BAB II
URAIAN TEORITIS
II.I MEDIA MASSA DAN KONSTRUKSI REALITAS
Teori yang dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman yaitu, seorang pakar sosiologi ini berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk secara ilmu, dan juga tidak diturunkan oleh Tuhan. Sebaliknya realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia. Pemahaman ini mengisyaratkan bahwa realitas berpotensi berwajah ganda, dan plural. Setiap orang bisa memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.
Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, tingkat pendidikan, lingkungan serta pergaulan sosial tertentu akan menafsirkan atau memaknai realitas berdasarkan konstruksinya masing-masing. Berita dalam media massa tidak dapat disamakan dengan fotocopy dari realitas, namun ia harus dipandang sebagai hasil konstruksi dari realitas. Karena itu, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda oleh beberapa media massa. Wartawan atau jurnalistik bisa jadi memiliki pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa atau kejadian yang kemudian terwujud dalam teks berita. (Eriyanto:2002;15).
Realitas adalah produk interaksi antara wartawan dan fakta, dan ini sering juga disebut sebagai proses dialektis yang memiliki tiga tahapan yakni, eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Dalam proses internalisasi, realitas
diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Sedangkan dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memahami realitas.
Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Dengan demikian, teks berita yang dibaca di surat kabar atau pun berita yang didapat melalui media-media lain adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. Contohnya adalah perang antara Irak dan Amerika Serikat berakhir dengan kejatuhan rezim Saddam Husein yang lalu, yang pertama terjadi mungkin adalah eksternalisasi. Wartawan yang datang ke daratan Irak mempunyai kerangka pemahaman serta konsepsi tersendiri mengenai peperangan tersebut. Ada yang memandang peperangan tersebut adalah sebagai kepentingan Amerika untuk menunjukkan super power-nya.
Ada juga yang melihat peperangan Irak sebagai konflik internal rezim saddam dan kelompok penentangnya. Ada juga yang melihat peperangan di Irak adalah sebagai buah dari kediktatoran Saddam sendiri atas rakyatnya. Berbagai skema dan pemahaman tersebut dipakai untuk menjelaskan peristiwa dan fenomena yang terjadi di Irak.
Tahapan kedua yaitu objektivasi, dimana hasil yang telah diperoleh, baik berupa mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi sebelumnya. Hasil dari eksternalisasi-kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya. Dengan demikian alat tersebut adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, atau dengan kata lain, merupakan hasil dari kegiatan manusia, yang alat tersebut kemudian menjadi realitas yang objektif.
Proses yang selanjutnya adalah internalisasi, yaitu ketika wartawan berada di Irak, ia melihat banyak peristiwa. Ada rumah-rumah penduduk yang hancur oleh roket Amerika, ada ribuan mayat bertaburan, dan berbagai peristiwa lainnya. Berbagai peristiwa tersebut diinternalisasi dengan cara dilihat dan diobservasi oleh wartawan. Lalu terjadilah proses dialektika antara apa yang ada dalam pikiran wartawan dengan apa yang dilihatnya. Maka akhirnya terjadilah teks berita (www.kunci.or.id/esai/nws/08/hai.htm).
Secara esensial, proses konstruksi realitas oleh media dapat dirangkum dalam enam perfektif (Eriyanto:2002;17-18) enam persfektif tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fakta/ Peristiwa adalah Hasil Konstruksi
Bagi kaum konstruktivis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas`itu hadir karena diciptakan dan dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. pernyataan utama dalam pandangan kontruktivis adalah fakta berupa kenyataan itu sendiri. Pembacalah yang memberikan defenisi dan menentukan fakta tersebut sebagai realitas.
2 . Media adalah Agen Konstruksi
Dalam pandangan kontruktivis, media bukanlah dianggap sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, dan pemihaknya. Media dipandang sebagai agen yang mengkonstruksi realitas. Maka berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, dan bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai
instrument yang dimilikinya, media juga ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaannya.
