Omrin Tampubolon – NRP : 2207100531
Bidang Studi Telekomunikasi MultimediaJurusan Teknik Elektro – FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS, Keputih - Sukolilo, Surabaya 60111
ABSTRAK
Compressed Sensing merupakan teknik baru dalam
proses sampling data dan kompresi data. Tujuan dari kompresi citra adalah memperkecil ukuran file citra sehingga lebih efisien dalam penyimpanan pada media
storage serta dapat menjaga kualitas citra secara visual
manusia setelah proses rekonstruksi citra terkompres dengan memperhatikan nilai Mean Square Error (MSE) dan
Peak Signal to Noise Ratio (PSNR).
Pada Tugas Akhir ini permasalahan yang dibahas adalah Compressed Sensing pada natural images (citra
grayscale), dimana citra rekonstruksi disusun bagian demi
bagian secara tepat menggunakan algoritma L1 Norm. Algoritma L1 Norm merupakan teknik pengambilan struktur geometrik dari suatu citra terkompres secara lengkap.
Rekonstruksi citra menggunakan algoritma L1 Norm melibatkan operasi linear Total Variance (TV) minimization, atau sering dikenal dengan basis pursuit
dalam domain transform. Metode rekonstruksi Total
Variance bertujuan untuk merekonstruksi citra terkompres
menjadi citra semula. Prosentase rata – rata error terkecil yang dihasilkan dari proses rekonstruksi citra terkompres adalah 0,00006, sedangkan nilai PSNR tertinggi adalah 43 dB.
Kata kunci: Compressive Sensing, Compressed Sensing
I. PENDAHULUAN
Saat ini perkembangan teknologi semakin pesat dari tahun ke tahun dalam segala bidang. Perkembangan teknologi dalam bidang penggunaan informasi suatu citra digital digunakan secara luas dalam berbagai macam aplikasi seperti pada jaringan dunia maya (World Wide
Web), sistem konferensi video (Video Conference System),
citra medis, dan kamera keamanan jarak jauh, serta beragam aplikasi lainnya.
Banyaknya aplikasi yang menggunakan data citra sangat membutuhkan bandwith kanal transmisi yang lebar dan juga media penyimpanan yang cukup besar. Sedangkan jumlah data yang melewati media transmisi sangat terbatas. Agar didapatkan data citra yang efisien dan berkualitas, maka diperlukan suatu system yang dapat mereduksi jumlah data citra dengan perbandingan yang tinggi, namun diusahakan agar tidak terlalu banyak kehilangan data yang penting, dan juga sesuai dengan karakteristik visual manusia.
II. TEORI DASAR
2.1 Konsep Compressed Sensing
Compressed Sensing (CS) merupakan metoda sampling baru dimana akuisisi dan kompresi sinyal
dilakukan dalam satu waktu. Idenya adalah memperkenalkan skema sampling dalam jumlah yang lebih rendah dari sample yang diperlukan, dimana sampling tersebut mewakili sinyal sparse asli. Metode ini memiliki kompleksitas komputasi perhitungan yang lebih rendah dari pada teknik kompresi sebelumnya, yang menggunakan oversampling kemudian melakukan kompresi terhadap data yang telah di sampling. Dengan kata lain, kompressed sensing dapat secara tepat melakukan kompresi tepat pada saat sampling. Terlebih lagi, tidak ada asumsi yang membatasi untuk lokasi dari koefisien non-zero dalam sparsity domain. Asumsi ini mencakup sebuah kelas sinyal yang lebih umum dari yang sebelumnya dipelajari. Sejak konsep sparsity dipelajari, dalam melakukan sebuah proses transform domain menjadi lebih mudah untuk sinyal diskrit. Sebagian besar penelitian dibidang compressed sensing difokuskan pada tipe sinyal diskrit.
Compressed Sensing (CS) bergantung pada prosedur recovery yang dapat menyediakan recovery yang pasti dari
panjang sinyal N dan sparsity K, dengan kata lain, sebuah sinyal dapat di tulis sebagai sebuah penjumlahan fungsi basis
K dari beberapa basis yang diketahui, dimana ≫ .
implikasi dari CS cukup menjanjikan pada banyak aplikasi, khususnyapada sinyal sensing yang memiliki sebuah representasi sparse pada beberapa basis.
