• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Kesehatan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Banyak penelitian yang mengemukakan bahwa pola makan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kesehatan seseorang. Hal ini menyebabkan masyarakat semakin selektif terhadap makanan yang akan dikonsumsinya, terutama masyarakat golongan menengah keatas yang secara ekonomi telah memiliki cukup pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, sehingga tak heran bila kebutuhan akan pangan sehat setiap tahun semakin meningkat termasuk pangan yang berasal dari pengelolaan secara organik yang dianggap sebagai makanan sehat, termasuk di dalamnya kebutuhan akan beras organik. Beras merupakan makanan pokok hampir sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain berperan sebagai makanan pokok, beras juga merupakan sumber perekonomian sebagian besar masyarakat di pedesaan. Kekurangan produksi berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Menurut BPS (2010), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 234.181.300 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.33 persen. Tingkat konsumsi beras rakyat Indonesia pada tahun 2008 mencapai 94,07 kg/kapita/tahun dengan tingkat pertumbuhan 3,14 % per tahun (Deptan, 2009). Dengan data tersebut diperkirakan bahwa produksi beras di Indonesia pada tahun 2010 setidaknya harus mencapai 22.029.434 ton agar kebutuhan beras nasional terpenuhi. Berdasarkan hal ini, maka pengembangan padi organik di Indonesia harus diarahkan bagi peningkatan produksi sehingga kebutuhan beras masyarakat secara umum tidak terganggu.

Pangan organik menurut pengertian umum masyarakat adalah pangan yang terbebas dari penggunaan bahan-bahan berbahaya terutama pupuk kimia dan pestisida. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida dalam bidang pertanian sudah dikenal dan digunakan sejak lama, bahkan saat pemerintah giat-giatnya mengupayakan swasembada beras melalui program intensifikasi pada tahun 2004. Program ini dilakukan dengan penggunaan benih unggul, pupuk dan pestisida kimia sintetis, dan sistem pertanaman monokultur. Pada awalnya usaha tersebut mendatangkan hasil, namun kemudian

(2)

produktivitas menurun kembali dan malah kemudian timbul dampak yang disebabkan oleh penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan. Dampak pemberian pupuk yang berlebihan tersebut antara lain adalah tanah menjadi tidak subur dan terjadi pengerasan lapisan olah, polusi air dan udara serta adanya residu pestisida pada produk hasil pertanian. Hal tersebut berakibat fatal bagi pertanian di Indonesia sehingga seringkali terjadi gagal panen (Dinarti, 2005).

Sejak berkembangnya pertanian organik di Indonesia, banyak kesimpangsiuaran tentang definisi dan persyaratan organik yang sesungguhnya. Pada tahun 2002, telah dirumuskan dan ditetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk sistem pangan organik yang tujuannya agar terdapat kesepakatan tentang pemahaman organik yang sama terutama antara produsen dan konsumen. Standar ini pada tahun 2010 telah direvisi untuk menyesuaikan dengan berbagai perkembangan organik yang ada, baik di Indonesia maupun di dunia internasional, sehingga dengan adanya standar ini diharapkan tidak akan ada yang salah mengartikan hakekat organik yang sesungguhnya.

SNI sistem pangan organik di Indonesia telah mulai diterapkan pada beberapa produk pertanian. Produk yang dihasilkan sesuai standar perlu dibuktikan dengan sertifikat organik. Sertifikat dapat memberikan kepastian hukum dan keuntungan bagi kedua belah pihak baik produsen maupun konsumen. Pemerintah berperan untuk menyiapkan aturan terkait sertifikasi organik, pelabelan, lembaga sertifikasi organik dan lain-lain, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi semua pihak. Pada tahun 2005 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah menunjuk Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian sebagai Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO) melalui Keputusan Menteri No. 380/Kpts/OT.130/10/2005. OKPO ini mempunyai tugas antara lain :

1. Merumuskan kebijakan pengaturan, pengawasan dan pembinaan sistem pangan organik

2. Merancang dan menformulasikan sistem dan acuan untuk dijadikan persyaratan wajib dalam pendirian lembaga sertifikasi pangan organik

3. Melakukan verifikasi terhadap lembaga sertifikasi dan atau badan usaha yang menerapkan sistem jaminan mutu pertanian organik dalam program sertifikasi.

(3)

Sampai saat ini OKPO telah mengeluarkan beberapa panduan mulai dari cara budidaya, pengawasan sampai kepada pelabelan organik yang dapat digunakan oleh produsen dan konsumen.

Harga beras organik yang berbeda sangat signifikan dengan beras bukan organik merupakan daya tarik tersendiri bagi banyak produsen. Jaminan dan kepastian bahwa produk yang dipasarkan sesuai dengan label yang dicantumkan merupakan hak konsumen yang harus dipenuhi oleh produsen. UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan UU Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan telah mengintruksikan agar pelabelan sesuai dengan yang sebenarnya sehingga konsumen tidak dirugikan.

Potensi pengembangan pertanian organik di Indonesia cukup terbuka luas karena kakayaan keanekaragaman hayatinya yang unik, limpahan sinar matahari, air dan tanah yang masih luas yang dapat dimanfaatkan bagi lahan organik. Menurut Aliansi Organik Indonesia/AOI (2009), luas total pertanian organik di Indonesia pada tahun 2009 sudah mencapai 231.697,11 ha yang tersebar di Sulawesi, Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Perkembangan ini tentunya sangat mengembirakan karena pemerintah melalui program “Go Organik 2010” berkeinginan untuk mewujudkan Indonesia sebagai salah satu produsen dan pengekspor pangan organik utama di dunia tahun 2010. Pangan organik yang dihasilkan Indonesia sebagian besar masih untuk konsumsi dalam negeri, hanya sebagian kecil yang diekspor. Produk organik untuk tujuan ekspor harus memiliki sertifikat organik yang dipersyaratkan oleh pembeli. Itu sebabnya, produk-produk yang berorientasi ekspor, sertifikasi organiknya dilakukan oleh lembaga sertifikasi internasional yang berbasis di negara tujuan ekspor (Sulaeman, 2009). Di pasar dalam negeri sendiripun, banyak pihak yang meragukan keorganikan suatu produk, karena banyak yang belum bersertifikat organik. Sertifikasi merupakan hal yang sangat diperlukan untuk meningkatkan potensi pasar dan kepercayaan konsumen. Berdasarkan data yang ada tentang luasan lahan organik yang telah disertifikasi dan yang belum disertifikasi maupun dalam tahap sertifikasi adalah seperti ditampilkan dalam Tabel 1.

(4)

Tabel 1. Luas Areal Organik dan Status Sertifikasinya Tahun 2009

Jenis Pertanian Organik Luas (ha)

Bersertifikat 97.352

Dalam Proses Sertifikasi (Konversi) Penjaminan Sertifikasi oleh AOI Tanpa Sertifikasi 132.765 16 1.564 Total 231. 697 Sumber : AOI, 2009

Berdasarkan data diatas, dapat dilihat bahwa jumlah lahan yang telah disertifikasi baru mencapai 42 %, sehingga tak heran bila banyak produk yang beredar adalah produk yang tanpa sertifikat organik. Sertifikasi sebenarnya bukanlah merupakan hal yang sulit dilakukan asalkan produsen benar-benar telah menerapkan sistem pangan organik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Keengganan produsen untuk sertifikasi organik antara lain disebabkan mahalnya biaya sertifikasi, rumitnya prosedur dan sistem dokumentasi. Disamping itu, produsen menganggap hanya dengan klaim/pernyataan organik dari produsen dan tanpa sertifikat organik, produk yang dihasilkan tetap dapat dijual dan diterima oleh konsumen (Sulaeman, 2009). Sertifikasi beras organik di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dengan mengacu kepada penerapan sistem jaminan mutu organik berdasarkan persyaratan yang tertuang dalam SNI 6729 : 2010 Sistem pangan organik. LSO yang ada di Indonesia kurang dikenal secara internasional, karena keterbatasan kerjasama saling pengakuan dengan negara lain. Hal ini juga menyebabkan produk Indonesia yang akan diekspor ke luar negeri, terkadang harus disertifikasi oleh lembaga sertifikasi asing yang kredibilitasnya sudah banyak diakui terutama oleh negara tujuan ekspor. Lembaga sertifikasi yang dipilih oleh produsen wajib untuk diakui di negara tempat produk tersebut akan dipasarkan. Lembaga sertifikasi nasional pada umumnya akan mengenakan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan berbagai lembaga sertifikasi internasional, tetapi mereka kurang dikenal di beberapa negara asing (Pascal, 2007).

(5)

Jumlah Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) sudah cukup banyak di Indonesia. Menurut data Direktorat Mutu dan Standardisasi (2009) LSO nasional yang telah diakreditasi KAN ada 7 buah yaitu :Sucofindo (Jakarta), Mutu Agung Lestari (Depok), INOFICE (Bogor), BPTPH Sumatera Barat, LeSOS (Mojokerto), BIOCert Indonesia (Bogor), PT. Persada (Yogyakarta), sedangkan lembaga sertifikasi asing ada IMO (Intitute for Marketocologi), Control Union, NASAA, Naturland, GOCA, Ecocert dan ACO. Keberadaan lembaga sertifikasi organik diharapkan dapat mendorong produsen untuk disertifikasi, namun kenyataan di lapangan masih banyak produsen organik yang enggan untuk disertifikasi.

International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) telah mengembangkan cara sertifikasi berkelompok melalui penerapan Internal Control System (ICS) untuk mengatasi persoalan biaya sertifikasi. Sistem ini dikembangkan untuk tujuan memperkuat gerakan pertanian organik di negara berkembang (Lechleitner dan Eisenlohr, 2004). Gapoktan Simpatik yang berada di Kabupaten Tasikmalaya adalah Gapoktan yang telah menerapkan ICS yang berhasil disertifikasi oleh Institute for Merketecologi (IMO). Gapoktan ini juga telah berhasil melakukan ekspor beras organik ke Uni Eropa dan Amerika Serikat. Persoalan utamanya, sertifikasi ICS pada Gapoktan ini dikuasai oleh traider sehingga posisi tawar Gapoktan kurang kuat sehingga perlu dikaji apakah ada perubahan tingkat pendapatan antara yang telah mendapat sertifikat dan yang belum memiliki sertifikat.

Gapoktan Simpatik adalah gabungan dari 28 kelompok tani dengan total jumlah 2.045 petani dan 288 wanita tani sehingga berjumlah 2.333 orang dengan luasan lahan 329,33 Ha. Pertanian organik dalam Gapoktan ini dimulai dari mengembangkan pertanian organik dengan System Rice of Intensification (SRI) dan terus meningkatkan pemahaman organik. Sejak tahun 2006 kelompok tani tersebut bergabung membentuk Gapoktan Simpatik yang merupakan singkatan dari Gabungan Kelompok Tani Sistem Pertanian Organik. Gapoktan ini dalam menerapkan ICS mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari Unit ICS, Tim Teknis, Bagian Pemasaran dan Komisi Persetujuan. Unit ICS merupakan perwakilan kelompok yang dibina secara khusus untuk dapat menjadi inspektur internal yang akan melakukan pengawasan terhadap kelompok tertentu. Inspektur internal ini tidak boleh melakukan pengawasan terhadap

(6)

kelompoknya sendiri. Hasil penilaian inspektur internal ini akan disampaikan kepada komisi persetujuan untuk diputuskan status organiknya. Stuktur Gapoktan memiliki tim teknis yang dapat dibantu oleh mantri tani dan dinas terkait untuk melakukan pembinaan kepada kelompok tani, dan juga bagian pemasaran yang akan mengatur sistem pembelian dan pemasaran produk. Hasil kerja semua bagian Gapoktan ini terutama hasil penilaian yang dilakukan inspektur internal dan keputusan yang diambil komisi persetujuan akan dinilai oleh inspektur internal dari lembaga sertifikasi organik. Inspektur internal akan melakukan sampling terhadap kelompok yang telah dinilai oleh inspektur internal, untuk selanjutnya diputuskan status sertifikasinya. Uraian stuktur struktur organisasi dan pola kerja ICS dapat terlihat seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Organisasi dan Pola Kerja ICS pada Gapoktan Simpatik (Sumber : data primer diolah, 2011)

Pembina :

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya Gapoktan Simpatik : Ketua : Sekretarias I Sekretarias II Bendahara Unit ICS Tim Teknis Pemasaran Kelompok tani Inspektor internal Mantri tani Komisi Persetujuan Inspektur eksternal

