• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA

F. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Reformasi membawa telah perubahan secara dramatis dalam sistem politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Dan sejalan dengan itu, terjadi pula perubahan dalam sistem kepemerintahan. Namun demikian, masalah lingkungan yang dihadapi hingga masa reformasi

33

Informasi mengenai perkembangan kelembagaan dan kinerja dari Kementerian Lingkungan Hidup dapat dilihat pada situs <http://www.menlh.go.id/archive.php?action=branch&cat=345>.

- 47 -

ini masih berkisar pada masalah sumber daya alam, populasi, dan kerja sama regional/internasional.

Jumlah penduduk yang meningkat memberikan tekanan yang lebih besar kepada sumber daya alam. Salah satu dampaknya ialah kondisi kritis sumber daya air, khususnya untuk di Pulau Jawa. Hutan juga semakin menurun kualitas dan kuantitasnya akibat over

exploitation dan pembakaran. Menyusutnya sumber daya hutan diikuti

pula dengan menurunnya jumlah keanekaragaman hayati, hal yang sama juga terjadi di lingkungan pesisir dan laut. Kondisi ini diperburuk lagi dengan menurunnya kualitas udara akibat merebaknya industrialisasi dan perlakuan yang tidak ramah kepada atmosfer, seperti semakin banyaknya polusi yang berasal dari kendaraan bermotor.

Sementara itu, aktivitas manusia telah juga menghasilkan limbah domestik, dan masalah ini mulai merambah ke perdesaan. Kepadatan perkotaan turut pula meningkatkan beban pencemaran pada lingkungan. Dampak lain dari kepadatan kota ialah alih fungsi lahan dari pertanian menjadi permukiman dan industri.

Ledakan jumlah penduduk memunculkan kelas masyarakat miskin, yang diikuti dengan merebaknya pemukiman kumuh, masalah kesehatan, gelandangan, kriminalitas, dan berbagai masalah sosial lainnya. Sementara itu, seiring dengan modernisasi, terjadi pergeseran nilai yang bersifat tradisional agraris menuju masyarakat era industri, yang antara lain ditandai dengan perubahan pranata sosial, perubahan nilai-nilai sosial.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota mengakibatkan turunnya ketahanan ekologis perdesaan dan menaikkan tingkat

- 48 -

kerentanan kota. Berbagai masalah sosial tersebut berdampak pada melemahnya kontrol sosial, dan cenderung diikuti timbulnya masalah sosial psikologi dalam masyarakat. Sementara itu, keanekaragaman kelompok dalam masyarakat dan ketimpangan ekonomi semakin mempertinggi persaingan dan konflik kepentingan.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kemudian sasaran pembangunan lingkungan diarahkan pada:

1. Peningkatan pengenalan jumlah dan mutu sumber daya alam serta jasa lingkungan yang tersedia;

2. Pemeliharaan kawasan konservasi;

3. Peningkatan sistem pengelolaan lingkungan;

4. Pengendalian pencemaran, terutama pada daerah padat penduduk dan pembangunan;

5. Pengendalian kerusakan pantai, dan; 6. Peningkatan usaha rehabilitasi lahan kritis.

Memperhatikan sasaran tersebut, maka kebijakan lingkungan diarahkan pada 6 (enam) program pokok, yaitu:

1. Inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan lingkungan hidup;

2. Penyelamatan hutan, tanah dan air;

3. Pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup; 4. Pengendalian pencemaran lingkungan hidup; 5. Rehabilitasi lahan kritis, dan;

6. Pembinaan daerah pantai.

Seperti yang telah diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, salah satu hal yang termuat dalam Prolegnas 1994-1995 ialah perlunya melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4

