A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia, tanah merupakan faktor yang sangat penting. Karena pada kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah (bermukim) dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah, lebih dari itu tanah juga mempunyai hubungan yang emosional dengan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bukan hanya dalam kehidupannya saja, untuk meninggalpun manusia masih memerlukan tanah sebagai tempat peristirahatan. Manusia hidup senang serba kecukupan jika mereka dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup tentram dan damai jika mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam masyarakat.
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial, politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan pertanahan haruslah merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan pembangunan nasional. Dalam perkembangan pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) permasalahan tanah menjadi semakin kompleks. Di satu sisi kompleksitas masalah tanah terjadi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat dengan penyebaran yang tidak merata antar wilayah. Di sisi lain, kompleksitas ini muncul karena luas tanah relatif tidak bertambah.1
1 Iswan B. Padu. Dkk. “Laporan Orientasi di Direktorat Sengketa Tanah BPN RI.”
http://sarmanpsagala.wordpress.com/2010/06/02/laporan-orientasi-di-direktorat-sengketa-tanah/, diakses tanggal 02 Maret 2011.
Saat ini tanah bagi masyarakat merupakan harta kekayaan yang memiliki nilai jual yang tinggi karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan hingga akhir hayat. Saat ini pembangunan di segala bidang terus dilakukan oleh Bangsa Indonesia. Dengan demikian fungsi tanahpun mengalami perkembangan sehingga kebutuhan masyarakat akan hak atas tanah juga terus mengalami perkembangan. Jumlah tanah yang tetap dan kebutuhan akan tanah yang semakin meningkat karena pertumbuhan penduduk di Indonesia yang sangat tinggi membuat tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan tanah itu dapat memicu timbulnya berbagai macam permasalahan.
Kebutuhan masyarakat akan tanah dari hari ke hari terus meningkat,searah dengan lajunya pembangunan di segala bidang yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian fungsi tanahpun mengalami perkembangan sehingga kebutuhan masyarakat akan hak atas tanah juga terus mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang beranekaragam. Luas tanah yang tersediapun relatif terbatas, tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu dapat memacu timbulnya berbagai persoalan.
Secara umum motif dan latar belakang penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan adalah:
1. Kurang tertibnya administrasi pertanahan di masa lampau 2. Harga tanah yang meningkat
3. Kondisi masyarakat yang semakin menyadari dan menyadari akan kepentingan dan haknya.
4. Iklim keterbukaan sebagai salah satu kebijaksanaan yang digariskan pemerintah.
5. Masih adanya oknum-oknum pemerintah yang belum dapat menangkap aspirasi masyarakat.
6. Adanya pihak-pihak yang menggunakan kesempatan untuk mencari keuntungan materil yang tidak wajar atau menggunakan untuk kepentingan politik.2
Karenanya oleh Pemerintah kebijaksanaan mengenai tanah ini telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan UUPA yang berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia bertujuan:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.3
Dari tujuan Undang-undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) seperti tersebut di atas, terlihat bahwa UUPA berlaku sebagai alat untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, maka setiap warga negara wajib mengakui dan menghormati adanya hak-hak tersebut.4
2 Ali Chomzah, Hukum Pertanahan Seri III dan Seri IV, Prestasi Pustaka, Jakarta, Tahun
2003, hal. 21
3Penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria
UUPA adalah sebuah Undang-Undang yang memuat dasar-dasar pokok di bidang Agraria yang merupakan landasan bagi usaha pembaharuan hukum agraria guna dapat diharapkan memberikan adanya jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk kesejahteraan bersama secara adil. Tegasnya ialah untuk mencapai kesejahteraan dimana masyarakat dapat secara aman melaksanakan hak dan kewajiban yang diperolehnya sesuai dengan peraturan yang telah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak dan kewajiban tersebut.
Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah sebagai media yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui pembebasan tanah serta laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi di Indonesia menyebabkan tingginya lalu lintas peralihan hak atas tanah. Pemegang hak atas tanah saat ini bukanlah pemegang hak atas tanah yang pertama. Akibatnya baik pemerintah maupun masyarakat ketika membutuhkan sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan kepastian mengenai siapa sebenarnya pemilik sebidang tanah tersebut.
Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki dikuasai disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak
penguasaan yuridisnya berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Dalam hukum tanah dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik. Kreditor pemegang jaminan hak atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaan secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah.
Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah sebagai media dengan dilaksanakan oleh pemerintah melalui pembebasan tanah serta pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi di Indonesia membuat tingginya kegiatan pengalihan hak atas tanah. Pemegang hak atas tanah saat ini bukanlah pemegang hak atas tanah yang pertama. Akibatnya baik pemerintah maupun masyarakat ketika membutuhkan sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan kepastian mengenai siapa sebenarnya pemilik bidang tanah tersebut.
Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia akan tanah menyebabkan kedudukan tanah menjadi sangat penting terutama menyangkut kepemilikan, penguasaan dan penggunaannya. Mengingat kebutuhan untuk menempati tanah selalu meningkat akan mendorong laju tingkat pengalihan hak. Fungsi tanahpun mengalami perkembangan sehingga kebutuhan masyarakat akan hak atas tanah juga terus mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang beranekaragam.
Pengalihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain. Salah satu contoh hak atas tanah
yang dapat dialihkan melalui jual beli adalah Hak Milik. Hak Milik yaitu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa hak itu mempunyai fungsi sosial. Apabila sudah dilakukan pengalihan hak atas tanah maka harus segera didaftarkan tanahnya di Kantor Pertanahan atau yang biasa disebut dengan pendaftaran tanah.5
Pengalihan hak milik atas tanah yang dikarenakan jual beli tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan oleh satu pihak dengan maksud untuk memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain. Di mana berpindahnya hak milik atas tanah tersebut diinginkan oleh kedua belah pihak melalui jual beli Permasalahan ini sering terjadi pada waktu pemindahan hak atas tanah berlangsung, yang menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain, misalnya pada saat jual beli, waris, hibah, tukar menukar dan lain-lain.6 Hal ini merupakan perbuatan hukum dan mengakibatkan berpindahnya suatu hak atas tanah pada orang lain.
Pengalihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain. Salah satu contoh dari pengalihan hak atas tanah adalah melalui Hibah. Hibah yaitu suatu persetujuan dalam mana suatu pihak berdasarkan atas kemurahan hati, perjanjian dalam hidupnya memberikan hak milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan ini. Salah satu
5 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media Group,
2009), hal. 90.
contoh hak atas tanah yang dapat dialihkan melalui hibah adalah Hak Milik. Hak Milik yaitu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa hak itu mempunyai fungsi sosial. Apabila sudah dilakukan pengalihan hak atas tanah maka harus segera didaftarkan tanahnya di Kantor Pertanahan atau yang biasa disebut dengan pendaftaran tanah. Namun hal ini bukan berarti terlepas dari sengketa.
Pada Putusan Mahkamah Agung No. 475 K/Pdt/2010, dapat dilihat adanya sengketa akibat pengalihan hak atas tanah karena hibah. Kasus yang terjadi merupakan sengketa antara Ambrosius alias Akong Bin De Nogo C, (Pada kasus disebutkan dengan istilah Penggugat) versus (1) Presiden Republik Indonesia di Jakarta Cq.Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta Cq. Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Pangkalpinang Cq. Walikota Pangkalpinang Cq. Camat Pangkalbalam di Belitung Cq. Lurah Rejosari dan (2) Presiden Republik Indonesia di Jakarta Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta Cq. Kepala Kepolisian Daerah Bangka Belitung di Pangkalpinang Cq Kepala Kepolisian Daerah Resort Kota Pangkalpinang di Pangkalpinang masing-masing merupakan Tergugat I dan Tergugat II.
Bahwa Penggugat bersama-sama masyarakat kelurahan Rejosari, kecamatan Pangkalbalam lainnya yang menguasai/mengusahakan fisik tanah negara tersebut pernah mengajukan permohonan hak atas tanah Negara tersebut kepada Camat Pangkalbalam selaku pejabat pembuat akta tanah, Bahwa pada Tahun 2004 pemerintah kota Pangkalpinang pernah mendata tanah negara yang
dikuasai/diusahakan oleh warga masyarakat dengan keputusan walikota Pangkalpinang Nomor: 154 Tahun 2004 tanggal 28 Juni 2004 tentang pembentukan tim penyelesaian kasus tanah di kelurahan Rejosari, kecamatan Pangkalbalam, kota Pangkalpinang dan diusahakan oleh warga masyarakat dan melakukan pendataan tanah negara di kelurahan Rejosari yang dikuasai/diusahakan oleh warga masyarakat.
