• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEMISKINAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA DI KABUPATEN BOGOR. Oleh: ESTRELLITA LINDIASARI A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KEMISKINAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA DI KABUPATEN BOGOR. Oleh: ESTRELLITA LINDIASARI A"

Copied!
204
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

ESTRELLITA LINDIASARI A14304078

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS.

Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kemiskinan menyangkut suatu kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi, pendapatan, dan kebutuhan sosial. Jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Fluktuasi tersebut juga terjadi di Jawa Barat. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat relatif menurun dari tahun 2003 hingga 2004, kemudian meningkat kembali hingga tahun 2006. Sementara itu, berdasarkan data Susenas 2005-2006, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 sebesar 0,48 juta jiwa dan meningkat menjadi 0,54 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah tersebut merupakan yang paling besar di antara kabupaten lain di Jawa Barat.

Menurut data BPS, kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah 1.594 jiwa per km2. Kepadatan penduduk tersebut berdampak dalam penyediaan infrastruktur serta lapangan pekerjaan yang memadai dan menjadi beban dalam proses pembangunan. Jika berkualitas rendah akan meningkatkan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor terdiri dari tiga wilayah pengembangan, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Bogor Barat memiliki karakteristik wilayah pertanian, sedangkan Bogor Tengah memiliki karakteristik wilayah manufaktur dan Bogor Timur memiliki karakteristik wilayah industri. Secara berurutan, nilai dari IPM wilayah dengan urutan yang terbesar yaitu Bogor Tengah dan komponennya sebesar 71,45, Bogor Barat sebesar 67,41 dan Bogor Timur sebesar 67,29.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mendeskripsikan karakteristik rumah tangga miskin di tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur, (2) Menganalisis kaitan antara status kemiskinan dan status pekerjaan di tiga wilayah pengembangan, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor timur, dan (3) Menganalisis karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur.

Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi potret kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analisis statistik non parametrik digunakan untuk menganalisis kaitan antara status kemiskinan dan status pekerjaan kepala keluarga di Kabupaten Bogor. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor dianalisis menggunakan metode CHAID (Chi-square Automatic Interaction Detection or detector). Indikator kemiskinan yang digunakan berdasarkan BPS, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp 500.000, frekuensi makan dalam sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga.

(3)

22.831 kepala keluarga atau sebesar 16,06 persen. Persentase terbesar berada di wilayah pengembangan Bogor Barat sebesar 25 persen dan di wilayah pengembangan Bogor Timur yaitu sebesar 22,77 persen. Wilayah pengembangan Bogor Tengah memiliki persentase rumah tangga miskin terkecil yaitu sebesar 10,3 persen. Di ketiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor, status kemiskinan dan status pekerjaan kepala keluarga memiliki hubungan yang sangat lemah karena nilai koefisien korelasi di seluruh kecamatan kurang dari 0,200. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Bogor yaitu kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis pekerjaan, jenis dinding bangunan tempat tinggal, dan frekuensi makan dalam sehari. Implikasi kebijakan dalam mengatasi kemiskinan di Kabupaten Bogor, yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat, memperbanyak pembangunan infrastruktur, memperluas jaringan kerja dan kemitraan, dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor sebesar 16,06 persen, dengan urutan jumlah rumah tangga miskin terbesar berada di wilayah pengembangan Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Status pekerjaan kepala keluarga tidak berpengaruh terhadap status kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor. Hanya di Kecamatan Leuwisadeng, Pamijahan, Rumpin, Sukajaya, Bojong Gede, Cijeruk, Ciomas, Gunung Sindur, Tajurhalang, Gunung Putri, dan Jonggol yang memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala keluarga dengan keterkaitan yang sangat lemah sangat lemah. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di wilayah Bogor Barat adalah kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah adalah kepemilikan aset, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, jenis pekerjaan, jenis dinding, luas lantai bangunan tempat tinggal, fasilitas buang air besar, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Timur adalah kepemilikan aset, jenis pekerjaan, sumber penerangan, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, frekuensi makan dalam sehari, luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding. Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah program penanggulangan kemiskinan hendaknya difokuskan pada wilayah yang memiliki persentase rumah tangga miskin yang tinggi, yaitu Kecamatan Nanggung, Sukajaya, Ciseeng, Cijeruk, Tanjung Sari, dan Cariu. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan untuk menambah penghasilan bagi rumah tangga di Kabupaten Bogor. Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai karakteristik kemiskinan yang mencakup seluruh kecamatan di Kabupaten Bogor.

(4)

Oleh:

ESTRELLITA LINDIASARI A14304078

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

Kabupaten Bogor Nama : Estrellita Lindiasari

NRP : A14304078 Menyetujui, Dosen Pembimbing Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(6)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS KEMISKINAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA DI KABUPATEN BOGOR” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, September 2008

Estrellita Lindiasari A14304078

(7)

Penulis bernama lengkap Estrellita Lindiasari, dilahirkan pada 14 September 1986 di Pekanbaru sebagai anak tunggal dari pasangan Rudy Andrean Sulaiman dan Lien Nurliena Dachlan. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Pengadilan IV Bogor. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Bogor dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 3 Bogor pada tahun 2004. Selama menempuh pendidikan menengah pertama dan menengah atas, penulis aktif dipelbagai organisasi, seperti Pramuka SLTPN 1 Bogor dan Korps Taruna SMUN 3 Bogor.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya (EPS), jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan seperti Koperasi Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Peminat Sosial Ekonomi (2006-2007) serta aktif dalam beberapa kegiatan kepanitian.

(8)

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta alam, pujian yang memenuhi seluruh nikmat-Nya bagi kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kekuasaan-Nya. Atas anugrah, berkat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi penelitian dengan judul “Analisis Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten Bogor”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis kondisi kemiskinan di Kabupaten Bogor dan karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di wilayah tersebut. Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin berterimakasih kepada Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku pembimbing skripsi, dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis senantiasa menerima setiap saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak.

Bogor, September 2008

(9)

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada :

1. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, saran, kritik dan perhatian Bapak terhadap penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS. selaku dosen penguji utama atas segala kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Ibu Eva Anggraini, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan atas saran dan perbaikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. Ibu Ir. Yayah K. Wagiono, MEc selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan, saran, kritik, dan perhatiannya.

5. Kedua orang tua atas kasih sayang, perhatian, dukungan dan doa yang terus-menerus kepada penulis serta semua keluarga besar yang selalu mendoakan, menyemangati, mendukung, serta membantu secara moral dan materil.

6. Semua dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat besar manfaatnya bagi penulis.

7. Teman-teman satu bimbingan di EPS : Putra Fajar Pratama, Deli Sopian, Wahyudi Romdhani, dan Khrisna Pratama atas semua pertolongan dan kebersamaan kita selama ini.

8. Teman-teman yang sangat membantu, mendukung dan perhatian : Owin, Mayank, Evie, Morin, Risti, Maya, Ade, Deasy, Ella, Nat2, Kevin, B’jay, Pipih, Pamcuy, Can2, M’Galih, Mail, Aghiez, M’Sari, Ricky, Irna, Cita, Ucie, T’Fitri serta rekan-rekan EPS 41 lainnya atas semua kebersamaan dan suka duka selama ini.

9. Teman-teman 13-an, KKP Gekbrong 2007, MISETA 2006-2007 , TYN ,dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semuanya.

10. Mba Pini Wijayanti atas semua bantuan yang diberikan kepada penulis selama ini. Terima kasih atas dukungan yang besar untuk penulis.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 7 1.4 Kegunaan Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu tentang Kemiskinan ... 10

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu tentang Pengangguran ... 12

2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu yang menggunakan Analisis CHAID .... 13

2.4 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ... 14

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 16

3.1.1 Konsep Kemiskinan ... 16

3.1.2 Pengangguran ... 20

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 22

3.3 Hipotesis ... 26

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 27

4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 28

4.3.1 Analisis Deskriptif ... 28

4.3.2 Analisis Statistik Non-Parametrik ... 29

4.3.3 Analisis CHAID ... 30

4.4 Definisi Operasional ... 34

V. KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR 5.1 Jumlah Penduduk dan Indikator Kemiskinan ... 37

5.2 Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Bogor ... 38

5.2.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat ... 38

5.2.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ... 53

5.2.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ... 72

5.3 Indikator Kemiskinan Utama Rumah Tangga Miskin ... 86

5.3.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat ... 86

(11)

5.3.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ... 89

5.3 Indikator Kemiskinan Utama Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga Menganggur ... 90

5.4.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat ... 90

5.4.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ... 92

5.4.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ... 94

VI. KAITAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN STATUS KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR 6.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat ... 96

6.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ... 99

6.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ... 102

VII. KARAKTERISTIK PEMBEDA RUMAH TANGGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN DI KABUPATEN BOGOR 7.1 Wilayah Pengembangan Bogor Barat ... 106

7.2 Wilayah Pengembangan Bogor Tengah ... 114

7.3 Wilayah Pengembangan Bogor Timur ... 122

7.4 Implikasi Kebijakan ... 130

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ... 133

8.2 Saran ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 135

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia

menurut daerah Tahun 1996 – 2006 ... 1 2. IPM Kabupaten Bogor dan Komponennya Tahun 2002 – 2005 ... 4 3. Angka IPM dan Komponennya menurut Wilayah

Pengembangan di Kabupaten Bogor Tahun 2005 ... 5 4. Jumlah Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan

Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ... 38 5. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai

Lebih Besar dari 8 m2 per orang di Wilayah Pengembangan

Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ... 39 6. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai

Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor

Barat Tahun 2006 (persen) ... 40 7. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding

Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor

Barat Tahun 2006 (persen) ... 41 8. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air

Minum di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006

(persen) ... 42 9. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air

Besar di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006

(persen) ... 43 10. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar

yang Digunakan untuk Memasak Sehari-hari di Wilayah

Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ... 44 11. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber

Penerangan di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun

(13)

12. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun

2006 (persen) ... 46 13. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset

di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ... 47 14. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli

Pakaian Baru dalam Setahun di Wilayah Pengembangan Bogor

Barat Tahun 2006 (persen) ... 48 15. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli

Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Wilayah

Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ... 49 16. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan

Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Wilayah

Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen) ... 50 17. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan

Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat

Tahun 2006 (persen) ... 51 18. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Pekerjaan

Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat

Tahun 2006 (persen) ... 52 19. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan

Tertinggi Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor

Barat Tahun 2006 (persen) ... 53 20. Jumlah Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan

Bogor Tengah Tahun 2006 (persen)... 54 21. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih

Besar dari 8 m2 per orang di Wilayah Pengembangan Bogor

Tengah Tahun 2006 (persen) ... 55 22. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai

Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor

Tengah Tahun 2006 (persen) ... 56 23. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding

Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor

(14)

24. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air Minum di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006

(persen) ... 59 25. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air

Besar di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006

(persen) ... 60 26. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar

yang Digunakan untuk Memasak Sehari-hari di Wilayah

Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ... 62 27. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber

Penerangan di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun

2006 (persen) ... 63 28. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan

dalam Sehari di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun

2006 (persen) ... 64 29. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset

di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ... 65 30. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli

Pakaian Baru dalam Setahun di Wilayah Pengembangan Bogor

Tengah Tahun 2006 (persen) ... 66 31. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli

Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Wilayah

Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ... 68 32. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan

Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Wilayah

Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 (persen) ... 69 33. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan

Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah

Tahun 2006 (persen) ... 70 34. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Pekerjaan

Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah

(15)

35. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor

Tengah Tahun 2006 (persen) ... 72 36. Jumlah Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan

Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ... 73 37. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih

Besar dari 8 m2 per orang di Wilayah Pengembangan Bogor

Timur Tahun 2006 (persen) ... 74 38. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai

Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor

Timur Tahun 2006 (persen) ... 75 39. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding

Bangunan Tempat Tinggal di Wilayah Pengembangan Bogor

Timur Tahun 2006 (persen) ... 76 40. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air

Besar di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006

(persen) ... 76 41. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air

Minum di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006

(persen) ... 77 42. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar

yang Digunakan untuk Memasak Sehari-hari di Wilayah

Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ... 78 43. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber

Penerangan di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun

2006 (persen) ... 79 44. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan

dalam Sehari di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun

2006 (persen) ... 80 45. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset

di Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ... 81 46. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli

Pakaian Baru dalam Setahun di Wilayah Pengembangan Bogor

(16)

47. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Wilayah

Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ... 83 48. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan

Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Wilayah

Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 (persen) ... 84 49. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan

Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur

Tahun 2006 (persen) ... 84 50. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Pekerjaan

Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur

Tahun 2006 (persen) ... 85 51. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan

Tertinggi Kepala Keluarga di Wilayah Pengembangan Bogor

Timur Tahun 2006 (persen) ... 86 52. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di

Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 ... 86 53. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di

Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 ... 88 54. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di

Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 ... 90 55. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala

Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor Barat

Tahun 2006 ... 91 56. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala

Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor

Tengah Tahun 2006 ... 93 57. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan Kepala

Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan Bogor

Timur Tahun 2006 ... 94 58. Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di

Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 ... 96 59. Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di

(17)

60. Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di

(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Perkembangan IPM Jawa Barat Tahun 2002 – 2007 ... 3 2. Hipotesis Kuznets ... 19 3. Skema Kerangka Pemikiran Operasional ... 25 4. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan

Kepala Keluarga Pengangguran di Wilayah Pengembangan

Bogor Barat Tahun 2006 ... 96 5. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan

Kepala Keluarga Bekerja di Wilayah Pengembangan Bogor

Barat Tahun 2006 ... 97 6. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan

Kepala Keluarga Bekerja di Wilayah Pengembangan Bogor

Tengah Tahun 2006 ... 100 7. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan

Kepala Keluarga Pengangguran di Wilayah Pengembangan

Bogor Tengah Tahun 2006 ... 101 8. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan

Kepala Keluarga Bekerja di Wilayah Pengembangan Bogor

Timur Tahun 2006 ... 103 9. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin dengan

Kepala Keluarga Pengangguran di Wilayah Pengembangan

Bogor Timur Tahun 2006 ... 104 10. Dendogram CHAID Analisis Karakteristik yang Membedakan

Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor

Barat ... 113 11.Dendogram CHAID Analisis Karakteristik yang Membedakan

Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor

Tengah ... 121 12.Dendogram CHAID Analisis Karakteristik yang Membedakan

Rumah Tangga Miskin di Wilayah Pengembangan Bogor

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Indikator Kemiskinan BPS ... 140 2. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di

Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 ... 141 3. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan

Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan

Bogor Barat Tahun 2006 ... 142 4. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di

Wilayah Pengembangan Bogor Tengah Tahun 2006 ... 143 5. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan

Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan

Bogor Tengah Tahun 2006 ... 144 6. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga Miskin di

Wilayah Pengembangan Bogor Timur Tahun 2006 ... 145 7. Indikator Kemiskinan Dominan Rumah Tangga dengan

Kepala Keluarga Menganggur di Wilayah Pengembangan

Bogor Timur Tahun 2006 ... 145 8. Perbandingan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga

Bekerja dan Menganggur berdasarkan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Wilayah Pengembangan Bogor Barat

Tahun 2006 ... 146 9. Perbandingan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga

Bekerja dan Menganggur berdasarkan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Wilayah Pengembangan Bogor Tengah

Tahun 2006 ... 146 10. Perbandingan Rumah Tangga dengan Kepala Keluarga

Bekerja dan Menganggur berdasarkan Status Kemiskinan Rumah Tangga di Wilayah Pengembangan Bogor Timur

Tahun 2006 ... 147 11. Hasil Uji Chi-Square dan Koefisien Kontingensi di

Wilayah Pengembangan Bogor Barat ... 148 12. Hasil Uji Chi-Square dan Koefisien Kontingensi di

(20)

13. Uji Chi-Square dan Koefisien Kontingensi di Wilayah

Pengembangan Bogor Timur ... 177 14. Peta Kabupaten Bogor ... 182 15. Dendogram CHAID Wilayah Pengembangan Bogor Barat ... 183 16. Dendogram CHAID Wilayah Pengembangan Bogor

Tengah ... 184 17. Dendogram CHAID Wilayah Pengembangan Bogor

(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kemiskinan menyangkut suatu kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi, pendapatan, dan kebutuhan sosial. Kekurangan dalam aspek konsumsi mencakup kekurangan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kekurangan dalam aspek kebutuhan sosial adalah ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat termasuk dalam bidang pendidikan dan informasi.

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia menurut Daerah Tahun 1996-2006

Tahun Jumlah penduduk miskin (juta)

Persentase penduduk miskin (%)

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

1996 9,42 24,59 34,01 13,39 19,78 17,47 1998 17,60 31,90 49,50 21,92 25,72 24,23 1999 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43 2000 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14 2001 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41 2002 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20 2003 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42 2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66 2005 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97 2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75

Sumber : Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

Jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun, yang diperlihatkan pada Tabel 1. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Pada periode 1999 – 2002

(22)

terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57 juta, yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun 2002. Penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi pada periode 2002 – 2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan sebesar 3,95 juta menjadi 39,30 juta penduduk miskin di Indonesia.

Fluktuasi tersebut juga terjadi di Jawa Barat. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat relatif menurun dari tahun 2003 hingga 2004, kemudian meningkat kembali hingga tahun 2006. Pada tahun 2003, persentase jumlah penduduk miskin sebesar 12,90 persen dari total jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat dan menurun menjadi 12,10 persen pada tahun 2004, kemudian meningkat menjadi 13,06 tahun 2005 dan 14,49 tahun 2006.

Sementara itu, berdasarkan data Susenas 2005-2006, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 sebesar 0,48 juta jiwa dan meningkat menjadi 0,54 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah tersebut merupakan yang paling besar di antara kabupaten lain di Jawa Barat. Jika dilihat secara persentase, ternyata tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor relatif rendah karena jumlah penduduknya besar.

Kemiskinan juga merupakan alasan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran kemiskinan diperkenalkan oleh United Nations Development Programs (UNDP).

(23)

Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Kondisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Meningkat satu peringkat dibandingkan kondisi IPM tahun 2003, yang menempatkan Indonesia pada urutan 112, dari 175 negara. Posisi ini masih sangat jauh tertinggal dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang lain. IPM Malaysia berada pada urutan ke 59. Thailand pada posisi 76 bahkan Philipina yang diasumsikan sebagai negara yang cukup miskin, menempati urutan 83, masih jauh di atas Indonesia. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya berada satu peringkat di atas Vietnam, negara yang baru saja keluar dari konflik politik yang panjang akibat perang saudara yang tidak berkesudahan.

Sumber : Statistik Pembangunan Gubernur Jawa Barat 2003-2008 Gambar 1. Perkembangan IPM Jawa Barat Tahun 2002-2007

Jawa Barat sebagai salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan ibukota Republik Indonesia, Jakarta, menghadapi masalah yang tidak sederhana

65 66 67 68 69 70 71 72 2002 2003 2004 2005 2006 2007 IP M Tahun IPM

(24)

dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang besar serta pengaruh migrasi dan urbanisasi. Jumlah penduduk dapat menjadi beban dalam proses pembangunan. IPM Jawa Barat pada tahun 2003-2007 (Gambar 1) memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan sehingga secara tidak langsung menyatakan bahwa kesejahteraan di wilayah ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

UNDP memasukkan IPM Kabupaten Bogor ke dalam tingkatan status menengah ke atas. IPM Kabupaten Bogor relatif terus membaik terlihat pada Tabel 2. Hal ini kemungkinan disebabkan karena semakin terwujudnya optimalisasi dan sinergitas pola dan sasaran pembangunan manusia yang dikembangkan pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Bogor selama ini. Tabel 2. IPM Kabupaten Bogor dan Komponennya Tahun 2002 – 2005

Komponen 2002 2003 2004 2005

1. Angka harapan hidup 66,8 66,82 66,94 67,10

2. Angka melek huruf 92,80 92,80 93,22 93,91

3. Rata-rata lama sekolah 6,10 6,18 6,26 6,69

4. Kemampuan daya beli 550,4 551,52 552,45 556,75

Angka IPM 67,70 67,81 68,10 68,99

Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2006)

Kabupaten Bogor terdiri dari tiga wilayah pengembangan, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Pembagian tiga wilayah ini berdasarkan karakteristik wilayah masing-masing. Bogor Barat memiliki karakteristik wilayah pertanian, sedangkan Bogor Tengah memiliki karakteristik wilayah manufaktur dan Bogor Timur memiliki karakteristik wilayah industri. Berdasarkan Tabel 3, IPM wilayah pembangunan Bogor Tengah dan komponennya berada di posisi tertinggi yaitu 71,45. Hal ini disebabkan karena wilayah pengembangan Bogor Tengah didominasi oleh kecamatan-kecamatan perkotaan, seperti Cibinong,

(25)

Dramaga, Sukaraja, Bojong Gede, dan Citeureup. IPM wilayah pengembangan Bogor Barat sebesar 67,41 dan Bogor Timur sebesar 67,29 tidak jauh berbeda dan kedua wilayah tersebut berada di bawah angka IPM Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan kecamatan di kedua wilayah ini bercorak pedesaan, seperti Cariu, Cigudeg, dan Sukajaya.

Tabel 3. Angka IPM dan Komponennya menurut Wilayah Pengembangan di Kabupaten Bogor Tahun 2005

Wilayah pembangunan

AKB AHH AMH RLS PPP IPM Stratum

Bogor Barat 49,64 65,25 93,67 6,01 556,75 67,41 Bawah Bogor Tengah 39,02 68,61 96,35 7,77 560,35 71,45 Atas Bogor Timur 43,50 66,64 90,07 6,12 554,5 67,29 Bawah Kabupaten Bogor 42,42 67,10 93,91 6,69 556,75 68,99 Median Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2007)

1.2 Perumusan Masalah

Di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke - IV tercantum tujuan negara yang salah satu diantaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pengertian yang lebih rinci lagi tentang tujuan negara tersebut yaitu untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum atau mencapai masyarakat adil dan makmur terscbut negara kita harus membangun. Membangun dalam arti tidak hanya membangun dari bentuk fisiknya saja, tetapi membangun secara keseluruhan yang dikenal dengan sebutan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, salah satu tantangan yang dihadapi adalah rendahnya taraf kehidupan masyarakat Indonesia atau lebih dikenal dengan istilah kemiskinan.

(26)

Menurut data BPS, jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 3,8 juta jiwa. Jumlah ini adalah yang terbesar kedua di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 2.388,93 km2 sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah 1.594 jiwa per km2. Jumlah penduduk yang besar berdampak dalam penyediaan infrastruktur serta lapangan pekerjaan yang memadai. Selain itu, jumlah penduduk yang besar menjadi beban dalam proses pembangunan jika berkualitas rendah karena akan meningkatkan kemiskinan di Kabupaten Bogor.

Antara pertumbuhan penduduk yang terus meningkat serta tersedianya lapangan pekerjaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat kaitannya. Faktor pertumbuhan penduduk berpengaruh pula terhadap penambahan angkatan kerja sehingga kesempatan kerja menjadi lebih terbatas penyediannya. Akibat yang dirasakan adalah timbulnya tenaga kerja yang menganggur atau masalah pengangguran.

Angkatan kerja di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 mencapai 1.237.611 jiwa, sebanyak 916.679 jiwa (74,2%) diantaranya bekerja dan 320.932 jiwa (25,8%) menganggur. Jumlah penduduk yang menganggur sebanyak 90.214 jiwa (7,2%) sedang mencari pekerjaan dan 320.932 jiwa (18,6%) murni tidak bekerja karena alasan merasa tidak mungkin mendapatkan kerja dan alasan merasa sudah cukup.

Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah dalam pembangunan di Kabupaten Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor telah melakukan beberapa kebijakan dalam proses penanggulangan kemiskinan tersebut. Beberapa hal yang harus diketahui oleh pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan adalah

(27)

karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor. Karakteristik rumah tangga menjadi salah satu ukuran dalam melihat kemiskinan dan mempermudah pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana potret kemiskinan Kabupaten Bogor berdasarkan tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur?

2. Bagaimana hubungan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur?

3. Apa saja karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. mendeskripsikan karakteristik rumah tangga miskin di tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur; 2. menganalisis kaitan antara status kemiskinan dan status pekerjaan di

tiga wilayah pengembangan, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor timur,

(28)

3. menganalisis karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur.

1.4 Kegunaan Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai kondisi kemiskinan di Kabupaten Bogor. Kegunaan penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah pusat dan Kabupaten Bogor sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan pengentasan kemiskinan di Indonesia secara umum dan Kabupaten Bogor khususnya. 2. Bagi penulis berguna sebagai sarana untuk mendapatkan pengalaman

ilmiah dan sarana implementasi dari teori-teori yang diajarkan.

3. Sebagai bahan informasi, perbandingan, dan masukan bagi kalangan akademisi dalam penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup

Penelitian ini hanya membahas gambaran kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Bogor. Kecamatan di Kabupaten Bogor yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah 34 kecamatan. Kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Barat adalah Kecamatan Ciampea, Cibungbulang, Cigudeg, Leuwiliang, Leuwisadeng, Nanggung, Pamijahan, Rumpin, Sukajaya, dan Tenjo. Kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Tengah adalah Kecamatan Babakan Madang,

(29)

Bojong Gede, Caringin, Cibinong, Cigombong, Cijeruk, Ciomas, Cisarua, Ciseeng, Citerureup, Dramaga, Gunung Sindur, Kemang, Megamendung, Parung, Sukaraja, Tajurhalang, dan Tamansari. Kecamatan di wilayah pengembangan Bogor Timur adalah Kecamatan Cariu, Cileungsi, Gunung Putri, Jonggol, dan Tanjung Sari.

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Tentang Kemiskinan

Penelitian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan. Rahmawati (2006) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Pacitan menggunakan model regresi logistik biner. Hasil penelitian diketahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada taraf sepuluh persen terhadap peluang rumah tangga berada dalam kemiskinan adalah jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin, dan pendapatan.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Nurhayati (2007) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan serta pendapatan di Jawa Barat. Dengan menggunakan model persamaan simultan didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Barat adalah pendapatan dan pendidikan pada taraf nyata satu persen. Sedangkan, faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan adalah tenaga kerja dan investasi.

Pada tahun 2006, Kusumaningtyas melakukan penelitian tentang kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan industri JABABEKA (Studi kasus Desa Pasir Gombong, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi) dengan menggunakan metode kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Hasil penelitian diketahui kemiskinan masyarakat Desa Pasir Gombong dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi hak dasar (pangan, perumahan, dan pakaian), kekurangan pelayanan dan barang-barang, kondisi kehidupan sehari-hari yang serba kekurangan, pekerjaan yang tidak menentu, pendidikan dan keahlian

(31)

yang rendah dan ketidaksamaan kesempatan pada sejumlah orang dalam menjalani kehidupannya.

Topik lain dalam penelitian tentang kemiskinan adalah tentang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan angka kemiskinan di Indonesia oleh Wiraswara (2005). Dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square) didapatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2002.

Ruspayandi (2006) melakukan penelitian tentang penskalaan dimensi ganda dan autokorelasi spasial ukuran dan indikator kemiskinan kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. Dengan menggunakan penskalaan dimensi ganda (multidimensional scaling) dan analisis Procrustes didapatkan bahwa tingkat kemiskinan daerah berbentuk wilayah administratif kota secara umum lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah yang berbentuk kabupaten. Perbedaan tingkat kemiskinan antar kedua bentuk daerah ini lebih besar jika dilihat dari faktor nonmoneter.

Pada tahun 2008, Romdhani melakukan penelitian mengenai pemetaan karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor. Dengan menggunakan metode Biplot didapatkan bahwa indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor ternyata tidak semua menyebar merata, hanya akses terhadap sumber air minum, penggunaan selain gas untuk masak sehari-hari, daya beli daging/ayam/susu dalam seminggu, dan pendidikan kepala rumahtangga yang rendah yang menyebar merata. Selain itu, faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah produksi padi sawah per kapita yang berpengaruh positif.

(32)

Jumlah sarana pasar dan migrasi penduduk berpengaruh negatif dan nyata terhadap tingkat kemiskinan

Topik lain dalam penelitian kemiskinan dikemukakan oleh Pratama (2008) tentang keterkaitan antara karakteristik dengan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Timur Kabupaten Bogor. Dengan menggunakan model persamaan struktural didapatkan bahwa tingkat pendapatan kepala keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan rumah tangga di wilayah pengembangan Bogor Timur. Tingkat pendapatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sektor perkerjaan utama kepala keluarga.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Tentang Pengangguran

Sandra (2004) melakukan penelitian mengenai dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat upah dan pengangguran di Pulau Jawa. Dengan menggunakan model persamaan simultan menujukkan bahwa hasil simulasi kenaikan upah minimum propinsi (UPM) sebesar lima persen akan menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja. Selain itu, kenaikan UPM juga menyebabkan menurunnya tingkat upah riil yang diterima pekerja, menaikkan jumlah penawaran tenaga kerja, dan menurunkan jumlah pengangguran.

Penelitian mengenai pengangguran telah diteliti oleh Anas (2006) mengenai pengaruh kebijakan moneter dalam menstabilkan inflasi dan pengangguran di Indonesia. Hasil penelitian menggunakan analisis Structural Vector Auto Regression yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan Vector Error Correction Model didapatkan bahwa faktor-faktor yang

(33)

mempengaruhi pengangguran di Indonesia adalah inovasi dalam pengangguran itu sendiri.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Simaremare (2006) mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang dapat mengurangi jumlah pengangguran dan tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran dipengaruhi oleh pertumbuhan angkatan kerja dan jumlah pengangguran yang telah ada dari tahun sebelumnya.

2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu yang Menggunakan Analisis CHAID (Chi-square Automatic Interaction Detection or detector)

Penelitian dengan menggunakan analisis CHAID telah dilakukan oleh Widianti (2004) mengenai perilaku konsumen rumah tangga yang memiliki refrigerator terhadap buah-buahan tropika. Dengan menggunakan analisis CHAID pada sampel 75 responden menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen tersebut adalah jumlah buah yang dibeli dan tingkat pendidikan responden.

Selain itu, pada tahun 2004 Nurjaeni melakukan penelitian mengenai penelusuran karakteristik rumah tangga miskin dengan menggunakan metode CHAID. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kepemilikan fasilitas listrik, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, luas lantai, jenis lantai, kepemilikan fasilitas rumah tangga, kepemilikan aset usaha, sumber air minum

(34)

dan memasak, serta proporsi pengeluaran untuk makanan menjadi variabel yang membedakan antara rumah tangga miskin dengan rumah tangga tidak miskin.

Sunarti (2006) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian susu formula anak pada keluarga berpendapatan rendah dengan menggunakan analisis CHAID. Hasil analisis memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah harga susu formula, pendapatan keluarga, tingkat pendidikan, status kepemilikan rumah dan pertimbangan sebelum melakukan pembelian. Faktor harga merupakan faktor yang paling menentukan jadi atau tidak dalam membeli susu formula.

Pada tahun 2006, Rullyanto menggunakan analisis CHAID dalam menganalisis pola konsumsi buah impor pada rumah tangga berpendapatan tinggi di Kota Bogor. Analisis CHAID menunjukkan faktor usia dan pengeluaran menjadi faktor yang mempengaruhi pola konsumsi buah impor tersebut. Sedangkan faktor jenis kelamin, pendapatan, besar keluarga dan pekerjaan tidak mempengaruhi pola konsumsi.

2.4 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu mengenai kemiskinan maupun yang menggunakan analisis CHAID, tidak ditemukan penelitian yang secara langsung membahas masalah kemiskinan dan karakteristik yang mmebedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor secara keseluruhan tetapi hanya beberapa kecamatan saja. Selain itu, belum ada penelitian yang membahas mengenai kaitan antara status kemiskinan dan status pekerjaan di Kabupaten Bogor. Untuk itulah penelitian ini dilakukan guna

(35)

memberikan informasi kepada semua pihak tentang potret kemiskinan, kaitan status kemiskinan dengan status pekerjaan, serta karakteristik yang paling penting dari rumah tangga miskin terutama di Kabupaten Bogor. Dengan demikian diharapkan pemerintah dan masyarakat akan dapat melakukan upaya untuk mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Bogor serta di Indonesia.

(36)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Kemiskinan

Sebelum tahun 1993 seseorang dikategorikan miskin apabila total pengeluaran yang dibutuhkan untuk pembelian makanan senilai 2100 kalori per kapita per hari. Ini merupakan garis batas kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. Sejak 1993, Indonesia telah mengadopsi basic needs approach yang terdiri dari pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. Pada tahun 1996 BPS memperbaharui metode penghitungan garis kemiskinan untuk memasukkan komponen pengeluaran bukan makanan secara lebih memadai.

Sementara menurut Bank Dunia kemiskinan diartikan sebagai:

Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to see a doctor. Poverty is not being to go to school and not knowing how to read. Poverty is not having a job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness brought about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom.1

Kemiskinan memiliki pengertian yang berbeda antar daerah dan waktu. Hal ini berarti masalah kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Kemiskinan tidak hanya berbicara masalah pendapatan yang rendah, tetapi juga menyangkut masalah perumahan yang buruk, rendahnya pembangunan manusia (human development) dalam hal pendidikan dan kesehatan, ketiadaan akses pada aset-aset produktif, ketakutan akan masa depan, dan lain-lain.

1

(37)

Dalam memahami kemiskinan dapat ditinjau dari beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan pendapatan (income approach) dimana seseorang disebut miskin jika pendapatan dan konsumsinya berada di bawah tingkat tertentu yaitu tingkat pendapatan dan pengeluaran minimal yang layak secara sosial. Kedua, pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), yang mana seseorang disebut miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, sandang, papan, sekolah dasar, dan lain-lain. Ketiga, pendekatan aksesibilitas dimana seseorang miskin karena kurangnya akses terhadap aset produktif, akses terhadap infrastruktur sosial dan fisik, akses terhadap informasi, akses terhadap pasar, dan akses terhadap teknologi. Keempat, pendekatan kemampuan manusia (human capability approach) dimana seseorang disebut miskin jika tidak memiliki kemampuan yang dapat berfungsi pada tingkat minimal. Kelima, pendekatan ketimpangan (inequality approach) yang merupakan pendekatan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan (proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata).

Semua negara telah mengukur kemiskinan yang terjadi dengan berbagai metode dan pendekatan yang berbeda-beda. Bank Dunia juga menetapkan standar pendapatan US $ 1,- sebagai garis batas kemiskinan. Bank Dunia setiap tahun dalam laporannya mengeluarkan Human Development Index (IPM, Indeks Pembangunan Manusia) dengan komponen antara lain tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf penduduk dewasa, tingkat penyelesaian studi pada sekolah dasar dan menengah, dan PDB riil per kapita.

UNDP juga secara rutin mempublikasikan angka indeks yang mengukur kemiskinan yaitu the Human Poverty Index (IKM, Indeks Kemiskinan Manusia).

(38)

Indeks ini terdiri dari tiga komponen dasar yaitu longevity; menghitung persentase penduduk yang meninggal sebelum berusia 40 tahun. Kedua adalah literacy; persentase penduduk dewasa yang melek huruf. Ketiga adalah living standard; yang merupakan kombinasi dari persentase penduduk yang memiliki akses yang cepat pada layanan kesehatan, persentase penduduk yang memiliki akses air bersih dan sehat, dan persentase balita kurang gizi.

Menurut Sajogyo (1986), untuk mengkategorikan penduduk miskin, tidak cukup hanya menggunakan satu garis kemiskinan saja. Tiga garis yang harus digunakan adalah : melarat (destitute), miskin sekali (very poor) dan miskin (poor). Di desa pada tingkat 180 Kg dikategorikan melarat, 240 Kg dikategorikan miskin sekali dan 320 Kg setara beras per orang per tahun dikategorikan miskin. Untuk di kota, setara 270 Kg, 360 Kg dan 480 Kg setara beras per orang per tahun.

Korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan hubungan pertumbuhan dan kesenjangan. Menurut Simon Kuznets, hubungan antara pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita berbentuk U terbalik. Demikian juga dengan hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi perdesaan (rural) atau ekonomi tradisional ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri.

Hipotesis Kuznets menjelaskan bahwa pada awal proses pembangunan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan meningkat sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi dan pada akhir proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat sektor industri di daerah perkotaan sudah dapat

(39)

menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari perdesaan atau pada saat pangsa pasar pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan.

Sumber : Tambunan, 2003

Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan (industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya mengakibatkan tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak lagi.

Pemerintah Kabupaten Bogor melaksanakan Sensus Daerah pada tahun 2006 untuk mengidentifikasi keadaan masyarakat Kabupaten Bogor termasuk keadaan kemiskinan di daerah tersebut. Melalui Sensus Daerah 2006 kriteria masyarakat miskin di Kabupaten Bogor, yaitu memiliki : (1) luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; (2) jenis lantai bangunan tempat tinggal tanah atau bambu atau kayu murahan; (3) jenis dinding tempat tinggal

Tingkat Kesenjangan

Tingkat Pendapatan Per Kapita

Periode

(40)

bambu atau rumbia atau kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester ; (4) tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar atau menggunakan bersama-sama dengan rumah tangga lain ; (5) sumber penerangan rumah tangga bukan menggunakan listrik ; (6) sumber air minum dari sumur atau mata air tidak terlindung atau sungai atau air hujan ; (7) bahan bakar untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu bakar atau minyak tanah atau arang ; (8) tidak pernah mengkonsumsi daging/susu/ayam per minggu atau hanya satu kali dalam seminggu ; (9) tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun atau hanya satu kali membeli dalam setahun (untuk setiap anggota rumah tangga) ; (10) hanya satu kali atau dua kali makan dalam sehari (untuk setiap anggota rumah tangga) ; (11) tidak mampu membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik ; (12) lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 hektar atau buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan kurang dari Rp 600.000 per bulan ; (13) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya SD atau tidak tamat SD maupun tidak sekolah ; (14) tidak mempunyai tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

3.1.2 Konsep Pengangguran

Penduduk dalam suatu negara dibedakan menjadi dua golongan, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Menurut Bank Dunia, tenaga kerja adalah penduduk yang berumur antara 15 hingga 64 tahun. Selanjutnya, tenaga kerja dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.

(41)

Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang sedang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan, dan tidak sedang mencari pekerjaan. Penduduk yang termasuk ke dalam bukan angkatan kerja, antara lain orang-orang yang kegiatannya bersekolah (pelajar, mahasiswa), mengurus rumah tangga (ibu-ibu yang bukan wanita karir), serta menerima pendapatan tetapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya (pensiunan, penderita cacat yang dependen).

Angkatan kerja dibedakan juga ke dalam dua kelompok, yaitu pekerja dan penganggur. Pekerja ialah orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang bekerja (saat dilakukan sensus atau survei), serta orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja. Sedangkan pengangguran adalah seseorang yang mau dan membutuhkan pekerjaan dan atau seseorang yang seharusnya dilihat dari segi kebutuhan dan kemampuannya telah dan harus mempunyai pekerjaan yang layak dan sah menurut hukum dinegaranya. Pekerjaan tersebut digunakan sebagai sumber kehidupan dan penghidupan dirinya, keluarganya, masyarakat, dan bangsanya. Tetapi karena sesuatu hal, dia tidak memiliki kesempatan itu.

Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran struktural. Pengangguran siklis adalah pengangguran yang terjadi ketika permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih

(42)

kecil dari keluaran potensial. Pengangguran siklis dikatakan sebagai orang yang menganggur terpaksa yaitu mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan tidak tersedia.

Pengangguran struktural adalah pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah penduduk usia muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Selain itu, pengangguran friksional juga disebabkan oleh orang-orang yang keluar dari pekerjaannya, baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena diberhentikan.

Menurut BPS, pengangguran terbuka adalah orang yang mencari pekerjaan, yang sedang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan, dan mereka yang sudah punya pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang tidak bekerja dan pada saat survei orang tersebut sedang mencari pekerjaan, seperti yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan atau orang yang sudah pernah bekerja, karena suatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan permintaan terhadap tuntutan kehidupan yang paling minimum atau kebutuhan dasar juga semakin meningkat. Hal ini terkadang tidak diimbangi dengan peningkatan

(43)

pasokan kebutuhan dasar tersebut sehingga mengakibatkan tidak semua orang terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut dapat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut menunjukkan kesejahteraan seseorang. Apabila kesejahteraan seseorang tidak terpenuhi secara terus-menerus, hal ini akan menyebabkan kemiskinan.

Peningkatan jumlah penduduk juga mengakibatkan peningkatan pada permintaan lapangan kerja. Hal ini apabila tidak ditunjang dengan jumlah lapangan kerja yang memadai akan menyebabkan masalah pengangguran. Selain itu, dengan meningkatnya jumlah penduduk akan terjadi transformasi lahan dari sektor pertanian ke sektor non pertanian seperti untuk perumahan. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Sehingga dengan semakin menurunnya luas lahan pertanian akan mengakibatkan banyak terjadi pengangguran di sektor tersebut.

Indikator kemiskinan rumah tangga memberikan suatu gambaran tentang penyebab kemiskinan di wilayah barat Kabupaten Bogor. Indikator tersebut mencakup 15 faktor, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal (m2), jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas, jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas, sumber air minum yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari, penggunaan fasilitas tempat buang air besar, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari, sumber penerangan (energi) rumah tangga, jenis barang yang dimiliki minimal senilai 500.000 (emas, televisi berwarna, kulkas/mesin cuci, sepeda motor), frekuensi anggota rumah tangga makan dalam sehari, frekuensi anggota rumah tangga membeli pakaian baru dalam setahun, frekuensi

(44)

anggota rumah tangga membeli daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan anggota rumah tangga berobat ke puskesmas/poliklinik, jenjang pendidikan tertinggi yang pernah atau sedang ditempuh, bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga.

Melalui analisis tabulasi silang terhadap indikator-indikator yang telah dijabarkan diharapkan dapat lebih memahami potret kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor. Hubungan status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala rumah tangga di Kabupaten Bogor juga dianalisis menggunakan analisis tabulasi silang. Selain itu, untuk mengetahui karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Bogor maka dilakukan analisis CHAID terhadap indikator-indiaktor tersebut. Melalui analisis-analisis tersebut diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan penanggulangan masalah kemiskinan terutama di Kabupaten Bogor. Bagan di bawah ini untuk mempermudah alur penelitian.

(45)

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Operasional Kemiskinan di Kabupaten Bogor 14 indikator kemiskinan Crosstab CHAID Hubungan antara status kemiskinan dan status pekerjaan di Kabupaten Bogor

Karakteristik yang paling menonjol dalam membedakan rumah tangga

miskin dan tidak miskin di Kabupaten Bogor

Implikasi kebijakan Potret

kemiskinan di Kabupaten Bogor

(46)

3.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesa sebagai berikut :

1. Karakteristik rumah tangga miskin berbeda-beda di setiap wilayah pengembangan Kabupaten Bogor.

2. Status pekerjaan kepala rumah tangga berpengaruh terhadap status kemiskinan di Kabupaten Bogor.

3. Karakteristik yang diduga paling menonjol membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin yaitu pendidikan kepala keluarga, jenis pekerjaan kepala keluarga, dan kepemilikan aset.

(47)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor yang meliputi 41 kecamatan. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja karena beberapa pertimbangan, yaitu ketersediaan data untuk melakukan analisis tabulasi silang dan CHAID dalam penggambaran karakteristik kemiskinan di Kabupaten Bogor. Selain itu karena tingkat kemiskinan Kabupaten Bogor yang tinggi dibandingkan wilayah lain di Jawa Barat padahal wilayah ini adalah salah satu penunjang DKI Jakarta. Penelitian dilakukan selama empat bulan, mulai bulan Januari 2007 hingga bulan Juni 2008.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data lintas sektoral (cross-section) yaitu data Sensus Daerah Kabupaten Bogor tahun 2006 yaitu data F1 dan F2 mengenai indikator-indikator kemiskinan. Pada data awal, jumlah rumah tangga sebesar 855.733 kepala keluarga. Jumlah rumah tangga yang dipilih sebanyak 142.203 kepala keluarga setelah dilakukan clearing data. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Sumber informasi lainnya berupa artikel diperoleh dari jurnal serta dari media massa elektronik. Serta digunakan data-data dari literatur dan hasil-hasil penelitian sebelumnya.

Penelitian ini hanya dilakukan pada 34 kecamatan, seharusnya jumlah kecamatan yang ada sebanyak 41 buah kecamatan. Kecamatan-kecamatan yang

(48)

tidak digunakan antara lain : Kecamatan Ciawi, Kecamatan Klapanunggal, Kecamatan Rancabungur, Kecamatan Sukamakmur, Kecamatan Parung Panjang, dan Kecamatan Tenjolaya. Hal tersebut disebabkan belum adanya kelengkapan dalam survei dan ketidakcocokan antara data F1 dan F2. Data tersebut diperkirakan lengkap pada akhir tahun 2008.

Penentuan rumah tangga miskin pada penelititan ini dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator kemiskinan yang telah ditetapkan oleh BPS dan dapat dilihat pada Lampiran 1. Menurut BPS, suatu rumah tangga dapat dikatakan miskin jika telah memenuhi minimal sembilan dari 14 indikator tersebut. Indikator kemiskinan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis hubungan antara indikator kemiskinan dengan status kemiskinan dan status pekerjaan di Kabupaten Bogor dengan menggunakan analisis deskriptif. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor.

4.3.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Menurut Nazir (2003), metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran

(49)

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat gambaran yang akurat mengenai hubungan antara fenomena yang diteliti.

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi potret kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analisis potret kemiskinan dilakukan melalui tabulasi silang (cross tabulation) indikator-indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hasil tabulasi silang masing-masing variabel kemudian diinterpretasikan agar diperoleh gamabaran kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor.

4.3.2 Analisis Statistik Non parametrik

Analisis statistik non parametrik adalah suatu metode analisis untuk mengetahui nilai hubungan antara status kemiskinan suatu rumah tangga dengan status pekerjaan kepala keluarga di Kabupaten Bogor. Analisis ini menggunakan uji Chi-Square dan uji koefisien kontingensi. Uji Chi-Square digunakan untuk melihat hubungan antara status kemiskinan dan status pekerjaan kepala keluarga. Uji koefisien kontingensi digunakan untuk melihat keeratan hubungan pada uji Chi-Square.

a. Chi-Square dengan rumus sebagai berikut :

2 1   1    2   Keterangan: r = total baris c = total kolom i = indeks baris j = indeks kolom

Oij = nilai sel baris ke-i kolom ke-j

(50)

b. Koefisien kontingensi dengan rumus sebagai berikut :

   

Keterangan :

C = Nilai koefisien kontingensi Χ2 = Hasil Chi-Square hitung n = Jumlah responden

Menurut Guilford dalam Rakhmat (2002), koefisien kontingensi memiliki pemahaman sebagai berikut :

0,000 – 0,200 = Sangat lemah 0,201 – 0,400 = Lemah 0,401 – 0,700 = Cukup kuat 0,701 – 0,900 = Kuat 0,901 – 1,000 = Sangat kuat 4.3.3 Analisis CHAID

Metode CHAID (Chi-square Automatic Interaction Detection or detector) merupakan sebuah metode eksploratori non parametrik untuk menganalisis sekumpulan data berukuran besar dan cukup efisien untuk menduga peubah penjelas yang paling signifikan terhadap peubah respon. Interaksi antar peubah juga dapat dideteksi melalui metode CHAID (Du toit, et al.,1986). Metode ini termasuk salah satu tipe dari metode AID (Automatic Interaction Detection) yang dapat digunakan untuk menganalisis keterkaitan struktural antar peubah respon dan peubah penjelas dalam segugus data. Perbedaan CHAID dengan metode AID lainnya adalah tipe data yang digunakan yaitu data kategorik berskala nominal dan ordinal dengan uji yang digunakan adalah uji Chi-square.

(51)

Metode CHAID digunakan dalam penelitian ini karena dapat mendeteksi secara jelas karakteristik yang membdeakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Bogor. Metode ini selain menjelaskan adanya pengaruh yang signifikan atau tidak tetapi juga menjelaskan secara detail mengenai posisi dari kategori-kategori pada peubah respon dan peubah penjelas yang mempengaruhinya.

Cara kerja metode CHAID adalah dengan memisahkan gugus data ke dalam beberapa kelompok secara bertahap. Tahap pertama diawali dengan membagi data menjadi beberapa kelompok berdasarkan satu peubah penjelas yang pengaruhnya paling signifikan terhadap peubah respon. Kemudian masing-masing anak gugus yang terbagi diperiksa kembali secara terpisah dan dibagi lagi berdasarkan peubah lainnya. Seterusnya dengan kriteria statistik uji Chi-square pada setiap pemisahannya hingga pada akhirnya diperoleh kelompok-kelompok pengamatan yang memiliki respon dan peubah penjelas tertentu yang berkaitan. Untuk lebih jelasnya tahapan-tahapan dalam metode CHAID dijelaskan pada algoritma berikut :

1. Masing-masing peubah penjelas dibuat tabulasi silang yaitu antara kategori-kategori peubah penjelas dengan kategori-kategori-kategori-kategori peubah respon.

2. Dari setiap tabulasi yang diperoleh, disusun sub tabel berukuran 2 x d yang mungkin, d adalah banyaknya kategori peubah respon. Kemudian cari nilai χ2hitung pada semua sub tabel tersebut. Dari seluruh nilai χ2hitung yang diperoleh,

cari χ2hitung terkecil. Jika χ2hitung < χ2α (α ditetapkan, db= d-1), maka kedua

Gambar

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Operasional Kemiskinan di Kabupaten Bogor 14 indikator kemiskinan Crosstab CHAID Hubungan antara status kemiskinan dan status pekerjaan di Kabupaten Bogor
Tabel 6.  Jumlah  Rumah  Tangga  Miskin  berdasarkan  Jenis  Lantai  Bangunan  Tempat  Tinggal  di  Wilayah  Pengembangan  Bogor  Barat Tahun 2006 (persen)
Tabel 7.  Jumlah  Rumah  Tangga  Miskin  berdasarkan  Jenis  Dinding  Bangunan  Tempat  Tinggal  di  Wilayah  Pengembangan  Bogor  Barat Tahun 2006 (persen)
Tabel 8.  Jumlah  Rumah  Tangga Miskin  berdasarkan Sumber  Air Minum  di Wilayah Pengembangan Bogor Barat Tahun 2006 (persen)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan Renstra Bappeda Tahun 2019-2024 Kota Bogor diharapkan mampu mempercepat pencapaian visi misi Walikota Bogor yang sudah termuat dalam dokumen Rencana Pembangunan

Studi pendahuluan atau identifikasi khalayak sasaran, yaitu mendata hal-hal yang diperlukan oleh para guru PG/TK ABA 25 Wage, yang berkaitan dengan pengembangan

Data yang diambil dalam penelitian ini meliputi analisa yang terdiri dari penentuan konsentrasi lulur yang telah diberi perlakuan pemberian berbagai konsentrasi

 merupakan petugas yang tetap pada pelayanan rujukan.  Ramah tamah dan tekun.  Bersedia membantu pemakai perpustakan.  Memiliki pengetahuan umum yang luas. 

Pada buku pegangan (majalah) “Dino” pembelajaran dengan pendekatan saintifik dimunculkan melalui gambar dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manakah (1) model pembelajaran yang lebih baik diantara model pembelajaran Snowball Throwing, Make a Match, atau

Kemampuan guru dalam mengelola dan melaksanakan kegiatan pendidikan Islam merupakan konsep dari kompetensi guru dalam pendididikan Islam. Upaya dalam mencapai tujuan

[r]