(7)

Tujuan pembentukan Gapoktan ini antara lain adalah peningkatan pemasaran beras organik dengan memberikan jaminan mutu terhadap produk beras organik yang dihasilkannya dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani anggotanya sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat tani. Penerapan Internal Control System (ICS) pada Gapoktan ini dimulai sejak tahun 2008. Penerapan ICS ini melalui beberapa tahap mulai dari penyusunan dokumen, pelatihan dan pemahaman kepada semua anggota kelompok. Berdasarkan hasil penilaian IMO, dari 28 jumlah kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Simpatik, 11 kelompok tani telah mendapat sertifikat organik, 3 kelompok tani dalam tahap konversi, dan 14 kelompok tani masih belum mendapat sertifikat karena dinilai belum sesuai dengan persyaratan yang tertuang dalam dokumen ICS. Ketidakberhasilan semua anggota Gapoktan perlu dievaluasi, apakah ada perbedaan persepsi antara kelompok yang bersertifikat dengan kelompok yang tidak bersertifikat terhadap persyaratan yang tertuang dalam pedoman ICS. Hal ini penting sebagai evaluasi bagi Gapoktan selanjutnya untuk dapat mensukseskan semua anggotanya mendapat sertifikat organik.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sistem pertanian organik pada kelompok tani anggota Gapoktan Simpatik ?

2. Bagaimanakah tingkat pendapatan petani yang bersertifikat organik dengan yang tidak bersertifikat ?

3. Bagaimanakah penerapan Internal Control System (ICS) pada kelompok tani anggota Gapoktan Simpatik ?

4. Bagaimana persepsi anggota terhadap penerapan Internal Control System (ICS) khususnya kelompok yang sudah bersertifikat dan yang belum bersertifikat?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis perbedaan tingkat pendapatan anggota kelompok tani bersertifikat organik dan yang tidak bersertifikat organik

(8)

2. Mendapat gambaran tentang penerapan ICS pada Gapoktan Simpatik

3. Menganalisis persepsi anggota terhadap penerapan ICS baik yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat organik.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini antara lain adalah :

1. Sumber informasi bagi gapoktan dan kelompok tani untuk perbaikan penerapan ICS pada anggotanya.

2. Sumber informasi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang tepat terkait dengan pengembangan padi organik di Indonesia.

Gambar

Tabel 1.  Luas Areal Organik dan Status Sertifikasinya Tahun 2009
Gambar 1. Struktur Organisasi dan Pola Kerja ICS pada Gapoktan Simpatik  (Sumber : data primer diolah, 2011)

Referensi

Dokumen terkait

Umpan ikan layang dan ikan tongkol memberikan hasil tangkapan kepiting bakau yang lebih baik dari umpan ikan selar dan jeroan ayam pada alat tangkap bubu; Fase umur bulan

Hubungan Koloni Pseudomonas aeruginosa dengan Persentase Take Split Thickness Skin Graft (STSG) pada Pasien Luka Bakar di RSUP H..

tetapi Persyaratan tidak diisi kemudian klik insert recort Bagian : (Programmer) Persyaratan : (kosong) Sistem akan menolak akses input lowongan dan menampilkan pesan

Dalam penenlitian ini yang di deskripsikan yaitu pola konsumsi ikan yaitu jumlah ikan yang dikonsumsi, jenis ikan dan harga ikan serta proporsinya pada struktur pengeluaran rumah

Pada penelitian sebelumnya oleh Rachman dan Nugraha (2012) diwilayah segmen sesar Aceh dan segmen Renun yang merupakan bagian dari Sumatra Fault Zone (SFZ)

Kita dapat membuat pakan ikan jika memiliki pengetahuan tentang jenis bahan baku yang akan digunakan dalam kandungan zat gizinya, mengetahui tentang formulasi/ramuan pakan ikan

Miskin) Menurut Strata Sarana Kesehatan, Jenis Kelamin, Kecamatan dan Puskesmas di Kabupaten Batang Hari Tahun 2011. Tabel 57 Cakupan Pelayanan Rawat Jalan Masyarakat Miskin

Market brief ini berisi mengenai informasi dan langkah-langkah yang harus diambil oleh para pengusaha Indonesia dalam melakukan penetrasi pasar di negara Jerman