Kota Pangkalpinang yang dibentuk walikota Pangkalpinang tersebut, kepada 21 (dua puluh satu) warga masyarakat kelurahan Rejosari yang menguasai/ mengusahakan fisik tanah tersebut termasuk Penggugat, diberikan hak untuk mengajukan permohonan hak atas tanah negara tersebut dengan kewajiban membayar uang konstribusi kepada pemerintah kota Pangkalpinang berdasarkan luas tanah yang dikuasai oleh masing-masing masyarakat Pemohon.
Bahwa Penggugat ditetapkan untuk membayar konstribusi yang besarnya Rp 3.331.200,- (tiga juta tiga ratus tiga puluh satu ribu dua ratus rupiah) dan dari seluruh kewajiban tersebut Penggugat telah membayar sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada pejabat yang ditugaskan dan diantara 21 (dua puluh satu) orang masyarakat pemohon hak penguasa fisik tanah atas tanah negara tersebut, beberapa orang warga surat keterangan penguasaan fisik tanah telah dikeluarkan oleh lurah Rejosari, sedangkan beberapa warga masyarakat pemohon lainnya termasuk Penggugat belum keluar/diberikan surat keterangan penguasaan fisik tanah tanpa alasan yang jelas.
Bahwa pada Tahun 2006, Penggugat mengetahui di atas lahan tanah yang dikuasai/ diusahakan Penggugat telah terpancang papan yang bertuliskan "Di atas
tanah ini akan dibangun Mako Polsek Pangkalbalam” yang dipasang oleh Kepala Kepolisian Resort Kota Pangkalpinang.
Perbuatan Tergugat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, secara langsung telah menimbulkan kerugian materil dan moril terhadap Penggugat oleh karena itu sebagaimana diatur dan ditentukan Pasal 1365 KUHPerdata Penggugat sebagai pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan kerugian.
Pada beberapa sengketa dibidang pertanahan banyak terjadi kebingungan dari masyarakat pencari keadilan, khususnya tentang kepastian hukum terhadap tanah yang dimilikinya baik dimiliki dengan cara membeli maupun dengan cara menguasai secara fisik dalam kurun waktu yang cukup lama.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian mengenai
“Analisis Hukum Terjadinya Pengalihan Hak Atas Tanah Atas Dasar
Penguasaan Fisik (Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung
No.475//PK/Pdt.2010)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan gambaran latar belakang tersebut di atas, maka: 1. Bagaimana mekanisme pengalihan hak atas tanah dalam sistem hukum agraria? 2. Bagaimana kedudukan pihak ketiga yang menguasai objek hak atas tanah
terhadap terjadinya pengalihan hak atas tanah?
3. Bagaimana analisa terhadap kasus pada Putusan Mahkamah Agung No.475//PK/Pdt.2010 ?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mekanisme pengalihan hak atas tanah dalam sistem hukum agraria
2. Untuk mengetahui kedudukan pihak ketiga yang menguasai objek hak atas tanah terhadap terjadinya pengalihan hak atas tanah.
3. Untuk mengetahui tanggapan atas kasus pada Putusan Mahkamah Agung No.475//PK/Pdt.2010
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain:
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi akademisi maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang hendak melaksanakan penelitian tentang terjadinya pengalihan hak atas tanah atas dasar penguasaan fisik.
b. Sebagai bahan bagi pemerintah Republik Indonesia dalam penyempurnaan peraturan perundangan-undangan tentang pengaturan yang mengatur mengenai pengalihan hak atas tanah atas dasar penguasaan fisik.
c. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum tentang terjadinya pengalihan hak atas tanah atas dasar penguasaan fisik.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan proses terjadinya pengalihan hak atas tanah atas dasar penguasaan fisik.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang Analisis Hukum Terjadinya Pengalihan Hak Atas Tanah Atas dasar Penguasaan Fisik (Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung No.475//PK/Pdt.2010) yang pernah dilakukan sehubungan dengan objek pembahasan sudah pernah dilakukan oleh Muaz Effendi dengan judul “ Pengalihan Hak Atas Tanah yang Belum Bersertifikat di Kecamatan Medan Johor dan Pendaftaran Haknya di Kantor Pertanahan Medan)”. Adapun perumusan masalahnya adalah:
1. Mengapa terjadi ketidakseragaman pengalihan hak atas tanah yang belum bersertifikat di Kecamatan Medan Johor?
2. Bagaimana bentuk-bentuk surat pengalihan hak atas tanah sebagai landasan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertifikat ?
3. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah yang belum bersertifikat serta kendala-kendala umum yang dihadapi masyarakat dalam pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan Medan.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dari hasil-hasil penelitan yang pernah dilakukannya, khususnya di Universitas Sumatera Utara, penelitian yang dilakukan
peneliti lebih memfokuskan diri pada terjadinya pengalihan hak atas tanah atas dasar penguasaan fisik, sehingga penelitian yang dilakukan, baik dari segi judul, permasalahan dan lokasi serta daerah penelitian yang belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, maka berdasarkan hal tersebut, maka dengan demikian, penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Cita-cita hukum yang baik adalah untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Apabila ada pertentangan antaran kepastian hukum dengan keadilan, maka unsur keadilan harus dikedepankan dan dimenangkan. Kepastian hukum adalah sebuah falsafah positivisme dimana untuk mendapatkan titik temu antara para pihak yang kepentingannya berbeda-beda, maka harus dicari suatu rujukan yang telah disepakati, dilegalkan dan diformalitaskan serta enforceable oleh aparat hukum sebagai penjelmaan dari kedaulatan birokrasi negara.
Saluran formal yang mengedepankan kepastian hukum tidak mencerminkan adanya keadilan, maka pencari keadilan akan menemukan caranya sendiri untuk mendapatkan keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum. Kepastian hukum yang ideal adalah hukum yang memberi keadilan. Namun manakala keadilan tersebut tidak ditemukan lewat saluran formal, akan terjadi apatisme hukum, yang bahkan pada titik ekstrim akan dapat menjelma menjadi chaos karena masing-masing pihak akan mencari, menafsirkan dan meng enforce keadilan menurut persepsinya
masing-masing. Fenomena yang demikian ini, sebenarnya telah dikaji dalam satu aliran hukum post modernisme yang bernama critical legal studies.
Munir Fuady mencatat, aliran critical legal studies merupakan suatu aliran yang bersikap anti liberal, anti objektivisme, anti formalisme, dan anti kemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir post modern, secara radikal mendobrak dan menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/ mayoritas/ berkuasa/ kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, serta menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, serta menolak kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban dan kepastian hukum yang dihasilkan lembaga-lembaga formal negara.7
Hak milik atas tanah mengandung unsur hak kebendaan dan hak perseorangan. Sebagai hak kebendaan, hak atas tanah memiliki ciri-ciri bersifat absolut, jangka waktunya tidak terbatas, hak mengikuti bendanya (droit de suite), dan memberi wewenang yang luas bagi pemiliknya seperti dialihkan, dijaminkan, disewakan atau dipergunakan sendiri. Sebagai hak perseorangan, ciri-cirinya adalah bersifat relatif, jangka waktunya terbatas, mempunyai kekuatan yang sama tidak tergantung saat kelahirannya hak tersebut, memberi wewenang terbatas kepada pemiliknya.8
7 Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Post Modern, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005. hal. 34.
8Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, PT. Alumni, Bandung,
Seseorang dapat dikatakan mempunyai hak atas tanah atau mendapatkan penetapan hak atas tanah maka harus dapat dibuktikan terlebih dahulu adanya dasar penguasaan seseorang dalam menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah, yang tidak ditentang oleh pihak manapun dan dapat diterima menjadi bukti awal untuk pengajuan hak kepemilikannya.
Penguasaan dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut penguasaan tanah sudah merupakan suatu "hak". Kata "penguasaan" menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyainya.9 Artinya ada sesuatu hal yang mengikat antara orang dengan tanah tersebut, ikatan tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda/bukti bahwa tanah tersebut telah dikuasainya. Tanda/bukti tersebut bisa berbentuk penguasaan fisik maupun bisa berbentuk pemilikan surat-surat tertulis (bukti yuridis).
Bukti penguasaan tanah dalam bentuk pemilikan surat-surat tertulis tersebut dapat saja dalam bentuk keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang memberikan hak penguasaan kepada subyek hak untuk menguasai tanah dimaksud dan dapat juga dalam bentuk akta otentik yang diterbitkan oleh pejabat umum yang menunjukkan tanah tersebut diperolehnya akibat adanya perbuatan hukum berupa perjanjian pemindahan/pengalihan hak. Bila dikatakan perolehan hak atas tanah, maka tersirat adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hak atas obyek tanahnya.10
Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat dipergunakan dalam arti yuridis maupun fisik.11 Penguasaan dalam arti yuridis maksudnya hubungan tersebut ditunjukkan dengan adanya penguasaan tanahnya secara hukum. Apabila telah ada
9Badan Pertanahan Nasional, Hak-hak Atas Tanah dalam Hukum Tanah Nasional, Jakarta,
Tahun 2002, hal. 18
10 Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum PendaftaranTanah,Mandar
Maju, Bandung, Tahun 2008, hal. 235
11 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, Tahun 1994,
bukti penguasaan tanahnya secara hukum (biasanya dalam bentuk surat-surat tertulis), maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah dilandasi dengan suatu hak. Sedangkan penguasaan tanah dalam arti fisik menunjukkan adanya hubungan langsung antara tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya didiami dengan mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman produktif untuk tanah pertanian.
Penguasaan tanah dapat merupakan permulaan adanya atau diberikannya hak atas tanah, dengan perkataan lain penguasaan tanah secara fisik merupakan salah satu faktor utama dalam rangka pemberian hak atas tanahnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat bukti penguasaan secara yuridis, namun apabila dalam kenyataan bidang tanah tersebut telah dikuasai secara fisik, maka dapat dilegitimasi/diformalkan haknya melalui penetapan/pemberian haknya kepada yang bersangkutan.
Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai:
Bukti penguasaan-atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat Pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.12
12Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendafataran Tanah, Mandar
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara. Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, alas hak tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak keperdataan, tanah tersebut sudah berada dalam penguasaannya atau telah menjadi miliknya. Penguasaan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan yang diberikan hukum untuk menguasai fisik tanahnya. Oleh karena itu penguasaan yuridis memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Negara agar hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum.
Proses alas hak menjadi hak atas tanah yang diformalkan melalui penetapan Pemerintah disebut pendaftaran tanah yang produkn ya adalah sertifikat tanah.13 Oleh karena itu alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara,
maka harus diformalkan yang dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara/Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
AP. Parlindungan menyatakan bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA dapat diterbitkan haknya karena penetapan Pemerintah atau ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak atas tanah di atas hak tanah lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) dan juga karena ketentuan konversi hak, sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak dengan lembaga uit wi zingprocedure sebagaimana diatur dalam pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.14
Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak untuk tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti Hak-hak Adat atas tanah dan hak-hak yang berasal dari Hak-hak Barat.15
Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat adalah:
1. Hak agrarisch egeindom. Lembaga agrarisch egeindom ini adalah usaha dari Pemerintah Hindia Belanda dahulu untuk mengkonversi tanah hukum adat, baik
14 A. P. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Mandar Maju, Bandung, Tahun
1993, hal. 69-70
15A. P. Parlindungan, Pen daft aran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
yang berupa milik perorangan maupun yang ada hak perorangannya pada hak ulayat dan jika disetujui sebagian besar dari anggota masyarakat pendukung hak ulayatnya, tanahnya dikonversikan menjadi agrarisch egeindom.
2. Tanah hak milik, hak Yasan, adar beni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini. Istilah dan lembaga-lembaga hak atas tanah ini merupakan istilah lokal yang terdapat di Jawa.
3. Grant Sultan yang terdapat di daerah Sumatra Timur terutama di Deli yang dikeluarkan oleh Kesultanan Deli termasuk bukti-bukti hak atas tanah yang diterbitkan oleh para Datuk yang terdapat di sekitar Kotamadya Medan. Di samping itu masih ada lagi yang disebut grant lama yaitu bukti hak tanah yang juga dikeluarkan oleh Kesultanan Deli.
4. Landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak-hak usaha atas bekas tanah
partikulir. Selain tanah-tanah yang disebut di atas yang tunduk pada hukum adat ada juga hak-hak atas tanah yang lain yang dikenal dengan nama antara lain ganggan bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituas dan lain-lain.
Sedangkan hak-hak barat dapat berupa hak eigendom, hak opstal, dan hak
erfpacht. Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang
tanah yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelumnya (dasar penguasaan/alas hak lama) masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku pada masa itu.