- 49 -

Tahun 1982. Undang-undang tersebut, yang hanya terdiri dari 9 (sembilan) bab dan 24 (dua puluh empat) pasal, memang dirasakan terlalu sedikit dan sederhana sehingga dinilai kurang dapat memayungi berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup. Beberapa hal yang kurang mendapatkan perhatian dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ialah: hak untuk mendapatkan kehidupan lingkungan yang sehat, penerapan asas

polluter pay principle, perizinan, pencegahan pencemaran, hak untuk

berperan serta dalam pengaturan lingkungan, serta ganti rugi terhadap korban pencemaran.34

Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dilakukan pula sebagai bentuk sinkronisasi terhadap dinamika yang terjadi pada bidang hukum administrasi negara, terutama dengan adanya kebijakan desentralisasi. Seperti diketahui, pengelolaan lingkungan hidup pada masa-masa itu (masa dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982) masih bersifat sentralistis, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat cenderung kurang memperhatikan permasalahan di daerah.

Hasil revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ialah berwujud Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 terdiri dari 11 (sebelas) bab dan 52 (lima puluh dua) pasal. Undang-undang ini memiliki beberapa perbedaan yang cukup mendasar apabila dibandingkan dengan undang-undang yang terdahulu, antara lain, yaitu dalam hal administrasi lingkungan, dan juga dalam hal telah diadopsinya beberapa asas hukum lingkungan di

- 50 -

tingkat internasional ke dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, seperti penerapan polluter pay principle.

Perbandingan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

Bidang Pengaturan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Kebijakan lingkungan nasional

Kebijakan didasari oleh UUD 1945, Pancasila, dan seluruh peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan lingkungan hidup.

Kebijakan didasari oleh integrasi dari tanggung jawab negara, prinsip berkelanjutan, dan prinsip eksploitasi secara terpadu.

Administrasi lingkungan

Didasari atas pengaturan lingkungan oleh pemerintah pusat dengan koordinasi dengan pemerintah daerah.

Mengurangi peran pemerintah pusat dengan mendelegasikan beberapa kewenangan pada pemerintah daerah.

Hak terhadap lingkungan

Hak atas lingkungan yang sehat, hak dan kewajiban dalam pengaturan di bidang lingkungan.

Hak atas lingkungan yang sehat, hak atas informasi di bidang lingkungan, dan hak untuk berperan dalam pengaturan di bidang lingkungan hidup.

Dasar pemberian izin

Baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan, pengelolaan B3, AMDAL.

Aparat penegak hukum

Polisi dan penyidik pegawai negeri sipil.

Pencemaran dan ganti rugi

Polluter pay principle, biaya pemulihan

lingkungan, strict liability.

Polluter pay pinciple, biaya pemulihan lingkungan, strict liability.

- 51 -

Penyelesaian sengketa

Strict liability Pengadilan.

Pengadilan (litigasi), di luar pengadilan (nonlitigasi), class action.

Audit lingkungan

Studi evaluasi mengenai dampak lingkungan.

Audit lingkungan.

Sanksi Sanksi pidana, denda paling tinggi 100 juta rupiah, dan penjara 10 tahun.

Sanksi administratif oleh gubernur atau kepala wilayah, sanksi pidana, denda paling tinggi 750 juta rupiah, dan penjara 15 tahun.

Titik lemah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ialah undang-undang ini tidak cukup mampu menempatkan dirinya sebagai undang yang menjadi landasan (“payung”) bagi undang-undang sektoral. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 juga tidak mampu memberikan “ruang penyesuaian” bagi undang-undang sektoral. Bahkan, undang-undang sektoral ini dalam praktiknya justru lebih dominan, dan malah terkesan mengenyampingkan keberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

Isu lain yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa berkaitan dengan perkembangan pemikiran dan konsep pengelolaan lingkungan yang terjadi di dunia internasional, maka Indonesia perlu pula memiliki komitmen untuk sungguh-sungguh mengisi substansi peraturan perundang-undangan lingkungan hidupnya dengan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang bersifat global. Misalnya, dalam peraturan perundang-undangan lingkungan hidup di Indonesia perlu memuat prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang baik (good