3. Berita bukan Refleksi dari Realitas, ia hanya Konstruksi atas Realitas
Menurut pandangan konstruktivis, berita merupakan hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada fakta yan dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaannya selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan cerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena cara melihatnya yang berbeda. 4. Berita bersifat Subjektif atas Realitas
Berita subjektif dari sisi lain wartawan. Karena wartawan sendiri melihat dengan persfektif dan berbagai pertimbangan subjektifnya. Penempatan sumber berita yang lebih ditonjolkan dari sumber lainnya, menempatkan wartawan sebagai seorang tokoh yang lebih besar dari tokoh lainnya. Liputan yang hanya satu sisi tidak berimbang, misalnya, bagi kaum konstruktivis, hal tersebut bukanlah sebuah kekeliruan, tetapi dianggap memang demikianlah praktik yang disajikan oleh wartawan. 5. Wartawan bukanlah Pelapor. Ia Konstruksi Realitas
Dalam pandangan konstruktivis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakanya. Karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Wartawan juga tidak hanya melaporkan
peristiwa, melainkan juga turut mendefenisikan apa yang terjadi dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Dalam arti kata wartawan bukanlah pemulung yang netral dan mengambil fakta begitu saja.
6. Etika, Pilihan Moral dan Keberpihakan Wartawan adalah bagian Intergral dalam Produksi Berita
Aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya. Etika dan moral dalam banyak hal dapat berarti keberpihakan pada suatu kelompok atau intergral yang tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkontruksi realitas (Water Lippman dalam Eriyanto: 2002:29) secara ekstrim mengatakan bahwa wartawan menyimpulkan dulu atas realitas atau sebuah peristiwa yang ada, lalu melihat fakta apa yang akan dikumpulkan untuk memperkuat kesimpulan tersebut.
Maka dari keenam perspektif diatas, pada dasarnya melihat bahwa pekerjaan media adalah sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan pembentukan realitas. Realitas bukanlah sesuatu yang telah tersedia, yang tinggal diambil oleh wartawan. Sebaliknya, semua jurnalis pada dasarnya adalah agen, bagaimana peristiwa yang acak, kompleks, disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah berita, maka wartawanlah yang mengurutkan, membuatnya teratur, menjadi dipahami dan memilih aktor-aktor yang diwawancarai sehingga membentuk sebuah berita yang dibaca khalayaknya.
II.2 DIMENSI PSIKOLOGI DAN SOSIOLOGI
Dalam konsepsi konstruksi sebuah berita dimana sebuah usaha media mem-framing sebuah realitas. Dapat secara jelas terlihat dengan bantuan dua tradisi yang sering dipakai dalam melihat framing media. Kedua tradisi yang bisa dipakai itu adalah lewat dimensi psikologi dan sosiologi. Dimana kedua tradisi ini akan dapat mempertajam melihat bagaimana sebuah produksi teks berita dalam media. Baik dari sisi konsepsi diri seseorang wartawan maupun tingkatan makro dimana ruang redaksi itu berbeda.
a) Dimensi Psikologi
Dalam dimensi ini dapat dilihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, atau gagasan tertentu. Individu akan berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah besar informasi yang dapat ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab-akibat.
Orang cenderung melihat realitas, pesan dalam kerangka berfikir tertentu. Karenanya realitas yang sama dapat dipandang secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena mereka mempunyai pandangan dan perspektif yang berbeda pula. Asumsi tadi berhubungan dengan teori atribusi dimana melihat bahwa manusia pada dasarnya tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks. Oleh karenanya, setiap individu berusaha menyimpulkan, dan meringkas dari sejumlah besar informasi yang ditangkapnya. Atribusi tersebut dipengaruhi baik faktor personal maupun pengaruh lingkungan eksternal. Tidak terkecuali wartawan, ia juga melakukan penyederhanaan atas realitas atau isu yang ditemuinya.
Selain teori atribusi dari Haider, menyebutkan ada sebuah teori lagi dari lapangan psikologi yang dapat membantu melihat konsep diri wartawan. Teori
yang dimaksut adalah teori skema (Eriyanto: 2002:88-90) dimana teori ini menjelaskan bagaimana seseorang menggunakan struktur kognitifnya untuk memandang dunia. Dengan skema akan membuat seseorang mengorganisir pengetahuan pangalaman dan memori masa lalu untuk melihat dunia, realitas sekarang dan memprediksikan masa depan. Skema akan menggiring dan memandang seseorang dengan meletakan realitas mana yang relevan dan tidak relevan. Realitas yang bisa dimasukan dan yang tidak bisa dimasukan. Skema juga akan mengorganisir pengetahuan dan pengalaman. Bahkan mendikte bagaimana seharusnya realitas itu dilihat.
Dalam framing realitas berita, pikiran khalyak tidak bebas, tetapi sebaliknya dibatasi oleh pembatas berupa bingkai (frame) yang disajikan dalam berita tersebut. Karenanya, framing membuat efek tertentu ketika diterima khalayak.
Framing tersebut juga tidak terlepas dari peranan wartawan yang mengkontruksi berita dengan cara menyederhanakan realitas fakta yang sangat kompleks di lapangan. Sehingga menjadi sebuah berita yang sederhana, ringkas dan mudah di pahami. Jadi intinya framing menentukan bagaimana suatu realitas di pahami khalayak dan media mengarahkan bagaimana realitas itu dipahami. Diamana, framing itu sendiri dilakukan media atau pun wartawan di bawah pengaruh dimensi psikologi itu sendiri. Sehingga penyederhanaan peristiwa mengakibatkan melencengnya inti atau esensi sebuah peristiwa dari yang sebenarnya.
b) Dimensi Sosiologi
Dimensi sosiologi pada dasarnya menjelaskan bagaimana organisasi dari sebuah ruang berita dan pembuat berita dalam membuat berita secara bersama-sama. Berarti disini menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks dimana menyertakan adanya sebuah praktik profesional. Maka jelas bahwa melalui dimensi ini berbeda dengan dimensi psikologi yang lebih melihat pekerja media sebagai individu karena dimensi sosiologi berhubungan dengan proses produksi atau organisasi media, maka secara langsung akan mempengaruhi pemaknaan peristiwa oleh wartawan.
Media massa cendrung memproduksi secara selektif sesuai dengan kriteria yang seirama dengan tujuan dan kepentingan sendiri. Jadi dalam membuat, memilih dan menyeleksi berita yang ditampilkan media didasarkan atas subjektivitas reporter, redaksi dan juga lembaga itu sendiri yang keseluruhannya terlihat dari realitas berita yang ditampilkan (Mc Quail:1994;67).
Realitas sosiologis adalah apa yang dilakukan oleh individu, kelompok atau lembaga sosial dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, realitas sosial adalah apa yang sungguh-sungguh terjadi yang dimana terkandung rumus penulisan berita 5W + 1H serta nara sumber yang jelas. Sedangkan realitas psikologis adalah segala sesuatu yang terpikir atau yang dikatakan oleh individu atau kelompok dalam suatu masyarakat
Realitas campuran dapat diartikan sebagai gabungan antara realitas psikologis dan realitas sosiologis. Contohnya misalnya, mungkin awal pemberitaannya diangkat mengenai pernyataan pejabat tertentu. Namun berita itu kembali diolah dengan mengkonfirmasikan pernyataan tertentu dengan
tokoh-tokoh lainnya, bisa oposisi, pengamat, praktisi, dan lain sebagainya. Maka dalam penampilannya akan mengundang diskusi dan berbagai pendapat umum (Suwardi;1993:19).
II.3 IDEOLOGI
Ideologi adalah “world vie” sebagai suatu kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ini akan lebih dilihat kepada yang berkuasa di dalam masyarakat dan bagaimana media menentukanya. Ideologi disini diartikan sebagai kerangkangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001:12)
Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasif dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar.
Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal
tersebut kebenaran dan kewajaran. Ideologi membuat anggota dari suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama dan memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas didalam kelompok. Ideologi bersifat umum dan abstrak serta nilai-nilai yang terbagi antara anggota-anggota kelompok menjadikan dasar bagaimana masalah itu harus dilihat. Dalam teks berita misalanya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul tersebut pencerminan dari ideology seseorang, apakah dia kapitalis atau sosialis dan lain sebagainya (Eriyanto: 2001 :13-14).
II.4 ANALISIS FRAMING
Analisis framing merupakan salah satu alternatif dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media yang dapat mengungkapkan rahasia di balik semua. Framing pada awalnya dimakanai sebagai struktur konseptual yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan dan dan wacana, serta menyediakan katagori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas.
Namun Goffman pada tahun 1974 mengembangkan analisis Framing sebagai Strip of behavior yang membimbing individu menganalisis realitas. Dan akhir-akhir ini analisis framing digunakan di dalam komunikasi paradigma multidisipliner untuk mendeskripsikan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus suatu realitas media (Burhan Bungin: 2007:160)).
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian kontruktivisme. Dimana Peter L. Berger sebagai tokoh yang memperkenalkannya beranggapan bahwa realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, melainkan dibentuk dan
dikontruksikan. Hal ini dikarenakan setiap orang mempunyai pengalaman, preferansi, pendidikan, lingkungan pergaulan tertentu yang berbeda sehingga akan berbeda pula dalam menafsirkan suatu realitas dan mengkontruksikannya (Eriyanto:2002;16)
Dalam penelitian terhadap bahasa, terdapat 3 pandangan (kupas 2000;48). Pandangan pertama yaitu diwakili oleh kaum positivis-empiris. Penganut aliran ini melihat bahasa adalah sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman- pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi.
Salah satu ciri pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Konsekuensi logis dari pemahaman ini, dalam makna kaitan dengan analisis wacana adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan simantik. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama.
Pandangan kedua, disebut sebagai kontruktivisme. Bahasa dalam pandangan konstruktivisme tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipastikan dari subjek penyampai pernyataan. Kontruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.
Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan yang pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan
pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada bagaimana pesan atau teks, hubungan dengan khalayak dalam memproduksi makna.
Ada dua karekteristik penting dari pendekatan konstruktisionis. Pertama, pendekatan konstruktisionis menekankan pada politik pemakanaan dan proses bagaimana seseorang memuat gambaran tentang realitas politik. Kata makna itu sendiri menuju kepada sesuatu yang diharapkan untuk ditampilkan, khususnya melalui bahasa, sebagaimana secara nyata diungkapkan. Makna merupakan suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan.
Kedua, pendekatan konstruktisionis memandang kegiatan komunikasai sebagai proses yang terus menerus dan dinamis. Pendekatan konstruktisionis memeriksa bagaimana pesan ditampilkan dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana pesan ditampilkan dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana kontruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai “mirror of reality” yang menampilkan fakta suatu peristiwa apa adanya (kupas 2000;48).
Menurut kaum konstruktisionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi sudut pandang tertentu dari wartawan. Realitas bisa berbeda- beda, tergantung bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Berita bukanlah “mirror of reality”, melainkan hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita, sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan
selalu melibatkan nilai-nilai tertentu, sehingga mustahil jika berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda karena ada cara pandang dalam melihat berita yang berbeda.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikiranya karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.
Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi didalamnya (Eriyanto 2001:4-6).
Analisis framing dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksikan oleh media. Dengan cara dan teknik apa peristiwa ditekankan dan ditonjolkan. Melalui analisis framing, dapat diketahui bagaimana realitas (peristiwa, actor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Aspek-aspek mana saja yang ditonjolkan dan ditekan sehingga membuat bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih mudah diingat oleh khalayak.
Dalam prefektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkontruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta kedalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti untuk menggiring interprestasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh
wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut.
Dengan menggunakan metode analisis framing, dapat diketahui bagaimana konflik Israel dan Hamas dikonstruksi oleh surat kabar Republika. Bagaimana media ini memaknai, memahami, dan membingkai konflik Timur-Tengah tersebut. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang di tonjolkan/dianggap penting oleh pembuat teks.
Bentuk penonjolan tersebut bisa seragam, menempatkan satu aspek informasi lebih menonjol dibandingkan yang lain (misalnya menjadikannya headline news), melakukan pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek budaya yang akrab dibenak khalayak.
Dengan bentuk seperti itu, sebuah ide/ gagasan/ informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Robert Enteman melihat framing dalam dua dimensi besar; seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/ isu (Eriyanto:2002;53).
Penonjolan merupakan proses membuat informasi menjadi lebih, lebih menarik, berarti atau lebih diingat oleh khalayak/ public (pembaca). Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.
Melalui metode framing, akan diperoleh gambaran tentang perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau persfektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan serta hendak dibawa kemana berita tersebut. Dalam prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain serta menonjolkan aspek dari isu tersebut dalam hal ini seputar konflik antara Israel dan Hamas di Gaza dengan menggunakan berbagai strategi wacana-penempatan yang mencolok (menempatkan berita di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis, penggunaan aksentuasi seperti gambar, foto, karikatur dan lain-lain untuk mendukung serta guna memperkuat penonjolan. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.
Dengan framing dapat diketahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita tersebut. Seleksi isu merupakan aspek yang berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukan (included) tetapi ada juga berita yang di keluarkan (excluded).
Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu.Penonjolan aspek tertentu dari isu merupakan aspek yang berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa/ isu tersebut telah dipilih, dan bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini
sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Konsep framing dalam pandangan Robert Entman secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkap the power of komunication text. Framing analisis dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer informasi dari sebuah lokasi seperti pidato, news report, atau novel. Framing secara esensial meliputi penseleksian dan penonjolan. Membuat frame adalah menseleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas`realitas, dan membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah defenisi permasalahan yang khusus, evaluasi moral atau merekomendasikan penangannya (siahaan;2001;76).
Robert Entman juga menyatakan frame berita juga menjelaskan atribut-atribut berita itu sendiri. Frame terletak didalam property spesifik berita naratif yang mengarahkan perasaan dan pemikiran mengenai peristiwa- peristiwa untuk membangun pengertian khusus. Frame berita dikonstruksikan melalui perwujutan dalam kata kunci: simbol- simbol, konsep-konsep, dan visual images yang menegaskan suatu berita naratif. Dengan cara menetapkan, mengulangi, dan dengan merujuk pada beberapa isu, frame bekerja agar beberapa ide lebih menonjol di dalam teks, atau setidaknya yang lain lebih tidak menonjol, sehingga sama sekali tidak tampak. Melalui penguatan, pengulangan dan penempatan asosiasi satu sama lain, kata-kata image yang membangun frame menjadikan sebuah interprestasi dasar lebih dapat dilihat, dipahami, dan berkesan dari yang lainnya (siahaan;2001;77).
Robert Entman menegaskan, framing memiliki implikasi penting bagi komunikasi politik. Frames menuntut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen- elemen lainnya yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda. Politisi mencari dukungan dengan memaksakan kompetisi satu sama lain. Mereka bersama jurnalis membangun frames berita. Dalam konteks ini, framing memainkan peran utama dalam mendesakkan kekuatan politik, dan frames dalam teks berita sungguh merupakan kekuasaan yang tercetak. Dia menujukan identitas para aktor atau interest yang berkompetisi untuk mendominasi teks (siahaan;2001:80)
Dalam konsepsi yang ditawarkan Robert Entman, terdapat 4 elemen yaitu pemberian defenisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berfikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Pada elemen pendefenisian masalah (define problem) menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami secara berbeda.
Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda. Misalnya dalam isu somasi dari kepresidenan mengenai tayangan Newsdotcom di Metro TV, yaitu peringatan keras terhadap penayangan ini yang dimana dalam penayanganya terdapat beberapa pelakon yang wajahnya mirip dan dibuat serupa dengan Presiden-Presiden Indonesia yang terdahulu, seperti Bj.Habibiy, Suharto, Gusdur dan lainnya, yang mana ini dapat melecehkan kepala Negara. Maka ada banyak asumsi mengenai masalah ini.
Ada yang menganggap jika somasi dilaksanakan, berarti akan terjadi pengekangan terhadap kreatifitas insan pers, karena bukankah pada masa sekarang
ini setiap orang bebas berekspresi dan berkresai termasuk juga orang-orang yang terlibat dalam media massa (surat kabar, televisi, radio) atau yang disebut juga dengan insan pers. Namun dilain pihak ada yang beranggapan somasi tersebut pantas dilaksanakan demi menjaga harga diri lambang Negara, dalam hal ini Presiden yang seharusnya dihormati oleh rakyatnya, justru menjadi bahan tertawaan. Namun semua itu tergantung dari sudut mana kita melihat dan memandang permasalahan tersebut.
Dalam elemen kedua yaitu memperkirakan penyebab masalah (Diagnose Cause) digunakan untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, maka penyebab masalahnya secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula.
Element ketiga yaitu membuat pilihan moral (Make Moral Judgement) yang dipakai untuk membenarkan/ memberi argumentasi pada pendefenisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefenisikan dan penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan argumentasi, atau visual image, untuk mendukung gagasan tersebut. Argumentasi tersebut biasanya dikutip dari wawancara kepada narasumber atau pakar yang berkompeten dibidangnya. Sehingga permasalahan suatu peristiwa yang telah dipaparkan pada lembar media tidak mengambang dibenak khalayak, yang dalam hal ini adalah pembaca. Kutipan tersebut tidak hanya untuk meyakinkan pembaca atas indentifikasi yang
telah dibuat, tetapi juga meyakinkan pembaca bahwa berita yang dibuat adalah fakta, bukan rekaan si wartawan.
Elemen yang keempat adalah menekankan penyelesaian (Treatment Recommendation) yang dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang diajukan untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. Media dalam hal ini, lebih khususnya si wartawan sebagai individu yang meliput langsung akan menulis solusi yang ditawarkan untuk sebuah masalah yang terjadi. Bila si wartawan menganggap penyebab masalah terjadinya tuntutan cash and carry oleh warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah pemerintah yang lambat menangani masalah ini, maka solusi yang ditawarkan adalah tidak cepat dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut dan segera memberi ganti rugi.
Berikut ini adalah uraian dari keempat level dalam tabel: Tabel 2: Empat Unit Analisis
UNIT ANALISIS PERANGKAT ANALISIS
Define Problems c. Peristiwa dilihat sebagai apa?
d. Peristiwa sebagai masalah apa?
Diagnose Causes c. Siapa penyebab masalah?
Moral Judgement c. Nilai moral apa yang disajikan dalam menyelesaikan masalah?
d. Nilai apa yang dipakai untuk mendelegitimasi suatu tindakan?
Treatment Recommendation c. Penyelesaian yang ditawarkan untuk mengatasi masalah?
d. Jalan yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasinya?
Apa yang diuraikan oleh Robert Entman diatas tersebut menggambarkan secara lebih jelas apa itu framing. Peristiwa yang sama juga bisa dimakanai secara berbeda oleh media. Dalam pendekatan ini media dianggap umpama sebagai arena perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pokok persoalan wacana. Masing-masing pihak menyajikan persfektif untuk memberikan pemaknaan terhadap suatu persoalan agar diterima oleh khalayak. Media massa dilihat sebagai forum bertemunya pihak-pihak dengan kepentingan, latar belakang dan sudut pandang yang beragam. Dengan kata lain, proses framing menjadikan media massa sebagai suatu arena dimana informasi tentang masalah-masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung oleh pembaca.