Sementara itu, menurut Aslan Noor, teori kepemilikan ataupun pengalihan kepemilikan secara perdata atas tanah dikenal empat teori, yaitu:16
a. Hukum Kodrat, menyatakan dimana penguasaan benda-benda yang ada di dunia termasuk tanah merupakan hak kodrati yang timbul dari kepribadian manusia
b. Occupation theory, dimana orang yang pertama kali membuka tanah, menjadi
pemiliknya dan dapat diwariskan.
c. Contract theory, dimana ada persetujuan diam-diam atau terang-terangan untuk
pengalihan tanah.
d. Creation theory, menyatakan bahwa hak milik privat atas tanah diperoleh karena
hasil kerja dengan cara membukukan dan mengusahakan tanah.
Mengenai pengalihan atau penyerahan hak atas tanah, terdapat dua pendapat yaitu yang pertama adalah bahwa jual beli harus dilakukan dengan akta otentik yang diikuti dengan pendaftaran pengalihan hak atas tanah untuk mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah. Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah, bukan saja hanya sebagai alat bukti tetapi merupakan syarat mutlak adanya perjanjian penyerahan.
Pendapat ini diwakili oleh Mariam Darus Badrulzaman dan Saleh Adiwinata. Pendapat lainnya adalah bahwa perbuatan jual beli tanpa diikuti dengan akta otentik adalah sah, sepanjang diikuti dengan penyerahan konkret. Pendapat ini diwakili oleh
16Aslan Noor, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
Boedi Harsono dan R. Soeprapto.17 Penyerahan yang sifatnya konsensual sebagaimana dianut hukum perdata sekaligus dengan penyerahan yang sifatnya konkret sebagaimana dianut oleh hukum adat pada dasarnya adalah bertentangan dan dapat terjadi dualisme dalam penafsiran kepastian hukumnya.
Mariam Darus Badrulzaman berpendapat, bahwa lembaga pendaftaran pada proses pengalihan hak atas tanah, tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda tanah terjadi pada saat pendaftaran dilakukan. Sebelum dilakukan pendaftaran yang ada baru milik, belum hak.18 Dalam kaitan itulah, maka salah satu asas dari hak atas tanah adalah adanya asas publisitas.
2. Konsepsi
Konsep adalah suatu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition19. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindari perbedaaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.20
17 John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, 1994, hal. 34-35
18
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 76
19 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 10.
20 Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan
Konsepsi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Analisis Hukum berasal dari kata analisa dan hukum. Analisa adalah penyelidikan tentang kemampuan dan kepribadian seseorang dihubungkan dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya21 Sedangkan hukum peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas. Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat. patokan (kaidah, ketentuan). keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan.22
2. Pengalihan Atas Tanah dan Bangunan adalah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengalihan adalah pergantian /perlintasan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Sedangkan pengertian dari hak adalah milik/kepunyaan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang (aturan). Jadi pengalihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak dari satu pihak kepada pihak lain. 3. Akta Tanah adalah akta yang memuat data otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah
4. Dikuasai secara fisik berarti objek tanah ditempati oleh orang atau badan hukum. 5. Pihak lain adalah pihak yang bukan merupakan pihak yang memiliki hak atas
tanah.
21W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996,
hal. 32
6. Bukti Hak merupakan alat bukti mengenai kepemilikan atas tanah yang telah didaftarkan.
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif karena dalam penelitian ini akan dipaparkan tentang pengalihan hak atas tanah yang dikuasai secara fisik tanpa alas hak. Bersifat analistis, karena terhadap data yang diperoleh itu dilakukan analistis data secara kualitatif.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ialah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang mengacu kepada peraturan-peraturan sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah.
2. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa:
a. Bahan hukum primer berupa UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Putusan Mahkamah Agung No.475//PK/Pdt.2010 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya
ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, kamus bahasa Inggris, Kamus bahasa Indonesia, dan artikel-artikel lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian.
3. Alat Pengumpulan Data
Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengkajian ilmu hukum normatif terdiri studi dukumen yaitu pengumpulan data. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan, dilakukan dengan studi kepustakaan/literatur. Dalam hal ini dilakukan dengan cara menginventarisasikan dan pengumpulan buku-buku, bahan-bahan bacaan, Peraturan Perundang-undangan dan dukumen-dukumen lain. Cara ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang bersifat umum dan relatif menyeluruh, tentang apa yang tercakup di dalam fokus permasalahan yang akan diteliti dengan jalan mengadakan pencatatan langsung mengenai data yang berupa dukumen ataupun mengutip keterangan-keterangan yang dibutuhkan.
3. Analisis Data
Semua data yang telah diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif.