Responsif/ populistik Konservatif/ ortodoks/elitis

(22)

- 9 -

menghasilkan kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom. Sebaliknya, konfigurasi politik yang otoriter atau totaliter akan menghasilkan bentuk kekuasaan kehakiman yang tidak otonom dan tidak bebas.

Relasi politik dan kekuasaan kehakiman menurut Benny K. Harman.

Dari berbagai definisi politik hukum tersebut di atas, dapat dilihat bahwa politik hukum sangat berhubungan erat dengan tujuan negara yang dicita-citakan. Oleh karenanya itu, wilayah kajian disiplin ilmu politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan perumus politik hukum, letak politik hukum, serta faktor-faktor (eksternal dan internal) yang mempengaruhi politik hukum suatu negara.

Dengan demikian, politik hukum mempunyai peran ganda, yaitu selain sebagai kerangka pikir dalam rangka merumuskan kebijakan dalam bidang hukum oleh lembaga yang berwenang, politik

KONFIGURASI POLITIK KARAKTER KEKUASAAN KEHAKIMAN Demokratis Otoriter Independen/otonom Dependen/tidak otonom

(23)

- 10 -

hukum juga dapat digunakan untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy sebelumnya.

Berdasarkan uraian tersebut, secara lebih rinci, maka wilayah kajian politik hukum meliputi hal-hal berikut ini:17

1. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.

2. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.

3. Perumusan dan penetapan politik hukum oleh penyelenggara negara yang berwenang.

4. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan.

6. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.

B. Politik Hukum Nasional

Dalam konteks Indonesia, definisi politik hukum yang merupakan suatu kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlalu, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara

17

(24)

- 11 -

yang dicita-citakan, dapat pula ditambahkan kata “nasional” dibelakangnya. Kata nasional tersebut mencerminkan bahwa wilayah yang tercakup dalam politik hukum yang dimaksud ialah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, perumusan politik hukum suatu negara sangat berkaitan dengan tujuan dan cita-cita negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam konteks politik hukum jelas bahwa hukum berfungsi sebagai “alat” yang bekerja dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau cita-cita masyarakat. Adapun jika membicarakan tujuan politik hukum nasional, maka hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hal tersebut telah dipertegas pula secara konstitusional dalam Pembukaan UUD 1945 yang menekankan pada:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2. Memajukan kesejahteraan umum. 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut, selain berpihak pada 5 (lima) dasar yang tertuang dalam Pancasila, juga harus berfungsi dan selalu berpijak pada 4 (empat) prinsip cita hukum (rechtsidee), yaitu:18

1. Melindungi semua unsur bangsa demi keutuhan.

18 Moh. Mahfud M.D., “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum

(25)

- 12 -

2. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan.

3. Mewujudkan kedaulatan rakyat dan negara hukum.

4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan keadaban dalam hidup beragam.

Pembicaraan seputar hukum nasional tentu tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum nasional serta tatanan hukum nasional yang dimiliki Indonesia. Dalam hal ini, Arief Sidharta mengusulkan bahwa tatanan hukum nasional yang ideal haruslah mengandung ciri-ciri:19

1. Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara.

2. Mampu mengakomodasi kesadaran kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan.

3. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi.

4. Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaedah, dan rasionalitas nilai.

5. Aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah.

6. Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.

Sejalan dengan usulan tersebut di atas, terdapat hasil Seminar tentang Hukum Nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah dibukukan, berjudul Identitas Hukum Nasional, yang merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun harus memenuhi beberapa prasyarat, yaitu:

19

(26)

- 13 -

1. Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konstitusional).

2. Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan dan mengamankan hasil-hasil dari pembangunan.

Dari serangkaian kegiatan yang melatarbelakangi dirumuskannya politik hukum nasional, bisa dipastikan bahwa politik hukum nasional harus dirumuskan pada suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang mendasar dan bukan hanya sekedar aturan yang bersifat teknis. Hal tersebut juga harus mengacu kepada tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai dasar hierarki dan keberlakuan suatu peraturan. Kini hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang di dalamnya mengatur tata urutan yang meliputi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

(27)

- 14 -

Seperti telah dikemukakan di atas, keseluruhan sistem hukum nasional harus bekerja berdasarkan cita-cita bangsa, tujuan negara, dan penuntun yang terkandung di dalam UUD 1945. Dengan kata lain, seluruh produk hukum harus sesuai dan didasari oleh pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945.

Salah satu unsur sistem hukum yang sangat berpengaruh dalam politik hukum ialah materi (substance) dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum di Indonesia saat ini telah dimuat di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas itu memuat gambaran rencana tentang hukum-hukum apa yang akan dibuat dalam periode tertentu, dan juga sebagai wadah pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun pada tingkat daerah.

Sebagai bagian dari permasalahan nasional, bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam juga sudah menjadi bagian yang penting serta tidak terpisahkan dari perumusan Prolegnas tersebut dalam rangka menciptakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari.

(28)

- 15 -

BAB II

ARAH KEBIJAKAN

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

INDONESIA

Persoalan lingkungan merupakan salah satu persoalan dunia yang mengemuka pada seperempat abad terakhir, termasuk di Indonesia, sehingga isu lingkungan ini menjadi sangat menarik untuk didiskusikan. Ada berbagai variabel yang mempengaruhi lingkungan, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya bahkan agama, sehingga pengelolaannya harus dipandang pula sebagai masalah yang interdisipliner.

Upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hendaknya dilakukan secara sistematis dan terpadu bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup dan bagi pencegahan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan itu meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Amanat pasal itu memiliki makna bahwa terdapat korelasi antara negara, wujud perbuatan hukumnya berupa kebijakan (policy making), serta sistem tata kelola lingkungan yang bertanggung jawab.

(29)

- 16 -

Dalam banyak kasus di bidang lingkungan yang telah mencuat mengindikasikan bagaimana sesungguhnya terjadi perbedaan “hitam-putih” (yang kontras) antara apa yang sudah dituangkan dalam regulasi sebagai perwujudan kepedulian negara, aspirasi rakyat yang dimanifestasikan dalam kelembagaan perwakilan (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), serta upaya lembaga yudisial sebagai garda terakhir dalam penegakan hukum (law

enforcement).

Muara dari kegagalan pemerintah dan lembaga peradilan dalam menangani persoalan lingkungan membawa akibat pada resistensi rakyat korban masalah lingkungan, misalnya dengan melakukan aksi demo disertai blokade jalan, merusak fasilitas industri, baik milik investor domestik maupun asing, atau bentuk pembangkangan rakyat, yang kesemuanya menggambarkan upaya penggunaan “senjata terakhir dari kaum yang kalah” (weapons of the

weak).

Sebagai salah satu contoh, dapat dilihat pada kasus lumpur panas di Porong, Kabupaten Sidoarjo, yang mulai terjadi pada tanggal 29 Mei 2006. Kasus ini semula merupakan kasus berskala regional, namun pada akhirnya mengemuka pula sebagai kasus berskala nasional dan sekaligus menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengatasinya.

Kasus lumpur panas di Sidoarjo tersebut mencapai luas 65.000 hektar (ha), belum termasuk 42.800 ha di Pejarakan, Besuki, serta Kedung Cangkring, juga telah merusak 10.426 unit bangunan, 65 masjid serta mushala, 33 sekolah, 31 pabrik, dan 4 kantor.1 Persoalan

(30)

- 17 -

ganti rugi akibat luapan lumpur panas yang sesungguhnya menjadi kewajiban pihak perusahaan (PT. Minarak Lapindo Jaya) ternyata tidak sanggup dibayar oleh perusahaan secara keseluruhan.

Untuk menangani kasus tersebut, pemerintah telah mencoba melakukan upaya dengan membentuk Tim Nasional yang kemudian diganti menjadi Badan Penanggulangan Lumpur. Juga telah dilakukan upaya-upaya seperti dengan membuat saluran pengelak, bola beton, serta rencana counter weight, namun semuanya belum menunjukkan hasil yang signifikan.

Berdasarkan fakta kasus tersebut, maka terdapat persoalan mendasar yang mencakup persoalan orientasi dasar lingkungan berbasis negara (pemerintah) atau state based environmental

management.

Kuatnya pengaruh variabel politik serta ekonomi dan juga tradisi hukum tertulis (positive law tradition) terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan membawa dampak negatif terhadap politik hukum dan substansi regulasi pengelolaan lingkungan (state based

environmental management). Konsep ini pada gilirannya akan

menciptakan bentuk kebijakan, pengaturan maupun penegakan hukum yang mengenyampingkan etika serta moral, kearifan lokal (indigenous

knowledge), dan kritik maupun keluhan korban masalah lingkungan.

Isu lingkungan telah menjadi isu global. Baik “Caring for the

Earth: a Strategy for Sustainable Living” yang disusun oleh IUCN,

UNEP dan WWF pada tahun 1980, yang kemudian diterjemahkan menjadi “Pembangunan Berkelanjutan,” maupun konsep United

Nation Development Program 2006-2010 pada tahun 2005 yang

(31)

- 18 -

dilatarbelakangi oleh krisis multidimensi dan adanya transformasi politik, ternyata belum menyentuh seluruh pemangku kepentingan (stake holders) yang terkait dengan masalah lingkungan, khususnya di tingkat akar rumput (grassroots atau rakyat). Artinya, wacana global itu masih sebatas pada elit pemerintah, teknokrat maupun kalangan intelektual (akademis). Juga forum seminar, lokakarya, atau diskusi publik masih sebatas mengagungkan isu tersebut sebagai wacana belaka. Akhirnya, kesenjangan konsep dan cara pandang antara pemerintah dan warga negara mengenai isu lingkungan berujung pula pada dicederainya rasa keadilan rakyat.

A. Peran Manusia dalam Ekosistem Bumi

Segala sesuatu di dunia ini berhubungan satu dengan yang lain. Antara manusia dan manusia, antara manusia dan hewan, antara manusia dan tumbuhan, bahkan antara manusia dan benda mati sekalipun. Begitu pula antara hewan dan hewan, antara hewan dan tumbuhan, antara hewan dan manusia, bahkan antara hewan dan benda mati di sekelilingnya. Begitupun juga dengan tumbuh-tumbuhan. Pengaruh antara satu komponen dan komponen lainnya ini bermacam-macam bentuk, berbermacam-macam-bermacam-macam sifat, dan dapat menimbulkan reaksi yang beragam pula.2

Kitab suci agama Islam, Kristen dan Yahudi telah mencatat banyak masalah lingkungan yang dihadapi oleh manusia. Air bah yang dihadapi oleh Nabi Nuh, atau berbagai kesulitan yang dihadapi Nabi

2 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: UGM

(32)

- 19 -

Musa di gunung pasir pada waktu pengembaraannya dari Mesir ke Kanaan, merupakan contoh-contoh permasalahan lingkungan.3

Suatu peristiwa yang menimpa diri seseorang dapat disimpulkan sebagai resultante dari berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak pengaruh yang mendorong manusia ke dalam suatu keadaan tertentu, sehingga adalah wajar jika manusia itu kemudian juga berusaha untuk mengerti apakah sebenarnya yang mempengaruhi dirinya dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut.4

Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan setiap manusia. Manusia bernafas, mendapatkan terang (cahaya) karena ada udara dan matahari, demikian juga kebutuhan manusia untuk mencari makan, minum, membuat rumah, dan berteduh adalah juga diperolehnya dari lingkungan. Jadi, kehadiran lingkungan itu sebenarnya sangat penting dan sangat menentukan bagi kehadiran dan kelangsungan hidup manusia, juga bagi kebudayaan dan peradabannya. Atau dengan kata lain, faktor lingkungan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan secara mutlak bagi manusia.5

Noughton dan Larry L. Wolf mengartikan lingkungan dengan semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme.6 Selain itu, pakar ekologi, Otto Soemarwoto, mengartikan lingkungan sebagai semua benda dan kondisi yang ada

3

Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm. 4.

4 Ibid. 5

N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan (Jakarta: Pancuran Alam, 2006), hlm. 3.

(33)

- 20 -

dalam ruang yang manusia tempati yang mempengaruhi kehidupan manusia.7 Sedangkan Munadjat Danusaputro mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan perbuatannya yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.8

Secara umum, lingkungan dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yang dominan, yaitu:

1. Lingkungan alam, yaitu lingkungan yang bersifat alami dan merupakan kandungan dari alam raya ini, seperti oksigen, air, dan karbon dioksida.

2. Lingkungan buatan, yaitu lingkungan yang merupakan hasil rekayasa manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan fisiknya, seperti jalan raya, jembatan, dan gedung.

3. Lingkungan sosial budaya, yaitu lingkungan yang timbul sebagai akibat dari kebutuhan bersosialisasi di masyarakat. Ketiga jenis lingkungan tersebut berada dalam suatu ekosistem besar yang disebut bumi yang merupakan pendukung kehidupan manusia (life-support system) di planet bumi yang merupakan bagian dari sistem planet jagat raya yang berpusat pada matahari sebagai sumber energi dan daya gerak sistem.9

7 Otto Soemarwoto, op.cit.

8 Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan: Buku I Umum (Bandung: Bina

Cipta, 1980), hlm. 28.

9 Daud Silahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum

(34)

- 21 -

Keberadaan manusia di dalam ketiga jenis lingkungan yang disebutkan di atas sangat penting. Manusia tidak dapat hanya berkutat pada satu jenis lingkungan saja, melainkan manusia harus berada di antara titik singgung ketiga lingkungan tersebut. Hal ini tentunya juga sejalan dengan apa yang tertulis di dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang menempatkan manusia sebagai khalifah di bumi ini.10

B. Periode Green History: Keunggulan Daerah Tropis

Seperti telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya, dapat dilihat bahwa manusia mempunyai peran yang sangat penting dan merupakan titik sentral dalam pengelolaan ekosistem jagat raya 10 Ibid. Lingkungan Sosial Budaya Lingkungan Buatan Lingkungan Alam M EKOSISTEM BUMI M= Manusia

(35)

- 22 -

ini. Dalam proses penciptaan jagat raya, setiap sudut di dunia mempunyai kekhasan masing-masing yang merupakan suatu kelebihan dan sekaligus juga dapat dipandang sebagai kelemahan daerah tertentu.

Secara geografis, dunia terbagi dengan dipisahkan oleh garis katulistiwa atau ekuator yang membelah tepat di titik 0 (nol) bujur dan lintang. Sebagai konsekuensi dari faktor geografis tersebut, maka terjadi perbedaan iklim dan musim di tiap negara.

Salah satu bagian bumi yang mendapatkan perhatian dari hampir seluruh penghuni jagat raya adalah daerah (belahan) tropis. Daerah tropis adalah daerah di permukaan bumi, yang secara geografis berada di sekitar ekuator, yang dibatasi oleh 2 (dua) lintang, yaitu: 23.5 LS dan 23.5 LU, tropis: Tropik Cancer di Utara dan Tropik Capricorn di Selatan. Area ini terletak di antara 23.50 LS dan 23.50 LU, serta termasuk seluruh bagian dari bumi di mana matahari mencapai sebuah titik di atas kepala paling tidak sekali selama sepanjang tahun (di atas Tropik Cancer dan di bawah Tropik Capricorn matahari tidak pernah mencapai ketinggian 900 atau tepat di atas kepala.

Kata “tropik” berasal dari bahasa Yunani “troops” yang berarti berputar, karena posisi matahari yang berubah antara 2 (dua) tropik dalam periode yang disebut tahun.11

Pada saat sebagian penghuni bumi menyadari bahwa belahan timur bumi ini, khususnya dengan iklim tropisnya memiliki keunggulan geografis yang mengakibatkan tanah di daerah tropis lebih subur dan produktif dalam hal sumber daya alam, maka mulai lahirlah

(36)

- 23 -

motif-motif ekonomi yang menjadi trigger dalam usaha kolonialisasi. Latar belakang geografis tersebut juga memberikan dampak bagi pengembangan pribadi sumber daya manusia di sekitar. Penghuni daerah tropis dengan segala kemudahannya cenderung untuk tidak berusaha dengan keras dalam menjalani hidup, sebaliknya negara dengan iklim nontropis lebih unggul dalam teknologi dan sikap sekulernya untuk mengejar kemakmuran duniawi.12

Efek geografis yang juga terdapat di tanah nusantara ini, menjadi salah satu alasan masuknya penjajah ke tanah nusantara pada saat itu. Bahkan kabar kemakmuran tanah nusantara dan hasil rempah-rempahnya sudah dikenal oleh para penjajah bangsa Eropa pada saat itu. Tidak heran hal ini menjadi motivasi utama terjadinya penjajahan di bumi pertiwi. Hal ini paling tidak dapat diidentifikasikan dengan datangnya penjajah mulai dari Portugis dengan mencari rempah-rempah hingga kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang hendak melakukan ekspansi ekonomi.13

12 Penulis mendapatkan informasi tersebut dari hasil wawancara pribadi

penulis dengan Soetandyo Wignjosoebroto, yang menurut penulis mempunyai pengetahuan lebih mengenai perkembangan pada era kolonialisme.

13

Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) atau biasa disingkat VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. VOC adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan Perserikatan Dagang Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan, VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara. VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen,

(37)

- 24 -

Portugis konon menjadi pioneer dalam melakukan penjelajahan di bumi nusantara ini. Pada sekitar tahun 1509, orang-orang Portugis menginjakkan kaki pertama kali di Melaka yang kemudian melebarkan daerah jajahannya ke hampir seluruh penjuru Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Nusa Tenggara. Proses pelebaran daerah jajahan itu dilakukan sampai akhir tahun 1500-an. Namun, Portugis mengalami banyak perlawanan, baik dari masyarakat lokal yang dipayungi oleh kerajaan-kerajaan maupun dari utusan Negeri Belanda yang juga mulai menancapkan kekuasaannya di Indonesia.

Pada saat penjajahan Portugis, berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap berbagai sumber, tidak ditemukan satu aturanpun yang dibuat oleh Portugis saat itu untuk mengatur sumber daya alam di bumi nusantara, baik dengan maksud untuk melindungi maupun dengan tujuan untuk melakukan eksploitasi.

Pada sekitar akhir tahun 1601, beberapa kapal milik Belanda mulai mengalahkan armada Portugis dalam pertempuran di Pelabuhan Banten, dan hal ini menjadi tonggak awal dimulainya penjelajahan Belanda di nusantara. Faktor ekonomi menjadi alasan utama dari praktik kolonialisme Belanda dengan Vereenigde Oostindische

Compagnie (VOC)-nya di wilayah Hindia Belanda. Selama masa

Delft, Hoorn, dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke dalam XVII sesuai dengan proporsi modal yang mereka bayarkan. Delegasi Amsterdam berjumlah delapan. Di Indonesia VOC, memiliki sebutan populer ”kompeni” atau ”kumpeni.” Istilah ini diambil dari kata “compagnie” pada nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. Tetapi rakyat nusantara lebih mengenal kompeni sebagai tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat nusantara yang sama seperti tentara Belanda.

(38)

- 25 -

penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda cukup memperhatikan masalah pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam pada saat itu.

Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada masa Hindia Belanda, maka dapat diketahui bahwa yang pertama kali diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda saat itu ialah mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu melalui

Parelvisscherij, Spoonsenvisscherijordonantie (Stbl. 1916 No. 157)

yang dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916.14

Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka pengelolaan sumber daya alam berikutnya ialah Penetapan Gubernur Jenderal Nomor 86 dengan Visscherijordonantie (Stbl. 1920 No. 396), yang mengatur perlindungan terhadap ikan yang meliputi telur ikan, benih ikan dan segala kerang-kerangan.

Ordonantie ini kemudian juga menghasilkan peraturan di bidang

perikanan lainnya, yaitu Kustvisscherijordonantie (Stbl. 1927 No. 144) yang berlaku sejak tanggal 1 September 1927.15

Salah satu ordonantie yang cukup penting pada masa Pemerintah Hindia Belanda ialah Hinder-Ordonantie (Stbl. 1926 No. 226), yang mengatur mengenai izin gangguan yang harus dimiliki oleh setiap pelaku usaha tertentu dalam menjalankan usahanya. Kurang lebih terdapat 20 (dua puluh) jenis usaha yang wajib tunduk pada

ordonantie ini.16

Dalam hal perlindungan satwa, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan dalam Dierenbeschermingordonantie (Stbl.

14

Koesnadi Hardjosoemantri, op.cit., hlm. 65.

15 Ibid., hlm. 66. 16 Ibid.

(39)

- 26 -

1931 No. 134) yang berlaku pada tanggal 1 Juli 1931. Sedangkan dalam bidang perusahaan, ordonantie yang dikeluarkan dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan ialah Bedrijfs-reglementeringsordonantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86).17

Berdekatan dengan ordonantie tersebut ialah peraturan yang dikeluarkan mengenai perburuan, yaitu Jachtordonantie 1931 (Stbl. 1931 No. 133), dan Natuurbeschermingordonantie (Stbl. 1941 No. 167) yang mencabut ordonantie tentang cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonomenten en

Wildreservaten-ordonantie (Stbl. 1931 No. 17).

Dalam hal penataan kota, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang termuat dalam

Stadsvormings-ordonantie (Stbl. 1948 No. 168). Namun demikian, Stadsvormings-ordonantie ini

menjadi polemik apabila dilihat dari tahun pembuatannya yang ternyata 3 (tiga) tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.18

Dari rangkaian paparan mengenai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mempunyai perhatian yang besar terhadap masalah pengelolaan lingkungan serta sumber daya alam di wilayah Hindia Belanda (Indonesia), walaupun hal tersebut dilakukan dengan motif ekonomi.

Pada awal tahun 1940, perang dunia ke-2 berlangsung di berbagai belahan bumi. Di wilayah Indonesia, penjajah Belanda mulai mendapatkan perlawanan dari tentara Jepang, yang berpuncak pada pengambilalihan wilayah Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942.

17 Ibid., hlm. 67. 18 Ibid., hlm. 77.

(40)

- 27 -

Sepanjang pendudukan Jepang di Indonesia, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, kalaupun ada, itu hanya berupa Osamu S Kanrei No. 6 yang mengatur mengenai larangan penebangan pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin

Gunseikan.19

Peraturan pengelolaan lingkungan hidup prakemerdekaan.

No. Peraturan Bidang Pengaturan

1. Parelvisscherij,

Spoonsenvisscherijordonantie (Stbl. 1916 No. 157)

Perikanan mutiara dan perikanan bunga karang.

2. Visscherijordonantie (Stbl. 1920 No. 396)

Perlindungan terhadap ikan yang meliputi telur ikan, benih ikan dan segala kerang-kerangan. 3. Kustvisscherijordonantie (Stbl. 1927 No. 144) Perlindungan perikanan. 4. Hinder-ordonantie (Stbl. 1926 No. 226) Izin gangguan. 5. Dierenbeschermingordonantie (Stbl. 1932 No. 17) Perlindungan satwa. 6. Natuurmonumenten en Wildreservatenordonantie (Stbl. 1932 No. 17)

Cagar alam dan suaka margasatwa. 7. Jachtordonantie 1931 (Stbl. 1931 No. 133) Perburuan. 19 Ibid., hlm. 78.

(41)

- 28 - 8. Bedrijfsreglementeringsordonantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86) Pengelolaan lingkungan. 9. Stadsvormingsordonantie (Stbl. 1948 No. 168) Tata kota.

10. Osamu S Kanrei No. 6 Larangan penebangan pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan.

Walaupun pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup pada masa penjajahan lebih didominasi oleh motivasi ekonomi dan kekuasaan, namun hal ini jelas menunjukkan telah adanya kesadaran penjajah untuk menempatkan lingkungan hidup tidak lagi sekedar sebagai objek eksploitasi.

C. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Semangat Kemerdekaan

Pendudukan Jepang tidak berlangsung lama di Indonesia, dan Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa awal kemerdekaan, masalah lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam kurang mendapatkan perhatian.

Masa awal kemerdekaan itu sering disebut juga sebagai tahapan persiapan menuju pembangunan dan demokrasi di Indonesia. Dalam masa ini, para aparatur serta pimpinan negara lebih berkonsentrasi pada upaya untuk menciptakan kepastian hukum, demokrasi, serta kemandirian ekonomi. Namun demikian, telah

(42)

- 29 -

dirumuskan pula kaedah dasar yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.

Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia tersebut terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Ketentuan tersebut menegaskan kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani Indonesia dalam lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia.20 Walaupun hal ini telah dipertegas dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur mengenai pola pemanfaatan sumber daya alam yang ada, namun hal tersebut terlihat terlalu ambisius dan terlalu klise serta tidak

(43)

- 30 -

aplikatif.21 Sama halnya dengan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria yang memberikan kewenangan terhadap negara dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang tersedia. Namun, ternyata kewenangan tersebut tidak diiringi oleh suatu aturan pelaksanaan pemanfaatan secara lestari.22

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pada negara-negara berkembang dan yang baru merasakan kemerdekaan isu mengenai lingkungan hidup dan sumber daya alam masih kurang mendapatkan perhatian.

D. Pergeseran Persepsi Dunia Internasional terhadap Lingkungan Hidup

Momentum kemerdekaan di Indonesia hampir berbarengan dengan momentum kemerdekaan negara lain di seluruh penjuru dunia. Pada tahun 1948, dengan adanya Universal Declaration of Human

Rights, yang salah satu point-nya menekankan bahwa segala bentuk

penjajahan harus dihapuskan di bumi ini, maka berakhir juga periode

green history yang menempatkan alam dan lingkungan ini sebagai

objek eksploitasi.

Sadar akan kesalahan dalam pengelolaan lingkungan hidup pada masa lalu, perlahan-lahan perhatian dunia terhadap lingkungan hidup yang lestari mulai muncul di berbagai belahan di dunia. Diawali dengan adanya berbagai kerusakan lingkungan dan sumber daya alam yang semakin meningkat yang justru bersumber dari perbuatan manusia, terlebih lagi dengan diperkenalkannya sistem industri pada

21

Naoyuki Sakumoto, Development of Environmental Law and Legal Reform in Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007), hlm. 221.

(44)

- 31 -

awal abad ke-19. Pada tahun 1962, juga terbit buku karangan Rachel Carson yang berjudul The Silent Spring yang menarik perhatian banyak orang pada saat itu. Buku tersebut menggambarkan masalah lingkungan yang terjadi di mana-mana, seperti menyebarnya penyakit yang menyerang ternak dan manusia.23

Sebelum buku Carson terbit, telah terjadi pula malapetaka berupa pencemaran lingkungan oleh zat merkuri di Teluk Minamata, Jepang. Pencemaran itu terjadi disebabkan oleh pabrik-pabrik yang berada di pinggir Sungai Minamata, sehingga berakibat rusaknya sistem kesehatan penduduk, khususnya yang berada di wilayah Minamata. Di wilayah lain di Negara Jepang juga terjadi pencemaran oleh limbah cadnium yang dibuang oleh pabrik-pabrik ke Sungai Jintsu yang menimbulkan penyakit intai-intai.24

Berdasarkan realitas yang terjadi pada berbagai belahan dunia sebagaimana diuraikan di atas, perhatian kemudian datang dari Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada waktu melakukan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970) guna merumuskan strategi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980).25 Pembicaraan masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil dari Swedia pada tanggal 1968, yang salah satu rekomendasinya mengatakan bahwa

23

N.H.T. Siahaan, op.cit., hlm. 21.

24 Ibid.

(45)

- 32 -

hukum yang semula hanya mengatur kehidupan manusia (homo ethic), mulai harus bergeser pada pemikiran untuk dapat mengatur kehidupan lingkungan atau ekologi (eco ethic).26

Dalam laporan Sekretaris Jenderal PBB, dinyatakan betapa mutlak perlunya dikembangkan sikap dan tanggapan baru terhadap masalah lingkungan hidup. Maksud dari upaya penanganan masalah lingkungan hidup itu ialah demi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan sosial, khususnya mengenai perencanaan, pengelolaan dan pengawasannya. Walaupun isu-isu ekonomi tetap mendominasi pada tahap (masa) ini, namun pandangan hidup terhadap masalah lingkungan hidup mulai berubah. Lingkungan hidup dan sumber daya alam yang tersedia tidak lagi dianggap sebagai objek, melainkan sudah dianggap menjadi salah satu bagian dari capital yang harus dikelola dengan cermat.

E. Konferensi Tingkat Tinggi Stockholm dan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1982

Laporan Sekretaris Jenderal PBB yang menyoroti masalah lingkungan, sebagaimana telah disinggung di atas, akhirnya diajukan kepada Sidang Umum PBB pada tahun 1969, dan kemudian disahkan dengan Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 2581 (XXVI) pada tanggal 15 Desember 1969.

Resolusi tersebut direalisasikan dengan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia

26

Penjelasan dari Bambang Prabowo Soedarso yang disampaikan pada kuliah Hukum Lingkungan, pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, 2007.

(46)

- 33 -

pada tanggal 5 Juni-16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia.27 Konferensi itu dihadiri oleh 113 (seratus tiga belas) negara, 21 (dua puluh satu) badan atau organisasi PBB, 16 (enam belas) organisasi antar-pemerintah (IGOs), dan 258 (dua ratus lima puluh delapan) organisasi nonpemerintah (NGOs) yang mewakili berbagai kelompok, termasuk di dalamnya organisasi atau lembaga swadaya masyarakat seperti

Sierra Club, The International Association of Art Critics sebagai

peninjau.28

Sebagai tindak lanjutnya, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1972 tentang Panitia Perumus dan Rencana Kerja di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup, Pemerintah Indonesia membentuk panitia yang bersifat antardepartemen yang disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup untuk merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan hidup.

Panitia yang diketuai oleh Emil Salim selaku Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN)/Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut berhasil merumuskan program kebijaksanaan lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam butir 10 Bab II Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1973-1978, dan Bab 4 Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II. Keberadaan lembaga yang khusus mengelola lingkungan hidup itu memang dirasakan mendesak agar pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, baik di tingkat pusat maupun di daerah, lebih terjamin.

27 Koesnadi Hardjasoemantri, op.cit., hlm. 8. 28 Daud Silalahi, op.cit., hlm. 21.

(47)

- 34 -

3 (tiga) tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1975 tentang Pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam, dengan tugas pokoknya ialah untuk menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang, serta implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola tersebut. Dalam periode ini, telah dilakukan persiapan penyusunan perangkat perundang-undangan dan kelembagaan yang menangani pengelolaan lingkungan hidup.

Konferensi Stockholm secara khusus membahas mengenai keprihatinan terhadap permasalahan lingkungan yang dirasakan semakin problematis di berbagai belahan dunia. Di satu pihak, terdapat sejumlah manusia di berbagai negara yang menderita kemiskinan dan keterbelakangan sehingga mempengaruhi lingkungan hidupnya. Masalah ini menimbulkan keadaan dilematis antara penyelesaian kemiskinan dan perusakan lingkungan, dan hal itu tercermin dari ungkapan negara-negara berkembang yang menyatakan, “berilah kami pencemaran asal negara kami maju.” Sementara di pihak lain, negara-negara maju berpacu mengejar pembangunan dan kemajuan, juga memaksa lingkungan hidupnya menjadi rusak dengan berbagai dimensinya.29

Dalam rangka melakukan pembahasan terhadap permasalahan lingkungan tersebut, Konferensi Stockholm membagi pembahasan ke dalam 3 (tiga) komisi yang selanjutnya membahas 6 (enam) mata acara pokok, yaitu:30

29 N.H.T. Siahaan, op.cit., hlm. 22. 30 Daud Silalahi, op.cit.

(48)

- 35 -

1. Komisi I: membahas mata acara mengenai masalah pemukiman dan aspek-aspek pendidikan dan informasi. 2. Komisi II: membahas mata acara pokok pengelolaan

sumber daya alam dan mengenai lingkungan serta pembangunan.

3. Komisi III: membahas mata acara mengenai implikasi keorganisasian dan identifikasi serta pengendalian zat pencemar.

Setelah mengadakan sidang selama kurang lebih 10 (sepuluh) hari, pada tanggal 16 Juni 1972, konferensi mengakhiri sidangnya dengan mengeluarkan beberapa rekomendasi, yaitu:31

1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, yang terdiri atas: 26 (dua puluh enam) preamble, dan 26 (dua puluh enam) asas yang lazim disebut Stockholm Declaration. 2. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang

menunjang pelaksanaan rencana aksi tersebut, yang terdiri atas:

a. Dewan Pengurus Program Lingkungan Hidup (United

Nation Environment Program);

b. Sekretariat, yang dikepalai oleh direktur eksekutif; c. Dana lingkungan hidup, dan;

d. Badan Koordinasi Lingkungan Hidup.

3. Penetapan hari lingkungan hidup sedunia pada tanggal 5 Juni.

Hasil dari Konferensi Stockholm sedikit banyak mem-pengaruhi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Hal

(49)

- 36 -

itu tercermin dalam Bab III Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang butir 10 dari Pendahuluan GBHN 1973-1978 yang memuat penjelasan: “Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.”32

Periode ini menandai daya tanggap dan cikal bakal bangkitnya kesadaran lingkungan Indonesia ketika pembangunan nasional memasuki Pelita I (1969-1974). Perhatian terhadap masalah lingkungan mulai terlihat pada peraturan perundang-undangan yang disusun beserta kebijaksanaan dan program sektoral yang dihasilkan selama periode tersebut. Peraturan perundang-undangan itu sudah memuat ketentuan yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dengan mempertimbangkan aspek konservasinya. Selain itu, konsepsi serta kebijaksanaan pengembangan wilayah yang dianut sektor juga sudah memasukkan pertimbangan lingkungan. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan masih bersifat sektoral dan dengan perhatian terhadap aspek pengelolaan lingkungan yang masih belum memadai.

Sementara itu, perhatian terhadap lingkungan hidup di kalangan perguruan tinggi dirintis oleh Universitas Padjadjaran, Bandung, melalui pendirian Lembaga Ekologi pada tanggal 23 September 1972. Sebagai persiapan menghadapi Konferensi Stockholm, pada tanggal 15 Mei-18 Mei 1972 diselenggarakan

(50)

- 37 -

seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional” oleh Universitas Padjadjaran di Bandung. Seminar itu membahas mengenai “Peraturan Hukum Masalah Lingkungan Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran.” Hasilnya kemudian dijabarkan ke dalam Country Report Republik Indonesia dan disampaikan pada Konferensi Stockholm itu.

Dalam bentuk kebijakan kelembagaan, untuk melaksanakan amanat GHBN 1978, maka berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi serta Susunan Organisasi Stafnya jo. Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 1978 tentang Perubahan, Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1978 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi serta Susunan Organisasi Stafnya, dalam Kabinet Pembangunan III diangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH) dengan tugas pokok mengoordinasikan pengelolaan lingkungan hidup di berbagai instansi pusat maupun daerah, khususnya untuk mengembangkan segi-segi lingkungan hidup dalam aspek pembangunan. Sedangkan tugas pertamanya ialah mempersiapkan perumusan kebijakan pemerintah mengenai pelaksanaan pengawasan pembangunan dan pengelolaan serta pengembangan lingkungan hidup. Jabatan MENPPLH dipegang oleh Emil Salim.

(51)

- 38 -

Kemudian dalam upaya memantapkan koordinasi pengelolaan lingkungan di daerah, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 240 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat I dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I, yang di dalamnya terdapat Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup.

Salah satu produk hukum terpenting yang dihasilkan selama periode Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH) ialah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan landasan bagi berbagai ketentuan dan peraturan mengenai masalah pengelolaan lingkungan hidup, seperti perlindungan, pelestarian serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, baku mutu lingkungan, dan lain-lain.

Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lingkungan Hidup sebenarnya telah dimulai pada tahun 1976 dengan persiapan pembentukan kelompok kerja hukum dan aparatur dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pada periode ini, beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan lingkungan dihasilkan oleh berbagai instansi sektoral.

Di sejumlah perguruan tinggi, perhatian terhadap lingkungan hidup juga mulai berkembang, antara lain dengan dibentuknya lembaga yang bergerak di bidang penelitian masalah lingkungan, seperti Pusat Studi dan Pengelolaan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Studi Lingkungan Institut Teknologi Bandung.

(52)

- 39 -

Pengelolaan lingkungan hidup pada periode ini masih berupa langkah awal pemantapan kemauan politik (political will) sebagai persiapan untuk mewujudkan gagasan-gagasan dari Konferensi Stockholm. Pada periode ini, belum ada lembaga khusus serta perangkat peraturan perundang-undangan yang menangani masalah lingkungan secara komprehensif, dan ini merupakan kendala yang perlu penanganan segera pada waktu itu.

Pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia dapat dikatakan relatif belum lama dan baru dirintis menjelang Pelita III. Namun demikian, dalam waktu yang relatif pendek itu Indonesia telah banyak berbuat untuk mulai mengelola lingkungan hidupnya. Hasil utama dari upaya pengembangan pengelolaan lingkungan hidup itu nampak pada munculnya kesadaran dan kepedulian di kalangan masyarakat, antara lain dapat dilihat pada adanya peningkatan upaya nyata swadaya masyarakat dalam memecahkan masalah pencemaran di daerah. Padahal, 20 (dua puluh) tahun sebelumnya, istilah lingkungan hidup itu sendiri masih belum begitu dikenal.

Konsep dan kebijakan lingkungan hidup selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mengalami perkembangan yang sangat berarti. Selama Pelita III, bidang lingkungan hidup ditangani oleh MENPPLH dengan prioritas pada peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa merusak,” dengan tujuan agar lingkungan dan pembangunan tidak saling dipertentangkan.

Penanganan masalah lingkungan hidup tentu juga menuntut pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pendukungnya. Untuk itu, pada tahun 1979, dibentuklah Pusat Studi Lingkungan (PSL) yang tersebar di berbagai perguruan tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam uji kelistrikan DSSC buah naga dihasilkan nilai kelistrikan terbesar terdapat pada sample dengan pemanasan pada temperatur kalsinasi 550 0 C dan waktu tahan

Variabel pada penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan daerah tempat tinggal pada karakteristik

Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi

Hasil perhitungan terhadap empat negara terbesar produsen CPO (CR4) dengan nilai 94 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwasanya struktur pasar industri minyak sawit

Sehingga dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi adalah positif yang artinya yang artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan kewirausahaan terhadap

Berdasarkan hasil pengujian UAT 2 didapatkan hasil presentase 100% bahwa pengguna merasa sistem yang telah dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan serta sistem teruji dapat

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Perencanaan Unit Pengolahan Pangan dengan judul:

dalam permainan judi sabung ayam tersebut disita dari terdakwa satu I. Nyoman Sunada Als Kampil untuk dijadikan