2.2 Tahap Kompresi
Informasi
disampling dengan nyquist ke dalam blok N sample.=
masing–masing blok terdiri dari Nx1 vektor X, dimana vektor dapat di rumuskan := (2.1) Dimana adalah matrik , dan adalah vector matrik Nx1. Hasil M<<N, dimana = (log). = Ψ, dimana merepresentasikan random matrix
selection dari matrix fourier . Sementara Ψ
represetasi dari wavelet transform.
= (2.2) Dimana Φ adalah MxN matrik yang merepresentasikan proses kompresi. dan digunakan untuk rekontruksi, sebuah matrik dengan pemilihan element secara acak.
Dari gambar diatas matrik vector 1 atau di simbolkan merupakan hasil kompresi dari perkalian matrik dengan matrik 1, dimana nilai < ≤ . Matrix merepresentasikan hanya sebagian informasi dari informasi semula, atau dengan kata lain informasi dari sudah mengalami kompresi. Pada tahap kompresi, hanya sebagian kecil informasi pada yang terdapat pada , tetapi informasi pada y tersebut dapat merepresentasikan informasi sinyal .
2.3 Tahap Rekonstruksi
Informasi citra dari citra terkompres terbentuk, maka tahap selanjutnya adalah tahap rekonstruksi. Pada tahap rekonstruksi melibatkan informasi hasil kompresi untuk direkonstruksi menjadi citra asli (vektor ). Algoritma rekontruksi yang digunakan pada penelitian ini adalah Total Variance ( !"). Pada algoritma Total
Variance ( !") informasi direkonstruksi dari sinyal . Total Variance ( !") dapat dicari menggunakan
persamaan berikut : !() = # $(%&;())+ (%+;())= #,%(,) ( ( Dimana %&;( = - 0 3 = 4+ 1, . − ( 01 5 %+;( = - 0 . = 4,(+ 1 − ( (015 Dan %( = 6%%&;( +;(7
2.4 Konsep Citra Digital
Citra yang digunakan dalam kehidupan sehari hari, seperti foto, barang cetakan, televisi dan lainnya, merupakan masukan bagi sistem visual ke bagian otak manusia. Citra tersebut dapat didefinisikan sebagai citra analog maka harus di digitalisasi terhadap koordinat ruang (titik (x,y)) dan diquntisasi berdasarkan intensitas cahaya (8 (, )).
Untuk melakukan digitalisasi citra, terhadap koordinat ruang (, ) digunakan pencuplikan citra (image sampling), sedangkan terhadap intensitas cahaya digunakan proses kuantisasi. Citra digital disusun oleh elemen - elemen data yang berjarak sama sehingga membentuk larik dua dimensi (matrik), elemen gambar (picture element), piksel atau pixel. Letak tiap elemen pada matrik menyatakan posisi koordinat titik (, ), sedangkan nilai tiap elemennya menyatakan hasil kuantisasi intensitas cahaya.
Tipe citra yang di peroleh dari sistem visual bergantung pada karakteristik sepktral sistem visual tersebut, yaitu !(9) yang merupakan fungsi efisien relatif luminansi, dimana fungsi ini akan berbeda pada setiap orang. Sedangkan 9 adalah penjang gelombang yang terdapat pada daerah visible, 350 nm hingga 780 nm.
Proses kuantisasi akan menghasilkan nilai nilai intensitas tertentu dari suatu citra, nilai 0 hingga Imax, dengan Imax bernilai 24 − 1. Sedangkan n merupakan jumlah bit per pixel. Sebagai contoh, suatu citra gray level
memiliki 4 = 8, sehingga kombinasi warna yang di bentuk oleh citra ini adalah 28 = 256 (dari 0 hingga 255).
Berdasarkan jumlah bit per pixel, citra digolongkan menjadi 4 tipe yaitu :
1. Citra Biner, yang hanya terdiri atas dua nilai bit, “1” menunjukan warna putih, dan “0” menunjukan warna hitam.
2. Citra Gray Scale, yang merupakan citra monokrom atau satu warna. Nilai nilai bit yang terdapat pada tiap pixel menentukan tingkat kecerahan yang berbeda pada citra. Citra ini akan di representasikan dengan data 8 bit/pixel, yang menentukan 256 (0 – 255) tingkat kecerahan yang berbeda. Pada aplikasi tertentu seperti citra medis maupun astronomi, terdiri dari 12 atau 16 bit/pixel, karena adanya penambahan detail kejelasan citra, 3. Citra Warna, yang terdiri dari tiga berkas monokrom
dimana tiap berkasnya mewakili warna yang berbeda, dan informasi mengenai kecerahan citra tergantung pada ketiganya. Tiap berkas direpresentasikan dengan data 8 bit/pixel, sehingga citra warna ini memiliki 24 bit/pixel untuk data digitalnya. Tiga berkas itu adalah merah (red), hijau (green), dan biru (blue), atau RGB.
4. Citra Multispektral, yang mengandung informasi diluar kemampuan persepsi visual manusia, misalnya data inframerah, sinar – X dan radar. Citra memiliki jumlah berkas yang beragam, tetapi dalam berkas yang banyak masih terdapat satu hingga tiga berkas yang sesuai dengan system visual manusia.
Jumlah bit per pixel akan mempengaruhi jumlah bit citra secara keseluruhan. Bila suatu citra gray level memiliki ukuran pixel sebesar 256 x 256, maka jumlah bit keseluruhan citra adalah 256 x 256 x 8 = 524288 bit.
2.5 Persepsi Visual Manusia
Persepsi visual atau kesan yang dilihat oleh mata manusia tentang penggambaran suatu citra. System visual manusia dapat dimodelkan sebagai kaskade dari dua buah system, seperti yang di jelaskan pada diagram blok berikut :
Gambar 2.2 Model sistem visual manusia
Dalam digram diatas terdapat dua bagian utama dari sistem visual manusia. Keterangan mengenai masing masing bagian dan fungsinya adalah sebagai berikut :
1. Sistem periferal, berfungsi sebagai pengkonversi cahaya yang ditangkap oleh mata manusia menjadi sinyal sinyal syaraf.
2. Sistem sentral, berfungsi sebagai pemroses sinyal sinyal syaraf untuk mengekstraksinya menjadi informasi pandangan manusia.
3. Pengurangan data citra melalui proses komresi dilakukan dengan memperhatikan kemampuan sistem visual manusia. Berkaitan dengan hal ini, maka rasio kompresi antara citra awal dengan hasil kompresi mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas citra
menurut persepsi yang ditampilkan. Sebaliknya, semakin besar rasio kompresi, maka semakin buruk citra yang di tangkap oleh sistem visual manusia. Oaleh karena itu, nilai ratio kompresi menentukan sistem transformasi pada kompresi citra.
2.7 Tinjauan Umum Kompresi Citra
Dalam sistem transimisi dan penyimpanan data, yang terpenting adalah efisiensi penggunaan perangkat. Hal ini berkaitan dengan waktu dan tempat, sehingga apabila data yang dikirimkan semakin sedikit, maka waktu pengiriman data maupun tempat yang dibutuhkan untuk pengiriman dan penyimpanan, akan semakin kecil. Suatu citra digital memiliki jumlah data (dalam bit) yang sangat besar, sehingga penggunaan kompresi citra diharapkan dapat mengurangi jumlah bit semula.
Hal utama yang peru diperhatikan dalam kompresi citra adalah redudansi. Redudansi tersebut dapat berupa : 1. Redudansi coding, yang terjadi karena data yang
digunakan untuk merepresentasikan citra tidak digunakan secara optimal. Contoh kondisi tersebut adalah apabila terdapat 8 bit/pixel, dengan nilai gray
level hingga 256, tetapi kenyataanya representasi citra
tersebut hanya terdiri dari hanya 16 gray level (4 bit/pixel).
2. Redudansi interpixel atau spatial, yang terjadi karena korelasi atara pixel-pixel yang berdekatan. Hal ini terjadi karena level brigthness citra yang tidak berubah secara cepat, tetepi setahap demi setahap, sehingga nilai pixel yang berdekatan dianggap berhungan antara satu dengan yang lainnya. Konsepyang sama terjadi dalam video ataupun gambar bergerak, yang disebabkan karena korelasi antra frame dalam suatu urutan citra, sehingga disebut dengan redudansi
interframe atau temporal.
3. Redudansi spectral, yang terjadi karena adanya korelasi antara bidang warna yang berbeda.
4. Redudansi psychovisual, merupakan salah satu karakteristik citra alam, sehingga sejumlah informasi tertentu dalam citra tersebut dapat dihilangkan, tanpa adanya pengurangan kualitas ditinjau dari sistem visual manusia.
Dengan manfaatkan redudansi di atas, maka data yang penting akan dapat di deteksi, sehingga di pertahankan dalam proses kompresi citra.
III. PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM
3.1 Algoritma Proses Kompresi Citra
Algoritma proses kompresi citra berikut menggunakan metoda Total Varians (TV minimization), yang merupakan salah satu estimasi kokoh (robust) yang digunakan dalam teknik Compressive Sensing. Proses kompresi ini dilakukan dalam kawasan frekuensi, dengan operasi pengamatan dalam kawasan spasial.
Gambar 3.1 Diagram alir Kompresi citra
Dalam pemrograman, data citra asli diinputkan kedalam program dan kemudian dihitung jumlah blok pixel baris dan kolomnya. Setelah itu, dimasukkan juga data ukuran blok yang akan digunakan dalam proses. Selanjutnya dilakukan proses penambahan pixel pada citra asli, sehingga dapat dilakukan pembagian data sesuai ukuran blok citra. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi error yang disebabkan ketidakpastian antara pembagian ukuran matriks citra dengan ukuran blok transformasi yang dibuat. Setelah itu, dilakukan pembentukan matrik transformasi yang sesuai dengan ukuran blok. Dengan perkalian matrik transformasi, matriks citra
transpose dari matrik citra transformasi, maka data citra asli
ditransformasikan, mengacu pada persamaan (2.2).
3.2 Algoritma Proses Rekonstruksi
Proses rekonstruksi merupakan tahap yang yang sangat menentukan kualitas citra rekonstruksi yang dihasilkan. Berikut adalah flow chart dan penjelesan dari tahap rekonstruksi citra.
Gambar 3.2 Diagram alir rekonstruksi citra
Proses rekonstruksi sinyal dapat dilukiskan dalam diagram ranah jamak sebagai berikut :
Gambar 3.3 Diagram kerenggangan pencuplikan
kompresif Keterangan :
s : Sinyal Asli <= : Sinyal Terkompres S : Sinyal Rekosntruksi
Mengacu pada diagram kerenggangan, Sinyal s sepanjang N-cuplikan bersifat k-sparse dalam system basis Ψ. Pencuplikan atau pengamatan basis Φ akan menghasilkan sinyal <= yang hanya mengandung sebagian data dari sinyal asalnya karena ada informasi yang hilang, yaitu ? = < − <=. Jika jumlah pengamatan mencukupi, meskipun jauh dibawah N, k-buah basis sparse dapat ditemukan melalui @". Dengan demikian, karena seluruh basis S dapat ditemukan, maka sinyal asli dapat di rekonstruksi secara eksak. Pada diagram ini, transformasi penjarang adalah Ψ, sedangkan transformasi proyeksi adalah Φ. Φ = dimana << adalah jumlah pengamatan yang diharapkan. Hal ini mengacu pada teorema Compressive Sensing, yaitu agar sinyal s bisa direkonstruksi secara eksak, maka jumlah ini minimalnya adalah sekitar A = BCD (). Dimana nilai A = 1, dengan demikian yang menentukan M adalah derajat sparsity (k-sparse).
IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengujian Citra 32x32 pixel
Data citra asli yang digunakan adalah citra cameraman. Citra ini memiliki ukuran asli 256x256 pixel. Pada pengujian ini, citra cameraman akan diuji setiap 32x32 pixel dari pixel pertama hingga pixel terakhir. Ukuran 32x32 pixel (N=Jumlah baris*Jumlah kolom) digunakan karena jumlah pixel yang digunakan akan sangat mempengaruhi lamanya proses komputasi. Ukuran citra yang diproses baik untuk kompresi dan rekonstruksi citra disesuaikan dengan kemampuan perangkat keras komputasi yang digunakan.
Gambar 4.1 Citra pada pixel [(33:64),(97:128)]
Gambar 4.2 Citra pada pixel [(65:96),(97:128)]
4.2 Nilai PSNR dan MSE pada Citra Rekonstruksi
Berikut adalah hasil dari proses rekonstruksi citra terkompres. Nilai dari Mean Square Error (MSE), sedangkan untuk mencari Peak Singnal to Noise Ratio
(PSNR).
Tabel 4.1 Pengukuran PSNR pada pixel (1-32) YT11
N F-Compress K-Sparse Persentasi (%) MSE PSNR (dB) 1024 2 512 50 0.000012 37.988 1024 4 256 25 0.000015 36.532 1024 6 171 17 0.000017 35.301 1024 8 128 13 0.000019 34.362 1024 10 102 10 0.000027 31.195 1024 12 85 8 0.000042 27.257 1024 14 73 7 0.000057 24.732 1024 16 64 6 0.000147 16.453 1024 18 57 6 0.000339 9.189 1024 20 51 5 0.000438 6.955
Gambar 4.3 Grafik PSNR dan MSE terhadap K-Sparse Tabel 4.2 Pengukuran PSNR pada pixel (1-32) YT12
N F-Compress K-Sparse Persentasi (%) MSE PSNR (dB) 1024 2 512 50 0.000007 43.292 1024 4 256 25 0.000009 42.360 1024 6 171 17 0.000010 40.343 1024 8 128 13 0.000011 39.867 1024 10 102 10 0.000013 38.731 1024 12 85 8 0.000014 38.149 1024 14 73 7 0.000015 37.985 1024 16 64 6 0.000016 35.601 1024 18 57 6 0.000017 35.371 1024 20 51 5 0.000019 35.308
Gambar 4.5 Grafik PSNR dan MSE terhadap K-Sparse Tabel 4.3 Pengukuran PSNR pada pixel (1-32) YT13
N F-Compress K-Sparse Persentasi (%) MSE PSNR (dB) 1024 2 512 50 0.000005 43.029 1024 4 256 25 0.000005 43.012 1024 6 171 17 0.000007 42.754 1024 8 128 13 0.000008 41.654 1024 10 102 10 0.000009 41.278 1024 12 85 8 0.000009 40.414 1024 14 73 7 0.000010 39.569 1024 16 64 6 0.000011 38.637 1024 18 57 6 0.000011 37.768 1024 20 51 5 0.000013 37.572
Gambar 4.6 Grafik PSNR dan MSE terhadap K-Sparse 4.3 Analisa Data Pengujian
Analisa nilai MSE dan PSNR diperoleh dengan cara mengubah nilai K-Sparse sesuai dengan faktor kompresi .
− EFGH<I =K LMNOPQQJ (4.1) Penentuan besarnya K-Sparse akan mempengaruhi kualitas citra yang dihasilkan. Semakin besar K-Sparse yang digunakan (semakin mendekati sinyal Input N) maka output citra hasil rekonstruksi akan semakin baik. Baiknya kulitas citra hasil rekonstruksi erat kaitannya dengan prosentasi rata-rata error dari masing-masing bit. Semakin kecil nilai prosentasi rata-rata error pada masing-masing bit, maka kualitas citra hasil rekonstruksi akan semakin baik, hal tersebut berbanding terbalik dengan besaran PSNR, dimana besaran PSNR akan semakin baik apabila jumlah K-Sparse semakin besar pula.
4.4 Penilaian Subyektif Citra Rekonstruksi
Berikut adalah salah satu hasil rekonstruksi terhadapat citra terkompres yang diambil pada pixel [(33:64), (97:128)], sehingga secara persepsi visual manusia kita dapat menilai kualitas rekonstruksi citra terhadap citra asli. Pada citra hasil rekonstruksi berikut dikategorikan dalam persepsi visual manusia dapat diterima dengan baik, serta memiliki kualitas rekonstruksi yang sangat baik terhap citra asli.
Keterangan dari citra diatas, citra rekonstruksi 1 adalah rekonstruksi citra dengan jumlah iterasi 200 sedangkan citra rekonstruksi 2 menggunakan jumlah iterasi 600. Menurut hasil pengamatan yang dilakukan, bahwa semakin besar jumlah iterasi yang dilakukan dalam tahap rekonstruksi, maka semakin baik pula citra rekonstruksi yang dihasilkan. Hal tersebut tertunya di pengaruhi oleh jumlah K-Sparse yang ditentukan.
V. PENUTUP 5.1 KESIMPULAN
Dari urutan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai beriukut :
1. Faktor utama dalam teknik kompressed sensing yaitu mempertimbangkan jumlah k-sparse yang digunakan dalam proses maupun proses rekonstruksi citra. 2. Semakin besar jumlah k-sparse dalam suatu proses
kompresi dan rekonstruksi citra, maka kualitas citra rekonstruksi yang dihasilkan akan semakin baik. 3. Semakin baik kualitas citra yang dihasilkan dari hasil
rekonstruksi citra maka semakin besar pula nilai PSNR yang dihasilkan.
4. Semakin besar jumlah k-sparse yang digunakan dalam proses kompresi dan rekonstruksi, maka semakin kecil nilai MSE yang dihasilkan, hal ini mengindikasikan bahwa semakin kecil rata-rata error tiap pixel yang dihasilkan antara citra asli dan citra rekonstruksi. Dalam proses kompresi dan proses rekonstruksi, semakin besar ukuran pixel yang akan diolah, akan semakin mempengaruhi kecepatan dalam proses komputasi yang dilakukan.
5.2 Saran
1. Untuk mendapatkan hasil terbaik pada proses kompresi dan rekonstruksi citra, dapat dicapai dengan menggunakan algoritma greedy seperti Orthogonal
Matching Pursuit (OMP), Stage Wise Orthogonal Matching Pursuit (StOMP).
2. Untuk mendapatkan citra kompresi dengan kualitas warna 32 bit atau lebih, dilakukan pemrosesan yang terpisah terhadap peta warna merah, hijau dan biru (RGB).
3.
Komputasi yang digunakan dalam proses kompresi dan rekonstruksi citra akan semakin cepat, bilamana dijalankan dengan spesifikasi komputasi yang cukup tinggi.DAFTAR PUSTAKA
1. F. Marvasti, “A Unified Approach to Sparse Signal Processing”, arXiv: 0902.1853v1 [cs.IT], 11 Feb 2009. 2. EJ. Candes, J. Romberg, and T. Tao, ”Robust
uncertainty principles: Exact signal recovery from highly incomplete frequency information,” IEEE Trans.
Information Theory, Vol.52, no.2, Feb.2006,
pp.489-509.
3. MF. Duarte, MA. Davenport, D. Takhar, JN. Laska, T. Sun, KF. Kelly, and RG. Baraniuk, “Single-pixel imaging via compressive sampling,” IEEE Signal Proc.
Magazine (83), March 2008, pp.83-90.
4. AB. Suksmono, ”A graphical representation of multi-domain signal processing,” Proc. of SICE-ICASE 2006, Busan, Korea.
5. AB. Suksmono, “A brief review on compressive imaging,” Doc. RGQ14-2/2/ -E/Jul 2008, ITU-D, Rapp. Group Meeting on Q.14-2/2, Tokyo, 3-4 July 2008. 6. Lu Gan, “Block Compressed Sensing Of Natural
Images”, University of Liverpool- Dept. of Electrical Engineering and Electronics, L69 3GJ.
7. Marco F. Duarte, Mark A. Davenport, Dharmpal Takhar, Jason N. Laska, Ting Sun, Kevin F. Kelly, Richard G. Baraniuk, “Single-Pixel Imaging via Compressive SamplingZ”, IEEE Proccessing Magazine, special issue on compressive sampling, March 2008.
8. [Donoho, D.L. “Compressed sensing”, IEEE Trans. on Inf. Theory, Vol. 52, pp. 1289–1306, April 2006. 9. Gribonval, R. & Nielsen, M. ”Sparse representations in
unions of bases”, IEEE Trans. on Inf. Theory, 49(12):3320–3325. 2004.
RIWAYAT PENULIS
Omrin Tampubolon dilahirkan di Ambon, Maluku pada tanggal 26 Januari 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 2 Bandung pada tahun 2003, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Politeknik Kesehatan Surabaya, jurusan Teknik Elektro Medis kemudian lulus dari program D3 pada tahun 2006. Kemudian penulis melanjutkan kuliah
S1 di Perguruan Tinggi Negeri di Institut Teknologi Sepuluh Nopember pada tahun 2007 program Lintas Jalur, Jurusan Teknik Elektro bidang studi Telekomunikasi Multimedia.