- 52 -

berkelanjutan yang baik (good sustainable development governance) secara utuh dan rinci. Adapun prinsip-prinsip tersebut terdiri dari:

1. Intergenerational equity; 2. Intragenerational equity; 3. The precautionary principle; 4. The internalization of externality; 5. Pollution prevention;

6. Polluter pays principle;

7. Strict liability and absolute liability; 8. Shifting of burden of proof;

9. Transboundary principle; 10. Extraterritoriality principle.

Selain itu, Indonesia perlu juga memperhatikan asas-asas kebijakan lingkungan (principles of environmental policy), yaitu antara lain:

1. Abatement at the source;

2. Best practicable means/best technical means; 3. Stand still principle;

4. Principle of regional differentiation.

Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut di atas merupakan suatu “paket” dari pengelolaan lingkungan yang baik, yang harus termuat dalam kebijakan lingkungan yang diwujudkan dalam perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Harmonisasi dari prinsip sustainable development dan good

environment governance ialah good sustainable development governance yang berimplikasi pula pada:

- 53 -

1. Dorongan ke arah corporate social responsibility dan

accountability lebih menguat (termasuk tuntutan

masya-rakat internasional);

2. Masyarakat akan lebih terbuka dan demokratis (democratic

society and government);

3. Kekuatan-kekuatan civil society sebagai kelompok penekan (pressure group) semakin kuat dan efektif;

4. Gerakan “konsumen hijau” semakin meluas seiring dengan berkembangnya pendidikan lingkungan, dan meningkatnya kesadaran lingkungan hidup terhadap kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang semakin memburuk; 5. Rule of law semakin terbangun.

Hukum seharusnya berperan dalam pemecahan masalah lingkungan dan sekaligus berfungsi sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kebijakan negara (pemerintah) dalam mengelola lingkungan hidup. Jika kebijakan lingkungan kemudian dirumuskan dalam rangkaian norma yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan tentang lingkungan, maka dalam arti sempit, hal itu dapat disebut sebagai kebijakan hukum lingkungan, atau sering disebut pula sebagai politik perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Politik perundang-undangan di bidang lingkungan hidup harus dipersiapkan sebaik mungkin. Hal itu ialah dikarenakan salah satu faktor yang mempengaruhi buruknya pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah karena kebijakan peraturan perundang-undangan yang sengaja didesain (atau mungkin juga karena “kelalaian”) untuk tidak dapat efektif mencegah atau menyelesaikan masalah lingkungan. Kelemahan ini dapat dilihat dari

- 54 -

beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang cenderung bersifat pragmatis, reaktif, sektoral, parsial, dan berjangka pendek.

Konkretnya, peraturan perundang-undangan seperti tersebut di atas mengandung ketidaklengkapan dalam perumusan pengaturan fungsi manajemen lingkungan, belum diadopsinya secara utuh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pengaturan kelembagaan yang sangat parsial, pasal perizinan yang sumir, norma pengawasan yang tidak jelas, belum lengkapnya pengaturan tentang hak-hak prosedural masyarakat, belum didayagunakannya pengaturan berkenaan dengan persyaratan penaatan, instrumen ekonomi, rumusan sanksi administrasi serta sanksi pidana yang tidak aplikatif.

Tidak jarang pula yang terjadi ialah justru disharmoni antara peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup dengan peraturan perundang-undangan sektoral, yaitu terjadinya konflik, kontradiksi, tumpang tindih, dan inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya.

Memang disadari, sangat banyak masalah yang dihadapi dalam pengaturan kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup. Hal ini tidak saja menjadi tantangan bagi mereka yang langsung berkecimpung di bidang hukum lingkungan, tetapi juga merupakan panggilan tugas dan tanggung jawab bersama para ahli hukum untuk berperan serta dalam upaya membangun hukum lingkungan nasional Indonesia.

- 55 -

BAB III

REFORMASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN